POTENSI DAN PELUANG POLA INTEGRASI TERNAK KAMBING PADA PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT
DI PROPINSI LAMPUNG
(Potency and Opportunity of Integrated Systems for Goats and Smallholder Cocoa Estate in Lampung)
DWI PRIYANTO1ATIEN PRIYANTI2danI.INOUNU2
1Balai Penelitin Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
2Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor
ABSTRACT
Lampung is a target of the development area which considered to be the cocoa estate crop held by smallholders by 20,115 ha that has potential for export. Integrated systems of goats and cocoa plantation tend to have an opportunity to support the program based on low external input sustainable agriculture. A survey of 20 farmers to identify its potential has been done in Gedong Tataan (GT) and Bandar Sribawono (BS) sub- district, Lampung using structural questionaires. The descriptive results showed that average land size of cocoa estate crops were 1,31 and 1,41 ha/farmer, with the average production for fresh cocoa of 805 and 896 kg/ha/year, respectively for GT and BS. The average of goat ownership was 7,66 and 6,4 head/farmer in GT and BS, respectively. The addition of cocoa-peeling for feeding the animals have reached 4-5 kg/day for the adult goats with the justification of reducing labor cost for cut and carrying grasses up to 50%. The analysis has shown that contribution of integrated cocoa crops and goats were 17,45% (Rp.5,993,370 for cocoa vs Rp.1,151,100 for goats) and 1,56% (Rp.7,597,000 for cocoa crops vs Rp.120,225 for goats) in GT and BS, respectively. It has been concluded from the study that the integrated systems of cocoa crops and goats by smallholder has a potential in supporting the farmers livelihood, in turns it will improve their welfare.
Key words: Integration, cocoa estate, PE goat
ABSTRAK
Propinsi Lampung merupakan wilayah pengembangan perkebunan kakao rakyat yang mencapai areal seluas 20.115 ha. Pola integrasi ternak kambing merupakan peluang mendukung program “Low Exsternal Input Sustainable Agriculture” (LEISA) yang baru dipromosikan pada saat ini. Survei peternak kambing Peranakan Etawah (PE) di lahan perkebunan kakao rakyat dilakukan di Kecamatan Gedong Tataan (Kabupaten Lampung Selatan) dan di Kecamatan Bandar Sribawono (Kabupaten Lampung Timur) terhadap 20 responden. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan luas perkebunnan kakao yang dimiliki peternak mancapai 1,31 ha dan 1,41 ha/peternak (di Gedong Tataan dan Bandar Sribawono), dengan rataan produksi kakao basah mencapai 8,05 dan 8,96 kwintal/peternak/tahun, di mana komoditas tersebut merupakan potensi komoditas ekspor. Pemberian kulit kakao terhadap ternak kambing di lokasi pengamatan mencapai 4-5 kg/ekor/hari pada kambing dewasa, dengan skala pemilikan kambing sebesar 7,66 ekor dan 6,40 ekor/peternak (di Gedong Tataan dan Bandar Sribawono). Pemberian kulit didasarkan berbagai alasan, yakni dapat menghemat tenaga kerja dalam pengambilan rumput yang mencapai 50 persen, di samping kambing sangat menyukainya. Analisis pola integrasi kakao dan kambing menhasilkan kontribusi usaha ternak mencapai 17,45% yakni Rp.5.993.370,-(kakao) vs Rp.1.151.100,-(kambing) dan 1,56%, yakni Rp.7.597.000,- (kakao) vs Rp.120.225,- (kambing) masing-masing di Gedong Tataan dan Bandar Sribawono yang merupakan wilayah pengembangan baru. Pola integrasi cukup mendukung konsep efisiensi di kedua pola usaha tersebut yang berdampak meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Kata kunci: Integrasi, perkebunan kakao rakyat, kambing PE PENDAHULUAN
Pola integrasi antara ternak dan tanaman pada awalnya dimulai pada kegiatan
Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) dengan tujuan utama adalah rehabilitasi lahan pertanian yang telah mengalami degradasi akibat eksploitasi pemupukan, yang merupakan
program Badan Litbang Pertanian (ZAINI et al., 2002). Pada awalnya dimulai pola usaha integrasi padi-ternak yang merupakan salah satu komponen dalam mendukung perbaikan lahan pertanian (HARYANTO et al., 2002), yang didukung pengembangan kelembagaan Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (SOENTORO et al., 2002). Kagiatan tersebut cukup memiliki prospek dalam mendukung konsep “Low Exsternal Input Sustainable Agriculture” (LEISA) sebagai langkah efisiensi usahatani, sehingga akan mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Pola integrasi tersebut berkembang ke arah komoditas tanaman perkebunan yang salah satunya adalah prospek tanaman kakao sebagai pola integrasi dengan ternak kambing.
Perkembangan luas tanaman kakao rakyat di Propinsi Lampung sangat pesat, khususnya pada tahun 2001-2002, yang awalnya 15.798 ha menjadi 20.115 ha (meningkat sekitar 30%), dengan produksi dari 7.714 ton menjadi 11.979 ton (Lampung Dalam Angka, 2002). Kondisi demikian membuka peluang dalam program pengembangan usaha peternakan yang mampu memanfaatkan limbah kulit kakao sebagai pakan ternak dan diharapkan pola integrasi tersebut mampu mendukung produktivitas baik tanaman maupun ternak sebagai upaya langkah efisiensi usahatani yang sekaligus mampu meningkatkan pendapatan petani di pedesaan.
Pola integrasi yang tepat perlu dilihat dari komoditas ternak yang mampu memanfaatkan limbah kulit kakao, serta dengan mudahnya petani dalam mengaplikasikan teknologi tersebut, sehingga mampu mendukung sistem multi usaha (usaha perkebunan dan peternakan). Pola integrasi usaha ternak kambing pada kondisi perkebunan kakao rakyat yang sudah dirintis perlu dikaji prospeknya dalam mendukung pengembangan wilayah di Propinsi Lampung yang merupakan basis pengembangan perkebunan kakao rakyat.
METODOLOGI
Survei dilakukan terhadap peternak kambing Peranakan Etawah (PE) yang sekaligus memiliki lahan perkebunan kakao rakyat. Lokasi penelitian dilakukan di dua lokasi, yakni di Desa Bururejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Lampung Selatan
dan Desa Sadar Sriwijaya, Kecamatan Bandar Sribawono, Kabupaten Lampung Timur, Propinsi Lampung, masing-masing terhadap 20 peternak kambing PE. Kedua wilayah tersebut adalah merupakan wilayah pengembangan kakao rakyat dan pada akhir-akhir ini telah dikembangkan usahaternak Kambing PE yang merupakan salah satu lokasi pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung. Dalam sistem manajemen usaha ternak kambing tersebut peternak telah memanfaatkan pakan ternak menggunakan kulit kakao yang merupakan limbah kakao yang sebelumnya tidak dimanfaatkan, dan hanya digunakan sebagai pupuk di bawah tanaman kakao tersebut. Parameter ekonomi yang diamati adalah pola integrasi antara dua komponen sistem usaha, yakni sistem usahatani perkebunan kakao dan sistem usahatani ternak kambimg PE, di mana kedua sistem usaha tersebut saling menunjang dalam mendukung ekonomi rumah tangga petani di lokasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif tentang persepsi petani dalam memanfaatkan kulit kakao sebagai pakan ternak, di samping juga dilakukan analisis ekonomi berdasarkan “Cost and Return Analysis” pada usahatani kakao, sedangkan usaha ternak kambing dilakukan analisis margin kotor dengan asumsi bahwa
“opportunity cost” tenaga kerja usaha ternak relatif rendah berdasarkan petunjuk AMIR dan KNIPSCHEER (1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik peternak kambing di lokasi
Karakteristik peternak kambing di kedua lokasi pengamatan menunjukkan bahwa umur peternak tersebut hampir sama, yakni 44,3 tahun dan 43,0 tahun masing-masing di lokasi Kecamatan Gedong Tataan dan Bandar Sribawono (Tabel 1). Pada awalnya peternak tersebut lebih dahulu mengusahakan perkebunan kakao dan kemudian mengusahakan usahaternak kambing, karena ada peluang untuk mengusahakan ternak tersebut, yakni dukungan hijauan pakan yang potensial di sekitar lokasi yang berupa daun- daunan (legum) yang lebih cocok dimanfaatkan sebagai pakan kambing
(rambanan). Kondisi demikian sesuai pengamatan (CHADHOKAR, 1982), bahwa pemberian legum pohon (Glrisidia) sangat sesuai untuk pakan ternak ruminansia (sapi dan kambing/domba), walaupun diberikan dalam jumlah banyak dalam periode yang panjang.
Peternak kambing yang ada di kedua lokasi umumnya adalah penduduk keturunan Jawa Tengah yang merantau ke daerah Sumatera pada jaman penjajahan kolonial Belanda.
Berdasarkan pengalaman beternak menunjukkan bahwa di kedua lokasi pengamatan terdapat perbedaan pengalaman dalam berusaha ternak kambing, di mana di lokasi Gedong Tataan rataan pengalaman jauh lebih lama dibanding di lokasi Bandar Sribawono, dengan masing-masing rataan sebesar 5,8 tahun dan 1,75 tahun. Lokasi Bandar Sribawono merupakan lokasi pengembangan, baik untuk kakao rakyat maupun usaha ternak kambing PE. Hal tersebut juga digambarkan adanya jumlah pemilikan ternak kambing yang dipelihara, di mana di Kecamatan Gedong Tataan cenderung skala pemilikan ternak lebih tinggi dibanding di Bandar Sribawono (7,5 vs 6,4 ekor/peternak).
Di Bandar Sribawono pengembangan ternak kambing tersebut baru sekitar 1.5 tahun lalu dan secara bertahap peternak telah melakukan
pembelian ternak untuk dikembangkan dilokasi. Walaupun usaha ternak tersebut relatif skala kecil, tetapi usaha ternak tradisional tersebut cukup berperan dalam menunjang pendapatan keluarga (pendapatan tunai) yang sifatnya mendadak (SOEHADJI, 1992).
Berdasarkan rataan penguasaan lahan di kedua lokasi, cenderung lebih luas di lokasi pengembangan baru dibandingkan lokasi terdahulu, yakni mencapai 14.161 m2 vs 13.138 m2 masing-masing di Bandar Sribawono dan Gedong Tataan. Luas lahan perkebunan kakao ada kecenderungan lahan yang diusahakan untuk perkebunan kakao rakyat relatif sama (11.500 m2 vs 12.144 m2), tetapi dari pemilikan lahan pekarangan cenderung lebih luas di lokasi pengembangan dibanding lokasi sebelumnya yakni mencapai 2.056 m2 vs 994 m2. Pada lahan pekarangan tersebut juga banyak dilakukan penanaman kakao oleh petani, tetapi masih dikriteriakan sebagai lahan pekarangan. Di lokasi pengembangan tersebut terdapat petani yang memiliki lahan sawah, tetapi tidak luas, karena cenderung merupakan dataran rendah (datar), sedangkan di lokasi Gedong Tataan merupakan wilayah perbukitan (dataran tinggi).
Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan rataan umur, pengalaman usahaternak kambing dan penguasaan ternak yang dipelihara petani
Gedong Tataan Bandar Sribawono Peubah
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Umur peternak (th) 44.3 - 43.0 -
Pengalaman (th) 5.8 - 1.75 -
Pemilikan ternak (ekor) Dewasa
Muda Anak
3.4 1.8 2.4
100 77.7 66.6
3.2 2.3 0.9
100 70 60
Total (ekor) 7.5 100.00 6.4 100.00
Tabel 2. Rataan pemilikan lahan peani di kedua lokasi pengamatan
Gedong Tataan Bandar Sribawono Jenis lahan
Luas (m2) Persentase Luas (m2) Persentase Pekarangan
Sawah
Perkebunan kakao
994 - 12.144
100 - 100
2.056 625 11.500
100 20 100
Total 13.138 14.161
Pemanfaatan kulit kakao sebagai pakan ternak kambing
Kulit kakao telah banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak kambing di kedua lokasi pengamatan. Sistem pemberiannya adalah dengan dilakukan pemotongan (dicacah) dengan panjang sekitar 5 cm dan lebar 1 cm, yang diberikan secara basah (segar). Alasan peternak memberikan kulit kakao sebagai pakan kambing ada beberapa persepsi, yakni sebagian besar menyatakan bahwa penggunaan limbah tersebut mampu meringankan tenaga kerja dalam pengembilan rumput sampai mencapai 50% dan alasan lainnya (Tabel 3).
Hal tersebut berarti bahwa penggunaan kulit kakao akan mengurangi jumlah pakan hijauan yang harus dipersiapkan sebagai pakan ternak, cukup separuh dari yang biasa diberikan.
Prioritas ke dua yang dinyatakan peternak adalah kambing sangat menyukai. Pemberian dalam bentuk segar tersebut sangat disukai kambing dan langsung dimakan. Semakin segar kulit kakao tersebut, maka kambing lebih suka mengkonsumsinya. Prioritas ke tiga adalah sebagai langkah antisipasi dalam kesulitan memperoleh hijauan pakan.
Dengan kesulitan pakan hijauan, peternak lebih suka memanfaatkan kulit kakao tersebut sebagai pakan kambing. Pertimbangan lainnya adalah masih terdapat peternak yang hanya coba-coba menggunakan kulit kakao sebagai pakan ternak di lokasi, khusunya peternak pemula. Peranan kulit kakao dilaporkan BAKRIE et al. (1999) terhadap kambing PE yang dipelihara petani kakao, bahwa pemanfaatan kulit kakao dan hijauan (legum) dengan tambahan mineral blok pada kambing betina/dara mampu meningkatkan pertambahan bobot badan dari 38 menjadi 78 g/hari.
Prabowo dan Bahri (2003) mendapatkan PBBH kambing sebesar 76,8 dan 58,6 g masing-masing pada kambing jantan dan betina dengan pakan kulit buah kakao 30–70
persen ditambah blok suplemen pakan lengkap.
Peranan kulit kakao cukup potensial mendukung pertumbuhan kambing PE.
Informasi peternak dalam penggunaan kulit kakao yang dapat diklasifikasikan sebagai kendala utama adalah bahwa kulit kakao tersebut hanya mau dikonsumsi kambing sampai dengan 3 hari setelah dikupas. Hal demikian perlu dicarikan solusinya melalui teknologi yang tepat dalam antisipasi kondisi tersebut.
Analisis usaha pola integrasi kakao dan kambing
Analisis perkebunan kakao rakyat
Areal kakao rakyat di kedua lokasi dilihat dari umur tanaman cukup bervariasi dengan rataan luas 13.138 m2 dan 14.161 m2(lokasi Gedong Tataan dan Bandar Sribawono). Di masing-masing lokasi terdapat areal pengembangan kakao yang relatif merupakan pengembangan baru, sehingga belum semuanya berproduksi. Hasil pencatatan produksi kakao mencapai rataan 805 kg kering/peternak/tahun di lokasi Gedong Tataan (200–1.400 kg). Sedangkan di lokasi Bandar Sribawono produksi mencapai 896 kg kering/peternak/tahun (360–3600 kg). Ditinjau dari harga jual kakao kering cukup stabil, yakni mencapai kisaran antara Rp.9.000.- Rp.12.000,-/kg kering pada tahun terakhir penjualan. Semakin banyak produksi (panen raya), maka harga cenderung akan semakin tinggi. Kondisi demikian karena produk tersebut merupakan komoditas ekspor, sehingga cenderung bertentangan dengan konsep hukum ekonomi. Panen raya terjadi selama 3 bulan yakni pada bulan April, Mei dan Juni (masa puncak produksi), sedangkan pada bulan-bulan lainnya hanya mencapai 10%
dibanding produksi pada bulan panen raya.
Tabel 3. Alasan peternak memberikan kulit kakao sebagai pakan ternak di kedua lokasi pengamatan (%)
Peubah Gedong Tataan Bandar Sribawono Prioritas
Mengurangi tenaga kerja Kambing menyukai Antisipasi kekurangan pakan Coba-coba
88.8 77.7 55.5 33.3
90.0 80.0 80.0 20.0
I II III IV
Hasil perhitungan penerimaan petani kakao dalam usaha tanaman kakao rakyat sangat ditentukan oleh luasan areal budidaya di samping umur tanaman kakao, sehingga akan berpengaruh terhadap produksi kakao yang dihasilkan. Hasil perhitungan penerimaan kotor dari usaha perkebunan kakao di kedua lokasi mencapai Rp.7.658.330,-/petani/tahun, dan sebesar Rp.9.784.000,-/petani/tahun masing- masing di lokasi pengamatan Gedong Tataan dan Bandar Sribawono. Pembebanan biaya produksi hanya terfokus pada pembelian pupuk buatan dan obat-obatan yang mencapai Rp.961.100,- dan Rp.1.009.500,-/petani/tahun.
Pemupukan dilakukan dua kali dalam setahun, yakni pada awal pergantian musim dengan pemupukan yang bervariasi antar petani yang sangat tergantung pada modal petani.
Pemupukan biasanya dilakukan oleh petani sendiri dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga, tetapi terdapat pula petani yang memiliki lahan luas cenderung menggunakan tenaga kerja upahan sebesar Rp.15.000,-/hari kerja. Pupuk buatan yang diberikan cenderung berkurang sampai mencapai 40 persen dari kebutuhan, dengan adanya pupuk kandang dari kotoran kambing. Hal demikian menunjukkan peranan pupuk kandang mampu menekan biaya produksi tanaman kakao.
Sama halnya kegiatan penyiangan, umumnya dilakukan dengan tenaga kerja keluarga maupun tenaga kerja saat pemanenan.
Tetapi sebaliknya dalam hal pemangkasan pohon, cenderung dilakukan oleh tenaga ahli pangkas yang dibayar dengan upah yang cukup mahal, yakni mencapai Rp.25.000,- - Rp.30.000,-/hari kerja. Perhitungan biaya tenaga kerja tersebut mencapai Rp.1.203.860,- /petani/tahun dan Rp.1.177.500,-/petani/tahun masing-masing di lokasi pengamatan Gedong Tataan dan Bandar Sribawono. Dengan perhitungan tersebut, maka pendapatan petani kakao mencapai rataan sebesar Rp. 5.493.370,- dan Rp.7.597.000,-/petani/tahun. Tingginya pendapatan bersih usaha kakao di lokasi Bandar Sribawono tersebut karena relatif luasnya areal yang diusahakan perkebunan kakao termasuk areal lahan pekarangan, dan faktor lain adalah lebih suburnya lahan bukaan baru tersebut, sehingga akan memacu lebih tingginya produktivitas. Ditinjau dari perkebunan kakao produktif (telah panen), baru
sekitar 70% yang telah berproduksi (belum optimal).
Tabel 4. Analisis usaha perkebunan kakao di Gedong Tataan dan Bandar Sribawono (selama setahun)
Peubah Gedong
Tataan (Rp) Bandar Sribawono (Rp) Penerimaan 7.658.330 9.784.000 Biaya produksi
Pupuk Obat-obatan
927.770 33.330
891.500 118.000 Sub total 961.100 1.009.500 Tenaga Kerja
Penyiangan Pemupukan Pemangkasan Penen
261.100 73.880 217.770 651.110
190.500 135.000 289.000 563.000 Sub total 1.203.860 1.177.500 Total biaya 2.164.960 2.187.000 Keuntungan
bersih 5.493.370 7.597.000
Analisis usaha ternak kambing
Dalam mengetahui sistem produksi usaha ternak dilakukan rekording 2 tahun terakhir pengamatan untuk menghindari bias sistem produksi usaha ternak, mempertimbangkan siklus produksi dengan asumsi dalam 1,5 tahun mampu beranak 2 kali (“lambing interval”= 9 bulan). Hasil pengamatan penjualan kambing selama 2 tahun penjualan mencapai 5.4 ekor/peternak dengan nilai penjualan sebesar Rp.2.322.200,- (di Gedong Tataan), sedangkan hanya sebesar 0.75 ekot/peternak dengan nilai jual Rp 240.400,- di Bandar Sribawono (Tabel 5).
Dengan skala 7.5 ekor/peternak, dihasilkan penerimaan usahaternak sebesar Rp.1.161.100,- dan Rp. 120.225,- /peternak/tahun masing-masing di Gedong Tataan dan Bandar Sribawono. Hal tersebut terjadi karena lokasi Bandar Sribawono adalah merupakan peternak pemula dan belum banyak menghasilkan anak, sehingga belum banyak melakukan penjualan ternak. Di kedua lokasi tersebut telah banyak peternak yang telah melakukan penjualan pupuk kandang untuk
kebutuhan tanaman kakao sampai ke luar wilayah kecamatan.
Analisis pola integrasi
Berdasarkan penghasilan rumah tangga petani pola integrasi (multi usaha) kakao dan kambing, dapat dilihat seberapa besar kontribusi pendapatan kedua usaha oleh rumah tangga petani (Tabel 6).
Analisis multi usaha melalui pola integrasi tersebut menunjukkan bahwa peranan usaha ternak kambing pada sistem perkebunan kakao rakyat mencapai 17,45% dan 1,56% masing- masing di Gedong Tataan dan Bandar Sribawono yang merupakan usaha pemula (pengembangan) yang baru sekitar 1 tahun (belum produksi optimal). Hasil yang didapatkan lebih kecil dibanding pengamatan KARTAMULIA et al. (1993) dengan paket kredit 4 ekor induk domba di perkebunan karet yang meningkatkan pendapatan sebesar 12%. Dan juga pengamatan HORNE et al. (1994) pada kondisi manajemen sama dengan skala 20 ekor induk/peternak, mampu meningkatkan
pendapatan mencapai 25%. Lebih rendahnya hasil pengamatan karena masih rendahnya skala pemilikan, khususnya pemilikan induk.
Tetapi dilihat dari kedua pola integrasi tersebut, terjadi pola efisiensi dari sub sektor usaha yang digeluti oleh petani (Gambar 1).
Pola efisiensi usaha ternak kambing terjadi pada pemanfaatan kulit kakao dan hijauan tanaman pelindung kakao (legum) yang mamapu menghemat tenaga kerja dalam pengambilan rumput mencapai 50%, sedangkan sebaliknya pola efisiensi pengelolaan kebun kako terjadi pada penghematan biaya penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk tanaman kakao yang mencapi 40%. Kedua pola integrasi tersebut sangat mendukung pendapatan rumah tangga petani dari peningkatan pendapatan kakao dan usaha ternak kambing (efisiensi biaya pupuk) maupun biaya pakan ternak kambing (efisiensi pakan) di samping penjualan pupuk kandang yang telah banyak dilakukan peternak di kedua lokasi.
Tabel 5. Analisis usaha ternak kambing PE di lokasi pengamatan
Gedong Tataan Bandar Sribawono
Peubah ekor Rataan nilai jual
(Rp) Total nilai ekor Rataan nilai
jual (Rp) Total nilai Penjualan – Dewasa
- Muda
17 32
535.000 368.750
9.100.000 11.800.000
9 6
511.000 400.000
4.600.000 2.400.000
Total 49 - 20.900.000 15 - 2.404.500
Rataan/peternak 5.4 - 2.322.200 1.5 - 240.450
Penerimaan/pet/tahun 2.7 - 1.161.100 0.75 - 120.225
Tabel 6. Analisis multi usaha melalui pola integrasi kakao dan ternak kambing di kedua lokasi pengamatan (selama setahun)
Gedong Tataan Bandar Sribawono
Sub sektor usaha
Pendapatan (Rp) Persentase Pendapatan (Rp) Persentase Perkebunan kakao
Usaha ternak kambing
5.493.370 1.161.100
82.55 17.45
7.597.000 120.225
98.44 1.56
Total 6.654.470 100.00 7.717.223 100
LEGUM
KULIT KAKAO PAKAN
PUPUK PUPUK Efisiensi
TANAMAN KANDANG TK 50%
Efisiensi 40%
PERKEBUNAN KAKAO USAHATERNAK 1.138 M * 14.161 M** 7.5 EK* 6.4 EK**
jual pupuk
JUAL KAKAO kandang JUAL
KERING Peningkatan KAMBING
Pendapatan
* Lokasi pengamatan Gedong Tataan; ** Lokasi pengamatan Bandar Sribawono
Gambar 1. Diagram aliran pola integrasi kakao dan ternak kambing di kedua lokasi pengamatan di Propinsi Lampung
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan pola integrasi tanaman kakao rakyat dengan usaha ternak kambing PE di lokasi pengamatan dapat disimpulkan bahwa:
• Pemanfaatan kulit kakao sebagai pakan ternak kambing PE cukup mendukung usaha ternak karena mampu menghemat tenaga kerja dalam pengambilan hijauan pakan ternak, di samping kambing sangat menyukainya, sehingga peranan kulit kakao tersebut mampu mendukung pola efisiensi pakan dalam usaha ternak.
• Pola integrasi usahaternak yang sudah permanen mampu mendukung pendapatan petani yang mencapai 17% dari proporsi kedua sistem multi usaha (usahatani tanaman kakao dan usaha ternak kambing).
• Rantai pola usahatani dengan konsep integrasi tanaman kakao rakyat dan ternak kambing merupakan konsep yang posistif
dalam mendukung efisiensi usahatani, dan tarjadi pola pertukaran bahan baku limbah yang saling diperlukan oleh kedua sistem usaha (pemanfaatan pakan ternak dan dukungan pupuk kandang sebagai pupuk tanaman kakao).
DAFTAR PUSTAKA
AMIR,P and H.KNIPSCHEER. 1989. Conducting On- farm Animal Research Procedure and Economic Analysis. Winrock International Institute for Agricultural Development an International Development Recearch Centre.
Morrilton, Arkansas, USA.
BAKRIE,B., A.PRABOWO, M.SILALAHI,E. BASRI, R.D.TAMBUNAN,SOERACHMAN,A.SUKANDA, T. KUSNANTO dan A. MARYANTO. 1999.
Laporan Akhir Kajian Teknologi Spesifik Lokasi dalam Mendukung SPAKU Kambing.
LPTP Natar, Lampung.
RUMAH TANGGA
Kakao 82.55 %*
PENDAPATAN
Kakao 98.44 %**Kambing 17.45* Kambing 1.56 %**
CHADHOKAR, P.A. 1982. Gliricidia Maculata. A Promising Legumes Fodder Plant. World Anim Rep. No. 44. pp:36-43.
HARYANTO, B., I. INOUNU, B. ARSANA dan K.
Diwyanto. 2002. Panduan Teknis. Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
HORNE,P.M.,R.M.GATENBY,L.P.BATUBARA and S.KARO-KARO. 1994. Research Priorities for Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production Systems in Indonesia. Prosiding Seminar Saint dan Teknologi Peternakan.
Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
KARAMULIA,I.,S.KARO-KARO and J.DE BOER. 1993.
Economic Analysis of Sheep Grazing in Rubber Plantations. A Case Study of OPMM Membang Muda. Working Paper 145. SR- CRSP. Sei Putih, Sumatera Utara.
LAMPUNG DALAM ANGKA. 2002. Badan Pusat Statistik dan Balitbangda Propinsi Lampung.
Lampung.
PRABOWO,A. dan S.BAHRI. 2003. Kajian Sistem Usahatani Ternak Kambing pada Perkebunan Kakao Rakyat di Lampung. Makalah Disampaikan pada Workshop Crop Livestock System (CLS). di Bengkulu. CASREN bekerja dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
SOEHADJI. 1992. Perkembangan Peternakan dalam Mendukung Pembangunan Jangka Panjang.
Prosiding Agro-Industri Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
SOENTORO,M.SYUKUR,SUGIARTO,HENDIARTO dan H. SUPRIYADI. 2002. Panduan Teknis.
Pengembangan Usaha Agribisnis Terpadu.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
ZAINI, Z., I. LAS, SUWARNO, B. HARYANTO, SUNTORO dan E. ANANTO. 2002. Pedoman Umum. Kagiatan Percontohan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu 2002. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian, Jakarta.