10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma
2.1.1 Definisi Asma
Asma adalah suatu gangguan saluran napas berupa inflamasi (peradangan) kronik yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (Utama, 2018).
Penyakit asma merupakan penyakit tidak menular yang ditandai dengan sesak napas. Penyempitan saluran napas akibat proses peradangan (inflamasi) inilah yang menjadi penyebabnya. Pada asma, terjadinya kontraksi otot polos di saluran pernapasan dan pengeluaran lendir yang meningkat dari biasanya akibat adanya pencetus, yaitu alergen atau iritan. Saat terjadi serangan asma, saluran napas meradang, bengkak, dan terisi lendir. Lendir ini sangat kental sehingga mempersempit atau bahkan menyumbat saluran napas. Akibatnya, saat terjadi serangan asma, mengeluarkan napas menjadi lebih sulit dibanding saat menarik napas (Prihaningtyas, 2014).
2.1.2 Etiologi Asma
Secara umum, penderita asma mengalami penyempitan bronkus yang disebabkan oleh hiperaktivitas bronkus. Oleh karena itu, serangan asma mudah terjadi akibat berbagai rangsangan baik alergen, infeksi saluran pernapasan dan psikologis. Menurut penyebabnya asma terbagi menjadi tiga, antara lain sebagai berikut :
1. Asma ekstrinsik (alergik), merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh alergen (misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan). Alergen yang paling umum adalah alergen yang perantaraan penyebarannya melalui udara (airborne) dan alergen yang muncul secara musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan ekzema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi menjadi pencetus serangan asma. Gejala asma umumnya dimulai saat anak-anak.
2. Asma intrinsik (non alergik), merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti udara dingin, infeksi saluran napas atas, aktivitas fisik, ekspresi emosi yang berlebihan, dan polusi lingkungan dapat menimbulkan serangan asma. Beberapa agen farmakologi, antagonis beta-adrenergik, dan agen sulfite (penyedap makanan) juga dapat berperan sebagai faktor pencetus. Serangan asma dapat menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat berkembang menjadi bronkhitis dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang
menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (>35 tahun).
3. Asma campuran (mixed asthma), merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma ekstrinsik (alergik) dan asma intrinsik (non alergik) (Muttaqin, 2012;
Utama, 2018).
2.1.3 Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan :
1. Faktor genetik
a. Atopi/ alergi, hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penanggulangannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus, saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin, pria merupakan risiko untuk asma pada anak.
d. Usia, sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5 – 2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur).
c. Alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna makanan).
d. Alergen obat-obatan tertentu (penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesic, antipiretik dan lain- lain).
e. Bahan yang mengiritasi (parfum, household spray dan lain-lain).
f. Ekspresi emosi berlebih atau stres seperti kecemasan dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami kecemasan perlu diberikan konseling untuk mengatasinya. Karena jika belum diatasi, maka gejala asmanya akan sulit diobati.
g. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif, berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
h. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan.
i. Exercise-induced asthma, pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/ olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
j. Perubahan cuaca, cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan) (Priyatna, 2012).
2.1.4 Tanda dan Gejala Asma
Tanda dan gejala yang muncul yaitu hipoventilasi, dispnea, wheezing (mengi), pusing, perasaan yang merangsang, sakit kepala, nausea, peningkatan napas pendek, kecemasan, diaforesis dan kelelahan.
Hiperventilasi merupakan salah satu gejala awal dari asma. Kemudian sesak napas parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing (pada apeks dan hilus). Gejala utama yang sering muncul adalah dispnea, batuk dan mengi.
Mengi sering dianggap salah satu gejala yang ditandai selalu ada apabila serangan asma muncul (Utama, 2018). Tanda dan gejala umum asma meliputi, antara lain :
a. Batuk dengan ataupun tanpa produksi sputum (dahak)
b. Kulit diantara tulang rusuk tampak tertarik ke dalam saat bernapas (retraksi interkostalis)
c. Sesak napas yang semakin memburuk bila disertai dengan latihan atau aktivitas
d. Wheezing (mengi) yang muncul secara episodik dalam periode tanpa gejala lain, lebih buruk pada malam hari atau pagi hari, akan menghilang dengan sendirinya, akan membaik bila minum obat yang membuka saluran pernapasan (bronkodilator), semakin buruk saat menghirup udara dingin, semakin buruk saat melakukan aktivitas fisik, semakin buruk bila disertai refluks, biasanya muncul secara tiba-tiba.
Sedangkan tanda dan gejala yang berat pada asma, antara lain:
a. Bibir dan wajah tampak kebiruan
b. Penurunan tingkat kewaspadaan seperti mengantuk berat atau kebingungan
c. Kesulitan bernapas yang ekstrem d. Denyut nadi meningkat
e. Timbul kecemasan berat karena sulit bernapas f. Berkeringat
Beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin menyertai asma, antara lain:
a. Pola pernapasan abnormal seperti perlu menarik dua tarikan napas untuk menghirup napas dalam-dalam
b. Kadang-kadang terjadi henti napas
c. Nyeri dada dan rasa sesak di dada (Priyatna, 2012)
2.1.5 Klasifikasi Asma
Klasifikasi berdasarkan derajat dari gejala asma :
Tabel 2.1 Klasifikasi Asma
Derajat
Asma Gejala Gejala
Malam Faal Paru Intermiten Bulanan
Gejala <1x/minggu tanpa gejala di luar serangan
Serangan singkat
≤2 kali
sebulan APE ≥ 80%
a. VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik
b. Variabiliti APE <20%
Persisten
ringan Mingguan
Gejala >1x/minggu tetapi <1x/hari
Serangan dapat
mengganggu aktivitas dan tidur
>2 kali
sebulan APE > 80%
a. VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik
b. Variabiliti APE 20-30%
Persisten
sedang Harian
Gejala setiap hari
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
>2 kali
sebulan APE 60-80%
a. VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80%
nilai terbaik
b. Variabiliti APE > 30%
Persisten
berat Kontinyu
Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik terbatas
Sering APE ≤ 60%
a. VEP1 ≤ 60% nilai prediksi APE ≤ 60% nilai terbaik
b. Variabiliti APE > 30%
(Priyatna, 2012)
2.1.6 Patofisiologi Asma
Alergen masuk ke dalam tubuh dapat melalui saluran pernapasan yang akan ditangkap oleh Antigen Presenting Cells (APC). Setelah alergen diproses dalam APC (sel dendritik), kemudian dipresentasikan menjadi sel T helper 2 (Th2) yang akan melepaskan interleukin 4 (IL-4), interleukin 5 (IL-5), dan interleukin 13 (IL-13). IL-4 menyebabkan proliferasi sel B menjadi sel
plasma untuk memproduksi IgE antibodi. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh sel mastosit. Ikatan tersebut menimbulkan degranulasi sel mastosit, dan merangsang keluarnya mediator dalam granul-granul sitoplasma, yaitu histamin, leukotriene, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF- A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), triptase, dan kinin yang memunculkan gejala asma seperti sesak, mengi, dan bronkokonstriksi. Sel Th 2 mengeluarkan Growth Factors (GF) yang menyebabkan terjadinya remodelling jalan napas melibatkan pengaktifan banyak struktur sel yang meningkatkan penyumbatan aliran udara dan hiperresponsif saluran napas (Saputro &
Fazrin, 2017).
2.1.7 Pemeriksaan Asma
a. Pengukuran fungsi paru (spirometri)
Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma
b. Tes provokasi bronkhus
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV sebesar 20%
atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari maksimum dianggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10% atau lebih
c. Pemeriksaan kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik di dalam tubuh
d. Pemeriksaan laboratorium
1. Analisa gas darah (AGD/Astrup)
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik
2. Sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel- sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik
3. Sel eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm3 baik asma ekstrinsik ataupun intrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat
4. Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit yang lebih dari 15.000/mm3 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea
e. Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronkhial biasanya normal, tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain (Muttaqin, 2012).
2.1.8 Penatalaksanaan Asma Pengobatan Nonfarmakologi
a. Penyuluhan, penyuluhan ini ditujukan untuk peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, menggunakan obat secara benar dan berkonsultasi pada tim kesehatan
b. Menghindari faktor pencetus, klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asma yang ada pada lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk intake cairan yang cukup bagi klien
c. Fisioterapi, dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus.
Ini dapat dilakukan dengan postural drainase, perkusi, dan fibrasi dada Pengobatan Farmakologi
a. Agonis beta: metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol, bekerja sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4 kali semprot, dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit
b. Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 kali sehari. Golongan metilxantin adalah aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan
c. Kortikosteroid, jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol dengan dosis 4 kali semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat
d. Kromolin dan Iprutropioum bromide (atroven), kromolin merupakan obat pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis Iprutropioum bromide diberikan 1-2 kapsul 4 kali sehari (Muttaqin, 2012).
2.2 Kontrol Asma
2.2.1 Definisi Kontrol Asma
Kontrol asma adalah kontrol manifestasi penyakit asma yang terdiri dari tiga tingkatan yaitu terkontrol total, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. Asma terkontrol adalah tidak ada atau minimal gejala harian, keterbatasan fisik atau aktivitas, gejala atau terbangun malam karena asma, penggunaan obat pelega dan fungsi paru normal atau mendekati normal serta tidak ada eksaserbasi. Banyak penderita mengalami serangan sesak napas berat tidak memperhatikan timbulnya batuk-batuk terutama pada malam atau dini hari yang mengganggu tidur mereka, padahal keadaan ini menunjukkan bahwa asma yang diderita sedang atau sudah tidak terkontrol.
Bila hal ini tidak cepat ditanggulangi, akan menyebabkan eksaserbasi asma
yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita, kehilangan hari kerja produktif, gangguan aktivitas sosial dan berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bahkan menyebabkan kematian (Priyatna, 2012).
2.2.2 Tingkat Kontrol Asma
Tabel 2.2 Kontrol Asma
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Sebagian
Tidak Terkontrol Gejala harian Tidak ada ( dua
kali atau kurang per minggu)
Lebih dari dua kali
seminggu Tiga atau lebih gejala dalam kategori asma terkontrol
sebagian, muncul sewaktu-waktu dalam seminggu Pembatasan
aktivitas Tidak ada Sewaktu-waktu
dalam seminggu Gejala nokturnal/
gangguan tidur (terbangun)
Tidak ada Sewaktu-waktu dalam seminggu Kebutuhan akan
reliever atau terapi rescue
Tidak ada (dua kali atau kurang dalam seminggu)
Lebih dari dua kali seminggu
Fungsi Paru (PEF atau FEV1)
Normal < 80% (perkiraan atau dari kondisi terbaik bila diukur) Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau lebih
dalam setahun Sekali dalam seminggu
(Sulistyowati et al., 2016)
2.2.3 Pengukuran Kontrol Asma
Kontrol asma sebagai landasan tujuan dalam strategi manajemen karena tingkat kontrol asma berfungsi untuk mengarahkan pilihan terapi yang tepat. GINA membuat pedoman penatalaksanaan asma yang bertujuan untuk mencapai asma yang terkontrol. Laporan data GINA hingga tahun 2006 juga menitikberatkan pada kontrol asma dan bukan lagi pada
tatalaksana serangan asma akut. Kontrol asma dinilai melalui kuesioner ACT (Asthma Control Test). Kuesioner ini berisi 5 pertanyaan dan hasil kuesioner ACT digunakan untuk mengelompokkan kondisi klinis pasien ke dalam terkontrol total terkontrol sebagian, atau tidak terkontrol (Ciprandi et al., 2015; Haryanti et al., 2016; Medison & Rustam, 2014).
2.3 Kecemasan
2.3.1 Definisi Kecemasan
Kecemasan atau ansietas merupakan penilaian dan respon emosional terhadap sesuatu yang berbahaya. Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kondisi dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang berlebihan terhadap kondisi ketakutan, kegelisahan, bencana yang akan datang, kekhawatiran atau ketakutan terhadap ancaman nyata atau yang dirasakan. Menurut Stuart (2006), kecemasan berbeda dengan rasa takut yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya.
Berbeda dengan Videbeck, yang menyatakan bahwa takut tidak dapat dibedakan dengan cemas, karena individu yang merasa takut dan cemas mengalami pola respon perilaku, fisiologis, emosional dalam waktu yang sama. Dapat disimpulkan bahwa cemas merupakan reaksi atas situasi baru dan berbeda terhadap suatu ketidakpastian dan ketidakberdayaan. Perasaan cemas dan takut merupakan suatu yang normal, namun perlu menjadi perhatian bila rasa cemas semakin kuat dan terjadi lebih sering dengan konteks yang berbeda (Saputro & Fazrin, 2017).
2.3.2 Gejala Kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh sesorang, respon kecemasan antara lain:
a. Respon fisiologis terhadap kecemasan
Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis).
Serabut saraf simpatis mengaktifkan tanda-tanda vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh. Tanda dan gejalanya seperti sakit perut, sakt kepala, mual, muntah, demam ringan, gelisah, kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan mudah marah.
b. Respon psikologis terhadap kecemasan
Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah, terdapat ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, menghindar, dan sangat waspada.
c. Respon kognitif terhadap kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses pikir maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapang persepsi, bingung, sangat waspada, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut pada cedera atau kematian dan mimpi buruk.
d. Respon Afektif terhadap kecemasan
Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, khawatir, mati rasa, rasa bersalah atau malu, dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan (Saputro & Fazrin, 2017).
2.3.3 Klasifikasi Kecemasan
Kecemasan atau ansietas menurut Stuart dan Sundeen, yaitu:
a. Kecemasan ringan
Pada tingkat kecemasan ringan seseorang mengalami ketegangan yang dirasakan setiap hari sehingga menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Seseorang akan lebih tanggap dan bersikap positif terhadap peningkatan minat dan motivasi. Tanda-tanda kecemasan ringan berupa gelisah, mudah marah, dan perilaku mencari perhatian.
b. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Pada kecemasan sedang, seseorang akan kelihatan serius dalam memperhatikan sesuatu. Tanda-tanda kecemasan sedang berupa suara bergetar, perubahan dalam nada suara, takikardi, gemetaran, peningkatan ketegangan otot.
c. Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi, cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi menurunkan kecemasan dan fokus pada kegiatan lain berkurang. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu daerah lain. Tanda-tanda kecemasan berat berupa perasaan terancam, ketegangan otot berlebihan, perubahan pernapasan, perubahan gastrointestinal (mual, muntah, rasa terbakar pada ulu hati, sendawa, anoreksia, diare), perubahan kardiovaskuler dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.
d. Panik
Panik berhubungan dengan ketakutan dan teror, karena mengalami kehilangan kendala. Orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan, panik melibatkan disorganisasi kepribadian, dengan panik terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional.
Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian (Mardjan, 2016; Saputro & Fazrin, 2017).
2.3.4 Pengukuran Kecemasan
Pengukuran tingkat kecemasan menggunakan skala kecemasan, skala kecemasan yang digunakan adalah skala kecemasan dari HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) dengan item yang dimodifikasi. Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya gejala pada penderita asma yang mengalami kecemasan (Narti, 2019).
Hamilton Anxiety Scale (HAS) disebut juga dengan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS), pertama kali dikembangkan oleh Max Hamilton pada tahun 1956, untuk mengukur semua tanda kecemasan baik kecemasan psikis maupun somatik. HARS terdiri dari 14 item pertanyaan untuk mengukur tanda adanya kecemasan pada anak dan orang dewasa. HARS telah distandarkan untuk mengevaluasi tanda kecemasan pada penderita asma yang sudah menjalani pengobatan terapi, setelah mendapatkan obat antidepresan dan setelah mendapatkan obat psikotropika (Saputro & Fazrin, 2017).
2.4 Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Tingkat Kontrol Asma Asma merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan tetapi dengan diagnosis, pengobatan dan edukasi pasien yang tepat dapat menghasilkan manajemen dan kontrol asma yang baik. Serangan asma yang dialami oleh individu dapat disebabkan oleh tiga faktor pemicu yaitu alergen, infeksi dan psikologis. Faktor pemicu yang disebabkan oleh psikologis yang dapat menjadi pencetus asma pada beberapa individu yaitu stres. Stres merupakan gangguan psikologis yang sering kali terjadi pada penderita asma
dan dapat mengantarkan individu pada kecemasan. Kecemasan dan asma memiliki hubungan yang sangat rumit. Saat ini tidak ada bukti yang kuat bahwa kecemasan menyebabkan asma. Tetapi ada banyak bukti bahwa kecemasan dapat memperburuk gejala asma. Pertama, kecemasan dapat menyebabkan penggunaan obat bronkodilator terlalu sering dan ketidakpatuhan pengobatan. Kedua, kecemasan terkait dengan hiperventilasi, disfungsi pita suara dan disfungsional pernapasan sehingga mengakibatkan gejala asma dan sebagai pemicu asma. Ketiga, kecemasan dapat mengubah persepsi gejala. Keempat, faktor psikologis dan emosional dapat memiliki efek biologis pada imunologi, hormonal dan fungsi otonom yang berdampak pada keparahan asma dan kontrol emosi (Ciprandi et al., 2015).
Tingkat kontrol asma dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah ekspresi emosi yang berlebihan misalnya kecemasan. Pasien asma cenderung memiliki kecemasan sehingga dapat mempengaruhi kontrol asma dan kualitas hidup. Kecemasan cenderung memperburuk penyakit asma. Kecemasan dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang dapat menimbulkan serangan. Pasien dengan kontrol asma yang buruk lebih sering terjadi pada perempuan, orang tua, fungsi paru yang buruk, obesitas, stress dan kecemasan. Kecemasan dan asma mempunyai hubungan yang signifikan.
Semakin buruk kontrol asma maka semakin berat kecemasan yang terjadi dan begitu sebaliknya (Priyatna, 2012; Utama, 2018).