22 BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu
Di dalam bab dua ini dijelaskan mengenai penelitian terdahulu, yang dilakukan oleh orang lain pada penelitian sebelumnya, yang dimana kontek kajian penelitiannya memiliki tema yang serupa dengan peneliti. Penelitian terdahulu tersebut kemudian dijadikan sebagai bahan rujukan dalam research guna mendukung keabsahan dan kebaharuan suatu penelitian. Sehingga didalam riset ini menggunakan bahan rujukan atau literature berupa jurnal yang terkait dengan E-government, Human Error, dan penggunaan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Kemudian, dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai teori E-government, Human Error dan juga LPSE.
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Moh. Sholahuddin Al- Ayyubi, Heni Sulistiani, Muhaqiqin, Fajar Dewantoro, Auliya R. Isnain (2021) menyebutkan bahwa pengembangan E-Government merupakan suatu bentuk usaha dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, dimana unsur pelayanan secara efektif, efisien dan transparan (Al-ayyubi et al., 2021).
Melalui sistem elektronik governmet dengan basis pelayanan secara online diharapkan dapat memudahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan.
Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa penerapan E-Government di desa Banjar yakni dengan mengeluarkan fitur atau sistem permohonan surat dan pengaduan masyarakat berbasis daring atau online, masih terdapat beberapa kekurangan yang dapat mengurangi velue daripada sistem yang dirancang, kekurangan yang dimaksud adalah dalam hal kelengkapan berkas yang dimohonkan. Adapun kesamaan penelitian tersebut dengan kajian peneliti adalah terdapat pada pengembangan dan penerapan E-Government sebagai bentuk upaya untuk meningkatkan pelayanan yang efektif dan efisien.
Di dalam jurnal yang ditulis oleh Nur Hidayati, (2016) yang berjudul “ E-government dalam Pelayanan Publik, Studi Khasus tentang Faktor-faktor Penghambat Inovasi Layanan E-samsat Jatim di Kabupaten Gresik”. Dalam penelitiannya tersebut peneliti membahas terkait faktor yang menjadi penghambat dalam pelayanan publik secara elektronik. Dengan meminjam teori inovasi governance menurut Sabar yang menyebutkan bahwa praktik inovasi governance sulit dilaksanakan pada sektor pelayanan publik. Kondisi tersebut didasarkan melalui dua faktor yang dinilai memiliki pengaruh dalam pelaksanaan e-government. Dua faktor yang dimaksud adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang pada dasarnya berasal dari dalam induk suatu organisasi pelaksana atau penyedia layanan, sedangkan faktor eksternal adalah masyarakat sebagai pengguna layanan. Berdasarkan dua faktor tersebut hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa pelaksanaan e-government di Kabupaten Gresik dalam layanan e-samsat belum maksimal, karena terhambat oleh adanya 2 faktor sebagaimana yang telah disebutkan diatas (Hidayati, 2016).
Sedangkan pada jurnal yang ditulis oleh Lia Muliawaty & Shofwan Hendryawan, (2020) dengan judul “Peranan E-Government Dalam Pelayanan Publik (Studi Kasus: Mal Pelayanan Publik Kabupaten Sumedang) dalam penelitiannya peneliti menyebutkan bahwa kegagalan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan ataupun program disebabkan oleh adanya manajamen atau tata kelola yang buruk, sehingga tidak berjalan secara efektif.
Kemudian kehadiran e-government dinilai bukan lagi sebagai suatu pilihan dalam inovasi pelayanan publik, akan tetapi e-governmet sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk dapat menerapkan sebagai mana tujuannya.
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis deskriptif, di dalam menguraikan permasalahan yang dikaji. Penelitian tersebut pada dasarnya hanya mengkaji terkait peranan e-governmet dalam pelayanan publik, peneliti tidak menyebutkan faktor apa saja yang
berpengaruh terhadap penerapan e-governmet (Muliawaty & Hendryawan, 2020).
Lebih lanjut penelitian yang dilakukan oleh Kusuma Dewi Arum Sari (2021) ) yang berjudul “Pelaksanaan E-government di Pemerintah Kabupaten Ponorogo”. Penelitian tersebut memfokuskan kajian penelitian pada pelaksanaan E-government dalam sektor publik yakni berupa Aplikasi Pendaftaran Antrian Paspor Online (APAPO). Dimana kehadiran aplikasi tersebut merupakan salah satu bentuk dari penerpan elektronic government dalam pelayanan sektor publik. Secara praktis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penerapan (APAPO) dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pembuatan paspor.
Namun yang menjadi suatu kendala di dalam pelaksanaanya seperti halnya terjadi unexpectied error akibat NIK (No Induk Keluarga) yang tidak valid terhadap tanggal lahir pemohon, selain itu persoalan pengguna pada lansia dimana kemampuan teknologinya yang cukup terbatas juga menjadi penghambat dalam pelaksanaan E-government (Dewi et al., 2021).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Aprianty, 2016) yang berjudul “Penerapan Kebijakan E-Government Dalam Peningkatan Mutu Pelayanan Publik Di Kantor Kecamatan Sambutan Kota Samarinda” yang melihat bahwa benar manusia menjadi salah satu faktor penghambat dalam penerapan e-government. Namun peneliti melihat dari sisi kapasitas sumber daya manusianya. Keterbatasan sumber daya manusia berdampak langsung pada proses pelaksanaan e-government. Selain itu sumber daya anggaran juga memiliki konstribusi dalam hambatan pelaksanaan e-government. Didalam penetian tersebut peneliti menggunakan indikator pengembangan e- government yang terdiri dari empat variabel diantaranya adalah support, capacity, dan velue. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Aprianty, 2016) yang berbicara mengenai faktor kesusksesan dalam
penerapan e-government. Adapun beberapa faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pengguna dan stakeholders 2. Perencanaan yang baik
3. Menggunakan portal atau aplikasi 4. Pelatihan
5. Usabilitas sistem yang baik
Didalam penelitiannnya untuk memperoleh data dan hasil kajian peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Dimana pendekatan kuantitatif dilakukan melalui kegiatan survey berbasis quisoner. Lebih lanjut penelitian yang menggunakan indikator pengembangan e-government sebagaimana yang dilakukan oleh (Aprianty, 2016) adalah penelitian yang dilakukan oleh (Kurniawan & K. Rosni, 2016) dengan judul “Pengaruh Pimpinan dan Kapasitas Sumberdaya Manusia Terhadap Kinerja Pegawai dalam Pelaksanaan E-procurement di Kabupaten Banyuasin”. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa dukungan pimpinan dan kapasistas sumberdaya manusia terhadap kinerja pegawai di dalam pelaksanaan e- procurement di Kabupaten Banyuasin. Pada dasarnya dalam pelaksanaan suatu kebijakan peran manusia selaku implementator kebijkan tidak bisa dilepaskan. Inilah mengapa kapasitas sumberdaya manusia (SDM) sangat berpengaruh terhadap kinerja pegawai dalam pelaksanaan kebijakan. Dilain sisi dukungan dari pimpinan juga berpengaruh terhadap kinerja pegawai dalam pelaksanaan kebijakan. Dengan demikian hubungan antara pimpinan dengan pegawai harus dibangun dengan baik, demi terlaksananya kebijakan dengan maksimal.
Penelitian lain yang dilakukan oleh (Sumangkut et al., 2014) yang melakukan pengkajian terhadap akuntabilitas penggunaan sistem pengadaan elektronik di Kabupaten Minahasa Selatan, menyebutkan dalam hasil
penelitianya bahwa penggunaan e-tendering di kabupaten Minahasa Selatan ternyata melenceng dari tujuan awal dari dihadirkanya sistem pengadaan secara elektronik. Dengan demikian jika dikorelasikan dengan indikator pengembangan e-govermnet maka unsur-unsur di dalamnya yang terdiri dari support, capacity, dan velue tidak terpenuhi. Dengan tidak tercapainya tujuan pelaksanaan kebijakan, maka secara tidak langsung penerapan e-government melalui sistem pengadaan elektronik yang menggunakan SPSE V.3.5 dapat dikatakan gagal.
Lebih lanjut hasil penelitian yang mengkaji mengenai “Mitigasi Kegagalan Guna Mewujudkan Keberlanjutan E- Government” oleh (Puspitasari & Teguh, 2021) menyebutkan bahwa di dalam keberlanjutan e- government tidak hanya berbicara mengenai waktu implementasi semata, namun juga terkait bagaimana dampak e-government terhadap stakeholder.
Berbicara mengenai kegagalan dalam pelaksanaan e-government oleh peneliti disebutkan bahwa kegagalan tidak hanya disebabkan oleh masalah teknologi saja, akan tetapi faktor sosial seperti halnya manusia dan organisasi juga dapat memberikan kontribusi terhadap kegagalan pelaksanaan e-government. Lagi- lagi faktor manusia menjadi salah satu penyebab atau salah satu penghambat dalam pelaksanaan e-government.
(Suryani, 2017) dalam penelitianya yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pengadaan Barang Dan Jasa Secara Elektronik (E-Procurement) Pada Unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik (Lpse) Pemerintah Provinsi Riau” menyebutkan bahwa ketidakmaksimalan pelaksanan sistem layanan pengadaan elektornik di provinsi Riau dipengaruhi oleh adanya kapasitas dan kapabilitas sumber daya mansianya. Kurangnya SDM pengelola LPSE seringkali mengakibatkan adanya ganguan kerja sehingga pelaksanaan LPSE tidak maksimal.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Nawangsari & Isharijadi, 2018) dengan melakukan pengkajian terhadap efektivitas penggunaan e- procurement, yang mana merupakan suatu bentuk pengejawantahan dari e- government. Sedangkan teori yang digunakan untuk melihat efektivitasnya peneliti menggunakan teori efektivitas. Yang terdiri dari beberapa indikator yakni kualitas program, ketercapaian program, ketepatan waktu, ketepatan pendayagunaan sarana dan prasarana. Hasil penelitiannyaa disebutkan bahwa human error di dalam proses penginputan harga pada aplikasi pelelangan online dapat menyebabkan harga tidak dapat dirubah ke angka yang lebih tinggi lagi, akibatnya kerugianlah yang terjadi. Namun meskipun demikian ternyata mayoritas responden menilai bahwa sistem pengadaan secara elektronik lebih bagus daripada sistem pengadaan secara konvensional atau tradisional, karena menurut mereka penggunaan sistem berbasis elektronik ini dapat menekan tindakan KKN. Inilah mengapa banyak responden yang mendukung penggunaan sistem pengadaan secara elektronik.
Lebih lanjut penelitian yang berjudul “Analisis Kesiapan Infrastruktur Teknologi Informasi Dalam Mewujudkan E-Government” yang dilakukan oleh (Gusman, 2018) dengan menggunakan teori e-government dengan menggunakan metode pemeringkatan e-government, menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa kegagalan e-government salah satunya disebabkan oleh adanya ketidaksiapan infrastruktur yang berperan sebagai tumpuan terbawah sebelum bangunan didirikan. Artinya infrastruktur merupakan landasan utama dalam pelaksanaan e-government. Beberapa infrastruktur yang dimaksud dalam penelitian tersebut hanya disebutkan dari segi faktor teknologinya saja yang mana meliputi server, dan jaringan yang terdiri dari (LAN, tower, dan internet). Padahal faktor lain seperti halnya human error merupakan salah satu faktor yang memiliki penengaruh yang cukup krusial di dalam pelaksanaan e- government. Sebagaiamana yang disebutkan oleh (Ramdani, 2018) yang menjelaskan bahwa dalam kaitanya dengan e-government terdapat tiga hal
mendasar yang perlu dipahami, yakni tentang bagaimana pengelolaan infrastruktur, pemberian solusi,pengembangan portal publik yang sudah dibuat serta sumber daya yang ready dalam menerapkan aplikasi e- government. Dengan demikian maka peran sumber daya manusia sebagai oprator daripada sistem yang telah dibuat, memiliki pengaruh yang cukup banyak. D
Sedangkan pada penelitian yang berjudul “Contributing factors to E- government service disruptions” yang dilakukan pada (2016 ) oleh Nurul Aisyah Sim Abdullah, Nor Laila Mohd Noor dan Emma Nuraihan Mior Ibrahim menjelaskan bahwa terdapat faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan e-government. Didalam penelitianya tersebut peneliti menggunakan pendekatan hipotetik – deduktif dengan meminjam teori e- goverment lalu indikator atau variabel ukuran keberhasilan e-governmt yang digunakan adalah manusia, proses, dan teknologi. Hasil penelitianya menunjukkan bahwa kesalahan manusia atau human error memiliki kontribusi yang besar dalam pelaksanaan e-government di Malaysia. Pada dasarnya manusia merupakan pencipta, pengguna, pengelola sekaligus pemelihara teknologi itu sendiri. Sehingga cukup masuk akal ketika dalam pelaksanaan e-government fakor manusia memiliki pengaruh besar. (Aisyah et al., 2016). Maka keberadaan unsur human error atau kesalahan manusia dalam penerapan e-government tidak bisa dilupkan. Inilah mengapa didalam penelitian tersebut disebutkan bahwa manusia menjadi salah satu unsur atau faktor penghambat dalam pelaksanaan e-government salah satunya dengan adanya human error. Oleh karena batasan dalam suatu kajian penelitian, maka didalam penelitian tersebut tidak digambarkan ataupun dijelaskan secara lebih rinci hambatan yang berupa human error dalam pelaksanaan e-government tersebut.
Reason 1990 dalam (Aisyah et al., 2016) menyebutkan bahwa terdapat dua kategori kegagalan akibat manusia yang pertama adalah kesalahan dan
yang kedua adalah pelanggaran. Pada hasil penelitanya tersebut disebutkan bahwa sebagian besar pelayanan publik di Malaysia menggunakan e- government, namun yang disanyangkan adalah dari pelayanan yang dilakukan dengan e-government sering mengalami gangguan. Salah satu faktor yang memiliki kontribusi besar gangguan pada penerapan e-government adalah ganguan yang berasal dari kegiatan manajerial, perencanaan, tidakan dan keputusan. Dalam artian kontribusi gangguan akibat proses dan teknologi tidak begitu besar. Di dalam penelitianya tersebut peneliti menggunggunakan pendekatan hipotetik-deduktif, yang dimana penjelasan atas fenomena atau kejadianya didasarkan pada beberapa teori terdahulu.
Penelitian lain yang mengkaji terkait penerapan e-government dalam pengadaan barang dan jasa dilakukan oleh (Yuliar, 2017) dengan judul
“Implementasi e- Procurement dalam Tata Kelola Barang dan Jasa pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di Kota Probolinggo”. Pada penelitian tersebut peneliti memfokuskan kajian terhadap penerapan e- procurement dalam tata kelola barang dan jasa melalui (LPSE) di Kota Probolinggo. Dalam penelitianya peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa penerapan e- procurement belum sepenuhnya dapat dikatakan sukses atau berhasil. Perlu adanya peningkatan, baik dari segi infrastruktur, organisasi, sumber daya manusia.
Dalam penelitian tersebut, terdapat beberapa kesamaan terhadap tema penelitian peneliti, yakni terdapat pada tema kajian yang mengenai penerapan e-government melalui layanan pengadaan secara elektronik (LPSE). Namun pada penelitian ini, peneliti mengambil sudut pandang yang berbeda. Dimana peneliti memiliki fokus kajiannya pada e-government dan human error didalam penggunaan layanan pengadaan secara elektronik (LPSE). Dengan demikian peneliti ingin melihat bagaimana penerapan e-government malalui sistem (LPSE) dan apa dampak yang ditimbulkan akibat adanya human error.
2.2 Teori / Konsep
2.2.1 Pengertian E- Government
Sebagai bentuk pengejawantahan pelayanan publik yang efektif, efisien, transparatif dan akuntabel, maka kehadiran e-government yang merupakan inovasi pemerintah dalam mewujudkan prinsip e-governance merupakan langkah yang baik bagi transformasi sistem pelayanan sektor publik. Menurut Indrajit dalam (Pratiwi & Muslihudin, 2018) e-government disebutkan sebagai pemanfaatan atau penggunaan teknologi informasi guna mempermudah kepentingan publik yang dimana tujuannya adalah untuk menyelenggarakan kepentingan pemerintahan berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan public service. Berdasarkan World Bank dalam (B. Irawan, n.d.) e- government di definisikan sebagai penggunaan informasi oleh lembaga pemerintahan dimana teknologi yang memiliki kekuatan untuk mengubah hubungan kepada masyarakat/ warga negara, bisnis ataupun perangkat pemerintah yang lainya. Sehingga disini peran e-government adalah sebagai suatu sistem yang dirancang untuk mempersingkat dan mempermudah proses pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, juga sebagai alat untuk mendorong sistem pemerintahan yang lebih transparan, sehingga praktik tindak pidana korupsi dapat diminimalisir.
Sedangkan menurut (Cantika & Tua, 2021) e-government disebut dapat mempermudah dalam hal pelayanan publik, penyampaian informasi, dan juga pembangunan nasional. Lebih lanjut oleh (Nugroho, 2016) e-governmet diartikan sebagai pemanfaatan teknologi informasi, komunikasi, dan internet yang dimana berkemampuan untuk menstransformasi hubungan warga negara, pebisnis dan lembaga pemerintahan. Pada dasarnya e-government merupakan suatu inovasi yang dirancang oleh pemerintah yang dimana salah satu tujuannya adalah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap persepsi pelayanan pemerintah, yang sering dinilai buruk oleh masyarakat.
Sistem birokrasi yang seringkali dinilai berbelit-belit menjadi salah satu faktor
masyarakat mulai distrust terhadap pelayanan pemerintah. Harapanya melalui penerapan e-government dalam urusan pelayanan publik dapat memangkas sistem birokrasi yang terlalu gemuk dan juga diharapkan dapat menghadapi segala bentuk perubahan.
E-government sendiri diperkenalkan pada institusi pemerintahan dimulai sejak akhir tahun 1990-an. Namun dikala itu pemerintah Indonesia masih belum menerapkan pelayanan publik secara elektronik. Lebih tepatnya setelah dikeluarkanya Inpres (Instruksi Presiden) No. 6 Tahun 2001 tentang telematika, yang subtansinya berisikan kewajiban bagi setiap instansi pemerintah untuk menggunakan teknologi telematika, dalam pelayananya, sehingga prinsip good government segera dapat terealisasikan.
2.2.2 Indikator Pelaksanaan E-government
Berdasarkan teori pengembangan e-government, maka menurut Indrajit terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan e-government. Tiga indikator keberhasilan dalam pelaksanaan e-government menurut Indrajit dalam (A. Irawan, 2016) adalah sebagai berikut:
1. Support
Salah satu indikator utama yang menjadi penentu keberhasilan e-government adalah adanya dukungan yang kuat dari para pejabat pemerintah. Dukungan yang dimaksud yakni berupa keinginan dan keseriusan (political will) dari para pejabat politik pemerintah dalam melaksanakan konsep e-government. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwasanya tanpa adanya political will segala bentuk program pembangunan tidak akan berjalan dengan lancar, sebagus apapun bentuk rogram pembangunannya.
2. Capacity
Indikator penentu yang kedua yakni terkait capacity atau kepasitas. Dimana setidaknya terdapat tiga kapasitas yang harus dimiliki oleh pemerintah dalam hal pelaksanaan e-government, yakni sebagai berikut:
c. Financial / Anggaran
Anggaran diperlukan untuk mendukung keterlaksanaan suatu program. Tanpa anggaran yang cukup maka program yang hendak dijalankan tidak akan berjalan dengan lancar. Inilah mengapa kecukupan sumber daya anggaran memiliki nilai yang penting dan krusial.
d. Sumber daya manusia dan infrastruktur
Sumber daya manusia diperlukan sebagai penggerak suatu program kebijakan. Dimana manusialah yang merancang, menggunakan dan memelihara apa yang sudah direncanakan.
Sehingga dalam konteks ini, peran manusia sebagai implementator kebijakan memiliki peran dominan. Namun disamping itu sumber daya manusia yang dihadirkan sebagai pelaksana kebijakan tersebut juga harus dibarengi dengan kemampuan yang didasarkan pada background pendidikan dan keahlianya. Sehingga konsep the right man on the right place dapat terpenuhi. Kemudian selain kemampuan dari segi SDM-nya, ketersedian infrastruktur teknologi jug memiliki nilai yang sangat penting didalam pelaksanaan e-government. Konsep electronic government yang mecoba memberikan inovasi dalam sebuah pelayanan yang berbasis online atau elektronik, maka unsur terpentingnya seperti ketersedian jaringan internet yang stabil menjadi suatu keutamaan untuk kesuksesan e-government.
3. Value
Dalam pelaksanaan atau penerapan e-government yang tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas suatu pelayanan. Maka pemerintah sebagai penyedia layanan tentunya harus bijak dalam menentukan pilihan terhadap sistem atau aplikasi apa yang harus digunakan. Sistem ataupun aplikasi yang digunakan harus memiliki nilai manfaat. Pada dasarnya sistem atau aplikasi yang digunakan harus memiki manfaat baik untuk pemerintah sendiri selaku (supply side) penyedia layanan dan masyarakat sebagai pengguna layanan (demand side). Inilah mengapa pemerintah harus jeli dalam melakukan decision making. Dengan begitu konsep yang ditawarkan oleh e-government dapat terealisasikan dan prinsip good governance dapat dijalankan. Sehingga pada tahap pelaksanaanya, dapat memberikan output yang baik terhadap kualitas pelayanan.
2.2.3 Tujuan Pelaksanaan E-government
Setelah diterbitkanya Inpres No. 6 Tahun 2001 tentang telematika, yang dimana isinya adalah memberikan kewajiban kepada setiap instansi pemerintahan untuk menerapkan e-government dalam pelayanan publik. Maka pada tahun 2003 disusul kembali dengan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi nasional pengembangan e-government.
Yang dimana dengan diterbitkanya Inpres tersebut menandai bahwa pemerintah memiliki tekad dan konsistensi yang kuat dalam pelaksanaan electronic government. Berdasarkan Inpres (Instruksi Presiden) No. 3 Tahun 2003 menyebutkan bahwa tujuan dikembangkanya e-government sendiri di direct untuk mencapai empat tujuan yakni, sebagai berikut:
1. Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang berkualitas dan dapat dijangkau diseluruh wilayah Indonesia dengan tanpa batas waktu dan biaya terjangkau.
2. Pembentukan hubungan interaktif bersama dunia usaha untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional dan persaingan perdagangan internasional.
3. Membentuk saluran komunikasi dan mekanisme dengan lembaga-lembaga negara dan juga memfasilitasi dialog publik.
4. Membentuk sistem tatakelola dan proses kerja yang transparan, serta efisien. (Aprianty, 2016)
Tujuan pelaksanaan e-government sebagaimana yang tercantum pada Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 dapat dipahami bahwasanya electronic government dirancang untuk membentuk pola atau sistem pelayanan publik ke arah yang lebih baik dan berkualitas. Dengan pelayanan yang berbasis elektronik dapat memberikan kemudahan bagi setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan yang ekonomis, cepat, efiesien serta efektif. Pada dasarnya penggunaan e-government dirancang untuk mempermudah gerak aktivitas, baik aktivitas dalam melayani masyarakat, ataupun aktivitas dalam melakukan komunikasi atau interaksi antar lembaga pemerintahan, melihat Indonesia yang memiliki bentuk wilayah kepulauan. Maka penerapan e- governemnt dapat dimanfaatkan untuk mendukung gerak ruang aktivitas atau interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, pemerintah dengan dunia usaha, dan pemerintah dengan lembaga pemerintahan yang lain.
2.2.4 Tahapan Pengembangan E-government
Berdasarkan Inpres No. 3 Tahun 2003 yang sudah disebutkan bahwasanya bagi setiap lembaga atau instansi pemerintahan diwajibkan untuk menerapkan electronic government di dalam pelayanannya. Sehingga amanah yang diamanatkan dalam Inpres No 3 Tahun 2003 tersebut, menjadi symbol
bahwasanya pemerintah Indonesia siap melaksanakan pelayanan publik berbasis internet. Menyikapi instruksi presiden akan keharusan pelaksanaan e- government maka Hermawan Kertawijaya dkk dalam (Angraini, 2015) mengusulkan bahwa didalam pengembangan e-government diperlukan adanya tingkatan tahapan pengembangan e-government. Adapun tahapan pengembangan e-government yang dimaksud oleh Herman Kertawijaya adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama : Menyediakan jaringan (website) layanan publik. Tahapan pertama dalam pengembangan e- government adalah dengan menghadirkan jaringan atau website yang digunakan dalam pelayanan.
2. Tahap Kedua : Interaksi
Setelah jaringan atau website pelayanan telah dibentuk maka dari website atau jaringan tersebut, harus dapat duganakan sebagai tempat untuk berinteraksi antara masyarakat dan pemerintah.
3. Tahap Ketiga: Transaksi
Untuk mendukung keberlangsungan kehadiran website, maka kemudian harus dilengkapi dengan fasilitas transaksi pelayanan publik pemerintah.
4. Tahap Keempat: Transformasi
Dari dibentuknya website pelayanan publik dari pemerintah, maka kualitas pelayanan pemerintah dapat meningkat secara terintegrasi.
Hampir sama dengan Herman Kertawijaya, PIU UK dalam (Pujiyono, n.d.) menyebutkan bahwa tahapan pengembangan e- government terdiri dari tiga tahapan yakni publikasi, interaksi, dan transaksi. Berdasarkan dua pandangan terkait tahapan e-government diatas, maka dapat dipahami bahwasanya maksud dan subtansinya sama.
Dimana dalam pengembangan e-government tahapan pertama yang perlu dilakukan adalah menciptakan atau menghadirkan alat / sistem / jaringan / website yang digunakan dalam pelayanan. Tanpa adanya website yang dibentuk terlebih dahulu, maka pastinya e-government tidak akan dapat berjalan. Pada tahapan kedua, website atau jaringan yang dibentuk harus dapat menjadi tempat atau ruang interaksi bagi pemerintah dan masyarakat. Tahap ketiga, website harus mampu menjadi ruang untuk transaksi pelayanan bagi pemerintah. Sehingga dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi dan akuntabilitas sebuah pelayanan. Pada tahap terakhir diharapkan dapat mengejawantahkan daripada tujuan e-government yang mana dapat meningkatkan pelayanan secara terintegrasi. Kehadiran website yang dibentuk dapat memberi perubahan model pelayanan publik.
2.2.5 Human Error Pada Pelaksanaan E-government
Human error atau kesalahan manusia merupakan komponen penyebab adanya kesalahan dalam oprasional kerja, yang mana dapat dialami oleh semua sumber daya manusia di setiap organisasi (Achir, 2014). atau dapat dikatakan sebagai kegagalan manusia yang terjadi ketika rencana yang diproyeksikan oleh otak manusia memadai akan tetapi tindakan yang dilakukan tidak berjalan sesuai dengan apa yang diproyeksikan (Aisyah et al., 2016). Jika dalam konteks human error pada pelaksanaan e-government dapat dimaknai sebagai kegagalan sumber daya manusia pemerintah dalam menjalankan atau menerapkan elektonic government. Artinya SDM pemerintah dapat menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan e-government, salah satu penyebabnya jika dilihat berdasarkan klasifikasi human error menurut Sutalaksana adalah human error terjadi erat kaitanya dengan persoalan knowlage atau pengetahuan, kapabilitas, kondisi psikologi, dan pengalaman kerja.
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang mengkaji terkait sumber daya manusia adalah salah satu faktor pembanghambat pelaksanaan e-government Nurmawan et al., (2019) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sumberdaya manusia (SDM) menjadi salah satu kendala dalam penerapan sistem Terminal Parkir Elektrnonik (TPE) yang merupakan bentuk perwujudan dari smart city di Kota Bandung.
Kurangnya SDM dibidang IT menjadi salah satu penghambat dari segi kapabilitas sumberdaya manusianya dalam penerapan pelayanan berbasis IT. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ulfa, (2019) juga menyebutkan hal serupa, dimana jika berbicara menganai pemerintah yang berperan sebagai public services maka keterlibatan yang nampak terjadi adalah pengguna (masyarakat) dan pihak yang memberi pelayanan (pemerintah).
Dua unsur yang terlibat disana merupakan sumber daya manusia yang menjadi penggerak daripada sistem yang telah dibentuk. Sehingga dua unsur tersebut harus mampu menjalankan sistem yang sudah dibentuk.
Misalnya dalam penelitian tersebut bentuk e-government yang digunakan adalah pelayanan publik di bidang e-perizinan. Dijelaskan bahwa sumber daya aparatur sipil negara yang tidak memiliki keahlian dalam megelola perizinan serta masyarakat yang masih belum paham dalam melakukan pendaftaran online menjadi salah satu penghambat pelaksanaan e- governmet. Pada dasarnya kesiapan sumberdaya manusia akan kualitas kerja, kapabilitas, keahlian dan knowlage adalah salah satu faktor yang dapat menimbulkan human error dalam pelaksanaan e-government.
(Suhendra & Ginting, 2018)
Kualitas sumberdaya manusia menjadi faktor kontribusi dominan terhadap gangguan layanan e-government. Aisyah et al., (2016) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa kesalahan manusia atau human error merupakan faktor penting yang perlu mendapatkan perhatian lebih oleh manajemen. Hal ini desebabkan karena manusia adalah
implementator dalam pelaksanaan e-government. Sehingga ketika pemerintah misalnya menerapkan Smart City, seperti yang ada di Bandung, Smart Kampung yang ada di Banyuwangi, serta Smart Mobility yang diterapkan di Tangrang Selatan, Aparatur Sipil Negara (ASN) harus memiliki kualitas dan kapabilitas sumberdaya manusia yang bagus dan juga sistem manajemenisasi yang terstruktur sehingga dalam pelaksanaannya, SDM bukan lagi faktor penghambat yang menjadi kontribusi dominan dalam penerapan e-government.
Berdasarkan faktor penghambat pelaksanaan e-government sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Maka dapat ditarik satu benang merah dimana sumber daya manusia yang merupakan unsur pembuat, pengguna dan pengelola daripada sistem yang dirancang, maka kemampuan (capability) keahlian, pengalaman kerja, serta tingkat pengetahuan (knowlage) menjadi salah satu unsur yang dapat menjadi alasan human error hadir ditengah-tengah pelaksanaan e-government.
Sebagaimana pandangan human error yang didasarkan berdasarkan klasifikasi atau pengkatagorian penyebab terjadinya human error menurut Sutalaksana dalam (Santi, 2015), bahwa kapabilitas, pengetahuan, keahlian dan pengalaman kerja merupakan penyebab terjadinya human error yang sumbernya atau klasifikasinya didasarkan pada pure human error. Human error terjadi akibat kesalahan yang murni dilakukan oleh manusia sendiri. Baik dalam hal pengetahuan, kapabilitas, kondisi psikologi, ataupun pengalaman kerja.
2.2.6 Klasifikasi Human Error
Klasifikasi human error pada dasarnya dapat digunakan sebagai alat untuk melihat faktor penyebab terjadinya human error. Dengan melihat indikator yang terdapat pada klasifikasi human error dapat mempermudah dalam mengetahui sebab-sebab terjadinya human error.
Menurut (Sutalaksana, 1979) dalam (Santi, 2015) klasifikasi human error adalah sebagai berikut:
4. Sistem Induced Human Error
Pada bagian ini human error terjadi dititik beratkan pada sistem. Dimana kesalahan yang timbul dimungkinkan berasal dari sistem menejerial dalam pembuatan regulasi yang kurang tepat. Misalnya instansi atau perusahaan tidak membentuk tingkat disiplinitas kerja yang ketat terhadap pegawainya.
5. Desain Induced Human Error
Kesalahan terjadi akibat adanya rancangan kerja yang kurang baik, sehingga dapat menyebabkan pelanggaran terhadap aktivitas pekerjaan. Misalnya terjadi pada pembagian kerja yang tidak merata. Pembagian kerja yang tidak merata berdampak terhadap intensitas beban kerja pada setiap pegawai. Beban kerja yang berlebihan akan mengurangi tingkat kefokusan seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan.
6. Pure Human Error
Dimana kesalahan yang murni dilakukan oleh manusia sendiri. Sehingga faktor atau komponen penyebabnya ada pada diri manusianya. Baik dalam hal pengetahuan, kapabilitas, kondisi psikologi, pengalaman kerja. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwasanya pada kategori ini letak kesalahan manusia atau human error, terjadi akibat masalah internal pada diri seseorang.
Berbeda dengan klasifikasi human error menurut pandangan Sutalaksana, Swain dan Guttman dalam (Pamuka & Susanto, 2018) menyebutkan klasifikasi human error dibedakan kedalam empat kategori, diantaranya sebagai berikut:
1. Error of omission
Pada kategori ini, kesalahan manusian terjadi disebabkan oleh adanya unsur kelalaian di dalam diri seseorang. Sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam melakukan suatu tindakan.
2. Error of Commision
Kesalahan manusia terjadi oleh adanya ketidak tepatan pada pengerjaan tugas. Sehingga berakibat pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan rencana. Kesalahan atau ketidak tepatan pengerjaan berdasarkan kategori ini misalkan, seorang pegawai sedang melakukan penginputan nilai HPS berdasarkan kalkulasi yang telah dilakukan, akan tetapi karena pegawai salah melakukan perhitungan pada nilai HPS diawal, maka data yang di inputkan pada sistempun salah.
3. A sequence Error
Pada kategori ini kesalahan terjadi diakibatkan oleh adanya runtutan atau mekanisme pengkerjaan yang tidak sesuai dengan runtutan yang ada. Kesalahan pada kategori ini misalnya dapat dijumpai seperti sekretaris pada suatu instansi yang sedang memberikan nomor surat. Sebelum surat yang telah diberi nomor surat, maka terlebih dahulu dilakukan duplikat untuk dijadikan sebagai arsip data. Oleh karena pegawai (sekretaris) langsung memberikan surat kepada pihak yang meminta pelayanan, maka sekretaris secara mekanisme kerja tidak sesuai runtutan yang ditentukan.
4. Timing Error
Kesalahan manusia yang terjadi oleh adanya ketidak tepatan dalam penyelesaian pekerjaan atau dapat dikatan waktu penyelesaian kerja molor. Salah satu contoh human error pada kategori ini misalnya pegawai pengadaan barang dan jasa salah
melakukan penginputan paket pada sistem layanan pengadaan secara online. Maka pegawai harus melakukan penginputan ulang kembali. Kondisi tersebut kemudian berdampak pada durasi waktu pengerjaan. Sehingga waktu penyelesaian menjadi terlambat.
Sedangkan menurut Ankinson dalam (Khilbran & Sakti, 2019) terdapat sebab-sebab human error dapat terjadi di dalam melakukan suatu pekerjaan yaitu, sebagai berikut:
1. Sebab-sebab primer
Human error bisa terjadi dalam melakukan aktivitas pekerjaan yang dimana faktor atau penyebabnya bersumber atau berasal dari dalam diri seseorang atau dapat dikatakan berasal dari individunya sendiri. Dalam hal ini dapat dilihat dari segi kapabilitas pada setiap individunya. Sehingga kondisi tersebut berkaitan denga peningkatan pendidikan, dan pelatihan.
2. Sebab-Sebab Manajerial
Peluang terjadinya human error masih bisa terjadi meskipun jika dilihat dari tingkat pendidikan dan tingkat pelatihannya sudah terpenuhi. Inilah mengapa pendidikan dan pelatihan disebutkan mempunyai efek yang terbatas. Dengan demikian maka peran manajemen untuk menentukan pegawai melakukan pekerjaan, sebagaimana mestinya, menetukan kapasitas pegawai dengan jumlah pegawai yang diperlukan.
Serta memberikan tanggung jawab yang jelas pada setiap pegawai diperlukan. Akibatnya ketika sistem manajerial tidak
berjalan maka menjadi salah satu penyebab terjadinya human error.
3. Sebab-Sebab Global
Pada sebab-sebab global ini terjadi ketika terdapat faktor- faktor diluar kendali manajemen. Adapun beberapa faktor diluar kendali tersebut adalah, adanya under pressure yang meliputi keuangan sampai sosial, budaya dan organisasi.
Beberapa faktor diluar kendali tersebut dapat menajdi salah satu pemicu munculnya human error.
2.2.7 Pengertian Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) merupakan sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik yang dijalankan oleh pemerintah. Sedangkan dalam sistem kerjanya LPSE menggunakan sistem induknya yakni SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik).
Sehingga LPSE merupakan sebuah unit yang dibuat oleh lembaga pemerintah untuk menjalankan sistem precurment SPSE. (Lumintang et al., 2020). Berdasarkan Keputusan Menteri keuangan pasal 1 No.
304/KMK 01/2002, lelang atau pengadaan didefinisikan sebagai penjualan terhadap barang ataupun jasa yang sifatnya umum. Baik dilakukan melalui tatap muka ataupun secara daring atau melalui internet. Yang dimana sebelum harga ditentukan harus sudah mengumpulkan para peminat terhadap kegiatan yang akan ditawarkan.
(Lumintang et al., 2020)
LPSE sebagai bentuk alat atau sistem pengadaan yang berbasis elektronik, didasarkan pada Undang-Undang No.8 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik yang tercantum pada pasal 4 poin C disebutkan bahwa pemanfatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas
dan efisiensi pelayanan publik. Sedangkan dalam Perpres No.4 tahun 2015 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah menyebut pengadaan barang dan jasa adalah suatu tindakan untuk mendapatkan barang/jasa yang dilakukan oleh kementerian/ lembaga / SKPD dan institusi. Yang dimana sistematikanya dimuali dari tahap perencanaan kemudian sampai pada tahap penyelesaian seluruh kegiatan guna mendapatkan barang/jasa.
2.2.8 Pembentukan LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) Secara yurisdis dasar pembentukan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) didasarkan pada pasal 111 Nomor 54 Tahun Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Kemudian untuk teknis pelaksanaannya diatur dalam LKPP Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Yang dimana LPSE dibentuk untuk memenuhi tugas dan fungsinya yakni sebagai berikut:
1. Mengoprasikan pelayanan pengadaan barang / jasa secara elektronik
2. Melaksanakan registrasi dan verifikasi terhadap penyedia barang atau jasa, untuk memastikan bahwa penyedia barang atau jasa telah memenuhi ketentuan dan beberapa persyaratan yang ditetapkan.
3. Berperan sebagai help desk yang mana menjadi penyedia layanan pengadaan secara daring atau online bagi para penyedia barang dan jasa yang membutuhkan bantuan atau petunjuk dalam mengikuti tahapan lelang online.
2.2.9 Penggunan LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) User atau pengguna layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) adalah pihak yang wajib memiliki user id dan password baik dari pihak pengguna ataupun peserta. Berdasarkan Peraturan Lembaga No. 16 Tahun 2018 Tentang Agen Pengadaan. Agen pengadaan barang dan jasa adalah PPK, UKPBJ, Penyedia Jasa.
1. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Pejabat pembuat komitmen atau yang disebut sebagai PPK merupakan pejabat yang tugas dan fungsinya adalah sebagai petugas fungsional, yang dimana sistem kerjanya berlangsung ketika proyek atau kegiatan sedang berlangsung. Pejabat PPK sendiri dalam pelaksanaanya ditentukan atau ditetapkan oleh Pengguna Anggaran (PA) bersama Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Adapun tugas dan fungsi PPK adalah sebagai berikut:
a. Menyusun rencana pengadaan
b. Menetapkan kerangka acuan kerja (KAK) c. Menetapkan HPS
d. Menetapkan rancangan kontrak
e. Menetapkan surat penunjukan penyedia barang / jasa
f. Melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian proyek kegiatan kepada PA dan KPA
2. Unit Kerja Pengadaan Barang / Jasa (UKPBJ)
UKBJ atau unit kerja pengadaan barang dan jasa merupakan agen pengadaan yang telah ditunjuk dan diberi kepercayaan sebagai pemberi pekerjaan oleh kementerian, lembaga ataupun perangkat daerah untuk melaksanakan tugas layaknya pengusaha yang berperan sebagai pemberi pekerjaan. Dengan demikian pihak atau
agen yang diberi kewenangan untuk melakukan pengadaan barang / jasa yang nanti memiliki hak untuk menggunakan layanan pengadaan secara elektronik.
3. Penyedia Jasa
Penyedia jasa merupakan badan perseroan terbatas (PT), ataupun Commanditaier Vanootshcap yang dimana mereka berperan sebagai penyedia barang / pekerjaan konstruksi ataupun penyedia jasa konsultan. Penyedia barang atau jasa tersebut wajib mendaftarkan diri pada layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) untuk kemudian dapat mengikuti lelang atau tender.
Tabel 2. 1 Mekanisme Proses Tender Melalui LPSE
PPK UKPBJ POKJA PENYEDIA
JASA
Pilih RUP
Membuat Paket
Melengkapi Data Paket
Mengisi Rincian HPS
Membuat Dokumen Pemilihan
Memilih UKPBJ
Memilih Jenis Kontrak
Melakukan Konsolidasi
Paket
Membuat Konsolidasi
Membuat Tender
Memilih Jenis Pengadaan
Membuat Jadwal
Melengkapi Dokumen
Melakukan Persetujuan
Pengumuman Tender
Pemberian Penjelasan
Pembukaan Dokumen Penawaran Evaluasi Administrasi, Kualifikasi, Teknis dan Harga
Membuat Berita Acara Evaluasi Penawaran
Daftar Tender
Download Dokumen Permintaan
Kirim Dokumen Kualifikasi
Upoad Dokumen Kualifikasi
Memilih Paket kontrak Tender
Mengisi SBPJ
Mengisi Surat Perjanjian Kontrak
Upoad SSKK
Memilih Cara Pembayaran
Memilih SPMK/SPP
Menngisi Berita Acara Pembayaran
Paket
Memilih Pokja
Pemilihan Lulus 1 Paket Usaha
Lulus 2 paket usaha
Lulus Lebih 2 paket usaha
Pembukaan e-reverse auction Penetapan Pemenang
Menjawab Sanggahan
Melakukan Negoisasi
Melakukan e- reverse auction
Melakukan sanggahan tender
Tabel 2. 2
Tabel.1 Mekanisme Proses Tender Melalui LPSE Sumber: (Fatmawati, 2020)