• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menutupi atau menyembunyikan. Perawatan paliatif ditujukan untuk menutupi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menutupi atau menyembunyikan. Perawatan paliatif ditujukan untuk menutupi"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

9 1. Perawatan Paliatif

a. Pengertian

Kata “palliative” berasal dari bahasa latin yaitu “pallium” yang artinya menutupi atau menyembunyikan. Perawatan paliatif ditujukan untuk menutupi atau menyembunyikan keluhan pasien dan memberikan kenyamanan ketika tujuan penatalaksanaan tidak mungkin disembuhkan (Campbell dan Margaret, 2013).

Perawatan paliatif merupakan perawatan total yang dilakukan secara aktif pada pasien dan keluarga, dimana penyakit pasien tersebut sudah tidak dapat lagi merespon tehadap pengobatan atau mendapatkan intervestasi rendah dalam memperpanjang masa hidup. Pelayanan keperawatan paliatif tidak hanya mengatasi masalah fisik pasien akan tetapi juga mencakup masalah dari aspek psikologis, social, dan spiritual. Kesemua aspek tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (Yodang, 2018). Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri memberi dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnose ditegakan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan/ berduka (Wordwiden Palliative Care Alliance, 2014)

Berdasarkan definisi diatas disimpulkan perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan orang lain, memberikan dukungan spiritual

(2)

dan psikososial mulai saat diagnosis ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan atau berduka serta bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa.

b. Tujuan Perawatan Paliatif

Tujuan perawatan paliatif merupakan pelayanan yang mencakup, pelayan yang berpokus pada kebutuhan pasien bukan pada penyakit, menerima kematian namun juga berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup, pelayanan yang membangun kerjasama antara pasien dan petugas kesehatan serta keluarga pasien, dan berfokus pada proses penyembuhan bukan pengobatan (Yodang, 2018).

c. Tim Perawatan Paliatif

Pendekatan perawatan paliatif melibatkan berbagai disiplin ilmu yaitu pekerja sosial, ahli agama, perawat, dokter, psikolog, relawan, apoteker, ahli gizi, fisioterapi, dan okupasi terapi. Masing-masing profesi terlibat sesuai dengan masalah yang dihadapi penderita, dan penyusunan tim perawatan paliatif disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan tempat perawatannya (Yodang, 2018).

d. Aspek Perawatan Paliatif

Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan keluhan fisik lain, asuhan keperawatan, dukungan psikologis, dukungan sosial, dukungan cultural dan spiritual, dukungan persiapan dan selama masa dukacita. Pemberian perawatan paliatif sangat dianjurkan untuk pasien dan keluarga pasien dengan penyakit terminal. Hal ini sesuai definisi perawatan paliatif menurut WHO yaitu perawatan yang aktif dan menyeluruh terhadap

(3)

pasien yang penyakitnya tidak lagi memberikan tanggapan kepada pengobatan yang menyembuhkan. Kontrol dari rasa sakit, gejala-gejala lain, masalah psikologis, sosial, dan spiritual merupakan hal yang terpenting. Sehingga aspek perawatan paliatif berupa aspek psikologis, sosial, dan spiritual menjadi fokus dalam rangkaian pengobatan (Keputusan Manteri Indonesia, 2007).

1) Aspek Psikologis

Pasien dengan penyakit terminal biasanya semakin tidak bisa menunjukkan dirinya secara ekspresif. Pasien menjadi sulit untuk mempertahankan kontrol biologis dan fungsi sosialnya. Masalah psikologis tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam konsep diri pasien. Sebagai pemberi perawatan paliatif harus bisa melakukan tugas dengan menyesuaikan terhadap masalah pasien. Tugas yang berkaitan dengan fungsi psikologis meliputi upaya untuk:

a) mengendalikan perasaan negatif dan memelihara pandangan positif mengenai diri sendiri dan masa depan,

b) mengidentiikasi dan mempertahankan kepuasan akan diri sendiri dan kemampuan diri, dan

c) mendorong keluarga untuk memelihara pandangan positif kepada pasien.

2) Aspek Sosial

Ancaman terhadap konsep diri yang terjadi karena menurunnya fungsi mental dan fisik pasien dapat juga mengancam interaksi sosial pasien. Meskipun pasien penyakit terminal sering menginginkan dan membutuhkan untuk dijenguk, namun pasien mungkin juga mengalami ketakutan bahwa kemunduran mental dan fisiknya akan membuat orang-orang yang menjenguknya menjadi kaget dan

(4)

merasa tidak enak. Pemberian perawatan paliatif harus dapat memberikan perawatan sesuai dengan masalah yang ada pada pasien. Tugas yang berkaitan dengan aspek sosial meliputi, memelihara hubungan baik dengan keluarga dan teman-teman dan membantu pasien mempersiapkan diri bagi masa depan yang tidak tentu.

3) Aspek Spiritual

Spiritualitas penting dalam meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup seseorang. Spiritualitas juga penting dikembangkan untuk dijadikan dasar tindakan dalam pelayanan kesehatan. Aspek ini dinyatakan juga dalam pengertian kesehatan seutuhnya oleh WHO pada tahun 1984, yang dikenalkan oleh American Psychiatric Assosiation (APA) dengan rumusan “bio-psiko-sosio-spiritual”.

Kekosongan spiritual, kerohanian, dan rasa keagamaan dapat menimbulkan permasalahan psiko-sosial begitu juga sebaliknya (Campbell dan Margaret, 2013).

Perawatan paliatif dapat menyentuh aspek spiritual dengan cara membantu pasien untuk mengidentifikasi kepercayaan spiritualitas positif yang dimilikinya, sehingga pasein dapat menggunakan kepercayaan tersebut untuk menghadapi situasi kesehatannya. Pemahaman akan kebutuhan spiritualitas akan mempengaruhi kualitas hidup individu secara psikologis, dengan kata lain spiritualitas adalah sesuatu yang menghidupkan semangat bagi penderita penyakit terminal untuk mencapai kesehatan yang lebih baik. Pemahaman yang baik juga akan membantu pasien dalam menerima kondisi yang terjadi pada dirinya (Kozier, 2012).

(5)

Intervensi terhadap pemenuhan kebutuhan spiritualitas membutuhkan adanya hubungan yang baik antar pemberi layanan kesehatan, pasien, dan keluarga pasien.

Pasien diharapkan dapat merasakan ketenangan dalam jiwa akan kehadiran satu kekuatan yang Maha Agung yang menciptakan kita semua sebagai manusia.

Penelitian ini diterapkan pada kanker serviks yang menjelaskan pengaruh spiritualitas terhadap kualitas hidupnya dengan merasakan dalam jiwa tentang kehadiran Allah sebagai kekuatan Sang Maha Mengatur kehidupan dengan memberi ujian kepada individu (Quraish Shihab, 2009).

e. Skala Performa Paliatif

Skala perfotma paliatif / Palliative Performance Scale (PPS) merupakan alat penilaian fungsional yang valid dan dapat diandalkan untuk mengukur penurunan progresip pada klien paliatif yang dikembangkan oleh Victoria Hospice berdasarkan Skala performa Karnofsky dan dimasukkan ke dalam rencana perawatan kolaboratif dalam Proyek Integrasi Perawatan Paliatif. Pengukuran skala ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan melacak kebutuhan klien, karena kebutuhan tersebut akan berubah sejalan dengan perkembangan penyakit. PPS menggunakan lima domain yaitu tingkat ambulasi, kemampuan melakukan aktivitas / luasnya penyakit, kemampuan untuk melakukan perawatan diri, asupan makanan / cairan, dan tingkat kesadaran (Wilner & Arnold, 2015).

PPS juga dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu stabil, transisi, dan akhir hidup.

PPS berdasrkan Tahapan Tersebut:

Tabel 2.1

Skala Performa Paliatif PPS Kekhawatiran khusus

(6)

Stabil 100- 70%

- Kebutuhan pasien / keluarga untuk harapan / pemahaman penyakit

- Pendidikan pasien / keluarga: manajemen penyakit, obat- obatan, perawatan pribadi, nutrisi, krisis gejala / rencana manajemen marabahaya

- Rujukan untuk fungsi yang dioptimalkan, fisio / OT,

​ ​ ahli diet, dan lain lain.

- Penilaian psikososial

- Penilaian spiritual - sumber daya budaya / agama

Transisi 60-40%

- Paling sulit bagi pasien - berdampak pada semua bidang kehidupan (kebutuhan akan perawatan holisitik, pasien dan keluarga)

- Membutuhkan jumlah perawatan terbaik

- Meningkatkan perawatan dan kebutuhan pendidikan

Akhir

Hidup <30%

- Tinjau obat / rute administrasi, kebutuhan untuk penyelidikan lebih lanjut / tes laboratorium / kunjungan klinik

- Menentukan kontak utama di masyarakat - dokter keluarga, perawatan rumah, dokter perawatan paliatif

- Manajemen nyeri / gejala

- Mempersiapkan keluarga untuk kematian - apa yang mereka harapkan, apa pengalaman masa lalu mereka dengan kematian - Memastikan urusan sudah beres - mis. POA, surat wasiat, pengaturan hak asuh untuk anak-anak, dll.

2. Kebutuhan Spiritual a. Pengertian

Spiritual menurut kamus besar Bahasa Indonesia bahwa suatu yang berhubung dengan atau bersifat kejiwaan, rohani, batin, terhadap kepedulian antara sesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan keyakian akan adanya Tuhan yang Maha Esa. Spiritual meliputi kesadaran suara hati, internalisis, aktualisasi diri, dan keiklasan, sebagai wujud aktualisasi hubungan dengan Tuhan

(7)

(Hamid dan Saebani, 2009). Spiritual memiliki multi dimensi yaitu demensi eksitensial yang bertujuan arti kehidupan, demensi agama yang merupakan hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, dimensi vertical sebagai hubungan dengan Tuhan yang menuntun kehidupan manusi, dan dimensi horizontal sebagai hubungan diri sendiri dengan sesama dan lingkungannya.

(Mickey, 1992) dalam (Yusuf et al., 2017).

Spiritual merupakan dimensi atau pola pikir kehidupan suatu agama menjadi kekuatan yang tak pernah kering untuk selalu bersyukur atas nikmat-Nya, menjadikan dirinya tenang dan tidak takut atas terhadap berbagai ancaman, tidak pernah kehilangan harapan dan terus mendorongnya untuk tidak pernah untuk putus asa dalam kesempurnaan hidupnya (Yusuf et al., 2017).

Berdasarkan pengertian diatas, spiritual dapat digambarkan sebagai pengalaman atau keyakinan seseorang akan menjalani hidup dengan menggunakan keyakinan akan kekuatan Yang Maha Esa. Spiritual dapat diartikan sebagai makna hidup.

Spiritualitas merupakan aspek dari kemanusiaan yang mana hal tersebut merujuk pada cara seseorang mencari dan mengekspresikan makna tujuan atau maksud dan cara pengalaman mereka yang mana saling berhubungan pada waktu atau kejadiaan, pada diri sendiri, pada yang lain, pada alam, orang terdekat, maupun pada yang berkuasa (Yodang, 2018).

b. Fungsi Spiritualitas

Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup para individu.

Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi individu. Pada

(8)

saat stress individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti. Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas dan merupakan suatu perlindungan bagi individu. Menurut America Psychological Association, spiritualitas dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan jika seseorang sedang sakit dan mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan (O’Brien, 2011).

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada seseorang dapat meningkatkan kepercayaan, kekuatan, dan keyakinan yang dimiliki seseorang. Spiritualitas dapat mengurangi kecemasan pasien, membuat pasien menerima kondisinya, dan meningkatkan rasa optimis pada pasien. Adanya rasa optimis, dukungan, dan motivasi dapat meningkatkan proses penyembuhan yang dialami pasien (Yusuf et al., 2017).

c. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Spiritual

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan seseorang dalam spiritual kehidupannya, diantaranya:

1) Tahap perkembangan

Konsep baik buruk, boleh atau tidak, pantas atau tidak, sudah dimulai dalam fase ini, termasuk konsep spritualitas seseorang. Perkembangan spiritual berdasarkan usia terdiri dari:

(9)

a) Masa Bayi, perkembangan bahasa, pengetahuan, sifat, dan kepribadian telah dimulai sejak bayi dilahirkan dengan berfungsinya panca indra yang akan disimpan dalam memori dan akan berkembang dalam menjalani tahap tumbuh kembang berikutnya. Haber (1987) dalam Yusuf et al (2017) menjelaskan perkembangan spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan spiritual selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral untuk mengenal arti spiritual, tetapi dengan berfungsinya panca indera, seluruh stimulasi pendengaran, penglihatan, perabaan, rasa dan aroma telah ditanamkan.

Keluarga yang spiritualnya baik menjadi sumber terbentuknya perkembangan spiritual yang baik pada bayi.

b) Masa prasekolah, dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan. Anak sudah mengalami peningkatan kemampusan kognitif, dapat belajar membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjutkan peran kemandirian yang lebih besar dan pada masa ini, semua komponen panca indera telah berfungsi optimal dengan baik, perkembangan motorik halus maupun kasar terus meningkat. Kepercayaan atau keyakinan mengikuti ritual atau meniru orang lain. Oleh karena itu, stimulasi pertumbuhan dan perkembangan sangat penting untuk diperhatikan.

c) Usia Sekolah, masa yang paling banyak mengalami peningkatan kualitas kognitif pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun) sudah mulai berpikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran dan makna spiritual dan agama mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukkan dalam suatu ide, dan anak dapat diajak berdiskusi

(10)

dan menjelaskan keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka, karena pada masa ini anak sudah mulai mengembangkan tatakrama sosial. Anak dapat membandingkan norma dan nilai yang diajarkan orang tua dengan norma dan nilai orang tua teman atau keluarga lainnya.

d) Remaja, masa dimana seseorang berusia belasan tahun (12-18 tahun). Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Adolensence juga mempunyai arti lebih luas mencakup kematangan mental, emosional dan fisik. spiritualitas pada masa ini sudah mulai pada keinginan akan pencapaian kebutuhan spiritualitas seperti keinginan melalui berdoa kepada Tuhan, yang berarti sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui keyakinan atau kepercayaan. Bila pemenuhan kebutuhan spiritualitas tidak terpenuhi, akan menimbulkan kekecewaan.

e) Dewasa Awal, ketika seseorang berusia antara 18 sampai 25 tahun adalah masa awal pencapaian prestasi, kemampuan mempraktikkan seluruh potensi intelektual, bakat, minat dan keterampilan yang telah dirancang semasa remaja.

Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual memikirkan untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saat kanak-kanak, remaja dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa.

(11)

Kemampuan membuat keputusan, kemandirian ekonomi, mendapatkan pekerjaan mapan adalah fokus utama pada fase ini.

f) Dewasa Pertengahan dan Lansia, Dewasa pertengahan, ketika seseorang berusia antara 25 sampai 38 tahun dapat disebut sebagai masa klimaksterium.

Masa penyesuaian diri dan kesadaran bahwa ia bukan lagi muda dan masa depannya tidak lagi dapat dianggap sebagai percobaan. Dewasa akhir pada umur sekitar 38 sampai 65 tahun, merupakan puncak pertumbuhan fisik manusia. Setelah itu, dengan perlahan semua kondisi fisik akan menurun.

Kondisi ini akan berpengaruh terhadap peran dan hubungan dirinya dengan lingkungan. Pada tahap usia lanjut, bayangan kematian sering dominan mewarnai peran spiritual. Keberhasilan kehidupan, ekonomi, agama, dan rasa berguna bagi orang lain dapat menjadi faktor penentu utama perasaan bahagia atau menderita.

2) Peranan Keluarga dalam Perkembangan Spiritual Individu

Setiap orang tua ingin anaknya menjadi lebih baik dari dirinya sendiri. Banyak upaya yang dilakukan untuk mendidik dan mengajari anggota keluarganya, untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang menjadi tempat pembelajaran dalam kehidupan, mengajarkan tentang kehidupan mengenai beberapa hal yaitu Tuhan, kehidupan beragama, bersikap kepada orang lain, serta bekal untuk kehidupan diri sendiri.

3) Latar Belakang Etnik dan Budaya

(12)

Etnik merupakan suatu yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu.

Kelompok masyarakat yang menciptakan sosial budaya sesuai dengan ide, gagasan dan hasil karya yang diperoleh dari tatakrama yang dilakukan.

4) Pengalaman Hidup Sebelumnya

Pengalaman merupakan guru terbaik. Pengalaman hidup baik ataupun buruk akan berpengaruh terhadap spiritual seseorang. Peristiwa yang terjadi kepada seseorang merupakan suatu cobaan, ujian atau bahkan hukuman dari perbuatan yang dia kerjakan.

5) Krisis dan Perubahan

Perubahan keadaan akan melemahkan atau menguatkan keadaan spiritual seseorang. Krisis keadaan dimana seseorang mengalami suatu keadaan sakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan kematian. Keadaan ini dapat terjadi kepada pasien atau keluarga dengan penyakit terminal dan kronis. Perubahan keadaan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi merupakan suatu keadaan spiritual yang bersifat fisik dan emosional.

6) Terpisah dari Ikatan Spiritual

Menderita penyakit akut seringkali menjadikan seseorang terisolasi, kehilangan kebebasan secara pribadi dan kehilangan dukungan sosial.

Berpengaruh terhadap kebiasaan hidup sehari-hari yang mengalami perubahan.

7) Isu Moral Terkait dengan Terapi

Banyak agama dalam proses penyembuhan menganggap bahwa kesembuhannya merupakan cara Tuhan menunjukan suatu kebesaran-Nya, walaupun ada juga agama yang menolak pengobatan. Keyakinan ini akan

(13)

membangun kepercayaan kesehatan, menentukan upaya dalam mencari suatu pengobatan, dan suatu upaya untuk mengembangkan pola hidup sehat.

(Taylor, 1997; Crave & Hirnle, 1996; Hamid, 2000) dalam (Yusuf et al., 2017).

d. Dimensi Spiritual

Menurut Passiak (2012) dalam Yusuf et al (2017) terdapat empat dimensi spiritualitas manusia, yaitu:

1) Makna hidup

Spiritualitas merupakan penghayatan intrapersonal yang bersifat unik, ditunjukkan dalam hubungan sosial (interpersonal) yang bermanfaat, menginspirasi dan mewariskan sesuatu yang bernilai bagi kehidupan manusia.

2) Emosi Positif

Manifestasi spiritual berupa kemampuan mengelola pikiran dan perasaan dalam hubungan intrapersonal sehingga seseorang memiliki nilai kehidupan yang mendasari kemampuan bersikap dengan tepat.

3) Pengalaman spiritual

Manifestasi spiritual didalam diri seseorang berupa pengalaman spesifik dan unik terkait hubungan dirinya dengan Allah SWT dalam berbagai tingkatannya.

4) Ritual

Manifestasi spiritual berupa tindakan terstruktur, sistematis, berulang, melibatkan aspek motorik, kognisi dan afeksi yang dilakukan menurut suatu tata cara tertentu baik individual maupun komunal.

(14)

e. Kebutuhan Spiritualitas Pasien

Kebutuhan spiritualitas adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Menurut Yusuf et al (2017) kebutuhan spiritual yaitu kebutuhan akan arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan berhubungan serta kebutuhan mendapatkan pengampunan.

Ketika penyakit menyerang seseorang, kekuatan spiritualitas sangat berperan penting dalam proses penyembuhan. Selama sakit, individu menjadi kurang mampu untuk merawat diri mereka dan lebih bergantung pada orang lain. Individu yang menderita suatu penyakit mengalami distress spiritualitas. Distress spiritualitas menyebabkan individu mencari tahu sesuatu yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan individu merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain. Terkait dengan spiritual pasien mengacu pada distress spiritual yaitu spiritual pain, pengasingan diri (spiritual alienation), kecemasan (spiritual anxiety), rasa bersalah (spiritual guilt), marah (spiritual anger), kehilangan (spiritual loss), putus asa (spiritual despair) (O’Brien, 2011).

3. Kepatuhaan a. Pengertian

Kepatuhan merupakan perilaku seseorang sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior) yaitu perilaku seseorang yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan misalnya mematuhi aturan diet dan mematuhi anjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatan

(15)

(Notoatmojo, 2010). Sedangkan menurut Kozier et al (2010) kepatuhan merupakan suatu prilaku seseorang (meminum obat secara teratur, mematuhi diet garam, melakukan perubahan gaya hidup dan menaati peraturan) sesuai ajuran demi menumpang kesehatan.

Berdasarkan penjelasan diatas kepatuhan adalah sikap tunduk dan patuh terhadap perintah yang mempunyai kekuasaan atau prefesional dengan penuh kerelaan dan ketaaatan. Pasien melakukan cara pengobatan dan perilaku yang sesuai dengan perintah dengan bertujuan untuk kesembuhan pasien.

b. Kepatuhan dalam Islam

Dalam Islam kepatuhan diartika dengan ketaatan, seperti yang disebutkan oleh Al Zahari, bahwa ketaat, kesetiaan dan kepatuhan tidak dapat dijauhkan dengan kata ibadah (Syaripudin, 2008). Keterangan tersebut sesuai apa yang dimukakan oleh Al Syawkani dalam Hamid dan Saebani (2009) bahwa ibadah adalah kepatuhan dan perendahan diri yang paling maksimal (aqsa gayati al-akhudlu wa al-tadzallu). Jadi, ketaatan beribadah dapat diartikan sebagai Kepatuhan dan kesetiaan seorang hamba kepada Allah untuk menjalankan perintah serta meninggalkan larangan-Nya.

Dalam al-Qur’an Allah memerintahkan orang mukmin untuk taat, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 59:

ُ لل ىُِْا بُ لونّ بِِف ءٍلَِْ لُْف لْبُلْ َِاُِِت لُْاِف ملْبُلَُُ ُِلَِ لَا ىُْوبا ِو َِ لوبُ لِْا اوبُلُِِْا ِو ِ لل اوبُلُِِْا ا ولوبَُِاا ِّليُِلْا اُِنيِاواي لًليُولأِت بَِّلِْالو رِلَِْ َُِْاٰ رُِ َُا لَا ُِ لوِْلْا ِو ُ لّاُِ ِْ لوبَُُلْبت لْبُلُبْ لُْا َُ لوبُلِْاِو

“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil amri di antara kamu” (Q.S 4:59)

(16)

Dalam prakteknya, ketaatan ibadah tidak dapat dilepaskan dari unsur taqwa, karena taqwa merupakan sikap mental dan kepatuhan seseorang (mukmin) dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya atas dasar kecintaan. Ibadah merupakan amal dasar untuk mendapatkan ketenangan hidup manusia, semua aktifitasnya dicapai manusia pada dasarnya tidak lain adalah hasil amal ibadah. Oleh karena itu, sebagai hamba harus taat beribadah dengan berbagai macam bentuk amal perbuatan dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan, yakni hidup bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat.

Kepatuhan dalam ibadah dapat terlihat dari kedisplinan seorang muslim dalam melakukan perintah Allah Subhanahu Wata’ala seperti halnya salat. Kedisiplin dalam shalat menunjuk kepada kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorongi oleh adanya kesadaran yang ada pada kata hatinya (Yusuf et al., 2017). Peraturan dimaksud berasal dari hukum-hukum Allah yang disebut fikih dengan bersal dari sumber Al-qur’an dan Hadis.

c. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien meliputi usia, masalah ekonomi, pendidikan, kurangnya pengetahuan, akses pelayanan, serta dukungan keluarga sangat mempengaruhi tingkat kepatuhan (Martoni, Helmi dan Raveinal, 2013). Sedangkan menurut Damayanti et al (2014) bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat kapatuhan yaitu tingkat pengetahuan, durasi penyakit, status sosial ekonomi, keyakinan kesehatan, dan dukungan sosial.

Sedangkan menurut Green dalam Khairunnisa (2017) terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi tingkat kepatuhan seperti faktor predisposisi meliputi

(17)

pengetahuan, kepercayaan, sikap, keyakinan, dan nilai-nilai. Faktor pendukung yang meliputi lingkungan fisik, tersedianya sarana dan prasarana dan fasilitas kesehatan. Faktor – faktor pendorong seperti sikap dan perilaku petugas kesehatan (Khairunnisa, 2017). Dari beberapa penjelasan diatas peneliti dapat menyimpulkan faktor- faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kepatuhan, yaitu:

1) Krakteristik individu

Krakteristik individu meliputi usia, pendidikan, kepribadian dan ciri kesakitan.

Krakteristik individu ini berpengaruh pada kepatuhan penderita penyakit kronis seperti penyakit paliatif, dikarenakan perilaku ketaatan umumnya lebih rendah untuk penyakit kronis. Menurut Kozier (2010) bahwa orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan kehidupan sosialnya memutuskan perhatian pada dirinya sendiri, sedangkan pasien patuh menunjukan adanya keyakinan tentang kesehatan pada diri seseorang tersebut dalam menentukan respon terhadap anjuran pengobatan.

2) Persepsi dan pengharapan pasien

Dalam teori Health Belief Model (HBM) mengatakan bahwa kepatuhan sebagai fungsi dari tentang kesehatan, ancaman yang dirasakan, persepsi, kekebalan, pertimbangan mengenai hambatan atau kerugian dan keuntungan.

Seorang akan cenderung mengabaikan dirinya jika keyakinan akan pentingnya kesehatan yang harus dijaga rendah (Khairunnisa, 2017).

3) Pengetahuan dan pemahaman tingkat intsruksi atau aturan

Seorang tidak dapat memenuhi aturan jika dia salah mengetahui dan memahami tentang aturan pada sumber hukum yang diberikan pada dirinya. Hal

(18)

ini disebabkan kurang pemahaman mengenai hukum atau inturuksi (Natoatmojo, 2010).

4) Motivasi

Menurut Stooner (1992) dalam Rozaq (2014), Motivasi adalah suatu hal yang menyebabkan dan mendukung tindakan atau perilaku seseorang. Motivasi ini dapat didapatkan dari lingkungan dan keyakina diri, seperti dukungan sosial dari anggota keluaga, sahabat. Contoh keluarga dan teman membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka akan dapat menghilangkan godaan pada ketidak patuhan untuk mencapai kepatuhan.

5) Lama menderita penyakit

Lama menderita penyakit yaitu beberapa lama menderita dihadapkan dengan penyakitnya dari awal diagnose hingga saat ini. Menurut Damayanti et al (2014) menyatakan bahwa semakin lama penderita menderita penyakitnya maka akan menurun pula tingkat kepatuhan.

d. Karakteristik Kepatuhan

Menurut Case Management Sociaty of America (2018) bahwa terdapat empat komponen kepatuhan yang berujuk ke motivasi dan pengetahuan, yaitu:

1) Healty Literacy / sadar kesehatan didefinisikan sebagai kemampuan untuk membaca, memahami dan bertindak informasi kesehatan.

2) Pengetahuan terkait tatacara dan aturan yang harus dipatuhi.

3) Keinginan ingin berubah memberi motivasi diri untuk menjalankan kepatuhan.

(19)

4) Dukungan Sosial merupakan komponen penting untuk meningkatkan motivasi dalam menjalankan kepatuhan yang berasal dari keluarga atau teman terdekat.

4. Shalat a. Pengertian

Arti shalat secara bahasa adalah berdoa, rahmat, tasbih, bacaan, dan ibadah.

Sedangkan meburut syariat Islam, shalat yaitu beberapa ucapan atau perbuatan yang dianjurkan oleh syara’ yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam dengan maksud beribadah kepada alloh berdasarkan syarat-syarat dan rukun-rukun (I. Z. Arifin, 2017).

َِواُلّْا لُْا َِواُلّْا اوبملُُِْاِف لْبُلَُِلأِملِا اُِٰاِف لْبُُِ لوبُبُ ىاُِْ لو الّ لوبُبُ لو الَاُُِْ ِ لل اوبِبْلٰاِف َِواُلّْا بْبُلَُِِْ اُِٰاِف الت لوبُ لولَ الًاُُْ ِّلَُُُْلْبملْا ىُِِْ لَِْاِْ

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

(Q.S 4: 103)

Shalat adalah ibadah yang didalamnya terjadi hubungan ruhani antara makhluk dan Kholiqnya. Shalat juga dipandang sebagai munajat berdoa dalam hati yang khusuk kepada Allah. Orang yang sedang mengerjakan shalat dengan khusuk tidak merasa sendiri. Suasana spiritual seperti itu dapat menolong manusia mengungkapkan segala perasaan dan berbagi permasalahan yang dihadapi, dengan demikian ia mendapatkan tempat untuk mencurahkan segala yang ada dalam

(20)

pikirannya. Dengan shalat yang khusuk orang akan mendapatkan ketenangan jiwa, karena merasa dekat dengan Allah dan mendapat ampunannya (I. Z. Arifin, 2017).

Shalat dalam ajaran Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, yakni sebagai tiang agama. Dengan menegakkan salat akan menjauhkan diri dari perbuatan yang jahat dan munkar (Ajib, 2018)

Shalat dalam arti terakhir ini menjelaskan mengenai shalat wajib dan shalat sunnah. Bagi setiap muslim yang sudah aqil baligh wajib melaksanakan shalat wajib lima kali dalam sehari semalam, kecuali perempuan yang dalam keadaan haid atau nifas. Kelima waktu shalat diperintahkan kewajibannya di Mekkah pada malam Isra’ setelah sembilan tahun diutusnya Rasullah Sahallallahu ‘Alaihi Wasallam (S. Arifin, 2018).

b. Waktu Shalat Wajib

Berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 78:

الّوبُلَِْ ِْاِْ ُِلَِْلْا ِْآ لِبُ لُْإ ُِلَِْلْا ِْآ لِبُ ِو ُِلْلُْا ََُِِِ اىُِْإ ُِلملْْا ُِوبْبُُْ َِ ًِلّْا ُُُِْأ

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat) (Q.S 17: 78)”

Menurut Zaenal Arifin (2017) Berdasarkan ayat di atas batasan-batasan waktu shalat, yaitu:

1) Li dulukisy syamsi: menunjukan waktu pelaksanaan shalat ketika setelah matahari tergelincir, berarti mencakup salat dzuhur dan ashar.

2) Ila ghasaqil laili: menunjukkan waktu pelaksanaan shalat ketika gelap malam, yaitu mencakup waktu shalat maghrib dan salat isya.

(21)

3) wa qur’anal fajr: menunjukan waktu pelaksanaan shalat ketika mulai terbit fajar, yaitu untuk shalat subuh.

Berdasarkan penjelasan diatas menerangkan bahwa dalam pembagian waktu shalat dalam sehari semalam dipirincikan lima kali pelaksanaan sesuai dengan urutan dan batasan waktu yang difardukannya adalah sebagai berikut:

1) Shalat dzuhur empat rakaat, waktunya dimulai dari tergilincir matahari sampai bayang-bayang sesuatu sama panjangnya dengan sesuatu itu.

2) Shalat ashar empat rakaat waktunya mulai dari habisnya waktu dzuhur hingga matahari terbenam

3) Shalat magrib tiga rakaat waktunya dimulai dari hilang terbenamnya cahaya matahari hingga hilangnya cahaya merah di ufuk barat,

4) Shalat isya empat rakaat waktunya dimulai dari hilangnya cahaya merah di sebelah Barat hingga terbit pajar

5) Shalat subuh dua rakaat waktunya dari terbit fajar hingga terbi matahari.

c. Tujuan dan Hukum Shalat

Perintah mengerjakan shalat dari Al-Qur’an dan Hadits merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan serta mempunyai tujuan yang positif dalam pelaksanaannya, kalau shalat dilaksanakan secara rutin maka shalat merupakan pendidikan manusia yang efektif, dapat memperbaharui dan memelihara jiwa serta memupuk pertumbuhan dan kesadaran. Berdasarkan firman Allah SWT di ayat sebelumnya bahwa shalat merupakan fardhu.

Bahkan dalam Al-Qur’an terdapat ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan shalat

(22)

نِْ لوبُاُِ لُُُْت ًِِص لِّْ لْبُ ِّليُِلْا - نِّلُُِّّْبملُُّْ رِليِوِف

“Maka celakalah bagi orang-orang yang melalaikan shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalat.” (Q.S. 107 :4-5)

Shalat merupakan salah satu ibadah maghdhah yang juga bertujuan untuk memperbaiki moral dan memperbaiki perubahan didalam kehidupan setiap orang.

Adapun menurut Hakim (2018) bahwa tujuan atau keutamaan dalam melaksanakan ibadah shalat,yaitu:

1) Sebagai Penyejuk Hati dan Penghibur Jiwa

Shalat merupakan dzikir (mengingat allah) yang terbesar, terdasyat dan terpenting, dengan berdzikir hati menjadi tenang tenang. Dalam salah satu hadis menjelaskan bahwa shalat sebagai penyejuk hati dan bisa mendatangkan kenyamanan dalam jiwa. Berdasarkan hadits riwayat An-Nasa'i dan Ahmad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َُ ًِلّْا ُْف ُُْلِْْ بَ لِبُ ُُِِبُ ِو ،بُُّْطْا ِو بٍاَُُِّْا اِْلَنُْا َُِّ لُِْْإ ًُُِّبْ

“Dijadikan kesenanganku dari dunia berupa wanita dan minyak wangi. Dan dijadikanlah penyejuk hatiku dalam ibadah shalat.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad, shahih)

2) Mencegah Perbuatan Keji dan Mungkar

Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 45

ب لل ِو بًِِلِْأ ُ لل بِلُِِْْ ِو ُُِِلُبملْا ِو ٍُاِْلَِْلْا ُِّْ اىُِلُِت َِ ًِلّْا لُْإ َِ ًِلّْا ُُُِْأ ِو ُُاُُُِلْا َُِّ َِلُِْْإ ِْ ُْوبأ اَِ بِلتا

ِْوبُُِلِّت اَِ بُِْلُِي

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)

(23)

keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. 29: 45).

3) Sebagai penolong manusia terkait urusan agama dan dunia

Firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Qur’an surat Al-Baqqrah ayat 45

َُُُِّْاَِلْا ىُِِْ لَُإ رًَُُِِِِْْ اُِلَُإ ِو َُ ًِلّْا ِو ُِلًلّْاُِ اوبُُُُِْلُا ِو

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (Q.S. 2: 45)

Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

ىلُِص ،رِلَِأ بُِِ َِِْ اُِٰإ ِْلُُِ ِو ُُلُِِْْ بل ىلُِص نًُْلُْا ِْاِْ

“Dulu jika ada perkara yang menyusahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mendirikan salat.” (HR. Abu Dawud)

4) Pahala dan Kebaikan yang Besar Telah Disiapkan untuk Hamba-Nya yang Mendirikan Shalat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ لل ُِلُُْ بُِْ ِْاِْ ،لُُُُُِِّّْ الفاَِلَُُلُا الئلَِْ لّبُلَُُ لَُِّْْبي لِْْ لُُُِّ ٍِاُِ لِّمِف ،ُّاًُُِلْا ىُِِْ ب لل لّبًُُِِِْ ءٍا ِوُِِص بِلمَِ

َِلُِْلْا بَُُِِلِّأ ٍِاَِ لُْإِو ،بُِِلِِْ ٍِاَِ لُْإ ،رُلُِْ ُ لل ُِلُُْ بُِْ ِِلُِِْف لُُُِّ ٍُلأِي لِْْ لَِِّو ،َِلُِْلْا بُُِ َُلُبي لِْأ رُلُِْ

“Lima salat yang telah Allah Ta’ala wajibkan kepada para hamba-Nya. Siapa saja yang mendirikannya dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun darinya karena meremehkan haknya, maka dia memiliki perjanjian dengan Allah Ta’ala untuk memasukkannya ke dalam surga. Sedangkan siapa saja yang tidak mendirikannya, dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah Ta’ala. Jika Allah menghendaki, Dia

(24)

akan Menyiksanya. Dan jika Allah Menghendaki, Allah akan memasukkan ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’I dan Ibnu Majah)

5) Penggugur atas Dosa-Dosa Kecil dan Membersihkan Kesalahan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

اِياِطَِلْا لُُُِّ بل وبْلمِي ، ُِلمَِلْا ٍُا ِوُِلّْا بََِِِ َُِِِِْف

“Itu adalah permisalan untuk shalat lima waktu. Dengan shalat lima waktu, Allah Ta’ala menghapus dosa-dosa (kecil).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan ayat ayat diatas salat merupakan ibadah wajib setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, baik yang sehat maupun sakit untuk melaksanakannya. Dalam ayat Al-Qur an dan hadis diatas juga menjelaskan tentang begitu banyaknya keutamaan dalam salat yang baik untuk jiwa dan raga.

d. Keringanan dalam Shalat

Berdasarkan I. Z. Arifin (2017) dan Sarwat (2014) bahwa keringanan dalam melaksanakan shalat bagi orang sakit dibolehkan diantaranya dengan cara:

1) Tidak Bisa Berdiri

Berdiri merupakan salah satu rukun dalam shalat, sehingga bagi yang tidak melakukannya shalatnya tidak sah. Namun bagi pasien yang tidak mampu berdiri kecuali dengan bersandar maka dibolehkan berdiri dengan bersandar. Bila masih tidak mampu, maka dibolehkan shalat dengan tanpa berdiri dengan posisi semampu pasien baik duduk atau berbaring.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

ًَُِلُُِ ىُُِِِف لُْطُِلَِت لِْْ لُِِْف الُُْاُِِف لُْطُِلَِت لِْْ لُِِْف المُِاُِ ِِص : َاُِِف ُ لل َوبُ َِ بْلِْأَِِف بُُِْا ِوِِ ُِْ لَِْاِْ

(25)

“Dari Imran bin Hushain berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Beliau bersabda, “Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka salatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, salatlah di atas lambungmu.” (HR. Bukhari)

2) Tidak Bisa Ruku'

Bagi pasien yang tidak mampu ruku ada dua pendapat, yaitu a) Jumhur Ulama

Menurut jumhur ulama, orang yang tidak mampu gerakan atau berposisi ruku’, dia diperbolehkan hanya berdiri tegak, lalu mengangguk kepala, namun masih tetap berdiri. Dasarnya adalah hadits berikut ini:

َُُُِّْاُِ ُ ل ُّ اوبَوبُ ِو

“Berdirilah untuk Allah dengan Khusyu’”

Berdasarkan penjelasan di atas bila pasien tidak mampu ruku, maka dia boleh mengambil posisi dasar yaitu berdiri. Ruku’nya hanya dengan mengangguk saja.

b) Mazhab Al-Hanafiyah

Menurut pendapat Al-Hanafiyah, orang yang tidak mampu melakukan ruku’, maka tidak lagi wajib melakukan posisi berdiri. Sehingga dia diperbolehkan shalat sambil duduk saja, namun rukunnya dengan cara mengangguk dalam posisi duduk, bukan dari posisi berdiri.

3) Tidak Bisa Sujud

Sujud merupakan salah satu bagian dari rukun shalat juga yang apabila ditinggalkan menjadi tidak sah. Sebagaimana ruku’ yang juga merupakan rukun salat, sujud juga diperintahkan di dalam Al-Quran.

(26)

اوبُبْلُا ِو اوبُِْ لَا

“Ruku’ lah dan sujudlah” (QS. Al-Hajj: 77)

Keringan lainnya ketika tidak mampu melakukan sujud, tentu tidak bisa dipaksa. Dia mendapatkan keringanan dari Allah Subhanahu Wata’ala untuk sebisa-bisanya melakukan sujud, meski tidak sempurna. Orang yang bisa berdiri tapi tidak bisa sujud, dia cukup membungkuk sedikit saja dengan badan masih dalam keadaan berdiri.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:

َُِْوبْبَ لَُّ ََِِلَِأ ِِِّوبْبُ ُِِلُا ِو لٍاِميُإ لَُْ لوِأِف لَُإ ِو ُِ لَ ِللْا ىُِِْ ُِبْلَِت لِْأ ِْلُِطُِلُا ُُْإ

“Bila kamu mampu untuk sujud di atas tanah, maka lakukanlah. Namun bila tidak, maka anggukan kepala. Jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.” (HR.

Ath-Thabrani)

4) Tidak Bisa Menghadap Kiblat

Bagi pasien yang tidak mampu berdiri atau duduk, maka dia tetap wajib shalat dengan menghadap kiblat. Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW sendiri yang memerintahkan untuk shalat diatas lambung. Dasarnya adalah hadits berikut ini:

ًَُِلُُِ ىُُِِِف لُْطُِلَِت لِْْ لُِِْف الُُْاُِِف لُْطُِلَِت لِْْ لُِِْف المُِاُِ ِِص : َاُِِف ُ لل َوبُ َِ بْلِْأَِِف بُُِْا ِوِِ ُِْ لَِْاِْ

Dari Imran bin Hushain berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda” Shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka salatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, salatlah di atas lambungmu”.

(HR. Bukhari)

5) Kebolehan Menjama' Shalat

(27)

Dalam hal ini kebolehan menjama' shalat bagi orang sakit, ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkannya. Namun ada sebagian yang lain membolehkan adanya shalat jama’ bagi orang yang sedang sakit.

a) Tidak Membolehkan, mereka yang tidak membolehkan orang sakit untuk menjama’ shalat diantaranya adalah mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah, serta sebagian dari ulama dari mazhab Al-Malikiyah. Dasarnya karena sama sekali tidak ada dalil apa pun dari Rasulullah SAW yang membolehkan hal itu.

Dan selama tidak ada dalil, maka kita tidak boleh mengarang sendiri sebuah aturan tentang shalat. Sehingga setiap orang yang sakit wajib menjalankan shalat sesuai dengan waktu-waktu shalat yang telah ditetapkan, dan tidak ada istilah untuk dijama’.

b) Membolehkan, mazhab Al-Hanabilah dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa seorang yang sedang sakit diberi keringanan untuk menjama’ dua shalat, baik jama’ taqdim atau pun jama’

ta’khir

Berdasarkan penjelasan diatas mengenai keringan shalat saat sakit dapat disimpulkan mengani tatacara salat saat sakit sebagai berikut:

(28)

a) Shalat berdiri disisi katil, tidak dapat duduk dan sujud sempurna

Gambar 2.1 Shalat Berdiri Disisi Katil Sumber: Jabatan Mufti Negara Perlis, 2015

(29)

b) Shalat datas katil

Gambar 2.2 Shalat Diatas Katil Sumber: Jabatan Mufti Negara Perlis, 2015

c) Shalat dengan dua kaki terlunjur

Gambar 2.3 Shalat dengan Dua Kaki Terlunjur Sumber: Jabatan Mufti Negara Perlis, 2015

(30)

d) Shalat berbaring menelentang dan miring

Gambar 2.4 Shalat Berbaring Sumber: Jabatan Mufti Negara Perlis, 2015

(31)

5. Thoharoh a. Pengertian

Menurut Bahasa thaharoh berasal dari kata thahara, yang berarti bersih, suci, dan bebas, dari najis dan hadas. Sedangkan menurut istillah syara thaharah adalah proses pembersihkan dan menyucikan diri dari najis, baik hakiki maupun secara hukmi, terutama pada saat hendak melaksanakan ibadah (I. Z. Arifin, 2017).

Menurut Imam Namawi mendefinisikan bahwa thaharah adalah upaya menghilangkan hadas atau najis. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikan thaharah menghilangkan segala sesuatu yang menghalangi shalat, baik berupa hadas maupun najis. Bersuci dari hadas ada tiga macam, yaitu:

1) Thaharah kubro, yaitu mandi besar 2) Thaharah shugra, yaitu whudu

3) Thaharah pengganti keduanya, yaitu tayamum b. Menghilangkan Najis

Menurut I. Z. Arifin (2017) bahwa sebelum melaksanakan thaharah adalah istinja yang mana merupakan teknik menghilangkan najis, adapun najis yang sering mengenai pasien adalah tinja, kencing, muntah, darah atau nanah, dan madzi dan wadzi. Teknik istinja pada pasien, yaitu:

1) Pasien yang Tidak Mampu Menghilangkan Najis

a) Prinsip Dasar: bsgi pasien yang tidak mampu karena berbagai sebab diperbolehkan untuk sholat dengan najis yang menempel ditubuhnya, salatnya sah dan tidak wajib diulang. Hal yang berlaku baik najis menempel pada baju,

(32)

tubuh, perban, alas yg dipakai salat, dan benda yang menempel pada tubuh pasien yang mengandung najis seperti botol kecing, tabu darah, pempers, dan lain lain.

b) Batasan Pasien Tidak Mampu: mendapatkan kesulitan untuk menghilangkan najis, contoh luka yang belum sembuh, beresiko saat menghilangkannya, seperti sakit atau luka akan bertambah parah, dan tidak ada orang untuk membantunya,

2) Pasien yang Mampu Menghilangkan Najis

a) Prinsip Dasar: bagi pasien yang mampu hukunnya wajib, pelaksanaan pembaersihan dapat dilakukan oleh pasien atau dibantu oleh keluarga atau perawat, dan jika area najis kurang dari lima cm persegi atau nol cm sampai lima cm adalah ukuran area najis.

b) Batas Pasien yang Mampu: tidak mendapatkan kesulitan untuk menghilangkan najis yang menempel, tidak beriko saat menghilangkannya, dan adanya orang yang membantunya.

c. Keringan dalam Thaharah

Dalam masalah thaharah yang merupakan syarat dalam melaksankan shalat dan ibadah lainnya, ada keringanan khusus bagi mereka yang sedang sakit, diantaranya:

1) Membolehkan Tayammum

Tayammum diperbolehka sebagai pengganti dari wudhu untuk seseorang yang sakit. Keringan tersebut disebabkan karena walaupun terdapat air akan menyebabkan kondisi pasien lebih parah maka dia boleh bertayammum.

(33)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لُِِ بُِِاِْلصِأ َِِأَِِف ُُِِِْلْا لْبث ُُُُلأَِ ُْف بُلِِْْف ِِِْْ الَُُ لًبَُِ ُِاِصِأِف ءَُِِِ ُْف اُِلَُِِِ : َِاُِ ءُِِاُِ لِّْ

اُِلَُُُِ المُِِف ٍِاِمِف َُِِِِلَاِف ٍاِمْا ىُِْ بَُُلُِت ِْلَِأ ِو لَِّلَبَ َِِْ بُ َُِْ اَِ : اوبْاُِِف ؟ ْنمِْلُْا ُْف لَِّلَبَ ُْْ ِْوبُ ُِْت

ِْاِْ اِملَُإ َاِْنَْا ُُِّْْا بٍاََُِ اِملَُِِف ؟ اوبمُِلُِي ِْْ اُِٰإ اوبِْأُِ َِِأ ل بْبُُُُِِِ بُوبُُُِِ : َِاُِِف َُُِِِِْ ًِِِلَِأ ُل َُوبَُِ ِىُِْ

ُْطَُاُْاو ّواّ وِأ ُاوَ َُُُُُِِ ُِِِاُِ َُِِلِْي ِو اُِلُِِْْ ََِِلمِي لْبث لَُِ لِ َُ ُُ ُْ لِبُ ىُِِْ ُِ ُّلُِي ِو ِْلمُِِِْي لِْأ َُُُْلُِي

“Dari Jabir radhiyallahuanhu berkata “Kami dalam perjalanan tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya “Apakah kalian membolehkan aku bertayammum?” Teman-temannya menjawab “Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air”.

Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu bersabdalah beliau “Mereka telah membunuhnya semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum. (HR. Abu Daud, Ad-Daruquthuny).

2) Mengusap Perban

Selain dibolehkan tayammum, pasien yang menderita luka dan diperban, dia tersebut diperbolehkan tidak membasahi perbannya dengan air, tetapi cukup dengan mengusapkan tangannya yang basah. Artinya, lukanya tetap kering tidak kena air wudhu'. Keringan tersebut dibenarkan dengan dasar hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُلَُِِف ُُ َُاَِِي ُْف اُِوبُُِلُا : ِْلُُِ ِو ُُلُِِْْ ب لل ىلُِص نًُْلُْا َاُِِف يُُِي لَُّ بٍا ِوُُّْا ََُِِِِف ءُبْبأ ِِ لوِي يُُلََِ َُِِبْ

اُِلُِِْْ لََِلَا : َاُِِف ؟ ُُِِاًِِْلْاُِ بُِْلصِأ اَِ ُ لل َوبَُِ اِي : بْلُبُِف ، َُِِ َُلآا ِو اِْلَنُْا ُْف ُِْا ِوُْ بُ ُْاِص

(34)

“Ali bin Abi Thalib berkata,"Lenganku patah pada perang Uhud sehingga terjatuhlah bendera dari tanganku. Lalu Nabi SAW memerintahkan,"Pegang dengan tangan kiri, karena sesungguhnya dia (Ali) akan jadi pemegang bendera di dunia dan akhirat". Lalu Aku bertaka,"Apa yang aku kerjakan bila ada perbannya?". Beliau SAW bersabda,"Cukup diusap di atasnya". (HR. Ibnu Majah)

Adapun tatacara berwudhu atau bertayamum saat sakit sebagai berikut:

a) Berwudhu saat sakit

Gambar 2.5 Berwudhu saat Sakit Sumber: Jabatan Mufti Negara Perlis, 2015

b) Bertayamum

Sebab-sebab dibolehkan bertayamum yaitu tiada air atau ada air tetapi cukup untuk keperluan makan dan minum, apabila penggunaan air akan memudaratkan atau membahayakan penyakit yang dihadapi, dan apabila

Gambar 2.6 Tatacara Bertayamum Sumber: Jabatan Mufti Negara Perlis,, 2015

(35)

B. Hasil Penelitian Relevan

Tabel 2.2

Hasil Penelitian Relevan

No Judul Penelitian Metodelogi Hasil

1. Studi

Fenomenologi Pengalaman Ibadah Pasien Islam yang di Rawat dengan Pendekatan

Spiritual Islam di

Rumah Sakit

Aisyiah

Bojonegoro dan Rumah Sakit Haji Surabaya

(Bakar dan

Kurniawati, 2013)

Study

Phenomenolo gical

Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak semua responden melaksanakan ibadah sesuai dengan yang diperintahkan agama yaitu shalat wajib lima waktu. Hal ini disebabkan karena kelemahan fisik dan kondisi yang tidak suci. Kondisi ini juga diperlemah dengan kurang dilaksanakannnya asuhan keperawatan spiritual oleh perawat. Perawat hanya mengingatkan pasien waktunya sholat, arah kiblat, peralatan doa, peralatan tayamum, dan tidak melakukan pengkajian spiritual serta diagnose keperawatan.

2. Kebutuhan

Spiritual pada Pasien Kanker (Nuraeni et al., 2015)

Deskriptif

Kualitatif Hasil penilitian ini bahwa semua dimensi kebutuhan spiritual sangat dibutuhkan oleh responden, dan kebutuhan religi merupakan kebutuhan yang paling banyak dipilih dan dirasakan paling dibutuhkan

3. Hubungan antara Spiritualitas dan Efikasi Diri dengan Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Rs Jogja (Damayanti et al., 2014)

Analitik Korelasi Cross- sectional.

Hasil dari penilitian ini bahwa tidak ada hubungan karakteristik responden dengan kepatuhan kecuali jenis kelamin, status ekonomi dan pengetahuan tentang DM. Ada hubungan antara spiritualitas dengan kepatuhan setelah dikontrol dengan variabel jenis kelamin, status ekonomi dan pengetahuan, dimana pasien DM Tipe 2 dengan spiritualitas baik akan mempunyai peluang untuk patuh 4,34 kali dibandingkan dengan individu yang mempunyai spiritualitas kurang baik setelah dikontrol dengan variabel jenis kelamin, status ekonomi, pengetahuan tentang Efikasi diri adalah variable yang dominan mempengaruhi kepatuhan, pasien DM tipe 2 dengan efikasi diri baik akan mempunyai kecenderungan untuk

(36)

patuh 4,48 kali dibandingkan dengan individu yang mempunyai efikasi diri kurang baik setelah di kontrol dengan variabel jenis kelamin, status ekonomi dan pengetahuan tentang DM.

4. Fenomena Konflik, Ansietas, Dan Depresi Pada Klien Kanker setelah Didiagnosa Satu

Tahun dan

Mendapat Terapi di

Rumah Sakit

Umum(Turnip et al., 2015)

Kualitatif dengan pendekatan fenomenologi

Hasil penelitian ini terdapat sembilan tema yang dihasilkan, kecemasan tentang penyebaran kanker dan kekambuhan, perubahan hubungan dengan pasangan,

“labeling” dari diri sendiri dan orang lain, ketidaknyamanan fisik selama pengobatan, ketidaknyamanan psikologis selama pengobatan, konsep diri, religiud/spiritual, menyembunyikan diagnosa dan keluhan, dan kurang informasi tentang kanker. Namun, empat tema diantaranya tidak menunjukkan konflik, ansietas, dan depresi. Konflik, ansietas, dan depresi memengaruhi kondisi klien kanker.

5. Islamic Religiosity, Depression and Anxiety Among Muslim Cancer Patients

(Basri et al., 2015)

Metode penelitian analitik dengan pendekatan Cross sectional

Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara skor religiusitas Islam dengan depresi dan kecemasan. Depresi juga ditemukan berhubungan negatif dengan subskala kepribadian agama. Pasien yang lebih tua mendapat skor yang lebih tinggi secara signifikan pada pandangan dunia Islam dan kepribadian religius sedangkan pasien dengan pendidikan tinggi mendapat skor lebih tinggi pada pandangan dunia Islam. Pasien yang sudah menikah mencetak skor yang jauh lebih tinggi pada kepribadian agama daripada pasien tunggal. Hasil memberikan wawasan tentang peran signifikan intervensi agama yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesehatan psikologis pasien kanker terutama Muslim di Malaysia.

6. ‘‘Trust in the Lord’’: Religious and Spiritual Practices of African American Breast Cancer Survivors (Lynn et al., 2013)

Metode penelitian wawanacara menggunakan kuesioner

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mayoritas wanita di daerah Afrika dan Amaerika menggunakan praktik agama dan spiritual individu untuk mengatasi diagnosis dan perawatan kanker payudara mereka.

(37)

Dilihat dari beberapa hasil jurnal diatas memiliki kesama topik terhadap spiritualitas terhadap pasien paliatif, dimana pada jurnal pertama dengan metodelogi study phenemonologickal dan pada jurnal keenam dengan metode wawancara memiliki kesama yaitu menggambarkan pengalaman ibadah yang sedang melakukan perawatan, namun pada jurnal pertama menunjukan sebagian responden yang sedang melakukan perawatan di rumah sakit tidak melaksakan ibadah sedangkan pada jurnal keenam menunjukan praktik ibadah sebagai salah satu cara untuk mangatasi kondisi responden. Pada penelitian kedua dengan menggunakan metode deskriptif menunjukan bahwa kebutuhan spiritual sangat dibutuhkan dalam perawatan paliatif dan dalam demensi ritual ibadah yang paling rendah pada penelitian ini. Dengan ketiga jurnal tersebut membuat peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengenain kebutuhan spiritual khususnya terhadap dimensi ritual.

Pada jurnal ketiga menggunakan analitik korelasi dengan desain cross sectional menunjukan bahwa dengan spiritualitas baik akan mempunyai peluang tinggi untuk patuh dibandingkan dengan individu yang mempunyai spiritualitas yang kurang. Pada jurnal ke empat dengan metode kualitatif dengan pendekatan fenomologi menunjukan bahwa spiritual mempengaruhi kondisi psikologi pasien kanker. Dan pada jurnal kelima menggunakan analitik korelasi dengan desain cross sectional menunjukan bahwa peran dari intervensi agama memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesehatan psikologi pasien kanker. Dari keseluruh jurnal tersebut peneliti menyimpulkan dengan meningkatkan kepatuhan spiritual khususnya pada dimensi ritual dapat membantu mutu pelayan perawatan paliatif.

(38)

Sehingga dari hasil jurnal tersebut dan latar belakang membuat peneliti sangat tertarik terhadap bagaimana gambaran kepatuhan praktik ibadah khusunya praktik shalat pasien paliatif.

(39)

C. Kerangka Pemikiran

Perawatan Paliatif Perawatan yang meliputi aspek:

1. Aspek Psikologi 2. Aspek Sosial 3. Aspek Fisik 4. Aspek Spiritual

Empat dimensi spirtualitas manusia, yaitu: 1. Makna Hidup

2. Pengalaman Spiritual 3. Emosi Positif

4. Ritual

Ritual ibadah merupakan melaksanakan ibadah seperti Ibadah magdhoh dan ibadah ghoir magdhoh

Ibadah Shalat

Faktor yang mepengaruhi kepatuhan:

1. Krakteristik 2. Pengetahuan

3. Motifasi dalam bentuk dukungan sosial dan keyakian

4. Lama menderita penyakit

Faktor yang

mempengaruhi praktik ibadah:

1. Krakteristik 2. Peran keluaga 3. Etnik dan budaya 4. Pengalaman hidup 5. Krisis dan perubahan 6. Isu moral

7. Ikatan spiritualitas Kepatuhan Praktuk

Ibadah Shalat Lima Waktu Diteliti

Tidak Diteliti

Bagan 2.1

Kerangka Pemikiran Kepatuhan Pelaksanaan Praktik Ibadah Shalat Lima Waktu dan Thaharah (Yusuf, 2017; Martoni et al., 2013; Damayanti, 2014;

Khairunnisa, 2017).

Gambar

Gambar 2.1 Shalat Berdiri Disisi Katil Sumber: Jabatan Mufti Negara Perlis, 2015
Gambar 2.3 Shalat dengan Dua Kaki Terlunjur Sumber: Jabatan Mufti Negara Perlis, 2015
Gambar 2.4 Shalat Berbaring Sumber: Jabatan Mufti Negara Perlis, 2015
Gambar 2.6 Tatacara Bertayamum Sumber: Jabatan Mufti Negara Perlis,, 2015

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui ada atau tidaknya pengaruh insider ownership terhadap hubungan dari rasio operating capacity dengan financial distress pada perusahaan perbankan yang terdaftar

Dalam sistem pencatatan kehadiran siswa secara otomatis kendala terdapat pada biaya pengeluaran yang besar misal untuk membuat semua kartu khusus dan pembelian mesin

Produk yang akan dihasilkan adalah pengembanggan. Proses pembuatan produk ini, penulis memperoleh data dengan cara melakukan wawancara dengan ibu-ibu. Dalam melakukan

Pentaksir sekolah perlu memindahkan markah yang ditaksir ke Borang Final Individual Score Form dan menyerahkan semua eviden dan Rekod untuk disimpan oleh Ketua Pentaksir

Seringkali, sebuah organisasi, organisasi bisnis misalnya, perlu menyajikan berbagai data yang menginformasikan perkembangan berbagai prestasi seperti perkembangan

 Konsep pembangunan rumah susun yaitu dengan bangunan bertingkat yang Konsep pembangunan rumah susun yaitu dengan bangunan bertingkat yang dapat dihuni bersama, dimana

Besar PAD yang diperoleh daerah tergantung dari besar penerimaan komponennya (pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan

time management yang baik, kemauan untuk berusaha, dan kemampuan untuk memusatkan pikiran pada hal yang sedang dikerjakan serta berdoa, niscaya target lulus dalam 2