• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia secara historis memiliki nenek moyang sama (monokultural), yakni bangsa Melayu Austronesia. Kemudian datangnya ras dari luar, agama-agama luar, kolonialisme dan globalisasi akhirnya menjadi masyarakat multikultur. Multikulturalisme Indonesia ditandai dengan hasil budaya dengan ciri khas budaya masing-masing sangat mudah dibedakan.

Multikulturalisme dapat dimaknai sebagai “world view of politics recognition”, terhadap ideologi, realitas pluralis dan kebhinekaan dalam kehidupan masyarakat (Putranto, 2011:159).

Istilah multikultural dewasa ini ramai diperbincangkan di berbagai kalangan yang berkenaan dengan bermunculannya konflik etnis di berbagai wilayah negeri Indonesia. Multikultural yang dimiliki Indonesia masih dianggap sebagai faktor terjadinya sebuah konflik. Konflik yang mengandung unsur SARA yaitu suku, agama, ras, dan antargolongan yang terjadi diberbagai daerah. Hal tersebut adalah realitas yang dapat mengancam integrasi bangsa Indonesia.

Masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan motto Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi motto tersebut seringkali hanya menempati kesadaran kognitif masyarakat pada umumnya dan menjadi jargon penguasa politik, belum menjadi implementasi secara nyata dan tepat dalam kehidupan sosial masyarakat sehari- hari (Suryana dan Rusdiana, 2015:193). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Lawrence Blum bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan, penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya orang lain. Banyak teori multikultural dalam perspetif historis belum banyak ditemukan atau merujuk pada sejarah lokal atau jejak sejarah pluralisme yang terkait dengan genealogi kekuasaan, perdagangan dan kondisi geografis di Nusantara, masih jarang ditemukan (Watson, 2000:87- 104).

(2)

commit to user

Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan tentang keragaman kehidupan di dunia atau kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan tentang adanya keragaman, kebhinekaan, pluralitas sebagai realitas utama dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem sosial-budaya dan politik yang dianut (Azra, 2007:10).

Supardi (2014:91) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang mengakui perbedaan atau keberagaman dalam satu bingkai kebersamaan dan kesederajatan. Konsep pendidikan multikultural relevan dalam konsep negara yang mempunyai keanekaragaman budaya seperti Indonesia.

Pendidikan merupakan salah satu media efektif untuk mengembangkan kesadaran multikulturalis. Pendidikan sejarah, merupakan salah satu konsep pendidikan yang bertujuan untuk membangun sikap demokrasi, nasionalisme dan kesadaran multikultural.

Dipihak lain (Hanum, 2005) mengungkapkan bahwa dalam konteks kehidupan masyarakat yang pluralis, pemahaman yang berdimensi multikultural harus dihadirkan untuk memperluas wacana pemikiran manusia yang selama ini masih mempertahankan “egoisme” kebudayaan dan keragaman. Havilland (1988) mengatakan bahwa multikultural dapat diartikan sebagai pluralitas kebudayaan dan agama. Dengan demikian memelihara pluralitas akan tercapai kehidupan yang ramah dan penuh perdamaian.

Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Sikap ini harus dilatihkan dan dipahami pada generasi muda atau peserta didik dalam sistem pendidikan nasional. Pendidik tidak hanya dituntut menguasai dan mampu secara profesional mengajar, seorang pendidik harus mampu menanamkan nilai-nilai multikultural untuk tercapainya bangsa Indonesia yang demokratis dan humanis.

Sejak lama, Bangsa Indonesia diingatkan untuk dapat hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka ragam suku bangsa, agama, ras, dan antar golongan. Masyarakat diserukan untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan dalam perbedaan sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya bahwa kita

(3)

commit to user

semua selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan dijadikan alasan terjadinya konflik. Dalam studi sosial diajarkan untuk selalu hidup berdampingan secara damai (koeksistensi damai) ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme.

Berdasarkan penelitian pendahuluan dihasilkan bahwa wacana multikultural tersebar dalam beberapa sub-bab dalam buku teks Sejarah Indonesia seperti dalam pokok bahasan asal usul dan persebaran nenek moyang Bangsa Indonesia, silang budaya, geografis kerajaan Hindu-Buddha, Islam, organisasi pergerakan kemerdekaan. Wacana multikultural tidak menjadi indikator penilaian utama dalam penelaahan buku teks pelajaran Sejarah Indonesia, akan tetapi merupakan indikator penilaian sisipan yang dilakukan oleh tim penelaah. Wacana multikultural belum menjadi pengembangan dalam kerangka penanaman kepada peserta didik dalam mengembangkan kompetensinya.

Berlandaskan dari realitas diatas, rasanya saat ini semaklin perlunya kebijakan pemerintah atau dapat disebut politik multikultural yang memihak keberagaman. Kebijakan tersebut nantinya diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada secara positif. Perbedaan dalam keberagaman area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik akan tetapi sebaliknya mendorong dinamika masyarakat ke arah yang lebih baik. Problem kebijakan multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat memicu munculnya problem selanjutnya.

Mata pelajaran sejarah merupakan pelajaran yang diajarkan di sekolah- sekolah seluruh wilayah Indonesia yang dimulai dari tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah. Materi yang diajarkan terkait peristiwa-peristiwa sejarah yang telah terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Konstruksi penulisan sejarah sejarah tersebut ada pada buku teks pelajaran sejarah yang merupakan sumber atau media dalam pelaksanaan belajar mengajar pelajaran sejarah di ruang kelas (Mulyana,

(4)

commit to user

2017 :3). Jadi buku teks pelajaran merupakan bagian dari historiografi sejarah pendidikan.

Pada Kurikulum 2013 mata pelajaran “Sejarah Indonesia” adalah satu di antara mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh semua peserta didik. Kurikulum 2013 ini menyediakan “Buku Guru” yang merupakan panduan kepada guru yang harus dilakukan di dalam proses pembelajaran di kelas dan buku siswa sebagai materi belajar dan latihan untuk peserta didik.

Lembaga pendidikan bertanggungjawab untuk menjaga dan mengembangkan pengetahuan yang tumbuh di dalam masyarakat. Pendidikan sejarah, yang di pendidikan menengah ke bawah dikenal sebagai mata pelajaran merupakan bagian sentral dari kurikulum pendidikan. Sejajar dengan tugas lembaga pendidikan, mata pelajaran sejarah memiliki tugas untuk menjaga dan mengembangkan identitas kultural masyarakat (Purwanta, 2015:154).

Garvey & Krug, (2015: 60) menjelaskan bahwa buku teks sejarah pada umumnya sama dengan buku referensi dan sebagian besar buku-buku sejarah disusun berdasarkan perencanaan yang sama dengan referensi sekunder. Dipihak lain Sitepu, (2015:16) bahwa buku sumber adalah buku yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang telah terjamin kebenarannya serta bersifat baku sehingga dapat dijadikan rujukan resmi dalam belajar dan membelajarkan.

Unsur-unsur pendukung penggunaan buku teks dipaparkan secara rinci oleh Ansary dan Babaii (2002:2) sebagai berikut: pertama, buku teks merupakan kerangka kerja yang mengatur dan menjadwalkan waktu kegiatan program pengajaran. Kedua, di mata peserta didik, tidak adanya buku teks berarti tidak ada tujuan. Ketiga, tanpa adanya buku teks peserta didik mengira bahwa mereka tidak ditangani secara benar atau serius. Keempat, dalam banyak situasi, buku teks berperan sebagai silabus. Kelima, buku teks menyediakan teks pengajaran dan tugas pembelajaran yang siap untuk dipakai. Keenam, buku teks merupakan cara yang dapat dikatakan mudah untuk menyediakan bahan pembelajaran. Ketujuh, peserta didik tidak mempunyai fokus yang jelas tanpa adanya buku teks dan ketergantungan pada guru menjadi tinggi. Kedelapan, bagi guru baru yang belum berpengalaman, buku teks berarti keamanan, petunjuk, dan sebuah bantuan.

(5)

commit to user

Bahasa dalam bentuk narasi tulisan sejarah memiliki arti yang sangat penting. Sejarah dalam bentuk sebuah tulisan dapat masuk dalam bagian seni karena dalam sejarah ada unsur cerita. Karya sejarah termasuk juga ke dalam hasil kebudayaan. Bahasa dalam bentuk budaya dan intelektual merupakan media pertukaran hubungan antar kekuatan dan konstitutor terakhir dari kebenaran dalam penulisan dan pemahaman tentang masa lalu (Purwanto, 2006:3). Bahasa yang digunakan oleh penulis sejarah akan memiliki makna. Makna dalam konteks ini dapat dikaitkan dengan interpretasi sejarah.

Deskripsi uraian materi sejarah dalam buku teks dapat pula merupakan konstruksi pemikiran dari penulis buku. Sebuah konstruksi pemikiran dalam bentuk tulisan sejarah sudah tentu akan menjadi subjektif. Subjektifitas ini merupakan hal yang wajar dalam sebuah tulisan sejarah, karena sejarah merupakan ilmu kemanusiaan yaitu ilmu yang banyak membicarakan tentang kehidupan manusia (Kuntowijoyo, 2008:16). Hasil penelitiannya akan dipengaruhi oleh unsur manusianya sendiri.

Uraian materi yang merupakan hasil konstruksi pemikiran penulis buku menjadi masalah di lapangan bagi guru yaitu bagaimana buku tersebut diajarkan.

Hal yang harus diperhatikan oleh guru ketika bagaimana buku teks diajarkan.

Pertama, bagaimana guru memahami materi yang ada dalam buku dan kedua bagaimana metodologi pembelajaran yang harus digunakan yang sesuai dengan materi.

Mengingat kedudukan buku teks, pada tahun 2013 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Di dalam peraturan tersebut terdapat penjelasan terkait buku yaitu buku panduan guru, yaitu pedoman yang memuat strategi pembelajaran dan penilaian untuk setiap mata pelajaran dan atau tema pembelajaran dan buku teks pelajaran adalah sumber pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan kompetensi inti.

Buku teks pelajaran merupakan satu diantara sumber dan media pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Guru dituntut untuk memahami isi materi yang tercantum dalam

(6)

commit to user

buku teks pelajaran, karena pada umumnya buku teks pelajaran yang digunakan oleh guru ditulis oleh orang lain atau penulis buku dari suatu penerbit. Penulis buku biasanya mencoba menginterpretasikan sendiri deskripsi materi yang harus ditulis berdasarkan kompetensi dasar dan kompetensi inti sebagaimana yang tercantum dalam standar isi. Buku yang sama dengan penulis yang berbeda menginginkan terjadinya deskripsi materi yang berbeda.

Hal ini terjadi pula dalam buku teks sejarah, apalagi sejarah merupakan ilmu yang penuh dengan interpretasi ketika data dideskripsikan. Salah satu cara yang dilakukan oleh guru dalam memahami isi buku teks pelajaran sejarah adalah dengan pendekatan historiografi (Mulyana, 2009:1).

Buku teks merupakan komponen penting dalam proses pembelajaran. Buku teks merupakan bagian dari sumber belajar. Buku teks juga merupakan bagian penting daripada implementasi kurikulum. Penulis buku teks menginterpretasikan kurikulum dan menuliskannya dalam suatu bentuk yaitu buku teks. Materi dalam buku teks sejarah wajib berlandaskan pada kurikulum. Secara teoritis kurikulum merupakan kebijakan politik, materi pelajaran sejarah tidak dapat terlepas dari kepentingan politis suatu pemerintahan. Kondisi politik negara sangat berpengaruh terhadap suatu kurikulum dan materi di dalam buku teks sejarah. Hal demikian terjadi karena buku-buku teks sejarah di sekolah merupakan dasar untuk mengembangkan suatu kesadaran sejarah dan nasional menurut versi negara (Nordholt, 2013:15).

Pasca pemerintahan Soeharto, sejarah nasional menurut versinya tidak lagi dipercaya. Mulai muncul perdebatan terkait persoalan sejarah yang sensitif atau sejarah kontroversial dan mendapat liputan luas dari media massa. Persoalan sejarah itu diperdebatkan di arena publik belum pernah terjadi di masa sebelumnya. Masa itu pula di satu sisi guru-guru sekolah kesulitan menjawab pertanyaan peserta didik yang kritis, dan di sisi lain media dengan leluasa memberikan tempat sebagai “upaya meluruskan sejarah”.

Juwono Sudarsono saat itu menjadi Menteri Pendidikan (1998-1999) memerintahkan agar diadakan penyelidikan mengenai persoalan ini untuk memperbaiki isi buku resmi pelajaran sekolah. Revisi buku pelajaran setelah 1999

(7)

commit to user

memang mengubah penyajian periode “Orde Baru”. Jika di dalam kurikulum 1994 dijelaskan kelahiran, hasil-hasil, dan nilai-nilai orde baru, termasuk juga

„integrasi‟ Timor-Timur, maka dalam edisi revisi 2001 „Orde Baru‟ hampir sama sekali dihapus (Nordholt, 2013:18).

Di tahun 2004, buku teks sejarah mengalami perubahan kembali, perubahan dalam buku teks pada Gerakan 30 September 1965 dimana sering dianggap kontroversial. Di dalam kurikulum 2004 tidak mencantumkan kata PKI di belakang kata G30S sehingga buku teks sejarah pun mencantumkan berbagai versi mengenai terjadinya peristiwa G30S. Ketika dilihat dari perspektif ilmu sejarah perubahan ini tidaklah salah. Pencantuman berbagai versi mengenai peristiwa G30S sebetulnya dapat memancing peserta didik untuk berpikir kritis mengenai sejarah yang dianggap kontroversial. Perubahan ini ternyata menuai dampak yang sensitif dari segi politik, sehingga dalam kurikulum berikutnya yang mana berlaku mulai tahun 2006 penyebutannya kembali lagi menjadi G30S/PKI.

Perubahan diatas terjadi karena adanya intervensi kelompok masyarakat tertentu dan negara. Pada tahun 2005 beberapa tokoh Islam seperti Jusuf Hasyim, Taufiq Ismail, dan Fadli Zon mendatangi DPR dan mempertanyakan kenapa dalam kurikulum 2004 tidak mencantumkan tentang pemberontakan PKI 1948 dan 1965. Setelah melakukan hearing dengan DPR, Menteri Pendidikan Nasional membentuk tim khusus untuk menangani masalah ini. Hasil dari rekomendasi tim tersebut adalah peristiwa PKI Madiun 1948 perlu dimasukkan kembali dalam pendidikan sejarah, selain itu perlu juga pencantuman kata PKI setelah Peristiwa G30S sehingga menjadi G30S/PKI (Adam, 2006:xvii).

Menurut Wineburg (2001:6) sejarah diperlukan untuk diajarkan di sekolah dikarenakan memiliki potensi guna menjadikan manusia yang memiliki sikap berperikemanusiaan. Hakikat sikap kemanusiaan adalah sikap yang menghargai diri sendiri dan orang lain. Pandangan seperti tersebut sejalan dengan esensi sikap multikultural yakni kemampuan menunjukkan kepada orang lain adalah merupakan bagian dari kita dalam sebuah perbedaan (Rosado, 1996:4). Manusia sebagai individu hidup berdampingan dan mengakui perbedaan baik secara kultural, etnik, dan golongan dalam suatu masyarakat yang beragam.

(8)

commit to user

Pada Kurikulum 2013, terdapat buku guru dan buku siswa dalam mata pelajaran wajib, dalam hal ini pelajaran sejarah termasuk dalam pelajaran wajib.

Buku yang digunakan adalah buku guru dan siswa. Adapun buku guru adalah buku yang dijadikan pedoman oleh guru dalam proses pembelajaran, dalam buku guru juga memuat langkah-langkah dalam proses belajar mengajar dan juga evaluasi. Adapun buku siswa adalah buku yang menjadi pegangan peserta didik dalam proses pembelajaran. Buku siswa tersebut memuat materi pembelajaran sejarah Indonesia. Terkait kedua buku tersebut, tanpa adanya seorang guru di kelas. Peserta didik diharapkan dapat belajar dengan sendiri.

Konstruksi penulis buku teks mengenai berbagai peristiwa sejarah yang di tulis dalam buku teks menarik untuk dikaji. Hal ini perlu dilakukan guna mengungkap makna di balik wacana-wacana yang disajikan dalam buku teks sejarah. Sejarah sesungguhnya dapat dianggap sebagai suatu sistem wacana, discourse, yang ingin mengatakan „sesuatu tentang sesuatu‟

(Abdullah,2005:xviii). Wacana sejarah terikat oleh konteksnya, terutama konteks waktu yang merupakan salah satu ciri khas dari studi sejarah.

Pengungkapan makna wacana sejarah ini penting sekali karena praktik wacana dalam sejarah, seperti praktik wacana pada umumnya, sebenarnya merupakan praktik sosial yang dipengaruhi oleh kekuasaan ataupun ideologi.

Guna menguasai seseorang atau kelompok tertentu maka negara/ penguasa harus dapat mempengaruhi pemikiran mereka (van Dijk, 1998:10). Pengungkapan makna dibalik wacana yang tersaji dalam buku teks sejarah dapat dilakukan dengan analisis wacana kritis.

Analisis wacana kritis adalah salah satu cabang studi bahasa dengan pendekatan yang multidisipliner. Analisis wacana kritis tidak memahami wacana atau teks semata-mata sebagai objek studi bahasa, namun teks harus dipahami dalam konteksnya. Wacana dipandang sebagai teks yang selalu terikat pada konteks. Kita dapat memahami makna teks jika membacanya dalam konteks tertentu. Teks dalam hal ini tidak selalu berupa tulisan, namun juga ujaran. Ilmu sosial yang meminjam analisis wacana kritis dalam studinya bahkan melihat

(9)

commit to user

tindakan atau fenomena sosial sebagai teks yang harus di pahami maknanya dalam konteks sosial tertentu.

Teks juga dapat diartikan sebagai alat untuk mencapai tujuan atau praktik sosial tertentu, termasuk praktik ideologi. Teun van dijk (1998:1) menyatakan:

Critical discourse analysis primarily studies the way social power abuse, dominance and inequality are enacted, reproduced and resisted by text and talk in the social and political context...critical discourse analysis take explicit position and thus want to understand, expose and ultimately to resist social inequality.

Wacana sebagai praktik sosial tidak jarang muncul dalam bentuk praktik ideologi. Analisis wacana kritis perlu dilakukan dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan formal, dikarenakan pembelajaran secara langsung bersinggungan dengan teks atau wacana. Negara dan atau penguasa berusaha menggunakan wacana dalam pendidikan untuk tujuan dan maksud tertentu, termasuk juga untuk praktik ideologi. Mata pelajaran sejarah memiliki arti penting dalam membangun kesadaran sejarah dan terutama membangun kesadaran nasional suatu bangsa. Kesadaran sejarah merupakan sumber aspirasi dan inspirasi yang potensial guna membangkitkan sense of pride (kebanggaan) dan sense of obligation (tanggung jawab dan kewajiban) (Kartodirjo, 2005:121). Maka dari itu negara sangat berkepentingan dalam praktik wacana sejarah dalam buku teks yang digunakan di sekolah.

Praktik wacana ideologi dalam buku teks merupakan salah satu cara untuk legitimasi kekuasaan dan melestarikan nilai-nilai yang dianggap penting oleh negara atau penguasa pada masanya. White (1987:3) melakukan pembedaan antara wacana (discourse), narasi (narrative), dan wacana yang dinarasikan (narrativizing discourse) yang didasarkan pada keberadaan subyektifitas dan obyektifitas dalam sebuah narasi. Disisi lain dalam narasi terdapat plot yang menunjukkan bagaimana kerangka dan alur narasi dibangun mendekati suatu peristiwa sejarah (historical events). White juga menyatakan bahwa corak dari narasi sejarah tersebut mendapat pengaruh oleh jiwa zaman dan ideologi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan gaya narasi pada setiap zaman.

(10)

commit to user

Hal di atas menarik untuk diteliti, terutama terkait tema-tema yang menggambarkan multikultural dalam praktik wacana, proses produksi wacana ideologi, dan konteks politik pendidikan yang melingkupinya.

Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini terutama ditujukan guna memporleh pemahaman yang mendalam terkait wacana multikultural di dalam tema-tema buku teks sejarah di tingkat sekolah menengah atas. Wacana multikultural dalam buku teks sejarah penting dilaksanakan guna mengukur ketepatan bahan ajar pada buku teks dari sudut pandang fungsi mata pelajaran sejarah secara mandiri. Melalui pemahaman wacana multikultural dan kemudian dilakukan langkah kritik wacana multikultural dalam buku teks sejarah dapat ditemukan format yang relatif memadai untuk penyusunan bahan ajar dalam bentuk buku teks mata pelajaran sejarah bagi peserta didik di masa-masa yang akan datang.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana analisis teks wacana multikultural yang dikembangkan dalam buku teks pelajaran sejarah SMA ?

2. Bagaimana praktik wacana multikultural dalam buku teks sejarah SMA?

3. Bagaimana konteks politik pendidikan dalam kontestasi wacana multikultural dalam buku teks pelajaran sejarah SMA ?

C. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis teks wacana multikultural yang dikembangkan dalam buku teks pelajaran sejarah SMA.

2. Menganalisis praktik wacana multikultural dalam buku teks sejarah SMA.

3. Menganalisis konteks politik pendidikan dalam kontestasi wacana multikultural yang dikembangkan dalam buku teks sejarah.

(11)

commit to user D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitan ini secara teoritis dapat memberikan sebuah kajian ilmiah terkait wacana multikultural dalam buku teks pelajaran sejarah Sekolah Menengah Atas. Kajian terkait wacana multikultural ini dirasakan penulis masih kurang sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan digunakan sebagai sebuah acuan atau pedoman dalam penelitian selanjutnya terkait wacana multikultural.

2. Manfaat Praktis

Melalui pengkajian yang dilakukan, diharapkan penelitian ini akan mampu memberi manfaat bagi guru sejarah, penyusunan atau penulis buku teks dan pengambil kebijakan, terutama dalam pengembangan buku teks mata pelajaran sejarah di tingkat SMA, sehingga lebih efektif menanamkan kesadaran realitas Bangsa Indonesia yang multikultur dan mampu menghormati menghayati antar sesama manusia dalam diri para siswa. Bagi kalangan guru sejarah, penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman tentang bahan ajar dan berbagai pertimbangan yang diperlukan untuk memilih bahan ajar dan berbagai pertimbangan yang diperlukan untuk memilih bahan ajar. Apabila kecerdasan dan otonomi guru sejarah dalam memilih bahan ajar dapat berkembang optimal, berbagai tekanan yang dilakukan oleh pihak tertentu dapat ditanggapi secara jernih dan rasional.

Guru sejarah dapat menjelaskan secara ilmiah berbagai keputusannya dalam memilih bahan ajar.

Bagi penyusun atau penulis buku teks, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang berbagai pertimbangan yang diperlukan dalam memilih kajian historis untuk ditampilkan sebagai tawaran bahan ajar pada buku teks. Penyusun dan penulis buku teks dapat dapat belajar terhadap kekuatan dan kelemahan yang terdapat pada buku teks sejarah di Indonesia serta menemukan peluang mengembangkannya di masa-masa yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

“1) sebagian besar indikator keterpaduan pada buku teks sesuai, tetapi masih ada kesalahan penomoran KD yang sesuai dengan Permendikbud Nomor 67 Tahun 2013 dan

Penelitian tersebut dilakukan dengan cara mendapatkan data yang kemudian dideskripsikan serta dianalisis untuk mencari informasi dan menganalisa daya tarik masyarakat terhadap

Pada penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan adalah hasil penelitian, buku teks, jurnal hukum maupun non hukum baik tingkat nasional maupun internasional,

Peneliti melakukan penelitian mengenai kritik sosial keagamaan berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam cerpen yang diceritakan pengarang, kemudian merelasikan dengan

pola kategori-kategori kalimat tunggal yang terdapat pada buku teks bahasa Indonesia. SMA

Setelah melalui tahap kritik sumber, kemudian melakukan interpretasi atau penafsiran atau memberi makna pada fakta-fakta yang atau bukti-bukti sejarah. Bukti-bukti tentang

Dengan demikian untuk meminimalkan adanya kesalahan konsep pada buku teks pelajaran Fisika khususnya pada materi Usaha dan Energi, maka perlu diadakan penelitian untuk

Melakukan perbandingan antara pemahaman para filsuf tentang apa itu kelas menengah, dan bagaimana hubungannya antara kelas menengah dengan sejarah, yang kemudian