Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
BLOK KETERAMPILAN MEDIS DASAR 2 1. PENDAHULUAN
Blok keterampilan medis dasar II akan dilaksanakan pada semester ke 2 tahun ke 1 dengan waktu 11 minggu. Pada blok ini mahasiswa akan belajar tentang ilmu keterampilan medis dasar terkait dengan sistem fisiologis. Selama 11 minggu blok ini, mahasiswa diharap memiliki keterampilan teknik-teknik pengambilan specimen darah, pembuatan hapusan darah, pemeriksaan sadari, pemeriksaan feses, Pemeriksaan Gram dan KOH serta beberapa teknik pemeriksaan dasar.
Program pembelajaran aktif yang akan dilaksanakan yaitu dengan melakukan pengembangan dan inovasi pendidikan. Salah satu yang telah disepakati untuk dikembangkan dan dilaksanakan adalah program Early Clinical Exposure dalam bentuk Keterampilan Medik Dasar (KMD). Program ini bertujuan untuk memaparkan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan keterampilan klinik baik medik maupun bedah kepada mahasiswa kedokteran sedini mungkin
.
2. TUJUAN BLOK
Setelah menyelesaikan blok KMD 2 ini, mahasiswa diharap mampu:
1. Melakukan Pemeriksaan Fisik Abdomen Dasar
2. Melakukan Pembuatan Preparat Dan Pemeriksaan Feses
3. Melakukan Pemeriksaan Inspeksi Dan Palpasi Leher( Palpasi Thyroid, Trachea, Dan Kelenjar Saliva)
4. Menyusun Dan Memberikan Solusi Diet
5. Melakukan Pemeriksaan Sistem Sensoris, Motorik Dan Refleks Fisiologis 6. Melakukan Pemeriksaan Saraf Cranial (Bagian 1, N. I-VII, IX)
7. Melakukan Pemeriksaan Saraf Cranial (Bagian 2, N. VIII, X, XI, XII)
8. Melakukan Pengambilan Darah Intravena, Pembuatan Apusan Darah, Penentuan Golongan Darah
9. Pemeriksaan Ginekologi
10. Pemeriksaan Urinalisis Dan Tes Kehamilan
11. Pemeriksaan Ukuran Pelvis Wanita Dan Pemeriksaan Payudara(SADARI)
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
3. PRAKTEK KETERAMPILAN
Skills lab terdiri atas keterampilan pemeriksaan fisik diagnostik, keterampilan laboratorium, keterampilan prosedural dan keterampilan terapeutik. Pada blok KMD 2 ini terdapat 12 topik keterampilan yang dibagi menjadi 3 tahap dimana pelaksanaannya disesuaikan dengan Blok lain yang sedang berlangsung. Masing-masing skill dilatihkan sebanyak 2 kali, selama 3 jam. Modul ini memuat materi skill lab untuk tahap ketiga yang terdiri atas :
1. Melakukan Pemeriksaan Sistem Sensoris, Motorik Dan Refleks Fisiologis 2. Melakukan Pemeriksaan Saraf Cranial (Bagian 1, N. I-VII, IX)
3. Melakukan Pemeriksaan Saraf Cranial (Bagian 2, N. VIII, X, XI, XII)
4. Melakukan Pengambilan Darah Intravena, Pembuatan Apusan Darah, Penentuan Golongan Darah
4. SISTEM PENILAIAN a. Formatif
Prasyarat ujian :
▪ Kehadiran di skills lab : 100%
▪ Etika pada skills lab : sufficient (berbasis checklist) b. Sumatif, terdiri atas :
- Pretest : 10%
- Postest : 15 %
- Nilai harian skills lab : 20%
- OSCE Komprehensif : 55% (NBL Ujian OSCE Komprehensif = 70) c. Standar Penilaian
Penilaian Acuhan Patokan (PAP)/criterion-reference dengan nilai patokan berdasarkan aturan institusi.
A = 80-100 C = 60-64,99 B+ = 75-79,99 D+ = 55-9,99 B = 70-74,99 D = 50-54,99 C+ = 65-69,99 E = 0-44,99 d. Remediasi:
Jika nilai mahasiswa berada di bawah NBL Ujian OSCE maka:
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
1. dilakukan 1 kali remedial di minggu remedial pada akhir semester dengan nilai maksimal yang diperoleh adalah 70.
2. Apabila nilai ujian keterampilan masih berada di bawah nilai lulus (70), nilai yang diperoleh masih berada di bawah nilai lulus, maka nilai yang diambil adalah nilai yang tertinggi.
3. Apabila setelah remediasi nilai akhir blok masih berada di bawah nilai batas lulus blok, maka mahasiswa diwajibkan mengulang blok.
4. TATA TERTIB
a. Mahasiswa wajib mengikuti seluruh proses kegiatan skill lab 100%
b. Ketidak hadiran hanya diperkenankan apabila:
1. sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan sakit dari dokter
2. mendapat musibah kematian keluarga inti dengan surat keterangan dari orang tua/Wali
3. mendapat tugas dari fakultas/universitas dengan surat keterangan dari Ketua Program Studi/Pembantu Dekan/Dekan/Rektor
c. Apabila tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas pada saat skill lab./ujian skill lab maka akan mendapat nilai nol (0)
d. Apabila tidak hadir dengan alasan seperti point (c) pada saat skill lab/ujian wajib mengganti waktu skill lab/ujian dengan ketentuan administrasi yang telah ditetapkan oleh MEU
e. Bagi mahasiswa yang tidak hadir dengan alasan seperti pada poin 3 maka wajib segera melapor ke bagian/lab/MEU pada saat hadir kembali ke kampus dan penggantian jadwal skill lab harus segera dilaksanakan secepatnya maksimal 3 hari setelah masuk kembali
f. Pada saat ujian mahasiswa harus sudah hadir 30 menit sebelum ujian dilaksanakan sesuai jadual
g. Bagi mahasiswa yang terlambat hadir pada saat ujian maksimal 10 menit maka tidak akan diperkenankan ikut ujian
h. Remedial ujian tulis dan skill lab hanya ditujukan bagi mahasiswa yang mendapat nilai di bawah ketentuan blok dan secara administratif tidak ada pelanggaran (kehadiran, etika)
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
i. Bagi mahasiswa yang melanggar ketentuan administratif dan etika maka dinyatakan tidak lulus blok dan wajib mengulang pada tahun-tahun berikutnya.
6. TIM BLOK
Koordinator : dr. Noor Muthmainah, M. Sc
Anggota : Tim Blok Keterampilan Medis Dasar II
7. REFERENSI
1. Gardner et al. 1963. Anatomy: A regional study of human structure. 2nd ed.
WB.Saunders, Philadelphia.
2. Williams, PT et al., 1989. Gray’s Anatomy 37th ed. Churchill Livingston, London.
3. Marks DB, Marks AD, Smith CM. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Alih bahasa: Pendit BU, Suyono J, Sadikin V, Mandera LI, editor. Jakarta:
EGC, 2000
4. Mc Gilvery RW, Goldstein GW. Biokimia: Suatu Pendekatan Fungsional, Edisi Ketiga. Alih bahasa: Sumarno TM (koordinator), Suryohusodo P, editor. Surabaya:
Airlangga University, 1996
5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology 10th Edition. Philadelphia: WB Saunders, 2000
6. Fox IS. Human Physiology 6th Edition. Iowa: WB Communication, 1999
7. Despopoulus A, Silbernagi S. Atlas Berwarna dan Teks Fisiologi. Edisi keempat.
Alih bahasa: Handoyo Y. Jakarta: Hipokrates, 2000
8. Taylor, A.N. Sobotta, Atlas of Human Anatomy. English ed. Edisike, 1996.
9. Supariasa, Bakri B, Fajar I. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC. Jakarta 2002:26-86 10. Bickley, Lynn S and Szilagyi, Peter G.. 2003. Bate’s Guide to Physical
Examination and History Taking 8thed. Lippincott Williams and Wilkins.
Philadelphia
11.Gleadle, Jonathan. 2003. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Alih bahasa: Rahmalia, Annisa, Penerbit Erlangga. Jakarta
12. Graham Douglas, Fiona Nicol, Colin Robertson 2005. Macleod’s Clinical examination 11thed. Churchill. Livingstone.
13. Sidharta, Priguna. 2004. Neurologi klinis dalam praktek umum. Dian Rakyat.
Jakarta.
14. Sidharta, Priguna. 1999. Tata pemeriksaan klinis dalam neurologi. Dian Rakyat.
Jakarta.
15. Brown, barbara A. (1973) Priciples and procedures, p. 66 – 72, Lea and Febiger, Philadelphia.
16. Evatt, Bl., Lewis, SM., Lothe, F., and McArthur, JR. (1983) Anemia Fundamental diagnostic hematology, WHO. P. 74 – 77 Geneve.
17. Dacie, JV., and Lewis, SM. (1985) Practical hematology, 6th .Ed. p. 39 – 41 Churchill Livingstone, New York.
18. Dacie, J.V. and Lewis, S.M. (1985) Pratical hematology, 6th .ed.p. 339 - 342, 358 – 360, 362 – 365, Churchill Livingstone, New York..
19. Miale, JB. (9172) : Laboratory medicine : hematology, 4th. Ed., p. 1253 – 1256, Mosby Saint Louis.
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
20. Anonim, (9169) Blood group and antibodies as applied to the ABO and Rh system.
Ortho-diagnostic System new Jersey.
21. Gandasoebrata, R. (1985) Penuntun laboratorium Klinik, cetakan kelima, hal. 111, P.T. Dian rakyat, Jakarta.
22. Prijono, A. (1988) : Pemeriksaan Urin Rutin, Workshop Urinalisa, Metodelogi dan Evaluasi Urinalisa, hal 57 – 68, Laboratorium Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran UNDIP. RS. Kariadi, Semarang.
23. Ichsan, A. (1988). Workshop Urinalisa : Metodelogi dan Evaluasi Urinalisa Tes Kehamilan. Hal. 76 – 82. Laboratorium Patologi Klinik, FK UNDIP, RS. DR.
Kariadi, Semarang.
24. Soeprono, Bharoto Winardi, Ketrampilan Pemeriksaan Ginekologik. Modul Skills- Lab. Semester 8. Laboratorium Ketrampilan Medik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1997; 21-64.
25. Wiknjosastro, Hanifa, Anatomi Alat Kandungan dalam Ilmu Kebidanan (Eds : Hanifa W., Abdul Bari Saifuddin, Trijatmo Rochimhadhi). Edisi III.. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1991; 31-44.
26. Wiknjosastro, Hanifa, Anatomi Panggul dan Isinya dalam Ilmu Kandungan (Eds : Hanifa W., Abdul Bari Saifuddin, Sudraji Sumapraja). Cetakan ke3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1991; 1-25.
27. Hudono, Suwito Tjondro, Pemeriksaan Ginekologik dalam Ilmu Kandungan (Eds : Hanifa W., Abdul Bari Saifuddin, Sudraji Sumapraja). Cetakan ke-3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1991; 93-123.
28. Saibie F.G., diterjemahkan oleh Hartono I.A, Pemeriksaan Abdomen, Yayasan Essensial Medica, 2000
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN REFLEKS, FUNGSI MOTORIS DAN FUNGSI SENSORIS
PENDAHULUAN
Anamnesis dan pemeriksaan neurologi yang dilakukan dengan akurat mampu menentukan lokasi lesi sepanjang aksis saraf. Aksis saraf terbentang mulai dari korteks otak sampai bagian efektor otot yang mempunyai fungsi khusus. Secara fungsional sistem saraf terdiri dari sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis yang berfungsi menganalisis, mensintesis, dan mengintegrasikan berbagai masukan dari saraf sensorik maupun dari bangunan lain yang terdapat di otak dan medulla spinalis. Susunan saraf perifer meliputi organ sensoris dan efektor Pemeriksaan neurologi bertujuan menjelaskan adanya disfungsi susunan saraf dan menilai kemampuan fungsi susunan saraf yang masih ada. Pemeriksaan juga bertujuan menentukan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi pada otak, medula spinalis, saraf perifer, atau otot?
Pada umumnya pemeriksaan neurologi harus merupakan pemeriksaan fisik secara umum, dimana fungsi susunan saraf mendapat perhatian khusus. Urutan pemeriksaan neurologi terdiri dari penilaian umum terhadap fungsi serebral, pemeriksaan saraf otak, penilaian fungsi motorik, dan penilaian fungsi sensorik.
Pemeriksaan neurologi bertujuan menjelaskan adanya disfungsi susunan saraf dan menilai kemampuan fungsi susunan saraf yang masih ada. Pemeriksaan juga bertujuan menentukan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi pada otak, medula spinalis, saraf perifer, atau otot.
1. PEMERIKSAAN REFLEKS
Refleks terbagi menjadi 2, yaitu refleks fisiologis dan refleks patologi. Untuk kali ini kita hanya akan membahas refleks fisiologis. Refleks fisiologis ialah muscle stretch reflexes, yang muncul sebagai akibat rangsangan terhadap tendo atau periosteum atau kadang-kadang terhadap tulang, sendi, fascia, atau aponeurosis. Oleh karena rangsangan disalurkan melalui organ sensorik yang lebih dalam maka ada pula yang menyebutnya sebagai deep tendon refleks terdiri dari refleks biseps, triseps, brakhioradialis, patella, dan achilles. Refleks dapat dinilai menggunakan kriteria kuantitatif, sebagai berikut :
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
0 = negatif
+1 = lemah (dari normal) +2 = normal
+3 = meninggi, belum patologis
+4 = hiperaktif, sering disertai klonus, merupakan indikator penyakit
Refleks biseps
Lengan penderita dibengkokkan pada siku. Lantas palu refleks kita ketokkan pada tendon otot biseps sedikit di bawah lipatan siku. Bila positif, maka akan tampak kontraksi otot biseps.
Gambar 1. Refleks biceps Gambar 2. Refleks triceps
Refleks triseps
Kedudukan lengan adalah sama dengan waktu kita memeriksa refleks biseps. Apabila telah dipastikan bahwa lengan penderita sudah benar-benar relaksasi pukullah tendo yang lewat fosa olekrani. Refleks positif ditandai dengan kontraksi sedikit menyentak, gerakan ini dapat dilihat dan sekaligus dirasakan oleh lengan pemeriksa yang menopang lengan penderita.
Refleks lutut
Refleks ini dikenal juga sebagai Refleks Westphal atau lebih populer dengan nama singkatan K.P.R (knee pees refleks). Refleks ini dapat dilakukan dalam keadaan duduk atau berbaring. Pada penderita yang duduk, kaki yang hendak diperiksa hendaknya diletakkan di atas lutut kaki yang satu lagi. Pada penderita yang berbaring terlentang,
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
pemeriksa harus meletakkan tangannya di bawah lutut penderita, sehingga kaki yang hendak diperiksa berada dalam keadaan fleksi, namun harus dijaga supaya tumit kaki itu masih tetap berada (menyentuh) di atas tempat tidur. Setelah itu, dilakukan perkusi pada ligamentum patella. Untuk mengetahui apakah K.P.R. tersebut positif atau tidak, hendaklah kita perhatikan apakah ada atau tidak ada kontraksi dari otot kuadriseps femoris.
K.P.R dikatakan positif bila terlihat ada kontraksi dari otot kuadriseps femoris yaitu terjadi ekstensi tungkai bawah.
Gambar 3. Refleks lutut (KPR)
Refleks Achilles
Refleks ini di klinik lebih terkenal dengan singkatan A.P.R. (Achilles pees refles).
Pada penderita yang duduk, kita suruh berlutut di atas tempat tidur. Berlutut ini hendaknyalah sedemikian rupa, sehingga kedua kakinya menonjol melewati pinggir dari tempat tidur tersebut.
Gambar 4. Refleks achiles
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Refleks Superfisial Abdomen (Refleks dinding perut)
Untuk menimbulkan refleks dinding perut ini, penderita harus tidur terlentang dengan kedua lengan di samping tubuhnya. Ujung gagang palu refleks kita lantas goreskan pada dinding perut itu. Penggoresan ini kita lakukan dari lateral ke medial, berturut-turut pada perut bagian atas, tengah, dan bawah. Bila refleks dinding perut ini positif, maka akan timbul kontraksi dari otot-otot dinding perut.
Gambar 5. Refleks dinding perut
2. PENILAIAN FUNGSI MOTORIS A. Tonus
Untuk menilai keadaan tonus suatu otot dapat dilakukan dengan cara melakukan fleksi dan ekstensi pada sendi yang digerakkan oleh otot tersebut, seperti misalnya untuk menilai tonus otot biseps kita lakukan fleksi dan ekstensi pada sendi siku. Gerakan-gerakan ini dapat pula kita lakukan pada sendi-sendi yang lain seperti misalnya sendi lutut, sendi pergelangan tangan, pergelangan kaki dan lain-lain. Gerakan fleksi dan ekstensi itu kita lakukan dengan kecepatan yang berbeda-beda. Sementara kita melakukan gerakan-gerakan itu penderita harus dalam keadaan santai. Sebaiknya kita beritahu padanya, supaya ia melemaskan tungkai atau lengan yang akan diperiksa.
Tonus yang menurun dinamakan hipotoni, dan yang lenyap sama sekali dinamakan atoni. Bi1a ada kelumpuhan otot yang dibarengi oleh tonus yang menurun maka kita katakan bahwa penderita memperlihatkan paralisis flaksid. Tonus yang meningkat
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
dinamakan hipertoni. Bila ada kelumpuhan otot yang dibarengi oleh tonus yang meningkat maka kita katakan bahwa penderita itu rnemperlihatkan paralisis spastik.
Tonus yang meningkat dibedakan dalam dua macam, yaitu :
Gambar 6. Pemeriksaan tonus otot
a. Spastisitas
Anggota tubuh misalnya lengan, yang biasanya dalam posisi fleksi, kita lempangkan.
Dalam melakukan ekstensi ini, kita akan merasakan adanya suatu tahanan. Tetapi tahanan ini tiba-tiba lenyap sehingga sekonyong-konyong gerakan ekstensi yang dilakukan tidak mendapat perlawanan lagi. Adanya suatu tahanan yang lantas hilang dengan sekonyong- konyong sewaktu dilakukan ekstensi tersebut dinamai fenomena pisau lipat atau clasp knife phenomenon. Sementara itu, posisi anggota tubuh bawah biasanya dalarn keadaan ekstensi. Untuk memperlihatkan spastisitas tersebut, kita lakukan fleksi pada tungkai tersebut. Bila tahanan yang kita rasakan lenyap dengan sekonyong-konyong maka kita katakan bahwa pada tungkai tersebut terdapat fenomena pisau lipat.
b. Rigiditas
Rigiditas merupakan manifestasi gangguan tonus otot dimana pada penilaian tonus otot dirasakan adanya tahanan yang hilang timbul secara berselingan. Sewaktu kita melakukan fleksi atau ekstensi pada suatu anggota tubuh (lengan atau tungkai) maka kita
akan rasakan adanya suatu tahanan. Bila kita lawan tahanan tersebut, maka akan kita rasakan bahwa tahanan tersebut akan mengalah sebentar. Tetapi segera akan kita rasakan, bahwa ada tahanan baru. Jadi, sewaktu melakukan fleksi atau ekstensi pada anggota tubuh kita rasakan adanya tahanan yang tersendat-sendat. Ini dinamakan fenomen roda-bergigi atau cog-wheel phenomenon. Tonus yang menurun Pada keadaan tonus otot yang menurun
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
dirasakan kendor pada palpasi, anggota gerak dapat digoyang-goyang dengan mudah, dan tidak ada tahanan sewaktu dilakukan fleksi atau ekstensi.
B. Tenaga otot
Tenaga atau kekuatan otot itu dapat dinilai menurut skala MRC : Derajat 0: Paralisis total
Derajat 1: Masih terlihat kontraksi Derajat 2: Gerak aktif tanpa gravitasi Derajat 3: Bergerak melawan gravitasi Derajat 4: Bergerak melawan tahanan Derajat 5: Kekuatan otot normal
Gambar 7. Penilaian tenaga otot latissimus dorsi Gambar 8. Penilaian tenaga otot biseps brakhii
Gambar 9. Penilaian tenaga otot brakhioradialis Gambar 10. Penilaian tenaga otot triseps brakhii
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Gambar 11. Penilaian tenaga otot iliopsoas Gambar 12. Penilaian tenaga otot gluteus maksimus
3. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIS
Gangguan pada otak, medula spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan gangguan sensoris. Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik maupun trofi otot. Gangguan sensoris dapat menimbulkan perasaan semutan atau baal (parestesia), kebas, atau mati rasa, dan ada pula yang sangat sensitif (hiperestesi).
Pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif (protopatik) a. Pemeriksaan rasa raba
Untuk pemeriksaan ini, kita sentuh kulit penderita dengan kapas. Respons yang kita harapkan adalah, jawaban "ya", bila kulitnya tersentuh. Sewaktu pemeriksaan kita banding- bandingkan keadaan perasa raba disisi kanan dengan yang di sisi kiri atau di bagian proksimal dengan yang di bagian distal. Bila terdapat suatu perbedaan, misalnya di suatu daerah terasa lebih baik daripada di daerah lainnya, maka pemeriksaan perasa raba di tempat itu harus dilakukan dengan lebih teliti dan lebih mengkhusus. Bila perasa raba di suatu tempat adalah terganggu, maka kita katakan bahwa telah terdapat anestesia di daerah tersebut.
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Gambar 13. Pemeriksaan rasa raba
b. Pemeriksaan rasa nyeri
Untuk pemeriksaan perasa nyeri ini kita pergunakan jarum pentul. Penderita hendaknyalah dapat membedakan antara "tajam atau tumpul." Bila perasa nyeri itu adalahterganggu, maka kita katakan bahwa di tempat tersebut terdapat analgesia. Pada pemeriksaan ini dipergunakan jarum bundel yang digunakan untuk memberikan rangsangan tusuk. Si pemeriksa memegang jarum itu seperti memeganq pensil. Dengan sekali menusuk jarum itu pada kulit pasien dan sekali menusuk dengan jari telunjuknya, rangsang tusuk tajam dan tumpul dapat diberikan secara berselingan.
Gambar 14. Refleks nyeri
c. Pemeriksaan rasa suhu
Untuk pemeriksaan perasa suhu ini kita pergunakan tabung yang berisi air hangat (40- 45°C) dan tabung yang berisi air dingin (10-15°C). Dengan tabung-tabung ini kita sentuh kulit itu secara silih-berganti. Respons yang kita harapkan dari penderia adalah : "panas atau dingin." Bila perasa suhu itu terganggu, maka kita katakan bahwa di tempat tersebut, terdapat termanestesia.
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Pemeriksaan sensibilitas proprioseptif
a. Perasaan gerak (kinestesia)
Perasaan gerak adalah perasaan gerak pasif dimana gerakan anggota gerak pasien dilakukan oleh pemeriksa.
Gambar 15. Pemeriksaan perasa gerak
b. Perasaan getar (palestesia)
Pemeriksaan dilakukan dengan cara menaruh gagang garpu tala kita yang bergetar di atas tonjolan tulang penderita. Bila penderita merasa adanya getaran, maka ia akan mengatakan: "getar." Bila penderita tidak merasa adanya getaran, mengatakan "tidak getar." Mula-mula ujung gagang garpu tala bergetar itu kita letakkan pada bagian dorsal falang terakhir dari ibu jari kaki, maleolus pada tuberositas tibiae, pada prosessus stiloideus radii dan ulnae dan pada kondilus humeri.
Gambar 16. Pemeriksaan perasa getar
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Gambar 17. Pemeriksaan getar pada ujung ibu jari kaki
Pemeriksaan sensibilitas diskriminatif (multimodalitas) a. Stereognosis
Pemeriksaan stereognosis dapat dilakukan pada penderita dengan meletakan suatu benda yang dipakainya sehari-hari di tangannya. Dalam keadaan normal, penderita akan dapat mengenali benda tersebut (misalnya kancing atau uang logam rupiah) dengan mudah. Bila penderita tidak dapat mengenal benda tersebut maka kita katakan, bahwa ia
memperlihatkan astereognosis. Bila penderita dapat mengenal bentuk dan ukuran benda itu, tetapi tidak dapat mengatakan nama benda tersebut, maka kita namakan keadaan itu suatu agnosi taktil.
Gambar 18. Pemeriksaan steregnosis
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
b. Graphestesia
Perasaan graphestesia merupakan kemampuan untuk mengenali stimulasi berupa angka atau huruf yang ditulis pada kulit penderita.Perasaan diskriminasi spasial Perasaan diskriminasi spasial atau diskriminasi dua titik merupakan daya untuk mengenali dan mengetahui dua jenis sensibilitas hasil dua macam perangsangan pada dua tempat.
Gambar 19. Pemeriksaan graphestesia
c. Diskriminasi Spasial
Perasaan diskriminasi spasial atau diskriminasi dua titik merupakan daya untuk mengenali dan mengetahui dua jenis sensibilitas hasil dua macam perangsangan pada dua tempat yang berbeda.
Gambar 20. Pemeriksaan diskriminasi spasial
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
DAFTAR TILIK 1. PEMERIKSAAN REFLEKS
No Aspek yang Dinilai Score
0 1 2 1. Meminta izin kepada penderita, mempersilakan berbaring/duduk dengan
rileks
2. Refleks Biceps
• Memfleksikan lengan penderita pada sendi Siku
• Meletakkan ibu jari pada tendo achilles kemudian mengetuknya dengan palu refleks
• Mendeskripsikan respons positif dari refleks biseps 3. Refleks Triceps
• menopang lengan penderita yang berada dalam keadaan abduksi dengan lengan bawah yang tergantung bebas
• mengetuk tendo m. Triseps
• Mendeskripsikan respons positif dari refleks triseps 4. Refleks Lutut (KPR)
• Melakukan fleksi pada sendi lutut
• Mengetuk tendon patela dengan palu refleks
• Mendeskripsikan respon positif dari pemeriksaan refleks tendon lutut 5. Refleks Achilles (A.P.R)
• Melakukan dorsofleksi pada kaki penderita dengan menggunakan tangan pemeriksa
• Mengetuk tendon Achilles
• Mendeskripsikan respon positif dari pemeriksaan refleks Achilles 6. Refleks Dinding Abdomen
• Meminta pasien tidur
• Menggoreskan ujung gagang palu refleks pada dinding perut dari lateral ke medial
• Melakukan tindakan berurutan dari perut atas, tengah dan bawah
• Menilai hasil pemeriksaan
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
2. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK
No Aspek yang Dinilai Score
0 1 2
1. Meminta izin kepada penderita, mempersilakan duduk dengan rileks 2. Menilai Tonus otot penderita
• Tangan kanan pemeriksa memegang tangan kiri penderita, tangan kiri memegang sendi siku penderita
• Lakukan gerakan fleksi dan ekstensi pada sendi siku
• Nilai tonus otot penderita
3. Penilaian tenaga otot pada anggota gerak atas a. Penilaian tenaga otot latissimus dorsi
• Memposisikan lengan atas dalam keadaan fleksi pada sendi siku hingga sejajar bahu
• Melakukan gerakan abduksi lengan atas penderita dan penderita diminta melawan dengan melakukan gerakan aduksi
• Memberikan penilaian tenaga otot latissimus dorsi penderita b. Penilaian tenaga otot biseps brakhii
• Memposisikan lengan atas hingga sejajar bahu dalam keadaan fleksi pada sendi siku
• Melakukan gerakan ekstensi di sendi siku penderita dan penderita diminta melawan dengan melakukan gerakan fleksi
• Memberikan penilaian tenaga otot biseps brakhii penderita c. Penilaian tenaga otot brakhioradialis
• Memposisikan lengan atas dalam keadaan fleksi pada sendi siku
• Melakukan gerakan ekstensi di sendi siku penderita dan penderita diminta melawan dengan melakukan gerakan fleksi
• Memberikan penilaian tenaga otot
• brakhioradialis penderita
d. Penilaian tenaga otot triseps brakhii
• Memposisikan lengan atas dalam keadaan ekstensi pada sendi siku
• Melakukan gerakan fleksi sendi siku penderita dan penderita diminta melawan dengan melakukan gerakan ekstensi
• Memberikan penilaian tenaga otot triseps brakhii penderita 4. Penilaian tenaga otot pada anggota gerak bawah
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
a. Penilaian tenaga otot iliopsoas
• Mempersilahkan penderita untuk berbaring
• Memfleksikan sendi panggul dan lutut penderita
• Melakukan gerakan ekstensi sendi panggul dan penderita diminta melawan dengan gerakan fleksi
• Memberikan penilaian tenaga otot Iliopsoas penderita b. Penilaian tenaga otot gluteus maksimus
• Mempersilakan penderita untuk tidur tiarap
• Memposisikan salah satu tungkai bawah dalam keadaan fleksi pada sendi lutut
• Meminta penderita melakukan gerakan ekstensi sendi panggul untuk melawan tahanan pemeriksa
• Memberikan penilaian tenaga otot gluteus maksimus penderita
3. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIS
No Aspek yang Dinilai Score
0 1 2 1. Meminta izin kepada penderita, mempersilakan penderita berbaring dengan
rileks
2. Pemeriksaan Sensibilitas Ekteroseptif Meminta penderita menutup mata a. Pemeriksaan raba rasa
• Menggunakan alat yang benar (kapas)
• Menyentuh kulit penderita dengan kapas dan meminta memberikan respon bila merasa kulitnya tersentuh dengan jawaban ”ya”
b. Pemeriksaan rasa nyeri
• Menggunakan alat yang benar (berujung tajam) dan memegangnya seperti memegang pensil
• Memberikan rangsang tusuk (tajam) dan tumpul (jari telunjuk) secara bergantian
• Meminta penderita memberikan respon terhadap rangsang yang diberikan berupa jawaban ”tajam” atau ”tumpul”
c. Pemeriksaan rasa suhu
• Menggunakan alat yang benar (dua buah tabung kaca yang berisi cairan dingin/air es dan cairan hangat) dan memegangnya seperti
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
memegang pensil
• Memberikan rangsang dingin dan hangat secara bergantian (acak)
• Meminta penderita memberikan respon terhadap rangsang yang diberikan berupa jawaban ”dingin” atau ”hangat”
3. Pemeriksaan Sensibilitas Proprioseptif
Meminta izin kepada penderita, Meminta penderita menutup mata
Melakukan pemeriksaan dengan membandingkan ke dua sisi tubuh kiri dan kanan
a. Perasaan gerak (kinestetik)
• Pemeriksa memegang jempol kaki penderita. Pemeriksa menggerakkan jempol tersebut ke keatas dan kebawah
• Penderita diminta memberikan tanggapan berupa ”keatas” atau
”kebawah” ibu jarinya b. Perasaan getar (palestesia)
• Pemeriksa menggetarkan garpu tala
• Meletakkan garpu tala pada bagian dorsal falang terakhir dari ibu jari kaki, maleolus pada tuberositas tibiae, pada prosessus stiloideus radii dan ulnae dan pada kondilus humeri
• Jika penderita merasa adanya getaran, maka ia diminta mengatakan
"getar." Bila penderita tidak merasa adanya getaran, ia diminta mengatakan "tidak getar."
4. Pemeriksaan sensibilitas diskriminatif a. Stereognosis
• Pemeriksa meletakkan uang logam pada tangan penderita
• Pemeriksa meminta penderita untuk menyebutkan benda yang ia pegang
• Menilai hasil pemeriksaan b. Graphestesia
• Pemeriksa memegang telapak tangan penderita
• Pemeriksa menuliskan huruf atau angka tertentu pada telapak tangan penderita
• Penderita diminta menyebutkan huruf atau angka yang ditulis tersebut
• Menilai hasil pemeriksaan
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
c. Diskriminasi spasial
• Pemeriksa memegang ibu jari penderita
• Pemeriksa menusukkan dua jarum pada ujung jari penderita
• Jika penderita merasa adanya dua titik nyeri, maka ia diminta mengatakan "dua." Bila penderita merasa adanya hanya satu titik nyeri, ia diminta mengatakan "satu."
• Menilai hasil pemeriksaan
5. Melakukan pemeriksaan dengan membandingkan ke dua sisi tubuh kiri dan kanan
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL (NERVUS I-VI)
PENDAHULUAN
Pemeriksaan saraf-saraf kranial merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan neurologis yang terdiri dari status mental, tingkat kesadaran, fungsi saraf kranial, fungsi motorik, refleks, koordinasi dan gaya berjalan, serta fungsi sensorik. Seperti halnya pemeriksaan neurologi pada umumnya, pemeriksaan ini juga bertujuan untuk membantu dalam penegakkan diagnosis neurologis yang meliputi diagnosis anatomis (letak lesi) dan patologis (proses penyakit).
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui lubang-lubang pada tulang yang dinamakan foramina. Ada 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibula koklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII).
Pemeriksaan saraf kranial memerlukan kerjasama yang baik antara pemeriksa dan penderita selama pemeriksaan. Penderita seringkali diminta kesediaannya untuk melakukan suatu tindakan yang mungkin oleh penderita dianggap tidak masuk akal atau menggelikan. Sebelum mulai diperiksa, kegelisahan penderita harus dihilangkan dan penderita harus diberi penjelasan mengenai pentingnya pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis. Memberikan penjelasan mengenai lamanya pemeriksaan, cara yang dilakukan dan nyeri yang mungkin timbul dapat membantu memupuk kepercayaan penderita pada pemeriksa. Penderita diminta untuk menjawab semua pertanyaan sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk sebaik mungkin
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Gambar 1. Nervus kranial
PEMERIKSAAN NERVUS OLFAKTORIUS (I)
Pada pemeriksaan rutin nervus kranialis, umumnya cukup ditanyakan apakah pasien menyadari adanya gangguan penciuman (penghidu). Jika riwayat pasien mengindikasikan perlunya pemeriksaan lebih lanjut, maka setiap lubang hidung harus diperiksa secara terpisah dengan menggunakan botol-botol yang berisi berbagai aroma.
Pada pemeriksaan ini yang penting dinilai adalah kemampuan pasien untuk membedakan aroma yang berbeda, bukan pada kemampuannya untuk menyebutkan aroma apa secara akurat.
Gambar 2. Nervus olfaktorius
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Aroma yang dipilih dapat berupa minyak aromatik (misalnya lavender, pepermin), kopi, teh, atau tembakau yang mampu menstimulasi nervus olfaktorius. Bahan iritan seperti amonia dapat merangsang cabang nervus trigeminus di mukosa nasal sehingga tidak dianjurkan sebagai bahan pada pemeriksaan sarap olfaktorius ini. Pasien yang telah kehilangan indra penghidu akan bereaksi terhadap ammonia melalui jaras alternative ini.
Prosedur pemeriksaan nervus Olfaktorius (N I) 1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari mempersilakan penderita untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk memejamkan matanya atau menutup mata probandus dengan kain penutup
4. Melakukan inspeksi lubang hidung yang akan diperiksa apakah ada pilek, polip, atau sumbatan lainnya
5. Menutup hidung yang tidak diperiksa dengan kapas
6. Mendekatkan botol yang telah berisi bahan beraroma pada hidung yang akan diperiksa 7. Meminta probandus untuk menyebutkan aroma apa yang tercium
8. Melakukan pemeriksaan 6 & 7 untuk aroma yang lain
9. . Pemeriksaan yang sama dilakukan juga untuk lubang hidung kontralateral.
Syarat Pemeriksaan :
1. Pasien dalam keadaan sadar dan kooperatif 2. Jalan nafas harus dipastikan bebas dari penyakit.
3. Bahan yang dipakai harus dikenal oleh penderita.
4. Bahan yang dipakai bersifat non iritating.
Catatan:
Bahan yang cepat menguap tidak boleh digunakan dalam pemeriksaan ini sebab bahan tersebut dapat merangsang nervus trigeminus (N V) dan alat-alat pencernaan.
Interpretasi Hasil Pemeriksaan :
a. Terciumnya bau-bauan secara tepat menandakan fungsi nervus olfaktorius kedua sisi adalah baik.
b. Hilangnya kemampuan mengenali bau-bauan (anosmia) yang bersifat unilateral tanpa ditemukan adanya kelainan pada rongga hidung merupakan salah satu tanda yang mendukung adanya neoplasma pada lobus frontalis cerebrum.
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
c. Anosmia yang bersifat bilateral tanpa ditemukan adanya kelainan pada rongga hidung merupakan salah satu tanda yang mendukung adanya meningioma pada cekungan olfaktorius pada cerebrum. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari trauma ataupun pada meningitis. Pada orang tua dapat terjadi gangguan fungsi indra penciuman ini dapat terjadi tanpa sebab yang jelas. Gangguan ini dapat berupa penurunan daya pencium (hiposmia).
Bentuk gangguan lainnya dapat berupa kesalahan dalam mengenali bau yang dicium, misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bawang goreng, hal ini disebut parosmia.
d. Selain keadaan di atas dapat juga terjadi peningkatan kepekaan penciuman yang disebut hiperosmia, keadaan ini dapat terjadi akibat trauma kapitis, tetapi kebanyakan hiperosmia terkait dengan kondisi psikiatrik yang disebut konversi histeri. Sensasi bau yang muncul tanpa adanya sumber bau disebut halusinasi olfaktorik. Hal ini dapat muncul sebagai aura pada epilepsi maupun pada kondisi psikosis yang terkait dengan lesi organik pada unkus.
PEMERIKSAAN NERVUS OPTIKUS (II) Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus)
Ketajaman penglihatan paling baik diperiksa dengan menggunakan kartu Snellen, yaitu dengan membaca deretan huruf dari jarak 6 meter (20 kaki). Setiap mata diperiksa secara terpisah dan gangguan refraksi dikoreksi dengan menggunakan lensa atau lubang kecil (pinhole). Ketajaman dinyatakan dalam pecahan dengan penyebut adalah jarak antara pasien dengan daftar huruf, sementara pembilang adalah deretan huruf terkecil yang dapat dibaca pasien dengan akurat. Jadi, 6/6 (20/20) adalah normal. Sementara 6/60 (20/200) berarti pasien hanya dapat membaca huruf terbesar pada deret paling atas daftar. Jika pasien masih tidak dapat membaca huruf paling atas, maka jarak dapat diperdekat, atau dinilai dengan kemampuan pasien menghitung jari, mendeteksi gerakan terhadap tangan atau persepsi terhadap cahaya (dicatat sebagaimana adanya hitung jari, gerakan tangan, dan persepsi cahaya).
Pemeriksaan visus pada bagian neurologi pada umumnya tidak dikerjakan
menggunakan kartu Snellen tetapi dengan melihat kemampuan penderita dalam mengenali jumlah jari-jari, gerakan tangan dan sinar lampu.
Prosedur pemeriksaan daya penglihatan (visus) :
a. Memberitahukan kepada penderita bahwa akan diperiksa daya penglihatannya.
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
b. Memastikan bahwa penderita tidak mempunyai kelainan pada mata misalnya, katarak, jaringan parut atau kekeruhan pada kornea, peradangan pada mata (iritis, uveitis), glaukoma, korpus alienum.
c. Pemeriksa berada pada jarak 1- 6 meter dari penderita.
d. Meminta penderita untuk menutup mata sebelah kiri untuk memeriksa mata sebelah kanan.
e. Meminta penderita untuk menyebutkan jumlah jari pemeriksa yang diperlihatkan kepadanya.
f. Jika penderita tidak dapat menyebutkan jumlah jari dengan benar, maka pemeriksa menggunakan lambaian tangan dan meminta penderita menentukan arah gerakan tangan pemeriksa.
g. Jika penderita tidak dapat menentukan arah lambaian tangan, maka pemeriksa
menggunakan cahaya lampu senter dan meminta penderita untuk menunjuk asal cahaya yang disorotkan ke arahnya.
h. Menentukan visus penderita.
i. Melakukan prosedur yang sama untuk mata sebelah kiri.
Interpretasi pemerksaan :
Seorang normotrop akan dapat menghitung jari-jari pada jarak 60 meter. Dengan demikian maka seseorang yang hanya dapat menghitung jari-jari itu dengan baik pada kejauhan 5 meter akan memiliki visus 5/60 (sama dengan seseorang yang dalam jarak 5 meter dapat membaca huruf yang teratas pada kartu Snellen). Bila seorang penderita hanya dapat menghitung jari kita itu dalam jarak 3 meter maka kita katakan visus penderita adalah 3/60. Bila ia hanya dapat menghitung jari-jari kita baik pada jarak 1 meter, maka kita katakan visusnya adalah 1/60.
Bila visusnya adalah lebih jelek daripada itu, maka kita suruh ia melihat gerakan tangan kita (ke atas-bawah/ke kanan-kiri). Seorang yang normotrop akan dapat melihat tangan kita itu dari jarak 300 meter. Seorang yang hanya dapat melihat gerakan itu pada jarak 3 meter kita katakan telah memiliki visus 3/300. Bila gerakan tangan itu hanya dapat dilihatnya pada jarak 1 meter maka visus penderita adalah 1/300.
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Bila visus penderita adalah kurang dari 1/300 kita periksa penderita dengan lampu senter. Bila lampu itu baru dapat dilihatnya pada jarak 1 meter maka visusnya = 1/~. Bila cahaya juga tidak dilihatnya maka visusnya adalah 0.
Pemeriksaan Lapangan Pandang
Lapang pandang pasien dapat diperiksa secara sederhana dengan tes konfrontasi.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menggerakan benda secara tangensial dari atau ke tengah lapang pandang dalam empat kuadran yaitu medial, lateral, superior, dan inferior (setiap mata di periksa secara terpisah). Probandus memfiksasikan pandangannya pada pupil pemeriksa dan diminta mengatakan batas persepsi dari benda yang digerakkan.
Serabut-serabut saraf di jaras penglihatan mempertahankan hubungan spesial yang kasar satu sama lain, dan merefleksikan asalnya di retina. Fakta ini dari penyilangan parsial jaras pada kiasma optikum menghasilkan pola karakteristik gangguan lapang pandang, dan sangat berguna dalam menentukan letak lesi.
Gambar 3. Pola karakteristik lapangan pandang
Sebagian besar kelainan lapang pandang dapat dinilai dengan tes konfrontasi. Akan tetapi , kadang-kadang diperlukan pemeriksaan lebih teliti (dalam hal ukuran dan warna benda) dan peta lapang pandang (misalnya menggunakan layer Bjerrum), perimeter kubah (Goldmann) atau peralatan otomatis (Humphrey)). Teknik-teknik ini berguna terutama
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
untuk skotoma kecil seperti pada penyakit retina, dan untuk memonitior perkembangan terapi dan penyakit.
Gambar 4. Pemeriksaan lapang pandang Prosedur pemeriksaan lapangan pandang (test konfrontasi dengan tangan) a. Meminta penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa pada jarak 1 meter.
b. Meminta penderita menutup mata kirinya dengan tangan untuk memeriksa mata kanan.
c. Meminta penderita melihat hidung pemeriksa
d. Pemeriksa menggerakkan jari tangannya dari samping kanan ke kiri dan dari atas ke bawah.
e. Meminta penderita untuk mengatakan bila masih melihat jari-jari tersebut.
f. Menentukan hasil pemeriksaan.
g. Mengulangi prosedur pemeriksaan untuk mata sebelah kiri dengan menutup mata sebelah kanan.
Jenis-jenis kelainan lapangan pandang (visual field defect) : 1. Total blindness : tidak mampu melihat secara total.
2. Hemianopsia : tidak mampu melihat sebagian lapangan pandang (temporal; nasal;
bitemporal; binasal)
3. Homonymous hemianopsia : hanya mampu melihat sisi kanan atau sisi kiri dari lapangan pandang
4. Homonymous quadrantanopsia : tidak mampu melihat seperempat dari lapangan pandang
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Penglihatan warna
Pemeriksaan klinis penglihatan warna biasanya menggunakan gambar Ishihara. Tes ini terdiri dari titik-titik berwarna yang tersusun sehingga individu dengan penglihatan warna yang normal dapat membaca sebuah angka yang tersembunyi dalam pola titik-titik tersebut. Gangguan penglihatan warna dapat diturunkan gen resesif terkait seks.
Gangguan bisa juga didapat, terutama pada penyakit nervus optikus. Jadi, desaturasi warna (terutama warna merah) merupakan gambaran awal semua penyakit nervus optikus. Gangguan sentral (yaitu serebral) penglihatan warna yang lebih ringan biasanya disebabkan oleh penyakit di region oksipitotemporal, dan seringkali melibatkan kedua hemisfer, yang membutuhkan tes yang lebih canggih.
Funduskopi
Funduskopi dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut oftalmoskop.
Kegunaan utama oftalmoskop adalah untuk melakukan inspeksi diskus optikus, sehingga sewaktu melakukan funduskopi kita perhatikan keadaan pupil, makula, dan retina mata yang sedang diperiksa. Penilaian terhadap struktur-struktur tersebut membantu deteksi efek yang timbul akibat penyakit tertentu seperti hipertensi dan diabetes serta gangguan oftalmologis yang berhubungan dengan penyakit neurologis misalnya retinitis pigmentosa.
Pemeriksaan mata kanan dilakukan dengan memegang alat oftalmoskop dengan tangan kanan, sedangkan mata dokter yang mengintip di belakang oftalmoskop tersebut adalah mata yang kanan. Sebaliknya untuk mata kiri penderita dapat dilakukan dengan mengintip melalui mata kirinya melalui oftalmoskop yang digenggam dengan tangan kirinya. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus.
PEMERIKSAAN NERVUS OKULOMOTORIUS (III)
Nervus Okulomotorius (III) termasuk dalam otot yang menggerakkan kedua mata bersama dengan nervus Trokhlearis (IV) dan nervus Abdusens (VI). Nukleus nervus III terletak sebagian di depan substansia grisea periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia grisea (Nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-otot rektus medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior dan otot levator palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus Edinger-westhpal
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
yang bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior yaitu spingter pupil dan otot siliaris. Gerakan bola mata yang diperiksa adalah yang diinervasi oleh nervus III, IV dan VI. Dimana N III menginervasi m. Obliq inferior (yang menarik bala mata keatas), m.
rectus superior, m. rectus media, m. rectus inferior. N IV menginervasi m. Obliq Superior dan N VI menginervasi m. rectus lateralis.
Gambar 5. Otot penggerak bola mata (mata kanan)
Pemeriksaan gerakan bola mata yang harus diperhatikan ialah melihat apakah ada salah satu otot yang lumpuh. Bila pada 1 atau 2 gerakan mata ke segala jurusan dari otot- otot yang disarafi N III berkurang atau tidak bisa sama sekali, maka disebut opthalmoplegic externa. Kalau yang parese otot bagian dalam (otot sphincter pupil) maka disebut opthalmoplegic interna. Jika hanya ada salah satu gangguan maka disebut opthalmoplegic partialis, sedangkan kalau ada gangguan kedua macam otot luar dan dalam disebut opthalmoplegic totalis
Pemeriksaan nervus III meliputi fisura palpebra, gerakan bola mata, dan pupil. Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Apabila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula, maka dicurigai adanya suatu ptosis.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah harus dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate divergen ke satu sisi.
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Pemeriksaan pupil untuk nervus III adalah sebagai berikut:
Refleks akomodasi (konvergensi).
Pupil juga akan berkonstriksi jika fokus suatu benda dipindahkan dari jarak jauh ke jarak dekat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menyuruh penderita memandang jauh dan selanjutnya disuruh memandang jari telunjuk kita yang berada agak jauh dari penderita. Kemudian perintahkan terus memandang jari telunjuk kita sembari kita menggerakan jari mendekati hidung penderita. Perhatikan kontraksi pupil penderita yang terjadi. Biasanya akan tampak bahwa kedua bola mata penderita akan bergerak ke medial dan pupil akan menyempit.
Refleks Pupil
Komponen aferen lengkung refleks yang mengatur konstriksi pupil terhadap rangsang cahaya atau refleks akomodasi pada penglihatan dekat adalah nervus optikus.
Saraf eferen merupakan bagian dari sistem saraf parasimpatis dan mencapai serabut otot polos konstriktor pupil melalui nervus okulomotorius (III). Saraf simpatis memersarafi serabut otot dilator pupil, yang mencapai mata dari ganglion sevikal superior melalui pleksus simpatis pada dinding arteri karotis interna.
Inspeksi pupil dilakukan pada pupil istirahat yaitu dengan melihat ukuran diameter pupil (dalam satuan milimeter), bentuk lingkaran pupil (regularitas), dan deviasi pupil (eksentrisitas) pupil. Selanjutnya dilakukan penilaian respons pupil terhadap cahaya.
Respon cahaya langsung dilakukan dengan menggunakan sumber cahaya (senter kecil) yang diarahkan dari samping sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil. Respon cahaya konsensual terjadi jika pada pupil yang satu disinari maka secara simultan pupil lainnya memberikan respon identik dengan mengecil dengan ukuran yang sama.
Lebarnya pupil sangat tergantung dari penerangan di dalam kamar periksa. Pada penerangan yang sedang, biasanya lebar pupil itu adalah 4-5 mm. Bila lebarnya adalah kurang dari 2 mm, maka keadaan itu kita namakan miosis. Bila lebar pupil lebih dari 5 mm, maka keadaan itu kita namakan midriasis. Bila pupil itu sangat kecil maka keadaan itu kita namakan pinpoint pupil. Bila pupil kanan dan kiri sama lebarnya, maka kita katakan, bahwa pupil penderita itu adalah isokor. Anisokor adalah keadaan di mana satu pupil lebih lebar dari pada pupil yang lain.
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
PEMERIKSAAN NERVUS TROKLEARIS (IV)
Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikulus inferior di depan substansia grisea periakuaduktal dan berada di bawah nukleus okulomotorius. Saraf ini merupakan satu-satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak. Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus superior untuk menggerakkan mata bawah, sedikit ke temporal dan abduksi dalam derajat kecil.
Pemeriksaan nervus IV meliputi gerak mata ke medial bawah, strabismus konvergen, dan diplopia. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah harus dilihat adanya strabismus (juling). Probandus diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia).
PEMERIKSAAN NERVUS TRIGEMINUS (V)
Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan serabut- serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot temporalis. Serabut- serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama yatu saraf oftalmikus, maksilaris, dan mandibularis. Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut, hidung, sinus. Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah bagian anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani.
Pemeriksaan fungsi motoris dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena).
Pemeriksaan fungsi sensorik mengikuti cabang sensorik nervus trigeminus, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul.
Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.
Gambar 5. Cabang sensoris nervus Trigeminus
Pemeriksaan refleks meliputi refleks kornea dan refleks masseter. Pada pemeriksaan refleks kornea langsung, probandus diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas disentuhkan pada kornea mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi serabut eferan (berkedip) berasal dari N.VII.
Pemeriksaan refleks kornea tak langsung (konsensual), sentuhan kapas pada kornea mata kanan akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya, kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen).
Refleks masseter bertujuan untuk melihat adanya lesi UMN (cortico-bulbar) penderita membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan.
Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat.
PEMERIKSAAN NERVUS ABDUSENS (VI)
Nukleus saraf abdusens terletak pada masing-masing sisi pons bagian bawah dekat medula oblongata dan terletak dibawah ventrikel ke empat saraf abdusens mempersarafi otot rektus lateralis. Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah harus dilihat adanya strabismus (juling). Probandus diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah lateral, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia).
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN NERVUS KRANIAL (I-VI)
NO ASPEK YANG DINILAI SKOR
0 1 2 1 Nervus
Olfaktorius (I)
1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan 2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan penderita untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk memejamkan matanya atau menutup mata probandus dengan kain penutup
4. Melakukan inspeksi lubang hidung yang akan diperiksa apakah ada pilek, polip, atau sumbatan lainnya
5. Menutup hidung yang tidak diperiksa dengan kapas 6. Mendekatkan botol yang telah berisi bahan
beraroma pada hidung yang akan diperiksa
7. Meminta probandus untuk menyebutkan aroma apa yang tercium
8. Melakukan pemeriksaan 6 & 7 untuk aroma yang lain
9. Memberikan penilaian hasil pemeriksaan 2 Nervus Optikus
(II)
Pemeriksaan Lapangan pandang (tes konfrontasi) 1. Meminta penderita duduk berhadapan dengan
pemeriksa pada jarak 1 meter.
2. Meminta penderita menutup mata kirinya dengan tangan untuk memeriksa mata kanan.
3. Meminta penderita melihat hidung pemeriksa 4. Pemeriksa menggerakkan jari tangannya dari
samping kanan ke kiri dan dari atas ke bawah.
5. Meminta penderita untuk mengatakan bila masih melihat jari-jari tersebut.
6. Menentukan hasil pemeriksaan.
7. Mengulangi prosedur pemeriksaan untuk mata sebelah kiri dengan menutup mata sebelah kanan.
• • •
3 Nervus
Okulomotorius (III), nervus Troklearis (IV), dan
nervus Abdusen (VI)
Pemeriksaan refleks pupil.
1. Mempersiapkan alat dan bahan pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus sembari mempersilakan probandus untuk duduk atau berbaring
3. Menyinari mata yang akan diperiksa dengan senter dari arah samping
4. Memperhatikan reaksi pupil yang disinari (refleks pupil langsung) maupun reaksi pupil yang tidak disinari (refleks pupil konsensual)
5. Memeriksa refleks akomodasi pupil.
a. Meminta penderita melihat jari telunjuk pemeriksa pada jarak yang agak jauh.
b. Meminta penderita untuk terus melihat jari telunjuk pemeriksa yang digerakkan mendekati hidung penderita.
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
6. Memberikan penilaian Pemeriksaan gerak bola mata
1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan 2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau berbaring
3. Menempatkan diri di depan probandus sekitar 1 meter
4. Memerintah kepada probandus untuk melihat dan mengikuti gerakan jari tangan pemeriksa yang membentuk gambaran X, H, dan + 5. Memberikan penilaian dan pencatatan hasil
pemeriksaan 4 Nervus
Trigeminal Nerve (V)
Fungsi Motoris
1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan 2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk mengatupkan giginya dan mempertahankannya
4. Melakukan palpasi otot temporalis dan masseter
5. Memerintahkan probandus untuk membuka mulut dan mempertahankannya sembari dilakukan tahanan dengan tangan pemeriksa 6. Memberikan penilaian dan pencatatan hasil
pemeriksaan Fungsi sensoris
1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan 2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk memejamkan matanya
4. Memberikan sensasi tajam dengan jarum pada daerah dahi, pipi, dan dagu serta
memerintahkan probandus untuk mengatakan
“ya” apabila merasakan sensasi dan dibandingkan kanan dengan kiri.
5. Memberikan sensasi raba halus dengan kapas pada daerah dahi, pipi, dan dagu serta
memerintahkan probandus untuk mengatakan
“ya” apabila merasakan sensasi dan dibandingkan kanan dengan kiri.
6. Memberikan penilaian dan pencatatan hasil pemeriksaan
Refleks Kornea
1. Mempersiapakan alat dan bahan pemeriksaan 2. Meminta izin kepada probandus sembari
mempersilakan probandus untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk melirikkan matanya ke arah latero-superior
4. Menyentuhkan kapas pada kornea dari arah
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
yang lain pada mata yang diperiksa
5. Menilai kekuatan dan kecepatan refleks yang timbul dalam bentuk kedipan mata yang diperiksa (refleks kornea langsung) dan pada mata yang tidak diperiksa (refleks kornea konsensual)
6. Memberikan penilaian dan pencatatan hasil pemeriksaan
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
KETERAMPILAN
PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS( N.VII-XII) PEMERIKSAAN NERVUS FASIALIS (N. VII)
Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik (somatomotorik dan sekretomotoril) dan fungsi sensorik. Fungsi motorik berasal dari nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal dari nukleus sensoris yang muncul bersama nukleus motoris dan saraf vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna.
Serabut motoris saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian anterior lidah.
Otot-otot wajah bagian atas diinervasi kortikal bilateral karena itu terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat inervasi dari kortikal bilateral tidak lumpuh, yang lumpuh adalah otot-otot wajah bagian bawah. Pada lesi nervus VII perifer (gangguan terdapat di nukleus atau intranucleus), maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk cabagn saraf untuk pengecapan dan sekresi ludah. Wajah bagian bawah mendapat inervasi dari korteks motorik kontralateral (unilateral), sedangkan pada wajah bagian atas mendapat inervasi dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot). Saat pasien diam diperhatikan adanya asimetri wajah. Kelumpuhan nervus VII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan dahi menghilang serta lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik. Perhatikan juga gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus, dan tremor serta ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng).
Fungsi motorik dapat dinilai dengan meminta probandus untuk mengerutkan dahi, menutup mata, meringis, meniup (menggembungkan pipi), bersiul, dan tersenyum. Pada kelemahan berat otot penutup mata, pasien bisa mengalami kesulitan melindungi kornea.
Pasien tersebut dapat terlihat memutar matanya ke atas di bawah kelopak saat ia diminta menutup mata, suatu usaha otomatis untuk menutup kornea.
Blok KMD 2 Keluhan FN Neurosensoris, Hemopoetik & Limforetikuler
Gambar 6. Fungsi motorik nervus VII: mengerutkan dahi
Pemeriksaan fungsi sensoris nervus VII dinilai dengan memberikan larutan yang mewakili empat modalitas pengecap dasar (manis, pahit, asam dan asin) yang disentuhkan pada bagian anterior lidah (2/3anterior).
PEMERIKSAAN NERVUS VESTIBULOKOKLEARIS (N. VIII)
Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen yang mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengandung serabut-serabut aferen yang mengurusi keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organ corti dan berjalan menuju inti koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan kemudian menuju girus superior lobus temporalis. Serabut-serabut untuk keseimbangan mulai dari utrikulus dan kanalis semisirkularis dan bergabung dengan serabut-serabut auditorik di dalam kanalis fasialis. Serabut-serabut ini kemudian memasuki pons, serabut vestibutor berjalan menyebar melewati batang dan serebelum.
Tes pendengaran sederhana adalah dengan menilai kemampuan pasien mendengar detik jarum jam yang didekatkan ke telinga, atau dengan membisikkan sejumlah angka pada satu telinga dengan menutup liang telinga kontralateral pada jarak kira-kira 1 meter dari telinga, dan meminta pasien mengulanginya (tes Whisper).
Untuk membedakan tuli konduktif (telinga luar dan telinga tengah) atau tuli sensorineural (telinga dalam), dapat digunakan garpu tala 512 Hz. Pada tes Rinne, konduksi udara dengan ujung garpu yang bergetar diletakkan di depan telinga, dibandingkan dengan konduksi tulang dengan cara meletakkan tangkai garpu tala pada prosesus mastoideus (dibelakang telinga) dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus oksterna. Normalnya, konduksi udara