KERJASAMA DAERAH: TEORI DAN PRAKTIK DI INDONESIA
Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D
A. Pendahuluan
Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang berarti Pemerintahan Daerah melaksanakan urusan dalam ranah
cabang kekuasaan eksekutif atau urusan administrasi negara. Dalam
pengertian tersebut mengandung makna bahwa Pemerintahan Daerah
tidak menyelenggarakan urusan legislatif dan peradilan. Administrasi
negara sebagai fungsi pemerintahan mempunyai dua tugas dan
wewenang, yaitu menjalankan (fungsi) pemerintahan dan membuat
peraturan untuk menjalankan fungsi pemerintahan.
Dalam menjalankan urusan pemerintahan, Pemerintahan Daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan yang dipandang
sebagai cara pemencaran kekuasaan di bidang pemerintahan, lebih
tepatnya disebut “scheiding van bestuurendemachten” karena hanya
terbatas pada fungsi “bestuur”.1 Selain itu, ditentukan bahwa Pemerintahan Daerah dijalankan atas dasar prinsip otonomi seluas-luasnya yang bermakna ”semua urusan pemerintahan pada dasarnya
dilaksanakan pemerintahan daerah kecuali yang secara expressis verbis
disebut sebagai urusan pusat”.2 Meskipun dilaksanakan seluas-luasnya,
namun penyelenggaraan pemerintahan daerah dibatasi oleh bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pengawasan. Hal ini
Disampaikan Rapat Gabungan Forum Kerjasama Daerah Mitra Praja Utama, Bandung,
12 Mei 2014.
Staf pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Wicaksana Dramanda, S.H. – staf peneliti pada Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran – yang telah membantu mempersiapkan bahan-bahan bagi penulisan makalah ini.
1
Bagir Manan, “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah”, Makalah, 2009, hlm 2. 2
disebabkan otonomi bukanlah kemerdekaan atau kebebasan, melainkan
kemandirian.3
Dalam pada itu, otonomi yang dilaksanakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan memiliki berbagai fungsi, meliputi:
pengelolaan atau manajemen pemerintahan, pelayanan publik, politik,
polisionil, menjaga persatuan, dan keragaman. 4 Keseluruhan fungsi
tersebut dalam konteks hubungan dengan rakyat dalam perspektif
pemerintahan modern adalah pemerintahan yang melayani. Jika melihat
pada tiga fungsi utama negara (politik, keamanan dan ketertiban, serta
kemasyarakatan), maka sebagai ujung tombak mewujudkan negara
kesejahteraan tugas utama pemerintahan daerah adalah tugas-tugas di
bidang kemasyarakatan.5 Tugas-tugas ini meliputi penyediaan prasarana
dan sarana publik, pelayanan umum, dan ketertiban umum yang berkaitan
dengan kenyamanan dan ketenteraman warga.6 Dengan demikian,
argumentasi utama makalah ini adalah kerjasama daerah harus dilakukan
dalam rangka pencapaian fungsi otonomi yang didasarkan pada prinsip
demokrasi deliberasi melalui optimalisasi kelembagaan daerah. Makalah
ini akan terbagi menjadi lima Bagian. Setelah Bagian Pendahuluan,
paparan teoritis mengenai kerjasama daerah dilakukan di Bagian B, yang
akan dilanjutkan dengan Bagian C yang berisi penjelasan praktik
kerjasama daerah di Indonesia yang didasarkan pada beberapa peraturan
perundang-undangan. Bagian D akan menjelaskan optimalisasi
kelembagaan dalam kerjasama daerah. Penutup akan dipaparkan pada
Bagian E.
3 Ibid.
4
Ibid, hlm 3-5.
5
Ibid, hlm 7.
B. Tinjauan Teoretis Kerjasama Daerah
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pelayanan publik
merupakan tugas utama Pemerintahan Daerah. Dalam menyelenggarakan
fungsinya tersebut, seringkali Pemerintah Daerah mengalami kendala
berupa keterbatasan sumber daya, baik berupa sumber daya alam
maupun sumber daya manusia. Guna mengatasi permasalahan tersebut,
melakukan kerjasama daerah merupakan alternatif penyelesaian masalah
yang sangat tepat.7 Kerjasama Daerah dapat diartikan dalam arti sempit
dan luas.8 Dalam arti sempit kerjasama daerah diartikan sebagai interlocal
cooperation atau pertukaran kooperatif antar pemerintah daerah dalam
penyediaan pelayanan publik. Dalam arti luas, kerjasama daerah diartikan
dengan banyak bentuk, baik berupa privatisasi ataupun kerjasama antara
pemerintah daerah dengan pihak ketiga atau penyedia jasa privat
(interlocal/ intermunicipal cooperation).9
Kedua bentuk kerjasama daerah tersebut dapat dijadikan alternatif
dalam menyelesaikan persoalan penyediaan pelayanan publik serta
optimalisasi aset pelayanan publik, terutama aset yang berbentuk fisik.
Kedua bentuk kerjasama tersebut memiliki faktor-faktor pendukung
keberhasilan berupa tingkatan spesifikasi asset (asset specificity), ukuran
kesulitan (measurement difficulty), dan kedalaman pertukaran (exchange
embeddedness). Hal-hal tersebut mencerminkan bahwa bentuk-bentuk
kerjasama daerah yang akan dipilih dan tingkatannya ditentukan oleh
faktor-faktor spesifik yang secara khusus bergantung pada tingkat
kompleksitas kebutuhan daerah dalam penyediaan pelayanan publik.
Spesifikasi aset (asset spesificity) dalam kerjasama daerah perlu
diperhatikan guna mendapatkan keuntungan yang optimal dari sebuah
7
Manoj K. Shrestha & Richard C. Feiock, “Transaction Cost, Exchange Embeddedness,
and Interlocal Cooperation in Local Public Goods Supply”, Political Research Quarterly,
Vol. 64 No. 3, University of Utah, 2011.hlm. 573.
8
Ibid, hlm. 574.
kerjasama daerah. Misal, kebutuhan pasokan air bersih dari satu daerah
ke daerah lain menghendaki kualitas air bersih atau terdapat kesepakatan
untuk meningkatkan kualitas air bersih dari daerah pemasok.10
Peningkatan kualitas yang dikehendaki dalam sebuah kerjasama, pada
tingkat tertentu akan menimbulkan biaya kerjasama yang tidak sedikit.
Namun, peningkatan biaya tersebut diharapkan dapat setara dengan
dampak baik yang akan ditimbulkan seperti peningkatan daya saing
daerah, hingga transfer of knowledge dan transfer of technology. Oleh
karena itu spesifikasi aset menjadi poin penting untuk menentukan pihak
(baik daerah maupun pihak ketiga) yang layak untuk menjadi mitra
kerjasama.
Faktor pendukung lainnya yang perlu diperhatikan adalah tingkat
kesulitan kerjasama (measurement dificulties). Kesulitan yang dimaksud
adalah kesulitan untuk mengevaluasi hasil atau outcome dari sebuah
kerjasama. Kerjasama pengadaan air bersih sebagaimana dicontohkan di
atas, merupakan bentuk kerjasama dengan hasil yang dapat diukur
dengan parameter-parameter tertentu yang pasti. Namun, untuk beberapa
bentuk kerjasama, seperti kerjasama dalam penanganan keadaan darurat,
manfaat dari kerjasama tersebut membutuhkan parameter yang jauh lebih
kompleks untuk dinilai.11 Semakin kompleks sebuah kerjasama, maka
potensi konflik akan menjadi semakin besar. Oleh karena itu, dalam
kerjasama yang kompleks, diperlukan perencanaan pencegahan konflik
dan mitigasi konflik yang tepat.
Selain faktor-faktor diatas, faktor exchange embeddedness tidak
dapat dikesampingkan. Faktor ini menghendaki bahwa kerjasama yang
hendak dibangun oleh tiap-tiap daerah, harus didasarkan pada track
record hubungan baik antar satu daerah dengan daerah lain, atau antar
10
Ibid, hlm. 576.
daerah dengan pihak ketiga.12 Tingkat hubungan tersebut menjadi penting untuk memastikan kualitas kerjasama. Dalam konteks kerjasama antara
daerah dengan pihak swasta, maka exchange embeddedness
menghendaki hubungan kerjasama dilakukan antara daerah dengan
tangan pertama dari penyedia barang/jasa.13 Kualitas hubungan ini
diperlukan guna menjamin kualitas kerjasama, serta meminimalisir konflik
yang mungkin dapat timbul dari sebuah kerjasama. Dalam konteks
kerjasama yang tradisional, kedekatan hubungan ini selalu diartikan
berupa kedekatan secara geografis.
Kerjasama daerah, menghendaki peran penting Kepala Daerah.
Kepala Daerah menjadi pemain kunci (key person) yang dapat
mengembangkan dan mengendalikan arah kerjasama daerah.14 Dalam
konteks desentralisasi, maka peran kunci tersebut dimainkan pula oleh
lembaga perwakilan di daerah (city council).15 Lembaga perwakilan di
daerah memiliki peran penting guna memastikan bahwa kerjasama daerah
yang dibangun oleh Kepala Daerah dilakukan dengan cara-cara yang
demokratis.16 Oleh karena itu, pelibatan lembaga perwakilan rakyat di
daerah menjadi penting sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam
penentuan kebijakan-kebijakan publik, terutama dalam hal kerjasama
yang akan membebani anggaran pemerintah dan membebani keuangan
masyarakat.17
Pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan kerjasama
daerah dapat berupa dibuatnya ruang-ruang dialektis antara masyarakat
dengan pengambil kebijakan sebagaimana dikehendaki dalam paham
demokrasi deliberatif. Keterlibatan masyarakat sebagai stakeholders dapat
12
Ibid, hlm. 577.
13 Ibid. 14
Eric Zeemering, “Governing Interlocal Cooperation: City Council Interests and The Implications of Public Management”, Public Administration Review, Vol. 68 No. 4, San Francisco State University, 2008. hlm. 731.
15 Ibid. 16
Ibid. 17
berbentuk forum warga (citizen forum), pertemuan warga kota (townhall
meeting), juri warga (citizen juries), atau poling deliberatif (deliberative
polls).18 Forum-forum deliberasi tersebut dapat digunakan untuk
memproyeksi kebutuhan kerjasama daerah (baik objek kerjasama, tingkat
kesulitan, hingga pihak-pihak yang cocok untuk menjadi mitra kerjasama)
dalam rangka optimalisasi pelayanan publik kepada masyarakat. Melalui
forum deliberasi, maka kerjasama daerah diharapkan tidak hanya
bertujuan memberikan kepuasan layanan kepada masyarakat, melainkan
juga membangun paradigma masyarakat bahwa pelayanan sebagai milik
masyarakat.Dalam konteks pelaksanaan demokrasi deliberatif, Gutmann
dan Thompson memberikan ciri demokrasi deliberatif berupa:
1. Syarat pemberian alasan (reason giving requirement) kepada
setiap warga negara secara bebas dan setara.
2. Dapat diakses (accessible). Alasan-alasan suatu rencana
kebijakan harus dapat diakses oleh setiap warga yang terlibat
dalam deliberasi.
3. Menghasilkan suatu keputusan yang mengikat untuk periode
tertentu.
4. Proses yang dinamis. Walaupun deliberasi dimaksudkan untuk
menghasilkan suatu keputusan yang dibenarkan, namun
keputusan tersebut memungkinkan untuk digugat kembali
melalui deliberasi berkelanjutan atas kritisi warga negara yang
terkena dampak.
C. Praktik Kerjasama Daerah di Indonesia
Di Indonesia, kerjasama daerah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan
18
undang-undang tersebut, kerjasama daerah dimungkinkan guna
peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang sinergi dan saling menguntungkan demi meningkatkan
kesejahteraan rakyat.19 Kerjasama tersebut dapat diwujudkan dalam
bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan
bersama.20 Lebih jelas, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun
2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah menjelaskan
bahwa kerjasama daerah adalah kesepakatan antara Gubernur dengan
Gubernur atau Gubernur dengan Bupati/Walikota atau antara
Bupati/Walikota dengan Bupati/Walikota atau atas nama Pemerintah
Daerah dengan Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen
(LPND) atau sebutan lain atau Badan Hukum yang dibuat secara tertulis
dan menimbulkan hak dan kewajiban.21
UU No. 32 Tahun 2004 beserta turunannya yang mengatur
mengenai kerjasama daerah, terlihat mencoba memberikan jalan keluar
bagi kompleksitas yang biasa terjadi dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan yang bersifat lintas daerah dengan cara melakukan
pengelolaan bersama oleh daerah terkait.22 Dengan tujuan mengatasi
keterbatasan sumber daya yang ada, UU ini juga mewajibkan pengelolaan
pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk
kepentingan masyarakat.23 Demi kepentingan masyarakat pula, daerah
diberikan kewenangan dapat bekerjasama dengan pihak ketiga dalam
penyediaan pelayanan publik.24 Meskipun demikian, daerah wajib
mendapatkan persetujuan DPRD terlebih dahulu apabila kerjasama yang
akan dilakukan akan membebani masyarakat atau membebani APBD.25
19
Pasal 195 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.
20
Pasal 195 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
21
Pasal 1 angka 3 Permendagri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis dan Tata Cara Kerjasama Daerah.
22
Pasal 196 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.
23
Pasal 196 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
24
Pasal 195 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.
25
Selain bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik, kerjasama daerah
juga dapat ditujukan untuk menyelesaikan perselisihan antar
kabupaten/kota.26 Perselisihan antar kabupaten/kota mencakup antara
lain:
a) perbatasan antar kabupaten/kota;
b) sumber daya alam antar kabupaten/kota;
c) aset;
d) transportasi;
e) persampahan; dan
f) tata ruang.27
Selain dalam UU No. 32 Tahun 2004, kerjasama daerah diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Kerjasama Daerah (PP Kerjasama Daerah). Secara spesifik, Pasal 3 PP
tersebut menegaskan pihak yang dapat menjadi subjek kerjasama daerah
adalah:
1. Gubernur
2. Bupati/walikota, dan
3. Pihak ketiga.
Dalam Pasal 4 PP Kerjasama Daerah, objek kerjasama daerah
adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan
daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik. Dengan
kata lain, objek kerjasama daerah tidak hanya terbatas pada penyediaan
pelayanan publik, melainkan seluruh urusan pemerintahan daerah.
Kerjasama daerah dapat pula dilakukan dalam bentuk pemanfaatan
aset. Namun, PP Kerjasama Daerah tidak mengatur secara spesifik
26
Pasal 10 ayat (1) PP No. 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
27
mengenai kerjasama pemanfaatan aset/ barang milik daerah. Ketentuan
kerjasama dalam bentuk pemanfaatan aset diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah (PPPBMN/D) yang diubah dengan PP No. 38 Tahun
2008. PP tersebut tidak membedakan kerjasama pemanfaatan aset antara
Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Daerah lainnya, atau kerjasama
antara Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga. Dalam Pasal 1 angka 11 PP tersebut, “Kerjasama Pemanfaatan” diartikan sebagai:
“pendayagunaan barang milik negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan
Negara bukan pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya.”
Namun, pada Pasal 26 ayat (1) huruf b PP PBMN/D ditegaskan
bahwa mitra kerjasama pemanfaatan merupakan pihak ketiga. Pihak
ketiga yang dimaksud merupakan pihak yang telah mengikuti proses
tender yang diikuti sekurang-kurangnya lima peminat. Proses tender
tersebut dapat dikecualikan bagi barang milik Negara/daerah yang telah
ditentukan dapat dilakukan dengan penunjukkan langsung. Berdasarkan
pasal tersebut, terlihat bahwa mitra kerjasama pemanfaatan dalam PP
PBMN/D ditujukan untuk pihak ketiga yang berupa pihak swasta, dan tidak
dapat dilakukan oleh pemerintah daerah lain. Mekanisme tender tersebut
tidak dapat dilakukan pemerintah daerah lain, kecuali melalui BUMD yang
berstatus badan hukum privat. Oleh karena itu, apabila mitra kerjasama
pemanfaatan merupakan pemerintah daerah lain, maka mekanisme
kerjasama pemanfaatan tunduk pada ketentuan PP kerjasama daerah.
Sebagaimana lazimnya kerjasama pada umumnya, selalu ada
potensi konflik yang dapat terjadi dalam sebuah kerjasama. Oleh karena
itu, apabila terjadi perselisihan dalam kerjasama daerah maka Gubernur
Pasal 198 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.28 Ketentuan tersebut merupakan penegasan atas tugas dan
wewenang Gubernur dalam pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, koordinasi
penyelenggaraan urusan pemerintahan di Daerah Kabupaten/Kota, dan
koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pembantuan di Daerah Kabupaten/Kota. Namun, apabila perselisihan
kerjasama terjadi diantara Daerah Provinsi, maka Menteri Dalam Negeri
dapat menyelesaikan perselisihan tersebut sebagaimana diatur dalam
Pasal 198 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.29
PP Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kerjasama Daerah menegaskan bahwa perselisihan yang terjadi dalam
kerjasama daerah dapat diselesaikan melalui musyawarah atau melalui
keputusan Gubernur yang bersifat final dan mengikat.30 Peran Gubernur
yang demikian itu merupakan salah satu bentuk pelaksanaan fungsi
pembinaan. Secara tegas fungsi tersebut dijabarkan kembali dalam PP
Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan
Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Di Wilayah Provinsi, bahwa Gubernur melaksanakan
pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota
melalui:
a. pemberian fasilitasi dan konsultasi penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota di
wilayah provinsi yang bersangkutan;
28
Pasal 198 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
29
Pasal 198 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
30
b. pemberian fasilitasi dan konsultasi pengelolaan
kepegawaian kabupaten/kota di wilayah provinsi yang
bersangkutan;
c. penyelesaian perselisihan yang timbul dalam
penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota
di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan
d. upaya penyetaraan kualitas pelayanan publik antar
kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.31
D. Optimalisasi Fungsi TKKSD dan BKD Dalam Memperkuat
Faktor-Faktor Penentu Efektifitas Kerjasama Daerah Dalam Kerangka
Demokrasi Deliberatif
Guna mempersiapkan kerjasama daerah, Gubernur dapat
membentuk Tim Koordinasi Kerja Sama Daerah (TKKSD). TKKSD
mempunyai tugas untuk:
a) melakukan inventarisasi dan pemetaan bidang/potensi
daerah yang akan dikerjasamakan;
b) menyusun prioritas objek yang akan dikerjasamakan;
c) memberikan saran terhadap proses pemilihan daerah dan
pihak ketiga;
d) menyiapkan kerangka acuan/proposal objek kerja sama
daerah;
e) membuat dan menilai proposal dan studi kelayakan;
f) menyiapkan materi kesepakatan bersama dan rancangan
perjanjian kerjasama;
g) memberikan rekomendasi kepada gubernur untuk
penandatanganan kesepakatan bersama dan perjanjian
31
kerja sama; dan
h) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kerjasama daerah kabupaten/kota.
Fungsi-fungsi TKKSD sebagaimana disebutkan di atas, harus
dilaksanakan dalam rangka memproyeksi faktor-faktor penentu efektifitas
kerjasama daerah berupa spesifikasi aset (asset specificity), ukuran
kesulitan (measurement difficulty), dan kedalaman pertukaran (exchange
embeddedness). Fungsi strategis TKKSD tersebut menuntut performa
SDM yang prima, dengan pemahaman dari sisi hukum hingga dampak
sosiologis yang akan diterima masyarakat dalam kerjasama daerah yang
akan berlangsung. Oleh karena itu, diperlukan pula pelibatan masyarakat
secara langsung melalui forum-forum deliberasi seperti townhall meeting,
citizen juries, dan forum-forum deliberasi lainnya.
Forum deliberasi dalam rangka perencanaan semacam ini telah
banyak di praktikkan di berbagai kota di dunia. Sebagai contoh,
Vancouver pada tahun 1995 telah berhasil membuat sebuah perencanaan
tata kota melalui forum deliberasi yang inklusif, dan menghasilkan kota
yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik, meningkatkan jumlah
perumahan, mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan
pribadi, dan berhasil membuat tata kota yang memudahkan masyarakat
untuk bekerja. Dalam perencanaan kota tersebut, Vancouver melibatkan
hingga 100.000 orang dalam pengambilan kebijakan perencanaan. Pada
akhirnya Vancouver berhasil membuat sebuah perencanaan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.32
Melalui optimalisasi TKKSD, maka kerjasama daerah yang
dibangun diharapkan tidak semata-mata dilakukan karena tuntutan
regulasi belaka, melainkan didasarkan pada kebutuhan untuk memberikan
layanan prima kepada masyarakat. Lebih jauh, penguatan fungsi TKKSD
32
melalui forum deliberasi, harus mampu memproyeksi bidang-bidang
kerjasama daerah yang tidak hanya didasarkan pada keterbatasan
sumber daya yang ada, melainkan ditujukan untuk lebih meningkatkan
daya saing daerah.Sehingga, kerjasama daerah tidak hanya dalam
konteks pemenuhan pelayanan dasar semata, melainkan dapat pula
mendongkrak sendi-sendi perekonomian masyarakat.
PP Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kerjasama Daerah memberikan pula kewenangan Kepala Daerah untuk
dapat membentuk Badan Kerjasama yang berfungsi untuk melakukan
pengelolaan, monitoring, hingga evaluasi. Namun, kewenangan tersebut
hanya dapat dilakukan apabila kerjasama daerah dilakukan secara terus
menerus, atau kerjasama dilakukan dengan jangka waktu minimal selama
5 tahun.33 Optimalisasi badan kerjasama ini penting untuk dilakukan guna
memantau secara intensif efektifitas kerjasama antar daerah.
Pengawasan yang intensif tersebut dapat bermanfaat guna memberikan
saran dan masukan kepada masing-masing pihak mengenai
langkah-langkah yang dapat ditempuh apabila terjadi masalah dalam pelaksanaan
kerjasama.34
Dalam konteks exchange embeddedness, maka kedekatan daerah
secara geografis merupakan faktor utama yang dapat mempererat
hubungan kerjasama daerah di satu sisi, dan juga dapat memiliki potensi
konflik yang tinggi di sisi lain. Hal ini dikarenakan, kedekatan geografis
akan melahirkan potensi kepentingan bersama yang sangat tinggi. Misal,
daerah-daerah yang memiliki potensi pariwisata dan laut, cenderung
memiliki masalah yang serupa dan cenderung berkompetisi secara ketat.
Di sisi lain, pengelolaan potensi daerah masih sangat kental dengan
nuansa etnosentrisme yang membentuk egosentrisme lokal.35 Oleh
33
Pasal 24 PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah.
34 Ibid.
35 Hardi Warsono, “Regionalisasi dan Manajemen Kerjasama Antar Daerah”,
karena itu, intensifitas koordinasi pada tingkat Provinsi harus ditingkatkan.
Dalam kerangka memperkuat koordinasi Provinsi inilah, kehadiran Badan
Kerjasama Daerah harus dimaknai.
Badan Kerjasama Daerah harus pula dimaknai dan difungsikan
sebagai forum deliberasi antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat.
Forum deliberasi ini harus dapat diikuti oleh seluruh stakeholdersdalam
rangka turut serta menentukan arah kebijakan kerjasama daerah.
Menjadikan Badan Kerjasama Daerah sebagai forum deliberasi
diharapakan dapat menjadikan Badan Kerjasama Daerah menjadi lebih
responsif terhadap kebutuhan masyarakat.Kondisi ini diharapkan dapat
menjadi upaya preventif untuk mencegah timbulnya konflik dan
memproyeksi mitigasi yang dapat ditempuh ketika konflik tidak lagi dapat
dihindarkan.Dalam konteks kerjasama daerah dalam mewujudkan
pelayanan publik, maka forum deliberasi ini harus ditujukan pula untuk
membangun paradigma masyarakat sebagai pemilik pelayanan publik.
E. Penutup
Kerjasama daerah yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik kepada masyarakat, harus didasarkan pada
pertimbangan faktor-faktor yang dapat mendukung efektifitas kerjasama
daerah yang digagas melalui forum-forum deliberatif dengan
mengikutsertakan masyarakat terdampak (stakeholders). Melalui forum
deliberasi, paradigma masyarakat harus diarahkan untuk tidak lagi
berorientasi sebagai objek yang dilayani dan berorientasi pada kepuasan
terhadap pelayanan semata, melainkan harus mulai berorientasi pula
sebagai pemilik pelayanan tersebut. Selain itu, kerjasama daerah harus
mulai diarahkan untuk tidak semata-mata ditujukan demi mengatasi
keterbatasan sumber daya dan memberikan pelayanan dasar kepada
masyarakat dengan baik (paradigma tradisional), melainkan harus
kerjasama daerah harus mampu mendorong adanya transfer of
knowledge dan transfer of technology.
BAHAN BACAAN
A. Buku, Makalah, Artikel Jurnal
Anonim, “How We Plan: Inclusive in Decision Making, livable city Sustainable Future”, City of Vancouver, vancouver.ca/ourcity.
Bagir Manan, “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah, Makalah, 2009
Bilal Dewansyah, “Deliberasi Dalam Proses Demokrasi Elektoral: Praktik Forum Konstituen Dalam Pilkada Kabupaten Bandung”, Jurnal Konstitusi PSKN-FH Unpad dan Mahkamah Konstitusi RI, Volume III, No. 1, 2011.
Eric Zeemering, “Governing Interlocal Cooperation: City Council Interests and The Implications of Public Management”, Public Administration Review, Vol. 68 No. 4,San Francisco State University, 2008.
Hardi Warsono, “Regionalisasi dan Manajemen Kerjasama Antar Daerah”,
Ringkasan Disertasi Program Doktor Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, 2009.
Manoj K. Shrestha & Richard C. Feiock, “Transaction Cost, Exchange Embeddedness,and Interlocal Cooperation in Local Public Goods Supply”, Political Research Quarterly,Vol. 64 No. 3, University of Utah, 2011.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah.
Provinsi sebagaimana telah dubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2011
Permendagri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis dan Tata Cara Kerjasama Daerah
Bandung, 11 November 2014
Mengetahui dan menyetujui,