commit to user
PENERAPAN ANALISIS TRANSAKSIONAL DASAR UNTUK MEMPERBAIKI MASALAH EMOSI DAN PERILAKU ANAK DAN REMAJA
Yekti Nurhaeni, Aris Sudiyanto1, M. Fanani2
Magister Kedokteran Keluarga Program PASCASARJANA UNS
yektinurhaeni@yahoo.co.id
ABSTRAK
Latar Belakang : Masalah emosi dan perilaku anak dan remaja memberikan dampak negatif
terhadap perkembangan, menimbulkan hendaya dan menurunkan produktifitas serta kualitas hidup yang bermanifestasi perilaku internalisasi (menarik diri) atau eksternalisasi (menentang) atau kedua-duanya. Selain itu akan menambah beban keluarga, mengganggu relasi orang tua-anak dan mempersulit pengasuhan. Analisis Transaksional adalah psikoterapi yang menekankan pada hubungan interaksional diharapkan mampu memperbaiki masalah relasi orang tua-anak, sehingga masalah emosi dan perilaku anak dan remaja bisa diperbaiki.
Tujuan : Mengetahui keefektifan Analisis Transaksional Dasar untuk memperbaiki masalah
emosi dan perilaku anak dan remaja.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berbentuk studi kasus bertujuan untuk
memperbaiki masalah emosi dan perilaku anak dan remaja pada keluarga dengan masalah relasi orang tua-anak dengan melakukan terapi Analisis Transaksional Dasar menggunakan pedoman Aplikasi Analisis Transaksional Dasar pada Masalah Relasi Orang Tua-Anak.
Hasil : Analisis Transaksional Dasar dilakukan pada dua kasus anak dan remaja yang
mengalami eksternalisasi dan internalisasi menunjukkan perbaikan pada taraf borderline berdasarkan penilaian Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) dan perbaikan gejala (symptomatic relief) yang merupakan tahap awal keberhasilan terapi.
Kesimpulan : Analisis Transaksional Dasar dapat dipergunakan untuk memperbaiki masalah
emosi dan perilaku anak dan remaja.
Kata kunci : Analisis Transaksional Dasar, masalah emosi dan perilaku anak dan remaja.
PENDAHULUAN
Masalah emosi dan perilaku pada
anak dan remaja merupakan masalah yang
cukup serius karena memberikan dampak
negatif terhadap perkembangan,
menimbulkan hendaya dan menurunkan
produktivitas serta kualitas hidup mereka.
Anak dan remaja dengan masalah emosi
dan perilaku mempunyai kerentanan untuk
mengalami hendaya dalam fungsi
kehidupan sehari-hari, terutama dalam
fungsi belajar dan sosialisasi (Wiguna
dkk., 2010). Masalah emosi dan perilaku
commit to user kesulitan dalam belajar karena tidak
mampu berkonsentrasi terhadap pelajaran,
kemampuan mengingat yang buruk, atau
bertingkah yang tidak sesuai di dalam
lingkungan sekolah, akan meningkatkan
angka kenakalan dan kriminalitas di masa
dewasa (Blanchard et al., 2006).
Insidensi di dunia menurut World
Health Organization (WHO) didapatkan 1
dari 5 anak yang berusia kurang dari 16
tahun mengalami masalah emosi dan
perilaku. Anak yang berusia 4-15 tahun
yang mengalami emosi dan perilaku
sebanyak 104 permil anak. Angka kejadian
tersebut makin tinggi pada kelompok usia
di atas 15 tahun, yaitu 140 permil anak
(Damayanti, 2011). Sedangkan prevalensi
di seluruh dunia sebesar 20% menurut
WHO dalam European Ministerial
Conference (Deenadayalan et al., 2010).
Satu setengah juta anak di Amerika Serikat
dilaporkan orang tuanya memiliki masalah
emosional, perkembangan dan perilaku
yang persisten. Orang tua tersebut 41%
mengeluhkan anaknya mengalami
kesulitan belajar dan 36% khawatir akan
mengalami gangguan depresi atau anxietas
(Blanchard et al., 2006). Di Singapura
didapatkan 12,5% anak usia 6-12 tahun
memiliki masalah emosi dan perilaku
(Woo et al., 2007). Sedangkan di Indonesia, penelitian Hartanto dan Selina
(2011) prevalensi masalah emosi dan
perilaku sebesar 9,1% pada siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di kota
Semarang tahun 2009. Penelitian di
Semarang pada tahun berikutnya
didapatkan prevalensi masalah emosi dan
perilaku 10-14,3% (Diananta, 2012). Hal
ini menunjukkan bahwa masalah emosi
dan perilaku anak dan remaja dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan dari tahun
2009-2011. Pada kunjungan poli tumbuh
kembang anak RSJD Surakarta pada tahun
2013 didapatkan prevalensi masalah emosi
dan perilaku pada anak sebesar 26%.
Berbagai faktor biopsikososial
sering dikaitkan dengan terjadinya masalah
emosi dan perilaku pada anak dan remaja,
seperti adanya penyakit fisik, pola asuh
yang inadekuat, kekerasan dalam rumah
tangga, hubungan dengan teman sebaya
yang inadekuat, serta kemiskinan yang
mempengaruhi proses perkembangan
kognitif anak sehingga anak lebih
memandang negatif lingkungan sekitar dan
persepsi negatif terhadap dirinya yang
memicu terjadinya internalisasi dalam
dirinya. Stresor biopsikososial juga
berkaitan dengan eksternalisasi anak
berupa peningkatan emosi negatif, perilaku
disruptif dan impulsif, serta menimbulkan
cara-cara interaksi yang negatif sehingga
berdampak pada hubungan dengan teman
sebaya yang tidak optimal (Gimbel &
Holland, 2003 cit. Wiguna dkk., 2010;
commit to user dengan masalah emosi dan perilaku
seringkali mengalami perlakuan yang tidak
sesuai dari lingkungannya yang dapat
berupa stigma negatif. Guru merasa sulit
mengajari mereka, melihat mereka sebagai
anak-anak bodoh, sehingga jarang
memberikan masukan yang positif. Teman
sebaya menjauhi mereka, sehingga
kesempatan untuk belajar bersosialisasi
menjadi berkurang. Orangtua lebih banyak
memberikan kritik negatif sehingga tidak
jarang interaksi antara orangtua dan anak
terganggu (Collet et al., 2001). Selain itu
menurut Blanchard et al., (2006) anak dan
remaja dengan masalah emosi dan perilaku
akan menambah beban keluarga,
mengganggu relasi orang tua-anak dan
mempersulit pengasuhan.
Pola asuh orang tua sangat besar
pengaruhnya bagi anak. Orang tua yang
menerapkan pola asuh otoriter, permisif
dan neglectful parent akan menyebabkan
relasi orang tua-anak buruk dan
mendukung terjadinya masalah emosi dan
perilaku pada anak dan remaja (Levy,
1972; Adams & Gullotta, 1983). Dinamika
dan relasi antara anggota dalam keluarga
juga memainkan peran yang cukup penting
bagi anak. (Adams & Gullotta, 1983:
Soetjiningsih, 2010). Relasi orang
tua-anak yang buruk akan menyebabkan
hubungan interpersonal terganggu dan
komunikasi terganggu. Dalam istilah
Analisis Transaksional (AT) akan terjadi
disfungsi komunikasi, yang disebabkan
adanya transaksi silang. Akibat transaksi
silang akan terjadi kemarahan serta
menimbulkan masalah emosi dan perilaku
pada anak, sehingga memerlukan
psikoterapi AT (Corey, 2009).
Modalitas terapi untuk
penangangan masalah emosi dan perilaku
anak yang terbanyak dilakukan adalah
Cognitive Behavior Therapy (CBT) dan
Interpersonal Psychotheraphy (IP)
(Sadock et al., 2009). Penelitian RCT
dengan CBT kelompok terbukti efektif
menurunkan gejala internalisasi dan
eksternalisasi masalah emosi dan perilaku
pada anak dan remaja (Barret et al., 2013).
Penelitian CBT dan IP selama ini belum
ada yang menggunakan setting keluarga
dalam menangani masalah emosi dan
perilaku pada anak dan remaja. Modalitas
lainnya yang dapat digunakan adalah
Analisis Transaksional (AT) untuk
memperbaiki masalah emosi dan perilaku
pada anak yang terdapat masalah relasi
orang tua-anak dikarenakan AT
menggunakan istilah-istilah yang diambil
dari bahasa sehari-hari (Orang tua,
Dewasa, Kanak) sehingga mudah
dimengerti oleh klien. Selain itu AT
merupakan teori praktis tentang
kepribadian dan teknik berkomunikasi
yang canggih sehingga individu akan bisa
mengenal dirinya sendiri, lebih mudah
commit to user
berkomunikasi dengan sesamanya
(Hukom, 1990). Namun sejauh ini masih
belum banyak yang melakukan studi
psikoterapi AT pada anak dan orang
tuanya dalam memperbaiki masalah emosi
dan perilaku anak baik di dalam maupun di
luar negeri. Penelitian kualitatif Maharatih
(2011) penggunaan AT fokus pada
masalah relasi orang tua-anak
menunjukkan hasil yang baik. Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka penulis ingin
melakukan penelitian lanjutan tentang
“Penerapan Analisis Transaksional Dasar
untuk Memperbaiki Masalah Emosi dan
Perilaku Anak dan Remaja.”
Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui keefektifan Analisis
Transaksional Dasar untuk memperbaiki
masalah emosi dan perilaku anak dan
remaja.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini merupakan
studi kualitatif berbentuk suatu studi kasus
tindakan yang bertujuan untuk mengetahui
penerapan Analisis Transaksional Dasar
pada masalah emosi dan perilaku pada
anak dan remaja dengan menggunakan
pedoman AATD dari Maharatih dkk
(2013). Alasan digunakannya pendekatan
kualitatif adalah untuk melihat
permasalahan secara mendalam dan
holistik, dimana hal tersebut tidak dapat
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif.
Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik
Psikiatri RSUD dr. Moewardi dan Poli
Tumbuh Kembang Anak RSJ Surakarta,
Propinsi Jawa Tengah serta di rumah
pasien. Waktu penelitian Februari 2015.
Instrumen Penelitian ini (1) Penulis
sendiri, (2) Pedoman AATD, (3) Lembar
data isian demografi, (4) Lembar SDQ, (5)
Egogram UNS, (6) Alat perekam. Seluruh
kegiatan wawancara direkam dengan
menggunakan alat perekam suara dan
video yang dilakukan dengan seijin subjek
penelitian. Tujuan menggunakan alat
perekam adalah untuk memudahkan
penulis dalam membuat transkrip dan
analisis data, membantu penulis
mengulang kembali hasil wawancara
sehingga diperoleh data akurat, dan
meminimalkan bias yang mungkin terjadi
karena keterbatasan dan subjektivitas
penulis.
Populasi penelitian adalah anak dan
remaja yang mengalami masalah emosi
dan perilaku pada keluarga dengan
masalah relasi orang tua-anak yang
menjalani rawat jalan di Poliklinik
Psikiatri RSUD dr. Moewardi Surakarta
dan Poli Tumbuh kembang Anak RSJD
Surakarta pada periode Januari-Februari
2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Kriteria inklusi yaitu (1) Pasien
yang mengalami masalah emosi dan
perilaku yang menjalani rawat jalan di
commit to user Surakarta dan Poli Tumbuh kembang
Anak RSJD Surakarta, (2) Faktor risiko
masalah psikososial, (3) Usia 10-18 tahun,
(4) Bisa membaca dan menulis, (5) Orang
tua minimal tamat SLTP, (6) Bersedia
menjadi subjek penelitian dan
menandatangani surat persetujuan
penelitian (Informed Consent). Kriteria
eksklusi yaitu adanya gangguan jiwa
berat/psikotik.
Definisi konsep penelitian ini
adalah (1). Analisis Transaksional Dasar :
analisis transaksional dasar yang diberikan
oleh penulis sebanyak 6 sesi dengan durasi
120 menit tiap sesi pertemuan, 3 kali
seminggu menggunakan teknik pengajaran
analisis struktural dan analisis transaksi
menggunakan pedoman AATD oleh
Maharatih dkk (2013). (2) Masalah emosi
dan perilaku : masalah emosi dan perilaku
pada anak dan remaja yang bermanifestasi
internalisasi atau eksternalisasi
berdasarkan wawancara psikiatri dan
diukur dengan kuesioner SDQ, yang
berada dalam keluarga dengan masalah
relasi orang tua-anak berdasarkan
wawancara psikiatri.
Pengambilan sampel/subjek
penelitian dilakukan secara purposif, yaitu
pengambilan sumber data dilakukan
dengan pertimbangan tertentu.
Pertimbangan tertentu itu misalnya orang
tersebut yang dianggap paling tahu tentang
apa yang kita harapkan. Dengan
melakukan pengambilan sampel secara
purposif, maka penulis melakukan seleksi
terhadap sejumlah kasus untuk dapat
diteliti secara mendalam. Dalam proses
penentuan sampel penelitian ini digunakan
kasus tunggal, yaitu masalah emosi dan
perilaku pada anak. Besar sampel yang
akan diambil ditetapkan 2 anak dan remaja
dengan masalah emosi dan perilaku,
berdasarkan internalisasi dan
eksternalisasi. Metode pengambilan data
dilakukan melalui wawancara dan
observasi partisipasi aktif. Sesi intervensi
analisis transaksional dilakukan sebanyak
6 kali, 3 kali setiap minggu,
masing-masing selama 120 menit.
Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis data kualitatif.
Analisis data dilakukan dengan mengacu
pada metode perbandingan tetap (constant
comperative method) oleh Glasser dan
Strauss, secara umum proses analisis data
mencakup reduksi data, kategorisasi data
dan sintesisasi data. Analisis data
dilakukan secara manual dikarenakan
kategorisasi verbatim tidak terlalu banyak.
Penyajian data dalam bentuk data display
yang berupa grafik dan matriks.
Pengujian keabsahan data dalam
penelitian kualitatif meliputi (1) Uji
credibility (validitas internal) dilakukan
melalui meningkatkan ketekunan dan
kualitas keterlibatan penulis dalam
commit to user data melalui persepsi dari subjek dan
penilaian dari keluarga subjek, penulis
serta expert melalui rekaman video, diskusi dengan psikiater/expert untuk
mendapatkan saran dan kritik dalam proses
penelitian, menggunakan bahan referensi
untuk meningkatkan nilai kepercayaan
kebenaran data yang diperoleh dalam
bentuk rekaman dan tulisan, (2) Uji
transferability (validitas eksternal)
dilakukan dengan membuat laporan
penelitian dalam uraian yang rinci, jelas,
sistematis, dan dapat dipercaya sehingga
pembaca dapat mengerti dan memahami
hasil penelitian, (3) Uji dependability
(reliabilitas) dilakukan dengan melakukan
audit terhadap keseluruhan proses
penelitian bersama dengan pembimbing
dan expert/psikiater.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada dua
keluarga yang anaknya mengalami
masalah emosi dan perilaku serta terdapat
masalah relasi orang tua-anak yang
dilakukan intervensi AT Dasar dengan
menggunakan studi kualitatif.
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian dan keluarganya
Karakterist ik pasien
Karakteristik orang tua pasien
Ayah Ibu
Usia : 14 tahun 1. Jenis
kelamin : Laki-laki 2. Pendidikan :
SMP 3. Jumlah
sibling : 2 4. Anak ke-1
Usia : 47 tahun 5. Jenis
kelamin : Laki-laki 6. Pendidikan :
SMP 7. Agama :
Islam
Pekerjaan : Agen gas
Usia : 44 tahun 8. Jenis
kelamin : Perempuan 9. Pendidikan :
Sarjana
Agama :
Islam
Pekerjaan : PNS
Usia : 17 tahun Jenis kelamin : Perempuan Pendidikan : SMA Jumlah sibling : 1 Anak ke-1
Usia : 46 tahun 10. Jenis
kelamin : Laki-laki 11. Pendidikan :
SMA
Agama :
Islam
Pekerjaan : Sopir
Usia : 40 tahun 12. Jenis
kelamin : Perempuan 13. Pendidikan :
SMA
Agama :
Islam
Pekerjaan : Pedagang baju
Kasus I merupakan pasien anak
laki-laki yang mengalami masalah emosi
dan perilaku dengan eksternalisasi yang
menonjol, sedangkan pada kasus II pasien
anak perempuan yang mengalami masalah
emosi dan perilaku dengan internalisasi
yang menonjol sesuai dengan yang
dituliskan Weisz et al. (1987) cit. Davison
et al. (2006) dan Shoval et al. (2013)
bahwa perilaku eksternalisasi secara
konsisten lebih sering ditemukan pada
anak laki-laki dan perilaku internalisasi
commit to user dari berbagai latar belakang budaya di
dunia.
Kasus I dengan eksternalisasi
didapatkan seorang anak laki-laki sering
marah-marah, berperilaku agresif sering
membolos dari sekolah, melawan guru,
berbohong, dan mengancam anggota
keluarga dengan menggunakan senjata
tajam. Sejak kecil biasa dipenuhi semua
keinginannya sehingga sampai saat ini
berperilaku agresif bila keinginannya tidak
segera dipenuhi. Apalagi pasien
bersekolah di SMP yang memiliki disiplin
tinggi, lingkungan sosial yang kurang baik
semakin meningkatkan perilaku agresif
pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pola
asuh dan lingkungan sosial merupakan
faktor risiko yang besar peranannya
(Adams & Gullota, 1983; Dulcan & Lake,
2012). Pasien memiliki egostate KB dan
OK yang tinggi sehingga sering terjadi
transaksi silang dengan orang tuanya
terutama dengan ibunya yang memiliki
egostate OK yang tinggi.
Grafik 1. Perbandingan egogram pasien R.
Skema 1. Matriks transaksi pasien R dengan ibunya.
Skema 2. Matriks transaksi pasien R dengan ayahnya.
Kasus II dengan internalisasi
didapatkan seorang anak perempuan
dengan perilaku tidak mau sekolah, sering
sedih, malas merawat diri, malas belajar,
mudah emosi bila ada yang tidak sesuai
dengan hatinya, membatasi pergaulan
dengan temannya dan merasa rendah diri.
Pasien sejak kecil sering diperlakukan kasar
oleh kedua orang tuanya. Pola asuh yang
cenderung tidak empatik dan otoriter
membuat anak tertekan, didukung sekolah
dengan disiplin yang tinggi dan ekonomi
keluarga yang kurang (Adams & Gullota,
1983; Davison et al., 2006). Egostate ibu
dan ayah pasien OK tinggi bertransaksi
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
commit to user dengan egostate pasien yang tinggi
Kanaknya menyebabkan berulang kali
terjadinya transaksi silang.
Grafik 2. Perbandingan egogram pasien G.
Skema 3. Matriks transaksi pasien G dengan ibunya.
Skema 4. Matriks transaksi pasien G dengan ayahnya.
Proses terapi yang berlangsung
pada masing-masing subjek berbeda-beda
tergantung kondisi subjek. Kasus I, anak
laki-laki dengan masalah emosi dan
perilaku eksternalisasi, sudah berulangkali
berobat ke psikiater dengan pola asuh
orang tua yang tidak konsisten, pendidikan
pasien dan ayahnya SMP sedangkan
ibunya sarjana. Pasien kurang begitu
antusias ketika menjalani terapi
dibandingkan orangtuanya. Perlu
pendekatan lebih intensif dan penjelasan
lebih rinci tentang materi AT supaya bisa
dikuasai dengan baik. Kasus II, anak
perempuan dengan masalah emosi dan
perilaku internalisasi, baru pertama kali
berobat ke psikiater, pendidikan pasien dan
orangtuanya SMA dengan pola asuh
cenderung otoriter. Pasien antusias ketika
menjalani terapi dibandingkan
orangtuanya, sehingga perlu pendekatan
yang lebih mendalam kepada orang tua
pasien untuk menjalankan terapi ini yang
berlangsung hampir 4 minggu. Meskipun
demikian materi AT dapat dikuasai dengan
baik dan lebih cepat daripada kasus I.
Penilaian masalah emosi dan
perilaku pada kedua pasien dengan
menggunakan SDQ didapatkan total difficulties score abnormal (Hartanto &
Selina, 2011).
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
commit to user Grafik 3. Penilaian total difficulties score
dari SDQ pasien R sebelum dan sesudah terapi.
Grafik 4. Penilaian total difficulties score dari SDQ pasien G sebelum dan sesudah terapi
Pada kasus I terutama pada
masalah emosional dan conduct,
sedangkan kasus II terutama pada masalah
emosional. Setelah dilakukan proses terapi
selama enam sesi dengan menggunakan
pedoman AATD didapatkan penurunan
total difficulties score dari SDQ berdasarkan pada semua penilaian.
Meskipun sudah terjadi penurunan skor
SDQ namun masih dalam penilaian
borderline, masih perlu dilakukan terapi
AT lanjutan untuk memperbaiki masalah
emosi dan perilaku pada pasien secara
komprehensif. Sedangkan penilaian
keberhasilan terapi berdasarkan pedoman
AATD yang digunakan baru pada tahap
awal symptomatic relief, yaitu terdapat
perbaikan pada gejala yang membaik atau
mengalami kemajuan. Kontrak terapi AT
lanjutan sangat diperlukan untuk mencapai
egogram normal dan life position I’m OK
You’re OK serta mencapai tahapan
keberhasilan terapi pencapaian otonomi
pasien (Stewart & Tilney, 2011).
Waktu pelaksanaan terapi AT
Dasar dilakukan sesuai kesepakatan antara
terapis dan pasien serta keluarga. Dalam
pelaksanaanya, penggunaan terapi AT
Dasar pada keluarga dengan masalah relasi
orangtua-anak dengan anak yang
mengalami masalah emosi dan perilaku
dilakukan dalam 6 sesi masing-masing 2
jam. Pada awalnya pelaksanaan terapi
yang ditawarkan kepada klien adalah
seminggu 3 kali, sehingga diperhitungkan
menghabiskan waktu sekitar 2 minggu.
Tetapi pada pelaksanaannya ada yang
mundur sampai 4 minggu dikarenakan
kesibukan pasien, sekolah dan kegiatan
belajar tambahan di luar jam sekolah.
Demikian pula menyesuaikan dengan
jadwal orang tua bekerja. Kedua keluarga
bisa mengikuti seluruh sesi terapi
sebanyak 6 sesi psikoterapi AT Dasar.
Teknik terapi AT menurut Stewart
& Tilney (2011) dapat menggunakan
0 5 10 15 20 25 30
Pre AATD Post AATD
0 5 10 15 20 25
commit to user beragam teknik, dikatakan juga AT
merupakan terapi yang bersifat eklektik,
tidak terpaku pada satu modalitas seperti
dalam modul Maharatih dkk., (2013) yang
digunakan dalam penelitian ini. Penelitian
ini menggunakan teknik terapi dengan
metode pengajaran kepada klien tentang
materi AT dengan menggunakan
presentasi power-point. Hasilnya cukup
efektif dilakukan pada klien terutama klien
dengan kognitif yang tinggi. Mereka
dengan cepat menguasai teori yang
diberikan berupa tanya-jawab materi.
Demikian pula teknik belajar dengan
bermain kartu yang mengandung unsur
analisis struktural dan fungsional, serta
analisis transaksi. Teknik bermain kartu ini
efektif, lebih menyenangkan,
meningkatkan keakraban di antara anggota
keluarga dan juga terapis. Teknik role play
dalam terapi sangat efektif, meskipun pada
awalnya agak malu namun pada akhirnya
bisa antusias dalam pelaksanaannya.
Teknik bisa untuk mengetahui sejauh
mana pemahaman dari pasien dan
keluarga, serta mengaplikasikannya dalam
kehidupannya. Demikian pula untuk teknik
pemberian PR (pekerjaan rumah) bisa
untuk mengetahui antusiasme dari pasien
dan keluarga dalam mengikuti perjalanan
terapi.
Pemilihan waktu 3 kali setiap
minggu sedangkan pada pedoman AATD
2 kali seminggu, karena dari penelitian
menunjukkan bahwa semakin pendek jarak
pemberian terapi, retensi memori terhadap
materi sebelumnya masih baik. Waktu
yang dianggap masih optimal dan rasional
adalah maksimal 3 x 24 jam. Secara umum
waktu yang diberikan untuk sesi terapi
yaitu 6 sesi masing-masing 2 jam adalah
mencukupi untuk penyampaian materi dan
untuk pemahaman materi yang diberikan.
Bahkan pada keluarga dengan kognitif
yang tinggi, pemberian materi AT dasar
dengan fokus analisis struktural dan
analisis transaksi yang diberikan dalam 2
sesi sudah tercapai penguasaan materinya.
Akan tetapi pelaksanaannya belum mampu
diterapkan sepenuhnya.
Penelitian kualitatif pada dasarnya
dilakukan pada kondisi alamiah dan
bersifat penemuan. Pada penelitian ini
selain dilakukan di RS juga dilakukan di
rumah klien. Pada setting klinis
pencapaian pembelajaran tentang
pengetahuan AT lebih tepat
penyelesaiannya selama 2 minggu.
Kemungkinannya adalah karena yang
diterapi di setting klinis kesan lebih formal
sehingga lebih serius dalam menjalani
terapi. Kemungkinan lain adalah terkait
dengan adanya “kebutuhan” untuk
mendapatkan terapi itu sendiri. Bila
mereka merasa sangat butuh, maka apapun
akan dikorbankan demi tercapainya
perbaikan yang diinginkan, sehingga
commit to user lebih baik. Meskipun demikian hasil
evaluasi penguasaan materi AT kurang
baik dibandingkan setting alami,
kemungkinan dikarenakan kognitifnya
lebih rendah. Kemungkinan lain kondisi
keparahan pasien lebih berat.
Selain itu pada setting klinis penerapan tugas PR, simulasi, bermain
peran ataupun percontohan keluarga sangat
sulit terwujud. Hal ini kemungkinan
karena berkaitan dengan kultur dan
budaya, yaitu adanya budaya atau rasa
malu dalam keluarga untuk menunjukkan
perasaan marah, pertengkaran, ataupun
pertentangan yang terjadi akibat transaksi
silang di antara mereka. Pada setting alami
atau rumah, pencapaian pembelajaran
tentang pengetahuan AT lebih lambat
penyelesainnya, yang seharusnya
dilakukan 2 minggu dilakukan dalam 4
minggu. Hal ini terjadi karena terganggu
karena ada tamu, anak rewel, ada acara
mendadak dan sebagainya. Pada setting
alami terapis mendapatkan hasil observasi
secara langsung dan tidak dibuat-buat
tentang transaksi-transaksi yang terjadi di
antara keluarga pasien. Meskipun
demikian hasil evaluasi penguasaan materi
AT lebih baik daripada setting klinis,
kemungkinan dikarenakan kognitifnya
lebih tinggi dan pendidikan formalnya
lebih tinggi. Kemungkinan lain kondisi
keparahan pasien lebih ringan.
Setting terapi pada penelitian ini
adalah setting keluarga pada seluruh sesi
terapi, tidak menggunakan sesi terapi
individu dalam pedoman AATD ini.
Dengan setting keluarga akan melihat
secara langsung cara berinteraksi antara
anggota keluarga sehingga transaksi yang
dilakukannyapun akan lebih mudah
dievaluasi serta efisiensi waktu. Namun
dengan setting keluarga seperti ini tanpa
ada sesi terapi individu akan sulit
mengungkapkan sebenarnya apa yang
terjadi, karena ada rasa sungkan atau
perasaan takut kalau menyinggung yang
lain.
Proses terapi ini telah dilakukan
perekaman video dan telah dilakukan
evaluasi oleh expert dengan hasil penilaian
keterampilan perilaku secara keseluruhan
sudah terlaksana dengan baik, terutama
untuk membuat klien merasa nyaman,
mampu membina hubungan baik dengan
klien, mampu memberikan informasi
cukup baik, mampu menggunakan
pertanyaan terbuka dan tertutup yang
sesuai, mengajukan pertanyaan
satu-persatu, banyak mengajukan pertanyaan
yang mendalam, mengajukan pertanyaan
disertai gerakan yang wajar. Mampu
mendengar aktif, mampu memberikan
dorongan agar klien berpartisipasi dalam
terapi dengan cara menunjukkan minat dan
penuh perhatian serta kreatif mengajak
commit to user menunjukkan non-verbal behavior yang
baik, yaitu: wajah ramah, tersenyum, suara
ramah, vokalnya jelas, kecepatan bicara
cukup, intonasi baik, dan posisi tubuh
yang baik. Selain itu mampu mengelola
waktu dengan baik sehingga dapat
memenuhi semua komponen kompetensi
yang diharapkan dalam penelitian ini. Hal
ini dibuktikan dengan kemampuan dalam
menyelesaikan sesi-sesi terapi dengan baik
dan hasilnya dapat dilihat melalui
penilaian terhadap ketrampilan komunikasi
interpersonal ataupun ketrampilan dalam
penerapan AT Dasar.
Tujuan terapi adalah tercapainya
egogram yang ideal. Penilaian egogram
yang baik adalah seperti “Bell shape” yang
mana egostate D yang tertinggi diapit oleh
egostate KB dan OP dan yang rendah
adalah egostate OK dan KS. Egogram
lainnya yang diharapkan adalah egogram
puncak datar (flat-top). Ini merupakan
suatu egogram yang mendekati ideal.
Orang dengan egogram ini jarang
bermasalah dengan orang lain.
Grafik 5. Gambaran egogram yang
dianggap ideal atau normal
Pada penelitian ini sebelum
dilakukan pembuatan egogram, diberikan
materi tentang egostate dan dilakukan
evaluasi penguasaan materi dengan kartu
egostate. Dari 20 kartu egostate yang
diberikan pada masing-masing anggota
keluarga didapatkan hasil 80%-100%
dijawab dengan betul. Meskipun demikian
pada penilaian egogram sendiri ada
sebagian yang belum sesuai dengan
kenyataan yang diobservasi terutama
dalam menilai orang lain. Kemungkinan
karena merasa dirinya sudah cukup baik
dibandingkan orang lain, tidak mau
disalahkan, malu mengakui kekurangan
dirinya atau takut menyinggung perasaan
yang lain.
Penilaian egogram menggunakan
skala egogram dibandingkan observasi
yang dilakukan terapis menunjukkan
banyak ketidaksesuaian dalam penentuan
egostate Dewasa. Sebagian besar menunjukkan egostate D yang tinggi
dengan menggunakan skala egogram, oleh
karena itu perlu dievaluasi kembali skala
egogram tersebut untuk meningkatkan
nilai reliabilitas internal, yang saat ini baru
mencapai tingkat cukup tinggi dengan
Cronbach alpha 0.78014 (Bagus, 2009).
Keterbatasan dalam penelitian ini
adalah pemberian terapi AT Dasar
dilakukan sebanyak enam sesi terapi dan
semua sesi dalam setting keluarga 0
10 20 30 40
Bell Shaped Flat Top
commit to user sehingga tahapan keberhasilan terapi
pencapaian otonomi pasien belum
tercapai. Menurut Steenbarger, et al.,
2004, rata-rata jumlah sesi psikoterapi:
kurang dari 10 sesi pada terapi perilaku,
10-20 sesi atau lebih pada terapi dengan
restrukturisasi kognitif, 2-3 sesi pada terapi
berfokus solusi. Jumlah sesi psikoterapi
singkat tergantung dari: lamanya
menyampaikan permasalahan, sejarah
interpersonal, beratnya masalah, level
pemahaman dan dukungan sosial.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian ini didapatkan
bahwa AT Dasar bisa diterapkan pada
anak dan remaja yang mengalami masalah
emosi dan perilaku dan keluarga yang
mengalami masalah relasi orang tua-anak
yang telah melakukan pemeriksaan di
Poliklinik Psikiatri RSUD dr. Moewardi
dan Poliklinik Tumbuh Kembang RSJD
Surakarta. Pasien pertama laki-laki dengan
masalah eksternalisasi yang menonjol,
sedangkan pasien kedua perempuan
dengan masalah internalisasi yang
menonjol.
Waktu dan tempat pelaksanaan sesi
terapi bersifat fleksibel, tergantung
kesepakatan dengan subjek. Pelaksanaan 6
sesi terapi yang pada awalnya
direncanakan selama 2 minggu menjadi
2-4 minggu karena kondisi pasien dan
keluarga. Tempat pelaksanaan pada subjek
I di Poliklinik Tumbuh Kembang RSJD
Surakarta dan subjek II di rumah pasien.
Pedoman AATD ini dapat digunakan pada
setting klinis (poliklinik) maupun setting
alami (rumah). Pada evaluasi proses terapi
setting klinis lebih baik daripada setting
alami (rumah subjek). Proses terapi juga
berbeda tergantung dengan tingkat
pendidikan, sosial-ekonomi dan situasi
kondisi yang dihadapi pasien dan
keluarganya. Setelah intervensi AT Dasar
didapatkan perbaikan masalah emosi dan
perilaku pada anak namun masih pada
taraf borderline dengan parameter SDQ,
sedangkan penilaian keberhasilan terapi
berdasarkan pedoman AATD yang
digunakan baru pada tahap awal
symptomatic relief, yaitu terdapat perbaikan pada gejala yang membaik atau
mengalami kemajuan.
Disarankan pemberian psikoterapi
AT lanjutan setelah selesai sesi terapi
dengan menggunakan modul terapi
AATD. Tujuannya adalah untuk perbaikan
secara komprehensif terhadap pasien.
Kontrak terapi AT lanjutan sangat
diperlukan untuk mencapai egogram
normal dan life position I’m OK You’re
OK serta pencapaian otonomi pasien.
commit to user sesi dengan setting individu diantara sesi
terapi dengan setting keluarga untuk mengurangi bias yang bersumber dari
subjek dan pencapaian keberhasilan terapi.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
pada masalah emosi dan perilaku pada
anak dengan jumlah subjek lebih banyak
dan variasi dalam diagnosis maupun terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Adams GR. & Gullotta T. 1983. Family
Relations in Adolescent Life Experiences. Wadsworth, Inc., Belmont, California. 231-263.
Barrett M, Topper L, Al-Khudhairy
N, Pihl RO, Castellanos
RN, Mackie CJ, Conrod PJ, 2013. Two-year impact of personality-targeted, teacher-delivered interventions on youth internalizing and externalizing problems: a cluster-randomized trial. J Am
Acad Child Adolesc
Psychiatry. Sep;52(9):911-20.
Blanchard LT, Gurka MJ, Blackman JA. 2006. Emotional, developmental,
and behavioral health of American children and their families : A report from the 2003 national survey of children’s health. Pediatrics. 117:1202-12.
Collet BR, Gimpel GA, Greenson JN, Gunderson TL, 2001. Assesment of Discipline Styles among Parents of Preschool through School-age Children. J. Psychopathol and Behavior Asses, 23; 163-170.
Corey G. 2009. Teori dan Praktek Konseling Psikoterapi, cetakan
keempat, Refika Aditama.
Bandung.
Damayanti M. 2011. Masalah Mental Emosional pada Remaja : Deteksi dan Intervensi. Sari Pediatri.
Volume 13 ( Suppl 1) Juni 2011: Jakarta; hal.45-51.
Davison GC, Neale JM, Kring AM. 2006. Psikologi Abnormal. Terjemahan dari Abnormal Psychology-Ninth Edition. PT Raja Grafindo persada.
Jakarta.
Deenadayalan Y, Perraton L, Machotka Z, Kumar S. 2010. Day Therapy Programs for Adolescents with Mental Health Problems : A Systemic Review. The Internet Journal Of Allied Health Sciences And Practises. 8;1-14.
Diananta GS., 2012. Perbedaan Masalah
Mental Dan Emosional
Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Agama. Studi Kasus
SMP Negeri 21 Semarang dan SMP Islam Al Azhar 14 Semarang.
Dulcan MK & Lake M. 2012. Concise
Guide to Child and Adolescent Psychiatry. 4th ed. Washington,
DC. American Psychiatric
Publishing, Inc.
Hartanto F, Selina H. 2011. Prevalensi Masalah Mental Emosional pada Remaja di Kota Semarang dengan
Menggunakan Kuesioner
Kekuatan dan Kesulitan (SD ).
Paediatrica Indonesiana; Volume
51 ( Suppl 4 ) Juli; Jakarta.
Hukom, A J. 1990. Analisis Transaksional, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Maharatih GA, Irawati I, Sudiyanto A, Prasetyo, J. 2013. Aplikasi Analisis
Transaksional Dasar Pada Masalah Relasi Orang tua Anak.
commit to user Maharatih GA. 2011. Intervensi analisis
transaksional dasar pada masalah relasi orangtua-anak. Tesis (belum
publikasi).
Levy DM. 1973. Maternal Overprotection pp. 290-5, dalam Saul IH and John
FM (edt). Childhood
Psychopatology. International Universities Press, Inc. New York.
Sadock, B. J.; Sadock, V. A. and Ruiz, P.
2009. Kaplan and Sadock,
Comprehensive textbook of psychiatry, ninth edition, volume 3,
Lippincott Williams and Wilkins.
Shoval G, Kleinfeld IM, Farbstein
I, Kanaaneh R, Valevski A, Apter A, Weizman A, and Zalsman G. 2013. Gender differences in emotional and behavioral disorders and service use among adolescent smokers: A nationwide Israeli study. European Psychiatry. 2013-09-01, Volume 28, Issue 7, Pages 397-403. Copyright © © 2012 Elsevier Masson SAS.
Soetjiningsih, 2010. Perkembangan Anak
dan Permasalahannya dalam Tumbuh kembang Anak. Sagung
Seto. Jakarta.
Stewart I & Tilney T. 2011. Analisis Transaksional dalam Stephen P. (Edt.) Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan dari Introduction to Counselling and Psychotherapy. Pustaka Pellajar. Yogyakarta.
Steenbarger, B N., Greenberg,RP., Dewan, MJ., 2004. An Introduction to the
Art and Science of the Brief Psychotherapies. American Psychiatric Press, Inc.
Wiguna T, Manengkei P, Pamela C, Rheza A, Hapsari W. 2010. Masalah
emosi dan perilaku pada anak di poliklinik jiwa anak RSUPN dr. Ciptomangunkusumo (RSCM), Jakarta. Sari Pediatri; 12(4):
270-7.
Woo BSC, Ng TP, Fung DSS, Chan YH,
Lee YP, Koh JBK. 2007.
Emotional and behavioral problems in Singaporean children based on parent, teacher, and child reports.