• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iis Suwartini S841108011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Iis Suwartini S841108011"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

KAJIAN FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL MIMI

LAN MINTUNA KARYA REMY SYLADO

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

Iis Suwartini

S841108011

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

KAJIAN FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN

DALAM NOVEL

MIMI LAN MINTUNA

KARYA REMY SYLADO

Oleh:

Iis Suwartini

S841108011

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA

INDONESIA PASCASARJANA UNIVERSITAS

(3)

commit to user

(4)

commit to user

(5)

commit to user

v

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul “KAJIAN FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN

DALAM NOVEL MIMI LAN MINTUNA KARYA REMY SYLADO ” ini

adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, tidak terdapat karya

ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar

akademik, serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan

dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka

saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan perundang-undangan

(Permendiknas No. 17 Tahun 2010).

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain

harus seizin dan menyertakan pembimbing sebagai author dan PPs UNS

sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester

(enam bulan sejak pengesahan tesis) saya tidak melakukan publikasi dari

sebagian atau keseluruhan tesis ini, maka Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia

PPs-UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh

Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS. Apabila saya melakukan

pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapat sanksi

akedemik yang berlaku.

(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah Swt. Tanpa karunia-Nya, tidak

mungkin tesis ini bisa terselesaikan. Terselesaikannya tesis ini juga tidak terlepas

dari bantuan beberapa pihak. Karena itu, ucapan terimaka kasih disampaikan

kepada:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian;

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., Direktur PPs UNS yang telah memberikan

izin dan kemudahan dalam melakukan penelitian;

3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa

Indonesia yang telah memberikan motivasi serta kemudahan sehingga

penyusunan tesis ini dapat terselesaikan;

4. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., yang telah banyak memberikan

arahan, saran, dalam menyelesaikan tesis ini;

5. Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd., yang telah banyak memberikan bimbingan,

masukan, serta dorongan semangat sehingga tesis ini dapat terselesaikan;

6. Bpk dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah

menularkan ilmunya dan memudahkan dalam penyelesaian tesis ini;

Akhir kata, penulis berharap agar tesis ini dapat membawa manfaat bagi

pembaca dan selanjutnya dapat menimbulkan minat untuk menulis buku dengan

materi yang berbeda dan tentunya yang lebih baik.

Surakarta, 1 januari

(7)

commit to user

vii

IisSuwartini. S841108011. 2013. Kajian F eminisme Dan Nilai Pendidikan

Dalam Novel Mimi Lan Mintuna Karya Remy Sylado. TESIS.Pembimbing I:

Dr. NugraheniEkoWardani, M.Hum.,Pembimbing II: Prof. Dr. RetnoWinarni, M.Pd., Pembimbing II: Program StudiPendidikanBahasa Indonesia Program Pascasarjana, UniversitasSebelasMaret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) emansipasi, (2) bentukketidakadilan gender, (3) faktor yang mempengaruhi eksistensi dan nilai-nilai pendidikan.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata. Data penelitian ini adalah novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado. Penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme untuk mendeskripsikan emansipasi, bentuk ketidakadilan gender, dan eksistensi perempuan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik noninteraktif. Teknik pengumpulan data noninteraktif dengan melakukan pembacaan secara intensif dari novel dan melakukan pencatatan secara aktif dengan metode content analysis. Validitas data menggunakan trianggulasi data dan teknik analisis menggunakan model noninteraktif.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) emansipasi yang terdapat dalam novel Mimi Lan Mintuna meliputi: ketegaran, kebebasan, kemandirian, perjuangan, (2)bentuk ketidakadilan gender meliputi: (a) marginalisasi, merupakan proses pemiskinan yang terjadi di masyarakat eksploitasi dan gender, (b) subordinasi, merupakan sebuah anggapan bahwa kaum perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting,(c)stereotipe, merupkan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompokt ertentu, dan (d) kekerasan, merupakans uatu tindakan yang dapat mengakibatkan penderitaan bagi orang lain baik dalam bentukfisik, seksual, atau psikologis, (3) faktor yang mempengaruhi eksistensi wanita meliputi keluarga, budaya, dan pendidikan.

(8)

commit to user

viii

IisSuwartini. S841108011. 2013. F eminism StudyandEducation Valuein Novel

Mimi Lan Mintuna Authored Remy Sylado. TESIS.Pembimbing I: Dr.

NugraheniEkoWardani, M.Hum.,Pembimbing II: Prof. Dr. RetnoWinarni, M.Pd., Pembimbing II: Program StudiPendidikanBahasa Indonesia Program Pascasarjana, UniversitasSebelasMaret Surakarta.

ABSTRACT

This research aims to describe and explain: (1) woman emancipation, (2) gender inequitability, (3) factor influencing woman existence and education values.

This research use qualitativemethod. Qualitativemethod is a research procedure yielding descriptiondata in the form of words. This Research data is novel of Mimi LanMintuna masterpiece of Remy Sylado. This Research use feminism approach to describe emancipation, gender inequitability, and womanexistence. Data collecting technique which used in this research is non-interactivetechnique. The non-interactivedata collecting technique applied here by read the novel intensively and record-keeping actively with content analysismethod. Data validation use data triangulation and analysis technique use model of non-interactive.

Conclusion from this research is: (1) emancipation represented in novel of Mimi LanMintuna including: obduracy, freedom, independence, struggle, (2) gender inequitabilityrepresented including: (a) marginalization, representedby process of emproverty that happened in society, exploitation and gender, (b) subordination, representedby description that woman placed in lower position, (c) stereotype, represented by labeling or denoting a certain group, and (d) violence, representedby action that result others grief in the form of physical, sexual, or psychological. (3) factor influencing woman existence such as family, culture, and education.

(9)

commit to user

ix

MOTTO

Man jadda wa jadda

Orang yang bersungguh-sungguh

maka akan mendapatkannnya

Barangsiapa merintis jalan

mencari ilmu, maka Allah akan

memudahkannya jalan ke surga

(10)

commit to user

x

PERSEMBAHAN

Syukur Alhamdulillah

Tesis ini saya persembahkan untuk

Kedua orang tua saya, Bapak Sarman dan Ibu Wartini. Terima kasih atas doa, nasihat, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan semua yang telah ayah ibu berikan selama ini.

Tesis ini saya bingkiskan untuk

1 Adik-adikku tersayang Indi, Anis, Imbar. Terimakasih atas doa dan motivasinya. Semoga cita-cita kalian terwujud.

2 Hj. Lutfiah Baidowi selaku pengasuh Pondok Pesantren Ali Maksum komplek Gedung Putih Krapyak Yogyakarta. Terimakasih telah mendidik saya dan memberikan kasih sayang serta Ilmu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.

3 Rekan-rekan dosen Universitas Ahmad Dahlan, bersama kalian perjuangan terasa mudah.

4 Teman-teman tercinta: Pascasarjana UNS angkatan 2011, para santri komplek Gedung Putih, terimaksih atas motivasi dan kebersamaan kalian dalam suka maupun duka.

(11)
(12)

commit to user

3. Emansipasi yang Diperjuangkan Tokoh Perempuan . . . 117

4. Nilai-nilai Pendidikan . . . 121

BAB V SIMPULAN DAN SARAN . . . .. 129

A. Simpulan . . . 129

B. Implikasi . . . 130

(13)

commit to user

xiii

(14)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedudukan antara perempuan dan pria menjadi polemik, baik dalam

kehidupan sehari-hari maupun dunia sastra. Sejak dahulu peran perempuan

sudah menjadi problematika. Penempatan perempuan pada ranah domestik

dan laki-laki pada ranah publik menjadi awal adanya ketidaksetaraan gender.

Zaman dahulu masyarakat tradisional menganggap bahwa seorang gadis

sudahlah cukup jika dia mempunyai keterampilan menulis, membaca, dan

menghitung (Djajanegara, 2000:6). Anggapan tersebut menggambarkan

bahwa perempuan tidak diperkenankan melanjutkan pendidikan yang lebih

tinggi. Pendidikan terbatas menjadikan perempuan hanya terorientasi pada

ranah domestik. Hal ini memungkinkan adanya peluang kekuasaan kaum

pria, sehingga menghambat perkembangan dan eksistensi perempuan.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang

tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan,

ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik

bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan (Fakih, 2008: 12).

Berbagai tuntutan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan

menjadi hal yang penting diperjuangkan. Tuntutan tersebut merupakan bagian

dari wujud emansipasi. Emansipasi merupakan perwujudan kaum feminis

(15)

commit to user

Fakih (2008: 12) menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan gender itu

meliputi marginalisasi, subordinasi, pembentukan stereotipe melalui

pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih

banyak (burden), serta sosialisasi nilai peran gender.

Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah tersebut ada

karena patriarki (pemerintahan ayah) sebuah sistem yang memungkinkan

laki-laki dapat mendominasi perempuan pada semua hubungan sosial

(Ruthfen dalam Sofia, 2009: 12).

Gagasan patriarki menyarankan dominasi universal tanpa asal usul dan

dominasi kesejajaran. Dominasi ini merupakan suatu proses kompleks

terdiri atas berbagai unsur yang harus dihubungkan. Unsur-unsur itu

meliputi organisasi ekonomi rumah tangga dan ideologi kekeluargaan

yang menyertainya, pembagian kerja dalam sistem ekonomi, sistem

pendidikan dan pemerintahan, dan kodrat identitas jenis kelamin dan

hubungan diantara reproduksi seksualitas dan biologis (Selden dalam

Sofia, 2009:12).

Berbagai permasalahan yang timbul dalam diri perempuan membuat sulit

mendefinisikan dirinya sendiri. Sudah semestinya perempuan menyadari akan

eksistensinnya. Eksistensi perempuan diwujudkan untuk mendapatkan

pengakuan tentang keberadaan perempuan di masyarakat.

Pada dasarnya perempuan penuh dengan berbagai pilihan. Pengambilan

keputusan dalam segala hal, hendaknya tanpa adanya interverensi dari pihak

lain. Selama ini laki-laki mendominasi dalam berbagai bidang kehidupan. Hal

tersebut menyebabkan perempuan sulit menentukan nasibnya sendiri.

(16)

commit to user

dan pendidikan. Budaya patriarkhi yang berkembang di masyarakat sangat

mempengaruhi keberadaan perempuan dalam lingkup keluarga, masyarakat

dan dunia kerja.

Sistem norma yang berlaku di masyarakat sangat membatasi peran

perempuan pada ranah publik. Oleh karena itu, perempuan perlu mewujudkan

eksistansinya dengan melakukan perlawanan terhadap sistem norma yang

merugikan perempuan.

Realitas permasalahan yang dialami perempuan mendorong munculnya

sebuah gerakan feminisme. Gerakan feminisme bertujuan

memperjuangkan persamaan derajat antara kaum laki-laki dan

perempuan, serta memperjuangkan kebebasan perempuan untuk

menentukan nasibnya sendiri. Melalui gerakan ini, sesungguhnya kaum

perempuan berpeluang besar untuk mengembangkan diri dan terbuka

untuk berupaya melawan perlakuan yang diskriminasi (Djajanegara,

2000: 4-9).

Gerakan feminisme mendapat sambutan banyak pihak, terutama kaum

perempuan. Adanya gerakan feminisme di berbagai belahan dunia merupakan

wujud perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetran gender.

Masalah gender dan feminisme mendorong munculnya emansipasi

perempuan yang terus berkembang. Emansipasi perempuan bisa berarti

keinginan kaum perempuan untuk melepaskan diri dari kedudukan sosial

ekonomi yang rendah dan dari pengekangan hukum yang menghambat

kemajuan. Sebagai wujudnya adalah tuntutan agar perempuan diberi

kebebasan untuk memajukan dirinya, tuntutan agar laki-laki menghargai

perempuan, tuntutan pembagian kerja yang adil dalam rumah tangga dan

(17)

commit to user

Emansipasi perempuan pada hakikatnya merupakan perjuangan untuk

memperoleh pembebasan dari semua bentuk penindasan, pengekangan,

perbedaan ras, tradisi, yang kurang menguntungkan, serta perjuangan untuk

mendapatkan hak-hak dalam segala bidang kehidupan.

Fenomena seperti itu tidak hanya terjadi dalam dunia saja tetapi juga

terjadi dalam karya sastra seperti novel dan cerpen. Penggambaran tokoh

perempuan sering ditempatkan pada posisi yang kalah tanpa memperhatikan

tokoh perempuan sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.

Karya sastra sebagai dunia imajinatif dapat dijadikan media tumbuhya

subordinasi perempuan (Sugihastuti, 2005:32). Belakangan ini kelemahan

sosok perempuan justru menjadi objek kajian dalam karya sastra, mulai dari

bentuk penindasan yang terjadi pada perempuan, permasalahan gender hingga

masalah seksualitas pada perempuan yang digambarkan secara vulgar.

Ilustrasi mengenai sosok perempuan di atas seolah mencerminkan citra

perempuan yang kian mempesona untuk selalu di eksploitasi.

Anwar (2009: 63) berpendapat dunia sastra mengawali

permasalahan emansipasi perempuan, hal ini ditandai dengan

novel-novel yang terbit pada tahun 1920-an. Contoh novel-novel

tersebut antara lain: Azab dan Sengsara (1921), Siti Nurbaya

(1922), Salah Asuhan (1928) Layar Terkembang (1937) dan

Belenggu (1940). Hadirnya novel yang diterbitkan Balai Pustaka

telah mengangkat berbagai permasalahan perempuan antara lain:

kawin paksa, kesadaran perempuan akan eksistensinya dan upaya

(18)

commit to user

Kritik sastra feminis melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis

sebagai pembaca. Pusat perhatian pembaca adalah penggambaran perempuan

serta stereotipee perempuan dalam suatu karya sastra.

Karya sastra yang menghadirkan isu ketidaksetaraan gender layak untuk

dikaji secara mendalam. Anggapan masyarakat terhadap gender perlu

mendapat arahan agar dapat meminimalisir ketidakadilan gender. Peran

pembaca sastra memiliki andil yang cukup besar dalam merealisasikan ide

penulis dalam kehidupan.

Dalam dunia pendidikan novel dibahas panjang lebar mengenai unsur

intrinsik maupun unsur ekstrinsik. Namun, yang paling penting dalam materi

novel di sekolah adalah nilai-nilai yang dapat dipetik yaitu nilai pendidikan.

Nilai-nilai pendidikan dalam novel merupakan muatan ilmu pengetahuan

yang dapat dijadikan pemelajaran dalam kehidupan. Pemelajaran memiliki

peran sebagai sarana penyampai informasi, novel pun memiliki peran

tersebut. Pemelajaran berperan sebagai pembentuk sikap dan kepribadian,

novel berperan sebagai pembentuk jiwa, sifat, kebiasaan dan lain-lain. Ketika

sebuah novel memiliki nilai mendasar bagi hidup manusia, saat itulah novel

tidak hanya menjadi hiburan tetapi kebutuhan untuk menyelaraskan

kehidupan.

Nilai pendidikan dalam karya sastra menurut Waluyo (1992:28)

menjelaskan bahwa nilai dalam sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna

karya sastra seseorang. Karya sastra mengandung nilai-nilai yang bermanfaat

(19)

commit to user

umumnya adalah nilai religius, nilai moral, nilai sosial dan nilai estetika atau

keindahan.

Novel Mimi Lan Mintuna merupakan novel karya Remy Sylado yang

diterbitkan pada tahun 2007. Novel tersebut merupakan salah satu novel yang

mengangkat permasalahan gender. Konflik yang dimunculkan sangat menarik

sehingga tidak monoton. Tidak hanya permasalahan dalam rumah tangga

novel ini mengangkat trafficking. Kehadiran novel ini memberikan informasi

kepada pembaca bahaya trafficking yang kerap terjadi di Indonesia.

Tokoh perempuan dalam novel tersebut mengalami ketidakadilan gender

dan berusaha memperjuangkan hak-hak mereka. Ketidakadilan gender yang

dialami berupa marginalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotipee dan beban

kerja (burden).

Novel Mimi Lan Mintuna banyak mengandung nilai-nilai pendidikan.

Budaya jawa yang diangkat dalam novel tersebut memberikan dampak positif

dan negatif. Budaya jawa yang menganut sistem patriarki dalam novel

tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya ketidakadilan gender.

Meskipun budaya jawa memberikan dampak negatif, novel tersebut juga

menggambarkan dampak positif dari nilai-nilai luhur budaya jawa. Falsafah

hidup yang diemban masyarakat jawa untuk sehidup semati seperti mimi dan

mintuna, memberikan gambaran masyarakat jawa menjunjung tinggi

(20)

commit to user

Bertolak dari fenomena di atas, pengarang berusaha menuangkan ide

dalam karya sastranya sebagai upaya untuk meminimalisir ketidaksetaraan

gender. Ide penulis tersebut, senada dengan pemikiran para aliran feminis.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah bentuk ketidakadilan gender dalam novel Mimi Lan

Mintuna karya Remy Sylado?

2. Bagaimanakah faktor yang mempengaruhi eksistensi perempuan dalam

novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?

3. Bagaimanakah bentuk emansipasi dalam novel Mimi Lan Mintuna karya

Remy Sylado?

4. Bagaimanakah nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Mimi Lan

Mintuna karya Remy Sylado?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk ketidakadilan gender dalam

novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan faktor yang mempengaruhi eksistensi

perempuan dalam novel Mimi Lan Mintuna karya Remy Sylado?

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk emansipasi dalam novel Mimi

Lan Mintuna karya Remy Sylado?

4. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai pendidikan yang terkandung

(21)

commit to user D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya

khasanah pengetahuan dalam apresiasi ilmu sastra kepada mahasiswa

pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tentang novel Mimi Lan

Mintuna karya Remy Sylado pendekatan feminisme.

2. Manfaat Praktis.

a. Bagi dosen dan guru

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan

kontribusi materi pengetahuan dalam mengajarkan apresiasi sastra.

b. Bagi pembaca

Memberikan motivasi untuk melakukan penelitian pada novel Mimi

Lan Mintuna dengan pendekatan dan teknik yang berbeda serta

menambah wawasan, tentang pemahaman dan kesadarannya akan

emansipasi perempuan dan bahaya trafficking.

c. Bagi kalangan penulis

Novel tersebut diharapkan dapat menginspirasi penulis untuk

mengangkat isu feminisme dalam karyanya, sehingga dapat

dijadikan media untuk menyadarkan pembaca untuk memahami

(22)

commit to user BAB II

KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,

DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori

1. Hakikat Sastra

a. Pengertian Sastra

Karya sastra pada hakikatnya adalah sebuah ekspresi individual.

Oleh karena itu, sangat wajar jika beberapa ahli menyatakan bahwa

sastra sulit didefinisikan. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi

hal tersebut yaitu sebagai berikut.

Pertama, sastra merupakan ekspresi pribadi sehingga tidak

mungkin kita dapat menggeneralisasi seluruh pribadi dalam konteks

penciptaan karya sastra. Sebagai pribadi, sastrawan tetap bertolak

sebagai sastrawan yang otonom sehingga memungkinkan dirinya

tidak terpengaruh oleh paradigma estetika sastra secara universal.

Kedua, sastra bersifat unik. 1) Justifikasi terhadap karya sastra

dan bukan sastra masih overlaping, apalagi dipandang dari sudut

yang berlainan; 2) Sastra tidak diarahkan pada situasi pemakai atau

pembaca sastra; 3) Orientasinya pada karya sastra barat; serta 4)

Bertitik pangkal pada kenisbian historis.

Ketiga, estetika karya satrawan dibangun dari keselarasan diri

(23)

commit to user

sebuah karya sastra itu seragam dan tanpa adanya pertentangan

paradigma estetika sastra.

Sastra berasal dari bahasa sansekerta, yakni dari kata sas yang

berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi, sedang tra

berarti alat atau sarana (Teeuw dalam Winarni, 2009:1).

Pendefinisian sastra menurut Zainuddin Fananie (2000:6)

berpendapat bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil

kreasi berdasarkan luapan emosi spontan yang mampu

mengungkapkan aspek estetik yang didasarkan pada aspek

kebahasaan maupun aspek makna.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat

sastra adalah sebuah ekspresi personal, ada proses penghayatan,

memerlukan daya kreasi, dan bermedikan bahasa. Berdasarkan hal

tersebut sastra dapat dipahami sebagai proses kegiatan kreatif

manusia yang bermediakan bahasa yang mengungkapkan

pengalaman, cita, rasa, dan karsa dalam kehidupannya. Karya sastra

sebagai karya kreatif terbagi dalam berbagai jenis yaitu puisi, prosa,

dan drama. Masing-masing jenis sastra mempunyai karakteristik

sendiri-sendiri.

b. Jenis-jenis Sastra

Karya sastra sebagai karya kreatif terbagi dalam berbagai jenis

yaitu puisi, fiksi, dan drama. Masing-masing jenis karya sastra

(24)

commit to user

jenis karya sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat

sehingga mengandung nilai-nilai pendidikan.

1) Puisi

Menurut Waluyo (2010: 3) puisi adalah karya sastra yang

paling tua dan mamiliki ciri-ciri khas kekuatan bahasa.

Altenbernd (dalam Pradopo 2005:5) puisi merupakan

pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam

bahasa berirama. Lain halnya dengan Samuel Taylor Coleridge

(dalam Pradopo 2005: 6) mengemukakan puisi merupakan

kata-kata yang terindah dalam susunan terindah.

Puisi merupakan ekspresi pemikiran yang membangkitkan

perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam

susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu

yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan

dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan

rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang

penting, digubah dalam wujud yang berkesan

(Pradopo,2005: 7).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan

perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam

susunan yang berirama. Selain itu puisi merupakan rekaman

dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah

(25)

commit to user 2) Fiksi

Pengertian fiksi menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro,

2010: 2) cerita khayalan yang menceritakan sesuatu yang

bersifat rekaan. Altenbernd (dalam Nurgiyantoro, 2010: 2)

menjelaskan bahwa suatu cerita yang bersifat imajinatif,

namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran.

Fiksi umumnya ditandai dengan unsur plot, karakter, sudut

pandang, konflik, dan sebagainya. Fiksi terbagi menjadi dua

cerpan dan novel. Cerpen menurut Nurgiyantoro (2010: 10)

suatu cerita yang bersal dari imajinasi pengarang dan pelukisan

tokoh, latar dan seting dibatasi sehingga cerpen lebih pendek

daripada novel.

Adapun pengertian novel berasal dari bahasa itali novella

(yang dalam bahasa jerman novelle). Secara harfiah novella

berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan

sebagai cerita panjang dalam bentuk prosa (Abrams dalam

Nurgiyantoro, 2010: 9). Lain halnya dengan Lukas (dalam

Anwar 2009: 49) novel adalah kreasi realitas yang bertumpu

pada konvensionalitas dunia objektif dan interioritas dunia

subjektif pada sisi lainnya. Nurgiyantoro (2010:2) novel

merupakan hasil kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap

(26)

commit to user

Kemunculan novel dan kemunculan perempuan pada

status sastra profesional saling terkait. Sejak awal,

perempuan diasosiasikan dengan novel sentimental baik

sebagai pembaca maupun sebagai penulis. (Moeres dalam

Humm, 2009: 312).

Novel sebagai salah satu media dalam perjuangan ideologi

ditingkat kebudayaan dapat dijadikan sebuah dasar signifikan

untuk memahami feminisme (Anwar, 2009: 48). Melalui novel

penulis dapat menuangkan idenya berdasarkan realitas. Para

penulis mulai menyuarakan ide feminis dan menuntut adanya

kesetaraan gender.

Realitas di masyarakat menjadi dasar untuk menilai

kualitas karya sastra yang dicerminkannya. Konteks

tersebut menegaskan adanya hubungan penciptaan novel

dengan perubahan dalam dunia objektif dan sudut pandang

subjektif pengarang terhadap dunianya (Fokkema dalam

Anwar, 2009: 49).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel

adalah karya imajinasi yang mengandung rangkaian cerita

kehidupan seseorang yang bertumpu pada realitas kehidupan

yang dialami penulisnya. Novel dapat dijadikan salah satu

media untuk memahami konsep feminisme melalui ide yang

(27)

commit to user 3) Drama

Drama berasal dari bahasa Yunani ‘dramoi’ yang atinya

berbuat, berlaku, bertindak atau beraksi. Drama berarti

perbuatan atau tindakan (action). Menurut buku praktis bahasa

Indonesia (2008: 159) drama jenis sastra dalam bentuk puisi

atau prosa yang bertujuan menggambarkan kehidupan lewat

dialog para tokoh.

Drama sebagai ragam yang ketiga sesungguhnya

merupakan bagian dari prosa. Hal ini berlaku apabila drama

dipandang sebagai teks sastra. Namun demikian, drama tidak

hanya berhenti sebagai naskah tetapi harus dipentaskan.

Tentunya ada beberapa kesamaan ciri antara drama dan prosa,

tetapi ciri khusus drama yang tidak dimiliki oleh prosa pada

umumnya yaitu akting, tata artistik, penyutradaraan dan

sejenisnya.

2. Hakikat Feminisme

a. Pengertian Feminisme

Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman),

berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan

hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial Selden

(dalam Ratna, 2010: 184). Secara leksikal feminisme adalah gerakan

(28)

commit to user

kaum perempuan dan laki-laki Moeliono, dkk (dalam Sugihastuti

dan Suharto, 2005: 61). Menurut Goefe (dalam Sugihastuti dan Itsna

Hadi Saptiawan 2010: 93) feminisme adalah teori tentang persamaan

antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan

sosial.

Menurut pendapat Humm (2007: 160) feminisme merupakan

gerakan terorganisir untuk mencapai hak asasi perempuan dan

sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk

menciptakan dunia bagi perempuan melalui persamaan sosial.

Berkembangnya feminisme menjadikan perempuan kian berani

menyuarakan haknya. Mereka menuntut adanya kesetaraan gender

dalam segala bidang kehidupan. Terwujudnya kesetaraan gender

akan meminimalisisr ketidakadilan yang kerap menimpa kaum

perempuan.

Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap

laki-laki, upaya melawan pranata sosial seperti institusi rumah

tangga dan perkawianan, upaya perempuan untuk mengingkari

kodratnya, tetapi upaya untuk mengakhiri penindasan dan

eksploitasi perempuan (Fakih, 2008: 78-79).

Pada dasarnya feminisme merupakan gerakan kaum

perempuan untuk memperoleh kebebasan dalam menentukan

nasibnya. Adanya tuntutan persamaan gender untuk melepaskan diri

dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah merupakan langkah

(29)

commit to user

Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan

derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan

serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk

mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu

caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama

dengan yang dimiliki laki-laki (Djajanegara, 2000: 4).

Gerakan feminisme mempunyai relefansi yang sangat erat

dengan tulisan-tulisan karya sastra khususnya novel. Menurut

pendapat Beauvior (dalam Anwar, 2009: 50) menjelaskan bahwa

melalui sastra, pengarang melakukan serangkaian refleksi atas mitos

tentang perempuan. Dalam sastra, pria menciptakan imaji tentang

perempuan dan memposisikan perempuan sebagai mitos-mitos

kompensasi bagi pria. Jackson dan Jones (2009: 338) berpendapat

bahwa fokus utama feminisme dalam karya sastra tahun 1980-an

mengenai bahasa.

Nyoman Kutha Ratna (2004: 192) mengatakan apabila

dikaitkan dengan gerakan emansipasi, sastra feminis bertujuan

untuk membongkar, mendekonstruksi system penilaian

terhadap karya sastra yang pada umumnya selalu ditinjau

melalui pemahaman laki-laki, dengan konsekuensi logis

perempuan selalu sebagai kaum yang lemah. Sebaliknya,

laki-laki sebagai kaum yang lebih kuat.

Menurut Showalter (dalam Jackson dan Jones, 2009: 342)

berpijak pada perkembangan sastra feminis pada tahun 1980-an para

(30)

commit to user

dan seksual dalam teks-teks yang ditulis baik oleh laki-laki maupun

perempuan.

Menurut pendapat Endaswara (2008: 146) sasaran penting

dalam analisis feminis ada beberapa hal, diantaranya: (1)

mengungkap karya-karya penulis perempuan masa lalu dan

masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh

perempuan masa lalu dan masa kini; (3) mengungkap ideologi

pengarang perempuan dan pria, bagaimana mereka

memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) megkaji

aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan

(5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa

perempuan lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih

sayang.

Showalter (dalam Jackson dan Jones, 2009: 336) membagi

kritik sastra feminis menjadi dua kategori yang berbeda: pertama

berfokus kepada pembaca perempuan. Sedangkan yang kedua

berfokus kepada penulis perempuan.

Para kritikus feminis prancis mengadopsi istilah ecriture

feminine (tulisan feminim) untuk menjelaskan gaya feminim yang

tersedia baik bagi laki-laki maupun perempuan (Jackson dan Jones,

2009: 339). Ecriture feminine tidak harus berasal dari penulis

perempuan, penulis laki-laki pun mempunyai hak yang sama dalam

menuangkan ide feminisnya. Hal tersebut didukung oleh pendapat

Anwar (2009: 6) seorang pria bisa menjadi feminis dalam arti

(31)

commit to user

Selanjutnya muncullah istilah reading as a women, membaca

sebagai perempuan, yang dicetuskan oleh Culler, maksudnya adalah

membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideology

kekuasaan laki-laki yang patriarkhat. (Sugihastuti dan Suharto,

2005:19)

Culler’s answer is brief and relatively problematic: “ to read asa a woman is to avoid reading as a man, to identify the specific defenses and distortions, he does provide some fundamental guidelines for such a reading. Accordingly, to read as a woman requires that one approach a work from a feminist vantage and therefore, not regard the work from the purview of patriarchy. Consequently, as a woman, one must query readings which suggest the only major figure in the novel, and alternately analyze the motivations of principal female characters who are thoroughly developed within the

work. (leek, 2001: 2)

Menurut Culler membaca sebagai perempuan adalah

menghindari membaca seperti laki-laki. Culler menyediakan

beberapa panduan fundamental seperti sebuah pemahaman.

Berdasarkan hal itu, untuk membaca sebagai perempuan

membutuhkan sebuah pemahaman. Berdasarkan hal tersebut, untuk

membaca sebagai perempuan membutuhkan sebuah pendekatan

penelitian dari kaum feminis. Kaum perempuan perlu membaca dan

mempelajari sikap dan perilaku tokoh perempuan dalam sebuah

novel yang dapat memberikan motivasi bagi kemajuan perempuan.

Menurut pendapat Yoder (dalam Sugihastuti dan Suharto,

2005: 5) membaca sebagai perempuan yaitu memandang sastra

(32)

commit to user

banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan. Laki-laki

dan perempuan dapat membuat tulisan feminim serta menafsirkan

karya sastra sebagai perempuan.

Ecriture feminine (tulisan feminim) tidak berpengaruh

terhadap jenis kelamin penulis, begitu juga dengan reading as a

woman (membaca sebagai perempuan).

Menurut Jafferson dan Robey (dalam Anwar, 2009: 7) terdapat

empat bentuk definisi konseptual yang terkait dengan

permasalahan perempuan, yaitu female, feminitas, feminim

dan feminisme. Female berbagai bentuk pengalaman dan

situasi perempuan. Feminitas merupakan suatu bentuk

konstruksi kultural terhadap karakteristik perempuan. Feminim

adalah konstruksi sosial yang mengacu pada seksualitas dan

bentuk prilaku yang ditentukan oleh norma sosial dan kultural.

Feminisme lebih terikat dengan posisi politik perempuan.

Kemunculan awal paradigma feminisme ditandai dengan

munculnya subjek gerakan feminisme di era 1960-1970-an. Gerakan

feminisme dipelopori oleh Virgina Woolf yang fokus gerakannya

terarah pada pengalaman-pengalaman perempuan di bawah naungan

patriarkhi. Gerakan feminisme ditandai dengan lahirnya gelombang

pertama feminism yang menitik beratkan perjuangan untuk

mendapatkan kesetaraan hak-hak perempuan dalam politik atau hak

pilih.

Lahirnya feminisme merupakan reaksi ketidakadilan terhadap

(33)

commit to user

publik. Reaksi terhadap ketidakadilan tersebut, juga terjadi di

berbagai negara. Menurut Djajanegara (2000: 1) lahirnya feminisme

di Amerika didasari oleh tiga hal penting diantaranya:

Pertama, berkaitan dengan aspek politik. Misalnya, deklarasi

kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 hanya menyebutkan

bahwa semua laki-laki diciptakan sama. Sementara itu, konsep ini

bagi kalangan perempuan dinilai sebagai suatu bentuk diskriminasi

karena tidak menyebutkan dan mengakui posisi mereka.

Kedua, aspek agama yang mendasari tumbuhnya gerakan

feminisme di Amerika. Agama protestan maupun katolik

menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada

laki-laki. Kaum lelaki yahudi kuno ketika bersembahyang, yaitu

selalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena mereka tidak

dilahirkan sebagai perempuan.

Ketiga, hingga memasuki abad ke-20 perempuan belum

sepenuhnya diberikan kesempatan untuk berkiprah di sektor publik

secara proporsional. Para feminis berusaha agar diberi kesempatan

bekerja di sektor publik sehingga memperkecil ketergantungan

terhadap laki-laki.

Ketiga aspek tersebut menjadi landasan gerakan feminisme di

Amerika dalam melancarkan kegiatan-kegiatannya. Dari ketiga

(34)

commit to user

Amerika tidak untuk mengungguli kaum laki-laki tetapi untuk

menuntut kesetaraan gender dalam ranah publik.

Feminisme menjadi gerakan politik yang terorganisasi dengan

baik pada tahun 60an dengan membangun teori bahwa dominasi

laki-laki dan subordinasi perempuan bukan fenomena yang bersifat

biologis tetapi merupakan konstruksi sosial. Laki-laki yang

membangun standar dan nilai yang berlaku di masyarakat baik dalam

ranah domestik maupun ranah publik. Oleh karena itu, dominasi

laki-laki terhadap perempuan dapat di hilangkan dengan peran serta

seluruh lapisan masyarakat.

“The emergence of the feminist movement is considered one of

the most important developments in the history of literary

criticism. Feminism, in their earlier theories, were preoccupied

with the images of women characters and how these images are

represented in literature ”(Deif: 2003).

Gerakan feminisme menjadi dasar dari sejarah kritik sastra.

Beberapa karya sastra banyak yang mengangkat permasalahan

perempuan menjadi tema utama baik dalam novel maupun cerpen.

Karya sastra yang bernuansa feminis dengan sendirinya akan

bergerak pada emansipasi, kegiatan akhir dari perjuangan feminis

adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukan perempuan

(35)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas, feminisme merupakan perjuangan

kaum perempuan untuk memperoleh kesetaraan gender dan berupaya

mewujudkan eksistensi di segala bidang kehidupan untuk

meminimalisir ketidakadilan gender yang kerap dialami perempuan.

b. Aliran Feminisme

Feminist thingking is really rethingking, an examination of the way certain assumptions about women and the female character enter into the fundamental assumption that organize all our thingking. Such radical skepticism is an ideal intellectual stance that can generate genuinely new understandings; that is, reconsideration of the relation between the whole set of such as- sociated dichotomics; heart and head, nature and history. But is also creates unusual difficulties (Jehlen, 1981: 1).

Pemikiran feminis adalah benar-benar sebuah pemikiran ulang,

mengenai asumsi tentang perempuan dan karakter perempuan yang

masuk kedalam asumsi fundamental dan terorganisasi dalam

pemikiran kita. Beberapa skeptis radikal adalah sebuah posisi

intelektual yang berbeda yang bisa membuat pemahaman baru secara

autentik, yaitu berdasar pada hubungan antara perempuan dan

laki-laki. Oleh karena itu, kita dapat berpikir ulang bahwa diantara semua

bentuk dikotomi asosiasi, alam dan sejarah dapat menimbulkan

kesulitan yang tidak biasa.

Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas

dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan

tersebut dalam gerakan untuk menuntut haknya sebagai manusia

(36)

commit to user

Apabila dikaitkan dengan gerakan emansipasi, sastra feminis

bertujuan untuk membongkar, mendekonstruksi syistem

penilaian terhadap karya sastra yang pada umumnya selalu

ditinjau melalui pemahaman laki-laki, dengan konsekuensi logis

perempuan selalu sebagai kaum yang lemah. Sebaliknya,

laki-laki sebagai kaum yang lebih kuat (Ratna, 2010: 192).

Sastra feminis menghadirkan sosok perempuan tangguh yang

memperjuangkan kesetaraan gender. Perempuan tidak lagi

digambarkan sebagai sosok yang lemah. Tokoh-tokoh dalam sastra

feminis menggambarkan perjuangan emansipasi yang sangat relevan

dengan kehidupan.

Pembagian teori feminisme terbagi menjadi delapan bagian yang

meliputi feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis,

feminisme liberal, feminisme psikoanalsis, feminisme postmoderen,

feminisme multikultural dan global, serta feminisme ekofeminisme

(Arivia dalam Adib, 2009:13).

1) Feminisme Radikal

Jagar (dalam Fakih, 2008: 85) mengemukakan bahwa

feminisme radikal menganggap bahwa penguasaan fisik

perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah

bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan. Menurut

pendapat Eisenstein (dalam Fakih, 2008: 85) patriarkhi adalah

(37)

commit to user

seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan

privilege ekonomi.

Feminis radikal meyakini bahwa sistem seks dan gender

adalah penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan

(Tong, 2010: 69). Kaum feminis radikal menganggap sistem

seks dan gender merupakan penyebab ketidakadilan dalam

segala bidang kehidupan.

Penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti

hubungan seksual adalah bentuk penindasan terhadap kaum

perempuan. Bagi penganut feminisme radikal, patriarki adalah

dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki

sosial. Oleh karena itu, kaum feminis radikal berupaya

menghilangkan sistem seks dan gender yang cenderung

merugikan kaum perempuan.

Guna menghilangkan penguasaan oleh laki-laki, perempuan

dan laki-laki perlu menyadari bahwa mereka tidak ditakdirkan

untuk menjadi aktif maupun pasif. Perbedaan gender terutama

status peran dan seks harus dihilangkan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa feminisme radikal merupakan suatu gerakan

yang berjuang membebaskan diri dari penguasaan fisik

(38)

commit to user

merugikan perempuan, serta meyakini budaya patriarkhi

sebagai dasar ideologi penindasan.

2) Feminisme marxis

Feminisme marxis adalah feminisme sosialis yang

menganggap analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis

kelas. Ragam feminis ini juga menganggap bahwa ketidakadilan

bukan akibat dari perbedaan biolgis, melainkan karena penilaian

anggapan terhadap perbedaan itu Ruthfen (dalam Adib,

2009:14).

Kelompok feminis marxis menolak keyakinan feminis

radikal yang menyatakan biologi sebagi dasar

pembedaan gender Bagi mereka penindasan

perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam

hubungan produksi. Penindasan perempuan

merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang

bersifat struktural. Oleh karena itu, mereka tidak

menganggap patriarkhi ataupun kaum laki-laki

sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme

yang sesungguhnya merupakan penyebab

permasalahan (Fakih, 2008: 86-88).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

feminis marxis merupakan suatu gerakan yang berupaya

menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat guna membangun

struktur sosial yang memungkinkan kedua gender untuk

(39)

commit to user 3) Feminis liberal

Feminis liberal adalah feminis yang memandang adanya

korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status

perempuan (Fakih dalam Adib, 2009:14). Menurut pendapat

Arifia (dalam Sofia, 2009: 14) feminisme liberal memandang

manusia dilahirkan sama dan mempunyai hak yang sama

meskipun mengakui adanya perbedaan tugas antara laki-laki dan

perempuan.

Bagi feminisme liberal manusia adalah otonom dan

dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal manusia mampu

memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu.

Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak individu (Arifia dalam

Adib, 2009:14).

Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan

bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan

pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam pemikiran

feminis liberal tidak ada perbedaan antara laki-laki dan

perempuan. Perbedannya hanya pembagian tugas antara

laki-laki dan perempuan. Feminisme Liberal meyakini bahwa setiap

manusia mempunyai hak yang sama dalam segala bidang

kehidupan. Berdasarkan pendapat Mill (dalam Tong, 2010: 30)

perempuan harus memiliki hak pilih agar dapat setara dengan

(40)

commit to user

Feminisme liberal berkeinginan untuk membebaskan

perempuan dari peran gender yang opresif yaitu, dari

peran-peran yang di gunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk

memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan

tempat sama sekali, bagi perempuan, baik di dalam akademi,

forum, maupun pasar (Tong, 2010: 48-49).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa feminisme liberal merupakan suatu gerakan

untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif

dan menuntut hak yang sama antara laki-laki dan perempuan.

4) Feminis sosialis

Menurut Fakih (2008: 90) Feminis sosialis mulai dikenal

tahun 1970-an. Feminis sosialis mengkritik asumsi umum,

hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang

perlu, tetapi tidak selalu akan menaikan status perempuan.

Feminisme sosialis ialah feminis yang menganggap bahwa

penindasan perempuan terjadi di kelas mana pun, bahkan

revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikan posisi

perempuan (Jagar dalam Fakih, 2008: 90).

Menurut Eisenstein (dalam Fakih, 2008: 90) feminis sosialis

berpandangan bahwa ketidakadilan bukan akibat perbedaan

biologis tetapi lebih karena penilaian dan anggapan serta

(41)

commit to user

sosial. Tidak jauh berbeda dengan beberapa pendapat di atas

Humm (2007: 230) berpendapat bahwa feminis sosialis ialah

feminis yang menggambarkan pengetahuan sebagai konstruksi

praktis yang dibentuk oleh konteks awal sosialnya.

Berdasarkan uraian di atas feminis sosialis ialah feminis

yang memandang ketidaksetaraan gender terjadi dalam segala

bidang kehidupan yang dipengaruhi penilaian dan anggapan

masyarakat.

5) Feminisme psikoanalsis

Feminis psikoanalisis merupakan feminisme yang

menekankan penindasan perempuan pada psyche dan cara

berpikir perempuan dengan menggunakan isu-isu drama

psikoseksual Oedipus dan kompleksitas kastrasi Freud (Sofia,

2009: 14).

Berdasarkan uraian di atas feminisme psikoanalsis

merupakan feminisme yang menganggap bahwa pengekangan

terhadap cara berpikir perempuan merupakan bentuk

penindasan.

6) Feminisme postmoderen

Feminisme postmoderen beranggapan bahwa the othernes

tersebut tidak hanya dari kondisi inferioritas dan ketertindasan,

melainkan juga cara berada, berpikir, berbicara, keterbukaan,

(42)

commit to user

kajian kultural, feminisme multikultural dan global meyakini

bahwa selain dengan patriarki penindasan dapat dijelaskan

melalui ras, etnistas, kolonialisme, serta dikotomi “dunia

pertama” dan “dunia ketiga” Arivia (dalam Adib, 2009:14).

7) Ekofeminisme

Menurut Megawangi (dalam Adib, 2009:15)

ekofeminisme merupakan aliran feminis yang melihat individu

secara komprehensif, yaitu sebagian makhluk yang terikat dan

berirentaksi dengan lingkungannnya.

Ekofeminisme berupaya memberikan kesadaran pada para

perempuan bahwa kualitas pengasuhan, pemeliharaan, dan

cinta adalah fitrah perempuan dan ia berhak untuk

mengaktualisiikannya di mana pun ia berada.

8) Feminisme Muslim

Pada abad kedua puluh muncullah feminisme muslim.

Feminisme muslim berusaha mengakaji ulang penafsiran

terhadap beberapa ayat-ayat Al-Quran yang dipandang kurang

tepat dalam menafsirkannya. Beberapa ayat Al-Quran

ditafsirkan berdasarkan kepentingan suatu jenis kelamin

sehingga berakibat pada ketidaksetraan gender.

Menurut pendapat Ilyas (dalam Adib, 2009: 16) feminis

(43)

commit to user

kepemimpinan rumah tangga, dan konsep kesaksian serta

hak waris perempuan yang memperhatikan konteks ketika

suatu ayat al-quran di tulis, komposisi tata bahasa suatu ayat

serta menafsirkan keseluruhan ayat.

Penafsiran Al-Quran tidak hanya ditafsirkan secara bahasa

namun perlu mengkaji konteks ketika ayat tersebut diturunkan.

Hal tersebut bertujuan untuk menghindari kesalahan penafsiran

sehingga relefan pada saat ini. Penafsiran terhadap ayat

Al-Quran pun secara keselurun, agar Al-quran memiliki makna

secara utuh dan tidak ambigu.

Feminis muslim merupakan feminis yang berusaha

membongkar historisitas akar permasalahan yang

menyebabkan ketidakadilan dan berpendapat bahwa

penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Al-Quran diperlukan

dalam rangka menjaga relevansinya dengan kehidupan

manusia Baroroh (dalam Adib,2009:16).

Menurut pendapat Adib (2009: 16) feminisme muslim

mempersoalkan ajaran islam dan peran gender dalam

hubungannya dengan keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas feminisme muslim

merupakan feminis yang menuntut kesetaraan gender dalam

ranah publik dan domestik dengan cara menafsirkan Al-Quran

tidak hanya berdasarkan bahasa tetapi melalui konteks ketika

(44)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas, penelitian pada novel Mimi Lan

Mintuna termasuk dalam konsep aliran feminis sosial. Hal ini

didasarkan bahwa novel Mimi Lan Mintuna menggambarkan

ketidakadilan gender yang dipengaruhi anggapan masyarakat

yang menganggap perempuan berada di bawah kekuasaan kaum

laki-laki.

Ketidakadilan gender dalam novel Mimi Lan Mintuna

menjadi penyebab munculnya konflik. Budaya patriarki

menjadikan laki-laki mempengaruhi kehidupan perempuan.

Perempuan tidak diperkenankan berada di ranah publik dan

menjadi korban kekerasan.

3. Bentuk Ketidakadilan Gender

Kehadiran gerakan feminisme dengan isu sentral kesetaraan gender

telah menjadi persoalan kontemporer dan terus menimbulkan kontroversi

(Carles Kurzman, 1998: 101). Hal ini nampak, bahwa isu kesetaraan

gender sampai saat ini terus mengemuka bersamaan dengan berbagai

asumsi banyaknya problema ketidakadilan yang dihadapi oleh kaum

perempuan.

Kaum feminis menganggap bahwa indikator ketidakadilan tersebut

bisa disaksikan dalam berbagai bentuk tindakan diskriminatif yang

dialami kaum perempuan. Dan indikator tersebut dijadikan

landasan untuk mengangkat isu tersebut di berbagai kehidupan dan

dijadikan program sosial yang didesain secara akademik serta

(45)

commit to user

Sementara di sisi lain, isu tersebut masih menyimpan banyak

problema, baik dari sisi konsep dan ideologi yang mendasarinya sampai

pada apliksinya dalam kehidupan sosial.

Istilah “gender” berasal dari bahasa Inggris, yang artinya “jenis

kelamin”. Gender merupakan suatu konsep cultural yang berupaya

membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas,

dan karakterisitik emosional antara laki-laki dan perempuan yang

berkembang dalam masyarakat.

Lain halnya dengan Sugihastuti dan Itsna (2010: 95) Gender

merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun

perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan

dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan

maupun negara. Senada dengan pemikiran tersebut Handayani dan

Sugiarti (2008: 5) menjelaskan bahwa gender dapat diartikan sebagai

konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan.

Umar pun berpendapat sama bahwa gender merupakan suatu

konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki

dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender

dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa.

Serupa dengan beberapa pendapat di atas Fakih (2008: 71)

menjelaskan bahwa gender merupakan perbedaan perilaku (behavioral

differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara

(46)

commit to user

melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui

proses sosial dan kultural yang panjang.

Untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada

pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang

berasal dari cirri-ciri fisik biologis (Riant Nugroho, 2008:2-3).

Sementara itu, seks secara umum digunakan untuk

mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi

biologi, yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam

tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakter biologis lainnya.

Maka, sebagaimana definisi di atas, dan menurut apa yang diyakini

para feminis, bahwa tidak ada keragaman dan perbedaan esensial antara

pria dan perempuan.

Bila gender dimaknai sebagai hasil kontruksi social yang tidak ada

kaitan dengan biologis, maka makna kesetaraan adalah suatu

kondisi di mana antara laki-laki dan perempuan sama. Maka dari

difinisi ini muncul pertanyaan, apakah laki-laki dan perempuan

memang harus sama sehingga segalanya harus setara? Bagaimana

dengan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang

sering membawa kondisi ketidaksetaraan (Megawangi, 1998: 20).

Ada dua kelompok besar dalam diskursus feminisme mengenai

konsepkesetaraan gender, dan keduanya saling bertolak belakang.

Pertama, adalah sekelompok feminis yang mengatakan bahwa konsep

gender adalah konstruksi social, sehingga perbedaan jenis kelamin tidak

(47)

commit to user

social. Karenanya, segala jenis pekerjaan yang berbau gender, misalnya

perempuan cocok untuk melakukan pekerjaan pengasuhan, dan pria

sebagai pencarinafkah keluarga, harus dihilangkan dalam kehidupan

social. Kalau tidak, akan sulitmenghilangkan kondisi ketidaksetaraan.

Kedua, adalah sekelompok feminis lain yang menganggap perbedaan

jenis kelamin akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep gender

dalam kehidupan social, sehingga akan selalu ada jenis-jenis pekerjaan

berstereotipe gender.

Perbedaan keduanya didasari oleh landasan teori dan ideology

berbeda. Kelompok pertama mengartikan kesetaraan tidak dibolehkan

adanya perbedaan perlakuan berdasarkan gender. Berbeda halnya dengan

para feminis kelompok kedua, mereka menganggap bahwa kesetaraan

gender perlu memperhatikan kondisi biologis seseorang.

Kesetaraan gender dimaknai dengan memberikan perlakuan sama

kepada setiap manusia yang mempunyai kebutuhan berbeda, melainkan

dengan memberikan perhatian sama kepada seluruh manusia agar

kebutuhannya yang sesuai dengan masing-masing individu data

terpenuhi.

Fokus utama dari konsep kesetaraan kontekstual adalah memberikan

perhatian dan kehormatan yang sama kepada setiap manusia, sedang

perlakuan yang diberikan adalah disesuaikan dengan kebutuhan dan

(48)

commit to user

Rae (dalam Megawangi, 1998: 56) berpendapat bahwa : “ Equality is

the simplest and most abstract of notions,yet the practices of the world

are irremediably concrete and complex. How, imaginably,could the

former govern the later” .14 (Kesetaraan adalah pernyataan yang paling

simple dan abstrak, tetapi dalam praktiknya sulit dan kompleks untuk

menjadi kenyataaan, dapatkah teori mengatur praktik?)

Fakih (2008: 11) menjelaskan prasangka gender ditimbulkan

oleh anggapan yang salah kaprah terhadap jenis kelamin dan

gender. Dewasa ini terjadi pemahaman yang tidak pada

tempatnya di masyarakat mengenai gender. Gender pada

dasarnya merupakan konstruksi sosial justru dianggap

sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan

tuhan.

Riant Nugroho (2008: 2-3) menjelaskan, untuk memahami konsep

gender maka harus dapat membedakan antara kata gender dan seks (jenis

kelamin). Pengertian seks (jenis kelamin) merupakan pembagian dua

jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, yang melekat

pada jenis kelamin tertentu.

Pendapat yang senada disampaikan Mansour Fakih (2008: 8)

menjelaskan bahwa untuk memahami konsep gender harus

dibedakan kata gender dan seks. Pengertian jenis kelamin

merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin

manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada

jenis kelamin tertentu, yang secara permanen tidak berubah

dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan

(49)

commit to user

Menurut Handayani dan Sugiarti (2008: 10) faktor yang

menyebabkan ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah

akibat adanya gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya.

Sejak dulu banyak mitos-mitos yang menjadi penyebab

ketidakadilan gender seperti keperawanan, perempuan ideal dan laki-laki

rasional sementara perempuan irasional. Kebanyakan mitos-mitos yang

muncul di masyarakat akan menguntungkan kaum lelaki. Hal tersebut

dikarenakan hukum patriarki yang berlaku di masyarakat. Patriarki

menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak di dalam

keluarga dan ini berlanjut dalam semua lingkup kehidupan.

Sementara itu, seks secara umum digunakan untuk mengindentifikasi

perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi, yang

meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi

fisik, reproduksi, dan karakter biologis lainnya. (Umar, 2001: 35) Maka,

sebagaimana uraian di atas kaum feminis menganggap bahwa tidak ada

keragaman dan perbedaan esensial antara pria dan perempuan

Seperti yang disebutkan di atas, bahwa untuk mewujudkan

kesetaraan gender, para feminis sampai sekarang masih percaya bahwa

perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya,

bukan karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan nature atau

genetis. Oleh karenanya, mereka menuntut diperlakukan sama seperti

(50)

commit to user

Pada kenyataannya, faham kesetaraan ini tetap saja menyimpan

berbagai problema yang rumit dan pelik. Sampai saat ini belum ada

consensus mengenai apa yang disebut kesetaraan antara pria dan

perempuan. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan ini adalah

persamaan dalam hak dan kewajiban, yang tentunya masih belum jelas

dalam hak dan kewajiban macam apa. Ada pula yang mengartikannya

dengan konsep mitra kesejajaran antara pria dan perempuan yang juga

masih belum jelas artinya. Sering juga diartikan bahwa perempuan

mempunyai hak yang sama dengan pria dalam aktualisasi diri, namun

harus sesuai dengan kodratnya masisng-masing.

Pernyataan ini juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang kodrat

itu sendiri; apakah perbedaan kodrat tidak mengimplikasikan perbedaan

perilaku dan peran antara pria dan perempuan? Namun secara umum para

feminis menginginkan kesetaraan gender yang sama rata antara pria dan

perempuan ditunjukkan dengan seringnya dipakai beberapa indikator

statistik tentang perbandingan antara tingkat yang telah dicapai oleh

kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan relatif terhada pria.

Sebagai contoh, dalam kehidupan individual, tidak bisa dinafikan bahwa

masing-masing individu memiliki kemampuan atau kapasitas, aspirasi,

kebutuhan, kecenderungan, harapan dan cita-cita yang jelas berbeda satu

sama lain. Lebih-lebih antara laki-laki dan perempuan.

Dalam kaitan social, khususnya masalah bekerja. Menurut beberapa

(51)

commit to user

kelamin, karena kedua jenis kelamin adalah sama-sama “pekerja”. Hal ini

berarti setiap peraturan yang memuat hak dan kewajiban berlaku baik

bagi pekerja pria atau perempuan. Tapi mereka justru yang

mempersempit sendiri, yaitu hak gaji dan jenjang karier, harus

diperlakukan sama. Tapi dipihak lain, ada para aktivis perempuan yang

menuntut bahwa pekerja perempuan perlu diberikan perlakuan berbeda

dengan pria, semisal pemberian cuti hamil, cuti haid, jam kerja malam,

dan sebagainya. Hal ini adalah ironis, karena ini berarti pria dan

perempuan adalah makhluk berbeda, sehingga ada dampak sosialnya,

yaitu pria dan perempuanpun diberikan perlakuan berbeda.

Para feminis sebenarnya mengakui bahwa kendala utama bagi

perempuan untuk data berkiprah secara setara dengan pria, adalah karena

“hanya perempuan saja yang dapat hamil” . Kesetaraan gender hanya

dapat berlaku pada perempuan muda yang belum menikah (ini pun hanya

sementara saja), atau perempuan yang tidak mempunyai anak atau

perempuan yang benarbenar-benar menarik diri dari kehidupan keluarga

dan mengabdikan 100 persen hidupnya untuk pengembangan karir.

Namun berapa persen perempuan yang masuk dalam kategori ini?

Para perempuan yang semula memutuskan hidupnya untuk berkarier

(bukan bekerja untuk menyambung hidup), memang dapat mencapai

psosisi yang tidak kalah dengan rekan prianya, bahkan dapat

mengunggulinya. Namun kondisi ini berakhir ketika para perempuan

(52)

commit to user

mana perempuan telah berpikir dalam –dalam tentang makna

keperempuannnya. Banyak dari mereka yang akhirnya ingin mempunyai

anak dan membina kehidupan keluarga.

Itulah beberapa contoh problema kesetaraan yang memang tidak

mungkin bisa diterapkan seratus persen seperti laki-laki. Problema ini

diakibatkan terlepasnya mereka dari nilai-nilai agama, nilai-nilai

kemanusiaan. Mereka menurut konstruksi ini memang berangkat dari

Barat yang liberal. Sementara kesetaraan menurut Islam adalah

meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Apapun istilah yang

dimunculkan, apakah kesetaraan, kesejajaran ataupun keserasian. Yang

jelas perempuan dan laki-laki itu memang berbeda. Perbedaan

tersebutpun berimplikasi kepada perbedaan peran dan fungsi, tugas dan

tanggungjawab.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas gender merupakan suatu sifat

yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh

faktor-faktor sosial, budaya dan agama sehingga melahirkan peran sosial

dan budaya.

Menurut Fakih ketidakadilan gender termanifestasikan dalam

berbagai bentuk ketidakadilan meliputi: marginalisasi, subordinasi,

stereotipe dan kekerasan .

a. Marginalisasi

Fakih (2008: 14) berpendapat bahwa marginalisasi merupakan

(53)

commit to user

yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh

berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau

eksploitasi dan gender.

Marginalisasi terhadap perempuan dapat terjadi di dalam

rumah tangga yakni dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga

yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi tersebut dapat juga

diperkuat oleh sistem adat istiadat yang ada maupun dari tafsir

keagamaan.

Berdasarkan uraian di atas marginalisasi merupakan proses

pemiskinan yang menimpa laki-laki dan perempuan yang dapat

diakibatkan oleh berbagai kejadian dan gender.

b. Subordinasi

Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan

subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa

perempuan irrasional atau emosional sehingga

perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat

munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada

posisi tidak penting. Anggapan itulah yang menjadi titik

awal ketidakadilan dalam pemahaman gender dan

menguatkan subordinasi (Fakih, 2008:15).

Berdasarkan uraian di atas subordinasi merupakan sebuah

anggapan bahwa kaum perempuan di tempatkan pada posisi yang

tidak penting, atau dengan kata lain pengelasduaan kaum perempuan

(54)

commit to user c. Stereotipe

Streotipe merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu

kelompok tertentu Fakih (2008: 16). Munculnya stereotipe

mengakibatkan adanya penindasan atau ketidakadilan terutama

dialami oleh kaum perempuan. Stereotipe dapat mengakibatkan

berubahnya status sosial dan eksploitasi secara fisik.

Salah satu jenis stereotipe bersumber dari pandangan gender.

Ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu pada umumnya

perempuan bersumber pada penandaan (stereotipe). Hal tersebut

disebabkan peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan

kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe

tersebut.

Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

stereotipe merupakan pelabelan atau penandaan negatif terhadap

seseorang maupun suatu kelompok tertentu yang dapat menimbulkan

ketidakadilan dan merugikannya.

d. Kekerasan

Menurut Saraswati (dalam Sugihastuti dan Itsna, 2010: 171)

kekerasan merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakaukan

terhadap pihak lain, yang pelakunya perseorangan atau lebih dan

dapat megakibatkan penderitaan bagi pihak lain. Fakih (2008: 17)

menerangkan bahwa kekerasan merupakan serangan atau invasi

Gambar

Gambar 1 skema kerangka berpikir
Tabel 1 waktu dan tempat penelitian
Gambar 2: Teknik Content Analysis

Referensi

Dokumen terkait

Proses pasteurisasi dilakukan menggunakan tangki masak kecap pada suhu 105–110 ° C selama 5 menit pemasakan dengan suhu yang lebih tinggi dari tangki masak gula dilakukan

Penguji pada Sidang Tugas Akhir tanggal 17 Oktober

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya MRP sebagai reprentasi kultural orang asli Papua perlu diberikan kewenangan yang seluas-luasnya dalam menjalankan tugas dan

Dengan melihat kondisi status soaial ekonomi orang tua siswa dan minat belajar siswa termasuk dalam kategori taraf yang tinggi terhadap motivasi belajar

 Presentation on the Aid Management Effectiveness Policy: development partners were provided with a draft version of the Aid Policy document and were encouraged to provide

Sesungguhnya telah banyak upaya untuk meningkatkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa, di antaranya dengan pendekatan humanistik, Mamat Supriatna

Dari himpunan Peraturan Perundang-Undangan diatas, dapat kita lihat bahwa sebenarnya dissenting opinion sudah selayaknya diterapkan dalam sistem peradilan dan harus

Data yang termasuk data sekunder dari penelitian yang berjudul ”Studi Tentang Pemahaman Obat Tradisional Berdasar Kemasan Dan Motivasi Pemilihan Jamu Ramuan Segar Atau Jamu