• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Nilai Pendidikan Novel Istana Emas Karya Maria A Sardjono Kajian Feminisme abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai Nilai Pendidikan Novel Istana Emas Karya Maria A Sardjono Kajian Feminisme abstrak"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN NOVEL

ISTANA EMAS

KARYA MARIA A. SARDJONO

(Kajian Feminisme)

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

Risdiyati

S841108022

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN NOVEL

ISTANA EMAS

KARYA MARIA A. SARDJONO

(Kajian Feminisme)

TESIS

Oleh

Risdiyati S841108022

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing

Pembimbing I Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. ---

NIP 195601211982032003

Pembimbing II Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. --- NIP 197610132002121005

Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal ...2012

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031003

(3)
(4)

---PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul: NILAI-NILAI PENDIDIKAN NOVEL ISTANA EMAS

KARYA MARIA A. SARDJONO (Kajian Feminisme)

penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah

yang pernah diajukan orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain

kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan

disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari

terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima

sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Permendiknas No 17,

tahun 2010)

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal atau forum ilmiah

lain harus seizin dan menyertakan tim pembimbing sebagai a uthor dan PPs

UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu

semester (enam bulan sejak pengesahan tesis ini, maka Prodi Pendidikan

Bahasa Indonesia PPs UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah

yang diterbitkan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS. Apabila

saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia

mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, Desember 2012

Mahasiswa,

Risdiyati

(5)

MOTTO

Segala perkara dapat

kutanggung dalam Dia

yang memberi kekuatan kepadaku

(FILIPI 4.13)

Kesabaran adalah

tumbuhan pahit, tetapi

mempunyai buah yang manis

(6)

PERSEMBAHAN

Tesis ini kupersembahkan kepada

:

1.

suami tercinta dan

anak-anakku tersayang

,

semoga

kalian

selalu

bangga

kepada ibu,

2.

kakak-kakaku terkasih

,

3.

teman-teman,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih

sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis ini merupakan

hasil penelitian yang dilakukan penulis terhadap novel Ista na Ema s karya Maria

A. Sardjono dengan pendekatan feminisme.

Dalam penelitian hingga penyusunan laporan penelitian, penulis banyak

mendapat masukan/saran. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada mereka

semua yang memberi masukan tersebut. Penulis mendoakan semoga semua pihak

yang telah membantu diberikan kesehatan oleh Tuhan YME. Secara khusus, pada

kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih kepada yang terhormati:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Pd., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan ijin penulis untuk melaksanakan penelitian.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., Direktur PPs UNS yang telah memberikan

ijin penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Ketua Program Studi S-2 Pendidikan

Bahasa Indonesia.

4. Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd., Pembimbing I Tesis ini yang sudah memberi

pengarahan, bimbingan dan motivasi tiada henti dengan sangat sabar.

Kesabaran itulah yang akhirnya meyakinkan penulis bahwa penulis mampu

(8)

5. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., pembimbing II yang selalu memberi

motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan.

6. Secara pribadi, terima kasih, penghargaan dan penghormatan tiada henti

disampaikan kepada teman-teman kelas paralel S-2 PBI.

Akhirnya, penulis hanya dapat mendokan semua yang telah disebutkan di

atas, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada

semua pihak tersebut di atas, dan mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi

pembaca.

Surakarta, Desember 2012

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS ... iii

(10)

c. Kritik Sastra Feminisme ... 37

d. Pengertian Gender ... 42

3. Hakikat Nilai Pendidikan ... 47

a. Pengertian Nilai Pendidikan ... 47

b. Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra ... 47

c. Nilai Pendidikan dalam Novel ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 67

1. Eksistensi Perempuan dalam Novel Istana Emas... 67

a. Kebebasan Memilih bagi Perempuan dalam Novel ... 67

b. Perlawanan Perempuan dalam Novel Istana Emas ... 72

2. Pokok-pokok Pikiran feminisme dalam Novel Istana Enas ... 79

a. Kekerasan terhadap Perempuan dalam novel Istana Emas 79 b. Kemandirian Tokoh Perempuan dalan Novel Istana Emas 90 c. Tokoh Profeminisme dan Kontra Feminisme ... 96

3. Keadaan Sosial Masyarakat dalam Novel ... 103

4. Nilai-nilai Pendidikan... ... 117

a. Nilai Agama ... 118

b. Nilai Moral ... 120

(11)

d. Nilai Pendidikan Kebudayaan/Adat Istiadat ... 125

e. Nilai Pendidikan Budi Pekerti ... 127

f. Nilai Pendidikan Gender ... 129

B. Pembahsan Hasil Penelitian ... 131

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 165

B. Implikasi ... 166

C. Saran ... 167

DAFTAR PUSTAKA ... 169

(12)

Risdiyati, S841108022 Nilai-nilai Pendidikan Novel Istana Emas

Karya Maria A. Sardjono (Kajian . TESIS. Pembimbing I: Prof.

Dr. Retno Winarni, M.Pd., II: Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) eksisitensi perempuan yang terdapat dalam novel Ista na Ema s karya Maria A. Sardjono, (2) pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Ista n Ema s karya Maria A. Sardjono, dan (3) nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Ista na Ema s karya Maria A. Sardjono.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata. Data penelitian ini adalah novel Ista na Ema s. Penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme untuk mendeskripsikan eksistensi perempuan, pokok-pokok pikiran feminisme, Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah membaca novel dan analisis dokumen. Validasi data menggunakan trianggulasi data, dan teknik analisis data menggunakan model interaktif.

Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) eksistensi perempuan yang terdapat dalam Novel Ista na Ema s antara lain (a) kebebasan memilih bagi perempuan yang berupa kebebasan memilih pendidikan, memilih Pekerjaan, memilih Pasang hidup, dan menentukan nasibnya sendiri; (b) perlawanan perempuan baik tekanan yang berasal dari diri sendiri, teman, lingkungan dan suami yang diperlakukan tidak adil, (2) pokok-pokok pikiran feminisme sosialis dalam Novel Ista na Ema s meliputi: (a) kekerasan terhadap perempuan yang berupa kekerasan pesikis, kekerasan fisik, kekerasan seksual; (b) kemandirian tokoh perempuan; (c) tokoh profeminisme dan kontrafeminisme; (d) analisis feminisme dalam Novel Ista na Ema s, (3) nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam Novel Ista na Ema s antara lain: nilai pendidikan agama, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan budaya/adat, nilai budi pekerti, dan nilai pendidikan gender.

(13)

Risdiyati, S841108022 Education Value Preview Istana Emas A Novel

by Maria A. Sardjono (Feminism Approach) . THESIS. First Counselor: Prof.

Dr. Retno Winarni, M.Pd., Second Counselor: Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum. Indonesian Language Education Study Program of Postgraduate Program, Surakarta Sebelas Maret University.

ABSTRACT

This research aims to describle and explain: (1) women existence in Ista na Ema s, a novel by Maria A. Sardjono, (2) the main values of feminism in novel Ista na Ema s authored by Maria A. Sardjono, and (3) the education values in novel Ista na Ema s authored by Maria A. Sardjono.

This is a qualitative research. Qualitative research is a research procedure that results in description data in form of words. The data of this research is novel entitled Ista na Ema s. This research used feminism and literary sociology approach to know about the social life of the society reflected in Ista na Ema s a novel by Maria A. Sardjono. Technique to the collecting data which is used by reading novel and analyzing document. The validation data applies trianggulation data. The technique of analyzing data is used interactive analysis.

The result of the analysis are: (1) women existences in novel Ista na Ema s are women decision in finding the partner of life, choosing career, and choosing her destiny; and women struggle on fighting the gender discrimination, the main values of feminism, that are: (a) women abuse (physically abuse, sexually abuse, pysiologically abuse), (b) women independence, (c) the character of pro-feminism and contra-feminism, (d) the analysis of socialis feminism in novel; (4) the education values in novel Ista na Emas are the value of religion, morality, social, culture/norms, and value gender.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan pula ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan

cara penggambaran. Penggambaran atau imaji ini dapat merupakan titian terhadap

kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula

imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaan),

atau dambaan intuisi pengarang, dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu.

Pengarang atau sastrawan, dalam membuat karya satra dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Beberapa foktor tersebut diantaranya adalah pengalaman

pengarang dan realitas yang ada di sekitar pengarang. Sejalan dengan itu, Plato

juga mengatakan bahwa sastra dan seni hanya peniruaan atau pencerminan dari

kenyataan, maka ia berada di bawah kenyataan itu sendiri. Berberda dengan apa

yang diungkapkan Aristoteles bahwa dalam proses penciptaan, sastrawan tidak

semata-mata meniru kenyataan, tetapi juga menciptakan dunia baru dengan

kekuatan kreativitasnya.

Karya sastra dapat dikaji melalui beberapa pendekatan, seperti

strukturalisme murni, srtukturalisme genetik, sosiologi sastra, resepsi sastra, kritik

feminis, psikologi sastra, stilistika, dan lain sebagainya. Pengkajian terhadap

karya sastra dalam tulisan ini mengambil dengam pendekatan kajian feminisme,

secara etimologis feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan

(15)

(jamak). Tujuan feminis adalah merupakan keseimbangan, interelasi genner dalam

pengertian yang paling luas, feminisme yaitu gerakan kaum wanita untuk menolak

segala sesuatu yang dimaginasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh

kebudayaan dominan baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan

sosial pada umumnya.

Dikaitkan dengan aspek-aspek kemasyarakatan, kritik sastra feminisme

pada umumnya membicarakan tradisi sastra oleh kaum perempuan, pengalaman

perempuan di dalamnya kemungkinan adanya penulis khas perempuan. Dikaitkan

dengan gerakan emansipasi wanita, satra feminisme bertujuan untuk

membongkar, mendekunstruksi sistem penilaian terhadap karya sastra yang pada

umumnya selalu ditinjau melalui pemahaman laki-laki.Artinya pemahamaman

terhadap unsur-unsur sastra dinilai atas dasar paradigma laki-laki, dengan

konsekuensi logis perempuan selalu sebagai perempuan selalu sebagai kaum yang

lemah, sebaliknya laki-laki sebagai kaum yang kuat.

Emansipasi perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini telah membawa

perempuan pada kesetaraannya dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan

sampai tingkat tertinggi. Dalam diri perempuan itu muncul keinginan untuk

berprestasi dalam mewujudkan kemampuan dirinya sesuai dengan pengetahuan

dan keterampilan yang telah dipelajarinya. Perempuan menginginkan untuk

berkiprah di ranah publik dalam rangka mengaktualisasikan diri. Kartini

berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan salah satu pilar utama untuk

(16)

menerima untuk dinikahkan pada usia yang sangat muda untuk laki-laki bukan

pilihannya, tetapi gagasannya merupakan pembaharuan untuk kemajuan

perempuan.

Pada novel Ista na Ema s yang mengupas kehidupan sosok wanita yang

berpendidikan,berasal dari keluarga sederhana, orang tuanya (ayah) bekerja

sebagai Pegawai Negeri Sipil, hidup di kota gudeg (yogyakarta). Dalam hal

percintaan mengalami hal yang tidak menyenangkan, menyakitkan tetapi wanita

tersebut tetap kuat dan tabah dalam menjalaninya, tokoh dalam cerita ini

perempuan tidak mau diremekhan, dimanja, bak boneka bar bei.

Suasana ketidakadilan gender sangat tampak dalam novel Ista na Emas

karya Maria A Sardjono ini. Ketidakadilan gender tersebut dilawan melalui

tokoh-tokoh wanita di dalam novel. Pengarang (Maria A. Sardjono). Ketidakadilan

gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni

marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau tidak penting

dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan nega tive,

kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (bur der), serta

sosialisasi ideologi nilai peran gender. Guna memahami bagaimana perbedaan

gender telah berakibat pada ketidakadilan gender dapat dipahami melalui berbagai

manifestasi ketidakadilan tersebut (Sugihastuti 2002:16). Ketidakadilan yang

terjadi dalam konstruksi gender saat ini terutama kaum perempuan, menjadi

sebuah masalah yang disebabkan adanya marginalisasi, sterotipi, subordinasi,

kekerasan dan beban kerja lebih berat. Semua itu akan menimbulkan berbagai

(17)

mengenai masing-masing manifestasi ketidakadilan gender, yaitu marginalisasi,

subordinasi, sterotipi, violence, dan beban kerja lebih berat.

Meninjau novel Ista na Emas karya Maria A. Sardjono berdasarkan sudut

pandang feminisme dalam penelitian ini akan mengangkat permasalahan tentang

eksistensi perempuan, pokok-pokok pikiran feminisme, dan nilai pendidikan

yang terdapat dalam novel tersebut. Sehubungan dengan keinginan dan

kebutuhan perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya tersebut, maka

penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran perempuan di tengah lingkungan

budaya patriarki yang ada dalam karya sastra berdasarkan perspektif feminisme.

Dengan demikian, judul penelitian ini adalah

Feminisme da n Nilai Pendidika n)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah eksistensi perempuan yang terdapat dalam novel Ista na Ema s

karya Maria A. Sardjojono?

2. Bagaimanakah pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Ista na Ema s

karya Maria A. Sardjono?

3. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan yang ada dalam Novel Ista n Ema s karya

(18)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan

khusus. Adapun kedua tujuan itu adalah:

1. Tujuan Umum

Penelian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui bagaimana

perspektif feminisme dalam dunia sastra. Penelitian ini bertujuan untuk

memperoleh deskripsi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan

perlawanan perempuan terhadap kekerasan akibat ketidakadilan gender.

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan:

a. eksisitensi perempuan yang terdapat dalam novel Ista na Ema s karya Maria

A. Sardjono,

b. pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Istan Ema s karya Maria A.

Sardjono, dan

c. nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ista na Emas karya

Maria A. Sardjono.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan

manfaat praktis.

a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan

(19)

khususnya dengan pendekatan feminisme. Penelitian ini juga diharapkan

mampu memberi sumbangan dalam teori sastra dan teori feminisme dalam

mengkaji novel Ista na Ema s.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu

pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Ista na Ema s, Maria A.

Sardjono, yang beraliran feminisme. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi

mahasiswa dan guru bahasa serta sastra Indonesia, hasil penelitian ini juga

dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran apresiasi sastra, dalam hal ini

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Hakikat Sastra

a. Pengertian Karya Sastra

Retno Winarni (2009:89), menyatakan bahwa karya sastra

merupakan ungkapan yang terarah pada ragam yang melahirkannya atau

fungsi puitik memusatkan perhatiannya pada pesan dan demi pesan itu

sendiri.

Menurut Suwardi Endraswara (2011:7), karya sastra adalah

fenomena di dalamnya penuh serangkaian makna dan fungsi, hal ini sering

kabur dan tidak jelas, memang syarat dengan imajinasi.

Kutha Ratna (2005:15), menyatakan bahwa karya sastra

membangun dunia melalui kata-kata sebab kata-kata memiliki energi, energi

itulah terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia baru. Melalui

kualitas hubungan paradigmatis, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata

menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya, sehingga peristiwa baru hadir

secara terus-menerus.

Karya sastra berbentuk fiksi berupa karya yang terurai, bercerita

memaparkan secara langsung (ora te provorsa )

yang diceritakan itu merupakan buah imajinasi yang secara mudahnya

(21)

kenyataan, yaitu kenyataan yang diolah oleh pengarang, maka dunia yang

.

Prosa fiksi atau roman, cerpen dan novel. Roman adalah fiksi yang

mengisahkan sebagian besar episode kehidupan tokohnya, bahkan biasanya

roma gna

digunakan di sekitar Roma yang menceritakan tokoh dengan perkembangan

psikologisnya. (Herman J. Waluyo, 2011:2).

Karya sastra yang paling tua usianya adalah puisi, mantra-mantra

dan cerita-cerita harus ditulis dalam bentuk puisi. Dalam prinsipnya dalam

puisi terjadi pemadatan bahasa atau konsentrasi bahasa dengan tujuan untuk

memperoleh kekuatan makna atau kekuatan magis dari bahasa. Drama juga

merupakan karya sastra yang berwujut dialog yang dapat dipentaskan.

Marjorie Boulton (dalam Herman J. Waluyo, 2011:3) menyatakan bahwa

drama adalah kesenian yang berjalan karena aspek pementasan drama

sangat dipentingkan dalam drama.

Menurut (Riffaterre dalam Teeuw, 1984:650) menyatakan bahwa

karya sastra merupan respon jawaban atau tanggapan terhadap karya sastra

sebelumnya. Teeuw (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995:106)

menambahkan bahwa karya sastra adalah artefek atau benda mati, baru

mempunyai makna dan menjadi obyek estetika, bila diberi arti oleh

manusia. Misalnya sebagaimana arfek peninggalan manusia purba

(22)

Menurut Preminger, 1974 (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995:

107) karya sastra adalah sebuah karya yang bermedium bahasa, bahasa

sebagai medium tidaklah netral, dalam arti sebelum menjadi unsur sastra,

bahasa sudah mempunyai arti sendiri. Bahasa merupakan sebuah sistem

semiotik (ketandaan) tingkat pertama, yang sudah mempunyai arti

(mea ning).

Rachmat Djoko Pradopo (1995:108), menyatakan bahwa karya

sastra adalah sebuah setruktur tanda yang bermakna. Di samping itu, karya

sastra adalah yang ditulis oleh pengarang, pengarang tidak terlepas dari

sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Maka semuanya itu

tercermin dalam karya sastra akan tetapi karya sastra juga tidak akan

mempunyai makna tanpa adanya pembaca yang memberikan makna

kepadanya. Oleh karena itu seluruh situasi yang berhubungan dengan karya

sastra harus diperhatiakan dalam konkretisasi atau pemaknaan karya sastra.

Bertitik tolak dari pendapat di atas, karya sastra merupakan karya

yang terurai memaparkan cerita secara langsung, ceritanya merupakan

imajinatif, berupa benda mati, dan mempunyai makna apabila sudah diberi

arti oleh manusia.

b. Jenis-jenis Sastra

Ni Nyoman karmini (2011:11), menyatakan bahwa karya fiksi

haruslah tetap menarik, tetap merupakan bangun struktur yang koheren, dan

tetap mempunyai tujuan estetik walau pengalaman dan permasalahan

(23)

(dalam Karmini 2011:12), fiksi merupakan cerita rekaan dalam bentuk

prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan

penilaiannya tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.

Prosa fiksi dapat diketahui bahwa disamping prosa fiksi ada

prosa yang bukan fiksi atau prosa nonfiksi. Prosa fiksi yaitu jenis prosa yang

fiction

khayalan atau sesuatu yang tidak ada. Cerita-cerita sastra, seperti roman,

novel, dan cerita pendek diklasifikasikan sebagai prosa fiksi, sedangkan

prosa yang bukan karya sastra, yang merupakan deskripsi dari kenyataan

dinyatakan dari prosa nonfiksi. Misalnya, biografi, catatan harian, laporan

kegiatan, dan sebagainya.

Prosa berasal dari kata yang berarti uraian

langsung, cerita langsung, atau karya sastra yang mengunakan bahasa

terurai. Dikatakan menggunakan bahasa terurai, artinya tidak sama dengan

puisi (menggunakan bahasa yang dipadatkan), dan tidak sama dengan drama

(menggunakan bahasa dialog).

Kata fiksi berasal dari bahasa latin fictio berarti membentuk,

membuat, atau mengadakan. Dalam bahasa Indonesia, kata dapat

diartikan sebagai yang dikhayalkan atau diimajinasikan. Yang ditampilkan

dalam ceita fiksi adalah hasil imajinasi dari juru cerita, baik juru cerita lisan

maupun juru cerita tertulis yang disebut pengarang (Herman J. Waluyo:1-2).

(24)

Novel telah ditulis dalam sastra Indonsia pertama kali tahun 1917, yaitu

dengan roman yang berjudul Azab dan Sengsara. Cerita pendek ditulis

pertama kali pada tahun 1920-an oleh Moh. Kasim, misalnya cerpen

Te

Sastra fiksi adalah bersifat khayali, bahasanya konotatif, dan

memenuhi syarat estetika seni, sedangkan ciri sastra nonfiksi adalah lebih

banyak unsur faktual daripada khayalinya, bahasanya cenderung denotatif,

dan memenuhi syarat estetika seni, dalam praktiknya jenis sastra nonfiksi

berbentuk esei, kritik, biografi, dan sejarah, akan tetapi jenis memori,

catatan harian, dan surat-surat kadang dimasukkan dalam jenis sastra

nonfiksi ini.

Cerita-cerita sastra, seperti roman, novel, dan cerpen

diklasifikasikan sebagai prosa fiksi, sedangkan prosa yang bukan karya

sastra yang merupakan deskripsi dari kenyataan dinyatakan sebagai prosa

nonfiksi, misalnya: biografi, laporan kegiatan, dan sebagainya merupakan

karya yang bukan hasil imajinasi (Herman J. Waloyo dan Nugraeni Eko

Wardhani, 2008:1).

Lebih lanjut, Brook menjelaskan bahwa dalam cerita fiksi,

pengaranag mengolah dunia imajinasinya dengan dunia kenyataan yang

dihadapi atau kenyataan sosial budaya, dalam (Herman J. Waloyo dan

Nugraheni Eko Wardhani, 2008:2). Pengalaman manusia yang dipaparkan

(25)

(pendengar) akan dihayati sebagai pengalaman mereka sendiri. Dunia yang

dialami penulis cerita, diolah sesuai dengan visi penulis tentang kehidupan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa roman, novel,

dan cerpen termasuk dalam jenis prosa fiksi, mempunyai tujuan estetik,

sedangkan yang termasuk jenis prosa nonfiksi adalah biografi, laporan

kegiatan, dan lain sebagainya. Adapun yang ditampilakan dalam prosa fiksi

adalah hasil imajinasi dari pengarang.

c. Pengertian Novel

novellus ti

baru. Novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru.

Menurut Robert Lindell, karya sastra yang berupa novel, pertama kali lahir

di Inggris dengan judul Pa mella yang terbit pada tahun 1740 (Tarigan,

1984:164). Tadinya novel (Pa mella ) merupakan bentuk catatan harian

seorang pembantu rumah tangga. Kemudian berkembang dan menjadi

bentuk prosa fiksi yang kita kenal seperti saat ini (menggantikan pengertian

roman di samping bentuknya yang utama).

Menurut Herman J. Waluyo (2011:2), novel adalah bentuk prosa

fiksi yang paling baru dalam sastra Indonesia karena baru ditulis sejak tahun

1945-an oleh Idrus, lewat novelnya yang berjudul Aki.

Novel merupakan salah satu bentuk prosa fiksi di samping roman

dan cerpen Secara etimologis, kata novel berasal dari novella (bahasa

(26)

dengan jenis-jenis sastra lainya seperti puisi dan drama (Herman J. Waloyo,

2008:8). Jenis novel dalam sastra Inggris dan Amerika disebut novel.

Karya fiksi, seperti dalam kesusasteraan Inggris dan Amerika,

menunjuk pada karya yang berwujud novel dan cerita pendek (roman)

(Burhan Nurgiyantoro, 2007:8). Kebenaran dalam dunia fiksi, tidak harus

sama dan tidak perlu disamakan dengan kebenaran dalam dunia nyata.

Dalam dunia fiksi dikenal dengan adanya licentia poetika , sehingga seorang

pengarang dapat berkreasi maupun memanipulasi berbagai masalah

kehidupan yang dialami dan diamati menjadi kebenaran yang hakiki dan

universal dalam karyanya, walaupun secara faktual merupakan hal yang

salah.

Pendapat Korsmeyer (2004:69), novel merupakan salah satu bentuk

karya sastra imajinatif yang sebagian ceritanya berisi romantik dan

petualang yang dapat berasal dari pengalaman hidup pengarang. Lebih

lanjut Herman J. Waluyo (2006:37), mendifinisikan bahwa dalam novel

terdapat: (1) perubahan nasib dari tokoh cerita, (2) ada beberapa episode

dalam tokoh utamanya, (3) biasanya tokoh utamanya tidak sampai mati.

Burhan Nurgiyantoro (2007:4), memberikan pengertian bahwa

novel adalah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi

model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui

beberapa unsur intrinsik seperti peristiwa, plot, penokohan, latar, sudut

(27)

Novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang

sekaligus disebut fiksi. Sebagai karya fiksi novel dan cerita pendek

mempunyai persamaan dan perbedaan. Adapun persamaannya adalah

keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun (unsur-unsur cerita) yang

sama, keduanya dibangun dari dua unsur intrinsik dan ekstrisik. Novel dan

cerita pendek sama-sama memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar,

sudut pandang, dan lain-lain. Maka novel dan cerita pendek dapat dianalisis

dengan pendekatan yang kurang lebih sama.

(Burhan Nurgiyantaro, 2007:10) lebih lanjut menjelaskan

perbedaan antara novel dan cerita pendek yang pertama dan yang utama

dapat dilihat dari segi formalitas bentuk dan segi panjang cerita. Dari segi

panjang cerita, novel jauh lebih panjang dari pada cerita pendek. Oleh

kerena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan

sesuatu secara lebih luas, libih rinci, lebih detail, dan lebih banyak

melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.

Novel adalah bersifat realistis dan tokoh dalam novel lebih realistis

lebih obyektif, ia merupakan tokoh yang memiliki derajat (lifelike),. (Yani

Purwanti, 2009:21). Hal ini sesuai dengan pendapat Wellek dan Warren

(1990: 15) bahwa novel lebih menggambarkan tokoh nyata, tokoh yang

berangkat dari realitas sosial, merupakan tokoh yang memiliki derajat

(lifelike).

(28)

model kehidupan yang diidialkan, dunia imajiner yang dibangun melalui

berbagai unsur intrinsiknya, seperti plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut

pandang, dan lain sebagainya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, bahwa novel adalah bentuk

prosa fiksi yang lebih panjang daripada cerita pendek, yang hanya memuat

sebagian kehidupan seseorang, tokoh dan penokohan, setting serta sudut

pandang pengarang yang bersifat imajiner.

d. Struktur Novel

Novel merupakan sebuah totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat

artistik. Sebagai totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur,

yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling

menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai suatu totalitas, unsur, kata,

bahasa, misalnya menjadi salah satu bagian dari totalitas itu, salah satu

unsur pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu. Kata inilah

yang menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya, menjadi berwujud.

(Burhan Nurgiyantoro, 2007:23).

Prosa fiksi dibagi menjadi beberapa unsur yaitu: tema cerita, plot

atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat

kejadian cerita atau disebut juga latar, sudut pandang pengarang atau point

of view, latar belakang atau back-ground, dialog atau percakapan, gaya

bahasa/gaya bercerita, waktu cerita dan waktu penceritaan, serta amanat

(29)

Bertitik tolak dari pendapat di atas, struktur novel memuat

keseluruhan kehidupan seseorang, yang lengkap dengan penokohan,

perwatakan, setting, alur cerita mulai dari awal sampai dengan

akhir/klimaksnya.

1.Penokohan dan Perwatakan

Bagian cerita fiksi ini membicarakan tokoh-tokoh cerita

(penokohan) dan watak tokoh-tokoh (perwatakan), keduanya memiliki

hubungan yang sangat erat. Tokoh-tokoh itu yang mempunyai watak yang

menyebabkan terjadinya konflik dan konflik itulah yang menghasilkan

cerita. Dalam hal perwatakan, Kenney (dalam Herman J. Waluyo, 2011:

18-19) menyebutkan adanya istilah lifelikeness, yang dapat diartikan kehidupan

tokoh-tokohnyanya mendekati kehidupan dalam alam ini sebenarnya.

Burhan Nurgiyantoro (2007:65), berpendapat menggunakan istilah

tokoh untuk menunjukkan pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak,

perwatakan, dan karakter menunjukan pada sifat dan sikap para tokoh yang

ditafsirkan oleh pembaca. Abram (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:165)

memberikan difinisi tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam

suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki

kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam

ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Secara garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh

(30)

Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis, yaitu tokoh

yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan antipati atau benci.

Konflik antara kedua tokoh ini berkembang terus, kedua tokoh ini

menguasai (mendominasi) seluruh cerita, kedua tokoh ini diklasifikasikan

sebagai tokoh sentral yang berarti tokoh-tokoh penting atau pusat

penceritaan.

Tokoh adalah pelaku cerita yang mengalami peristiwa yang

ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang memiliki derajat

(lifelike). Watak tokoh harus memiliki relevansi dengan elemen cerita yang

lain, seperti; plot, Seting, tema, dan sebagainya, dan mempunyai relevansi

dengan hubungan antar tokoh yang satu dengan yang lain, dan juga dengan

keseluruhan cerita. Dalam menggambarkan watak tokoh, pengarang

mempertimbangkan tiga dimensi watak, (Herman J. Waluyo, 2011:11-12).

Watak dari segi psikis merupakan faktor utama yang terpenting

dalam penggambaran watak atau temperamen tokoh, apakah tokoh itu baik

hati, penyabar, murah hati, dermawan, pemaaf, atau pemberang, sombong,

pendengki dan lain sebagainya. Contoh dalam novel Siti Nurba ya , tokoh

Datuk Maringgih, misalnya berwatak serakah, kikir, jahat, kejam,

pendendam, tidak memiliki rasa belas kasih, dan licik.

Watak dari segi fisiologis atau keadaan fisik, dapat dikaitkan

dengan umur, ciri fisik, penyakit, keadaan diri, dan sebagainya. Datuk

(31)

wajahnya selalu murung, pakaiannya kumal, destar yang berwarna hitam

juga kumal, dan sebagainya.

Watak dari segi Sosiologis melukiskan suku, jenis kelamin,

kekayaan, kelas sosial, pangkat /kedudukan, dan profesi atau pekerjaan.

Datuk Maringgih, misalnya; seorang pedagang kaya raya yang tadinya

hanya seorang penjual ikan karena kegigihan dan kelicikannya dalam

membungakan uang, ia dapat menguasai pedagang-pedangan lain di daerah

itu.

Lebih lanjut dinyatakan Sugihastuti dan Suharto (2010:47), sebagai

tokoh utama pendukung dalam nonel Sitti Nurba ya , Samsulbahri dan Sitti

Nurbaya digambarkan kebaikan secara berlebihan, fisik Samsulbahri

sebagai laki-laki muda berusia 18 tahun, baju sekolahnya jas tutup putih dan

celana pendek hitam, sepatu hitam tinggi disambung ke atas kaus sutera,

sedangkan Sitti Nurbaya perempuaan berumur 15 tahun pakaiannya seperti

anak Belanda, sepatu dan kaus berwarna cokelat, rambutnya diikat dengan

benang sutera, alangkah eloknya paras anak perawan ini, pipinya sebagai

pauh dilayang.

Bertitik tolak dari pendapat di atas, watak tokoh harus memiliki

relevansi dengan elemen cerita yang lain, seperti, plot. Seting, tema, dan

sebagainya, dan mempunyai relevansi dengan hubungan antar tokoh yang

(32)

2. Alur atau Plot

Alur atau plot sering disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita

yang disusun dalam kurun waktu yang menunjukkan hubungan sebab akibat

dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang

akan datang. Lebih lanjut Lukman Ali (dalam Herman J. Waluyo, 2011:9)

menyatakan plot merupakan sambung-sinambungnya cerita berdasarkan

hubungan sebab akibat dan menjelaskan sesuatu terjadi.

Panuti-Sudjiman (1991:31), menyatakan peristiwa pertama yang

memberikan informasi awal kepada pembaca itu disebut paparan atau

eksposisi. Lebih lanjut dijelaskan (Sugihastuti dan Suharto, 201:47), cerita

diawali dengan peristiwa tertentu dan diakhiri dengan peristiwa tertentu

lainnya tanpa terikat pada urutan waktu.

Menurut E.M. Forster (dalam Herman J. Waluyo, 2011:9),

Plot is a na rra tive of

events, the empha sis fa lling on ca usa lity.ca usa lity overshadows time

sequence

dari suatu urutan cerita yang mengembangkan konflik cerita.

Bagian struktur alur sesudah klimaks meliputi leraian (falling

a ction) yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian.

Selesaian bukan penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh cerita. Selesaian

(denoument) adalah bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian dapat berupa

(33)

masalah yang menyedihkan (sa d ending), atau masalah dibiarkan

menggantung tanpa pemecahan (Panuti-Sudjiman, 1991:35-36).

Menggambarkan diagram struktur alur secara runtut dan kronologis

sebagai berikut.

Klimaks

Inciting Forces +) **) Pemecahan

*)

Awal Tengah Akhir

Keterangan :

*) Konflik dimunculkan dan semakin ditinggalkan.

**) Konflik dan ketegangan dikendorkan.

+) Inticing F or ces menyarankan pada hal-hal yang semakin konflik

sehingga akhirnya semakin klimaks.

Pada prinsipnya, ada tiga jenis alur yaitu: (1) alur garis lurus atau

alur progresif atau konvensional. Penulisnprosa fiksi menggunakan alur

lurus karena urutan peristiwa berturutan dari awal hingga akhir, (2) alur

flashback atau sorot balik, atau alur regresif, cerita ini dimulai dari cerita

tokoh yang paling akhir menuju cerita ke depan, (3) alur campuran , yaitu

pemakaian alur garis lurus dan fla sh-back sekaligus di dalam cerita fiksi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa alur atau plot

merupakan kerangka cerita yang ada hubungan sebab akibat,

(34)

3. Tema Cerita atau Pokok Pikiran

Sugihastuti dan Suharto (2010:45), menyatakan bahwa tema

menjadi salah satu unsur cerita rekaan yang memberikan kekuatan dan

sekaligus pemersatu semua fakta dan sarana cerita yang mengungkapkan

permasalahan kehidupan.

Menurut Nurgiyantoro (1998:68), tema dapat ditemukan dengan

cara menampilkan keseluruhan cerita, tema tersembunyi di balik cerita yang

mendukungnya.

Menurut Herman J. Waluyo (2010:124) menyatakan bahwa tema

merupakan gagasan pokok atau subject-ma ster yang dikemukaan oleh

penyair atau pengarang. Tema itu begitu kuat mendesak dalam jiwa

pengarang, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Lebih lanjut

oleh William Kenney (1966:91), menyebutkan tema sebagai

, definisi ini kurang jelas dan operasional oleh karena itu ia

memberikan penjelasan dengan;

mea ning of the mpra l of the story, it is not the subject, it is not tha t people

.

Tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis yaitu: (1) tema ya ng

bersifa t fisik, (2) tema orga nik, (3) tema sosia l, (4) tema egoik (rea ksi

proba di), dan (5) tema divine (Ketuhana n). Tema yang bersifa t fisik

menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik

manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan

(35)

menyangkut soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah

keluarga, problem politik, ekonomi, adat, tatacara, dan sebagainya. Tema

yang bersifat sosial berkaitan dengan problem masyarakat. Tema egoik a ta u

rea ksi individua l, berkaitan dengan protespribadi kepada ketidakadilan,

kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu. Sedangkan divine

(Ketuhana n) menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia

dengan Sang Khalik.

4. Sudut Pandang

Menurut Herman J.Waluyo (2011:25), point of view dinyatakan

sebagai sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang digunakan oleh

pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Apakah ia sebagai orang

pertama (juru cerita) ataukah sebagai orang ketiga (menyebut pelaku

sebagai dia). Yang pertama dikatakan sebagai bergaya akuan, sedangkan

yang kedua dinyatakan sebagai bergaya diaan. Sebagai orang pertama

pengarang juga dapat ditanya bagaimana ia berperan sebagai orang pertama.

Demikian juga jika ia berperan sebagai orang ketiga, bagaimanakah ia

berperan sebagai orang ketiga.

Lebih lanjut, Shipley (dalam Herman J. Waluyo, 2011:25)

menyebutkan adanaya 2 jenis point of view yaitu: interna l point of view

dan externa l point of view. Inter na l point of view ada 4 macam, yaitu: (1)

tokoh yang bercerita, (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku, (3) sudut

(36)

hero. Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada 2 jenis, yaitu: (1)

gaya diaan, dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya.

Burhan Nurgiyantoro (2007:256), membedakan sudut pandang

pengarang menjadi dua macam, yaitu: persona pertama dan persona ketiga.

a. Sudut pandang persona pertama

Dalam pengisahan cerita menggunakan sudut pandang persona

pertama, pencerita adalah seorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah

mengisahkan peristiwa dan tindakan yang dialami, dilihat, didengar, dan

dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh. Sudut pandang persona pertama

b.Sudut pandang persona ketiga

Sudut pandang persona ketiga ini, pencerita adalah seorang yang

berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan

menyebut nama atau kata ganti (ia, dia, mereka).

Berpijak dari uraian tersebut diatas, bahwa sudut pandang

merupakan teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam

suatu cerita fiksi, tokoh yang bercerita dan atau pencerita salah seorang

pelaku.

5. Dialog atau Percakapan

Semua cerita fiksi menggunakan dialog untuk memperkuat watak

(37)

2011:25), menyatakan dua jenis fungsi dialog yaitu: (1) memperkonkret

watak dan kehadiran pelaku, (2) memperhidup karakter tokoh. Dialog harus

dibuat secara natural, selektif, gaya - atau tindak tutur

(percakapan tokoh yang satu disambut oleh tokoh lain atau lawan bicara).

Dialog dalam prosa fiksi jaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru

rata-rata panjang-panjang, tidak sesuai dengan situasi percakapan pada

umumnya. Novel-novel mutakir berusaha meniru percakapan dalam

kehidupan sehari-hari yang dialognya relatif pendek-pendek.

Bertolak dari uraian di atas, percakapan atau dialog merupakan

bentuk kegiatan yang berujud dialog para pelaku, yang sesuai dengan tokoh

yang diperankan atau karakter tokoh dalam suatu cerita.

6. Latar atau Setting

Setting adalah tempat kejadian cerita, tempat kejadian cerita dapat

berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologi, dan aspek psikis. setting juga

dapat dikaitkan dengan tempat yang luas, misalnya negara, privinsi, kota,

desa, di dalam rumah, di luar rumah, di jalan, di sawah, di sungai, dan

sebagainya. Yang berkaitan dengan waktu, dapat dulu, sekarang, tahun,

bulan, minggu, hari, jam, siang, malam, dan seterusnya.

Pelukisan waktu sangat erat kaitannya dengan anakronisme, yaitu

pemggambaran situasi yang tidak sesuai dengan zamannya. Lebih lanjut

dikatakan oleh Hudson (dalam Herman J. Waluyo: 2011 23), setting juga

(38)

kebiasaan, dan pandangan hidup tokoh. Setting material adalah lingkungan

alam, sedangkan yang lain disebut setting sosial.

Dijelaskan bahwa setting mempunyai fungsi untuk: (1)

mempertegas watak pelaku, (2) memberikan tekanan pada tema cerita, (3)

memperjelas tema yang disampaikan, (4) metefora bagi situasi psikis

pelaku, (5) sebagai pemberi atmosfis (kesan), (6) memperkuat posisi plot.

Seting berkaitan dengan pengadegan, latar belakang, waktu cerita.

Pengadegan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita, tidak semua

kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adegan-adegan.

Sugihastuti dan Suharto (2010:54), menyatakan bahwa latar

(setting) merupakan unsur yang sangat penting pada penentuan nilai astetik

karya sastra, sering juga disebut atmosfer karya sastra (novel) yang

mendukung masalah tema, alur, dan penokohan.

Lebih lanjut Herman J. Waluyo, (2011:24), latar belakang

(ba ckground) dalam menampilkan setting dapat berupa latar belakang

sosial, budaya, psikis, dan fisik yang kira-kira dapat memperhidup cerita.

Dengan dekripsi dan narasi, latar belakang dapat muncul, namun jika

diperkaya dengan latar lain, cerita akan lebih hidup.

Latar yang baik dapat mendiskripsikan secara jelas

peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan konflik yang dihadapi tokoh cerita

sehingga cerita terasa hidup dan segar, seolah-olah sungguh-sungguh terjadi

dalam kehidupan nyata, (Nurgiyantoro dalam Sugihastuti dan Suharto,

(39)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setting

merupakan tempat kejadian suatu peristiwa yang terjadi dan yang menonjol

di dalam cerita sehingga cerita itu lebih hidup, setting dapat berupa tempat,

dan waktu.

2. Hakikat Pendekatan Feminisme

a. Pengertian Feminisme

Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berprespektip feminis

adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti

tercermin dalam karya sastra: (1) kedudukan dan peran para tokoh

perempuan dalam karya sastra Indonesia menunjukan masih didominasi

oleh laki-laki.

Menurut Rothenberg feminisme muncul akibat dominasi pria atas

kaum wanita dalam beberapa dekade di setiap bidang.

Domina nce theory posits tha t men and women a re

different because of the historic societa l fa ct tha t men hold a

dominant position, while women occupy a subordina te one.

(Rothenberg dalam Brown 2005: 90)

Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan keharusan

untuk mengetahui ketimpangan gender, (2) dari resepsi pembaca karya

sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh perempuan

(40)

hanyalah merupakan hubungan berdasarkan pada pertimbangan biologis dan

sosial-ekonomis semata-mata. Pandangan ini tidak sejalan dengan

pandangan perspektip feminis bahwa permpuan mempunyai hak, kewajiban

dan kesempatan yang sama dengan laki-laki, (4) penelitian sastra Indonesia

telah melahirkan banyak perubahan analisis dan metodologinya salah

satunya penelitian sastra yang berperspektip feminis, (5) banyak pembaca

yang meganggap bahwa peran dan kedu-dukan perempuan lebih rendah

daripada laki-laki. (Sugihastuti, Suharto, 2010: 15-16).

Lebih lanjut, dikatakan Soenarjati Djajanegara (2000:4), bahwa

feminisme mempunyai tujuan untuk meningkatkan kedudukan serta derajat

perempuan agar sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki.

Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup

berbagai cara, salah satunya memperoleh hak dan peluang yang sama

dengan yang dimiliki laki-laki. Maka muncullah istilah

movement atau gerakan persamaan hak, cara lain adalah membebaskan

perempuan dari ikatan lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini

sering dinamakan disingkat

yaitu gerakan pembebasan wanita.

Menurut Culler (dalam Herman J .Waluyo, 2011:106) menyatakan

bahwa kritik sastra feminisme mengkritik sastra dengan kesadasar khusus,

yakni kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak hubungan dengan

(41)

pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan faktor luar yang

mempengaruhi.

The a pproa ch of woma n in pevelopment which portr ay women

a s a viktim a nd men as the beneficia ries of moder niza tion a nd the see to

right these wrongs of moderniza tion, is discorded by the empower men

perspective. Instead women a nd men a r not necessa rily poised

a nta gonistica lly a ga in ea th other, nor are a ll women joined by the

invisble stra nds of sisterhood. Element of cla s, ethnicity a nd ra ce

intersect with gender to form a llia nce between men and women,

(Ma rianne H. Ma rcha nd and Ja ne L. Pa rpat, 1995:38)

Pendekatan dari wanita dalam perkembangan pembangunan

yang menggambarkan wanita sebagai korban dan pria sebagai

keuntungan dari modernisasi dan kemudian mencari kebenaran dari

kesalahan modernisasi.

Menurut Herman J. Waluyo (2011:100) feminis adalah

keseimbangan, interelasi gender, dalam pengertian yang paling luas,

feminisme adalah gerakan wanita untuk menolak segala sesuatu yang

dimerginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh

kebudayaan dominant baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun

kehidupan sosial pada umumnya.

Feminisme merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir

di seluruh dunia, gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa

hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Seperti diketahui

sejak berabad-abad, perempuan berada di bawah dominasi laki-laki,

perempuan sebagai pelengkap, perempuan sebagai makluk kelas dua.

Secara biologis perempuan lebih lemah, sebaliknya laki-laki lebih

kuat.Meskipun demikian perbedaan biologis mestinya tidaknya tidak

(42)

Kemajuan teori feminisme dalam bermacam-macam bidang

dan menjelaskan pengaruh dalam beberapa faktor. Sebagai contoh

dalam kelompok seksual dari ketenagakerjaan berlangsung pada

beberapa sosial yang diketahui, di mana dibedakan antara beberapa

tugas perempuan dan tugas laki-laki, tugas laki-laki dalam bidang

ekonomi dan bernilai sosial. Perempuan selalu tidak demikian.

(penegetahuan sosial yang paling dekat dengan pendekatan kualitas

yang terlibat dalam diri masing-masing yang mengontrol produksinya

sendiri-sendiri dan laki-laki membutuhkan hal yang mereka produksi).

Berpijak dari pendapat di atas, bahwa feminisme adalah

gerakan perempuan yang memperjuangkan persamaan hak antara

laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, sosial

dan budaya.

b. Aliran Feminisme

Pemikiran feminisme mempunyai label-label yang berbeda, label-

label ini menyiratkan bahwa feminisme bukanlah ideokogi monolitik,

bahwa feminisme tidak tidak berpikiran sama, pemikiran feminis

mempunyai masa lalu, masa kini, dan masa depan. Label pemikiran feminis

membantu menandai cakupan dari pendekatan, perspektif, dan bingkai kerja

yang berbeda, yang telah digunakan beragam feminis untuk membangun

tidak saja penjelasan mereka terhadap opresi perempuan, tetapi juga

ditawarkan pemecahan untuk menghapuskannya, (Karmini, 2011:127)

Menurut Mansour Fakih (2007:80-106), ada beberapa perspektif

yang digunakan dalam menjawab permasalahan perempuan, yaitu feminis

liberal, feminis marxis, dan feminis radikal. Aliran-aliran feminis tersebut

(43)

penyebab penindasan wanita itu, serta cara-cara pemecahan yang

ditawarkannya bagi perubahan sosial atau individual.

Hal tersebut lebih lanjut dikemukakan Iwann Abdulah (dalam

Herman J. Waluyo, 2011:112) mengaklasifikasikan analisis gender sebagai

feminisme moderat selain itu ada beberapa jenis aliran feminisme yaitu:

(1) feminis liberal, yang menganggap kodrat wanita lebih lemah dan tidak

sejajar dengan laki-laki, (2) feminisme radikal adalah jenis femininisme

yang menuntut persamaan hak lelaki dan perempuan secara total, (3)

feminisme psikoanalitik, ialah jenis feminisme yang memandang terjadinya

opresinya terhadap wanita terutama dalam hal psikis, (4) feminisme sosialis,

ialah feminisme yang memandang bahwa posisi wanita ditentukan oleh

struktur produksi, reproduksi, seksualitas, dan sosialisasi masa kanak-kanak,

(5) feminisme eksistensialis yaitu feminisme yang berpandangan bahwa

men

eksistensiny, dan (6) feminisme pasca-modern, yaitu feminisme yang

memandang bahwa pengalaman wanita berbeda dengan laki-laki karena

perbedaan klas, ras, dan budayanya.

1) Feminisme Liberal

Mounsur Fakih (2012:81), menjelaskan asumsi dasar feminisme

liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan

(equa lity) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan

(44)

dan hak yang sama antara laki-laki perempuan ini penting bagi mereka

karenanya tidak perlu pembedaan kesempatan antara laki-laki dan

perempuan.

Feminis liberal adalah setiap manusi, laki-laki maupun perempuan,

diciptakan seimbang dan serasi, karena itu semestinya tidak terjadi

penindasan. Meskipun keduanya ada perbedaan, khususnya secara

reproduksi, secara ontologis sama. Aliran ini mengupayakan agar

perempuan diberi peren publik, bekerja di luar rumag, sehingga tidak terjadi

dominasi jenis kelamin.

Riant Nugroho (2011:66), berpendapat bahwa feminis liberal lebih

dikenal karena memberi dampak nyata, misalnya pendirian pusat kajian

perempuan, proyek pengentasan kemiskinan, perubahan

perundang-intervensi

lain

Aliran feminisme liberal ini, menolak segala bentuk diskriminasi

terhadap, hal ini mampu membawa kesetaraan bagi perempuan dalam semua

institusi publik dan untuk memperluas penciptaan pengetahuan bagi

perempuan agar isu-isu tentang perempuan tidak lagi diabaikan,

(Sugihastuti, 2007:97). Lebih lanjut Herman J. Waluyo, (2011:112),

menyatakan bahwa feminis liberal, menganggap kodrat wanita lebih lemah

dan tidak sejajar dengan laki-laki,

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa feminis

(45)

pembatasan kebebasan individu. Oleh karena itu, tuntutan feminisme liberal

adalah perempuan harus diberi kesempatan dalam institusi-institusi

pendidikan dan ekonomi agar sejajar dengan laki-laki.

2) Feminisme Marxis

Soenarji Djajanegara (2000:30) menjelaskan bahwa penindasan

terhadap perempuan terjadi karena adanya pembedaan kelas dalam

masyarakat. Kaum perempuan disamakan dengan kelas buruh yang hanya

memiliki modal tenaga dan tidak memiliki modal uang atau alat-alat

produksi. Kaum perempuan ditindas dan diperas tenaganya oleh kaum

laki-laki yang disamakan dengan pemilik modal dan alat-alat produksi.

Feminis marxis menawarkan bahwa kemandirian ekonomi

perempuan, dengan reintrukduksi kiprah perempuan di sektor publik.

Perempun tidak harus bergantung pada laki-laki, kemandirian ekonomi

perempuan memperoleh yang sejajar dengan laki-laki, feminis marxis sering

diserang karena dianggap ingin menghancurkan keluarga, tetapi yang

dihancurkan adalah keluarga sebagai relasi ekonomi yang biasanya

menempati perempuan sebagai -laki sebagai

Menurut Luxemburg (dalam Karmini, 2011:131), bahwa akar

masalah ketimpangan perempuan dan laki-laki adalah sistem klasisme

bukan seksisme. Menurut Marxis, hanya dengan penghapusan kelas secara

(46)

diselesaikan. Untuk itu perlu dilakukan perubahan penindasan struktur

ekonomi dan membangkitkan kesadaran kelas di masyarakat.

Fakih (2012:86-89), menyatakan bahwa feminis marxis menolak

keyakinan kaun feminis radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar

pembedaan gender, akan tetapi penindasan perempuan merupakan bagian

dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Jaman kapitalisme,

penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh berbagai cara dan alasan

karena menguntungkan. Pertama, melalui eksploitasi pulang ke rumah,

yakni membuat laki-laki di pabrik bekerja lebih produktif. Kedua, kaum

perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi

buruh murah. Ketiga, masuknya buruh perempuan menguntungkan sistem

kapitalime, dengan alasan; pertama, upah buruh perempuan lebih rendah,

dan kedua, dengan masuknya perempuan dalam sektor perburuhan juga

dianggap menguntungkan sistem kapitalisme karena dianggap sebagai

proses penciptaan buruh cadangan yang tak terbatas.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penindasan

kaum perempuan terjadi akibat adanya pembagian kelas dalam masyarakat

yakni perempuan dianggap kaum proletar sedangkan laki-laki dianggap

sebagai kaum borjuis. Adapun jalan keluar menurut aliran marxis ini adalah

dengan cara menghilangkan pembagian kelas dalam masyarakat.

3). Feminisme Sosialis

Soenarji Djajanegara (2000:30), menjelaskan feminisme aliran

(47)

kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis ini mencoba mengungkapkan

bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas.

Menurut Sugihastuti (2007:98), feminis sosialis berusaha

melakukan kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme secara

bersamaan dengan kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan

domonasi, subordinasi, dan marginalisi atas kaum perempuan.

Menurut Samhuri (2004:45), femins sosial menawarkan bahwa

perjuangan perempuan hanya akan berhasil jika sistem pemilikan pribadi

berhasil dihancurkan dan lalu berhasilnya tranformasi sosial masyarakat

yang menghancurkan kelas-kelas dan penguasa alat-alat produksi segelintir

orang untuk diserahkan dan dikelola secara sosial

Goldenberg (2007:12), menyatakan dalam feminisme sosial

perempuan yang diperdebatkan essentialise perempuan, dan kontra

konstruksionis sosial feminis menyumbang lebih lanjut oleh essentialised

tidak termasuk pengalaman hidup perempuan terpinggirkan, seperti

perempuan miskin dan kelas pekerja, perempuan warna, dan lesbian.

The problem of exclusion ha s been widely cha ra cterised a s essentialism. Sex

istconstructions of women a re ar gued to essentia lise women, a nd feminist

socia l constructionist counter a ccounts further essentia lised by excluding

the lived experiences of margina lised women, such as poor and

(48)

Menurut Herman J. Waluyo (2011:112), feminisme sosialis ialah

feminisme yang memandang bahwa posisi wanita ditentukan oleh struktur

produksi, reproduksi, seksualitas, dan sosialisasi masa kanak-kanak.

Feminis sosialis lebih dipengaruhi oleh pemikir abad ke-20, seperti

Loui Althursser dan Jurgen Harberman (dalam Karmini, 2011:132),

menegaskan bahwa penyebab fundamental opresi terhadap perempuan

bukanlah klasisme, melainkan suatu keterkaitan yang sangat rumit antara

kapitalisme dan patriarki. Feminis Marxis dan sosialis percaya bahwa

opresi terhadap perempuan bukan hasilntindakan sengaja dari satu individu,

melainkan produk dari suatu politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu

hidup.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme

sosialis memandang ketertindasan perempuan terjadi akibat adanya

manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konruksi sosial dalam

masyarakat. Aliran ini merupakan gerakan untuk membebaskan kaum

perempuan melalui perubahan struktur patriakat untuk kesetaraan gender.

4) Feminisme Radikal

Riant Nugroho (2011:67), menjelaskan bahwa ada dua sistem kelas

dalam feminisme radikal, yaitu sistem kelas ekonomi yang didasarkan pada

hubungan produksi dan sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan

reproduksi. Sistem kedualah yang menyebabkan penindasan terhadap

perempuan sedangkan konsep patriarki merujuk pada sistem kelas kedua ini,

(49)

pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki atas kapasitas reproduksi

perempuan.

Dijelaskan oleh Fakih (2012:84-85), feminis radikal merupakan

revolusi terjadi setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk merubah

gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum

laki-laki. Lebih lanjut dinyatakan Herman J. Waluyo (2011:112), feminisme

radikal adalah jenis femininisme yang menuntut persamaan hak lelaki dan

perempuan secara total.

Feminis radikal bertumpu pada pandangan bahwa penindasan

terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan

merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki, feminis

radikal mempermasalahkan antar lain tubuh serta hak-hak reproduksi,

seksualitas (termasuk lesbianesme), seksisime, relasi kuasa perempuan dan

laki-laki dikotomi privat publik, (Sugihastuti, 2007:97).

Menurut Karmini (2011:129-130), feminisme radikal adalah

patriarkis, rasisme, eksploitasi fisik, heteroseksisme, dan klasisme terjadi

secara signifikan. Upaya yang harus dilakukan adalah mengubah

masyarakat yang berstruktur patriarkis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme

radikal memandang penguasaan kaum laki-laki terhadap perempuan dari

(50)

Feminis liberal menegaskan bahwa ketertindasan perempuan terjadi

karena adanya pembatasan kebebasan individu. Oleh karena itu, tuntutan

feminisme liberal adalah perempuan harus diberi kesempatan dalam

institusi-institusi pendidikan dan ekonomi agar sejajar dengan laki-laki.

Feminisme marsix memandang penindasan kaum perempuan

terjadi akibat adanya pembagian kelas dalam masyarakat yakni perempuan

dianggap kaum proletar sedangkan laki-laki dianggap sebagai kaum borjuis.

Adapun jalan keluar menurut aliran in adalah dengan cara menghilangkan

pembagian kelas dalam masyarakat.

Feminisme sosialis memandang ketertindasan perempuan terjadi

akibat adanya manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konruksi

sosial dalam masyarakat. Aliran ini merupakan gerakan untuk

membebaskan kaum perempuan melalui perubahan struktur patriakat untuk

kesetaraan gender.

Feminisme radikal memandang penguasaan kaum laki-laki

terhadap perempuan dari sudut seksualitas merupakan bentuk penindasan

perempuan.

c. Kritik Sastra Feminisme

Citra kritis feminisme terutama berkaitan dengan karakter-karakter

wanita diwakili dalam satra, terutama dalam karya-karya yang ditulis oleh

kaum pria. Lebih lanjut, Josephine Donovan (dalam Retno Winarni, 2009:

178), menyatakan kritik feminis perioritas pertama yaitu mengubah

(51)

kaum pria sebagai yang lain, sebagai objek perhatian hanya jika mereka

melayani atau menyimpang dari tujuan protagonis laki-laki.

Kritik Feminis terhadap rasio kerap kali berhubungan dengan apa

, kritik ini mengungkapkan bahwa

koherensi yang tampak dalam rasio sebenarnya bergantung pada pengucilan

dan penindasan atas pelbagai ciri yang berkaitan dengan sifat feminin. Hal

ini khusus pada penalaran hukum yang memperoleh legimitasi dari sifat

abstrak dan universal.

Menurut Djajanegara (dalam Retno Winarni, 2009:177),

perkembangan paham feminis dalam budaya Barat di Inggris dan Amerika,

berkisar tahun 1960-an. Tujuan ini meningkatkan kedudukan dan derajat

perempuan (wanita) agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajad

laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini

mencakup berbagai cara, termasuk lelalui bidang sastra

Lebih lanjut dinyatakan (Soenarjati Djajanegara, 2000:15-16),

berkat perjuangan para feminis, wanita Amerika (khususnya) mengalami

banyak perbaikan di bidang-bidang kehidupan. Feminis-feminis terpelajar,

terutama berkecimpung di perguruan tinggi, juga menyadari adanya

kebijakan berdasarkan seksisme yang sampai waktu itu masih diberlakukan

di berbagai bidang ilmu. Berbagai disiplin ilmu hanya memberi sedikit

perhatian kepada, atau sama sekali mengabaikan, wanita sebagai kajian.

(52)

Menurut Sugihastuti, Suharto (2010:61), feminisme merupakan

gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan

menentukan dirinya sendiri.

Kuntha Ratna (2005:418), Menjelaskan bahwa kritik sastra

feminisme adalah membaca dan menilai karya sastra sebagai perempuan.

Kritik ini beraggapan bahwa pada dasarnya jenis kelamin, yaitu laki-laki

dan perempuan, berpengaruh besar dalam proses analisis masalah,

khususnya analisis dalam analisis karya sastra.

Bertitik tolak dari uraian di atas, bahwa kritik sastra feminisme

merupakan kajian karya sastra yang mendasarkan pada pandangan

feminisme yang menginginkan adanya kesamaan antara perempuan dengan

laki-laki, dan keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik

sebagai penulis maupun dalam karyasastra-karyasastranya. Pengkritik

memandang sastra dengan kesadaran, khusus adanya jenis kelamin yang

berhubungan dengan sastra, budaya, dan kehidupan.

Annete Kolodny (dalam Soenarjati Djajanegara, 2000:19), kritik

sastra feminis membeberkan wanita menurut stereotipe seksual, baik dalam

kesusastraan maupun dalam kritik sastra, dan menunjukkan bahwa

aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai yang telah dipakai dalam

mengkaji tulisan wanita adalah tidak adil dan tidak peka.

Menurut Selden (dalam Retno Winarni, 2009:181-182), eksistensi

kewanitaan dalam kritik sastra ada lima pokok masalah yaitu: (1) biologis,

Gambar

Gambar 2. Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar. Jadwal Kegiatan Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Planning (Perencanaan) ... Prinsip-prinsip Manajemen Sekolah ... Memprioritaskan tujuan di atas kepentingan pribadi dan kepentingan mekanisme kerja ... Mengkoordinasi wewenang

Selain daya serap otak pada anak didapat melalui makanan yang bergizi, hal lain yang mendukungnya adalah melalui prose pembelajaran yang formal atau pendidikan yang tepat. Kendala

Judul Tugas Akhir : Program Bantu Pembelajaran Bahasa Prancis Sesuai Dengan Kompetensi Dasar SMA Kelas XI studi kasus di SMA 11 Semarang.. Tugas Akhir ini telah diujikan

[r]

Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan : (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan,

Masalah yang ditemukan dalam studi pendahuluan terdapat 2 konfeksi dengan tingkat kebisingan lebih dari 85 dB, lama kerja antara 7-9 jam dan banyak pekerja yang tidak

Informasi secara rinci dapat dilihat di website www.jakarta.go.id 2.. Untuk pengaduan dapat

Tujuan khusus dalam penelitian ini, antara lain (1) Mengidentifikasi ketersediaan makanan jajanan di warung sekolah; (2) Mengidentifikasi karakteristik siswa dan