commit to user
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM
NOVEL
TUAN GURUKARYA SALMAN FARIS
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Prasyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh
Syahrizal Akbar
S841108032
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
commit to user
v
MOTO
Matahari dan bulan muncul pada waktunya masing-masing
Waktu yang tepat tak menunggu siapa pun.
Waktu yang tepat sulit diperoleh, namun mudah dilewatkan.
Itulah sebabnya orang bijak menghargai waktu yang sedikit daripada sepotong
permata.
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
1.
Kedua orang tuaku; Abubakar, S.Pd. dan Rohana, S.Pd. yang selalu
mencurahkan kasih sayang , doa, dan bantuan materil serta nonmateril.
2.
Kakanda Heri Setiawan Putra, S.Pd. dan adikku Ikrimatul Ismi yang selalu
memanjatkan doa dan memberikan dukungan.
3.
Seluruh keluarga besar H. Karim Khalik dan H. Zakaria Maman, Paman,
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat-Nya. Atas ridha dan karunia-Nya tesis ini dapat saya
selesaikan. Dalam penyelesaian tesis ini, saya memperoleh bantuan dari berbagai
pihak. Karena itu, pada kesempatan ini dengan tulus saya menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak berikut ini.
1.
Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret, yang
telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan Program Pascasarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan kepada
peneliti untuk melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret.
3.
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan arahan dan petunjuk hingga selesainya tesis ini.
4.
Prof. Dr. Andayani, M.Pd. sekretaris Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia sekaligus selaku pembimbing II yang berkenan meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan arahan dengan penuh kesabaran,
ketekunan, dan ketelitiannya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
5.
Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. selaku pembimbing I yang telah berkenan
commit to user
viii
penuh kesabaran, ketekunan, dan ketelitiannya, sehingga tesis ini dapat
diselesaikan.
6.
Bapak dan Ibu Dosen Pragram Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada peneliti sehingga
dapat menjadi bekal untuk penyusunan tesis.
7.
Orang tua, kakak, dan adik yang selalu mendoakan dan memberikan
dukungan materil maupun non materil kepada peneliti.
8.
Khusus kepada Trisnawati Hutagalung, M. Pd. yang selalu memotivasi dan
membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
9.
Rekan terdahulu yang memberikan arahan dan motivasi kepada peneliti; Pak
Dokter Budi, Kurnia Taufik, Bli Made Sutaryawan, Gede Prapta Cahya, Bayu
‘Bondol’, dan Ade Asih Susiaritantri.
10.
Rekan serantau; Pak Dewa, Kamajaya ‘Kabhet’, Eka ‘Sukrok’, Yudi
‘Bracuk’, Yadi, Fili, Fahmi, Kak Rima, Agnes, Yuvita Eri, Luh Eka, Nia,
adinda Hespy ‘Pepy’, serta Khalid-Rafi yang memberikan doa serta motivasi
dalam penyelesaian tesis ini.
11.
Bunda Netty Yuniarti, Bunda Fitriani, Bunda Rini Agustina, Bunda Herlina,
Joko Purwanto, M. Jaelani Alpansori, Apri Kartika, Dian Ratna, Miranti
Sudarmaji, Nur Irfansyah, Anang Sudigdo merupakan teman seperjuangan
dalam menuntut ilmu dan saling memotivasi.
12.
Seluruh staf administrasi pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret yang telah memberikan fasilitas untuk kelancaran studi penulis.
commit to user
ix
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan, dan kiranya Tesis ini
memberikan manfaat dan kontribusi yang berarti dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
Surakarta, Desember 2012
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...
PENGESAHAN PEMBIMBING ………...
PENGESAHAN PENGUJI………...
SURAT PERNYATAAN ……….
MOTO...
PERSEMBAHAN...
KATA PENGANTAR ………..
DAFTAR ISI ……….
ABSTRAK ………
ABSTRACT
………
BAB 1 PENDAHULUAN ………
A.
Latar Belakang ………...
B.
Rumusan Masalah ………..
C.
Tujuan Penelitian ………...
D.
Manfaat Penelitian ……….
BAB II LANDASAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN
KERANGKA BERFIKIR ………...
A.
Landasan Teori ………...
1.
Hakikat Kajian Sosisologi Sastra ………..…………...
a.
Pengertian Sosiologi Sastra ………
b.
Perspektif Sosiologi Sastra ………
c.
Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra ………...
2.
Hakikat Novel ………..………
a.
Pengertian Sastra ………..
b.
Pengertian Novel ………
3.
Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel ………...
a.
Pengertian Nilai Pendidikan dalam Novel ……….
commit to user
xi
b.
Jenis-jenis Nilai Pendidikan dalam Novel ……….
4.
Sastra dalam Konteks Sosiobudaya ……….
5.
Pandangan Masyarakat Lombok terhadap Eksistensi
Tuan Guru ………
B.
Penelitian yang Relevan ………...
C.
Kerangka Berpikir ………..
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….
A.
SettingPenelitian ………...
B.
Rancangan Penelitian ………....
C.
Metode Penelitian ………..
D.
Bentuk dan Strategi Penelitian ………..
E.
Data dan Sumber Data ………...
F.
Teknik Pengumpulan Data ……….
G.
Validitas Data ……….
H.
Teknik Analisis Data ………..
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………...
4.1 Hasil Penelitian ………..
1. Pandangan Dunia Pengarang terhadap Eksistensi Tuan Guru dalam
Novel
Tuan Guru………..
2. Latar Belakang Sosial-Budaya Masyarakat dalam Novel
Tuan Guru……
a.
Adat dan Kepercayaan ………..
b.
Pekerjaan ………
c.
Pendidikan ………..
d.
Agama ………...
e.
Tempat Tinggal ……….
f.
Bahasa ………
g.
Suku ………...
3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel
Tuan Guru………..
a.
Nilai Pendidikan Sosial ……….
b.
Nilai Pendidikan Moral ………..
c.
Nilai Pendidikan Budaya ………...
commit to user
xii
d.
Nilai Pendidikan Agama ………
e.
Nilai Pendidikan Ekonomi ……….
f.
Nilai Pendidikan Politik ……….
g.
Nilai Pendidikan Historis ………..
4.2 Pembahasan ………
1. Pandangan Dunia Pengarang terhadap Eksistensi Tuan Guru dalam
Novel
Tuan Guru………..
2. Latar Belakang Sosial-Budaya Masyarakat dalam Novel
Tuan Guru…...
3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel
Tuan Guru………..
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A.
Simpulan ………
B.
Implikasi ………
C.
Saran ………..
DAFTAR PUSTAKA ………
LAMPIRAN
79
82
84
86
90
90
93
102
119
126
128
commit to user
xiii
SYAHRIZAL AKBAR. NIM: S8
4
1108032. 2012.
Kajian Sosiologi Sastra danNilai Pendidikan dalam Novel “Tuan Guru” Karya Salman F aris
. TESIS.
Pembimbing I: Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. II: Prof. Dr. Andayani, M.Pd.
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan
dunia pengarang mengenai eksistensi Tuan Guru, latar belakang sosial budaya
masyarakat, dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel
Tuan Gurukarya Salman Faris.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode
content analysis
atau analisis isi. Metode ini digunakan untuk menelaah isi dari
suatu dokumen. Dokumen dalam penelitian ini adalah novel
Tuan Gurukarya
Salman Faris. Tahapan analisis dokumen dimulai dari tahap pembacaan,
pencatatan dokumen, hingga analisis dokumen. Validitas data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan
meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Lombok,
khususnya Lombok Timur berdasarkan kacamata Salman Faris menganggap
bahwa tuan guru merupakan sosok yang mampu memberikan garansi masuk
surga, doa yang dipanjatkan tuan guru lebih cepat diijabah oleh Allah
dibandingkan manusia lainnya dan masyarakat tidak memandang ada cela sedikit
pun dari sosok tuan guru. Latar belakang sosial budaya masyarakat mencakup
adat dan kepercayaan, pekerjaan, pendidikan, agama, tempat tinggal, bahasa, dan
suku. Adapun nilai-nilai pendidikan yang terkandung adalah pendidikan sosial,
moral, budaya, agama, ekonomi, politik, dan historis.
commit to user
xiv
SYAHRIZAL AKBAR. NIM: S8
4
1108032. 2012.
Sociological Literature andEducational Value Investigation in Novel Entitled “Tuan Guru” by Salman F aris.
THESIS. Advisor I: Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. II: Prof. Dr. Andayani,
M.Pd. Indonesian Education Study Program, Postgraduate Program, Sebelas
Maret University.
ABSTRACT
This research aims are describe and explain the writer’s point of view by the
existence of Tuan Guru, society’s socio-cultural background, and educational
values involved in the novel entitled
Tuan Guruby Salman Faris.
This research method is descriptive qualitative research by using content
analysis
.This method is used to research the content of a document. The
document of this research is novel entitled
Tuan Guruwritten by Salman Faris.
The document analyzing phases are started from reading phase, document
recording, up to document analysis. Data validity that is used in this research is
theoretical triangulation. Analysing data technique which is used involves data
colection, data reduction, data presentation, and conclusion.
The result of this research points out that the majority of Lombok society,
especially Eastern Lombok in Salman Faris’ point of view, considers that Tuan
Guru is a figure that could give a guarantee to reach the Heaven, the prayer which
is uttered by Tuan Guru would be granted by God quicker than any other people,
and the society does not see any single flaw from the figure of Tuan Guru. The
socio-cultural background of the society includes custom and belief, occupation,
religious educational, place of living, language, and ethnicity. In addition, the
included educational values are social, moral, cultural, religious, economic,
politic, and historical education.
Keywords: novel, content analysis, sociological literature, and educational value
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Karya sastra merupakan sebuah replika realitas kehidupan yang
ditampilkan pengarang dengan bantuan daya imajinasinya. Karya sastra dianggap
sebagai cermin kehidupan yang mengalir di tengah-tengah masyarakat. Hal ini
mengingat bahwa sebuah karya sastra tidak akan pernah lahir dari kekosongan
sosial budaya yang terjadi dalam siklus kehidupan suatu masyarakat.
Fenomena-fenomena yang diangkat oleh seorang sastrawan dalam karya
sastra meliputi hampir segala aspek kehidupan yang dialami oleh masyarakat. Hal
tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Waluyo (2002: 51) yang
menyatakan bahwa latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan,
adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, dalam cara berpikir, cara
memandang sesuatu, dan sebagainya.
Ramuan antara realitas kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat
dengan daya imajinasi pengarang menghasilkan sebuah rentetan kisah kehidupan
yang terlihat nyata walaupun unsur fiktif yang dibubuhkan oleh pengarang
terkadang seimbang bahkan lebih dari kenyataan yang dilukiskan. Namun,
pemilihan unsur fiktif yang memang masuk akal membuat sebuah karya sastra
memiliki nilai tinggi baik sebagai teladan maupun refleksi kehidupan.
Dengan membaca sebuah karya sastra, pembaca akan mendapat gambaran
tentang keadaan sebuah tempat yang dilukiskan dalam karya sastra, baik tentang
commit to user
masyarakatnya maupun kondisi tempat yang dilukiskan dalam sebuah karya
sastra.
Novel sebagai salah satu jenis karya satra menampilkan sebuah dunia yang
mengemas model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun
melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan
penokohan), latar, sudut pandang, dan sebagainya yang kesemuanya juga bersifat
imajinatif (Nurgiyantoro, 2007: 4). Novel belakangan ini banyak diminati karena
mengangkat tema-tema yang dekat dengan pembaca, juga tak luput dari unsur
ekstrinsik di samping unsur intrinsik yang memang saling bersinergi untuk
menciptakan kesatuan cerita yang padu.
Penentuan novel
Tuan Gurukarya Salman Faris sebagai objek yang dikaji
dalam penelitian ini karena novel tersebut menguak tentang kehidupan religius
dan sosial budaya masyarakat Lombok, khususnya Lombok Timur. Salman Faris
berani mengupas sisi kehidupan seorang Tuan Guru bukan hanya sisi positif tetapi
juga sisi negatifnya. Tuan Guru yang selama ini merupakan anutan semua
masyarakat Lombok dalam berperilaku dan merupakan hal yang tabu bagi seluruh
masyarakat membicarakan “kekurangannya”, berani dikupas oleh Salman Faris.
Dalam novel
Tuan Guru, Salman Faris mengemukakan beberapa watak
tokoh Tuan Guru yang sebenarnya selama ini ada di tengah-tengah kehidupan
masyarakat. Sosok Tuan Guru tidak hanya memberikan contoh prilaku yang bijak
meski dalam ceramah-ceramah yang dilakoninya menyerukan tentang kebaikan.
Tetapi sosok pencerah yang selama ini dipanggil Tuan Guru oleh masyarakat
commit to user
dilakukan. Kehidupan sosial budaya masyarakat Lombok, khususnya di daerah
peneliti di Lombok Timur, masyarakat masih memegang teguh bahwa sosok yang
sudah memiliki gelar Tuan Guru merupakan sosok terbaik, pencerah yang
mewakili Nabi, hingga bisa diibaratkan bahwa tidak ada cela bagi mereka.
Novel
Tuan Gurukarya Salman Faris yang dominan mengangkat sisi
kehidupan sosial budaya masyarakat Lombok dianalisis dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra yang memang selaras dan tepat untuk mengupas
tuntas isi novel tersebut. Ada tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra,
yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang
di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2)
penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan
(3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan
keadaan sosial budaya (Laurenson dan Swingewood dalam Endraswara, 2008:
79).
Dalam analisisnya, ketiga hal tersebut bisa diulas secara terpisah tetapi
bisa juga secara bersamaan dalam suatu penelitian sosiologi sastra. Hal ini
tergantung kemampuan peneliti untuk menggunakan salah satu perspektif atau
ketiga-tiganya sekaligus (Endraswara, 2008: 79). Semakin lengkap pemakaian
perspektif yang digunakan, semakin lengkap pula pemahaman karya sastranya.
Semuanya itu tergantung pada sasaran atau tujuan penelitian yang ingin dicapai.
Segala sesuatu yang dilukiskan oleh sastrawan dalam sebuah novel
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dikesampingkan dalam melakukan
commit to user
dalam analisisnya meskipun fokus kajian berbeda-beda, misalnya dalam
menganalisis sosial budaya masyarakat, pasti diperlukan ilmu-ilmu sosial ataupun
ilmu-ilmu budaya. Seperti yang dikemukakan oleh Goldman (1997: 493):
“ the sociologist of literature must—like any other sociologist—verify this
fact and not admit straightaway that such and such a work or such and
such a group of works which he is studying constitutes a unitary
structure” .
Terkait dengan pandangan tersebut, dalam penelitian ini mengkaji tentang
pandangan dunia pengarang, sosial budaya yang dilukiskan pengarang dalam
novel, serta nilai pendidikan yang terkandung dalam novel
Tuan Gurukarya
Salman Faris. Pengambilain nilai pendidikan sebagai salah satu masalah yang
dikaji dalam penelitian ini karena setiap karya pasti mengandung nilai-nilai
kehidupan yang mendidik pembaca. Kajian terhadap nilai pendidikan tersebut
akan menjadi nilai tambah penting bagi pembaca.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang penelitian, dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah pandangan dunia pengarang mengenai eksistensi Tuan Guru
dalam novel
TuanGurukarya Salman Faris?
2.
Bagaimanakan latar belakang sosial budaya masyarakat yang terkandung
dalam novel
TuanGurukarya Salman Faris?
3.
Nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang terkandung dalam novel
Tuan Gurucommit to user
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penenlitian ini adalahsebagai berikut.
1.
Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan dunia pengarang mengenai
eksistensi Tuan Guru dalam novel
TuanGurukarya Salman Faris.
2.
Mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial budaya masyarakat
yang terkandung dalam novel
TuanGurukarya Salman Faris.
3.
Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam novel
TuanGurukarya Salman Faris.
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang terdapat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua aspek
pokok, yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.
Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah memberikan sumbangan teori bagi
pengembangan khazanah keilmuan khususnya dalam ilmu bahasa dan sastra
Indonesia.
2.
Manfaat Praktis
a.
Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber ajar dalam mengajar materi
sastra khususnya berkaitan dengan novel.
b.
Bagi Siswa
Hasil penelitian ini menjadi bahan belajar yang dapat digunakan siswa
dalam memahami nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam sebuah
commit to user
c.
Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pelajaran dalam memahami
aspek-aspek kehidupan yang terdapat dalam sebuah karya sastra untuk
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI, PENELITIAN RELEVAN,
DAN KERANGKA BERPIKIR
A.
Landasan Teori
1.
Hakikat Kajian Sosiologi Sastra
a.
Pengertian Sosiologi Sastra
Kata “kajian” dapat berarti (1) pelajaran, (2) penyelidikan. Mengacu dari
pengertian tersebut, kata kajian mempunyai makna meluas, yaitu proses: cara,
perbuatan mengkaji, penyelidikan (pelajaran yang mendalam) dan penelaahan.
Kemudian dalam arti pelajaran yang mendalam (penyelidikan) , kata kajian bisa
memiliki kaitan makana dengan kata penenlitian, dalam arti kegiatan
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara
sistematis dan objektif untuk memcahkan suatu persoalan atau menguji suatu teori
untuk mengembangkan prinsip umum. Kata kajian bersinonim dengan kata telaah.
Kata telaah berarti penyelidikan, kajian, pemeriksaan, penelitian. Penelaahan
berarti proses, cara, perbuatan menelaah.
Dalam menganalisis sebuah karya sastra (novel) Kenny memberikan
perincian yang lengkap. Kenny (1966: 6-7) mengatakan bahwa:
“ To analyze a literary work is to identify the sparate parts that’s makes it
up (this correspondsrougly to the notion of tearing it to pieces), to
determine the relationships among the parts, and to discover the relation
of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the
understanding of the literary work as a unified and complex whole.”
commit to user
Menganalisis sebuah karya sastra adalah mengidentifikasi bagian-bagian,
menentukan hubungan antara bagian, dan menemukan hubungan
bagian-bagian untuk keseluruhan. Terakhir, analisis selalu bermuara pada pemahaman
tentang karya sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh dan kompleks.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai
cermin kehidupan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra
adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial (Endarswara, 2008: 77).
Sosiologi dan sastra memiliki objek kajian yang sama, yakni hubungan sosial
kemasyarakatan. Sastra berkembang di masyarakat sepanjang zaman dan sosiologi
merupakan ilmu yang menelaah kehidupan sosial dalam segala bentuknya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pospelov (1967: 534):
What is the relationship between literature and sociology? Literature is an
art that develops in human society throughout the ages quite independently
of sociology, whereas sociology is a science whose purpose is to discover
the objective laws of social life in all its manifestations including creative
art.
Menurut Jabrohim (2003: 158), pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut
sosiologi sastra. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda pengertian dengan
sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosio-kultural terhadap sastra.
Kajian sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan,
masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoretis tertentu, tetapi
commit to user
perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial, yang dciptakan oleh sastrawan
sebagai anggota masyarakat (Sapardi Djoko Damono dalam Jabrohim, 2003:
158-159).
Tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran
yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara
sastrawan, karya sastra, dan masyarakat (Jabrohim, 2003: 159).
Endraswara (2008: 78) menyatakan bahwa hal penting dalam sosiologi
sastra adalah konsep cermin (
mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai
mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah
ilusi atau khayalan dari kenyataan.
Pendapat yang lebih rinci disampaikan oleh Junus (dalam Sangidu, 2004:
27) mengungkapkan bahwa dalam penelitian sosiologi sastra terdapat dua corak,
yaitu (1) pendekatan
sociology of literature(sosiologi sastra) yang bergerak dan
melihat faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada suatu masa tertentu.
Jadi, pendekatan ini melihat faktor sosial sebagai mayornya dan sastra sebagai
minornya; (2) pendekatan
literary sociology(sosiologi sastra) yang bergerak dari
faktor-faktor sosial yang terdapat di dalam karya sastra dan selanjutnya digunakan
untuk memahami fenomena sosial yang ada di luar teks sastra. Jadi, pendekatan
ini melihat dunia sastra atau karya sastra sebagai mayornya dan fenomena sosial
sebagai minornya.
Kedua corak tersebut sama-sama menelaah permasalahan yang sama,
yakni hubungan antara karya sastra dan realitas sosial yang diangkat dalam karya
commit to user
dimulai dari menelaah realitas sosial yang dihubungkan dengan karya sastra,
sedangkan corak kedua memulai penenlitian dengan menelaah karya sastra yang
dihubungkan dengan realitas sosial.
Untuk melukiskan hubungan antara faktor-faktor sosial yang terkandung di
dalam teks sastra (realita literer) dengan faktor-faktor sosial yang ada di dalam
masyarakat (realita empiris), diperlukan metode dialektik (hubungan timbal balik)
antara karya sastra dengan realitas sosial (Sangidu, 2004: 28).
Lebih lanjut, Sangidu (2004: 28-29) menjelaskan bahwa teknik yang
diperlukan untuk menjalankan metode dialektik (hubungan timbal balik) antara
faktor-faktor sosial yang terkandung dalam karya sastra dengan faktor-faktor
sosial yang terkandung dalam karya sastra dengan faktor-faktor sosial yang ada
dalam masyarakat, yaitu (1) analisis faktor-faktor sosial yang terkandung dalam
karya sastra yang akan atau sedang diteliti, (2) analisis faktor-faktor sosial yang
ada dalam masyarakat atau literatur-literatur yang menjelaskan kondisi
masyarakat tempat karya yang akan atau sedang diteliti itu lahir, dan (3) kedua hal
tersebut dihubungkan untuk melihat ada kesesuaian antara faktor-faktor sosial
yang terdapat dalam karya sastra dengan faktor-faktor sosial yang ada dalam
masyarakat. Artinya, peneliti menguraikan latar belakang sosial budaya tempat
pengarang tinggal dan hidup dalam lingkungan sosialnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra
merupakan pendekatan yang menelaah tentang hubungan antara realitas sosial
yang ada dalam masyarakat dengan realitas literer yang ada dalam teks sastra
commit to user
b.
Perspektif Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia.
Sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa
depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak
bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.
Goldmann (dalam Endraswara, 2008: 79) mengemukakan tiga ciri dasar,
yaitu: (1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap
lingkungan, dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam
korelasinya dengan lingkungan, (2) kecenderungan pada koherensi dalam proses
penstrukturan yang global, dan (3) dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik
serta kecenderungan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian
struktur tersebut.
Menurut Laurenson dan Swingewood (dalam Endraswara, 2008: 79),
terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian
yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya
merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian
yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3)
penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan
keadaan sosial budaya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkam bahwa ada tiga perspektif
sosiologi sastra, yakni penelitian yang memandang karya sastra sebagai cermin
suatu masa tertentu, cermin kehidupan situasi sosial pengarang, dan sastra
commit to user
c.
Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
Untuk sasarannya sendiri, sosiologi sastra dapat diperinci ke dalam
beberapa bidang pokok, antara lain sebagai berikut.
1)
Konteks Sosial Sastrawan
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
Dalam bidang ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat
mempengaruhi sastrawan sebagai individu di samping dapat mempengaruhi
karya sastranya.
Dalam hal ini kaitan antara sastrawan dan masyarakat sangat penting,
sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu
menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka.
Abrams (1971: 198) mengatakan bahwa sastrawan sebagai anggota
masyarakat tidak lepas dari tata masyarakat dan kebudayaannya. Semuanya
itu sangat berpengaruh dalam karya sastranya ataupun tercermin dalam karya
sastranya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak
terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan
kekuatan-kekuatan pada zamannya.
2)
Sastra sebagai cermin Masyarakat
Sastra mencerminkn keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” dalam hal
ini menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering
disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini terutama harus
commit to user
mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, (2) sifat “lain dari yang
lain” seorang pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan
penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (3) genre sastra sering
merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial
seluruh masyarakat, (4) sastra yang berusaha menampilkan keadaan
masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau
diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra
yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat
secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk
mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus
dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat
(Jabrohim, 2003: 159-160).
Hubungan sastra dengan masyrakat juga disampaikan oleh Wellek dan
Warren (1956: 94):
Literature is a social institution, using as its medium language, a social
creation. They are conventions and norm which could have arisen only in
society. But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; and ‘life’ is, in
large measure, a social reality, eventhough the natural world and the
inner or subjective world of individual have also been objects of literary
‘imitation’. The poet himself is a member of society, possessed of a
specific social status; he receives some degree of social recognition and
reward; he addresses an audience, however hypothetical
Sastra adalah lembaga sosial, menggunakan sebagai bahasa pengantar
nya, ciptaan sosial. Mereka adalah konvensi dan norma yang bisa muncul
commit to user
kehidupan dalam cakupan yang besar, sebuah realitas sosial, walaupun dunia
alam dan dunia batin atau subjektif individu juga telah benda sastra 'imitasi'.
Penyair sendiri adalah anggota masyarakat, memiliki suatu status sosial
tertentu, ia menerima beberapa derajat pengakuan sosial dan penghargaan, ia
membahas penonton, namun hipotetis.
Menurut Edraswara (2008: 87-88), sosiologi sastra adalah penelitian
tentang: (a) studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif, (b) studi
lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya, (c) studi proses sosial, yaitu
bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana
mereka melangsungkan hidupnya. Sosiologi sastra juga berhubungan dengan
dunia sosial manusia, adaptasi dengan lingkungan, dan keinginan manusia untuk
mengubahnya. Dalam novel sebagai
genreutama dalam masyarakat industrial,
dapat dilihat sebagai usaha untuk menciptakan kembali kehidupan sosial manusia
dalam hubungannya dengan keluarga, politik, dan negara (Swingewood, 1071:
11).
Sasaran kajian sosiologi sastra juga dikemukakan oleh Leenhardt (1967:
517):
“ The expression 'sociology of literature' covers two very different types of
research, bearing respectively on literature as a consumer product and
literature as an integral part of
karya
social reality, or, considered fromanother angle, bearing on society as the place of literary consumption and
society as the subject of literary creation.”
Jadi, sosiologi sastra menelaah kapasitas masyarakat sebagai pencipta
commit to user
Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam sastra tersebut, selanjutnya
dihubungkan dengan beberapa hal, yakni: (a) konsep stabilitas sosial, (b) konsep
kesinambungan masyarakat yang berbeda, (c) bagaimana seorang individu
menerima individu lain dalam kolektifnya, (d) bagaimana proses masyarakat
dapat berubah secara bertingkat, (e) bagaimana perubahan besar masyarakat.
Berbagai aspek tersebut, sesungguhnya masih dapat diperluas lagi menjadi
berbagai refleksi sosial sastra, antara lain: (a) dunia sosial manusia dan seluk
beluknya, (b) penyesuaian diri individu pada dunia lain, (c) bagaimana cita-cita
untuk mengubah dunia sosialnya, (d) hubungan sastra dan politik, (e)
konflik-konflik dan ketegangan dalam masyarakat.
Dalam telaah sosiologi sastra, Goldman (1977: 99) percaya bahwa
pudarnya homologi antara struktur masyarakat dengan struktur karya sastra sebab
keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Akan tetapi,
hubungan antara struktur masyarakat dengan struktur karya sastra tidak dipahami
sebagai hubungan determinasi yang langsung melainkan dimediasi oleh apa yang
disebutnya sebagai pandangan dunia atau ideologi.
Menurut Endraswara (2008: 93), sebuah penelitian sosiologi sastra yang
lengkap seharusnya terkait dengan latar belakang sosiokultural masyarakat.
Seyogyanya, penelitian kritis sosiologi sastra mampu menggali masa lalu yang
masih relevan dengan masa kini dan mendatang.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sasaran
penelitian sosiologi sastra adalah aspek sosiologis yang terpantul dalam sastra dan
commit to user
2.
Hakikat Novel
a.
Pengertian Sastra
Secara etimologis, kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta; akar kata
sas-,
dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, member petunjuk atau
instruksi’. Akhiran –
trabiasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu
sastradapat berarti ‘alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi, atau
pengajaran’ (Teeuw, 1984: 23). Definisi tentang sastra yang dikemukakan oleh
Teeuw masih bersifat umum karena menganggap sastra sebagai sebuah buku
petunjuk atau alat yang digunakan dalam sebuah pengajaran.
Pengertian yang lebih khusus disampaikan oleh Atar Semi. Menurutnya,
sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah
manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya
(Semi, 1993; 8). Terkait dengan bahasa sebagai sebuah medium sastra diperkuat
kembali oleh Nyoman Kutha Ratna. Medium utama karya sastra adalah bahasa.
Bahasalah yang mengikat keseluruhan aspek kehidupan, disajikan melalui
cara-cara yang khas dan unik, berbeda dengan bentuk-bentuk penyajian yang dilakukan
dalam narasi nonsastra (Ratna, 2005: 16). Lebih lanjut dikemukakan bahwa
bentuk penyajian tersebut dilakukan agar peristiwa yang sesungguhnya dapat
dipahami secara lebih bermakna, lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas
dan mendalam.
Rene Wallek memberikan definisi sastra yang lebih rinci dengan
mengemukakan tiga definisi. Pertama, seni sastra ialah segala sesuatu yang
commit to user
dan bentuk; dan ketiga seni sastra bersifat imajinatif (dalam Pradopo, 2003: 35).
Berbeda dengan pendapat Rene Wallek, Badudu (1984: 5) mengemukakan bahwa
sastra adalah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan ataupun tulis yang dapat
menimbulkan rasa bagus.
Budi Darma (dalam Winarni, 2009: 7) menyatakan sastra adalah hasil
kreatifitas pengarang yang bersumber dari kehidupan manusia secara langsung
atau melalui rekaannya dengan bahasa sebagai medianya. Gazali lebih menyoroti
sastra pada penggunaan bahasa yang indah. Menurut beliau, sastra adalah tulisan
atau bahasa yang indah, yakni hasil ciptaan bahasa yang indah dan perwujudan
getaran jiwa dalam bentuk tulisan (dalam Pradopo, 2002: 32). Terkait penggunaan
bahasa yang indah, Slamet Muljana (dalam Wiyatmi, 2009: 19) menyatakan sastra
sebagai “seni kata”, yaitu penjelmaan ilham dengan kata yang tepat. Tetapi sastra
bukanlah hanya berupa rangkaian kata dan kalimat, melainkan sudah berubah
menjadi wacana, menjadi teks (Ratna, 2005: 15).
Pandangan lain disampaikan oleh Sumardjo yang menitikberatkan pada isi
sastra tersebut. Sumardjo (1992: 3) memberikan batasan sastra adalah ungkapan
pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat,
keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona
dengan alat bahasa. Selain itu, sastra dianggap sebagai karya yang berpusat pada
moral manusia, yang di satu sisi terkait dengan sejarah dan pada sisi lain pada
filsafat (Tutoli, 2000: 3).
Definisi lain tentang sastra bisa dicermati pada ciri-ciri sastra yang
commit to user
sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah
imitasi. (2) Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain; sastra
tidak bersifat komunikatif. (3) Karya sastra yang otonom itu mempunyai
koherensi antara bentuk dan isi, saling berhubungan antara bagian dengan
keseluruhan secara erat sehingga saling menerangkan. (4) Sastra menghidangkan
sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. (5) Sastra mengungkapkan
hal-hal yang tak terungkapkan.
Wujud nyata sebuah sastra adalah berupa karya sastra yang dihasilkan oleh
para sastrawan. Karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya
(Sumardjo, 1991: 5). Lebih rinci, Pradopo (2003: 59) mengemukakan bahwa
karya sastra adalah karya seni, yaitu suatu karya yang menghendaki kreativitas
dan bersifat imajinatif. Dikatakan imajinatif bahwa karya sastra itu terjadi akibat
pengananan dan hasil penganan itu adalah penenmuan-penenmuan baru,
kemudian penemuan baru itu disusun kedalam suatu sistem dengan kekuatan
imajinasi hingga terciptalah dunia baru yang sebelumnya belum ada.
Michael Zerafta dalam Elizabeth (1973: 212) menyatakan bahwa bentuk
dan isi karya sastra sebenarnya memang lebih banyak diambil dari fenomena
sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karenanya, karya sastra
sering kali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.
Karya sastra yang baik, mampu memberikan efikasi bagi penikmatnya,
memberikan obat yang mujarab bagi pembaca, mengubah tindakan masyarakat,
dan memengaruhi sikap hidup pembacanya (Endraswara, 2011: 22). Dalam buku
commit to user
karya sastra adalah sebagai: (1)
pleasing,yaitu kenikmatan hiburan. Karya sastra
dipandang sebagai pengatur irama hidup, hingga menyeimbangkan rasa. (2)
intructing
, artinya memberikan ajaran tertentu, yang menggugah semangat hidup.
Karya sastra diharapkan mencerminkan aspek didaktik.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra
merupakan hasil cipta manusia yang berupa ungkapan pengalaman, pemikiran,
perasaan, yang dituangkan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan dengan
menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
b.
Pengertian Novel
Novel memiliki banyak pengertian yang saling mengisi satu sama lain
menuju satu poros dengan tujuan pemahaman yang sama. Banyak sastrawan yang
memberikan batasan atau definisi novel meski definisi yang mereka berikan
berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda.
1)
Novel adalah bentuk sastra yang paling populer di dunia. Bentuk sastra ini
paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya
komunitasnya yang luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo dalam Arianto
Sam Di, 2008: 1).
2)
Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai
budaya sosial, moral, dan pendidikan (Nurhadi, Dawud, Yuni Pratiwi, dan
Abdul Rani dalam Arianto Sam Di, 2008: 1).
3)
Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsur, yaitu unsur
commit to user
sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra (Rustamaji dan
Agus Priantoro dalam Arianto Sam Di, 2008: 1).
4)
Novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai
unsur-unsur intrinsik (Paulus Tukam dalam Arianto Sam Di, 2008: 1).
Dari sudut pandang seni, Waluyo (2002: 36) menyatakan bahwa novel
adalah lambang kesenian yang baru yang berdasarkan fakta dan pengalaman
pengarangnya. Susunan yang digambarkan novel adalah suatu yang realistis dan
masuk akal. Kehidupan yang dilukiskan bukan hanya kehebatan dan kelebihan
tokoh (untuk tokoh yang dikagumi), tetapi juga cacat dan kekurangannya. Lebih
lanjut, beliau menyatakan bahwa novel bukan hanya alat hiburan, tetapi juga
sebagai bentuk seni yang mempelajari dan melihat segi-segi kehidupan dan nilai
baik-buruk (moral) dalam kehidupan dan mengarahkan kepada pembaca tentang
pekerti yang baik dan budi yang luhur (Waluyo, 2002: 37).
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1994: 9-10) menyatakan bahwa novel
berasal dari bahasa Itali
novella(dalam bahasa Jerman:
novelle). Secara harfiah
novella
berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai
“cerita pendek dalam bentuk prosa”. Dewasa ini pengertian
novellaatau
novellemengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris:
novellette
) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak
terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Karya sastra yang disebut
novellette
adalah karya yang lebih pendek daripada novel tetapi lebih panjang
commit to user
Pengertian yang lebih rinci disampaikan oleh Jacob Sumardjo (1999: 2)
yang menyatakan bahwa novel dalam kesusastraan merupakan sebuah sistem
bentuk. Dalam sistem ini terdapat unsur-unsur pembentuknya dan fungsi dari
masing-masing unsur. Unsur-unsur ini membentuk sebuah struktur cerita besar
yang diungkapkan lewat materi bahasa tadi.
Sebuah karya sastra (novel) merupakan sebuah struktur organisme yang
kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu (lebih bersifat) secara tidak
langsung. Sesuatu yang tidak langsung itulah yang menyebabkan sulitnya
pembaca untuk menafsirkan. Untuk itu, diperlukan penjelasan, yaitu dengan
mengadakan penelaahan atau penelitian terhadap karya sastra tersebut
(Nurgiyantoro, 1994: 31-32) .
Stanton (2007: 91) mengemukakan bahwa fisik novel yang panjang akan
mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian dari alur cerita.
Keteledoran ini akan menjadi penghalang ketika pembaca berusaha memahami
struktur perluasan tersebut, perlu melangkah mundur waktu demi waktu. Harus
sadar bahwa setiap bab dalam novel mengandung berbagai episode.
Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa pada dasarnya kebanyakan orang
mengira bahwa cara termudah untuk memahami dunia novel adalah dengan
bertanya kepada pengarangnya (Stanton, 2007: 100). Kenyataannya, pandangan
ini malah gagal ketika dipraktikkan. Sebagian besar pengarang akan menolak
ketika diminta menjelaskan karya mereka secara mendalam, atau mungkin novel
commit to user
Berpijak pada pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel
adalah cerita fiksi yang mengangkat permasalahan yang kompleks tentang
kehidupan dan tersusun atas unsur intrinsik dan ekstinsik yang padu dan saling
terikat dalam mengungkapkan setiap jalinan peristiwa yang diceritakan.
3.
Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel
a.
Pengertian Nilai Pendidikan dalam Novel
Dalam sebuah karya sastra seperti novel terdapat nilai pendidikan yang
dapat dipetik oleh pembaca. Baribin (1985: 79) berpendapat bahwa dari karya
sastra dapat ditemukan buah pikiran atau renungan dari penulis dan sanggup
menyadari nilai-nilai yang lebih halus berarti telah dapat mengapresiasi atau
menangkap nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut.
Lorens (2002: 19) mengemukakan pengertian nilai yang ditinjau dari
beberapa segi. (1) Nilai dalam bahasa Inggris
value, bahasa latin
valere(berguna,
mampu akan, berdaya, berlaku, kuat); (2) ditinjau dari segi harkat, nilai adalah
kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau
dapat menjadi objek kepentingan; (3) ditinjau dari segi keistimewaan, nilai adalah
apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai sebagai suatu kebaikan; (4) ditinjau
dari sudut ilmu ekonomi yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar
benda-benda material, pertama kali secara umum menggunakan kata “nilai”.
Sama halnya dengan Lorens, Kattsoff (dalam Soejono, 1996: 32)
memberikan perincian mengenai pengertian nilai. (1) Mengandung nilai artinya
berguna; (2) merupakan nilai, artinya baik atau indah atau benar; (3) mempunyai
commit to user
orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai tertentu; dan (4)
memberi nilai artinya menanggapi sesuatu hal yang diinginkan atau sebagai hal
yang menggambarkan nilai tertentu.
Berbeda dengan pengertian sebelumnya, pengertian lebih umum
disampaikan oleh Semi (1993: 54) yang menyatakan bahwa nilai adalah aturan
yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari
yang lain. Hal tersebut senada dengan pengertian yang dikemukakan oleh Daroeso
(1989: 20), nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau hal
yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu hal itu
menyenangkan, memuaskan, menguntungkan atau merupakan sesuatu sistem
keyakinan.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai
merupakan sesuatu yang memiliki daya guna bagi manusia dan dapat berupa
penghargaan atau apresiatif terhadap hal yang dicermati.
Selanjutnya, pengertian pendidikan menurut Soedomo (2003: 18) adalah
bantuan atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada
anak didik dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan
yang dilakukan. Sementara itu, Dewantoro (dalam Munib, 2006: 32) lebih
menyoroti pada aspek yang harus diubah setelah proses pendidikan. Beliau
mengemukakan bahwa pendidikan merupakan upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh
commit to user
Pengertian yang lebih umum disampaikan oleh Uhbiyati dan Abu Ahmadi
(2001: 70) yang mengemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan
yang secara sadar dan sengaja serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh
orang dewasa kepada anak-anak sehinggal timbul interaksi dari keduanya agar
anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung
terus-menerus.
Frietz R. Tambunan (dalam Joko Susilo, 2007: 224) menjelaskan bahwa
kata pendidikan berasal dari kata latin
educareyang secara harfiah berart
‘menarik keluar dari’ sehingga pendidikan adalah sebuah aksi membawa seorang
anak/peserta didik keluar dari kondisi tidak merdeka, tidak dewasa, dan
bergantung, situasi merdeka, dewasa, dapat menentukan diri sendiri, dan
bertanggung jawab.
Berdasarkan beberapa pengertaian tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pendidikan merupakan usaha secara sadar dan penuh tanggung jawab yang
dilakukan untuk memebrikan perubahan terhadap seseorang atau peserta didik.
Mengacu pada uraian tentang pengertian nilai dan pengertian pendidikan
di atas, maka dapat dinyatakan bahwa nilai pendidikan merupakan segala hal yang
berguna yang diberikan oleh seseorang secara sadar dan tanggung jawab dalam
usaha memberikan perubahan terhadap sikap dan tingkah laku yang lebih baik.
b.
Jenis-jenis Nilai Pendidikan dalam Novel
Adapun nilai-nilai pendidikan yang secara umum terdapat dalam novel
commit to user
1)
Nilai Pendidikan Agama
Nilai pendidikan agama atau keagamaan dalam karya sastra sebagaian
menyangkut moral, etika, dan kewajiban. Hal ini menunjukkan adanya sifat
edukatif (Nurgiyantoro, 2002: 317). Dasar dari pendidikan agama adalah hakikat
makhluk yang beragama. Tujuan pendidikan keagamaan adalah membentuk
manusia yang beragama atau pribadi yang religius.
Di samping itu, sesuai Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2
dan Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia, pendidikan
agama merupakan sehi utama yang mendasari semua segi pendidikan lainnya.
Norma-norma pendidikan kesusilaan maupun pendidikan kemasyarakatan atau
sosial sebagain besar bersumber dari agama.
Betapa pentingnya pendidikan agama itu bagi setiap warga negara terbukti
dari adanya peraturan pemerintah yang mengharuskan pendidikan agama itu
diberikan kepada anak-anak sejak pendidikan di taman kanak-kanak sampai
pendidikan tinggi.
2)
Nilai Pendidikan Moral
Moral merupakan laku perbuatan manusia dipandang dari nilai-nilai baik
dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan dimana individu
berada (Nurgiyantoro, 2002: 319). Nilai-nilai pendidikan moral tersebut dapat
mengubah perbuatan, prilaku, sikap serta kewajiban moral dalam masyarakat yang
baik, seperti budi pekerti, akhlak, dan etika (Widagdo, 2001: 30).
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra juga bertujuan untuk
commit to user
pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat
seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma yang
menjunjung budi pekerti dan nilai susila.
Nilai moral dalam karya sastra biasanya bertujuan untuk mendidik manusia
agar mengenal nilai-nilai estetika dan budi pekerti. Nilai pendidikan moral
menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang individu
atau dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma yang menjunjung
tinggi budi pekerti dan nilai susila.
3)
Nilai Pendidikan Budaya
Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat memberikan gambaran
yang jelas tentang sistem nilai atau sistem budaya masyarakat pada suatu tempat
dalam suatu masa. Nilai-nilai itu mengungkapkan perbuatan yang dipuji atau
dicela, pandangan hidup manusia yang dianut atau dijauhi, dan hal-hal yang
disanjung tinggi.
Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya
terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap sangat bernilai
dalam kehidupan. Merujuk pada pengertian tersebut, nilai budaya bersifat abstrak
yang masih tertanam dalam pemikiran masyarakat yang masih dijunjung tinggi
dari dulu hingga sekarang ini. Nilai budaya terwujud dalam pola pikir dan tingkah
commit to user
4)
Nilai Pendidikan Sosial
Nurgiyantoro (2002: 233-234) mengemukakan bahwa tata cara kehidupan
sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup
kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar
spiritual. Selain itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang
bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.
Nilai sosial menjadi pedoman langsung bagi setiap tingkah laku manusia
sebagai anggota masyarakat yang di dalamnya memuat sanksi-sanksi bagi yang
melanggar. Dengan semikian nilai sosial merupakan nilai yang berhubungan
dengan kehidupan bermasyarakat dan usaha menjaga keselarasan hidup
bermasyarakat.
Oleh karena itu, dapat dianggap bahwa nilai sosial merupakan
gagasan-gagasan dan pola ideal masyarakat yang dipandang baik dan berguna, yang telah
dituangkan dalam bentuk norma-norma, aturan-aturan dan hukum.
5)
Nilai Pendidikan Ekonomi
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih
dan menciptakan kemakmuran. Definisi lain menjabarkan ekonomi sebagai
sebuah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana manusia mencukupi kebutuhan
hidupnya. Ekonomi juga merujuk pada usaha manusia untuk bisa mengolah
sumber daya yang ada di lingkungan sekitarnya, sebagai alat pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Jika ditarik garis lurus, maka ekonomi akan berkaitan
commit to user
orang memanfaatkan dengan baik dan tepat sumber-sumber produktif seperti
tanah, tenaga kerja, barang-barang modal yang langka dan terbatas jumlahnya
untuk menghasilkan berbagai barang serta mendistribusikannya kepada anggota
masyarakat untuk dipakai dan dikonsumsi.
Ilmu ekonomi juga berkaitan dengan studi tentang manusia dalam kegiatan
hidup mereka sehari-hari untuk dapat dan menikmati kehidupan. Dalam sebuah
karya sastra, nilai pendidikan ekonomi terwujud dalam kegiatan atau pola hidup
masyarakat yang diceritakan atau para tokoh dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.
6)
Nilai Pendidikan Politik
Menurut Kartini Kartono (1996 : 64), pendidikan politik adalah bentuk
pendidikan orang dewasa dengan menyiapkan kader-kader untuk pertarungan
politik dan mendapatkan penyelesaian agar menang dalam perjuangan politik.
Selain itu, ditambahkan juga bahwa pendidikan politik adalah upaya edukatif yang
internasional, disengaja dan sistematis untuk membentuk inividu sadar politik,
dan mampu menjadi pelaku politik yang bertanggung jawab secara etis atau moril
dalam mencapai tujuan-tujuan politik.
Unsur pendidikan dalam pendidikan politik pada hakekatnya merupakan
aktivitas pendidikan diri (mendidik diri sendiri dengan sengaja) yang terus
menerus, hingga orang yang bersangkutan lebih mampu dan memahami dirinya
sendiri serta situasi kondisi lingkungan sekitar, kemudian mampu menilai segala
sesuatu secara kritis serta mampu menentukan sikap dan cara penanganan
commit to user
kehidupan bermasyarakat. Nilai politik dalam kehidupan bermasyarakat tidak
hanya berlaku dalam “panggung politik” secara langsung, tetapi dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari nilai politik tertanam dan tumbuh secara alami dan
dilakukan oleh masyarakat.
7)
Nilai Pendidikan Historis
Menurut “Bapak Sejarah” Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk
menceritakan suatu perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan
peradaban (dalam LPSA, 2007). Sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau
dalam kehidupan umat manusia. Sejarah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
manusia dan bahkan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan
manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern.
Sejarah dalam artian lain digunakan untuk mengetahui masa lampau
berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang sahih yang berguna bagi manusia
dalam memperkaya pengetahuan agar kehidupan sekarang dan yang akan datang
menjadi lebih cerah. Nilai sejarah dapat membentuk sikap terhadap permasalahan
yang dihadapi agar peristiwa-peristiwa yang berlaku pada masa lampau dapat
dijadikan pengajaran yang berguna.
4.
Sastra dalam Konteks Sosiobudaya
Dari enam asumsi dasar kajian konteks sosiobudaya berasal dari
Grebstein (Sapardi Djoko Damono dalam Endraswara 2008: 92), terdapat empat
kajian konteks sosiobudaya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, yaitu:
a) Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan
commit to user
karena setiap karya sastra pada dasarnya adalah hasil pengaruh timbal balik
yang rumit antara faktor-faktor sosial dan kultural.
b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan
teknik penulisannya, tak ada karya besar yang diciptakan berdasarkan
gagasan sepele dan dangkal.
c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama, pada hakikatnya suatu moral, baik
dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam
hubungannya dengan orang-seorang.
d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah:
pertama, sebagai suatu
kekuatan atau faktor material istimewa, dan
kedua, sebagai tradisi – yakni
kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat
kolektif. Bentuk dan isi dengan sendirinya dapat mencerminkan
perkembangan sosiologis, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang
halus dalam watak kultural.
Pendekatan sosiobudaya tersebut, dapat digunakan dalam penelitian ke
dalam dua segi.
Pertama, berhubungan dengan aspek sastra sebagai refleksi
sosiobudaya.
Kedua, mempelajari pengaruh sosiobudaya terhadap karya sastra
(Endraswara, 2008: 93).
Endraswara (2008: 93) juga menyatakan sebagai berikut.
Pendekatan yang mengungkap aspek sastra dengan refleksi dokumen
sosiobudaya, mengimplikasikan bahwa karya sastra menyimpan hal-hal
penting bagi kehidupan sosiobudaya. Memang, pendekatan ini hanya parsial,
artinya sekadar mengungkap persoalan kemampuan karya sastra mencatat
commit to user
memperhatikan struktur teks, melainkan hanya penggalan-penggalan cerita
yang terkait dengan sosiobudaya.
Sebagai disiplin ilmu yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek
yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial,
manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2007: 13).
Kaitan antara karya sastra dan konteks sosial budaya disampaikan oleh
Rushing dalam artikelnya.
“ Sociology of literature, a branch of literary study that examines the
relationship between literary work and their social context, including
pattern of literacy, kinds of audience, modes of pub lication and dramatic
presentation, and the social class position of authors and readers
(Rushing, 2004).”
Rushing mengemukakan kaitan antara sebuah karya sastra dengan konteks
sosial budaya yang bisa dijadikan teladan bagi pembaca atau penikmat sebuah
karya sastra.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra
dalam konteks sosial budaya berarti sastra terlahir dari keadaan sosial budaya
sebuah masyarakat sehingga dalam memahami sebuah karya sastra tidak bisa
dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat yang menjadi sumber lahirnya
karya tersebut.
5.
Pandangan Masyarakat Lombok terhadap Eksistensi Tuan Guru
Buehler (2009: 53) menjelaskan, keberhasilan demokrasi di Indonesia
dipengaruhi oleh pemahaman bahwa nilai-nilai demokrcasi bersumber dari ajaran
commit to user
yang mayoritas muslim,mengaktualisasikan nilai-nilaci ajaran agama dalam
konteks politik, disinalah dapat dilihat peran penting para tokoh agama dalam
mengrahkan pandangan masyrakat. Hal ini banyak terjadi pada masyrakat
tradisional, terutama yang terjadi pada masyrakat Lombok.
Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat tradisional religius, pemimpin
spiritual memiliki peranan yang lebih penting daripada yang lain. Pergeseran nilai
sosial budaya yang terjadi pada masyarakat, selain perubahan internal atau dari
dalam diri pribadi. Peran tokoh agama mendominasi pergseran nilai-nilai budaya
tresebut.
Studi sosial di Pulau Lombok tentang Tuan Guru menunjukkan bahwa
Tuan Guru sebagi pemimpin islam memegang peranan penting dalam menentukan
dn mencegah pudarnya jati diri dan kultural agama yang dianut dan dipegang oleh
masyrakat. Atmosfir budaya maupun pengetahuan dianggap tidak sejalan dengan
nila-nilai islam yang dapat menerbitkan rasa tidak aman serta mengancam jati diri
masyrakat sebagai muslim yang taat, menjadi alasan masyarakat memelihara
hubungan dengan Tuan Guru (Budiwanti, 2000: 1).
Tuan memiliki makna dasar, orang yang dianggap mulia, lebih tinggi dan
patut dihormati. Sebutan “tuan” dalam masyrakat sasak juga merujuk pada orang
yang telah melaksanakan ibadah haji. Sedangkan “guru” adalah sebutan bagi
orang yang telah mengajarkan ilmu dan pengetahuan. Dua kata ini menyiratkan
hubungan hierarkial dan dikotomis antara tuan guru dan umat (masyarakat)
commit to user
Tuan Guru adalah
assigned status,di mana predikat ini oleh masyarakat
Lombok diberikan kepada mereka yang menguasai dan mengajarkan ilmu dan tata
nilai agama. Merujuk pada kata “Tuan” dan “Guru” adalah sebutan kelas sosial
yang berdas pada