• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mobilisasi 2.1.1. Defenisi Mobilisasi - Tingkat Mobilisasi Dini Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mobilisasi 2.1.1. Defenisi Mobilisasi - Tingkat Mobilisasi Dini Pasien Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di RSUD dr. Pirngadi Medan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mobilisasi

2.1.1. Defenisi Mobilisasi

Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Perry & Potter, 2010, hlm 485). Mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Alimul, 2009, hlm 173). Kemampuan untuk tetap aktif dan bergerak secara fisik penting dalam memelihara kesehatan dan kesejahteraan (Smith – Temple, 2010, hlm 674).

(2)

paru-paru- semakin dalam napas yang dapat ditarik, semakin meningkat sirkulasi darah.

Hal tersebut dapat memperkecil resiko pembentukan gumpalan darah dan menolong saluran pencernaan agar mulai bekerja lagi (Gallacher, 2010, hlm 23; Jitowiyono, 2010, hlm 94, Oeswari, 2000, hlm 30; Smeltzer, 2002, hlm 436).

(3)

asam basa. Sistem endokrin juga meregulasi metabolisme energi. Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basa dan energi untuk sel selama aksi gastrointestinal dan hormon pankreatik (Copstead-Kirkhorn dan Banasik, 2005).

(4)

di tempat tidur akan menyebabkan penurunan fungsi muskuloskeletal dan kekuatan otot (Mangunnegoro, 2001, hlm 44; Nicholss, 2001, hlm 117; Perry & Potter, 2010, hlm 476-482; Smith –Temple, 2010, hlm 674).

Imobilisasi atau tirah baring dapat menyebabkan penurunan fungsi sensorik, perubahan respon emosional dan perilaku, seperti: permusuhan, perasaan pusing,takut dan perasaan tidak berdaya sampai ansietas ringan bahkan sampai psikosis; depresi karena perubahan peran dan konsep diri, gangguan pola tidur karena perubahan rutinitas atau lingkungan, dan perubahan koping. Imobilisasi yang lama durasinya juga akan mengakibatkan bahaya psikologis yang semakin besar pada pasien pasca laparotomi (Smith –Temple, 2010, hlm 675).

(5)

informasi dari perawat cenderung tidak melakukan mobilisasi . Dengan demikian, kebanyakan dari pasien post laparotomi dan seksio sesarea mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca pembedahan akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh. Kekhawatiran (ansietas) ini dapat meningkatkan ketidakmampuan untuk melakukan mobilisasi (Kozier,1995, hlm 970; Oswari, 2000, hlm 30; Smeltzer,2002, hlm 469).

(6)

2.1.2 Rentang Gerak Dalam mobilisasi

Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi terdapat 3 rentang gerak:

2.1.2.1 Rentang gerak pasif berguna untuk menjaga kelenturan otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif. Misalnya: perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.

2.1.2.2 Rentang gerak aktif, untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Misalnya: berbaring, pasien menggerakkan kakinya.

2.1.2.3 Rentang gerak fungsional, untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan (Alimul A, 2009, hlm 173).

2.1.3 Jenis Mobilisasi

2.1.3.1 Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.

(7)

saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

 Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan

individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversible pada sistem musculoskeletal, contohnya: dislokasi sendi dan tulang.

 Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan

individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomyelitis karena terganggunya sistem syaraf motorik dan sensorik (Alimul, 2009, hlm 174).

(8)

arah gerakan. Pada contoh : otot trapezium atas, pasien duduk di tempat tidur dengan lambat. Penurunan ini, dikontrol saat otot antagonis memanjang. Reaksi otot konsentrik dan esentrik sangat penting untuk pergerakan aktif sehingga latihan ini disebut latihan isotonik atau dinamik (Kozier, et al. 1995, hlm 998 -1000).

Latihan isotonik yang harus dilakukan adalah pasien berada dalam posisi terlentang, pasien mengencangkan otot-otot abdomen, pasien menekuk dan mengontraksikan otot-otot paha dengan mengangkat satu lutut dengan perlahan ke arah dada, pasien mengulangi sekurang-kurangnya lima kali untuk setiap tungkai sesuai kemampuan pasien . Latihan isometrik mencakup : Abdominal setting yaitu pasien meletakkan satu tangan pada abdomen ketika

pasien menegangkan otot abdomen, otot-otot abdomen akan berkontraksi dan ditahan selama 10 detik, lalu dilepaskan; Quadriseps setting: pasien mengontraksikan otot-otot panjang pada

paha, selama 10 detik ditahan dan dilepaskan; Gluteal setting: pasien mengontraksikan otot-otot bokong bersama-sama, selama 10 detik ditahan dan dilepaskan. Pasien mengulangi latihan ini 5-10 kali sesuai kemampuan. Latihan ambulasi dini terdiri dari: pasien merubah posisi miring kanan dan miring kiri (Kozier, et al. 1995, hlm 998 -1000, Perry & Potter, 2010, hlm 472) .

(9)

berpindah, dan olahraga kaki (Perry & Potter, 2010, hlm 711-715, Smeltzer, 2002, hlm 437-438) . Tabel berikut menguraikan langkah-langkah latihan yang membantu mobilisasi dini pasien pasca laparotomi dan seksio sesarea.

TABEL 1. LATIHAN PASCA OPERASI

Langkah Rasional

1. Kaji resiko komplikasi pernafasan klien

pascaoperasi. Tinjau riwayat medis untuk

mengidentifikasi kondisi paru kronis (misalnya: emfisema, asma), setiap kondisi yang mempengaruhi gerakan dinding dada, riwayat merokok, dan kurangnya Hb

Selama anestesi umum, paru-paru belum sepenuhnya mengembang selama operasi dan refleks batuk tertekan sehingga mengumpulkan lendir di bagian dalam saluran udara. Setelah operasi, klien mungkin telah mengurangi volume paru-paru dan membutuhkan upaya yang lebih besar untuk batuk dan bernafas dalam; ekspansi paru-paru yang tidak memadai dapat menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Kondisi paru-paru kronis sebelumnya meningkatkan resiko klien untuk mengembangkan kompilasi

pernafasan. Merokok merusak silia yang bertugas membersihkan saluran pernafasan dan meningkatkan sekresi lendir. Berkurangnya kadar

hemoglobin menyebabkan oksigen tidak memadai.

2. Kaji kemampuan untuk batuk dan bernafas dalam dengan menyuruh klien mengambil nafas dalam, amati

pergerakan, bahu dan dinding dada.Ukur ekskursi dada selama nafas dalam. Minta klien untuk batuk setelah mengambil nafas dalam.

Mengungkapkan potensi maksimum ekspansi dada dan kemampuan untuk batuk; digunakan sebagai dasar untuk melakukan mobilisasi setelah operasi.

3. Kaji resiko pembentukan trombus pascaoperasi (misalnya: klien lansia,

Statis vena, hiperkoagulabilitas dan trauma vena memunculkan

(10)

mereka yang memiliki kanker yang aktif dan klien yang imobilisasi). Perhatikan untuk kelembutan daerah sepanjang distribusi sistem vena,

bengkak betis/paha, pitting edema di kaki simptomatik, dan vena superfisial kolateral.

( Lewis et al. 2007). Setelah anastesi umum,sirkulasi melambat dan ketika tingkat aliran darah melambat, ada kecenderungan pembentukan gumpalan. Immobilisasi

mengakibatkan penurunan kontraksi otot di bawah kaki, yang menyebabkan statis vena.

4. Kaji kemampuan klien untuk bergerak secara mandiri ketika di tempat tidur

Menentukan adanya keterbatasan pergerakan

5. Jelaskan latihan pascaoperasi kepada klien termasuk pentingnya pemulihan dan manfaat fisiologis

Informasi memungkinkan klien utnuk memahami pentingnya latihan dan dapat memotivasi melakukan mobilisasi

6. Demonstrasikan latihan

a) Pernafasan diafragma

- Bantu klien berada dalam posisi duduk yang nyaman di sisi tempat tidur

- Berdiri atau duduk berhadapan dengan klien - Klien menempatkan

telapak tangan bersilangan satu sama lain, ke bawah dan di sepanjang batas bawah tulang rusuk

anterior. Klien meletakkan ujung jari ketiga dengan lembut

- Klien mengambil nafas lambat dan nafas dalam, menghirup melalui hidung dan klien mendorong perut melawan tangan

- Klien terus bernafas lambat dan panjang saat hitungan ketiga, klien membuang nafas perlahan melalui mulut seperti mulut seakan meniup sebuah lilin (bibir kerucut)

-Posisi tegak memungkinkan ekskursi diafragmatik

-Biarkan klien mengamati latihan pernafasan

-Posisi tangan memungkinkan klien merasa gerakan dada dan perut ketika diafragma turun dan paru-paru berkembang

-Mengambil nafas lambat dan dalam, mencegah klien terengah-engah atau hiperventilasi. Menghirup melalui hidung dapat menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara. -Memungkinkan untuk

(11)

- Klien mengulangi latihan pernafasan tiga sampai lima kali

- Klien mengambil 10 kali nafas lambat setiap jam

b)Spirometer Insentif (SI)

-Klien mengambil posisi semi fowler

-Klien menghirup perlahan dan mempertahankan aliran konstan melalui unit, berusaha untuk mencapai inspirasi maksimal, klien menahan nafas terus selama 3-5 detik, lalu membuang nafas

perlahan.Jumlahnya tidak melebihi 10-12 kali persesi. -Klien bernafas secara

normal untuk periode singkat diantara 10 nafas pada SI

-Klien mengulangi latihan sampai tujuan tercapai -Klien mengakhiri dengan

dua batuk setelah akhir nafas 10 SI.

c) Batuk terkontrol

- Klien mengambil posisi semi fowler

- Klien mengambil nafas lambat dan

dalam,menghirup melalui hidung dan membuang melalui mulut. Jumlahnya 2x berturut-turut.

- Selama latihan pernafasan, klien menekan lembut daerah insisi untuk membelat atau

mendukungnya dengan menggunakan bantal.

-Pengulangan latihan memperkuat proses belajar

-Nafas dalam secara teratur

mencegah komplikasi pasca operasi seperti atelektasis dan pneumonia. - Meningkatkan ekspansi paru

optimal selama latihan pernafasan - Menjaga inspirasi secara maksimal

dan mengurangi resiko keruntuhan progresif dari alveoli seseorang. Nafas lambat mencegah atau mengurangi nyeri akibat perubahan tekanan mendadak dalam dada.

- Mencegah hiperventilasi dan kelelahan

- Memastikan penggunaan spirometer dengan benar - Batuk akan membantu

memobilisasi sekresi paru.

- Posisi memfasilitasi ekskursi diafragma dan meningkatkan ekspansi dada.

- Nafas dalam mengembangkan paru-paru sepenuhnya sehingga udara bergerak ke belakang lendir dan memfasilitasi efek batuk

(12)

- Klien menarik nafas dalam tiga kali dan menahan nafas saat hitungan ke tiga. Kemudian membatukkan secara penuh selama dua atau tiga kali berturut-turut

d)Berpindah

- Klien mengambil posisi telentang dan pindah ke sisi tempat tidur. Klien

bergerak menekuk lutut dan menekan tumit melawan kasur untuk mengangkat dan memindahkan

pantat.Pembatas di kedua ssi tempat tidur harus dalam keadaan berdiri. - Klien menempatkan tangan

kanan di atas daerah insisi untuk membelatnya. - Klien untuk menjaga kaki

kanan tetap lurus dan tekuk lutut kiri ke atas

- Klien memegang sisi kanan pegangan tempat tidur dengan tangan kiri, tarik ke kanan, dan klien berguling ke sisi kanan.

- Klien berpindah setiap 2 jam

e) Latihan kaki

- Klien terlentang ditempat tidur. Klien menunjukkan latihan kaki dengan melakukan latihan rentang gerak pasif

- Klien memutar tiap mata kaki dengan lingkaran penuh. Klien mengulangi sebanyak 5 kali

- Klien melakukan dorsofleksi dan

fleksiplantar pada kedua kaki. Klien mengulangi

- Posisi di mulai pada sisi tempat tidur sehingga berbalik ke sisi lain tidak akan menyebabkan klien meluncur arah tepi tempat tidur

- Mendukung dan meminimalkan tarikan garis jahitan selama berpindah.

- Kaki lurus menstabilkan posisi klien. Kaki kiri tertekuk mengubah titik berat untuk memudahkan berpindah.

- Menarik ke sisi tempat tidur mengurangi usaha yang diperlukan untuk berpindah.

- Mengurangi resiko komplikasi vaskular

- Memberikan posisi normal anatomi ekstremitas bawah - Latihan kaki mempertahankan

mobilitas sendi dan

mempromosikan vena kembali untuk mencegah trombus. - Meregangkan dan

mengontraksikan otot gastrocnemius

(13)

sebanyak 5 kali

- Klien melakukan latihan kuadrisep dengan

mengencangkan paha dan membawa lutut ke arah kasur , kemudian relaksasi. Klien mengulangi

sebanyak 5 kali

- Klien secara bergantian mengangkat masing-masing kakilurus ke atas dari permukaan tempat tidur , kaki tetap lurusdan kemudian klien

membengkokkan kaki pada pinggul dan lutut. Klien mengulangi sebanyak 5 kali

- Mempromosikan kontraksi dan relaksasi otot quadriceps

(Sumber: Perry & Potter, 2010, hlm 711-716)

2.1.4 Gangguan Mobilisasi Pasien di Tempat Tidur

Gangguan mobilisasi pasien di tempat tidur adalah pembatasan kemampuan gerak pasien dari satu posisi di tempat tidur ke posisi yang lain. Gangguan kemampuan gerak meliputi kemampuan untuk bergerak dari terlentang menjadi lama duduk, kemampuan bergerak dari terlentang menjadi rawan atau rentan terhadap terlentang bergerak dari terlentang menjadi duduk atau duduk untuk terlentang (Wilkinson, 2005, hlm.303).

Menurut Judith M. Wilkinson (2005) berdasarkan NIC (Nursing Interventions Classification) and NOC (Nursing Outcomes

(14)

dengan gangguan mobilisasi adalah memberikan rasa nyaman dan mencegah terjadinya komplikasi yang bisa menyebabkan pasien tidak dapat bergerak dari tempat tidur, memfasilitasi pasien untuk mampu bergerak dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga mencegah terjadinya kelelahan dan cedera muskuloskletal; melatih kekuatan otot dan menganjurkan pasien latihan therapy serta mampu melakukan perawatan diri secara mandiri. Perawat hendaknya mampu menilai kemampuan pasien untuk melakukan mobilisasi secara mandiri, menilai tingkat penurunan kesadaran pasien, menilai kekuatan otot dan kemampuan rentang gerak (ROM), menilai kebutuhan pasien akan peralatan medis, menginstruksikan pasien untuk melakukan latihan gerakan aktif dan pasif ROM untuk meningkatkan kekuatan otot.

(15)

2.1.5 Tingkat Mobilisasi

Tingkat Mobilisasi dini dikategorikan menjadi 5 tingkatan yaitu: a. Tingkat 4 : mampu melakukan mobilisasi secara mandiri b. Tingkat 3 : memerlukan bantuan alat

c. Tingkat 2 : memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain d. Tingkat 1 : memerlukan bantuan dan pengawasan dari orang lain

disertai dengan bantuan alat.

e. Tingkat 0 : tidak dapat melakukan mobilisasi dini secara aktif Kontraindikasi mobilisasi adalah janin mati, syok, anemia berat, kelainan kongenital berat, infeksi piogenik pada dinding abdomen, kifosis, lordosis, skoliosis, infark miokard akut, disritmia jantung, atau syok sepsis (Wilkinson, 2005, hlm.303)

2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi

(16)

postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan pada sistem syaraf sentral dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal.

Pada umumnya, pendapat – pendapat ini mempunyai kesamaan tujuan. Berdasarkan hasil telaah, peneliti menyimpulkan bahwa ada faktor yang mempengaruh mobilisasi yaitu: gangguan sistem neuromuskuloskeletal, gaya hidup, nilai dan kepercayaan dan stress.

2.1.6.1 Gangguan Sistem Neuromuskuloskeletal

Gangguan sistem neuromuskuloskeletal terdiri dari: abnormalitas postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan pada sistem syaraf sentral dan trauma langsung pada sistem muskuloskeletal.

Abnormalitas Postur adalah kelainan postur yang mempengaruhi efisiensi sistem muskuloskeletal, kesejajaran, keseimbangan, dan penampilan tubuh. Postur yang abnormal dapat menyebabkan nyeri , ketidaksejajaran, dan imobilisasi atau keduanya. Tabel berikut ini adalah postur abnormal yang dapat ditemui pada pasie

Tabel 2. Postur Yang Abnormal

Abnormalitas Deskripsi Penyebab Terapi yang dilakukan

Lordosis Memicu lengkung konveks anterior pada spina lumbar

Keadaan

Kifosis Meningkatkan konveksitas pada lengkung thoraks

Keadaan kongenital, osteoporosis

(17)

bantal,

menggunakan bed board

Skoliosis Kolumna spinalis berbentuk S atau C dengan rotasi vertebra, tinggi pinggul yang tidak sama dengan tinggi bahu braces dan latihan Clubfoot 95 %:deviasi

medial dan plantar fleksi pada kaki (ekuinavorus) 5% : deviasi lateraldan dorsifleksi (kalkanovalgus)

Keadaan kongenital Gips,

Footdrop Ketidakmampuan melakukan dorsofleksi dan inversi kaki paada gangguan saraf peroneal

Keadaan kongenital, trauma, posisi klien imobilisasi yang tidak tepat

Tidak ada (tidak bisa dikoreksi)

(Sumber Perry & Potter, 2010, hlm 474 - 475).

(18)

Postur yang abnormal membatasi rentang gerak (Smeltzer, 2002, hlm 2272-2273).

Pengetahuan tentang karakteristik, penyebab dan terapi postur yang abnormal dibutuhkan untuk mengangkat dan memosisikan klien. Perawat memberikan intervensi untuk mempertahankan rentang gerak maksimum pada sendi yang tidak sakit, kemudian merencanakanintervensi untuk memperkuat otot dan sendi yang sakit, meningkatkan postur klien dan secara adekuat menggunakan kelompok otot yang sakit dan tidak sakit. Rujukan atau kolaborasi dengan terapi fisik meningkatkan intervensi perawat pada klien dengan postur yang abnormal (Perry & Potter, 2010, hlm 473).

(19)

tersebut dapat mempengaruhi proses koordinasi pada otot, ligamen, sendi dan tulang.

Kerusakan pada Sistem Syaraf Sentral adalah kerusakan pada beberapa komponen syaraf pusat meregulasi gerakan volunter yang menyebabkan gangguan kesejajaran tubuh, keseimbangan, dan mobilisasi. Trauma akibat cedera kepala, iskemia akibat stroke atau cedera otak (cerebrovascular accident/ CVA), atau infeksi bakteri seperti meningitis dapat merusak serebelum atau strip motorik pada korteks serebral. Kerusakan pada serebelum menyebabkan masalah pada keseimbangan dan gangguan motorik yang dihubungkan langsung dengan jumlah kerusakan strip motorik. Misalnya, seseorang dengan hemoragi serebral sisi kanan disertai nekrosis telah merusak strip motorik kanan yang menyebabkan hemiplegia sisi kiri. Trauma pada korda spinalis juga dapat merusak imobilisasi. Misalnya, transeksi lengkap pada korda spinalis menyebabkan kehilangan kontrol motorik volunter bilateral di bawah sisi yang mengalami trauma serat motorik putus. Penilaian klien yang mengalami kerusakan sistem syaraf sentral adalah dengan menilai kesejajaran tubuh dalam posisi berdiri, duduk, dan berbaring, miring kiri dan miring kanan.

(20)

belakang toraks tampak konveks dari belakang, dan tulang belakang lumbar tampak konveks dari depan; saat diobservasi dari samping, abdomen masuk ke dalam dan lutut dan pergelangan kaki sedikit fleksi. Seseorang tampak merasa nyaman dan tidak kelihatan bingung saat memfleksikan kaki dan pergelangan kaki, lengan bergantung secara nyaman disamping tubuh; kaki terpisah sedikit untuk mencapai dasar tumpuan, dan jari kaki menghadap ke depan; saat melihat klien dari belakang, pusat gravitasi berada pada garis tengah dan garis gravitasi berada dari tengah dahi hingga titik tengah di tengah kaki.

Karakteristik kesejajaran tubuh yang benar untuk klien yang duduk adalah: kepala tegak, dan leher serta kolumna vertebralis berada dalam posisi sejajar, berat badan terdistribusi dengan rata pada bokong dan paha. Paha paralel dan berada pada bidang horizontal, kedua kaki di dukung di atas lantai dan pergelangan kaki fleksi. Sedangkan karakteristik kesejajaran tubuh dengan berbaring adalah pasien dapat mengubah posisi miring kiri dan miring kanan (Perry & Potter, 2010, hlm 493-494).

(21)
(22)

Tabel 3. Tingkat Gravidasi Otot

Skala Kekuatan normal

Karakteristik

0 0 Paralisis total

1 10 Tidak ada gerakan,kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat

2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan topangan

3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi

4 75 Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal

5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan tahanan penuh

(Sumber: Asmadi, 2009, hlm 116).

2.1.6.2 Gaya Hidup

Menurut Kozier (1995), gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan (aktivitas), kebiasaan, minat dan opininya. Gaya hidup adalah seseorang yang sering melakukan kegiatan aktif, misalnya latihan fisik misalnya berolah raga (lari atau jalan cepat) yang dilakukan minimal 3 kali seminggu selama 15 - 30 menit, melakukan latihan aerobik seperti senam, yoga minimal 3 kali seminggu selama 15 – 30 menit, aktivitas bekerja misalnya berkebun dan berladang.

(23)

abdomen. Olahraga dapat merangsang aktifnya neurotransmiter dan menstimulasi kekuatan otot abdomen. Aktivitas fisik dapat membuka saluran pembuluh darah baru di sekitar pembuluh darah yang tersumbat sehingga darah mengalir dengan lancar kembali. Pasien yang aktif bergerak tentunya berbeda dengan pasien yang pasif pergerakkannya (Kozier, et al. 1995, hlm 969; Berger dan Williams, 1992, hlm 1425).

2.1.6.3 Nilai dan Kepercayaan

(24)

Penelitian yang dilakukan oleh Zborowski (1969), nilai dan kepercayaan yang dianut oleh suatu kelompok etnik mempengaruhi kemampuan pasien untuk melakukan mobilisasi pasca pembedahan. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka, misalnya pasien setelah operasi dilarang bergerak karena kepercayaan kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan tidak jadi. Menurut Clancy dan Vicar (dalam Perry & Potter, 2010) menyatakan bahwa sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis seseorang.

Indonesia yang terkenal dengan ragam budaya, nilai dan kepercayaan mempunyai beberapa cara memberi perawatan pada pasien pasca laparatomi dan seksio sesarea. Contohnya: Menurut masyarakat Nias, pasien pasca operasi diwajibkan mandi air hangat karena air hangat dapat memperlancar peredaran darah. Aliran darah yang lancar sangat mempengaruhi sistem metabolisme dalam tubuh. Dalam darah terkandung oksigen serta nutrisi yang diperlukan sel-sel dalam tubuh sehingga dalam proses penyembuhan luka menjadi lebih cepat.

(25)

pembuluh darah. Sehingga orang yang suka makan sambal memperkecil kemungkinan aterosklerosis, sehingga mencegah munculnya serangan stroke dan jantung koroner. Sedangkan pada ibu nifas mengkonsumsi cabai dapat menyebabkan naiknya asam lambung sehingga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman di abdomen.

Pasien pasca operasi diwajibkan memakai gurita atau stagen panjang yang dililitkan di perut karena menurut mereka gurita dapat mengembalikan bentuk tubuh yang melar pasca melahirkan, penggunaan stagen akan membantu memberi sokongan dan mungkin meringankan rasa tidak nyaman yang dialami oleh pasien ; ibu pasca seksio sesarea tidak dianjurkan banyak bergerak dikarenakan ibu masih dalam keadaan lemah dan lebih dianjurkan banyak mengkonsumsi makanan yang tinggi nilai gizinya, misalnya makan daging ayam gulai, daging sapi,dan sup kambing. Ibu harus duduk bersimpuh dan dilarang keras mengangkang karena akan mengakibatkan perut jatuh. Keluarga selalu mengingatkan untuk tidak banyak bergerak karena dapat memperburuk kondisi kesehatan ibu.

(26)

pasca seksio sesarea setelah melahirkan dibuat gelang dengan benang dengan tujuh ragam dan dipasang selama 40 hari, setelah itu baru boleh dibuka. Setelah 3 hari melahirkan ibu diurut oleh dukun.

Masyarakat suku Minang, perawatan ibu post seksio sesarea meliputi minum telur dan kopi, penguapan dari bahan rempah-rempah (betangeh), pemanasan batu bata( duduk di atas batu bata), minum jamu dari bahan rempah-rempah, membersihkan alat kelamin dengan air rebusan daun sirih.

Menurut nilai dan kepercayaan suku Jawa, ibu pasca seksio sesarea dianjurkan untuk duduk sinden dan keluarga selalu mengingatkan untuk mengontrol pergerakan karena alasan estetika, maksudnya agar organ reproduksi dan tubuh ibu tetap dalam kondisi baik, Ibu minum jamu untuk dapat memperlancar ASI dan agar ibu tetap cantik dan awet muda.

Menurut masyarakat Karo, Ibu pasca seksio sesarea dianjurkan untuk duduk di atas perapian dan ibu harus ‘Disembur” dengan kunyahan kunyit, bawang putih, merica hitam, merica putih, dan buah pala pada keningnya., agar keadaan ibu tetap hangat karena ibu post operasi masih dalam keadaan lemah dan anemia.

(27)

mengetahui bagaimana kepercayaan, nilai, praktik budaya mempengaruhi seseorang untuk mampu melakukan mobilisasi.

2.1.6.4 Stress

Stress adalah respon fisik, emosi, dan mental terhadap peristiwa / kondisi yang bervariasi ketika berhadapan dengan sesuatu yang tidak pasti, tidak menyenangkan, menakutkan atau membingungkan (Bradley, 1997). Menurut Fabella (1993), stress adalah ekspresi seseorang terhadap suatu hal yang dapat menyerang siapa saja dan terjadi baik di rumah sakit, tempat kerja, di rumah dan lain-lain. Stress adalah berbagai situasi dimana adanya tuntutan yang mengharuskan individu untuk merespo atau mengambil tindakan. Stress merupakan reaksi individu baik secara fisik maupun mental terhadap tuntutan dan tekanan dari lingkungannya. Stress dapat mengancam pandangan umum seseorang terhadap kehidupan, perilaku terhadap orang yang dicintainya, kemampuan untuk mengatasi masalah dan status kesehatan (Lindsay & Carrieri, 1986 dikutip dari Potter &Perry 2010).

(28)

mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya. Akhirnya, pasien mengalami keletihan secara fisik dan emosi. Pada saat seseorang mengalami stress maka memicu pengeluaran hormon adrenalin dan katekolamin yang tinggi yang dapat berakibat mempercepat kekejangan arteri koroner, suplai darah ke otot jantung terganggu, rasa sakit akibat nyeri semakin kuat sehingga dapat menghambat pasien untuk dapat melakukan mobilisasi. Namun sebaliknya dalam kondisi rileks, justru bisa memancing keluarnya hormon endorfin penghilang rasa sakit yang alami di dalam tubuh (Judha, 2010, hlm 81).

(29)

terhadap nyeri yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri (Judha, 2010, hlm 7).

Ansietas atau cemas timbul karena pasien merasakan nyeri sehingga pasien takut untuk bergerak (mobilisasi), takut cedera akibat pembedahan dan kurangnya pengetahuan tentang prosedur mobilisasi yang didapatkan dari tenaga medis pre operatif. Stress dan kecemasan mempengaruhi fungsi biologis tubuh pada saat stress peningkatan respons saraf simpatik memicu peningkatan tekanan darah dan terkadang disertai dengan kadar kolesterol darah. Orang yang mudah stress akan lebih berisiko akan sulit melakukan mobilisasi dibandingkan dengan seseorang yang tidak mudah mengalami stress. Misalnya, kebanyakan dari pasien post laparotomi dan seksio sesarea mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca pembedahan akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh. Kekhawatiran (ansietas) ini dapat meningkatkan ketidakmampuan untuk melakukan mobilisasi (Kozier,et al.1995; Oswari, 2000, hlm 30).

(30)

insisi, sifat prosedur, kedalaman trauma bedah,dan jenis agen anestesia. Selain itu, pasien yang tidak mengetahui manfaat mobilisasi dini dan tidak mendapatkan informasi dari perawat cenderung tidak melakukan mobilisasi (Kozier,et al.1995, hlm 970; Smeltzer, S, 2002, hlm 469).

2.2.Laparatomi

Laparatomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuka dinding abdomen untuk mencapai isi rongga abdomen(Jitowiyono, 2010, hlm 93). Laparatomi adalah membuka dinding abdomen dan peritoneum. Faktor yang penting dalam melakukan laparatomi adalah dalam membuka dan menutup dinding abdomen dengan cara dan tekhnik yang baik (Wibowo S, 2001).

Pemilihan jenis insisi abdomen ditentukan oleh faktor-faktor berikut : diagnosis dan prosedur operasi, urgensi prosedur (emergensi atau elektif), kondisi fisik pasien (tingkat obesitas), prosedur operatif sebelumnya dan jaringan parut.

Jenis insisi abdomen antara lain:

(31)

cepat, penjahitan luka yang sederhana, risiko perdarahan yang minimal, struktur intra dan retroperitonium dapat dicapai dan mudah dikeluarkan. -Insisi Pfannenstiel memberikan hasil kosmetik yang baik dengan

penyembuhan luka primer.

-Insisi Joel-cohen . Metode ini sebagian menggunakan diseksi tumpul, sehingga lebih sedikit terjadi cedera pembuluh darah maupun kehilangan darah. Tekhnik ini dapat digunakan untuk laparotomi ginekologis maupun seksio sesarea, terutama pada pasien yang kurus. Metode ini kurang sesuai untuk prosedur yang memerlukan paparan yang luas atau pada pasien obesitas.

-Insisi Maylard, merupakan insisi abdominal yang dapat menjangkau organ pelvis secara luas pada seluruh dinding abdomen, termasuk otot-otot rektus di atas simfisis.

Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan tekhnik sayatan laparatomi yaitu: herniotomi, gastrektomi, kolesistoduodenostomi, hepateroktomi, fistulotomi atau fistulektomi, apendiktomi (Jitowiyono, 2010, hlm 93-94). Ada 4 cara sayatan laparatomi: Midline incision, Paramedian¸yaitu: sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm ) dan panjang

(32)

Indikasi laparatomi adalah trauma abdomen (tumpul atau tajam)/ ruptur hepar, peritonitis, Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding), sumbatan pada usus halus dan besar, dan massa pada abdomen (Jitowiyono, 2010, hlm 94; Rasjidi Imam, 2009).

Perawatan post laparotomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen. Tujuan perawatan post laparatomi adalah mengurangi komplikasi akibat pembedahan, mempercepat penyembuhan, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang. Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini(Jitowiyono, 2010, hlm 94).

2.3.Seksio Sesarea

(33)

Indikasi seksio sesarea adalah Panggul sempit absolut, kegagalan melahirkan secara abnormal karena kurang adekuatnya stimulasi, tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi, stenosis serviks atau vagina, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, ruptur uteri membakat, kelainan letak janin, gawat janin, prolapsus plasenta, perkembangan janin yang terhambat, mencegah hipoksia janin, presentasi bokong, distosia, fetal distres, preeklamsia berat, penyakit kardiovaskular dan diabetes, gemelli, janin letak lintang (Rasjidi, 2009, hlm 88).

2.4 Proses Penyembuhan Luka Pasca Laparatomi dan Seksio Sesarea

Proses penyembuhan luka pasca operasi pada dasarnya adalah sama. Proses fisiologis penyembuhan luka meliputi: respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi (Morison M, 2004, hlm 1; Arisanty, 2012, hlm 1-3). Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit atau jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas normal. Seluruh kegiatan penyembuhan luka diatur oleh serangkaian reaksi yang kompleks (Boyle M, 2009, hlm 37).

(34)

oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan; Fase ketiga, sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali, Fase keempat, penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.

2.5 Komplikasi Pasca Laparotomi dan Seksio Sesarea

a. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi , ambulatif dini, dan kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.

b. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi. Infeksi luka sering muncul pada 36- 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme:gram positif. Perawatan luka hendaknya aseptik dan antiseptik.

(35)

Gambar

Tabel 2. Postur Yang Abnormal
Tabel 3. Tingkat Gravidasi Otot

Referensi

Dokumen terkait

Capaian Program Jumlah dokumen pelaporan SKPD yang dibuat secara benar dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jumlah dokumen pelaporan SKPD yang dibuat secara

According to these methods, you can see that for the global wave visualization, by all means use the Digital Earth technology, this paper, the theory of

Capaian Program Jumlah dokumen pelaporan SKPD yang dibuat secara benar dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jumlah dokumen pelaporan SKPD yang dibuat secara

Capaian Program Jumlah dokumen pelaporan SKPD yang dibuat secara benar dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jumlah dokumen pelaporan SKPD yang dibuat secara

Ekokritika koja uključuje načine na koje reprezentiranje su dje - luje u ekološkoj dobrobiti ze - maljskih vrsta i prostora, može imati koristi od niza me todo - logija,

keseluruhan akte jual beli hak atas tanah yang dibuat oleh Camat selaku PPAT. Sementara itu 50% lebih sudah memenuhi prosedur, maka Camat selaku

Setelah pengumpulan data, analisis akan dilakukan dengan mencari apakah ada perbedaan yang signifikan terhadap rata-rata nilai kuesioner antar kedua kelompok dan

Dalam lingkungan WLAN yang sifatnya peer-to-peer (ad hoc), beberapa pengguna dalam area yang terbatas, seperti ruang rapat, dapat membentuk suatu jaringan sementara tanpa