• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum Istilah perlindungan hukum dalam bahasa inggris dikenal dengan legal protection,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum Istilah perlindungan hukum dalam bahasa inggris dikenal dengan legal protection,"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum

Istilah perlindungan hukum dalam bahasa inggris dikenal dengan legal protection, sedangkan dalam bahasa belanda dikenal dengan Rechts bescherming. Secara etimologi perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yakni Perlindungan dan hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perlindungan diartikan (1) tempat berlindung, (2) hal (perbuatan dan sebagainya), (3) proses, cara, perbuatan melindungi.

Hukum adalah Hukum berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Artinya perlindungan adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu menurut hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara, dan dilain sisi bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Pada prinsipnya perlindungan hukum terhadap masyarakat bertumpu dan bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap harkat, dan martabat sebagai manusia. Sehingga pengakuan dan perlindungan terhadap hak tersangka sebagai bagian dari hak asasi manusia tanpa membeda- bedakan. Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban, yang dapat diwujudkan dalam bentuk seperti melalui restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum (Soekanto, 1984: 133).

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman, sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia (Setiono, 2004: 3). Sedangkan Satjipto Raharjo mengemukakan

(2)

bahwa perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Raharjo, 2000: 53). Karena sifat sekaligus tujuan hukum menurutnya adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat, yang harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Perlindungan hukum merupakan tindakan bagi yang bersifat preventif dan represif (M. Hadjon, 1987:

2).

kaitanya dengan perlindungan hukum bagi rakyat, Philipus M. Hadjon (1987: 2) membedakan dua macam sarana perlindungan hukum, yakni:

a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif. Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa.

b. Sarana Perlindungan Hukum Represif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

Muchsin (2003: 20) membedakan perlindungan hukum menjadi dua bagian, yaitu:

a. Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran.

Hal ini terdapat dalam peraturan perundang undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasanbatasan dalam melakukan sutu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif. Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

B. Tinjauan Umum tentang Satwa dan Satwa Trenggiling

(3)

Trenggiling Jawa merupakan salah satu jenis mamalia langka yang menjadi kekayaan alam hayati Indonesia. Trenggiling Jawa mempunyai nama populer Malayan pangolin yang berasal dari bahasa melayu yakni pengguling atau guling yang berarti menggulung atau melingkar seperti bola. Trenggiling merupakan salah satu hewan yang dilindungi, karena populasi hewan ini di alam semakin berkurang dari waktu ke waktu. Populasi trenggiling di alam semakin menurun dan terancam punah akibat perburuan dan perdagangan liar, serta kerusakan habitat. Masyarakat Asia khususnya masyarakat Cina mempercayai sisik dan daging trenggiling memiliki khasiat obat (Nowak 1999). Risiko kepunahan trenggiling Jawa yang tinggi didukung pula oleh kemampuan reproduksinya yang hanya dapat menghasilkan 1-2 anak dalam satu periode kebuntingan. Aktivitas reproduksi merupakan salah satu upaya yang dilakukan makhluk hidup untuk melestarikan jenis.

Meneurut Takandjandji & Sawitri (2016) Trenggiling di dunia memiliki delapan spesies, dan termasuk dalam genus Manis, famili Manidae, serta dikelompokkan dalam keluarga Pholidota. Trenggiling Jawa (Manis javanica Desmarest, 1822) merupakan salah satu spesies yang terdapat di Indonesia.Satwa ini unik karena seluruh tubuhnya ditutupi sisik, memiliki lidah yang panjangnya separuh dari panjang tubuh (panjang tubuh 50-60 cm), dan tidak memiliki gigi. Trenggiling jawa termasuk satwa nokturnal yang dapat dijumpaibaik di hutan primer maupun sekunder, savana, dan daerah budidaya termasuk areal perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, daerah ekoton atau zona transisi antara hutan dengan kebun rakyat yang memiliki semak belukar dimana habitat inimenyediakan pakannya berupa semut dan rayap.

1. Klasifikasi Trenggiling

Menurut Zein (2020) aecara taksonomi, trenggiling termasuk famili Manidae dan ordo Pholidota. Famili Manidae dibagi menjadi subfamili Maninae dan Smutsiinae, serta tiga genera yaitu Manis (Asia), Smutsia (Afrika), dan Phataginus (Afrika). Hasil kajian kladistik secara komprehensif

(4)

berbasis 395 karakteristik osteologis tengkorak dan rangka postkranial menjadikan klasifikasi famili Manidae menjadi jelas. Manis culionensis (Filipina) telah diangkat ke tingkat spesies atas dasar perbedaan morfologi dengan Manis javanica, sehingga diketahui trenggiling saat ini terdapat delapan spesies, yaitu Manis javanica, Manis culionensis, Manis pendactyla, dan Manis crassicaudata ada di Asia, sedangkan Phataginus tetradactyla, Phataginus tricuspis, Smutsia gigantea, dan Smutsia temminckii merupakan spesies yang hidup di Afrika.

Trenggiling termasuk ke dalam ordo Pholidota yang artinya bersisik banyak. Ordo ini memiliki satu famili Manidae dan satu genus Manis dengan delapan spesies yang tersebar di Asia dan Afrika. Trenggiling Jawa merupakan salah satu dari delapan spesies trenggiling (Corbet & Hill 1992).

Secara sistematis klasifikasi trenggiling Jawa adalah sebagai berikut:

a. Kingdom : Animalia b. Filum : Chordata c. Kelas : Mammalia d. Ordo : Pholidota e. Famili : Manidae f. Genus : Manis g. Spesies : Manis java

2. Persebaran Geografis Trenggiling

Distribusi trenggiling Jawa di Indonesia meliputi hutan hujan tropis di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan beberapa pulau kecil seperti kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali, serta Lombok (Corbet & Hill 1992). Persebaran trenggiling di luar wilayah Indonesia meliputi Burma, Thailand, Indocina, Malaysia, Filipina (Lekagul & McNeely 1977), serta Vietnam, Laos, dan Singapura (Corbet & Hill 1992).

Trenggiling mempunyai morfologi tubuh yang unik (Corbet & Hill 1992). Permukaan tubuh bagian dorsal terdapat sisik-sisik yang keras dan di antara sisik tersebut terdapat rambut-rambut kasar. Sisik trenggiling

(5)

merupakan derivat kulit yang berkembang dari lapis basal epidermis. Sisik ini hanya tumbuh pada bagian dorsal tubuh trenggiling dan berwarna coklat terang, sedangkan pada bagian ventral tubuhnya tidak terdapat sisik dan hanya terdapat rambut-rambut.

Terdapat perbedaan ukuran antara trenggiling jantan dan betina.

Trenggiling jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan tenggiling betina. Rata rata panjang tubuhnya adalah 75-150 cm dengan panjang ekor sekitar 45-65% dari panjang total tubuh. Berat tubuh trenggiling sekitar 2 kg (Grzimek 1975). Kepala trenggiling berukuran kecil dan berbentuk tirus dengan mata yang kecil dan dilindungi oleh kelopak mata yang tebal. Fungsi kelopak mata trenggiling ini untuk melindungi mata dari gigitan semut. Trenggiling memiliki daun telinga yang berukuran kecil dan berbentuk seperti bulan sabit, selain itu trenggiling juga memiliki lidah yang dapat menjulur panjang dan dihubungkan oleh otot-otot yang berkembang subur. Lidah trenggiling berbentuk ramping dan panjang. Lidah ini akan semakin menipis dan menyempit pada bagian apex (Sari 2007).

Bentuk tersebut membuat lidah trenggiling menyerupai cacing (vermiform) dan bersifat lengket, sehingga memudahkan trenggiling untuk mencari pakan (Amir 1978). Tubuh trenggiling yang panjang ditunjang oleh empat kaki yang pendek. Kaki trenggiling dilengkapi dengan masing-masing lima jari serta mempunyai kuku cakar yang panjang dan melengkung. Kuku cakar pada kaki depan biasanya lebih panjang hingga satu setengah kali dibandingkan kuku cakar kaki belakang. Kuku cakar pada kaki depan berperan sangat penting ketika trenggiling menggali lubang semut atau rayap (Lekagul & McNeely 1977).

Perilaku unik dari trenggiling terjadi saat mencari pakan. Trenggiling merupakan hewan plantigradi, yaitu hewan yang cara berjalannya dengan seluruh tapak kakinya di atas tanah. Keberadaan kuku pada kaki depan dan belakang tidak menghalanginya ketika bergerak. Kuku kaki depan dan belakang trenggiling dilipat ke dalam dan bertumpu pada bagian luar dari

(6)

telapak kakinya. Saat berjalan, trenggiling terkadang berhenti dan berdiri dengan kedua kaki belakang disangga oleh ekor. Ketika menggali lubang semut, trenggiling akan bertumpu pada kedua kaki belakang dan ekor sebagai penyangga, sementara kedua kaki depannya digunakan untuk menggali lubang tersebut. Saat memanjat pohon, kedua kaki depan dan ekor digunakan untuk mencengkeram batang pohon dengan kuat. Belitan ekor trenggiling sangat kuat karena pada ekor trenggiling terdapat gerigi sisik di lateral ekor yang memperkokoh cengkeraman pada pohon. Selain itu, trenggiling selalu menjaga posisi badan dalam keadaan melengkung seperti busur serta ekornya yang panjang dan terangkat tidak menyentuh tanah digunakan untuk menjaga keseimbangan (Grzimek’s 1975).

Aktivitas trenggiling dapat berlangsung sepanjang hari tetapi lebih tinggi ketika malam hari (nokturnal). Trenggiling lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur di dalam lubang-lubang, di bawah dedaunan atau dicelah-celah pohon saat siang hari (Amir 1978). Dalam usaha mendapatkan pakan, organ penciuman merupakan sistem indera yang berperan utama membantu menemukan sarang rayap atau semut sebagai makanan utamanya.

Indera lain yang berkembang selain organ penciuman adalah organ pendengaran, sedangkan organ penglihatannya kurang berperan karena tidak berkembang dengan baik (Lekagul & McNeely 1977).

Trenggiling termasuk hewan mamalia pemakan semut sehingga sering disebut dengan Anteater (Feldhamer et al. 1999). Pakan utama dari trenggiling adalah semut (Ordo Hymenoptera) dan rayap (Ordo Isoptera).

Menurut Heryatin 1983, pakan yang lebih disukai oleh trenggiling di antara keduanya yaitu semut merah tanah (Myrmicaria sp). Pakan tersebut tidak dihancurkan di dalam mulut karena trenggiling tidak mempunyai gigi, sehingga pakan digiling di dalam lambungnya terutama di bagian pilorus dengan adanya tonjolan-tonjolan seperti gigi (pyloric teeth) dan dibantu oleh batu kerikil yang tertelan (Nisa’ 2005). Proses mendapatkan pakan pada trenggiling tidak jauh berbeda dengan proses minum. Trenggiling

(7)

mengeluarkan lidahnya dan memasukkannya kembali dengan cepat ketika minum (Nowak 1999).

Keunikan lain yang dimiliki oleh trenggiling selain hal-hal di atas adalah upaya pertahanan diri dari predatornya. Trenggiling merupakan satwa yang menjadi mangsa beberapa jenis karnivora besar di habitat aslinya. Oleh karena itu trenggiling membuat mekanisme pertahanan diri dengan cara menggulungkan tubuhnya jika terancam. Sisik keratin kokoh ikut membantu pertahanan diri trenggiling (Lekagul dan McNeely 1997). Beberapa spesies trenggiling memiliki kelenjar perianal yang menghasilkan sekreta berbau tajam. Sekreta ini berbau menyerupai urin menyengat dan biasa digunakan untuk menandai teritori trenggiling serta mengusir predator-predator.

Predator utama dari trenggiling antara lain manusia, macan (Panthera pardus) dan ular python (Breen 2003).

C. Dasar Hukum Perlindungan Satwa Trenggiling 1. Dasar Hukum Trenggiling

Terdapat delapan spesies trenggiling di dunia yang tersebar di wilayah hutan tropis Asia dan daerah tropis hingga subtropis Afrika. Empat spesies trenggiling yang tersebar di wilayah Asia adalah M. crassicaudata (trenggiling India), M. pentadactyla (trenggiling Cina), M. culionensis (trenggiling Palawan), dan M. javanica (trenggiling jawa), sedangkan di Indonesia, M. javanica dapat ditemukan di beberapa pulau seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Corbet & Hill 1992).

Trenggiling termasuk hewan langka yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia, yang dimuat dalam PP Nomor 7 tahun 1999. IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) sebagai badan

(8)

dunia yang memasukkan trenggiling dalam kategori endangered yang artinya status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu akan datang, sehingga masuk dalam daftar Red List. Berbeda dengan IUCN, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang mengatur perdagangan spesies satwa dan tumbuhan yang terancam punah,memasukkan trenggiling ke dalam daftar Appendix II. Artinya trenggiling Jawa tidak boleh diperjualbelikan secara bebas karena memiliki risiko kepunahan yang tinggi. Risiko kepunahan trenggiling Jawa dapat diakibatkan oleh perburuan ilegal dan kerusakan habitat (IUCN 2011).

Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), trenggiling akan terancam punah jika perdagangannya tidak diatur.

Undang-Undang dan peraturan yang relevan sebagai dasar hukum yang berkaitan dengan kejahatan terhadap satwaliar dan konservasi keanekaragamn hayati di Indonesia yang terkait dengan trenggiling jawa, diantaranya adalah UU Nomor 5 tahun 1990 Pasal 21 Ayat 1 dan 2 serta Pasal 33 Ayat 3 (Novriyanti, 2011; Adhiasih, 2013), PP No. 7 tahun 1999 yang berisi perlindungan dan larangan perdagangan tumbuhan dan satwaliar dilindungi dengan sanksi lima tahun penjara dan denda mencapai Rp100.000.000 (seratus juta rupiah); Keputusan Presiden Nomor 43 tahun 1978 tentang CITES yang diratifikasi Pemerintah Indonesia terkait dengan perdagangan satwa dilindungi, dimana trenggiling termasuk ke dalam II sejak 1 Juli 1975.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkaran dan Peredaran Tumbuhan dan Satwaliar; PP Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar untuk Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan, Penangkaran, Perburuan, Perdagangan, Peragaan, Pertukaran, Budi Daya Tanaman Obat-Obatan serta Pemeliharaan untuk Kesenangan bagi Satwa Liar Dilindungi Generasi Kedua dan seterusnya; Peraturan Menteri Kehu-

(9)

tanan Nomor P. 19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran dan Tumbuhan Satwa Liar; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi yang Bergerak di Bidang Konservasi Tumbuhan dan atau Satwa Liar di luar Habitatnya yang Berfungsi untuk Pengembangbiakan dan Penyelamatan Tumbuhan dan atau Satwa dengan tetap Menjaga Kemurnian Jenis Guna Menjamin Kelestarian. Keberadaan dan Pemanfaatannya. IUCN mengkategorikan trenggiling jawa sebagai endangered species Redlist dalam sejak tahun 2000, melalui CITES berupa (Zero & Takandjandji, 2014).

Pemanfaatan trenggiling jawa sebagai satwa dilindungi dapat dilakukan melalui penangkaran dalam PP Nomor 8 tahun 1999. Penangkaran trenggiling jawa yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga konservasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan di Bogor, baru sebatas pemeliharaan di dalam kandang penangkaran dan belum memberikan hasil yang signifikan.

Pada dasarnya, larangan perlakuan secara tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang berbunyi: “Setiap orang dilarang untuk

a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian- bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”

(10)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pada Pasal 40 Ayat (2) menjelaskan bahwa sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 22 Ayat (1) jo. Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 22 Ayat (3) menjelaskan ada pengecualian bagi penangkapan satwa yang dilindungi tersebut, yaitu hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan. Selain itu, pengecualian dari larangan menangkap satwa yang dilindungi itu dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia. Membahayakan di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa manusia melainkan juga menimbulkan gangguan atau keresahan terhadap ketenteraman hidup manusia, atau kerugian materi seperti rusaknya lahan atau tanaman atau hasil pertanian.

2. Faktor Kejahatan Penangkapan Trenggiling

Menurut S Guntur & Slamet (2019) kejahatan dari sudut pandang hukum menyebutkan bahwa setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana.

Bagaimanapun jeleknya suatu perbuatan selama perbuatan itu tidak dilarang dalam perundang-undangan pidana perbuatan itut etap sebagai perbuatan yangbukan kejahatan. Kejahatan dari sudut pandang masyarakat menyebutkan batasan kejahatan adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup dalam masyarakat. Adapun unsur pokok untuk menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan yaitu adanya perbuatan yang menimbulkan kerugian. Unsurunsur perbuatan yang menimbulkan kerugian adalah sebagai berikut:

a. Kerugian yang ada tersebut telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

(11)

b. Harus ada perbuatan.

c. Harus ada maksud jahat.

d. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat.

e. Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur dalam KUHP.

f. Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut.

Menurut Limantara & Soponyono (2018) hukum lingkungan berkembang berdasarkan pemikiran yang mengacu pada prinsip-prinsip ekologis. Untuk itu, perlu perubahan mendasar dari cara pandang terhadap prinsip-prinsip hukum yang semula bersifat eco-centris, dari hanya atas etika homo-sapiens menjadi eco-ethics. Konsekuensinya adalah adanya keharusan bagi ahli hukum untuk dapat memahami tidak saja konsep hukum, tetapi juga konsep disiplin ilmu lain yang berpengaruh, seperti biologi, ekologi, ekonomi, dan teknologi.

Kejahatan terhadap lingkungan (crimes against environment/ecocrime) seharusnya menjadi isu yang mengancam manusia sehingga mendapat perhatian bersama khususnya ahli hukum. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, tindak pidana konservasi satwa merupakan tindak pidana pengawetan keanekaragaman satwa, suatu kebijakan untuk menjaga agar keanekaragaman jenis satwa tidak punah, demikian Penjelasan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990. Sanksi pidana pada Pasal 40 Undang- Undang Nomor 5 tahun 1990 tidak hanya diterapkan terhadap pelaku tindak pidana pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa, tapi juga atas peruntukkan serta penggunaan kawasan suaka alam dan pelestarian alam,baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran (Pasal 40 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, terlihat bahwa wujud konkrit perlindungan hukum secara khusus diberikan melalui pengawetan keanekaragaman satwa dengan menetapkan status satwa dilindungi, yaitu satwa dalam bahaya kepunahan (thtreatened with extinction) dan satwa yang populasinya jarang atau endemik (Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990).

(12)

Jaringan perdagangan satwa liar tidak pernah terputus, ibarat rantai akan terus berputar dari hulu ke hilir. Perdagangan dimulai dari aksi perburuan sampai pada “pasar gelap” perdagangan satwa liar hidup dan organ/ bagian tubuh satwa dilindungi. Menurut Faktor penyebab perburuan trenggiling marak oleh masyarakat di Indonesia antara lain:

a. Pemilik satwa liar dilindungi dalam keadaan hidup merasa status/ kasta berbeda atau gengsi yang tinggi, karena merasa tidak semua orang dapat memilikinya atau kebanggaan tersendiri apabila dapat memamerkan kepada kolega, kerabat dan khalayak umum bahwa ia bukan orang sembarangan.

b. Mitos-mitos di kalangan masyarakat yang terus berkembang terkait penggunaan kulit dan bagian/ organ tubuh dari satwa yang dilindungi dengan alasan kesehatan, jaga badan, jimat atau penambah kepercayaan diri bahkan jumlah peminat dan pengguna terus meningkat. Kalau dulu hanya pada kalangan dukun, tetapi saat ini pengguna dapat dijumpai di semua kalangan baik pedagang, politisi, pejabat bahkan orang-orang yang notabene berpendidikan.

c. Harga satwa liar hidup dan bagian tubuhnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan semakin sulit mencarinya dan peminat benda-benda tersebut terus meningkat, resiko tertangkap petugas juga menjadi salah satu alasan penjual memasarkan dengan harga tinggi.

d. Penegakan hukum bagi pemburu, penjual dan pengguna masih relatif sedikit, banyak yang mengganggap bahwa kepemilikan dan pemakai kulit/ organ dari satwa liar dilindungi bukan lah suatu hal tindak pidana.

e. Putusan hakim (vonis) terhadap pelaku perburuan dan peredaran kulit/

organ satwa liar dilindungi masih relatif rendah dan kurang menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana tersebut. 6) Kesadaran hukum masyarakat yang rendah dan pemahaman terhadap nilai/arti penting satwa liar dilindungi masih rendah.

Menurut Irjayani (2016) upaya pemerintah Indonesia dalam menangani perdagangan ilegal satwa di Indonesia dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu pencegahan, perlindungan dan penindakan hukum. Namun dikarenakan masih lemahnya hukum yang ditegakkan, maka prioritas lebih ditujukan kepada kegiatan perlindungan dan pencegahan. Untuk mengatasi masalah menangani perdagangan dan pengawasan satwa, maka pemerintah Indonesia melakukan berbagai kerja sama dengan seluruh sektor instansi yang terkait seperti, kepolisian, bea cukai, kementrian kehutanan serta mengundang

(13)

peran serta masyarakat baik dari dalam maupun luar negeri. Salah satu aktor yang juga turut bekerja sama dengan Indonesia adalah sebuah rezim konvensi Internasional yang bernama CITES. Dalam aktivitas pemberantasan perdagangan ilegal satwa di Indonesia, CITES telah menjadi salah satu konvensi atau rezim dan mitra kunci Indonesia dalam perdagangan satwa.

CITES merupakan alat yang sangat kuat untuk menghasilkan pengaturan internasional yang efektif dan konsisten mengenai perdagangan internasional pada jenis-jenis hidupan liar untuk menjamin konservasi dan bahwa perdagangan dalam level yang berkelanjutan. Dalam penanganan kasus perdagangan ilegal trenggiling di Indonesia diukur menggunakan tiga indikator neoliberalisme dalam kerja sama. Adanya kepentingan yang sama dalam kerja sama menjadikan hal ini sebagai pengaruh atau indikator untuk mencapai keberhasilan dalam bekerja sama. Kepentingan yang sama dalam kerja sama akan memudahkan pihak-pihak untuk menjalakan kerja samanya.

Selain itu juga dalam kerja sama tidak akan menimbulkan tanggapan yang berbeda antar kedua pihak, sehingga masing-masing pihak akan dapat melakukan tindakan yang sama dalam mencapai tujuan dari kerja sama, dalam hal ini khususnya adalah dalam implementasi legislasi nasional CITES di Indonesia.

D. Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim adalah salah satu aspek yang sangat penting untuk mewujudkan nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, disamping itu terdapat juga manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Jika pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi / Mahkamah Agung (Mukti Aro. 2004: 140).

(14)

Dalam pemeriksaan perkara hakim harus memperhatikan terkait pembuktian, karena hasil dari pembuktian tersebut nantinya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara. Pembuktian adalah tahap yang sangat penting dalam pemeriksaan di persidangan. Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa / fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.

Hakim tidak akan bisa menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa / fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.

Putusan hakim sangat berkaitan dengan bagaimana hakim dalam mengemukakan pendapat atau pertimbangannya berdasarkan fakta-fakta serta alat bukti dipersidangan serta keyakinan hakim atas suatu perkara.Oleh sebab itu hakim memiliki peran sentral dalam menjatuhkan putusan pengadilan. Didalam putusan pengadilan harus terdapat pertimbangan-pertimbangan mengenai hal- hal yang memberatkan dan meringankan putusan, pertimbagan tersebut dijadikan alasan oleh hakim dalam menjatuhkan putusannya baik itu berupa putusan pemidanaan yang lain sebagainya (Nurhafifah dan Rahmiati. 2015:

344).

Pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa ini diatur dalam Pasal 197 huruf d dan 197 huruf f KUHAP Dalam Pasal 197 huruf d berbunyi “Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa”.

Sedangkan Pasal 197 huruf f berbunyi “Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa” (Nurhafifah dan Rahmiati. 2015:

344). Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas dibidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Para pencari keadilan tentu sangat mendambakan perkara-

(15)

perkara yang diajukan kepengadilan dapat diputus oleh hakim yang propesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga dapat melahirkan keputusan-keputusan yang sesuai dengan aturan perundang- undangan (Bambang. 2006: 5).

E. Tinjauan Alat bukti dan Keterangan Ahli

Didalam KUHAP tidak terdapat uraian secara tegas mengenai macam- macam barang bukti. Namun berdasar penafsiran otentik terhadap Pasal 1 butir 16 KUHAP sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Barang bukti dapat disebut juga sebagai benda sitaan. Macam-macam benda sitaan atau barang buktitersebut diuraikan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP. Pasal 39 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana untuk mempersiapkannya;

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau dipergunakan melakukan tindak pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Macam-macam barang bukti terbagi sebagai berikut:

a. Benda berwujud yang berupa:

1) Benda yang digunakan dalam melakukan tindak pidana yang didapat atau dihasilkan dengan jalan kejahatan atau pelanggaran.

2) Benda yang mempersulit penyelidikan;

3) Benda yang dipakai untuk melakukan tindak pidana.

4) Benda-benda lainnya yang mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana.

b. Benda tidak berwujud berupa tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana (Chazawi, 2007: 208-209).

(16)

Dalam hal tertangkap tangan, penyidik juga berwenang untuk melakukan penyitaaan atas benda-benda tersebut sebagai berikut:

a. Benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 KUHAP).

b. Paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimanya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, sepanjang benda tersebut diperuntukan bagi tersangka atau berasal darinya ( Pasal 41 KUHAP).

Barang bukti secara materiil dapat berfungsi sebagai alat bukti yang sah didalam proses persidangan. Pasal 181 Jo. Pasal 45 KUHAP menerangkan tentang bagaimana cara pemeriksaan barang bukti di persidangan, yang secara singkat sebagai berikut:

(1) Jaksa Penuntut Umum memperlihatkan kepada terdakwa dan atau saksi- saksi (yang dianggap relevan) di depan persidangan dan ditanyakan kepada mereka, apakah mengenal barang bukti tersebut atau bisa juga mengetahui asal muasal benda itu.

(2) Jika barang bukti berupa tulisan (surat atau berita acara) maka disamping diperlihatkan pada terdakwa dan atau saksi-saksi, hakim juga membacakan isi tulisan itu untuk dimintai tanggapannya.

(3) Jika semua barang bukti sudah dilelang oleh karena berupa benda-benda yang segera rusak, maka uang hasil pelelangan diperlihatkan kepadaterdakwa atau saksi di depan sidang.

(4) Jika barang bukti itu begitu banyak atau benda-benda berbahaya, maka diperlihatkan sebagian kecil saja dari benda-benda tersebut.

(5) Jika barang bukti dibungkus dan disegel, maka dibuka di depan sidang dan diperlihatkan kepada terdakwa dan ditanyakan mengenai barang bukti tersebut diatas.

Barang bukti dapat berfungsi menghasilkan alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan terdakwa dan keterangan saksi serta berfungsi juga untuk mendukung atau memperkuat keyakinan hakim. Selain itu keberadaan barang

(17)

bukti tersebut juga berguna untuk ditentukan statusnya sesuai dengan penetapan pengadilan, yaitu apakah barang bukti itu dikembalikan kepada pihak yang paling berhak ataukah dirampas untuk kepentingan negara atau untuk dimusnakan atau dirusak sehingga dapat dipergunakan lagi (Pasal 194 ayat (1) KUHAP).

Alat bukti adalah suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh undang-undang, yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan, atau gugatan, maupun guna menolak dakwaan, tuntutan, atau gugatan.

Pasal 184ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa yang termasuk dalam alat-alat bukti yang sah, yaitu:

a. Keterangan Saksi

Menurut Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Selanjutnya Pasal 1 angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksimengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan iaalami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Selanjutnya, Pasal 185 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa keterangan saksi yang termasuk ke dalam alat bukti yaitu apa yang dinyatakan oleh saksi pada saat pemeriksaan di persidangan. Pada penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh saksi dari orang lain atau testimonium de auditu. Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi dan memberikan keterangan pada saat pemeriksaan di persidangan. Pasal 160 ayat (1) huruf c Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa dalam hal

(18)

ada saksi, baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut. Akan tetapi Pasal 168 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan mengenai hal ini, di mana ada beberapa kriteria orang yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

1) keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawahsampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

2) saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3) suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama- sama sebagai terdakwa.

b. Keterangan Ahli

Dalam menangani suatu perkara pidana, setiap pejabat, baik penyidik, jaksa penuntut umum, bahkan hakim, belum tentu mengetahui semua hal karena pengalaman dan pengetahuan yang terbatas. Tentu saja mereka tidak mengetahui segala hal. Oleh karena itu, ada kalanya diperlukan orang lain dengan kepandaian, pengetahuan, atau pengalaman tertentu untuk membantu bilamana diperlukan untuk itu. Bantuan keterangan dari mereka tersebut lebih dikenal dengan nama keterangan ahli. Hal ini juga dinyatakan dalam Pasal 180 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa untuk menjernihkan persoalan yang timbul di persidangan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli.

Keterangan ahli yang diatur dalam Pasal 1 angka 28 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

(19)

membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sesuai dengan Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Sama halnya dengan seorang saksi, pada saat seorang ahli memberikan keterangan di dalam suatu persidangan, ahli yang bersangkutan harus memberikannya di bawah sumpah.

Alat bukti keterangan ahli mempunyai kekuatan pembuktian bebas (vrijbewijskracht). Tidak terdapat keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran dari keterangan seorang ahli yang dihadirkan di persidangan.

Hakim bebas dalam menilai kebenaran keterangan seorang ahli, namun harus tetap bertanggung jawab serta berlandaskan moral demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Selain itu, sesuai dengan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, alat bukti keterangan ahli ini tidak dapat berdiri sendiri karena dia tetap terikat pada prinsip batas minimum pembuktian, sehingga harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti lainnya.

c. Surat

Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa yang dimaksud dengan surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.

d. Petunjuk

Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan petunjuk, di mana pengertian tersebut yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Alat bukti petunjuk merupakan hasil pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat-alat bukti yang

(20)

dihadirkan dipersidangan. Hal ini menyebabkan sifat subyektivitas hakim yang dominan. Oleh karena itu, Pasal 188 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengingatkan hakim agar penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan Terdakwa

Pasal 189 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa yang dimaksud dengan keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau mengenai sesuatu yang ia alami sendiri. Apa yang dinyatakan oleh terdakwa di luar persidangan tidak dianggap sebagai alat bukti melainkan dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai membantu menemukan bukti atau sekedar memberi arah untuk ditemukannya bukti di sidang pengadilan, sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 189 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yangsah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

Dalam hal pada suatu tindak pidana terdapat lebih dari seorang terdakwa, sesuai dengan Pasal 142 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penuntut umum dapat melakukan penuntutan secara terpisah kepada masing- masing terdakwa. Apabila terdapat lebih dari satu orang terdakwa yang terkait dengan satu tindak pidana, keterangan terdakwa A hanya dapat dipakai hakim untuk membentuk keyakinan terhadap kesalahan terdakwa A saja, tidak boleh digunakan sebagai dasar pertimbangan akan kesalahan terdakwa B. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 189 ayat (3) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Selain itu, sesuai dengan Pasal 189 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan

(21)

perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

F. Kerangka Pikiran

Bagan 2.1 Kerangka Pikiran

Keterangan

Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam proses peradilan bertujuan untuk mencari kebenaran materiil terhadap perkara tersebut. Terlihat dari adanya upaya penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara. Kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah pembuktian. Pembuktian dilakukan baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Pembuktian dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

Pertimbangan Hakim

Pembuktian

Alat Bukti Kebenaran Materil

(22)

melakukannya.” Pasal 184 KUHAP mengatur mengenai “Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.” Keberadaan saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP yang menyebutkan bahwa “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti yang sah dapat dijadikan oleh Hakim sebagai pertimbangan dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,

Disamping yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, terdapat juga Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu UU No. 8/1981 tidak menjelaskan secara spesifik tentang definisi keterangan ahli.. adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang

(4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup Berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat

1) Pengaturan alat bukti dalam hukum positif diatur pada Pasal 184 Undang- Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana yaitu keterangan saksi, keterangan

Dalam kalimat diatas nyata bahwa pembuktian harus didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal

Pasal 1 butir 27 KUHAP memberikan pengertian keterangan saksi bahwa, “Keterangan saksi adalah salah satu.. alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan