• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II METODE BAGHDADY DAN TARTIL MEMBACA AL-QUR AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II METODE BAGHDADY DAN TARTIL MEMBACA AL-QUR AN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

METODE BAGHDADY DAN TARTIL MEMBACA AL-QUR’AN

A. Metode Baghdahy

1. Pengertian Metode Baghdady

Secara etimologi, metode berasal dari kata method yang berarti suatu cara kerja yang sistematis untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan dalam mencapai suatu tujuan (Ahmad Munjin Nasih, Lilik Nurkholidah, 2009: 29).

Dalam pandangan Arifin (1996: 61) metode diartikan sebagai suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa Arab metode disebut thariqat.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia metode adalah cara yang teratur dan berpikir baik untuk mencapai maksud. Sehingga dapat dipahami bahwa metode berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar mencapai tujuan pelajaran.

Dalam belajar membaca al-Qur‟an terdapat metode belajar yang sangat variatif karena belajar membaca al-Qur‟an bukan hanya sekedar mengenalkan huruf-huruf Arab beserta pemarkah (syakkal) yang menyertainya, akan tetapi harus juga mengenalkan segala aspek yang terkait dengannya. Dengan demikian, al-Qur‟an dapat dibaca sebagaimana mestinya, yakni sesuai dengan kaidah dan aturan-aturan yang berlaku. Untuk tujuan tersebut, maka diharapkan tersedianya materi-materi yang dapat memenuhi kebutuhan, yaitu materi yang komprehensif yang mampu mewakili seluruh jumlah ayat yang ada dalam al-Qur‟an. Sehingga ketika anak didik selesai mempelajari materi-materi tersebut, maka dapat dipastikan mereka mampu membaca seluruh ayat-ayat al-Qur‟an dengan baik dan benar.

Khusus dalam materi pembelajaran baca al-Qur‟an, secara umum dapat dikelompokkan ke dalam lima kelompok besar, yaitu;

a. Pengenalan huruf hijaiyah dan makhrajnya b. Pemarkah (al-syakkal)

c. Huruf-huruf bersambung

(2)

14 d. Tajwid dan bagian bagiannya

e. Gharaaib (bacaan bacaan yang tidak sama dengan kaidah secara umum).

Metode Baghdady adalah metode tempo dulu yang berasal dari baghdad pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah. Tidak ada yang tau pasti siapa penyusunnya. Metode ini telah seabad lebih berkembang secara merata ditanah air. Metode Baghdady disebut juga dengan metode “Eja” (Syueab Kurdi & Abdul Aziz, 2012: 89).

Imam Murjito menyatakan bahwa diantara metode pembelajaran yang bisa mengantarkan seseorang dapat membaca al-Qur‟an adalah Thariqat Tarkibiyah (Shintetik). Yaitu metode pembelajaran membaca al-Qur‟an dimulai dari pengenalan huruf hijaiyyah, yang diawali dengan huruf Alif sampai dengan huruf Ya‟ baru kemudian diperkenalkan tanda baca atau harakat. Metode ini biasa dikenal dengan metode Baghdady (Imam Murjito, TT: 6).

Metode ini secara dedaktik, materi-materinya diurutkan dari yang kongkret ke abstrak, dari yang mudah ke yang sukar, dan dari yang umum sifatnya kepada materi yang rinci (khusus). Secara garis besar, Qaidah Baghdadyyah memerlukan 17 langkah. Tiga puluh huruf hijaiyah selalu ditampilkan secara utuh dalam tiap langkah. Seolah-olah sejumlah tersebut menjadi tema sentral dengan berbagai variasi. Variasi dari tiap langkah menimbulkan rasa estetika bagi siswa (enak didenger) karena bunyinya bersajak berirama. Indah dilihat karena penulisan huruf yang sama. Metode ini diajarkan secara klasikal maupun privat (Abd. Gafur, 2012: 36).

Metode Baghdady merupakan metode yang tersusun secara berurutan dan merupakan sebuah proses ulang atau lebih dikenal dengan sebutan metode alif, ba‟, ta‟. Metode ini juga merupakan metode yang paling lama muncul dan yang pertama berkembang di Indonesia. Sebagian besar ulama mengungkapkan pengalaman masa kecilnya ketika belajar mengaji. Tidak dapat ditemukan suatu riwayat yang menerangkan dengan tegas bahwa metode ini merupakan karya siapa. Namun sebagaimana diketahui, hingga saat ini tidak terhitung banyaknya

(3)

15

ulama diseluruh dunia yang telah belajar melalui metode ini pada masa kanak- kanak.

Mengingat kemunculan metode ini sudah sangat lama, sehingga sedikit sekali literature yang bisa dijadikan sebagai referensi. Sebagaimana kita ketahui zaman dulu sedikit sekali ulama yang mengabadikan karyanya dalam bentuk tulisan. Namun tetap saja karya-karya tersebut hingga saat ini masih digunakan.

Dengan bukti bahwa sampai saat ini metode Baghdady masih diterapkan sebagai salah satu metode dalam pembelajaran membaca al-Qur‟an.

Al-Khatib Al-Baghdady dengan pentahqiq Syaikh Al-Bani (2004: 11-13), mengatakan tentang tokoh penemu metode Baghdady yakni Syaikh Imam Abu Bakar Muhammad Ahmad bin Ali bin Tsabit, atau lebih populer dengan sebutan

“Al-Khatib Al-Baghdady”. Beliau adalah seorang penulis yang produktif, diantara karyanya yang paling terkenal adalah Tarikh Baghdad.

Syaikh Imam Abu Bakar Muhammad Ahmad bin Ali bin Tsabit dilahirkan pada tahun 392 H, dari keluarga miskin yang berasal dari Irak. Ayahnya bernama Khatib Darzanjan. Ia sangat terobsesi dengan anaknya sampai memasukkan anaknya ke majelis semaan (pengajian dengan sistem semaan/talaqqi) sejak usia dini yakni pada tahun 403 H. Kemudian anaknya disuruh untuk belajar keberbagai wilayah dengan tujuan memperdalam ilmu, mengarang, dan mengumpulkan literatur. Ia juga sangat menguasai dalam disiplin ilmu hadits. Beliau menyimak hadits dari sejumlah besar kalangan muhadditsin yang tsiqah (kredibel) di berbagai kawasan, seperti: Baghdad, Bashrah, Naisabur, Ashbahan, Dainur, Hamadan, Kufah, Haramain (Makkah dan Madinah), Damaskus, Al-Quds, dan lain-lain. Beliau datang ke tanah Syam pada tahun 451 H dan menetap di sana selama 11 tahun.

Banyak juga kalangan huffadz (para penghafal) yang meriwayatkan hadits dari penyusun, dari syaikhnya sendiri Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Al-Barqani Syaikh Baghdad. Ibnu Makula menuturkan bahwa “Abu Bakar Al-Khatib adalah tokoh terkemuka terakhir yang kami akui pakar dalam hal hafalan, akurat, dan kedhabitannya tentang hadits-hadits Rasulallah SAW, juga kelihaiannya dalam mengetahui „illat dan sanad-sanadnya, serta pengetahuannya

(4)

16

akan akan shahih, gharib, ahad, mungkar atau mathruknya sebuah hadits.”Ia melanjutkan.”Tidak ada orang Baghdad pasca Daruquthni yang sekaliber Al- Khatib.”

Syaikh Al-Khatib aktif dalam menulis diskursus fikih dan benar-benar menguasainya. Namun, selanjutnya beliau lebih banyak berkecimpung di dunia hadits. Beliau memiliki suara yang lantang, bacaan yang baik, dan tulisan tangan yang bagus. Konon beliau menyedekahkan seluruh harta kekayaannya senilai 200 Dinar kepada para ulama dan kaum fakir, bahkan beliau berwasiat agar menyedekahkan baju-bajunya (sepeninggalanya) serta mewakafkan kitab-kitabnya kepada kaum muslimin, sehingga beliaupun tidak memiliki peninggalan apa-apa lagi. Beliau meninggal dunia pada tahun 463 H.

2. Langkah-Langkah Pembelajaran Metode Baghdady

Dalam menerapkan metode Baghdady, harus ada langkah-langkah yang ditempuh agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Hal ini perlu akan adanya.

Dalam petunjuk guru di buku metode Baghdady Panduan Praktis Baca Tulis Al- Qur‟an yang disusun oleh tim pimpinan pusat Jam‟iyyah Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama atau bisa disebut PP. JQH-NU (2014: C), menjelaskan bahwa penekanan pengajaran metode ini terletak pada kesadaran terhadap pengucapan huruf sesuai dengan makhroj dan sifatnya. Demikian juga pada keserasian bacaan seperti bacaan mad dua harokat, tempo dengung serta mim tasydid dan lain sebagainya. Pada tingkat dasar peserta didik hanya dituntun untuk menirukan bacaan guru dan guru mendengarkan serta memperbaiki bacaan dari peserta didik.

Penerapan metode Baghdady dalam pembelajaran al-Qur‟an memiliki ciri khas sendidri yakni, langsung memperkenalkan seluruh huruf , dan saat huruf- huruf tersebut diberi tanda baca vocal (fathah, kasroh, dlommah) suku kata tersebut dieja dengan mempergunakan istilah aslinya (Al-Khatib Al-Baghdady, 2004: 21).

Secara diktaktik, materi-materi dalam metode Baghdadyyah diurutkan dari yang kongkret ke abstrak, dari yang mudah ke yang sukar, dan dari yang umum sifatnya sampai ke yang terinci (khusus). 30 huruf hijaiyyah selalu ditampilkan

(5)

17

secara utuh dalam tiap langkah. Seolah-olah sejumah tersebut menjadi tema central dengan berbagai variasi. Variasi dari tiap langkah menimbulkan rasa estetika bagi peserta didik (enak didengar) karena bunyinya bersajak berirama.

Indah dilihat karena penulisan huruf yang sama. Metode ini diajarkan secara klasikal maupun privat (Suaeb Kurdi dan Abdul Aziz, 2012: 89). Adapun langkah-langkah metode Baghdady ini adalah sebagai berikut:

a. Hafalan

Sebelum santri diberi materi, terlebih dahulu harus menghafal huruf-huruf hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf mulai dari alif sampai ya.

b. Eja

Sebelum santri membaca perkalimat, terlebih dahulu membaca secara eja, seperti alif fathah a

c. Modul

Santri yang lebih dulu menguasai materi, maka dapat melanjutkan materi/halaman berikutnya tanpa harus menunggu santri/ temannya yang lain.

d. Pemberian contoh yang absolute

Dalam metode ini seorang ustadz/ ustadzah dalam membimbing, terlebih dahulu memberikan contoh kemudian santri mengikutinya, sehingga santri tidak diperlukan untuk bersikap aktif (Suaeb Kurdi dan Abdul Aziz, 2012: 90).

Langkah-langkah tersebut bisa digunakan dalam penerapan metode Baghdady agar bisa membantu guru dan peserta didik dalam belajar membaca al- Qur‟an. Namun meskipun demikian tetap harus dilaksanakan dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Karena langkah-langkah tersebut bisa jadi kurang memberikan hasil maksimal jika tidak dibarengi dengan kesabaran dan ketekunan, baik dari guru maupun peserta didiknya.

Metode Baghdady menggunakan model buku dengan sistem struktur, Analisa dan Sintesis atau SAS, padat dan ringkas serta kreatif melalui penemuan Alat Bantu Mengajar atau ABM yang biasanya disebut alat ketuk. Buku metode Al-Baghdady hanya terdiri dari satu jilid dan biasa dikenal dengan sebutan al- Qur‟an kecil atau turutan.

(6)

18

Alat ketuk dalam metode ini dipercayai bisa menarik minat peserta didik untuk belajar membaca al-Qur‟an dengan cara yang lebih menyenangkan serta merangsang kreativitas. Alat ketuk adalah suatu alat bantu mengajar yang bertujuan memberi kesan yang lebih baik di dalam proses pengajaran dan pembelajaran al-Qur‟an. Teknik ketukan dinilai mampu mendisiplinkan pembaca al-Qur‟an untuk menguasai bacaan dengan lebih fasih dan tertib.

Teknik Al-Baghdady merupakan salah satu di antara teknik alternatif membaca al-Qur‟an yang kontemporari. Pengasasnya seorang anak Malaysia yaitu Jalaluddin Hassanuddin al-Baghdady. Beliau dilahirkan pada 15 Januari 1970 di Kampung Berhala Gantang, Pahang. Berkelulusan Ijazah Sarjana Muda dalam bidang Bahasa Arab dan Pengajian al-Qur‟an dari Universiti Saddam, Baghdad, Iraq pada tahun 1998. Berpengalaman menyusun dan mengendalikan program berbentuk kursus dan latihan kepada guru-guru serta ibu bapa di seluruh Negara hampir 10 tahun khususnya di dalam bidang pengajaran dan pembelajaran al-Qur‟an dan bahasa Arab. Beliau juga berpengalaman mengendalikan kursus perguruan teknik al-Barqy selama 8 tahun (Norsyida Md Zin, Sedek Ariffin, Norhidayah Yusoff, 2014: 55)

Pada Mac 2009, secara rasminya terhasillah satu teknik inovasi membaca al- Qur‟an menggunakan „alat ketuk‟ yang diasas serta direka sendiri oleh Jalaluddin.

Teknik yang dihasilkan diberi nama „Al-Baghdady‟. Menurut beliau, penjenamaan teknik AlBaghdady adalah kerana dua sebab yaitu, Sebab pertama bersempena mengambil nama tempat pengajian pendidikan beliau iaitu dari Baghdad manakala sebab kedua adalah kerana beliau ingin mengembalikan semula kegemilangan pengajian ilmu al-Qur‟an (yang berasal dari Baghdad menerusi teknik Baghdadyyyah) ke kota Baghdad (Norsyida Md Zin, Sedek Ariffin,

Norhidayah Yusoff, 2014: 56).

Kini beliau gigih bergerak kehadapan dalam rangka memperkasakan teknik inovasi ini. Menariknya, teknik ini menggunakan „alat ketuk‟ sebagai alat bantu mengajar utama yang digunakan sepanjang pembelajaran asas teknik al- Baghdady berpandukan buku Tamhid Al-Baghdady.

(7)

19

Alat ketuk tersebut diciptakan dan direka sendiri oleh pengasas teknik ini.

Ianya bertujuan supaya pelajar dapat mendisiplinkan setiap bacaan pelajar dengan memberikan satu intonasi ketukan kepada setiap huruf yang dibaca. Di antara keistimewaan lain teknik Al-Baghdady adalah suasana pembelajaran yang sangat ceria dan menyeronokkan dapat diwujudkan, memberikan hasil bacaan yang berintonasi yang memiliki disiplin bacaan yang tinggi, memberikan kesan aktiviti latih tubi yang tidak akan menjemukan, menggerakkan fungsi otak kiri dan otak kanan secara serentak di dalam proses pembelajaran, mempercepatkan proses pembelajaran al-Qur‟an, mampu menarik minat yang mendalam untuk mempelajari al-Qur‟an. Teknik ini dapat menjimatkan tempo pengajaran dan pembelajaran al-Qur‟an kerana buku yang digunapakai adalah ringkas dan padat Norsyida Md Zin, Sedek Ariffin, Norhidayah Yusoff, 2014: 57).

Pembelajaran metode ini dimulai dengan cara mengajarkan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf alif sampai dengan ya‟ dan pembelajaran tersebut diakhiri dengan membaca juz „Amma. Kemudian peserta didik melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi yaitu pembelajaran al-Qur‟an. Pada saat itu masih belum ada seoarngpun yang mampu mengungkap tentang sejarah penemuan, perkembangan dan metode pembelajarannya secara detail. Kemudian belum lama PP-JQH muncul dan mengenalkan kembali serta mengembangkan kembali metode Baghdady. Dalam bukunya (penggunaan istilah metode Baghdadyyah dengan tulisan Baghdady), mereka menyebutkan bahwa dalam mengenalkan huruf hijaiyyah, guru menggunakan lagu khusus metode Baghdady. Untuk selanjutnya lagu ini dinyanyikan setiap memulai pelajaran setiap hari. Saat membunyikan satu huruf, guru menunjuk tulisan huruf yang ada secara tepat melalui alat peraga.

Dalam membaca jilid, peserta didik di pandu oleh guru untuk membunyikan huruf yang dibaca secara mendatar. Contoh a-a i-i u-u dan seterusnya. Lalu setelah peserta didik lancar membaca secara datar, peserta didik dipandu untuk membunyikan huruf secara acak. Dengan cara guru menunjuk huruf secara acak dan mendengarkan bacaan peserta didik lalu guru memperbaikinya jika masih ada kesalahan dalam bacaannya. Peserta didik boleh pindah pada pelajaran

(8)

20

selanjutnya setelah benar-benar lancar membunyikan masing-masing huruf (PP- JQH-NU, 2014: 2-3).

Dari sini bisa dipahami bahwa dalam metode Baghdady, caranya guru mengenalkan harokat kepada peserta didik dengan cara a fathah a, i kasroh i, dan u dlommah u, hanya saja di awal pembelajaran dimulai dengan cara bernyanyi.

Dalam membaca jilid guru langsung mencontohkan dengan bacaan a-i-u dan peserta didik menirukannya. Dalam hal ini peserta didik juga tidak difokuskan pada perbedaan bentuk tulisan, tapi cukup dengan memperhatikan tulisan dan bacaan yang tepat.

Selain itu, dalam metode Baghdady peserta didik diperkenalkan tentang tempat keluarnya huruf melalui gambar. Serta membedakan antara tenggorokan atas bawah dan tengah misalnya. Jadi ketika guru menyebutkan huruf hamzah/ha‟, maka peserta didik menjawabnya “bawah”. Maksudnya tenggorokan bagian bawah. Demikian juga sebaliknya, jika guru menyebut bawah, maka peserta didik menjawab “hamzah/ha‟. Demikian seterusnya untuk setiap huruf disebutkan beserta tempat keluarnya (PP-JQH-NU, 2015: 10).

3. Kekurangan dan Kelebihan Metode Baghdady

Setiap metode, apapun itu metodenya pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Adapun kekurangan dan kelebihan yang dimilik oleh metode Baghdady yaitu:

a. Bahan-materi pelajaran disusun secara sekuensif

b. Tiga puluh abjad hamper selalu ditampilkan pada setiap langkah secara utuh sebagai tema sentral

c. Pola bunyi dan susunan huruf wazan disusun secara rapih

d. Keterampilan mengeja yang dikembangkan merupakan daya tarik tersendiri e. Materi tajwid secara mendasar terintegrasi dalam setiap langkah.

Sedangkan diantara kekurangannya adalah:

a. Qaidah Baghdadyyah yang asli sulit diketahui, karena sudah mengalami beberapa modifikasi kecil

(9)

21 b. Penyajian materi terkesan menjemukan

c. Penanpilan beberapa huruf yang mirip dapat menyulitkan pengalaman belajar siswa

d. Memerlukan waktu lama untuk mampu membaca al Qur‟an (Abd. Gafur, 2012:

43).

B. Macam – Macam Metode dalam Pembelajaran Membaca Al-Qur’an Selain metode Baghdady, dalam pembelajaran al-Qur‟an juga masih banyak metode-metode yang digunakan agar peserta didik mampu membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar sesuai tajwid dan makhrojnya. Adapun metode tersebut diantaranya yaitu:

a. Metode Al-Barqy

Metode pembelajaran baca-tulis ini bernama Al-Barqy yang berarti kilat, maksudnya belajar membaca dan menulis huruf al-Qur‟an dengan cepat dan tidak memakan waktu yang lama. Metode al-Barqy dapat dinilai sebagai metode cepat membaca al-Qur‟an yang paling awal. Metode ini ditemukan oleh dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, bernama Muhajir Sulthon 1965. Awalnya al- Barqy diperuntukkan bagi siwa SD Islam al-Tarbiyah Surabaya. Siswa yang belajar metode ini lebih cepat mampu membaca al-Qur‟an. Muhajir lantas membukukan metodenya pada tahun 1978, dengan judul “Cara Cepat Mempelajari Bacaan al-Barqy.

Metode ini dapat dipakai secara klasik dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dengan seorang guru, karena metode ini adalah metode semi SAS (Struktural Analitik Sintatik). Metode semi SAS adalah menggunakan struktur kata atau tidak mengikuti bunyi mati atau sukun. Dengan menggunakan sistem empat lembaga, yaitu: (a) A-DA-RA-JA; (b) MA-KA-HA-YA; (c) KA-TA-WA- MA; (d) SA-MA-LA-BA.

Metode empat kata lembaga ini mudah diserap oleh anak, sebab empat kata lembaga ini merupakan kata Indonesia yang mudah dimengerti dan dihafalkan oleh anak, sehingga metode ini dinamakan “metode anti lupa”, karena anak bisa mengingat sendiri tanpa bantuan orang lain bila sedang lupa. Metode

(10)

22

Al-Barqy dapat digunakan mengajar secara klasik dengan keadaan masyarakat yang majemuk yaitu didalamnya masyarakat santri atau priyayi bahkan ada pula masyarakat minus. Dengan mengajarkan pelajaran yang lebih mudah terlebih dahulu, kemudian yang sedang dan berakhir dengan pelajaran yang lebih sulit, serta ditambah dengan pelajaran ilmu tajwid sehingga nantinya anak tidak hanya membaca dan menulis al-Qur‟an saja akan tetapi dapat membaca al-Qur‟an sesuai dengan makhrajnya serta memahami dan mengerti tentang tajwidnya.

Secara teoritis, metode al-Barqy apabila diterapkan pada anak kelas VI SD hanya memerlukan waktu 8 jam, bahkan bagi anak SLTA keatas hanya cukup 6 jam, sedangkan jika buku al-Barqy diterapkan pada anak TK dengancara bermain, maka dapat memicu kecerdasan. Adapun fase yang harus dilalui dalam metode al- Barqy, antara lain:

1) Fase Analitik, yaitu guru memberikan contoh bacaan yang berupa kata-kata lembaga dan santri mengikutinya sampai hafal, dilanjutkan dengan pemenggalan kata lembaga dan terakhir evaluasi yaitu dengan cara guru menunjukkan huruf secara acak dan santri membacanya;

2) Fase Sistetik, yaitu satu huruf digabung dengan yang lain hingga berupa suatu bacaan, missal: A-DA-RA-JA menjadi ARA-JAA-A;

3) Fase Penulisan, yaitu santri menebali tulisan yang berupa titik-titik;

4) Fase Pengenalan bunyi A-I-U, yaitu pengenalan pada tanda baca fathah, kasroh, dhommah;

5) Fase Pemindahan, yaitu pengenalan terhadap bacaan atau bunyi arab yang sulit, maka didekatkan pada bunyi-bunyi Indonesia yang berdekatan;

6) Fase Pengenalan Mad, yaitu mengenalkan santri pada bacaan-bacaan panjang;

7) Fase Pengenalan Tanda sukun, yaitu mengenalkan bacaan-bacaan yang bersukun;

8) Fase pengenalan tanda syaddah, yaitu mengenalkan bacaan-bacaan yang bersyaddah;

9) Fase pengenalan huruf asli, yaitu mengenalkan huruf asli (tanpa harokat);

(11)

23

10) Fase pengenalan pada huruf yang tidak dibaca, yaitu mengenalkan santri pada huruf yang tidak terdapat tanda saksi (harokat) atau tidak dibaca;

11) Fase pengenalan huruf yang musykil, yaitu mengenalkan huruf yang biasa dijumpai di Al-qur‟an;

12) Fase pengenalan menyambung, yaitu mengenalkan santri pada huruf-huruf yang disambung di awal, di tengah, dan di akhir;

13) Fase pengenalan tanda waqof, yaitu mengenalkan pada tanda-tanda baca seperti yang sering ditemui di Alqur‟an.

b. Metode Iqro’

Metode iqro‟ adalah sebuah metode pengajaran al-Qur‟an dengan menggunakan buku Iqro‟ yang terdiri dari 6 jilid dan dapat dipergunakan untuk balita sampai manula (Ahmad Darka, 2009: 13). Metode ini dalam praktek pelaksanaannya tidak membutuhkan alat-alat yang bermacam-macam dan metode ini dapat ditekankan pada bacaan (mengeluarkan bacaan huruf atau suara huruf al- Qur‟an) dengan fasih dan benar sesuai dengan makhroj dan bacaannya.

Metode Iqro‟ pertama kali disusun oleh H. As‟ad Humam di Yogyakarta.

Buku metode Iqro‟ ini disusun/dicetak dalam enam jilid sekali. Dimana dalam setiap jilidnya terdapat petunjuk mengajar dengan tujuan untuk memudahkan setiap peserta didik yang akan menggunakannya, maupun pendidik yang akan menerapkan metode tersebut kepada peserta didiknya. Metode iqro‟ ini termasuk salah satu metode yang cukup dikenal dikalangan masyarakat, karena metode ini sudah umum digunakan ditengah-tengah masayarakat Indonesia. Dalam pembelajarannya bisa dilakukan secara klasikal, privat, dan asistensi (Arief Gunawan, 2008: 11).

Metode Iqro‟ secara praktis terbagi atas tiga bentuk, diantaranya:

1) Privat

Bentuk ini sering disebut dengan metode drill, yaitu cara mengajar yang dilakukan oleh ustadz dengan jalan melatih ketrampilan baca pada anak didik terhadap bahan yang telah diberikan. Cara ini dilakukan dengan berhadapan

(12)

24

langsung antara ustadz dengan anak didik. Cara ini terbagi dalam tiga teknis, diantaranya:

a) Listening Skill: Siswa berlatih untuk mendengarkan bunyi huruf yang ada dalam buku paket Iqro‟ dari ustadz;

b) Oral Drill: siswa berlatih dengan lisannya untuk mengucapkan apa yang didengar dari ustadz;

c) Reading Drill: siswa berlatih untuk membaca huruf yang telah didengar dan diucapkan.

2) Klasikal

Yaitu cara mengajar yang dilakukan oleh ustadz, dengan membentuk klasikal dari anak satu kelas untuk mencapai suatu tujuan secara bersama- sama. Cara ini dimaksudkan untuk mendapatkan timbal balik antara individu agar saling mempercayai dan menumbuhkan rasa sosialisasi antar sesama teman.

3) Bentuk mandiri

Bentuk ini sering disebut dengan metode pekerjaan rumah yaitu cara mengajar yang dilakukan ustadz dengan jalan memberi tugas khusus pada anak didik untuk mengerjakan sesuatu diluar jam pelajaran. Pada bentuk seorang ustadz membaca, menggambar dan menulis dari lembaran- lembaran yang disediakan dari sekolah. Adapun kelebihan metode Iqro‟

adalah sebagai berikut:

a) Anak didik mudah menerima materi yang telah diberikan oleh ustadz melalui buku-buku pelajaran (Iqro‟);

b) Anak didik dapat membaca huruf al-Qur‟an dengan lancar dan sesuai dengan makhrojnya;

c) Anak didik dapat membaca al-Qur‟an dengan lancar sesuai dengan bacaan kalimatnya (tajwid).

Sedangkan kelemahan metode Iqro‟ adalah sebagai berikut:

a) Anak didik hanya bisa membaca huruf al-Qur‟an dengan baik dan lancar;

(13)

25

b) Anak didik kurang dapat menulis al-Qur‟an terutama pada huruf atau kalimat yang pendek dari surat al-Qur‟an;

c) Bagi anak didik yang lemah berfikir maka lemah sekali menerima pelajaran yang diberikan oleh ustadz.

c. Metode Qira’aty

Al-Qur'an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Rosululla SAW. Mempelajari al-Qur'an serta mengamalkannya merupakan suatu kewajiban kita sebagai umat muslim. Pendekatan terbaik dalam mempelajari al-Qur'an adalah Talaqqi dan Musyafahah yaitu berhadapan langsung antara guru dan murid, seperti yang dilakukan oleh Malaikat Jibril dengan Rosulullah SAW ketika pertama kali wahyu diturunkan. Metode Qiro‟aty adalah suatu metode/cara cepat yang digunakan untuk baca al-Qur‟an yang langsung memasukkan dan mempraktekkan bacaan dengan cara tartil sesuai dengan qoidah ilmu tajwid.

Metode baca al Qur‟an Qira‟ati ditemukan oleh KH. Dahlan Salim Zarkasyi (w. 2001 M) dari Semarang Jawa Tengah. Metode yang disebarkan sejak awal 1970-an, ini memungkinkan anak-anak mempelajari al-Qur‟an secara cepat dan mudah. Kyai Dahlan yang mulai mengajar al-Qur‟an sejak tahun 1963, merasa metode baca al-Qur‟an yang ada belum memadai, misalnya metode Qaidah Baghdadiyah dari Baghdad Irak, yang dianggap metode tertua, terlalu mengandalkan hafalan dan tidak mengenalkan cara baca tartil (jelas dan tepat), Kyai Dahlan kemudian menerbitkan enam jilid buku pelajaran membaca al-Qur‟an untuk TK al-Qur‟an untuk anak usia 4-6 tahun pada 1 Juli 1986. Usai merampungkan penyusunannya, KH. Dahlan berwasiat supaya tidak sembarang mengajarkan metode Qira‟ati, tapi semua orang boleh diajar dengan metode Qira‟ati. (Abd. Gafur, 2012: 36).

d. Metode Tilawati

Metode Tilawati disusun pada tahun 2002 oleh Tim terdiri dari Drs.H.

Hasan Sadzili, Drs H. Ali Muaffa dkk. Kemudian dikembangkan oleh

(14)

26

Pesantren Virtual Nurul Falah Surabaya. Metode Tilawati dikembangkan untuk menjawab permasalahan yang berkembang di TK-TPA, antara lain:

1) Mutu Pendidikan Kualitas santri lulusan TK/TP Al Qur‟an belum sesuai dengan target.

2) Metode Pembelajaran masih belum menciptakan suasana belajar yang kondusif. Sehingga proses belajar tidak efektif.

3) Pendanaan Tidak adanya keseimbangan keuangan antara pemasukan dan pengeluaran.

4) Waktu pendidikan masih terlalu lama sehingga banyak santri drop out sebelum khatam Al-Qur‟an.

5) Kelas TQA Pasca TPA TQA belum bisa terlaksana.

Metode Tilawati memberikan jaminan kualitas bagi santri-santrinya, antara lain:

1) Santri mampu membaca al-Qur‟an dengan tartil.

2) Santri mampu membenarkan bacaan al-Qur‟an yang salah.

3) Ketuntasan belajar santri secara individu 70 % dan secara kelompok 80%.

Prinsip-prinsip pembelajaran Tilawati:

1) Disampaikan dengan praktis.

2) Menggunakan lagu Rost.

3) Menggunakan pendekatan klasikal dan individu secara seimbang.

e. Metode Yanbu’a

Yanbu‟a merupakan metode pembelajaran al-Qur‟an ciptaan dari Tim Penyusun yang dipimpin oleh KH. M. Ulil Albab Arwani, beliau adalah putra kiai kharismatik dari Kudus yang dikenal sebagai ahli ilmu al-Qur‟an yaitu KH. Muhammad Arwani. Metode Yanbu‟a mempunyai arti sumber, mengambil dari kata Yanbu’ul Qur’an yang berarti sumber al-Qur‟an. Yanbu‟a berkembang pada tahun 2004, terdiri dari 7 juz atau jilid untuk TPQ dan 1 juz untuk pra TK dan dalam pembelajarannya dimulai dengan pengenalan huruf hijaiyyah beserta harakatnya ditulis secara bertahap, dari tingkat yang

(15)

27

sederhana sampai kepada tingkat yang paling sulit. Selain itu, dalam Yanbu‟a tidak hanya diajarkan tentang membaca al-Qur‟an saja, tetapi juga diajarkan menulis al-Qur‟an.

Munculnya Yanbu‟a adalah usulan dan dorongan dari alumni Pondok Tahfd Yanbu‟ul Qur‟an, supaya mereka selalu ada hubungan dengan pondok di samping usulan dari masyarakat luas juga dari Lembaga Pendidikan Ma‟arif serta Muslimat terutama dari cabang Kudus dan Jepara. Mestinya dari pihak pondok sudah menolak, karena menganggap sudah cukup metode yang ada.

Tapi karena desakan yang terus menerus dan memang dipandang perlu, terutama untuk menjalin keakraban antara alumni dengan pondok serta untuk menjaga dan memelihara keseragaman bacaan al-Qur‟an (Ida Vera Sophya &

Saiful, 2014: 344-345).

Metode Yanbu‟a adalah suatu kitab Thoriqoah (metode) untuk mempelajari baca dan menulis serta menghafal Al-qur‟an dengan cepat, mudah dan benar bagi anak maupun orang dewasa, yang dirancang dengan rosm usmaniy dan menggunakan tanda-tanda waqof yang ada di dalam al-Qur‟an Rosm Usmaniy, yang dipakai di Negara-negara Arab dan Negara Islam. Juga diajarkan cara menulis dan membaca tulisan pegon (tulisan bahasa Indonesia/jawa yang ditulis dengan huruf Arab). Contoh-contoh huruf yang sudah dirangkai semuanya dari lafadz al-Qur‟an, kecuali beberapa lafadz.

Timbulnya Yanbu‟a adalah suatu usulan dan dorongan alumni pondok Tahfidh Yanbu‟ul Qur‟an, agar para alumni selalu ada hubungan dengan pondok, disamping usulan dari masyarakat luas juga dari Lembaga Pendidikan Ma‟arif serta Muslimat terutama dari cabang Kudus dan Jepara. Mestinya dari pihak pondok sudah menolak, karena menganggap cukup metode yang sudah ada, tapi karena desakan yang terus menerus dan memang dipandang perlu, terutama untuk menjalin keakraban antara alumni dengan pondok serta untuk menjaga dan memelihara keseragaman bacaan, maka dengan tawakkal dan memohon pertolongan kepada Allah tersusunlah kitab Yanbu‟a yang meliputi thoriqoh baca-tulis dan menghafal al-Qur‟an (Wiwik Anggranti, 2016:111).

(16)

28 Tujuan metode Yanbu‟a adalah:

1) Ikut andil dalam mencerdaskan anak bangsa supaya bisa membaca al- Qur‟an dengan lancar dan benar;

2) Nasyrul Ilmi (menyebarluaskan ilmu) khususnya ilmu al-Qur‟an;

3) Memasyarakatkan al-Qur‟an dengan Rosm Usmaniy;

4) Untuk membetulkan yang salah dan menyempurnakan yang benar;

5) Mengajak selalu mentadarus al-Qur‟an dan Musyafahah al-Qur‟an sampai khatam.

Sedangkan karakteristik dari metode Yanbu‟a adalah:

1) Sangat mudah;

2) Mudah bagi pengajar;

3) Mudah dipahami murid;

C. Kemampuan Membaca Al-Qur’an secara Tartil 1. Pengertian Membaca Al-Qur’an secara Tartil

Membaca pada hakikatnya adalah sesuatu yang rumit yang melibatkan banyak hal tidak hanya melafalkan lisan, tapi juga melibatkan aktivitas visual, pikiran, psikolinguistik, dan metokognitif, sebagai proses visual, maembaca merupakan proses menterjemahkan simbol tulis (huruf) kedalam kata-kata lisan.

Sebagai proses berfikir, membaca mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan pemahaman kreatif (Mohammad Fauzil Adhim, 2007: 25-26).

Membaca adalah mengeja atau melafalkan apa yang tertulis (Alwi Hasan, 2001: 83). Sedangakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Dep. Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis, mengeja atau melafalkan apa yang tertulis (2002: 392).

Al-Qur‟an adalah sebagaimana yang telah disebutkan pada bab 1 yaitu kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., penutup para Nabi dan Rasul dengan perantara Malaikat Jibril

(17)

29

alaihis salam, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah (Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, 1998: 15).

M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Wawasan al-Qur‟an Al- Qur‟an yang secara harfiah berarti "bacaan sempurna" merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur‟an al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu. Tiada bacaan semacam al-Qur‟an yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Tiada bacaan melebihi al-Qur‟an dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu- waktu turunnya.

Tiada bacaan seperti al-Qur‟an yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran.

Al-Qur‟an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tiada bacaan seperti al-Qur‟an yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya, dimana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus, memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, samapai kepada etika membacanya (M. Quraish Shihab: 3).

Allah SWT, menurunkan kitab-Nya yang kekal agar dibaca oleh manusia sebagai hamba-Nya, didengar oleh telinga mereka, ditadaburi oleh akal mereka, dan menjadi ketenangan bagi hati mereka (Yusuf Qardhawi: 1998: 175). Untuk membacanya kita tidak diperkenankan membaca al-Qur‟an dengan asal-asalan,

(18)

30

tapi harus dengan tartil. Hal ini seseuai dengan firman Allah SWT, dalam al- Qur‟an yaitu:

: لمزملا{ الًْيِت ْرَت َنا ْرُقْلا ِلِّت َر َو ٤

} ...

Artinya : “... Dan bacalah Qur’an itu dengan tartil (QS. Al-Muzammil : 4)”

Dalam kamus Munawwir kata

ن َأ ْر ُق ْلا َل ت َر

itu mengandung arti membaca al-Qur‟an dengan tartil, maksudnya pelan-pelan dan memperhatikan tajwidnya (Ahmad Warson Munawir, 1997: 471). Dalam tafsir Shofwatul Bayan dijelaskan makna tartil dalam al-Qur‟an Al-Ma‟ani Shofwah Al-Bayan (1994: 574) sebagai berikut:

َو ْى َق ُل ُه َع َت َلا ( : ى ْرُقْلا ِلِّت َر َو َأ ) الًْيِت ْرَت َنا

ْي َا َر ْق َأ ُه ِب َم َت ه َو ل َت ْب ِي ْي ِه ُر ُح ْو ف

Yang artinya tartil berarti membaca dengan tidak tergesa-gesa dan membaca dengan jelas tiap hurufnya. Hukum membaca al-Qur‟an dengan tartil hukumnya mustahab atau sunnah muakkad. Hal ini sesuai dengan perkataannya Imam al- Gazali dalam kitabnya Ihya‟ Ulumuddin yang artinya: “ ketahuilah, bahwa tartil itu disunnahkan, tidak semata-mata bagi pemahaman artinya. Akan tetapi bagi orang „Ajm yang tidak mengerti arti akan al-Qur‟an juga disunnahkan tartil dan pelan-pelan dalam membaca” (TT: 327).

As‟ad Humam (1990: 4) mengatakan bahwa tartil adalah membaguskan bacaan huruf-huruf al-Qur‟an dengan terang dan teratur, mengenal tanda-tanda waqaf sesuai aturan ilmu tajwid dan tidak terburu-buru. Sedangkan Bahtsul Birri (TT: 12) mengatakan bahwa sahabat Ali pernah berkata yang namanya tartil adalah memperindah bacaan huruf dan mengetahui waqaf. Maksudnya ia tahu dimana bacaan harus berhenti, bagaimana cara baca yang benar saat berhenti dan dimana bacaan harus dimulai.

Menurut Mujawir, kata tartil berasal dari kata Rattala, Yuratilu, tartiilan yang berarti membaca perlahan-lahan dan memperhatikan tajwidnya. Dalam kitab Rowai‟ul Bayan tartil diartikan bacalah al-Quran dengan tenang perlahan-lahan, dan jelas huruf-hurufnya, dimana pendengarnya dapat mendengar dengan baik,

(19)

31

dan sekaligus merenungkan maknanya. Menurut al-Maraghi, tartil adalah menghadirkan hati ketika membaca, tidak sekedar mengeluarkan huruf huruf dari kerongkongan dengan mengerutkan wajah, mulut dan irama nyanyian. Jadi dari kedua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud tartil adalah kemampuan membaca al-Quran dengan cara perlahan-lahan dengan bacaan sesuai dengan huruf-hurufnya, benar makhrajnya dan orang yang mendengarkan dengan tenang dan tertarik dengan apa yang didengarnya ( Sarikin, 2012: 75-76).

Dari beberapa penjelasan diatas telah memberikan kesimpulan bahwa arti dari tartil yaitu membaca al-Qur‟an secara pelan-pelan yang disertai dengan mengindahkan bacaan sesuai dengan kaida-kaidah ilmu tajwid. Seseorang tidak mungkin bisa membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar kalau tidak mengerti dan faham tentang ilmu tajwid. Kita tidak bisa lepas dari kiadah tajwid ketika membaca al-Qur‟an. Oleh karena itu di Musholla Asy-Syifa dari dulu sampai sekarang tetap menerapkan pelajaran tajwid untuk peserta didik yang belajar ngaji di situ. Selain mengajarkan tajwid juga di situ sekaligus menerapkan makhrojnya, Agar peserta didik mampu membaca al-Qur‟an sesuai dengan makhrojnya.

Penerapan yang demikian cukup bagus, karena bertujuan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

2. Aspek-Aspek Membaca Al-Qur’an secara Tartil

Dalam membaca al-Qur‟an kita harus membacanya dengan tartil. Hal ini seseuai dengan firman Allah SWT, dalam surat Al-Muzammil ayat 4. Agar kita mampu membaca al-Qur‟an dengan tartil, maka harus memenuhi tahapan- tahapannya yaitu dengan menggunakan tajwid.

Tajwid secara bahasa yaitu berasal dari kata

ا اد ْي ِى ْج َت – ُد ِّى َج ُي – َد ى َج

yang artinya membaguskan atau menjadi bagus. Sedangkan tajwid menurut istilah adalah ilmu yang memberikan segala pengertian tentang huruf baik hak-hak huruf (haqqul harf) maupun hukum-hukum yang baru timbul setelah hak-hak huruf (mustahaqqul harf) (Muhammad al-Mahmud: 6).

Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjelasakan bahwa devinisi dari tajwid yaitu memberikan huruf hak-haknya dan tertibnya mengembalikan huruf pada makhraj

(20)

32

dan asal (shifat)-nya, serta menghaluskan pengucapan dengan cara yang sempurna tanpa berlebih-lebihan, serampangan tergesa-gesa dan dipaksakan. Oleh karena itu, ilmu yang mempelajari tentang tata cara membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar tersebut dengan ilmu tajwid.

Tujuan mempelajari ilmu tajwid adalah agar dapat membaca ayat-ayat al- Qur‟an secara baik dan benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi SAW. Atau dengan kata lain, agar dapat memelihara lisan dari kesalahan (lahn) ketika membaca kitab Allah SWT.

Muhammad al-Mahmud menjelaskan dalam kitabnya Hidayatul Mustafid Fii Ahkamit Tajwid (hl. 6), bahwa hukum mempelajari ilmu tajwid sebagai sebuah disiplin ilmu adalah fardlu kifayah (kewajiban kolektif). Sedangkan hukum membaca al-Qur‟an dengan memakai aturan-aturan tajwid adalah fardlu

„ain (kewajiban peserorangan). Penggunaan tajwid di dalam membaca al-Qur‟an ini dimaksudkan agar pembaca tidak terjatuh pada kesalahan (lahn) yang dapat menimbulkan kekeliruan pemahaman.

Secara garis besar tajwid meliputi lima bagian pokok, yaitu:

a. Ahkam al-Hauruf b. Ahkam at-Tajwid c. Al-Madd wa al-Qashr

d. Al-Washlu, al-Waqfu al-Ibtida‟

e. Al-Gharib wa al-Musykilat

3. Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Membaca Al-Qur’an secara Tartil

Dalam kegiatan pembelajaran al-Qur‟an, kita harus memperhatikan beberapa faktor. Karena faktor-faktor ini akan sangat menentukan dan memberi pengaruh terhadap kelancaran proses belajar mengajar. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap kemampuan membaca al-Qur‟an adalah sebagai berikut:

a. Faktor peserta didik (Amien Dien Indra Kusuma, 1973: 134).

(21)

33

Ada lima prinsip dasar yang perlu diperhatikan pada saat proses belajar berlangsung yang berhubungan dengan peserta didik, yakni sebagai berikut:

1) Adanya persiapan anak untuk belajar

Kesiapan anak baik fisik maupun mental. Kesiapan fisik adalah sarana prasarana yang diperlukan dalam belajar. Sedangkan kesiapan mental adalah dalam bentuk pengarahan segenap perhatian untuk menerima pelajaran al-Qur‟an.

2) Adanya minat yang besar untuk belajar

Kesiapan peserta didik terhadap pelajaran ditunjang oleh adanya minat anak terhadap suatu pelajaran. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dewa Ketut Sukardi “Minat belajar membaca al-Qur‟an dapat timbul dari berbagai sumber antara lain dari perkembangan insting, fungsi-fungsi intelektual, pengaruh lingkungan, pengalaman, kebiasaan, pendidikan, dan sebagainya” (1988: 61).

3) Adanya keaktifan dalam proses belajar mengajar

Keaktifan dan keterlibatan peserta didik dalam proses belajar mengajar ini sangat besar pengaruhnya. Karena itu guru harus banyak memberikan kesempatan kepada anak didik untuk membangunkan kemampuan atau potensi yang dimiliknya.

4) Ada kepentingan dari diri anak sendiri tentang materi yang dipelajari Salah satu jalan yang dapat dilakukan untuk menolong anak agar mereka merasa berkepentingan dalam proses belajar mengajar adalah dengan memperkenalkan tujuan yang hendak dicapai.

5) Adanya kemampuan dan kemauan seseorang dalam membaca

Tingkat kemampuan dan kemauan sesorang dalam membaca juga merupakan faktor penentu sukses tidaknya ia dalam belajar. Pada prinsipnya, kemampuan dan kemauan membaca merupakan modal dasar yang harus dimiliki setiap peserta didik yang sedang belajar. Dalam hal ini guru harus bisa menarik hati peserta didik agar mereka memiliki kemauan untuk membaca al-Qur‟an.

(22)

34 b. Faktor guru

Guru adalah salah satu faktor yang sangat dominan dalam proses belajar mengajar. Guru sangat berperan sekali untuk melaksanakan jalannya pendidikan, apalagi pendidikan yang bersifat agama seperti yang ada di musholla Asy-Syifa. Guru sebagai pembimbing dan pemberi bimbingan adalah dua macam peranan yang mengandung banyak perbedaan dan persamaannya. Keduanya sering dilakukan oleh guru yang mendidik dan yang bersikap mengasihi dan mencintai murid (Zakiah Daradjat, dkk. 2011:

266).

Tanpa guru program pendidikan tersebut tidak mungkin bisa terlaksana. Di samping harus berkompeten, kesabaran juga sudah tertanam dalam diri seorang guru. Dijelaskan bahwa dalam memilih guru, maka kita harus memilih guru yang ‘alim, yang bersifat wara‟, dan yang lebih tua.

Sebagaimana Abu Hanifah memilih kiai Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau (Hammad) mempunyai kriteria atau sifat-sifat tersebut. Maka Abu Hanifah mengaji kepadanya. Abu Hanifah berkata, “Beliau adalah seorang guru berakhlak mulia, penyantun, dan penyabar. Aku bertahan mengaji kepadanya hingga aku sampai sekarang itu.” (Abdul Kadir Aljufri, 2009: 20).

c. Faktor alat dan sarana

Alat dalam suatu pendidikan adalah hal yang tidak saja membuat kondisi-kondisi yang memungkinkan terlaksananya pekerjaan mendidik, tetapi juga sebagai langkah atau situasi yang membantu pencapaian tujuan pendidikan. Dalam kegiatan belajar mengajar al-Qur‟an khususnya dalam belajar membaca al-Qur‟an yang baik dan benar memerlukan beberapa alat bantu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syafii “guru yang menguasai metode mengajar dan mempunyai dedikasi yang tinggi (terpanggil untuk mengajar) akan lebih lancer dalam pengajaran apabila dilengkapi dengan alat alat atau sarana pengajaran yang cukup memadai (Syafii Hzdami, TT: 14).

d. Faktor lingkungan masyarakat

Masayarakat turut serta memikul tanggung jawab pendidikan. Secara sederhana masyarakat dapat dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan

(23)

35

sekelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan, dan Agama.

Setiap masyarakat mempunyai peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Lembaga pendidikan ini berorientasi langsung kepada hal-hal yang bertalian dengan kehidupan. Pendidikan masyarakat merupakan pendidikan yang menunjang pendidikan keluarga dan sekolah. Masyarakat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada didalamnya (Darajat, 1992).

Sekalipun terdapat tanggung jawab peerseorangan dan pribadi, ia tidak lah mengabaikan tanggung jawab sosial yang menjadikan masyarakat sebagai masyarakat solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan memepertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab membina, memakmurkan, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, melarang yang mungkar, dimana tanggung jawab manusia melebihi perbuatan-perbuatan dan maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat tempat ia hidup dan alam sekitar yang mengelilingi, (Abdul Kadir, dkk, 2012: 168).

Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian (pengetahuan) sikap dan minat, maupun pembentukan keasusilaan dan keagamaan (Marimba, 1980).

Anak didik adalah bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu diciptakan suasana masyarakat yang membantu kelancaran pencapaian tujuan pendidikan. Lingkungan masyarakat yang religius sangat mendukung bagi perkembangan pengetahuan dan kepribadian anak. Demikian juga jika masyarakat mencintai al-Qur‟an maka peserti didik akan ikut terbawa dan terbiasa dengan al-Qur‟an.

D. Pengaruh Penerapan Metode Baghdady terhadap Kemampuan Membaca Al-Qur’an secara Tartil

Pada dasarnya setiap kegiatan pembelajaran bertujuan untuk menumbuhkan dan atau mengembangkan pola laku atau sikap yang dimiliki oleh peserta didik.

(24)

36

Perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari bodoh menjadi pintar dan lain sebagainya. Dengan diselenggarakannya pembelajaran al-Qur‟an menggunakan metode Baghdady, maka terjadi proses pembelajaran tentang tatacara membaca al-Qur‟an agar peserta didik bisa membaca al-Qur‟an dengan tartil.

Dalam hal ini pembelajaran al-Qur‟an adalah sebagai sarana untuk belajar al-Qur‟an dimana guru membekali peserta didiknya dengan materi dan pengalaman yang berkaitan dengan bacaan al-Qur‟an. Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa pada prinsipnya belajar adalah usaha untuk mengubah tingkah laku peserta didik dengan suatu kegiatan. Dalam hal ini usaha yang dilakukan adalah belajar membaca al-Qur‟an dan tingkah laku yang diubah adalah dari tidak bisa membaca dengan benar menjadi bisa membaca al-Qur‟an dengan fasih dan tartil.

Pembelajaran al-Qur‟an akan berhasil jika dalam proses belajar terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap kemampuan membaca al-Qur‟an.

Seperti peserta didik yang siap dan semangat dalam belajar, guru yang profesional serta mumpuni, metode pembelajaran yang tepat, materi yang jelas, sarana prasarana yang memadai, serta adanya lingkungan yang mendukung jalannya proses pembelajaran al-Qur‟an. Dengan demikian jelaslah bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran al-Qur‟an salahsatunya diperlukan metode yang tepat, diantaranya metode Baghdady.

Tujuan utama pembelajaran al-Qur‟an dengan menerapkan metode Baghdady adalah mengupayakan peserta didik agar mampu membaca al-Qur‟an dengan fasih dan tartil sesuai kaidah tajwid dan makhrojnya. Salah satu caranya adalah dengan tidak melanjutkan kepelajaran atau materi berikutnya jika belum benar-benar lancar. Sebagaimana telah disebutkan bahwa penekanan pembelajaran al-Qur‟an dengan menggunakan metode Baghdady terletak pada kesadaran terhadap pengucapan huruf sesuai dengan makhroj dan sifatnya.

Selain itu peserta didik juga dikenalkan tempat keluarnya huruf melalui gambar. Peserta didik juga harus membiasakan penyebutan tempat keluarnya makhroj dalam pembelajaran setiap harinya dengan membedakan antara tenggorokan atas, bawah dan tengah misalnya. Jadi ketika guru menyebut huruf

(25)

37

hamzah atau ha‟, maka peserta didik menjawabnya dengan jawaban „bawah‟, maksudnya tenggorokan bagian bawah. Demikian juga sebaliknya, jika guru menyebut bawah, maka pesrta didik menjawabnya dengan jawaban „hamzah atau ha‟. Demikian seterusnya untuk setiap huruf disebutkan beserta tempat keluarnya.

Metode ini juga fokus pada keserasian bacaan seperti mad dua harokat, tempo dengung serta mim tasydid dan lain sebagainya. Sehingga keseimbangan dalam bacaan yang panjang menjadikan peserta didik mampu membaca al-Qur‟an secara tartil. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa setiap peserta didik yang telah menyelesaikan pembelajaran dengan metode Baghdady mereka akan mampu membaca al-Qur‟an dengan fasih dan tartil. Sehingga penerapan metode ini sangatlah berpengaruh untuk menjadikan peserta didik fasih dan tartil dalam membaca al-Qur‟an.

Referensi

Dokumen terkait

Peran serta kader dalam pelaporan di Puskesmas Padureso secara umum pada taraf yang tidak baik, dari hasil penelitian yang disajikan dapat dilihat bahwa hampir

Berdasarkan tabel MRP diketahui bahwa jumlah persediaan ekstrak kayumanis di gudang masih dapat memenuhi proses produksi pesanan - pesanan tersebut, sehingga Cokelat

Jika ada pekerjaan galian atau pengerukan yang dilakukan sebelum caisson, palung dan cofferdam terpasang pada tempatnya, maka setelah selesai pembuatan dasar pondasi, Kontraktor

Dalam sistem akuntansi pembelian,fungsi gudang bertanggung jawab untuk mengajukan permintaan pembelian sesuai dengan posisi persedian yang ada di gudang dan untuk menyimpan barang

Perhatikan contoh soal berikut ini untuk memahami cara menentukan derajat hasil bagi dan sisa pembagian suku banyak..

Arah rotasi venus searah jarum jam (dari timur ke barat). Hal ini berbeda dengan planet-planet lain yang rotasinya berlawanan jarum jam. Sekali mengelilingi matahari, venus

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

Berdasarkan permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik responden konsumen jus buah segar di Bandar Lampung, menganalisis pengaruh