• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI EXTREME LEARNING MACHINE UNTUK KLASIFIKASI ABLASIO RETINA HASIL CITRA FUNDUS RETINA SKRIPSI FIFI ANGRENI BR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI EXTREME LEARNING MACHINE UNTUK KLASIFIKASI ABLASIO RETINA HASIL CITRA FUNDUS RETINA SKRIPSI FIFI ANGRENI BR."

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)IMPLEMENTASI EXTREME LEARNING MACHINE UNTUK KLASIFIKASI ABLASIO RETINA HASIL CITRA FUNDUS RETINA. SKRIPSI. FIFI ANGRENI BR.GTG 171402003. PROGRAM STUDI S1 TEKNOLOGI INFORMASI FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2021. Universitas Sumatera Utara.

(2) IMPLEMENTASI EXTREME LEARNING MACHINE UNTUK KLASIFIKASI ABLASIO RETINA HASIL CITRA FUNDUS RETINA. SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh ijazah Sarjana Teknologi Informasi. FIFI ANGRENI BR.GTG 171402003. PROGRAM STUDI S1 TEKNOLOGI INFORMASI FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2021. Universitas Sumatera Utara.

(3) Universitas Sumatera Utara.

(4) ii. PERNYATAAN. IMPLEMENTASI EXTREME LEARNING MACHINE UNTUK KLASIFIKASI ABLASIO RETINA HASIL CITRA FUNDUS RETINA. SKRIPSI. Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing telah disebutkan sumbernya.. Medan, 5 Agustus 2021. FIFI ANGRENI BR.GTG 171402003. Universitas Sumatera Utara.

(5) iii. UCAPAN TERIMA KASIH. Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Program Studi Teknologi Informasi, Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak akan terwujud tanpa bantuan banyak pihak. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Diri saya sendiri, Fifi Angreni Br.Gtg, terima kasih untuk tidak menyerah sampai saat ini, walaupun tantangan saat mengerjakannya, saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Keluarga penulis, Ayah Alm. Ir.Amaluddin Ginting dan Ibu Bagekin Tarigan yang tiada henti memberikan kasih sayang, dukungan, doa, dan semangat kepada penulis, serta abang penulis yaitu, Paulus Herianto Ginting,S.P., dan Irwandra Ginting,S.P yang senantiasa memberi semangat hingga skripsi ini selesai. 3. Bapak Dr.Muyanto Amin,S.Sos.,M.Si.,selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Prof.Dr.Opim Salim Sitompul M.Sc. selaku Dekan Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi Universitas Sumatera Utara 5. Ketua dan Sekretaris Program Studi S1 Teknologi Informasi Bapak Romi Fadillah Rahmat,B.Comp.Sc dan Ibu Sarah Purnamawati S.T.M.Sc. 6. Ibu Sarah Purnamawati S.T.M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Ainul Hizriadi,S.Kom,M.Sc selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikiran dengan memberikan arahan, bimbingan, serta dorongan untuk penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 7. Bapak Dedy Arisandi, ST.,M.Kom selaku Dosen Pembanding I dan Ibu Ade Sarah Huzaifah S.Kom.,M.Kom selaku Dosen Pembanding II yang telah memberikan kritik dan saran penyempurnaan skripsi ini. 8. Sahabat dan seperjuangan penulis semasa kuliah Daisy Sere Damara Simangungsong, Yuni Sonia Silalahi, Murni Angelina, dan Chatarina Fransisca. Universitas Sumatera Utara.

(6) iv. Samosir yang dari awal semester selalu menemani penulis menjadi teman setia suka maupun duka 9. Sahabat penulis, Bagus Syahputra Tambunan, Rizky Noprianita, Dhaffa Safira Ayura, Bella Savira , Evana Pasaribu, Natasha Oinike S.Ak, yang memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis 10. Teman-teman keluarga besar Teknologi Informasi USU terkhusus angkatan 2017 Kom C yang telah memberikan dukungan dan semangat semasa kuliah kepada penulis 11. Semua pihak yang terlibat langsung ataupun tidak langsung yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.. Medan, 5 Agustus 2021. Penulis. Universitas Sumatera Utara.

(7) v. ABSTRAK. Ablasio retina merupakan kelainan pada retina mata mengakibatkan terlepasnya retina dari jaringan penyokongnya. Ablasio retina dapat memicu terjadinya kehilangan penglihatan yang menetap (kebutaan). Faktor terjadinya ablasio retina yang semakin bertambah tingkat keparahan adalah faktor penuaan, gen, miopia yang tinggi, trauma cedera mata yang parah, operasi katarak, dan inflamasi ocular. Pemeriksaan dalam mendiagnosa ablasio retina melalui funduskopi untuk mengamati adanya pembuluh darah retina sangat pucat yang terlepas dengan terlihat berwarna putih berupa vitreus, lipatan-lipatan bergelombang, dan membengkok di tepi retina. Namun, pemeriksaan diagnosa tersebut dilakukan secara manual oleh tenaga ahli medis mata sehingga dapat memicu hasil pengamatan secara tidak jelas dan berakibat fatal pada gangguan penglihatan. Untuk itu, diperlukan alternatif baru dalam mengklasifikasi ablasio retina. Maka dari itu, penelitian ini mengimplementasikan metode Extreme Learning Machine (ELM) dalam proses klasifikasi ablasio retina. Tahapan yang digunakan dalam penelitian sebelum diklasifikasi adalah resize, green channel, dan contrast sebagai tahap pre-processing dan simple thresholding sebagai tahap image segmentation serta Gray Level Co-Occurrence Matrix (GLCM) sebagai tahap ekstraksi fitur. Pada tahap akhir, citra akan di klasifikasikan dengan Extreme Learning Machine. Penelitian ini menggunakan citra fundus retina berjumlah sebanyak 178 citra yang terbagi atas 133 citra sebagai data latih dan 45 citra sebagai data uji. Hasil penelitian ini mampu mengklasifikasikan ablasio retina dengan perolehan akurasi sebesar 91%.. Kata Kunci: Penyakit ablasio retina, resize, green channel, contrast, simple thresholding, gray level co-occurance matrix, extreme learning machine.. Universitas Sumatera Utara.

(8) vi. IMPLEMENTATION OF EXTREME LEARNING MACHINE FOR CLASSIFICATION OF RETINA ABLASIO RESULTS ON RETINA FUNDUS IMAGES ABSTRACT. Retinal detachment is a disorder of the retina of the eye that results in detachment of the retina from its supporting tissue. Retinal detachment can lead to permanent vision loss (blindness). Factors that cause retinal detachment with increasing severity are aging, genes, high myopia, severe eye injury, cataract surgery, and ocular inflammation. Examination in diagnosing retinal detachment through fundoscopy to observe the presence of very pale retinal blood vessels that are detached with a white appearance in the form of vitreous, wavy folds, and bends at the edge of the retina. However, the diagnostic examination is carried out manually by ophthalmologists so that it can lead to unclear observations and possibly fatal visual disturbances. For this reason, a new alternative is needed in classifying retinal detachments. Therefore, this study implements the Extreme Learning Machine (ELM) method in the retinal detachment classification process. The stages used in the research before being classified are resize, green channel, and contrast as the pre-processing stage and simple thresholding as the image segmentation stage and Gray Level Co-Occurrence Matrix (GLCM) as the feature extraction stage. In the final stage, the image will be classified with Extreme Learning Machine. This study uses retinal fundus images totaling 178 images which are divided into 133 images as data latih and 45 images as test data. The results of this study were able to classify retinal detachments with an accuracy of 91%.. Keywords: Retinal detachment disease, resize, green channel, contrast, simple thresholding, gray level co-occurance matrix, extreme learning machine.. Universitas Sumatera Utara.

(9) vii. DAFTAR ISI. Hal.. PERSETUJUAN. Error! Bookmark not defined.. PERNYATAAN. iii. UCAPAN TERIMA KASIH. v. ABSTRAK. vii. ABSTRACT. viii. DAFTAR ISI. ix. DAFTAR TABEL. xi. DAFTAR GAMBAR. xii. BAB 1 PENDAHULUAN. 1. 1.1 Latar Belakang. 1. 1.2 Rumusan Masalah. 3. 1.3 Batasan Masalah. 3. 1.4 Tujuan Penelitian. 3. 1.5 Manfaat Penelitian. 4. 1.6 Metodologi Penelitian. 4. 1.7 Sistematika Penulisan. 5. BAB 2 LANDASAN TEORI. 7. 2.1 Ablasio Retina. 7. 2.2 Ablasio Retina Regmatogen. 8. 2.3 Ablasio Retina Traksional. 9. 2.4 Pengolahan Citra Digital. 11. 2.5 Preprocessing. 12. Universitas Sumatera Utara.

(10) viii. 2.5.1 Resize. 12. 2.5.2 Green Channel (kanal hijau). 13. 2.5.3 Contrast. 13. 2.6. Segmentation 2.6.1 Simple thresholding 2.7. Feature Extraction 2.7.1 Gray Level Co-occurance Matrix. 14 14 14 15. 2.8 Jaringan Syaraf Tiruan. 17. 2.9 Extreme Learning Machine. 18. 2.10 Penelitian Terdahulu. 20. 2.10.1 Perbedaan Penelitian. 23. BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM. 24. 3.1 Analisis Sistem. 24. 3.2 Dataset yang digunakan. 25. 3.2.1 Input Citra. 27. 3.2.2 Data Training. 27. 3.2.3 Data testing. 27. 3.3. Preprocessing. 27. 3.3.1 Resize. 27. 3.3.2 Green Channel. 28. 3.3.3 Contrast. 31. 3.4 Image Segmentation. 33. 3.4.1 Simple Thresholding 3.5 Feature Extraction. 33 35. Universitas Sumatera Utara.

(11) ix. 3.5.1 Gray Level co-occurance Matrix. 35. 3.6 Klasifikasi. 41. 3.6.1 Proses Training. 42. 3.6.2 Proses Perhitungan Tahapan Pelatihan Extreme Learning Machine. 44. 3.6.3 Proses Testing. 47. 3.7 Output. 47. 3.8 Perancangan Sistem. 47. 3.8.1 Perancangan Flowchart. 47. 3.8.2 Use Case Diagram. 48. 3.8.3 Rancangan Tampilan Utama Aplikasi. 50. 3.8.4 Rancangan Tampilan Halaman Tambah data latih. 51. 3.8.5 Rancangan Tampilan Halaman Data Latih. 52. 3.8.6 Rancangan Tampilan Halaman Klasifikasi Data. 54. 3.8.7 Rancangan Tampilan Halaman Tentang. 55. BAB 4 IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN SISTEM. 57. 4.1 Kebutuhan Aplikasi. 57. 4.1.1 Perangkat Keras dan Perangkat Lunak. 57. 4.1.2 Implementasi Perancangan Antarmuka. 58. 4.1.3 Implementasi Data. 61. 4.2 Prosedur Operasional. 63. 4.3 Pengujian Sistem. 67. 4.4. Pemecahan Masalah. 77. 4.5 Analisis Parameter Confusion Matrix. 78. BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. 81. Universitas Sumatera Utara.

(12) x. 5.1 Kesimpulan. 81. 5.2 Saran. 81. DAFTAR PUSTAKA. 82. LAMPIRAN. 84. Universitas Sumatera Utara.

(13) xi. DAFTAR TABEL. Tabel 2. 1. Penelitian Terdahulu .................................................................................. 21 Tabel 3. 1. Jumlah Data Training dan Data Testing .................................................... 26 Tabel 3. 2. Keterangan Arsitektur ELM ...................................................................... 41 Tabel 3. 3 Deskripsi use case data latih citra ............................................................... 49 Tabel 3. 4 Deskripsi use case klasifikasi data (data uji) citra ...................................... 49 Tabel 4. 1. Daftar tabel hasil citra fundus retina .......................................................... 61 Tabel 4. 2. Tabel Keluaran Percobaan Sistem ............................................................. 67 Tabel 4. 3. Tingkat Akurasi ......................................................................................... 69 Tabel 4. 4. Data Hasil Pengujian Klasifikasi Ablasio Retina ..................................... 70 Tabel 4. 5. Perbandingan Pengujian Akurasi Simple Thresholding ............................ 77 Tabel 4. 6. Nilai TP, FP, dan FN pada data uji citra .................................................... 78. Universitas Sumatera Utara.

(14) xii. DAFTAR GAMBAR. Gambar 2. 1 . (a) Citra Fundus Normal, (b) Citra Fundus Ablasio Retina Regmatogen9 Gambar 2. 2 Citra Fundus Normal ............................................................................... 10 Gambar 2. 3 Citra Fundus Ablasio Retina Traksional ................................................. 11 Gambar 2. 4 Ekstraksi citra GLCM ............................................................................. 15 Gambar 2. 5 Lapisan Jaringan Syaraf Tiruan .............................................................. 17 Gambar 2. 6 Struktur Umum ELM .............................................................................. 18 Gambar 3. 1 Arsitektur Umum .................................................................................... 25 Gambar 3. 2 (a) Citra Fundus Normal, (b) Citra Fundus Ablasio Retina Regmatogen, (c) Citra Fundus Ablasio Traksional ............................................................................ 26 Gambar 3. 3 Citra sebelum dan sesudah proses resize ................................................ 28 Gambar 3. 4 Representasi piksel citra fundus .............................................................. 28 Gambar 3. 5 Representasi citra 3 x 3 piksel ................................................................. 29 Gambar 3. 6 Representasi nilai RGB ........................................................................... 29 Gambar 3. 7 Hasil nilai kanal hijau (green channel).................................................... 30 Gambar 3. 8 Proses citra green channel, (a) citra asli (b) citra green channel ............. 31 Gambar 3. 9 Citra proses contrast ................................................................................ 31 Gambar 3. 10 Nilai green channel ............................................................................... 32 Gambar 3. 11 Hasil nilai contrast ................................................................................ 33 Gambar 3. 12 Citra proses simple thresholding ........................................................... 34 Gambar 3. 13 Nilai piksel sebelum di threshold .......................................................... 34 Gambar 3. 14 Hasil nilai simple thresholding ............................................................. 35 Gambar 3. 15 Hasil Citra Masking .............................................................................. 35 Gambar 3. 16 Nilai gray level pada citra ..................................................................... 36 Gambar 3. 17 Matriks framework ................................................................................ 36 Gambar 3. 18 Matriks kookurensi arah 0° ................................................................... 37 Gambar 3. 19 Penjumlahan Matriks Kookurensi dengan Transposenya ..................... 37 Gambar 3. 20 Matriks Normalisasi ............................................................................. 37 Gambar 3. 21 Arsitektur ELM untuk Klasifikasi Ablasio Retina ................................ 42. Universitas Sumatera Utara.

(15) xiii. Gambar 3. 22 Rancangan flowchart ............................................................................. 48 Gambar 3. 23 Use Case Sistem .................................................................................... 48 Gambar 3. 24 Rancangan Halaman Utama .................................................................. 50 Gambar 3. 25 Rancangan Halaman Tambah Data Latih ............................................. 51 Gambar 3. 26 Rancangan Halaman Data Latih............................................................ 53 Gambar 3. 27 Rancangan Halaman Klasifikasi Data ................................................... 54 Gambar 3. 28 Rancangan Halaman Tentang ............................................................... 55 Gambar 4. 1 Tampilan Halaman Utama ...................................................................... 58 Gambar 4. 2 Tampilan Halaman Tambah Data Latih .................................................. 59 Gambar 4. 3 Tampilan Halaman Data Latih ................................................................ 59 Gambar 4. 4 Tampilan Halaman Klasifikasi Data ....................................................... 60 Gambar 4. 5 Tampilan Halaman Tentang .................................................................... 60 Gambar 4. 6 Tampilan Halaman Button Buka file dan Buka folder............................ 63 Gambar 4. 7 Tampilan Halaman Upload Data ............................................................. 63 Gambar 4. 8 Tampilan Halaman Data telah diupload .................................................. 64 Gambar 4. 9 Tampilan Halaman Hasil Data Latih ...................................................... 65 Gambar 4. 10 Tampilan Halaman Upload Data Uji..................................................... 65 Gambar 4. 11 Tampilan Halaman Hasil Klasifikasi .................................................... 66 Gambar 4. 12 Tampilan Halaman Hasil Tentang ........................................................ 66 Gambar 4. 13 Grafik Perbandingan Akurasi Sistem .................................................... 69 Gambar 4. 14 Hasil implementasi confusion matrix data uji....................................... 78 Gambar 4. 15 Citra yang gagal terklasifikasi oleh sistem............................................ 80 Gambar 4. 16 Citra Hasil Thresholding ....................................................................... 80. Universitas Sumatera Utara.

(16) 1. BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Ablasio retina ialah penurunan ketajaman visual yang ditandai dengan terlepasnya jaringan tipis pada bola mata yang disebut retina. Kondisi terlepasnya retina dari sel-sel epitel pigmen retina pada jaringan penunjang di bawah retina dengan penimbunan cairan subretina, mengakibatkan keadaan darurat sehingga dapat mengancam fungsi penglihatan yang tidak berfungsi dengan baik lagi. Ablasio retina mengindikasikan penurunan tajam penglihatan yang tertutup oleh bayangan seperti tirai menutup di depan mata (floaters) yang terdapat riwayat fotopsia (seperti melihat kilatan cahaya) di bidang visual. Jika tidak ditangani, ablasio retina menyebabkan kerusakan irreversibel pada cone dan rod cell yang berakibat menjadi kebutaan sehingga mengancam kualitas hidup penderita. Hal tersebut yang menyebabkan ablasio retina menjadi masalah serius yang patut diwaspadai. Prevalensi ablasio retina dengan angka kejadiannya 9-24 per 100.000 populasi per tahun di seluruh dunia. Ablasio retina terjadi sekitar 5-16 per 1000 kasus yang disebabkan oleh operasi katarak sekitar 30-40%, miopía aksial 40-50%, dan trauma mata 10-20% dari seluruh ablasio retina yang dilaporkan. Pasien yang mengalami ablasio retina pada kasus trauma mata umumnya terjadi pada usia muda dan prevalensinya sebesar 40% biasa terjadi pada usia 20 tahun (Fakhri et al., 2021). Ablasio retina dapat menyerang siapapun pada usia 40-70 tahun dan risiko kejadian ablasio retina meningkat, lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Jenis ablasio retina yang paling umum terjadi adalah ablasio retina regmatogen dan ablasio retina traksional. Karakteristik keduanya berbeda sehingga dapat menjadi tanda bahwa seseorang terindikasi ablasio retina. Pemeriksaan dini sangatlah dibutuhkan dalam upaya preventif atau mengetahui jenis ablasio retina sehingga dilakukan penyembuhan yang mudah dan murah berdasarkan tingkat klasifikasi penyakit ablasio retina bagi penderita. Dalam pemeriksaan untuk menentukan jenis ablasio retina diimplementasikan melalui funduscopy yang memperoleh citra kondisi dalam mata. Tenaga ahli medis mata. Universitas Sumatera Utara.

(17) 2. untuk mengamati hasil citra biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama dan memicu hasil pengamatan secara tidak jelas seperti akibat pendarahan pada mata yang berakibat fatal pada gangguan penglihatan. Hal ini mengklaim paramedis untuk dapat mendiagnosa lebih cepat dan akurat. Dengan adanya upaya preventif dalam pemeriksaan diagnosis penunjang ablasio retina dikembangkanlah teknologi medis dalam bentuk pengolahan citra digital melalui citra fundus retina. Pengolahan citra digital dilakukan dengan terlebih dahulu menginput citra fundus retina, kemudian memproses masukan citra fundus retina untuk mengenali pola dan akan memberikan output berupa informasi dari hasil pengolahan citra fundus. Sebelumnya penelitian terdahulu diteliti oleh (Zhang et al., 2021) dalam mendeteksi degenerasi kisi, kerusakan retina, dan ablasio retina pada mata tessel menggunakan citra fundus bidang ultra lebar dengan menerapkan metode Convolutional Neural Network (CNN). Tahapan yang dilakukan dengan 2 teknik preprocessing (original resizing and cropping) yang memperoleh akurasi 79,8%. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh (Koh et al, 2020) yaitu dalam mendeteksi ablasio retina berdasarkan citra ultrasound. Tahapan yang dilakukan menggunakan Higher Order Spectra Cumulants dan Locality Sensitive Discriminant Analysis sebagai retinal features dan dilakukan pengklasifikasian dengan menerapkan metode Support Vector Machine (SVM) yang mencapai akurasi sebesar 99,13%. Selanjutnya penelitian lainnya diteliti oleh (Pramestya, 2015) dengan mendeteksi mata bagi penderita ablasio retina menerapkan jaringan syaraf Radial Basis Function yang menggunakan data sebanyak 48 data citra fundus retina yang diperoleh dengan akurasi mencapai 88%. Pada penelitian kali ini, penulis mengusulkan judul dengan metode Extreme Learning Machine yang merupakan metode kerangka pembelajaran terpadu dari bentuk khusus perceptron feedforward yang memiliki satu lapisan tersembunyi. Secara teori, metode ini diklaim dapat menghasilkan kemampuan generalisasi yang baik. Metode ELM memiliki kelebihan utama dalam hal kecepatan pembelajaran yang semua parameter training disetel satu kali (non iterative). Kemampuan metode pembelajaran Extreme Learning Machine banyak digunakan di aplikasi dunia nyata, salah satunya penerapan aplikasi medis dalam proses klasifikasi maupun identifikasi. Metode Extreme Learning Machine memiliki akurasi dan performa yang baik. Adapun penelitian yang telah menerapkan metode Extreme Learning Machine yaitu diteliti oleh. Universitas Sumatera Utara.

(18) 3. (Siregar, 2018) dengan mengklasifikasi tuberculosis menggunakan metode Extreme Learning Machine. Tahapan yang dilakukan dengan menggunakan grayscale, scalling, dan thresholding yang memperoleh akurasi 93,33%. Penelitian lainnya yaitu segmentasi pembuluh darah retina menggunakan gabor filter dan extreme learning machine (Aslan et al., 2018). Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah Red Green Blue (RGB) sebagai tahap preprocessing dan adaptive histogram equalization, gabor filter, top-hat transform, threshold sebagai tahap feature extraction dengan memperoleh akurasi sebesar 94,59%. Berdasarkan penelitian diatas, penulis mengajukan penelitian yang dapat mempermudah dalam proses mendeteksi dan pengambilan keputusan dengan judul “Implementasi Extreme Learning Machine Untuk Klasifikasi Ablasio Retina Hasil Citra Fundus Retina”.. 1.2 Rumusan Masalah Pemeriksaan ablasio retina dilakukan secara manual dengan pengambilan gambar melalui kamera fundus. Tenaga ahli medis mata biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pengambilan keputusan untuk menganalisis gambar yang diterima. Untuk itu, diperlukan sistem dalam pengklasifikasian ablasio retina sehingga membantu tenaga ahli medis mata dalam pengambilan keputusan diagnosa secara efektif, terkomputerisasi, dan memiliki hasil akurasi yang baik. 1.3 Batasan Masalah Pada penelitian ini dapat diperoleh batasan masalah agar tidak menyimpang dari tujuan yaitu: 1. Penelitian ini dilakukan untuk mengklasifikasikan penyakit ablasio retina yang terdiri dari ablasio retina regmatogen, ablasio retina traksional, dan normal 2. Dataset citra fundus diperoleh melalui kaggle.com, imagebank.asrs.org, dan Rumah Sakit Khusus Mata Prima Vision. 3. Data citra fundus retina yang diperoleh tidak terlalu banyak 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian dalam pengklasifikasian penyakit ablasio retina hasil citra fundus retina dengan penerapan metode Extreme Learning Machine.. Universitas Sumatera Utara.

(19) 4. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dilakukannya penelitian adalah sebagai berikut: 1. Membantu tenaga ahli medis mata mendapatkan informasi pendeteksian dini jenis ablasio retina melalui citra fundus retina. 2. Tenaga ahli medis mata lebih efektif dan efisien dalam membedakan jenis ablasio retina sehingga hasil diagnosa cepat diketahui 1.6 Metodologi Penelitian Berikut beberapa tahapan yang dilakukan didasarkan aktualisasi penelitian ini yaitu: 1. Studi Literatur Tahapan ini dilakukan dalam proses akumulasi data sebagai sumber acuan yang dibutuhkan di dalam penelitian tentang ablasio retina, pengolahan citra digital, metode Extreme Learning Machine yang dapat diperoleh dari berbagai buku panduan, jurnal, artikel, makalah maupun berbagai sumber informasi yang relevan. 2. Analisis Permasalahan Pada tahap ini dilakukan untuk menganalisis permasalahan yang telah didapatkan pada tahap sebelumnya sehingga diperoleh penalaran menggunakan metode yang akan diimplementasikan dalam mengklasifikasikan ablasio retina menggunakan metode Extreme Learning Machine. 3. Perancangan Sistem Perancangan terhadap sistem yang digunakan sesuai dengan hasil yang sudah di analisa pada tahap analisis permasalahan untuk memperoleh perancangan pengaplikasian sistem. 4. Implementasi Sistem Pada tahap implementasi sistem merupakan penerapan berdasarkan analisis yang dilakukan sesuai dengan perancangan sistem pada tahap sebelumnya untuk diimplementasikan ke dalam pembuatan sistem menggunakan bahasa pemrograman python.. Universitas Sumatera Utara.

(20) 5. 5. Pengujian Sistem Tahapan pengujian terhadap sistem dibangun untuk mengetahui seberapa tingkat akurasi yang diperoleh dari penerapan metode Extreme Learning Machine dalam mengklasifikasi ablasio retina disesuaikan dengan tujuan penelitian. 6. Penyusunan Laporan Pada tahap terakhir, dibuat laporan dari semua hasil penelitian yang telah diselesaikan.. 1.7 Sistematika Penulisan Berikut sistematika penulisan skripsi ini mencakup lima bagian utama sebagai berikut:. Bab 1: Pendahuluan Bab ini yang akan dibahas yaitu latar belakang penelitian dengan judul skripsi “Implementasi Metode Extreme Learning Machine Untuk Klasifikasi Ablasio Retina Hasil Citra Fundus Retina”, adanya rumusan masalah, batasan masalah pada penelitian, tujuan dalam penelitian, manfaat pada penelitian, metodologi pada penelitian, dan sistematika penulisan.. Bab 2: Landasan Teori Bab ini mencakup dari teori-teori yang relevan dalam permasalahan yang diangkat pada penelitian ini. Hal-hal ini berhubungan dengan ablasio retina, ablasio retina regmatogen, ablasio retina traksional, image processing sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam proses pembuatan sistem aplikasi pada penelitian ini. Bab 3: Analisis dan Perancangan Sistem Bab ini berisi tentang penjabaran dalam analisis dari arsitektur umum dan metode yang diterapkan dalam pembuatan sistem untuk mengklasifikasi ablasio retina.. Universitas Sumatera Utara.

(21) 6. Bab 4: Implementasi dan Pengujian Bab ini memaparkan tentang implementasi dari perancangan sistem yang sudah dibuat pada bab sebelumnya. Selanjutnya untuk mengukur kinerja sistem maka dilakukan pengujian sistem untuk mengetahui hasil dari pemodelan sistem yang dibuat.. Bab 5: Kesimpulan dan Saran Bab ini memaparkan tentang hasil dari penelitian yang sudah dilakukan. Selain itu, diberikan pula saran-saran yang membangun yang ditujukan kepada pembaca guna untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang masih ada pada penelitian ini.. Universitas Sumatera Utara.

(22) 7. BAB 2 LANDASAN TEORI Bab ini akan membahas teori pendukung dan penelitian sebelumnya tentang penggunaan metode Extreme Learning Machine dalam mengklasifikasi ablasio retina hasil citra fundus retina 2.1 Ablasio Retina Ablasio retina atau ablasi retina ialah keadaan terpisahnya lapisan retina sensorik dari epitel pigmen retina (Retinal Pigment Epithelium / (RPE)) dengan akumulasinya cairan subretina (Budhiastra, 2016). Pada kondisi ini sel epitel akan menggeser fokus sinar sehingga fungsi penglihatan menurun dan menganggu metabolisme sel fotoreseptor yang berakibat terputusnya pasokan nutrisi dari lapisan pigmen epitel. Fungsi penglihatan menurun dapat terjadi sebagian atau secara total, tergantung bagian retina yang lepas dari jaringan penyokongnya. Ablasio retina dapat menyerang siapapun pada usia 40-70 tahun. Gejala ablasio retina: 1. Banyak floater baru (bintik hitam kecil atau garis berlekuk-lekuk yang mengapung di dalam penglihatan) berakibat fungsi penglihatan menjadi kabur 2. Kilatan cahaya secara mendadak di satu mata atau kedua mata 3. Bayangan gelap atau tirai pada sebagian bidang penglihatan Ablasio retina dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, yaitu: . Robekan retina Jika terjadi robekan pada retina mata, maka cairan di dalam bola mata dapat masuk ke dalam robekan retina sehinggga mengakibatkan lepasnya retina. . Traksi retina Adanya riwayat infeksi sebelumnya mengakibatkan penebalan retina yang dapat menyebabkan terjadinya tarikan hingga lepasnya retina. . Beberapa infeksi dapat menyebabkan cairan terkumpul di belakang retina yang dapat menyebabkan lepasnya retina. Universitas Sumatera Utara.

(23) 8. 2.2 Ablasio Retina Regmatogen Ablasio Retina Regmatogen (ARR) merupakan proses terlepasnya lapisan retina dengan adanya robekan (break) dan lubang pada retina mata sehingga terjadinya vitreus (cairan atau gel di bagian tengah mata) dengan masuknya vitreus ke belakang retina. Karakteristik ablasio retina regmatogen dengan terjadinya pelepasan secara absolut (absolute thickness) di daerah sensorik, tarikan korpus vitreous dengan derajat yang bervariasi dan pencairan korpus vitreous melalui defek retina sensorik ke dalam ruang subretina. (Waang, 2015). Datasemen vitreus posterior (PVD) adalah penyebab umum robekan retina. Ini adalah bagian normal dari penuaan yang menyebabkan gel vitreous menarik diri dari retina di beberapa tempat. Biasanya tidak berbahaya dan sering kali tidak menunjukkan gejala. Namun terkadang, gel menumpuk begitu banyak dan terjadi penarikan hingga merobek retina. Pemeriksaan mendiagnosis ablasio retina regmatogen dengan menggunakan funduscopy pada retina tampak terlihat berwarna lebih terang karena pembuluh koroid di bawahnya dengan adanya robekan pada retina yang muncul sebagian atas retina. Penyebab terjadinya ablasio retina regmatogen: 1. Mengidap myopia yang tinggi 2. Sudah melewati operasi katarak sebelumnya terutama apabila terjadi ruptur kapsul posterior dan ada sebagian vitreous, terutama jika operasi ini memiliki komplikasi kehilangan vitreus 3. Cedera mata berat atau trauma mata sebelumnya 4. Inflamasi ocular 5. Kelainan retina sebelumnya seperti koloboma koroid, retinoschisis, penyakit coats, retinoblasma 6. Degenerasi lattice pada retina, yaitu kelainan vitreoretina yang ditandai lesi fokal retina asimtomatik 7. Kelainan genetik seperti sindrom marfan, sindrom stickler 8. Riwayat infeksi retina 9. Kapsulotomi menggunakan laser YAG 10. Riwayat ablasio retina di keluarga. Universitas Sumatera Utara.

(24) 9. Gejala ablasio retina regmatogen paling umum terjadi, antara lain: 1. Floaters. Munculnya bayangan hitam melayang-layang di dalam penglihatan disebabkan adanya pigmen retina yang lepas. Floaters dapat berbentuk garisgaris, jaring ataupun bulat yang bergerak saat kita melirik. 2. Fotopsia (seperti melihat kilatan cahaya). Terjadi jika bola mata sedang bergerak pada sudut tertentu dan tanpa kita sadari sebelumya pada saat kondisi ruangan kurang pencahayaan hanya melihat kilatan cahaya 3. Gangguan penglihatan yang tertutup oleh bayangan seperti tirai yang menutup di depan mata. 4. Bola mata berwarna kemerahan dengan mengeluarkan air mata secara terusmenerus Gambar 2.1 menunjukkan citra fundus normal dan citra fundus terindikasi ablasio retina regmatogen dengan adanya robekan di daerah retina.. (a). (b). Gambar 2. 1 . (a) Citra Fundus Normal, (b) Citra Fundus Ablasio Retina Regmatogen (Sumber : kaggle.com). 2.3 Ablasio Retina Traksional Ablasio Retina Traksional (ART) merupakan pemisahan retina neurosensori dari epitel pigmen retina (RPE) karena tarikan (traksi) yang disebabkan oleh membran proliferatif yang ada di atas permukaan retina atau vitreus. Jenis ini sering ditemukan pada penderita diabetes yang mengalami diabetic retinopathy berat, ataupun kerusakan pembuluh darah retina. Pada umumnya, permulaan diabetic retinopathy proliferatif. Universitas Sumatera Utara.

(25) 10. berasal dari pertumbuhan ektensif pembuluh darah abnormal. Pembuluh darah abnormal tumbuh dari pembuluh darah retina yang rusak menjadi gel mata disebut vitreous.Vitreous bertindak sebagai kerangka kosong bagi pembuluh darah untuk tumbuh. Jika pembuluh darah ini tumbuh menjadi gel, maka menjadi lebih padat dan matang sehingga membentuk membran jaringan fibrosa. Hal ini berakhir dengan jaringan parut berkontraksi dan tarikan kuat yang melepaskan retina. Penyebab ablasi retina traksional,yaitu: 1. Retinopati proliferatif karena diabetes 2. Trauma segmen posterior 3. Lesi vaso-oklusif yang menyebabkan proliferasi fibrovaskular 4. Penyebab lain seperti retinopati prematuritas, retinopati vitreo eksudatif familial, vaskulitis idiopatik Seperti pada Gambar 2.2 yang menunjukkan contoh citra fundus normal dan Gambar 2.3 menunjukkan contoh citra fundus ablasio retina traksional yang terdapat di dalamnya vitreus berlekuk-lekuk yang mengapung di dalam retina.. Gambar 2. 2 Citra Fundus Normal (Sumber: alomedika.com). Universitas Sumatera Utara.

(26) 11. Gambar 2. 3 Citra Fundus Ablasio Retina Traksional (Sumber: octscans.com). 2.4 Pengolahan Citra Digital Citra didefinisikan sebagai representasi spasial dari elemen dua dimensi. Citra itu sendiri sebagai bentuk informasi visual dapat disimpan dalam format digital. Citra dalam sistem digital dapat dilihat sebagai array dengan setiap elemennya mewakili satu warna. Citra disebut sebagai fungsi f(x,y) yang berukuran N (kolom) dan M (baris) (Putra, 2010), yang terdiri perpotongan baris dan kolom dapat diartikan sebagai pixel (elemen terkecil) pada suatu citra yang menyatakan tingkat keabuan. Dengan kata lain jika memperbesar citra, dengan menemukan kotak-kotak (disebut sebagai pixel) yang menyusun citra. Pengolahan citra digital diartikan sebagai pemrosesan citra dengan penggunaan algoritma khususnya melibatkan komputer untuk memperoleh informasi citra. Pengolahan citra umumnya diimplementasikan untuk membuat pemodifikasian, pengubahan, penggabungan, maupun perbaikan kualitas citra. Teknik-teknik yang digunakan dalam pengolahan citra digital dimodifikasi menjadi citra baru. Dalam fungsi matematis, citra sebagai fungsi f(x,y) bisa dituliskan dalam persamaan 2.1. 0 ≤x≤ 𝑀 − 1 0≤ 𝑦 ≤ 𝑁 − 1. (2.1). 0 ≤ 𝑓(𝑥, 𝑦) ≤ 𝐺 − 1 Maka keterangan sebagai berikut: M = jumlah baris (row) pada matriks dua dimensi. Universitas Sumatera Utara.

(27) 12. N = jumlah kolom (column) pada matriks dua dimensi G = nilai skala keabuan (graylevel) Semua nilai pada M, N, G berarti perpangkatan dua bilangan positif 𝑀 = 2𝑚 ; 𝑁 = 2𝑛 ; 𝐺 = 2𝑘. (2.2). Bahwa nilai dari m,n,k merupakan bilangan bulat positif. Bentangan (0,G) merupakan skala abu-abu (grayscale). Setiap warna dinyatakan oleh sebuah angka atau beberapa angka. Umumnya, angka 0 mewakili warna hitam, dan angka yang lebih tinggi akan mewakili warna yang lebih terang, hingga mencapai angka 255 yang mewakili warna putih. Rentang warna yang diwakili oleh angka 0 hingga 255 disebut memiliki warna 8 bit (28 = 256).. 2.5 Preprocessing Preprocessing merupakan tahapan yang pertama kali dilakukan dalam penginputan citra asli yang diolah berdasarkan teknik-teknik pengolahan citra yang digunakan untuk menghasilkan citra baru. Tujuan dilakukan preprocessing untuk menekankan distorsi yang tidak diinginkan dengan meningkatkan fitur citra yang dibutuhkan pada suatu aplikasi.. 2.5.1 Resize Resize merupakan pengaturan besar kecilnya ukuran citra yang menyatakan berapa jumlah pixel yang terdapat dalam suatu citra. Resize digunakan untuk penyetaraan resolusi setiap citra agar mempermudah proses komputasi. Resolusi citra menentukan proses komputasi dari suatu citra. Jika ukuran piksel semakin kecil maka waktu yang diperlukan dalam pengolahan citra akan cepat dan efisien. Namun, jika ukuran piksel semakin besar maka waktu pemrosesannya suatu citra akan membutuhkan waktu yang lama.. Universitas Sumatera Utara.

(28) 13. 2.5.2 Green Channel (kanal hijau) Citra berwarna memiliki dasar yang sama dengan citra grayscale, hanya saja citra berwarna memiliki 3 dimensi dengan dimensi ketiga mewakili channel warna. Salah satu dimensi channel warna untuk dilakukan pengubahan citra grayscale adalah green channel. Green channel merupakan salah satu jenis yang mewakili citra keabuan dengan mengganti masing-masing nilai piksel hanya dengan nilai green itu sendiri. Green channel digunakan dapat menangkap kecerahan dengan baik dalam memberikan informasi pada pembuluh darah retina. Green channel dipilih karena menghasilkan citra paling baik dibandingkan dengan kanal merah dan biru (Nguyen,et al.,2013). Green Channel dapat dituliskan ke dalam persamaan 2.3 sebagai berikut: 𝐼(𝑥, 𝑦) = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 = 𝐺. (2.3). Keterangan: 𝐼(𝑥, 𝑦) = hasil gambar piksel saluran hijau 𝑅 = nilai kanal merah (red) dari suatu pixel 𝐺 = nilai kanal hijau (green) dari suatu pixel 𝐵 = nilai kanal biru (blue) dari suatu pixel. 2.5.3 Contrast Image enhancement (perbaikan kualitas citra) bertujuan untuk mendapatkan citra yang lebih sesuai untuk digunakan pada aplikasi lebih lanjut dalam mengenali objek pada citra. Salah satu teknik perbaikan kualitas citra adalah contrast. Contrast merupakan peningkatan kontras dengan menyesuaikan rentang koefisien alfa. Ketika alfa sangat besar, perbedaan dalam nilai kecerahan sangat diperkuat untuk meningkatkan kontras. Ketika alfa kecil, perbedaan kecerahan berkurang yang berarti kontras berkurang. Contrast dapat dibedakan menjadi gelap dan terang. Jika perbedaan pikselnya kecil, hal tersebut dinamakan low contrast, hasil dari low contrast adalah gambar berwarna abuabu, namun perbedaan warna putih dan hitam masih sangat rendah hingga gambar kurang efisien dibedakan. Jika perbedaan piksel yang besar, hal tersebut dinamakan high contrast, dimana hasil perbedaan warna hitam dan putih menjadi sangat tinggi dan. Universitas Sumatera Utara.

(29) 14. menghasilkan kualitas citra yang baik. Adapun persamaan 2.4 pada contrast dapat dituliskan sebagai berikut: 𝑔 (𝑖, 𝑗) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + β.0. (2.4). Keterangan: f(i,j) = nilai sumber piksel citra g(i,j) = nilai piksel citra keluaran 𝛼 = 𝑎𝑙𝑝ℎ𝑎. 2.6. Segmentation Segmentation merupakan suatu proses citra digital yang dibagi dan dikelompokkan menjadi sekumpulan piksel agar objek citra mudah dianalisis.. 2.6.1 Simple thresholding Secara harafiah, proses simple thresholding terhadap citra keabuan dapat menghasilkan citra biner. Simple thresholding ditujukan untuk melakukan perubahan pada piksel yang bergantung pada threshold (ambang batas) yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan piksel yang nilainya lebih besar dari threshold, akan diset nilai pikselnya ke nilai tertentu. Oleh karena itu, threshold menjadi penentu bahwa piksel diubah ke nilai rendah (hitam) yang bernilai 0 atau bahwa piksel diubah ke nilai tinggi (putih) bernilai 1. Simple thresholding dapat dituliskan dalam fungsi matematis persamaan 2.5 𝑇=. 𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠+𝑓𝑚𝑖𝑛 2. (2.5). Dimana: 𝑇. = Nilai threshold. 𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠. = Nilai pixel maksimum. 𝑓𝑚𝑖𝑛. = Nilai pixel minimum. 2.7. Feature Extraction Feature Extraction merupakan tahapan mendapatkan ciri atau informasi dari suatu citra agar dapat mengenali citra di dalam suatu objek atau membedakan citra yang satu. Universitas Sumatera Utara.

(30) 15. dengan citra lainnya. Karakteristik suatu citra akan dijadikan sebagai nilai inputan atau parameter untuk membedakan objek tertentu dengan objek lainnya sehingga menghasilkan proses tahapan identifikasi ataupun klasifikasi. Maka dari itu, ekstraksi ciri suatu citra yang dipilih adalah Gray level co-occurance matrix. 2.7.1 Gray Level Co-occurance Matrix GLCM merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam menghitung kemunculan dua buah piksel yang berdekatan pada suatu citra berdasarkan sudut dan jarak yang bertetanggaan. GLCM adalah teknik statistik yang terkenal untuk ekstraksi fitur. Gray Level Co-Occurrence Matrix mengekstraksi fitur melalui tekstur pada gambar. Dalam pengolahan citra, tekstur ditandai dengan distribusi spasial antara dua buah piksel yang bertetangga yang memiliki nilai intensitas i dan j, yang memiliki jarak diantara keduanya dan fungsi dari dua titik penghubung antar sudut. Matrik GLCM dibentuk dari ∅ dan offset (parameter arah dari jarak) dapat terlihat seperti pada persamaan gambar 2.4.. Gambar 2. 4 Ekstraksi citra GLCM (Eleyan & Demirel, 2011) Beberapa jenis ciri tekstural yang dirumuskan adalah sebagai berikut (Haralick et al, 1973): a. Contrast Contrast digunakan untuk menghitung perbedaan intensitas piksel. Semakin jauh perbedaan intensitas setiap pasangan piksel, semakin tinggi nilai kontras, dapat dihitung menggunakan persamaan 2.6 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑡 = ∑𝑖,𝑗 (𝑖 − 𝑗)2 𝑝(𝑖, 𝑗). (2.6). Keterangan:. Universitas Sumatera Utara.

(31) 16. i. = baris piksel pada matriks. j. = kolom piksel pada matriks. p (i,j). = nilai elemen pada matriks GLCM dalam bentuk probabilitas. b. Energy Energy merupakan jumlah kuadrat dari matriks co-occurrence, yang merupakan keseragaman intensitas piksel. Energy dapat dihitung sesuai persamaan 2.7. 𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑦 = ∑𝑖,𝑗 𝑝(𝑖, 𝑗)2. (2.7). c. Homogeneity Homogeneity digunakan untuk mengukur kehomogenan citra keabuan. Homogeneity dapat dihitung menggunakan persamaan 2.8. 𝐻𝑜𝑚𝑜𝑔𝑒𝑛𝑒𝑖𝑡𝑦 = ∑𝑖 ∑𝑗. 𝑝(𝑖,𝑗). (2.8). 1+(𝑖−𝑗)2. d. Corelation Menunjukkan keterkaitan linier antar nilai keabuan dalam citra. Corelation dapat dihitung menggunakan persamaan 2.9.. 𝐶𝑜𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 =. ∑𝑖 ∑𝑗 (𝑖− 𝜇𝑖 )(𝑗−𝜇𝑗 )𝑝 (𝑖,𝑗) 𝜎𝑖 𝜎𝑗. (2.9). Dimana: 𝜇𝑖 = ∑𝑖 ∑𝑗 𝑖𝑝(𝑖,𝑗). (2.10). 𝜇𝑗 = ∑𝑖 ∑𝑗 𝑗𝑝(𝑖,𝑗). (2.11). e. Dissimilarity Dissimilarity digunakan untuk menghitung nilai tidakkemiripan pada suatu tekstur pada citra. Dissimilarity dapat dihitung dengan persamaan 2.12. 𝐷𝑖𝑠𝑠𝑖𝑚𝑖𝑙𝑎𝑟𝑖𝑡𝑦 = ∑𝑖 ∑𝑗 𝑝(𝑖, 𝑗). |𝑖 − 𝑗|. (2.12). f. ASM (Angular Second Moment) ASM digunakan untuk ukuran homogenitas citra. ASM dapat dihitung pada. Universitas Sumatera Utara.

(32) 17. persamaan 2.13. 𝐴𝑆𝑀 = ∑𝑖,𝑗 𝑝(𝑖, 𝑗)2. (2.13). g. Entropy Entropy menunjukkan kompleksitas intensitas piksel. Semakin besar nilai entropy, semakin kompleks gambarnya. Entropy dapat dihitung pada persamaan 2.14. Entropy = ∑𝑖,𝑗 𝑝(𝑖, 𝑗) log 𝑝(𝑖, 𝑗). (2.14). 2.8 Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan Saraf Tiruan (JST) dikembangkan berdasarkan abstraksi pemodelan matematis melalui sistem saraf biologis. Jaringan syaraf tiruan mencakup sejumlah besar elemen neuron yang saling bekerja sama untuk memecahkan masalah tertentu.. Gambar 2. 5 Lapisan Jaringan Syaraf Tiruan (Sumber: otexts.com) Berdasarkan pada gambar 2.5 bahwa lapisan jaringan syaraf tiruan umumnya terdiri dari 3 kelompok, yaitu: 1. Input Layer, yang merepresentasikan informasi mentah yang dimasukkan ke dalam jaringan syaraf tiruan. 2. Hidden Layer, setiap hidden layer ditentukan oleh input layer dan weight yang menghubungkan antara input dan hidden layer 3. Output Layer, bergantung hanya pada hidden layer dan weight antara hidden layer dan output.. Universitas Sumatera Utara.

(33) 18. 2.9 Extreme Learning Machine Extreme Learning Machine ialah metode kerangka pembelajaran terpadu dari bentuk khusus perceptron feedforward yang memiliki satu lapisan tersembunyi. Metode ELM memiliki kelebihan utama dalam hal kecepatan pembelajaran. Dengan adanya metode Extreme Learning Machine bahwa semua parameter disetel satu kali. Maka dari itu, ELM tidak membutuhkan training yang berulang. Menurut (Huang et al, 2006) memaparkan dua penyebab kecepatan training Jaringan Syaraf Tiruan rendah, yaitu: . Penggunaan algoritma berbasis gradient descent yang lambat. . Algoritma training bersifat iteratif. ‘ Gambar 2. 6 Struktur Umum ELM (Sumber: pemrogramanmatlab.com) Seperti pada gambar 2.6 menunjukkan bahwa struktur umum Extreme Learning Machine terdiri dari input neurons, hidden layer neurons, dan output neurons. Berdasarkan. gambar 2.6 bahwa x adalah input, w adalah vector weight yang. menghubungkan antara input neurons dengan hidden layer neurons, N adalah node dari hidden layer, β adalah vector weight yang menghubungkan antara hidden layer neurons dan output neurons, dan O adalah ouput neurons. Extreme learning machine merupakan teknik pemodelan matematis yang fleksibel dibandingkan jaringan saraf tiruan feedforward lainnya. Setiap parameter Extreme Learning Machine (ELM) pada weight input dan bias ditetapkan secara random. Selanjutnya, untuk mencari weight akhir. Universitas Sumatera Utara.

(34) 19. menggunakan Moore-Penrose Generalized invers. Secara teori, metode ini diklaim dapat menghasilkan kemampuan generalisasi yang baik bahwa matriks yang ditetapkan dalam perhitungan weight akhir adalah matriks yang hasil output dari tiap-tiap input ke hidden layer. Kelebihan ELM tersebut membuat waktu pembelajaran secara cepat dan mampu memperoleh hasil akurasi tinggi meskipun dalam jumlah data yang besar (Rahma, et al., 2016). Berikut dengan jumlah sampel training (N) yang berbeda (X,Y) pada model matematis dari extreme learning machine, sebagai berikut: Input feature (X) = [𝑥𝑖1 𝑥𝑖2 … . . 𝑥𝑖𝑄 ]. (2.15). Desired matrix (Y) = [𝑦𝑗1 𝑦𝑗2 … . . 𝑦𝑗𝑄 ]. (2.16). Pada extreme learning machine (ELM) dengan jumlah hidden nodes sebanyak N dan fungsi aktivasi jaringan g(x) dinyatakan sebagai persamaan 2.17: ∑𝐿𝑖=1 𝛽𝑖 𝑔𝑖 (𝑥) = ∑𝐿𝑖=1 𝛽𝑖 𝑔(𝑤𝑖 . 𝑥𝑗 + 𝑏𝑖 ), 𝑗 = 1, . . . , 𝑁 (2.17) Dimana: N. = jumlah sampel training. L. = sejumlah unit hidden. 𝑤𝑖. = (𝑤𝑖1 , 𝑤𝑖2, … , 𝑤𝑖𝑛 )𝑇 merupakan vector weight yang menghubungkan antara input neurons dengan hidden layer neurons i. βi. = ( 𝑖1, 𝑖2 … , 𝑖𝑚)𝑇 vector weight yang terkoneksi antara hidden layer neurons dan output neurons i. g. = fungsi aktivasi. 𝑏𝑖. = threshold dari hidden nodes i. 𝑤𝑖 . 𝑥𝑗 = inner product dari 𝑤𝑖 dan 𝑥𝑗 x. = vector input. Fungsi aktivasi yang digunakan adalah fungsi aktivasi Tanh (Tangen Hiperbolik). Fungsi aktivasi (𝑔(𝑥)) yaitu Tanh untuk menghitung output dari hidden layer. Adapun fungsi aktivasi tanh didefinisikan pada persamaan 2.18 𝑔(𝑥) =. 2 1+ 𝑒 2𝑥. (2.18). Universitas Sumatera Utara.

(35) 20. Dari matriks output dan setiap vektor kolom dari persamaan matriks output diperoleh sebagai berikut dengan persamaan 2.19. 𝐻𝛽 =T. (2.19). Keterangan : H = output dari hidden layer Pada extreme learning machine, parameter pada weight input dan hidden bias dipilih secara random. Maka untuk memperoleh output weight dari hidden layer dengan nilai T = [𝑡1 , …., 𝑡𝑁 ]𝑇 dapat ditentukan melalui persamaan 2.20. 𝛽 = 𝐻 + .T. (2.20). Keterangan: T = matriks target data training Dimana 𝐻 + adalah Moore-Penrose Generalized Invers dari matriks H yang dapat dihitung dengan persamaan 2.21 𝐻 + = (𝐻 𝑇 . 𝐻)−1 . 𝐻 𝑇. (2.21). 2.10 Penelitian Terdahulu Sebelumnya penelitian terdahulu diteliti oleh (Zhang et al., 2021) dalam mendeteksi degenerasi kisi, kerusakan retina, dan ablasio retina pada mata tessel menggunakan citra fundus bidang ultra lebar dengan menggunakan metode Convolutional Neural Network (CNN). Penelitian ini memanfaatkan data sebanyak 1500 citra berwarna ultra-wide-field fundus imaging system. Tahapan yang dilakukan dengan 2 teknik pre-processing (original resizing and cropping) yang memperoleh akurasi 79,8%. Penelitian yang selanjutnya diteliti oleh (Koh et al., 2020) dengan penelitian yang berjudul A novel hybrid approach for automated detection of retinal detachment using ultrasound images. Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah menerapkan filter banks yang selanjutnya direpresentasikan dengan menggunakan Higher Order Spectra (HOS) cumulants dan Locality Sensitive Discriminant Analysis (LSDA) sebagai retinal. Universitas Sumatera Utara.

(36) 21. features kemudian di tahap akhir dilakukan pengklasifikasian dengan menerapkan metode Support Vector Machine (SVM) yang mencapai akurasi sebesar 99,13%. (Pramestya, 2015) dengan judul Deteksi Mata Penderita Ablasio Retina Menggunakan Jaringan Syaraf Radial Basis Function. Adapun tahapan yang dilakukan sebelum diidentifikasi melalui tahapan preprocessing dengan grayscale selanjutnya dengan tahapan histogram equalization dan normalisasi. Penelitian ini dilakukan menggunakan data yang berjumlah 48 data citra fundus retina mencakup 24 citra fundus retina normal dan 24 citra fundus retina ablasio. Hasil yang didapat dari proses pelatihan yaitu bobot dan pengujian yang optimal, didapatkan MSE terbaik yaitu mencapai 0,03579 sehingga diperoleh akurasi sebesar 88%. Penelitian. yang. selanjutnya. dilakukan. oleh. (Siregar.,2018). dalam. mengklasifikasi tuberculosis menerapkan metode Extreme Learning Machine. Penelitian ini menggunakan data yang berjumlah 60 citra bahwa jumlah data 45 citra sebagai data latih dan jumlah data 15 citra sebagai data uji. Tahapan yang dilakukan dengan menggunakan thresholding yang memperoleh akurasi 93,33%. Penelitian terkait yang berjudul Segmentation of Retinal Blood Vessel Using Gabor Filter and Extreme Learning Machines (Aslan et al., 2018). Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah Red Green Blue (RGB) sebagai tahap preprocessing dan adaptive histogram equalization, gabor filter, top-hat transform, threshold sebagai tahap feature extraction dengan memperoleh akurasi sebesar 94,59%. Pemaparan dari penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 2.1.. Tabel 2. 1. Penelitian Terdahulu No. Peneliti. Tahun. Metode. Keterangan. 1. Zhang et al. 2021. Convolutional. Pada penelitian ini menggunakan. Neural Network metode CNN. Tahapan yang dilakukan dengan 2 teknik preprocessing (original resizing and cropping). yang. memperoleh. akurasi 79,8%.. Universitas Sumatera Utara.

(37) 22. 2. Koh et al. 2020. Support Vector. Pada penelitian ini menggunakan. Machine. metode SVM. Tahapan yang dilakukan. adalah. menerapkan. filter banks dan direpresentasikan dengan. menggunakan. Higher. Order Spectra cumulants dan Locality Sensitive Discriminant Analysis sebagai retinal features yang mencapai akurasi sebesar 99,13%. 3. Pramestya. 2015. Jaringan Syaraf. Penelitian. ini. menggunakan. Radial Basis. metode Jaringan Syaraf Radial. Function. Basis Function. Tahapan yang dilakukan sebelum diidentifikasi melalui tahapan preprocessing dengan. grayscale. selanjutnya. dengan. tahapan. histogram. equalization. yang. diperoleh. dengan akurasi mencapai 88%. 4. Siregar. 2018. Extreme. Penelitian. ini. dengan. Learning. menggunakan metode Extreme. Machine. Learning Machine. Tahapan yang dilakukan dengan menggunakan grayscale,. scalling,. dan. thresholding yang memperoleh akurasi 93,33%. 5. Aslan et al. 2018. Extreme. Penelitian. ini. Learning. menggunakan metode Extreme. Machine. Learning. Machine.. dengan. Tahapan-. tahapan yang dilakukan adalah Red Green Blue (RGB) sebagai tahap preprocessing dan adaptive. Universitas Sumatera Utara.

(38) 23. histogram equalization, top-hat transform, tahap. threshold feature. sebagai extraction. Penggunaan ELM memberikan keuntungan ketepatan dengan. baik waktu. dari dan. memperoleh. segi akurasi. rata-rata. akurasi 94,59%. 2.10.1 Perbedaan Penelitian Pada penelitian ini yang membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya bahwa belum terdapat penelitian yang mengklasifikasi ablasio retina dari ketiga kategori yang mencakup ablasio retina regmatogen, ablasio retina traksional, dan normal. Selain itu, penelitian ini mengimplementasikan metode Extreme Learning Machine sedangkan penelitian terdahulu oleh Zhang et al menerapkan metode Convolutional Neural Network (CNN), Koh et al menerapkan metode Support Vektor Machine (SVM), dan Pramestya menerapkan Jaringan Syaraf Radial Basis Function. Pada penelitian ini, preprocessing dilakukan dengan menerapkan resize, green channel, dan contrast sedangkan penelitian terdahulu oleh Zhang et al menerapkan original resizing and cropping sebagai teknik preprocessing, Pramestya menerapkan grayscale dan histogram equalization sebagai tahap preprocessing. Pada penelitian ini juga dalam mengklasifikasi ablasio retina menggunakan simple thresholding sebagai segmentation dan GLCM sebagai ekstraksi fitur yang belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya.. Universitas Sumatera Utara.

(39) 24. BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM Bab ini membahas tentang perancangan dan analisis sistem pada aplikasi klasifikasi jenis ablasio retina. Tahap pertama adalah analisis data yang akan dipakai, pengolahan citra yang digunakan, pengolahan citra yang diterapkan kemudian implementasi metode Extreme Learning Machine dalam klasifikasi jenis ablasio retina. Untuk tahap selanjutnya, konfigurasi tampilan perancangan antarmuka. 3.1 Analisis Sistem Adapun tahapan-tahapan metode yang digunakan dalam mengklasifikasi ablasio retina. Tahapan awal dimulai dengan proses mengumpulkan data sebagai input citra mencakup fundus retina normal, fundus ablasio retina regmatogen, dan fundus ablasio retina traksional dengan memisahkan data dari ketiga kategori menjadi data latih dan data uji. Proses berikutnya, dilakukan teknik resize pada citra yang digunakan untuk mengubah ukuran dengan memperkecil resolusi citra menjadi 500 x 418 piksel, teknik green channel digunakan untuk menyetarakan tingkat intensitas keabuan dengan mengambil nilai green channel untuk memperoleh segmentasi pembuluh darah yang jelas, dan teknik contrast digunakan untuk memperbaiki kualitas citra pada tingkat keabuan. Ketiga teknik yang dilakukan yaitu resize, green channel, dan contrast merupakan tahapan preprocessing. Tahapan berikutnya adalah image segmentation dengan menggunakan teknik simple thresholding. Teknik simple thresholding merupakan sebagai penentu bahwa piksel diubah ke nilai rendah (hitam) atau tinggi (putih) dengan cara memisahkan objek pada background. Tahapan selanjutnya dilakukan feature extraction yang menggunakan teknik gray level co-occurance matriks. Teknik GLCM digunakan untuk memperoleh hasil nilai fitur. Selanjutnya data akan ditraining dengan metode Extreme Learning Machine dan diperoleh suatu training model yang digunakan untuk proses testing. Proses testing dilakukan untuk menguji performa dan akurasi pada algoritma yang dilatih sehingga diperoleh output dari hasil klasifikasi. Berdasarkan proses tahapan penelitian ini dapat dinyatakan dalam bentuk arsitektur umum pada gambar 3.1.. Universitas Sumatera Utara.

(40) 25. Gambar 3. 1 Arsitektur Umum. 3.2 Dataset yang digunakan Data citra fundus retina diperoleh melalui kaggle yang berasal dari Joint Shantou International Eye Center (JSIEC), dataset dari imagebank.asrs.org, dan Rumah Sakit. Universitas Sumatera Utara.

(41) 26. Khusus Mata Prima Vision. Pada gambar 3.2 bahwa bagian (a) merupakan citra fundus normal, bagian (b) merupakan citra fundus ablasio retina regmatogen dan bagian (c) merupakan citra fundus ablasio retina traksional.. (a). (b). (c). Gambar 3. 2 (a) Citra Fundus Normal, (b) Citra Fundus Ablasio Retina Regmatogen, (c) Citra Fundus Ablasio Traksional (Sumber : kaggle.com dan imagebank.asrs.org) Data citra diolah mencakup dua kategori dataset yaitu data latih (training) dan data uji (testing). Data latih (training) merupakan proses untuk melatih data-data mentah menjadi suatu model berdasarkan dataset dengan penerapan algoritma machine learning bertujuan agar model dapat memperoleh kesimpulan baru dalam mengetahui informasi-informasi pada data yang diperoleh. Sedangkan, data uji (testing) merupakan model yang dilatih sebelumnya dengan dilakukan pengujian pada data baru yang belum pernah dilihat agar mengetahui kinerja algoritma yang telah dilatih. Jumlah keseluruhan data sebanyak 178 citra yang dibagi menjadi data training dan data testing untuk mengklasifikasikan ablasio retina dapat dilihat pada tabel 3.1. Tabel 3. 1. Jumlah Data Training dan Data Testing Dataset. Ablasio Retina. Normal. Regmatogen. Ablasio Retina. Total. Traksional. Data Training. 53. 48. 32. 133. Data Testing. 15. 15. 15. 45. Jumlah Dataset. 68. 63. 47. 178. Universitas Sumatera Utara.

(42) 27. 3.2.1 Input Citra Tahapan awal dimulai dengan proses mengumpulkan data sebagai inputan berupa citra fundus retina normal, citra fundus ablasio retina regmatogen, dan citra fundus ablasio retina traksional yang diolah dengan format .JPG atau .JPEG dari ketiga kategori menjadi data latih dan data uji. 3.2.2 Data Training Pada penelitian ini, data-data yang dimanfaatkan sebagai proses pembelajaran jenis ablasio retina. Keseluruhan data yang dipakai pada proses training yang berjumlah sebanyak 133 citra untuk ketiga kategori.. 3.2.3 Data testing Pada penelitian ini, data-data yang dimanfaatkan sebagai proses pengujian terhadap hasil pembelajaran jenis ablasio retina sudah tersimpan ke dalam sebuah model yang telah dilatih sebelumnya. Data testing yang digunakan adalah data baru yang belum pernah diketahui sebelumnya ataupun berbeda dari citra yang telah diterapkan pada proses data training. Keseluruhan data yang dipakai proses testing yang berjumlah sebanyak 45 citra untuk ketiga kategori.. 3.3. Preprocessing Pada tahap preprocessing untuk memperoleh hasil citra yang baik dapat dilakukan dengan beberapa teknik yang terdiri dari resize, green channel, dan contrast.. 3.3.1 Resize Tahapan permulaan yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu resize yang bertujuan sebagai mekanisme pengubahan ukuran piksel citra dengan cara memperkecil ukuran citra menjadi 500 x 418 piksel. Dengan tahapan ini dapat menyetarakan setiap data citra sehingga dikelola dengan baik. Citra sebelum dan sesudah proses resize dapat dilihat pada gambar 3.3.. Universitas Sumatera Utara.

(43) 28. Gambar 3. 3 Citra sebelum dan sesudah proses resize 3.3.2 Green Channel Pada tahap ini, pengubahan citra Red Green Blue (RGB) menjadi citra keabuan disebut dengan grayscale. Namun, penyederhanaan citra keabuan dapat dilakukan hanya dengan mengambil nilai green dari setiap piksel pada citra. Green channel dapat mewakili citra keabuan dengan mengganti masing-masing nilai piksel hanya dengan nilai green itu sendiri. Pemilihan green channel menghasilkan kualitas kontras citra yang paling baik untuk mendapatkan informasi segmentasi pembuluh darah yang jelas.. Gambar 3. 4 Representasi piksel citra fundus Gambar 3.4 sebagai indikator citra untuk pengubahan citra RGB menjadi citra green channel. Pengubahan dilakukan bertujuan sebagai penyederhanaan nilai piksel dengan hanya mengambil 1 nilai keabuan. Berikut langkah akan dilakukan proses perhitungan nilai green channel dengan potongan 3 x 3 piksel yang dapat direpresentasikan pada gambar 3.5.. Universitas Sumatera Utara.

(44) 29. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Gambar 3. 5 Representasi citra 3 x 3 piksel R=124,G=80, B=41. R=121,G=80,B=42 R=126,G=89,B=44. R=129,G=89,B=40. R=128,G=86,B=37 R=127,G=81,B=42. R=130,G=86,B=37. R=126,G=81,B=39 R=125,G=86,B=36. Gambar 3. 6 Representasi nilai RGB Berdasarkan nilai RGB yang mempunyai ukuran sebesar 3 x 3 piksel pada gambar 3.5 dengan rumus perhitungan green channel : 𝐼(𝑥, 𝑦) = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 bahwa R = nilai piksel red channel, G = nilai piksel green channel , dan B = nilai piksel blue channel yang masing-masing nilai piksel diambil pada gambar 3.6. Adapun proses perhitungan green channel sebagai berikut:. Nilai piksel (𝐼1,1). = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 = 0*124+1*80+0*41 = 80. Nilai piksel (𝐼1,2). = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 = 0*121+1*80+0*42 = 80. Nilai piksel (𝐼1,3). = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 = 0*126+1*89+0*44 = 89. Nilai piksel (𝐼2,1 ). = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 = 0*129+1*89+0*40. Universitas Sumatera Utara.

(45) 30. = 89 Nilai piksel (𝐼2,2 ). = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 = 0*128+1*86+0*37 = 86. Nilai piksel (𝐼2,3 ). = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 = 0*127+1*81+0*42 = 81. Nilai piksel (𝐼3,1 ). = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 = 0*130+1*86+0*37 = 86. Nilai piksel(𝐼3,2 ). = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 = 0*126+1*81+0*39 = 81. Nilai piksel(𝐼3,3 ). = 0. 𝑅 + 1. 𝐺 + 0. 𝐵 = 0*125+1*86+0*36 = 86. Maka nilai piksel dari citra RGB diubah sesuai dengan nilai grayscale yang hanya diekstrak nilai piksel kanal hijau dapat ditunjukkan pada gambar 3.7. 80. 80. 89. 89. 86. 81. 86. 81. 86. Gambar 3. 7 Hasil nilai kanal hijau (green channel) Berdasarkan proses perhitungan citra fundus dengan potongan 3 x 3 berupa hasil grayscale kanal hijau (green channel) dapat ditunjukkan pada gambar 3.8. Universitas Sumatera Utara.

(46) 31. (a). (b). Gambar 3. 8 Proses citra green channel, (a) citra asli (b) citra green channel 3.3.3 Contrast Pada tahap selanjutnya, dilakukan pengaturan kualitas citra dengan menajamkan kontras setelah di lakukan green channel agar bagian-bagian yang spesifik pada citra bagian retina lebih terlihat jelas seperti robekan maupun vitreous. Penentuan contrast berdasarkan penyesuaian rentang nilai intensitas citra yang di inginkan atau disebut dengan alpha. Rentang tingkat contrast pada alpha (𝛼) pada suatu citra berkisar 0 – 3.0. Maka penyesuaian kontras citra lebih baik pada 𝛼 = 1.5. Maka rumus untuk menghitung nilai kontras yang akan dikalikan 𝛼 = 1.5. Hasil citra proses contrast dapat dilihat pada gambar 3.9.. Gambar 3. 9 Citra proses contrast Langkah-langkah diterapkan dalam menghitung contrast sebagai berikut: Langkah 1: Melakukan trial and error, yaitu mengambil beberapa nilai alpha pada contrast yang berbeda hingga mendapatkan 1 nilai yang tepat dan memberikan hasil yang optimal diperoleh nilai alpha pada contrast yang sesuai dan lebih baik yaitu 𝛼 = 1.5. Alpha menunjukkan sebagai mengontrol kontras.. Universitas Sumatera Utara.

(47) 32. Langkah 2 : Mengambil nilai piksel green channel pada gambar 3.10 yang akan dikalikan pada 𝛼 = 1.5 untuk menghasilkan nilai piksel contrast pada citra agar nantinya hasil nilai piksel contrast digunakan untuk proses selanjutnya perhitungan simple thresholding. 80. 80. 89. 89. 86. 81. 86. 81. 86. Gambar 3. 10 Nilai green channel Berdasarkan rumus contrast : 𝑔 (𝑖, 𝑗) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + 𝛽. 0 bahwa 𝛼 = 1.5 , 𝑓(𝑖, 𝑗) = nilai piksel green channel pada gambar 3.10 dan 𝛽 = nilai kecerahan pada citra yang dikalikan 0 dikarenakan pada penelitian ini hanya dilakukan penyesuaian contrast pada citra. Adapun proses perhitungan contrast citra fundus dengan menggunakan persamaan 2.3. sebagai berikut: . 𝑔(1,1) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + 𝛽. 0 = 1.5 * 80 + 0 = 120. . 𝑔(1,2) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + 𝛽. 0 =1.5 * 80 + 0 = 120. . 𝑔(1,3) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + 𝛽. 0 = 1.5 * 89 + 0 = 133.5. . 𝑔(1,4) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + 𝛽. 0 = 1.5 * 89 + 0 = 133.5. . 𝑔(1,5) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + 𝛽. 0 = 1.5 * 86 + 0 = 129. . 𝑔(1,6) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + 𝛽. 0. Universitas Sumatera Utara.

(48) 33. = 1.5 * 81 + 0 = 121.5 . 𝑔(1,7) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + 𝛽. 0 = 1.5 * 86 + 0 = 129. . 𝑔(1,8) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + 𝛽. 0 = 1.5 * 81 + 0 = 121.5. . 𝑔(1,9) = 𝛼. 𝑓(𝑖, 𝑗) + 𝛽. 0 = 1.5 * 86 + 0 = 129. Maka diperoleh hasil perhitungan nilai piksel dari proses citra contrast dapat ditunjukkan pada gambar 3.11. 120. 120. 133.5. 133.5. 129. 121.5. 129. 121.5. 129. Gambar 3. 11 Hasil nilai contrast. 3.4 Image Segmentation Segmentasi citra merupakan tahapan dalam pengolahan citra dengan cara memisahkan objek per bagian. Salah satu teknik yang diterapkan pada image segmentation adalah simple thresholding.. 3.4.1 Simple Thresholding Tahap selanjutnya, proses simple thresholding bertujuan untuk mendapatkan objek robekan pada bagian citra retina dengan menghasilkan citra biner. Output dari citra biner yang terdiri dari 0 (hitam) dan 255 (putih). Hasil citra proses simple thresholding dapat dilihat pada gambar 3.12.. Universitas Sumatera Utara.

(49) 34. Gambar 3. 12 Citra proses simple thresholding Dalam menghitung nilai piksel simple thresholding diambil dari nilai proses contrast pada gambar 3.13. 120. 120. 133.5. 133.5. 129. 121.5. 129. 121.5. 129. Gambar 3. 13 Nilai piksel sebelum di threshold Untuk proses perhitungan berdasarkan rumus simple thresholding: 𝑇 =. 𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠+𝑓𝑚𝑖𝑛 2. bahwa 𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠 = 133.5, dan 𝑓𝑚𝑖𝑛 = 120 yang diperoleh pada gambar 3.13. Proses perhitungan simple thresholding sebagai berikut : 𝑇= 𝑇=. 𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠 + 𝑓𝑚𝑖𝑛 2 133.5+120 2. = 126.75 = 127. Setelah dilakukan proses perhitungan simple thresholding dapat diperoleh nilai simple thresholding pada citra yaitu 127. Nilai simple thresholding sebagai nilai penentu untuk membandingkan nilai piksel sebelum di threshold untuk pengubahan nilai citra biner. Jika nilai piksel sebelum di threshold lebih kecil dari simple thresholding diperoleh 0 (hitam) sedangkan nilai piksel sebelum di threshold lebih besar dari simple thresholding diperoleh 255(putih). Adapun proses membandingkan masing-masing nilai piksel pada simple thresholding sebagai berikut: 120 < 127 = 0 120 < 127 = 0 133.5 > 127 = 255. Universitas Sumatera Utara.

(50) 35. 133.5 > 127 = 255 129 > 127 = 255 121.5 < 127 = 0 129 > 127 = 255 121.5 < 127 = 0 129 > 127 = 255 Maka diperoleh hasil perhitungan nilai piksel dari proses citra simple thresholding dapat ditunjukkan pada gambar 3.14. 0. 255. 255. 255. 0. 255. 0. 0. 255. Gambar 3. 14 Hasil nilai simple thresholding 3.5 Feature Extraction Ekstraksi ciri merupakan tahapan mengekstraksi ciri citra atau informasi dari suatu citra agar dapat mengenali citra dalam suatu objek atau membedakan satu citra dari citra lain. Teknik yang dipilih dalam mengekstraksi fitur adalah Gray Level co-occurance Matrix. 3.5.1 Gray Level co-occurance Matrix Tahap ini dapat memperoleh ciri khusus yang sebelumnya telah dilakukan pada proses preprocessing dan segmentation. GLCM dipergunakan untuk memperoleh bagian retina pada citra dengan konsep masking. Masking ialah citra biner dengan mengambil objek tertentu. Hasil citra masking dapat dilihat pada gambar 3.15.. Gambar 3. 15 Hasil Citra Masking. Universitas Sumatera Utara.

(51) 36. Pada gambar 3.15 bahwa citra masking bertujuan memisahkan objek pada bagian retina dengan background hitam sehingga background hitam pada citra retina tidak dihitung sebagai objek. Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh hasil nilai fitur yang terdiri dari contrast, energy, homogeneity, correlation, dissimililarity, ASM, dan entropy yang akan dimanfaatkan pada proses klasifikasi. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menghitung ekstraksi fitur pada Gray Level Co-occurrence Matrix sebagai berikut: 1. Pembuatan co-occurrence matrix (mengisi framework matrix) 2. Pembuatan symmetric matrix (penjumlahan co-occurrence matrix dengan transpose matrix) 3. Matrix normalization yang akan menghasilkan nilai matrix antara 0 -1 4. Perhitungan fitur 3.5.1.1. Proses Perhitungan Gray Leyel Co-occurrence Matrix Langkah-langkah diterapkan dalam menghitung ekstraksi fitur pada Gray Level Cooccurrence Matrix sebagai berikut: Langkah 1: Memilih nilai gray level pada citra dengan ukuran 3 x 3 dari hasil perhitungan pada tahap sebelumnya. 80. 80. 89. 89. 86. 81. 86. 81. 86. Gambar 3. 16 Nilai gray level pada citra. Langkah 2: Mengkonfigurasi matriks framework berdasarkan nilai tingkat keabuan yang ditentukan. 0 1 2 3. 0 0,0 1,0 2,0 3,0. 1 0,1 1,1 2,1 3,1. 2 0,2 1,2 2,2 3,2. 3 0,3 1,3 2,3 3,3. Gambar 3. 17 Matriks framework. Universitas Sumatera Utara.

(52) 37. Langkah 3: Memilih parameter arah dari jarak yang ditentukan dalam pembuatan cooccurrence matrix. Langkah 4: Pembuatan co-occurrence matrix berdasarkan jarak yang dipilih. Arah 0° Arah 0° 80 1 0 0 0. 80 81 86 89. 81 0 0 2 0. 86 0 1 0 1. 89 1 0 0 0. Gambar 3. 18 Matriks kookurensi arah 0° Langkah 5 : Mengkonfigurasi matriks simetris dengan cara menjumlahkan matriks kookurensi dengan transpose matriks kookurensi berdasarkan arah digunakan dalam perhitungan ini adalah 0° 1 0 0 0. 0 0 2 0. 0 1 0 1. 1 0 0 0. Matriks Kookurensi. 1 0 0 0. +. 0 0 2 0. 0 1 0 1. 1 0 0 0. 2 0 0 0. =. 0 0 4 0. 0 2 0 2. 2 0 0 0. Matriks Simetris. Matriks Transpose. Gambar 3. 19 Penjumlahan Matriks Kookurensi dengan Transposenya Langkah 6: Menormalisasikan matriks simetris dengan cara membagi nilai setiap elemen matriks simetris dengan menjumlahkan semua elemen dalam matriks simetris. 2/12 0/12 0/12 0/12. 0/12 0/12 4/12 0/12. 0/12 2/12 0/12 2/12. 2/12 0/12 0/12 0/12. 0.16 0 0 0.16 0 0 0.16 0 0 0.33 0 0 0 0 0.16 0 Gambar 3. 20 Matriks Normalisasi. Universitas Sumatera Utara.

(53) 38. Langkah 7: Menghitung fitur statistik dari matriks yang dinormalisasi. Fitur yang dipilih mencakup fitur contrast, energy, homogeneity, correlation, dissimililarity, ASM, dan entropy Perhitungan fitur contrast disesuaikan matriks pada gambar 3.20 dengan menerapkan persamaan 2.6 Contrast = ∑𝑖,𝑗 (𝑖 − 𝑗)2 𝑝(𝑖, 𝑗) ((0.16*(0-0)2) + (0*(0-1)2 ) + (0*(0-2)2) + (0.16*(0-3)2 ) + (0*(1-0)2 ) + (0*(1-1)2 ) + (0.16*(1-2)2 ) + (0*(1-3)2 ) + (0*(2-0)2) + (0.33*(2-1)2 ) + (0*(2-2)2 ) + (0*(2-3)2 ) + (0*(3-0)2 ) + (0*(3-1)2 ) + (0.16*(3-2)2) + (0*(3-3)2 )) = 15.09 Perhitungan fitur energy disesuaikan matriks pada gambar 3.20 dengan menggunakan persamaan 2.7 Energy = ∑𝑖,𝑗 𝑝(𝑖, 𝑗)2 (0.16)2 + (0)2 + (0)2 + (0.16)2+ (0)2 + (0)2 + (0.16)2+ (0)2 + (0)2+ (0. 33)2 (0)2 + (0)2 + (0)2 + (0)2 + (0.16)2+ (0)2 = 0.2113 Perhitungan fitur homogeneity disesuaikan matriks pada gambar 3.20 dengan menerapkan persamaan 2.8 Homogeneity = ∑𝑖 ∑𝑗. 𝑝(𝑖,𝑗) 1+(𝑖−𝑗)2. ((0.16/(1 + (0-0)2 ) + (0/(1+(0-1)2 ) + (0/(1 + (0-2)2 ) + (0.16/(1+(0-3)2 ) +(0/(1+(1-0)2 ) +(0/(1+(1-1)2) + (0.16/(1+(1-2)2 ) + (0/(1+(1-3)2) + (0/(1+(2-0)2) + (0.33/(1+(2-1)2) + (0/(1+(2-2)2) + (0/(1+(2-3)2) + (0/(1+(3-0)2) + (0/(1+(3-1)2) + (0.16/(1+(3-2)2)+ (0/(1+(3-3)2)) = 0.501 Perhitungan fitur correlation disesuaikan matriks pada gambar 3.20 dengan menggunakan persamaan 2.9 Correlation= 𝜇𝑖. =. ∑𝑖 ∑𝑗 (𝑖− 𝜇𝑖 )(𝑗−𝜇𝑗 )𝑝 (𝑖,𝑗) 𝜎𝑖 𝜎𝑗 0∗2+1∗1+2∗2+3∗1 6. = 1.33. Universitas Sumatera Utara.

(54) 39. 𝜇𝑗 𝜎𝑖(0,0) 𝜎𝑖(0,3) 𝜎𝑖(1,2). 𝜎𝑖(2,1) 𝜎𝑖(3,2). 𝜎𝑖. =. 0∗1+1∗2+2∗2+3∗1 6. = 1.5 = (0 − 8⁄6)2 * 1⁄6 = 0.29 = (0 − 8⁄6)2 * 1⁄6 = 0.29 = (1 − 8⁄6)2 * 1⁄6 = 0.01 = (2 − 8⁄6)2 * 2⁄6 = 0.14 = (3 − 8⁄6)2 * 1⁄6 = 0.46 64+64+4+32+100. =√. 216. = 12.82 𝜎𝑗(0,0) 𝜎𝑗(0,3) 𝜎𝑗(1,2) 𝜎𝑗(2,1) 𝜎𝑗(3,2) 𝜎𝑗. = (0 − 9⁄6)2 * 1⁄6 = 0.375 = (3 − 9⁄6)2 * 1⁄6 = 0.375 = (2 − 9⁄6)2 * 1⁄6 = 0.041 = (1 − 9⁄6)2 * 2⁄6 = 0.083 = (2 − 9⁄6)2 * 1⁄6 = 0.041 81+81+9+18+9. =√. 216. = 13.75 𝐶𝑜𝑟𝑟(0,0). =. (0− 8⁄6) ∗ (0− 9⁄6) ∗ 1⁄6 √214⁄108∗√194⁄108. = 0.17 𝐶𝑜𝑟𝑟(0,3). =. (0− 8⁄6) ∗ (3− 9⁄6) ∗ 1⁄6 √214⁄108∗√194⁄108. = 0.17. Universitas Sumatera Utara.

(55) 40. 𝐶𝑜𝑟𝑟(1,2). =. (1− 8⁄6) ∗ (2− 9⁄6) ∗ 1⁄6 √214⁄108∗√194⁄108. = 0.01. 𝐶𝑜𝑟𝑟(2,1). =. (2− 8⁄6) ∗ (1− 9⁄6) ∗ 2⁄6 √214⁄108∗√194⁄108. = 0.05 𝐶𝑜𝑟𝑟(3,2). =. (3− 8⁄6) ∗ (2− 9⁄6) ∗ 1⁄6 √214⁄108∗√194⁄108. = 0.07 Corr. =. 72+(−72)+(−6)+24+30 √214⁄108∗√194⁄108. = 25.58 Perhitungan fitur dissimililarity disesuaikan matriks pada gambar 3.20 dengan menggunakan persamaan 2.12 Dissimililarity = ∑𝑖 ∑𝑗 𝑝(𝑖, 𝑗). |𝑖 − 𝑗| ((0.16*|0-0|) + (0*|0-1|+ (0*|0-2|) + (0.16*|0-3|) + (0*|1-0|+ (0*|1-1|) + (0.16*|1-2|) + (0*|1-3|) + (0*|2-0|+ (0.33*|2-1|+ (0*|2- 2|+ (0*|23|+ (0*|3-0|+ (0*|3-1|) + (0.16*|3-2|) + (0*|3-3|)) = 1.13. Perhitungan fitur ASM disesuaikan matriks pada gambar 3.20 dengan menerapkan persamaan 2.13 ASM = ∑𝑖,𝑗 𝑝(𝑖, 𝑗)2 (0.16*0.16) + (0*0) + (0*0) + (0.16*0.16) + (0*0) + (0*0) + (0.16*0.16) + (0*0) + (0*0) + (0.33*0.33) + (0*0) + (0*0) + (0*0) + (0*0) + (0.16*0.16) + (0*0) = 0.211. Perhitungan fitur entropy disesuaikan matriks pada gambar 3.20 dengan menerapkan persamaan 2.14 Entropy = ∑𝑖,𝑗 𝑝(𝑖, 𝑗) log 𝑝(𝑖, 𝑗). Universitas Sumatera Utara.

(56) 41. ((0.16 (log 0.16)) + (0 (log 0)) + (0 (log 0)) + (0.16 (log 0.16)) + (0 (log 0)) + (0 (log 0)) + (0.16 (log 0.16)) + (0 (log 0)) + (0 (log 0)) +(0.33 (log 0.33)) + (0 (log 0)) + (0 (log 0)) + (0 (log 0)) + (0 (log 0)) + (0.16 (log 0.16)) + (0 (log 0))) = 0.666. 3.6 Klasifikasi Tahapan selanjutnya yaitu klasifikasi citra dari inputan hasil nilai fitur dengan menerapkan metode Extreme Learning Machine. Proses klasifikasi mencakup dua bagian yaitu proses training dan testing. Berdasarkan arsitektur yang diperoleh dalam jaringan ini mencakup 3 layer yaitu Input Layer, Hidden Layer, dan Output layer. Pada jumlah input layer yang berjumlah 7 node yaitu 𝑥1 = contrast, 𝑥2 = energy, 𝑥3 = homogeneity, 𝑥4 = correlation, 𝑥5 = dissimilarity, 𝑥6 = ASM , 𝑥7 = entropy yang disesuaikan pada 7 nilai fitur pada GLCM dengan hidden layer yang berjumlah 40 node yaitu 𝑧1 ,𝑧2 ,𝑧3 , 𝑧4 , 𝑧5 , … . , 𝑧40 dan output layer yang berjumlah 3 node yaitu 𝑦1 = normal , 𝑦2 = ablasio retina regmatogen , 𝑦3 = ablasio retina traksional. Penentuan jumlah hidden node yang berjumlah 40 node ialah nilai weight yang baik untuk memperoleh akurasi yang baik tanpa memakan waktu yang lama dalam proses klasifikasi ablasio retina. Pemilihan hidden node ditentukan secara random. Pelatihan dilakukan guna mencari bobot dan bias yang optimal atau disesuaikan dengan proses testing. Keterangan dari gambar arsitektur ELM untuk klasifikasi penyakit ablasio retina dapat dilihat pada tabel 3.2. Tabel 3.2 Keterangan Arsitektur ELM Keterangan. Jumlah(node). Input. 7. Hidden. 40. Output. 3. Adapun arsitektur umum extreme learning machine untuk klasifikasi penyakit ablasio retina dapat dilihat pada gambar 3.21. Universitas Sumatera Utara.

(57) 42. Gambar 3. 21 Arsitektur ELM untuk Klasifikasi Ablasio Retina Tahapan-tahapan proses klasifikasi ablasio retina adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan jumlah node pada hidden layer Pemilihan jumlah node pada hidden layer sangat berpengaruh dalam menjalankan proses data training, karena hidden layer dibutuhkan secara signifikan dalam perhitungan hasil akhir dari Extreme Learning Machine. 2. Pemilihan fungsi aktivasi Tahap yang dilakukan setelah memilih jumlah node pada hidden layer adalah memilih fungsi aktivasi yang tepat yang digunakan sebagai output dari hidden layer. Fungsi aktivasi yang digunakan adalah Tanh (Tangen Hiperbolik). 3.6.1 Proses Training Data training ialah tahap permulaan untuk menjalankan proses klasifikasi ablasio retina dalam implementasi metode extreme learning machine. Proses data training dilakukan pengaturan parameter untuk memperoleh output yang diperlukan pada kumpulan data. Universitas Sumatera Utara.

(58) 43. yang ditentukan. Hasil akhir dari proses data training yang telah dilatih memperoleh pemodelan yang dilatih. Adapun langkah-langkah dalam proses pengolahan data training dilakukan sebagai berikut: 1. Menginisialisasi seluruh weight dan bias bilangan acak kecil [0,1] 2. Menghitung masing-masing unit hidden layer 𝑍𝐽 (j = 1,2,…,m) dengan menjumlahkan sinyal input berbobot. z_𝑛𝑒𝑡𝑗 = 𝑏0𝑗 + ∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 𝑤𝑖𝑗. (3.1). Selanjutnya menghitung fungsi aktivasi (𝑔(𝑥)) yaitu fungsi aktivasi Tanh digunakan sebagai perhitungan output dari hidden layer. Adapun fungsi aktivasi tanh didefinisikan pada persamaan 𝑔(𝑥) =. 2. (3.2). 1+ 𝑒 2𝑥. Setelah diperoleh output hidden layer maka langkah berikutnya 3. Menghitung matriks H dengan ukuran n x m dimana n = jumlah unit input dan m = jumlah unit hidden H=[. 𝑔(𝑤1 𝑥1 + 𝑏1 ) … 𝑔(𝑤𝑛 𝑥𝑛,1 + 𝑏𝑛 ). … 𝑔(𝑤𝑚 𝑥1 + 𝑏𝑚 ) … … ] … 𝑔(𝑤𝑚,𝑛 𝑥𝑛 + 𝑏𝑚 ). (3.3). 4. Selanjutnya menghitung moore penrose pseudoinverse dari matriks H yang digunakan untuk mencari nilai bobot antara hidden layer dan output layer, persamaan 𝐻 + adalah sebagai berikut : 𝐻 + = (𝐻 𝑇 . 𝐻)−1 . 𝐻 𝑇. (3.4). Keterangan: 𝐻 𝑇 = matriks H yang telah di transpose Kemudian mencari weight ke output layer (β) 𝛽 = 𝐻+ . 𝑇. (3.5). Keterangan: T = matriks target proses training. Universitas Sumatera Utara.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning, disimpulkan : 1) Daya serap rata-rata siswa terhadap keterampilan psikomotor

Kalor merupakan derajat panas suatu benda yang dapat merubah suatu benda jika diberikan kalor dan kalor merupakan energi yang dapat berpindah dari benda yang

Tabel 3 menunjukkan luas daun tanaman selada yang tertinggi dijumpai pada perlakuan media tanam tanah – pupuk kandang dengan dosis 200 kg Urea/ha, yang berbeda

ICT Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas 4 Tabel di atas menunjukkan bahwa masih ada 3 orang mahasiswa angkatan 2008, yang sudah masuk kategori drop out

Efisiensi penyerbukan oleh kumbang sangat tergantung pada kemampuan kumbang mentransfer polen dari bunga jantan anthesis ke bunga betina reseptif kelapa sawit.. Kumbang

Penderita Hepatitis C yang memiliki lebih dari satu pasangan atau berhubungan dengan orang banyak harus memproteksi diri (misalnya dengan kondom) untuk

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa penambahan sistem security TinySec yang dapat diterapkan pada jaringan sensor nirkabel dengan tetap

Data yang diperoleh dengan melakukan tanya jawab atau wawancara secara langsung kepada Branch Manager (BM) perusahaan dan Branch Operational Manager (BOM) yang