SKRIPSI
Oleh :
R. ARDIAN PRADHANA 0732010009
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN ”
JAWA TIMUR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
berkenan memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul :
PENERAPAN LEAN THINKING GUNA M ENGURANGI (W ASTE) PADA LANTAI PRODUKSI DI PT. X SIDOARJO
Penyusunan tugas akhir ini guna memenuhi persyaratan dalam memperoleh
gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Industri pada Fakultas Teknologi Industri
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Penulis menyadari bahwa selama melakukan penelitian dan penyusunan
skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan.
Akhir kata penulis berharap semoga hasil penelitian yang tertuang dalam
skripsi ini banyak bermanfaat bagi setiap pembaca pada umumnya.
Surabaya, 3 Juni 2011
Penulis
Halaman Judul Lembar Pengesahan
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... ii
Daftar Gambar ... vi
Daftar Tabel ... vii
Daftar Lampiran ... viii
Abstraksi ... ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Batasan masalah ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 3
1.5 Asumsi ... 3
1.6 Manfaat Penelitian ... 4
1.7 Sistemetika Penulisan ... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Lean ... 6
2.2 Jenis – Jenis waste ... 8
2.2.4 Type sepuluh pemborosan ( ten waste ) ... 19
2.3 Macam – macam aktivitas ... 21
2.4 Value Stream Mapping ... 22
2.4.1 Current State Value Mapping ... 23
2.4.2 Future State Value Mapping ... 23
2.4.3 Big Picture Mapping ... 24
2.4.4 Value Stream Analysis Tools ( VALSAT ) ... 26
2.4.5 Penggunaan Valsat ... 30
2.5 DMAIC ... 32
2.5.1 Define (D ... 33
2.5.2 Measure (M)……… .. 33
2.5.2.1Mengidentifikasi Sumber – Sumber Kecacatan ... 34
2.5.2.2Diagram Sebab Akibat ... 35
2.5.3 Analyze (A)……… .... 36
2.5.4 Improve ( I ) ... 37
2.5.5 Control ( C ). ... 38
2.6 FMEA (Failure Mode and Effects Analysis) ... 38
2.6.1 Severity ... 40
2.6.2 Occurrence ... 41
2.6.3 Detection ... 41
3.2 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel ... 44
3.2.1 Variabel Terikat ... 44
3.2.2 Variabel Bebas ... 44
3.3 Pengambilan Data ... 47
3.3.1 Data Primer ... 47
3.3.2 Data Sekunder ... 47
3.4 Metode Pengolahan Data ... 48
3.4.1 Pengolahan Data Kuisioner ... 48
3.4.2 Pengolahan dengan Big Picture Mapping ... 48
3.4.3 Perhitungan VALSAT ... 49
3.5 Langkah – Langkah Pemecahan Masalah ... 51
3.6 Penjelasan Flow Chart ... 52
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan data ... 56
4.1.1 Big Picture Mapping ... 56
4.1.1.1Aliran Fisik ... 56
4.1.1.2Aliran Informasi ... 59
4.1.2 Penyusunan dan penyebaran kuisioner ... 63
4.2 Pengolahan Data ... 64
4.2.1 Hasil Identifikasi Kuesioner Waste Workshop ... 64
4.3 Analisa nine waste dan rekomendasi perbaikan ... 76
4.3.1 Jenis waste ... 77
4.3.1.1Jenis waste defect ... 77
4.3.1.2Jenis waste transportasi ... 77
4.3.1.3Jenis waste waiting ... 78
4.4 Tahap rekomendasi perbaikan ... 79
4.4.1 Usulan Perbaikan ... 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 85
5.2 Saran... 86
Gambar 2.1 Struktur Utama lean improvement ... 7
Gambar 2.2 Pengembangan struktur utama lean ... 8
Gambar 2.3 Sepuluh area waste dalam industri manufaktur ... 19
Gambar 2.4 Simbol VALSAT ... 22
Gambar 2.5 Simbol Big Picture Mapping ... 25
Gambar 2.6 Matriks VALSAT ... 31
Gambar 2.7 Proses DMAIC ... 32
Gambar 2.8 Diagram Sebab – Akibat ... 36
Gambar 3.1 Flowchart Pemecahan Masalah ... 51
Gambar 4.1 Aliran raw material... 58
Gambar 4.2 Value Stream Mapping PT X ... 63
Gambar 4.3 Korelasi waste terhadap tools ... 68
Gambar 4.4 Prosentase Jumlah Aktivitas... 73
Gambar 4.5 Prosentase Kebutuhan Waktu... 74
Gambar 4.6 Cause effect diagram jenis waste defect ... 77
Gambar 4.7 Cause effect diagram jenis waste transportasi ... 78
Tabel 2.1 Pendekatan untuk mereduksi pemborosan ... 20
Tabel 2.2 korelasi waste terhadap tools ... 32
Tabel 2.3 Skala Penilaian Severity ... 40
Tabel 2.4 Skala Penilaian Occurrence ... 41
Tabel 2.5 Skala Penilaian Detection ... 42
Tabel 3.1 Value Stream Analysis Tools ... 50
Tabel 4.1 Identifikasi Kegiatan Proses Pembuatan Botol Gelas ... 61
Tabel 4.2 Rekap Hasil Waste Workshop ... 66
Tabel 4.3 Rekap Hasil Waste Workshop sesuai rangking ... 66
Tabel 4.4 Perhitungan Skor VALSAT ... 69
Tabel 4.5 Perhitungan rangking Skor VALSAT ... 69
Tabel 4.6 Penentuan Tools VALSAT ... 70
Tabel 4.7 Penentuan rangking Tools VALSAT ... 71
Tabel 4.8 Prosentase Jumlah Aktivitas ... 72
Tabel 4.9 Prosentase Kebutuhan Waktu ... 74
Tabel 4.10 Skor rata-rata tiap jenis waste ... 75
Lampiran B : Value Stream Mapping
Lampiran C1 : Kuesioner Pembobotan Waste
Lampiran C2 : Skor Rata- rata tiap jenis waste, Tabel Rekap Hasil Waste Workshop, Tabel Rekap Hasil Waste Workshop sesuai rangking Lampiran D : VALSAT, Tabel Perhitungan Skor VALSAT, Tabel Perhitungan
rangking Skor VALSAT, Tabel Penentuan Tools VALSAT, Tabel Penentuan Tools Valsat, Tabel Penentuan Rangking Tools
VALSAT
Lampiran E : Proses Aktivity Mapping,Tabel Prosentase Jumlah Aktivitas,Tabel
Prosentase Kebutuhan Waktu
PT X Sidoarjo merupakan perusahaan yang bergerak dalam industri pembuatan Cup plastik . Lean adalah mengeliminasi pemborosan (Waste) atau aktifitas yang tidak bernilai tambah (Non Value Adding Activity) dari suatu proses sehingga aktifitas-aktifitas sepanjang aliran proses (Value Stream) mampu menghasilkan Value (nilai).
PT. X mempunyai masalah pada waste/ pemborosan yang terjadi. Karena menggunakan sistem make to order / produksi berdasarkan pesanan maka perusahaan ini sangat tergantung pada pabrik – pabrik minuman karenanya supply kinerja dalam memberikan produk kepada pabrik minuman haruslah dioptimalkan, salah satunya dengan mengurangi lead time
Metode lean thinking adalah metode yang digunakan untuk mengurangi waste. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mencari penyebab terjadinya pemborosan di lantai produksi, setelah mengetahui penyebab terjadinya pemborosan maka dibuat rekomendasi perbaikan dengan menggunakan FMEA (Failure Mode Effect Analysis).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya pemborosan tejadi pada
defect, transportation, waiting. Berdasarkan tingginya tingkat aktivitas yang terjadi dengan proses activity mapping adalah produksi Cup natural “Thermoforming cup” aktivitas yang paling sering dilakukan adalah operation
sebesar 11 aktivitas (50,00%), diikuti dengan aktivitas tipe Transportation dan inspection sebanyak 5 aktivitas dan 3 aktivitas dengan jumlah sebanyak aktivitas (22,72%) dan aktivitas (13,63%) dari total 22 aktivitas yang ada. Kemudian untuk aktivitas storage dan delay, dan masing-masing sebanyak 2 aktivitas dan 1 aktivitas, sebesar (9,09%) dan (4,56%) dapat diketahui bahwa pada proses produksi Cup Natural “Thermoforming Cup” untuk waktu yang paling besar adalah Delay sebesar 36 menit (37,11%), diikuti dengan waktu untuk tipe
Transportation dengan jumlah waktu sebanyak 17,5 menit (18,03%) dari total 97 menit waktu yang ada. Kemudian untuk aktivitas, storage, operation dan
inspection masing-masing sebesar 16 menit (16,49%), 14,5 menit (14,97%), 13 menit (13,40%). Dengan besar value adding activity 24,5 menit dan non value adding activity 59,5 menit.
PT X Sidoarjo is a company engaged in the manufacture of Plastic Cup. Lean is to eliminate waste (Waste) or non-value added activities (Non-Value Adding Activity) of a process so that the activities along the process (Value Stream) capable of producing value (value).
PT. X have a problem with the waste / waste that occurs. Because the systems make to order / production pursuant to order these companies are very dependent on the plant - hence beverage manufacturers supply performance in providing products to beverage manufacturers must be optimized, one with reducing lead times,
Lean thinking method is a method used to reduce waste. The purpose of this study is to analyze and find the causes of wastage in the production floor, after knowing the cause of the waste then made recommendations for improvement by using FMEA (Failure Mode Effect Analysis).
The results showed that the high wastage occurs at the defect, transportation,waiting. Based on the high level of activity is going on with the process mapping activity is the production of plain glass bottles "medium weight" of the most frequent activity is the operation of 11 activities (50,00%), followed by Transportation and inspection type activities were 5 and 6 activity with activity amount of activity (22,72%) and activity (13,63%) from a total of 22 activities. Then for the storage and delay activity, and each activity by as much as 2 (9,09%) and can be seen that on a plain glass bottle production process "medium weight" to the greatest time of 36 minutes is the operation (37,11% ), followed by time for the type of inspection with the amount of time by 62 minutes (18,03%) of the total 97 minutes of time available. Then for the activity, delay, storage, and transport, each for 16 minutes (16,49%), 14,5 minutes (14,97%), 13 minutes (13,40%). With a large value adding activity and 24,5 minutes of non value adding activity 59,5 minutes.
I.1. Latar Belakang
Di dalam persaingan yang demikian ketat, setiap unit usaha dituntut untuk
dapat menerapkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas hampir di segala bidang
untuk dapat menghasilkan produk dengan mutu yang baik disertai dengan biaya
yang murah. Dengan kondisi dan tuntutan fungsi seperti yang telah digambarkan
di atas, maka suatu perusahaan seharusnya tidak hanya melakukan sekali
perbaikan atas kekurangan yang terjadi pada unit usahanya saja tetapi juga
melakukan continous improvement agar dapat tetap survive dalam persaingan
bebas yang terjadi.
Perusahaan PT.”X” adalah merupakan perusahaan yang bergerak dalam
industri manufaktur pembuatan gelas plastik dimana diantaranya produk gelas
plastik polos (natural) “Thermoforming cup” ,gelas plastik printing dan tutup
botol plastik “pet bottle” yang digunakan di beberapa perusahaan lokal.
PT.”X” mempunyai masalah pada waste / pemborosan yang terjadi.
Beberapa waste diantaranya masih adanya waktu menunggu pada saat mesin
thermoforming ganti cetakan gelas sehingga banyak waktu terbuang untuk proses
produksi selanjutnya,adanya tenaga kerja yang tangannya terjepit mesin
diakibatkan karena kelalaian dalam mematuhi EHS, produk defect / reject, yakni
produk yang tidak sesuai dengan standart kualitas seperti motif cup yang tidak
rata, dimensi cup yang terlalu tebal / terlalu tipis , cup elektrostatik (lengket),cup
buram (moulded) , & cup berantakan jadi harus menjalani proses reproses
perpindahan berlebih mulai dari pemindahan produk ke gudang sementara
maupun ke gudang barang jadi dan masih banyak lainnya. Pemborosan ini
merupakan sesuatu yang tidak memberikan nilai tambah .Dengan adanya
pemborosan (waste), kegiatan produksi belum dikatakan maksimal. Karena
menggunakan sistem make to order / produksi berdasarkan pesanan maka
perusahaan ini sangat tergantung pada pabrik – pabrik minuman karenanya supply
kinerja dalam memberikan produk kepada pabrik minuman haruslah
dioptimalkan.
Lean merupakan suatu pendekatan yang sistematis terhadap waste dalam
berbagai proses secara terus menerus untuk mengoptimalkan aliran Value stream
dengan menghilangkan segala bentuk waste serta meningkatkan nilai tambah
produk.Waste secara umum dapat dikategorikan menjadi 9 macam,yaitu
pemborosan terhadap kecelakaan kerja,cacat produk, produksi berlebih, waktu
menunggu,proses yang tidak sesuai,SDM yang ada tidak digunakan secara
maksimal, perpindahan berlebih, persediaan yang tidak perlu, gerakan yang tidak
perlu. Lean Thinking yakni metode mengelola organisasi untuk meningkatkan
produktivitas , efisiensi dan kualitas produk atau jasa.sehingga ini merupakan
metode yang tepat untuk mengurangi waste tersebut..Kelebihan dari Lean
Thinking adalah fokus kepada reduksi waste dimana waste itu sendiri merupakan
salah satu penghambat peningkatan peformansi.
Dengan adanya masalah tersebut, maka dilakukan penelitian untuk
mengidentifikasi waste yang ada pada PT.”X” dengan lean thinking, dengan
harapan waste – waste tersebut dapat dihilangkan sehingga performansi kerja
I.2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah
”Bagaimana mengurangi waste pada lantai produksi di PT “X” Sidoarjo dengan penerapan Lean Thinking guna meningkatkan produktivitas kerja perusahaan.”
I.3. Batasan Masalah
Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Produk yang dipesan hanya produk Gelas Plastik Polos (Natural)
“Thermoforming Cup” pada PT.”X” Sidoarjo
2. Penelitian diambil pada kondisi Bulan Maret 2011 – Mei 2011.
3. Waste yang diteliti adalah 9 tipe waste ( Kecelakaan kerja, Cacat produk,
Produksi berlebih, Waktu tunggu, Proses yang tidak sesuai, Perpindahan
berlebih, Persediaan yang tidak perlu, Gerakan yang tidak perlu, Kinerja
SDM yang tidak maksimal ) yang didefinisikan oleh Gazpers ( 2007 )
I.4. Asumsi – asumsi
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Semua mesin dilantai produksi dalam keadaan baik.
2. Tidak ada penambahan/pengurangan tenaga kerja selama dilakukan penelitian.
3. Bahan baku yang digunakan sudah sesuai dengan spesifikasi.
4. Keadaan Perusahaan berjalan normal.
5. Aliran poses produksi tidak berubah selama penelitian berlangsung.
1.5. Tujuan
Tujuan dari penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi tipe – tipe ninewaste dalam lean thinking yaitu Kecelakaan
kerja, Cacat produk, Produksi berlebih, Waktu tunggu, Proses yang tidak
sesuai, Perpindahan berlebih, Persediaan yang tidak perlu, Gerakan yang tidak
perlu, Kinerja SDM yang tidak maksimal.
2. Memberikan usulan perbaikanuntuk mengurangi waste.
I.6. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian tugas akhir ini
baik bagi peneliti, universitas maupun bagi perusahaan antara lain meliputi :
1. Bagi penulis dapat memberikan rekomendasi perbaikan untuk pengurangan
waste tersebut .
2. Bagi universitas dapat memberikan informasi mengenai metode lean
Thinking dan menambah koleksi perpustakaan Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Pihak perusahaan dapat mengetahui kegiatan non-value adding, waste yang
ada dan penyebabnya yang terjadi di area produksi, sehingga diketahui pula
kerugian yang ditimbulkan.
I.7. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian tugasakhir
BAB I PENDAHULUAN
permasalahan yang akan diteliti dan dibahas. Juga diuraikan tentang
tujuan, manfaat penelitian, serta batasan dan asumsi yang digunakan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi teori-teori dasar yang berkaitan dengan Lean Phylosophy,
VALSAT( Value Stream Analysis Tools) yang dijadikan acuan dalam
melakukan langkah-langkah penelitian sehingga permasalahan yang
ada dapat dipecahkan.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi urutan langkah-langkah pemecahan masalah secara
sistematis mulai dari perumusan masalah dan tujuan yang ingin
dicapai, studi pustaka, pengumpulan data, dan metode analisis data.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan
tahapan identifikasi permasalahan yang ada di perusahaan dengan
diawali penjelasan tentang proses produksi secara umum, pembuatan
current state value stream mapping, identifikasi waste dengan
VALSAT, identifikasi penyebab permasalahan dengan Failure Mode
Effect Analysis (FMEA), dan perancangan solusi perbaikan. Selain itu,
juga akan dilakukan identifikasi hasil perbaikan dengan pembuatan
future state VSM.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini berisikan uraian tentang kesimpulan dan saran penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lean Phylosophy
Pada dasarnya konsep lean adalah konsep perampingan atau efisiensi.
Konsep ini dapat diterapkan pada perusahaan manufaktur maupun jasa, karena
pada dasarnya konsep efisiensi akan selalu menjadi suatu target yang ingin dicapai
oleh perusahaan. Konsep lean Thinking ini dikenalkan oleh pabrik Toyota di
Jepang, yang kemudian dijabarkan menjadi 5 prinsip dasar yang diidentifikasi
oleh Womack dan Jones diantaranya adalah :
1. Define value from the prespective the customer
Mengidentifikasi nilai – nilai tambah yang dapat dilakukan kepada
suatu produk / pelayanan menurut keinginan customer sehingga output yang
keluar akan sesuai dengan keinginan pasar pada umumnya bukan dari
keinginan perusahaan tersebut.
2. Identify value stream
Mengidentifikasikan tahapan-tahapan yang diperlukan, mulai dari
proses desain, pemesanan, dan pembuatan produk berdasarkan keseluruhan
value stream untuk mendapatkan pemborosan yang tidak memilki nilai
tambah (non value adding waste).
3. Continuous flow process
Serangkaian aktivitas yang dilakukan agar mendapatkan nilai tambah
mengalir dari satu stasiun kerja ke stasiun kerja yang lain tanpa adanya
waktu tunggu
4. Pull system
Pembuatan produk sesuai permintaan pasar / customer
5. Strive to perfection
Berusaha mencapai kesempurnaan dengan cara menghilangkan waste
secara bertahap dan berkelanjutan.
( Sumber : Womack, J. and Jones, D.T. (2003). Lean Thinking, banish wastes
and create wealth in your corporation, revised and updated, Free Press )
Sebagian besar lean tools dan tekniknya merupakan suatu konsep teknik
industri yang baik yang dapat diterapkan pada perusahaan dengan berbagai
kondisi tanpa banyak kesulitan. Bagaimanapun dampak aplikasinya akan terasa,
jika diterapkan dengan proses improvement yang berkelanjutan. Sebuah
framework yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 akan menunjukkan sebuah aliran
logis dari penerapan lean improvement.
Gambar 2.1 Struktur utama lean improvement
Dari struktur utama tersebut, bagian teknik tertentu akan dikembangkan,
sehingga tools tersebut akan memiliki dampak terhadap investasi. Dengan
pengembangan ini, akan mengurangi waktu tunggu, waktu proses, biaya, dana
pengiriman material hanya pada waktu dan tempat yang dibutuhkan.
Pengembangan tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.2. Pendekatan yang
digunakan akan dikelompokkan dalam sebuah “gelombang”, berdasarkan tipe
penghematan yang dilakukan.
Gambar 2.2 Pengembangan struktur utama lean
(http:/www.sciencedirect.com)
2.2 Jenis – Jenis Wastes
Untuk menciptakan proses produksi yang efektif dan efisien pemahaman
terhadap ketiga operasi tersebut sangat penting. Hal utama yang menjadi perhatian
adalah Non-Value Adding dan Necessary but Non-Value Adding, artinya sedapat
mungkin aktivitas tersebut dikurangi atau dihilangkan. Dalam aktivitas tersebut
seringkali menimbulkan waste. Menurut Gazpers (2007) terdapat Sembilan waste
dalam proses produksi yang didefinisikan dengan istilah E-DOWNTIME©, yang
dijabarkan sebagai berikut:
1) E → Environmental, Health, and Safety
3) O → Overproduction
4) W → Waiting
5) N → Not Utilizing Employees Knowledge, Skills, and Abilities
6) T → Transportation
7) I → Inventories
8) M → Motion
9) E → Excess Processing
o Environmental, Health, and Safety,
pemborosan yang terjadi akibat kelalaian pihak – pihak tertentu
dalam perusahaan untuk memahami prosedur EHS yang ada. Dengan
sikap seperti ini akan menimbulkan dampak seringnya terjadi kecelakaan
kerja. Jika permasalahan kecelakaan tersebut terjadi, maka akan tidak
sedikit biaya, waktu, dan tenaga yang harus dikeluarkan perusahaan untuk
mengatasinya. Oleh karena itu, pemborosan dari segi EHS ini sangat
penting untuk dapat dilakukan tindakan preventif sedini mungkin agar
dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja.
o Defect,
berarti adalah produk yang rusak atau tidak sesuai dengan
spesifikasi, hal ini akan menyebabkan proses rework yang kurang efektif.
Tingginya complain dari konsumen, serta inspeksi level yang sangat
tinggi.
o Overproduction,
pemborosan yang disebabkan produksi yang berlebihan,
atau memproduksi lebih awal dari jadwal yang sudah dibuat. Bentuk dari
overproduction ini antara lain adalah aliran produksi yang tidak lancar,
tumpukan WIP yang terlalu banyak, target dan pencapaian hasil produksi
dari setiap bagian produksi kurang jelas.
o Waiting,
pemborosan karena menunggu untuk proses berikutnya. Waiting
merupakan selang waktu ketika operator tidak menggunakan waktu untuk
melakukan value adding activity dikarenakan menunggu aliran produk dari
proses sebelumnya (upstream). Waiting ini juga mencakup operator dan
mesin seperti kecepatan produksi mesin dalam stasiun kerja lebih cepat
atau lambat daripada stasiun yang lainnya.
o Not Utilizing Employees Knowledge, Skills, and Abilities
merupakan suatu kondisi dimana sumber daya yang ada (operator)
tidak digunakan secara maksimal, sehingga terjadi pemborosan. Kinerja
operator yang tidak maksimal ditujukkan dengan tidak adanya aktivitas
yang dilakukan operator (menganggur) atau produktivitas rendah. Selain
itu juga bisa diakibatkan penggunaan operator yang tidak tepat untuk suatu
pekerjaan tertentu. Misalnya pada penempatan karyawan pada posisi
tertentu dimana skill atau riwayat pendidikan yang tidak sesuai dengan
bidang kerjanya sehingga di lapangan operator sering melakukan
kesalahan kerja.
o Transportation
merupakan kegiatan yang penting akan tetapi tidak menambah
material atau Work In Process dari satu stasiun kerja ke stasiun kerja yang
lainnya. Baik menggunakan forklift maupun conveyor.
o Inventories
berarti persediaan yang kurang perlu. Maksudnya adalah
persediaan material yang terlalu banyak, Work In Process yang terlalu
banyak antara proses satu dengan proses yang lainnya sehingga
membutuhkan ruang yang banyak untuk menyimpannya, kemungkinan
pemborosan ini adalah buffer yang sangat tinggi.
o Motion
berarti adalah aktivitas atau pergerakan yang kurang perlu yang
dilakukan operator yang tidak menambah nilai dan memperlambat proses
sehingga lead time menjadi lama. Proses mencari komponen karena tidak
terdeteksi tempat penyimpanannya, gerakan tambahan untuk
mengoperasikan suatu mesin. Hal ini juga dapat terjadi dikarenakan layout
produksi yang tidak tepat sehingga sering terjadi pergerakan yang kurang
perlu dilakukan oleh operator.
o Excees Process
terjadi ketika metode kerja atau urutan kerja (proses) yang
digunakan dirasa kurang baik dan fleksibel. Hal ini juga dapat terjadi
ketika proses yang ada belum standar sehingga kemungkinan produk yang
rusak akan tinggi. Selain itu juga ditunjukkan dengan adanya variasi
metode yang dikerjakan operator.
2.2.1 Type Tujuh Pemborosan (seven waste)
Berikut ini adalah penjelasan dari seven waste yang diidentifikasikanoleh
Dr. Shiego Singo kemudian ditulis kembali oleh Kilpatrick (2003) :
1. Produksi berlebihan (overproduction) adalah kegiatan menghasilkan
barang melebihi permintaan/keinginan sehingga menambah alokasi
sumber daya terhadap produk.
2. Menunggu (waiting) adalah proses menunggu kedatangan material,
informasi, peralatan dan perlengkapan.
3. Transportasi (transportation) adalah memindahkan material atau orang
dalam jarak yang sangat jauh dari satu proses ke proses berikut yang dapat
mengakibatkan waktu penaganan material bertambah..
4. Proses yang tidak tepat (inappropriate processing) adalah proses kerja
dimana terdapat ketidaksempurnaan proses atau metode operasi produksi
yang diakibatkan oleh penggunaan tool yang tidak sesuai dengan
fungsinya ataupun kesalahan prosedur atau sistem operasi. Secara umum
faktor penyebabnya adalah peralatan atau tool yang tidak sesuai,
maintenance peralatan yang jelek dan lain-lain.
5. Persediaan yang tidak perlu (unnecessary inventory) adalah penyimpanan
(inventory) melebihi volume gudang yang ditentukan, material yang rusak
karena terlalu lama disimpan atau terlalu cepat dikeluarkan dari tempat
penyimpanan, material yang sudah kadaluarsa. Secara umum faktor
penyebabnya adalah waktu change over yang lama, ketidakseimbangan
6. Gerakan yang tidak perlu (unnecessary motion) adalah gerakan yang
melibatkan konsep ergonomis pada tempat kerja, dimana operator
melakukan gerakan-gerakan yang seharusnya bisa dihindari, misalnya
komponen dan kontrol yang terlalu jauh dari jangkauan double handling,
layout yang tidak standar, operator membungkuk. Secara umum faktor
penyebabnya adalah pengelolaan tempat kerja yang jelek, layout yang
jelek, metode kerja yang tidak konsisten, desain mesin yang tidak
ergonomis.
7. Kecacatan (defect) merupakan kesalahan yang terlalu sering dalam kertas
kerja, kualitas produk yang buruk, atau performansi pengiriman yang
buruk, ketidaksempurnaan produk, kurangnya tenaga kerja pada saat
proses berjalan, adanya alokasi tenaga kerja untuk proses pengerjaan ulang
(rework) dan tenaga kerja menangani pekerjaan claim dari pelanggan.
2.2.2 Type Delapan Pemborosan (eight waste)
Dalam kalangan praktisi Lean Manufacturing dikenal sebagai delapan
pemborosan yang menurut Taiichi Ohno (salah satu pencipta Toyota Production
System) bertanggung jawab dalam sekitar 95% dari semua biaya yang ada dalam
produksi. Delapan pemborosan tersebut adalah :
1. Overproduction (produksi berlebih)
Produksi berlebih adalah memproduksi produk jauh lebih banyak dari
permintaan konsumen atau melebihi jumlah yang dibutuhkan. Sedangkan
dalam Lean Manufacturing semua produk yang diproduksi diluar hal
karena hal tersebut membuat organisasi menjadi tidak dapat melakukan hal
lain yang dapat memenuhi keinginan konsumen. Produksi berlebih adalah
pemborosan yang paling parah diantara jenis pemborosan lainnya. Kalau
permintaan pasar sedang tinggi, pemborosan jenis ini mungkin terlalu
penting, namun dikala permintaan pasar sedang menyusut, dampak dari
produksi berlebih akan berlipat ganda. Bahkan seringkali perusahaan
mendapatkan kesulitan karena menyimpan barang yang tidak terjual itu
sebagai persediaan extra.
2. Waiting (menunggu)
Yang dimaksud dengan menuggu ialah menunggu kedatangan material,
menunggu informasi, peralatan, perlengkapan dan semua hal yang
membuat organisasi berhenti beraktivitas sehingga menimbulkan
pemborosan. Pemborosan karena menunggu harus ini harus terungkap
kebenaran situasinya terlebih dahulu sebelum tindakan perbaikan
dilaksanakan. Suatu contoh yang salah menafsirkan situasi pemborosan
karena karena waktu menunggu adalah membiarkan mesin dan
operatornya menunggu pada saat pekerjaan yang diperlukan sudah selesai.
Bila hal ini dianggap sebagai pemborosan dan kemudian diatasi maka
dampaknya justru akan menimbulkan pemborosan karena produksi
berlebih yang lebih gawat. Dalam hal ini kita harus lebih cermat dalam
menilai situasi.
3. Transportation (transportasi yang tidak perlu)
Yang di maksud transportasi dalam Lean Manufacturing adalah bahwa
langsung menuju tempat dimana barang tersebut dapat langsung
digunakan sehingga tidak menimbulkan pemborosan lainnya yaitu
transportasi yang tidak perlu. Pemborosan karena transportasi dan
penanganan barang adalah pemborosan yang sering kita jumpai di dalam
pabrik. Barang yang sama dapat saja ditangani berulang-ulang tanpa
memberi nilai tambah. Perencanaan yang buruk akan menyebabkan
kegiatan transportasi membengkak dan penanganan barang dilakukan
berulang-ulang.
4. Non value added activities (aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah)
Metode dalam pengolahan produksi dapat menjadi sumber dari
pemborosan yang seharusnya tidak perlu ada. Misalnya pengerjaan ulang
(reworking) karena seharusnya proses tidak perlu diulang apabila
dilakukan proses yang benar. Deburing (sisa produksi) karena produk
seharusnya dapat diproduksi tanpa sisa produksi apabila dilakukan dengan
desain yang tepat dan alat yang lengkap untuk pekerjaan tersebut dan
inspecting (pemeriksaan) karena produk seharusnya dapat diproduksi
dengan menggunakan Statistical Process Control (SPC) untuk
menghilangkan atau meminimalkan jumlas inspeksi yang diperlukan
dalam menjaga kualitas produk tersebut.
5. Excess inventory (persediaan berlebih)
Persediaan berlebih juga akan meningkatkan biaya produksi. Kelebihan
persediaan memerlukan penanganan extra, tempat extra, extra bunga yang
Berikut adalah beberapa prinsip untuk mengurangi persediaan berlebih :
- Singkirkan barang-barang yang tidak diperlukan lagi
- Jangan memproduksi barang yang tidak diperlukan untuk proses
berikutnya.
- Jangan membeli atau membawa barang dalam ukuran lot besar
(meskipun penghematan dari diskon pembelian dalam jumlah
besar, mungkin lebih besar dari biaya pemborosan karena
persediaan)
- Usahakan untuk memproduksi dalam lot kecil (mengurangi waktu
set-up atau tingkatkan frekuensi peralihan jenis produksi)
6. Excess motion (gerakan yang berlebih/tidak diperlukan)
Seorang pekerja dapat kelihatan sibuk selama tiga jam untuk
mondar-mandir mencari alat kerja ke semua sudut pabrik. Jelas ini merupakan
kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah sama sekali, hal ini justru
akan membebani biaya produksi dengan upahnya selama tiga jam yang
sia-sia. Di samping itu, hasil produksi menjadi tertunda dikirim kepada
pelanggan klarena lead time produksi bertambah. Contoh gerakan
mengambil dan mengembalikan benda dapat dihilangkan bila kita
meletakkan alat kerja berdekatan dengan penggunaannya. Berjalan
mondar-mandir dengan jarak yang cukup jauh adalah gerakan yang sia-sia,
khususnya bila operator diberi tanggung jawab untuk mengoperasikan
mesin. Mesin harus diletakkan dengan benar, saling berdekatan dengan
7. Defect waste (pemborosan karena cacat produksi)
Bila cacat produksi terjadi pada satu pos produksi kerja, maka pada
umumnya operator pada pos kerja berikutnya akan menunggu. Waktu
terbuang percuma dan menambah biaya produksi. Lebih parah lagi apabila
barang-barang tersebut dikerjakan ulang (rework) atau bahkan produk
yang cacat itu harus dimusnahkan. Apabila cacat produksi terjadi maka
akan diperlukan untuk membongkar dan mereparasi produk itu, lagipula
tambahan komponen juga akan diperlukan dalam penaganan komponen
yang rusak. Otomatis jadwal produksi akan terganggu karena menunggu
proses penyelesaian tersebut. Memilah-milah komponen yang jelek juga
menyerap tambahan tenaga kerja sehingga meningkatkan jumlah biaya,
yang berarti pemborosan. Kasus yang lebih buruk lagi apabila pelanggan
menemukan cacat produksi setelah produk berada ditangannya. Tidak
hanya ongkos garansi dan ongkos kirim saja yang harus ditanggung, tetapi
juga pengorbanan citra perusahaan, peluang bisnis pendatang baru dan
pangsa pasar yang menyusut. Untuk menghindari masalah itu sebuah
sistem harus dikembangkan untuk menemukan dan mengenali cacat
produksi serta berbagai kondisi penyebab timbuknya cacat tersebut.
Dengan demikian, operator bisa melakukan tindakan perbaikan langsung.
8. Underutilized people (pekerja yang kurang profesioanl)
Yang dimaksud underutilzed people adalah pekerja yang tidak
mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya baik dari segi mental,
kreativitas, serta skill dan kemampuan fisik dimana biasanya seorang
demi kepentingan bersama. Beberapa penyebab pemborosan type ini
adalah : proses kerja yang jelek dan kurang teratur, budaya kerja yang
kurang positif atau tidak mendorong pekerjanya untuk berkembang,
praktek perekrutan para pekerja yang kurang selektif, training pegawai
yang kurang memadai atau bahkan tidak ada sama sekali training pegawai,
dan turnover pekerja yang terlalu tinggi sehingga tidak ada pekerja yang
benar-benar mengerti pekerjaan serta segala detail dari perusahaan untuk
berkembang.
2.2.3 Type Sembilan Pemborosan (nine waste)
Menurut Vincent Gaspersz (2007) terdapat sembilan pemborosan yang ada
dalam bidang industri yang terkenal dengan istilah E-DOWNTIME, yaitu :
1. E = Environmental, Health and Safety (EHS) adalah jenis pemborosan
yang tejadi karena kelalaian dalam memperhatikan hal-hal yang berkaitan
dengan prinsip-prinsip EHS.
2. D = Defects adalah jenis pemborosan yang terjadi karena kecacatan atau
kegagalan produk (barang/jasa).
3. O = Overproduction adalah jenis pemborosan yang terjadi karena
produksi berlebih dari kuantitas yang dipesan oleh pelanggan,
4. W = Waiting adalah jenis pemborosan yang terjadi karena menunggu.
5. N = Not utilizing employees knowladge skills and abilities adalah jenis
pemborosan sumber daya manusia (SDM) yang terjadi karena tidak
menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan karyawan
6. T = Transportation adalah jenis pemborosan yang terjadi karena
transportasi yang berlebihan sepanjang proses value stream.
7. I = Inventories adalah jenis pemborosan yang terjadi karena inventories
yang berlebihan.
8. M = Motion adalah jenis pemborosan yang terjadi karena banyaknya
pergerakan dari yang seharusnya sepanjang proses value stream.
9. E = Excess processing adalah jenis pemborosan yang terjadi karena
langkah-langkah proses yang panjang dari yang seharusnya sepanjang
proses value stream.
2.2.4 Type Sepuluh Pemborosan (ten waste)
Dalam perspektif lain, kaufman consulting group (1999) telah
merumuskan 10 jenis pemborosan dalam industri manufaktur, dimana ke-10 jenis
pemborosan itu dikelompokkan kedalam empat kategori utama yaitu orang,
kuantitas, kualitas dan informasi seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.1 dan
pendekatan untuk mereduksi pemborosan tersebut ditunjukkan dalam tabel 2.1
(Sumber : Kaufman consulting group, 1999)
Tabel 2.1 Pendekatan untuk mereduksi pemborosan dalam industri manufaktur
Orang (people) Processing, motion,
Fixing defects Error (mistake),
2.3 Macam – Macam Aktivitas
Di dalam proses produksi terdapat tiga tipe operasi yang didefinisikan
menurut Monden (Hines&Rich, 2005). Ketiga tipe operasi atau aktivitas yaitu:
1. Non-Value Adding (NVA)
2. Necessary but Non-Value Adding (NNVA)
3. Value Adding (VA)
Non-Value Adding merupakan aktivitas yang tidak menambah nilai dari
sudut pandang customer. Aktivitas ini merupakan waste dan harus
dikurangi atau dihilangkan. Contoh dari aktivitas ini adalah waiting time,
menumpuk work in process, dan double handling.
Necessary but Non-Value Adding adalah aktivitas yang tidak menambah
nilai akan tetapi penting bagi proses yang ada. Contohnya adalah aktivitas
berjalan untuk mengambil parts, unpacking deliveries, dan memindahkan
tool dari satu tangan ke tangan yang lain. Untuk mengurangi atau
menghilangkan aktivitas ini adalah dengan membuat perubahan pada
prosedur operasi menjadi lebih sederhana dan mudah, seperti membuat
layout baru, koordinasi dengan supplier dan membuat standar aktivitas.
Value Adding merupakan aktivitas yang mampu memberikan nilai tambah
pada suatu material atau produk yang diproses. Aktivitas untuk memproses
raw material atau semi-finished product melalui penggunaan manual
labor. Material pada value adding ini berupa raw material bahan
2.4 Value Stream Mapping
Menurut Womack dan Jones, value stream adalah semua kegiatan (value
added atau non-value added) yang dibutuhkan untuk membuat produk melalui
aliran proses produksi utama. Value stream dapat mendeskripsikan kegiatan –
kegiatan seperti product design, flow of product, dan flow of information yang
mendukung kegiatan – kegiatan tersebut. Value Stream Mapping atau juga sering
dikenal sebagai Big Picture Mapping merupakan alat yang digunakan untuk
menggambarkan system secara keseluruhan dan value stream yang ada di
dalamnya. Alat ini menggambarkan aliran material dan informasi dalam suatu
value stream. Untuk membuat Value Stream Mapping harus diperhatikan simbol
– simbol yang digunakan, seperti pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Simbol yang digunakan dalam value stream mapping ( VSM )
Untuk membuat Value Stream Mapping terdapat empat tahapan yaitu:
1. Mengidentifikasi famili produk dan menentukan famili produk yang akan
diamati.
2. Membuat current state map untuk famili produk yang diamati.
3. Mengembangkan future state map, yaitu kondisi yang diinginkan berdasar
kondisi existing dalam usaha pengurangan waste.
4. Mengembangkan rencana langkah kerja untuk menciptakan “value” yang
direncanakan guna mencapai future state map.
2.4.1 Current State Value Stream Mapping
current state value stream mapping adalah dasar dalam konsep lean
thinking karena dengan map ini waste – waste yang terjadi dapat diketahui yang
mana akan dijadikan dasar dalam analisa dan recana perbaikannya. beberapa hal
yang perlu diketahui diantaranya :
1. Identifikasi dan pemahaman kebutuhan customer.
2. Pemahaman terhadap aliran fisik produksi beserta detil – detilnya, meliputi
detil proses, detil data – data yang berkaitan dengan proses, data box, dan
inventory.
3. Gambarkan aliran material dengan memulai dari end customer (backward).
4. Gambarkan aliran informasi dan tentukan pull dan push system-nya.
2.4.2 Future State Value Stream Mapping
Untuk menggambarkan future state value stream mapping yang harus
mapping, berkaitan dengan itu Rother dan Shook memberikan langkah –
langkahnya yaitu:
1. Perhitungan TAKT time berdasarkan demand dan waktu kerja yang tersedia.
2. Kembangkan continuous flow jika memungkinkan.
3. Menggunakan supermartket jika continuous flow tidak dapat diterapkan.
4. Mencoba menerapkan penjadwalan hanya untuk satu proses produksi.
5. Menciptakan “initial pull”.
6. Mencoba mengembangkan kemampuan untuk memproduksi “every part
every day” di dalam proses sebelum proses pacemaker.
2.4.3 Big Picture Mapping
Big Picture Mapping adalah suatu tool yang digunakan untuk
menggambarkan suatu sistem secara keseluruhan beserta aliran nilai (Value
Stream) yang terdapat dalam perusahaan. Sehingga nantinya diperoleh gambaran
mengenai aliran informasi dan aliran fisik dari sistem yang ada, mengidentifikasi
dimana terjadinya waste, serta mnggambarkan lead time yang dibutuhkan
berdasar dari masing-masing karakteristik proses yang terjadi. Peta ini tentunya
dibuat untuk suatu produk atau pelanggan tertentu yang sudah diidentifikasikan
Gambar 2.5 Simbol-simbol Big Picture Mapping
(http:/lean.org)
Untuk melakukan pemetaan terhadap aliran informasi dan material
atau produk secara fisik, kita dapat menerapkan big picture mapping dengan 5
fase:
1. Phase 1 : Customer requirements
Menggambarkan kebutuhan konsumen. Mengidentifikasi jenis dan jumlah
produk yang diinginkan customer, timing, munculnya kebutuhan akan produk
tersebut, kapasitas dan frekuensi pengirimannya, packaging serta jumlah
persediaan yang disimpan untuk keperluan customer.
2. Phase 2 : Information flows
Menggambarkan aliran informasi dari konsumen ke supplier yang berisi
antara lain: peramalan dan informasi pembatalan supply oleh customer, orang
atau departemen yang memberi informasi ke perusahaan, berapa lama
Jadwal mingguan
customer I
Q
Supplier / Customer Titik Persediaan Kotak Informasi Aliran Informasi Aliran Fisik
Aliran fisik antar
Perusahaan Kotak Waktu Titik Inspeksi Stasiun Kerja DenganWaktu
Aliran Informasi
Total production Lead Time = 22.75 jam Value Adding Time (lower line) = 2.25 jam
informasi muncul sampai diproses, informasi apa yang disampaikan kepada
supplier serta pesanan yang disyaratkan.
3. Phase 3 : Physical flows
Menggambarkan aliran fisik yang dapat berupa : langkah-langkah utama
aliran material dan aliran produk dalam perusahaan, waktu yang dibutuhkan,
waktu penyelesaian tiap-tiap operasi, berapa banyak orang yang bekerja
disetiap workplace, berapa lama waktu berpindah yang dibutuhkan untuk
berpindah dari satu workplace ke workplace yang lain, berapa jam per hari
tiap workplace beroperasi, titik bottleneck yang terjadi dan lain-lain.
4. Phase 4 : Linking physical and information flows
Menghubungkan aliran informasi dan aliran fisik dengan anak panah yang
dapat memberi informasi jadwal yang digunakan, instruksi kerja yang
dihasilkan, dari dan untuk siapa informasi dan instruksi dikirim, kapan dan
dimana biasanya terjadi masalah dalam aliran fisik.
5. Phase 5 : Complete map
Melengkapi peta atau gambar aliran informasi dan aliran fisik dilakukan
dengan menambahkan lead time dan value adding time dari keseluruhan
proses dibawah gambar aliran yang dibuat.
Simbol-simbol yang digunakan dalam Big Picture Mapping adalah sebagai
berikut:
2.4.4 Value Stream Analysis Tools (VALSAT)
Selain Big Picture Mapping, alat yang digunakan dalam konsep Lean Six
memilih alat dari pemetaan aliran proses yang nantinya akan digunakan sebagai
pedoman dalam mengidentifikasi pemborosan (waste).
Pada proses ini dilakukan proses pemetaan dari future state yang diusulkan
Value Stream berfokus pada proses value adding dan non-value adding. Value
Stream Mapping dikembangkan pada tahun 1995. alasan yang mendasari
pengumpulan dan penggunaan serangkaian tool ini adalah untuk membantu para
peneliti atau para praktisi dalam mengidentifikasikan pemborosan pada individual
value stream dan mendapatkan jalan yang tepat untuk menghilangkannya. Untuk
lebih jelasnya berikut detil dari ketujuh tool yang dikemukakan oleh Hines&Rich
(2005) dalam VALSAT:
1. Proses Activity Mapping (PAM)
Pada dasarnya tool ini digunakan untuk me-record seluruh aktivitas dari suatu
proses dan berusaha untuk mengurangi aktivitas yang kurang penting,
menyederhanakannya, sehingga dapat mengurangi waste. Dalam tool ini
aktivitas dikategorikan dalam beberapa kategori seperti: operation, transport,
inspection, dan storage. Selain aktivitas, tool ini juga me-record mesin dan
area yang digunakan dalam operasi, serta jarak perpindahan, waktu yang
dibutuhkan , dan jumlah operator. Dalam proses penggunaan tool tersebut
peneliti harus memahami dan melakukan studi berkaitan dengan aliran proses,
selalu berpikir untuk mengidentifikasi waste, berpikir untuk tentang aliran
proses yang sederhana, efektif dan smooth dimana hal tersebut dapat dilakukan
dengan mengubah urutan proses atau process rearrangement (Hines&Rich,
2. Supply Chain Response Matrix
Tool ini meruoaka sebuah diagram sederhana yang berusaha menggambarkan
the critical lead time constraint untuk setiap bagian proses dalam supply
chain, yaitu cumulative lead time di dalam distribusi sebuah perusahaan baik
supplier-nya dan downstream retailer-nya. Diagram ini terdapat dua axis
dimana untuk vertical axis menggambarkan rata – rata jumlah inventory (hari)
dalam setiap bagian supply chain. Sedangkan untuk horizontal axis
menunjukkan cumulative lead time-nya.
3. Production Variety Funnel
Teknik pemetaan secara visual dengan cara melakukan plot pada sejumlah
produk yang dihasilkan dalam setiap tahap proses manufaktur. Teknik ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi titik mana sebuah produk generic diproses
menjadi beberapa produk yang spesifik, dapat menunjukkan area bottleneck
pada desain proses.
4. Quality Filter Mapping
Quality filter mapping merupakan tool untuk mengidentifikasi dimana terdapat
problem kualitas. Hasil dari pendekatan ini menunjukkan dimana tiga tipe
defect terjadi. Ketiga tipe defect tersebut adalah product defect (cacat fisik
produk yang lolos ke customer), service defect (permasalahan yang dirasakan
customer berkaitan dengan cacat kualitas pelayanan), dan internal defect (cacat
masih berada dalam internal perusahaan, sehinggaberhasil diseleksi dalam
tahap inspeksi). Ketiga tipe defect tersebut digambarkan secara latotudinaly
5. Demand Amplification Mapping
Merupakan diagram yang menggambarkan bagaimana demad berubah – ubah
sepanjang jalur supply chain dalam interval waktu tertentu. Informasi yang
dihasilkan oleh diagram ini merupakan dasar untuk mengatur fluktuasi dan
menguranginya., membuat keputusan berkaitan dengan value stream
configuration. Dalam diagram ini vertival axis menggambarkan jumlah
demand dan horizontal axis menggambarkan interval waktu, grafik didapatkan
untuk setiap chain dari supplychain configuration yang ada.
6. Decision Point Analysis
Merupakan tool yang digunakan untuk menentukan titik dimana actual demand
dilakukan dengan system pull sebagai dasar untuk membuat peramalan pada
sistem push pada supply chain atau dengan kata lain titik batas dimana produk
dibuat berdasarkan actual demand dan setelah titik ini selanjutnya produk harus
dibuat dengan melakukan peramalan. Dengan tool ini dapat diukur kemampuan
dari porses upstream dan downstream berdasarkan titik tersebut, sehingga
dapat ditentukan filosofi pull atau push yang sesuai. Selain itu juga dapat
digunakan sebagai scenario apabila titiktersebut digeser dalam sebuah value
stream mapping.
7. Physical Structure Mapping
Tool ini digunakan untuk memahami kondisi dan fungsi – fungsi bagian –
bagian dari supply chain untuk berbagai level industri. Dengan pemahaman
tersebut dapat dimengerti kondisi industri tersebut, bagaimana beroperasi dan
dapat memberikan perhatian pada level area yang kurang diperhatikan. Untuk
lantai produksi. Pemahaman terdapat fungsi – fungsi di dalam inbound supply
chain tersebut dan memberikan pemahaman berkaitan dengan inefisiensi
bagian produksi.
(Sumber : Analisis Pemborosan Perusahaan Mebel Dengan Pendekatan
Lean Manufacturing, Jurnal Teknik Industri Universitas Diponegoro
Semarang.)
(Sumber : Penerapan Konsep Lean Thinking Untuk Mengurangi Waste
Pada Perusahaan Plasatik Sumber Jaya. Jurnal Teknik Industri Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya)
2.4.5 Penggunaan VALSAT
Dari ketujuh tool tersebut akan digunakan dalam usaha untuk memahami
kondisiyang terjadi di lantai produksi. Penggunaan tool tersebut dilakukan dengan
melakukan pemilihan dengan menggunakan matrik. Untuk langkah pertama dan
penting dalam pemilihan tool yang sesuai denga kondisi yang bersangkutan
adalah melakukan pembobotan waste. Pembobotan ini merupakan hal yang sangat
penting sekali menurut Hines&Rich (2005) karena dengan pembobotan waste
yang sempurna maka tool yang digunakan juga tepat sehingga mudah dalam
melakukan usulan perbaikan. Kemudian dilakukan pemilihan dengan
menggunakan matrik. Matrik ini dikemukakan oleh Hines&Rich (2005) dalam
Gambar 2.6 Matriks VALSAT
(http:/lean.org)
Dimana:
Kolom A : Berisi 9 waste dalam perusahaan.
Kolom B : Berisi 7 tool pada value stream mapping (Process activity mapping,
Supply chain response matrix, Production variety funnel, Quality
filter mapping, Demand amplification mapping, Decision point
analysis dan Physical structure mapping).
Kolom C : Berisi korelasi antara kolom A dan kolom B.
Kolom D : Bobot dari 9 waste.
Kolom E : Berisi pembobotan dari masing-masing waste yang didapat dari
kuesioner yang diisi oleh manajer dan supervisor terkait.
Sedangkan untuk bagian F diisi dengan melakukan perkalian antar bobot
waste dengan nilai korelasi antar waste dengan masing – masing tools. Dimana
korelasi setiap waste terdapat korelasi high dengan nilai Sembilan (9), medium
dengan nilai tiga (3), dan low dengan nilai satu (1 ). Nilai korelasi yang dibuat
Cont rol
Define (D)
Improve
Analyze (A) M easure Tabel 2.2 Tabel korelasi waste terhadap tools
(http:/lean.org)
2.5 DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control)
DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus-menerus menuju
target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu
pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah-langkah proses yang
tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran-pengukuran baru, dan
menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma.
(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.8, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).
2.5.1 Define (D)
Merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan
kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan adalah
identifikasi produk dan atau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan
prioritas utama tentang masalah-masalah dan atau kesempatan peningkatan
kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan proyek terbaik
adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan,
kapabilitas, dan tujuan organisasi yang sekarang.
Secara umum setiap proyek Six Sigma yang terpilih harus mampu
memenuhi kategori :
1. Memberikan hasil-hasil dan manfaat bisnis
2. Kelayakan
3. Memberikan dampak positif kepada organisasi
(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.33, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).
2.5.2 Measure (M)
Merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas
Six Sigma. Terdapat 3 hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap Measure,
yaitu :
1. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang
2. Melakukan pengumpulan data melalui pengukuran yang dapat dilakukan pada
tingkat proses, output dan/atau outcome.
3. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output,
dan/atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance
baseline) pada awal proyek Six Sigma. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six
Sigma”, hal.72, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).
2.5.2.1 Mengidentifikasi Sumber-Sumber Penyebab Kecacatan atau
Kegagalan
Suatu solusi masalah yang efektif adalah apabila berhasil ditemukan
sumber sumber penyebab masalah itu kemudian mengambil tindakan untuk
menghilangkan akar-akar penyebab tersebut. Untuk dapat menemukan akar
penyebab dari suatu masalah, perlu dipahami prinsip yang berkaitan dengan
hukum sebab-akibat, yaitu:
• Suatu akibat terjadi hanya jika penyebabnya itu ada pada titik yang sama
dalam ruang dan waktu.
• Setiap akibat memiliki paling sedikit dua penyebab dalam bentuk:
a. Controllable Causes: penyebab itu berada dalam lingkup tanggung
jawab dan wewenang manusia sehingga dapat diambil tindakan untuk
menghilangkan penyebab itu.
b. Uncontrollable Causes: penyebab yang berada di luar pengendalian
Menemukan akar penyebab dari suatu masalah dapat dilakukan dengan
menerapkan prinsip “5 Why’s”, yaitu dengan bertanya “mengapa” sebanyak
lima kali tentang terjadinya suatu akibat maka akan dapat ditemukan dan
dipahami sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
Selanjutnya akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan melalui
bertanya “Why” beberapa kali itu dapat dimasukkan ke dalam Diagram Sebab –
Akibat.
2.5.2.2 Diagram Sebab – Akibat
Diagram sebab-akibat (atau juga disebut Diagram Tulang-ikan,
Diagram Ishikawa) dikembangkan oleh Kaoru Ishikawa dan pada awalnya
digunakan oleh bagian pengendali kualitas untuk menemukan potensi
penyebab masalah dalam proses manufaktur yang biasanya melibatkan banyak
variasi dalam sebuah proses. Namun kemudian digunakan secara luas dalam
setiap aspek kegiatan bisnis ketika diperlukan pemilahan penyebab timbulnya
masalah untuk kemudian disusun dalam suatu hubungan yang saling
berkaitan.
Dalam industri manufaktur, pembuatan diagram sebab-akibat ini dapat
menggunakan konsep “5M-1E”, yaitu: machines, methods, materials,
measurement, men/women, dan environment. Sedangkan dalam bidang
pelayanan dapat memakai pendekatan “3P-1E” yang terdiri dari: procedures,
Gambar 2.8 Diagram Sebab – Akibat
Sumber: Grant, 1999: 330
2.5.3 Analyze (A)
Merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas
Six Sigma. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah beberapa hal sebagai
berikut :
1. Menentukan kapabilitas / kemampuan dari proses.
Process capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan
proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah
ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.
2. Mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan.
Untuk mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kegagalan, dapat
menggunakan Fishbone diagram (cause and effect diagram). Dengan analisa
cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat sebuah masalah,
membuat daftar terstruktur dari penyebab potensial.(Sumber : “Pedoman
Implementasi Six Sigma”, hal.200, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Gaspersz Vincent, 2002).
Setelah akar-akar penyebab dari masalah ditemukan, maka dimasukkan ke
dalam cause and effect diagram yang telah mengkategorikan sumber-sumber
penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu :
1) Manpower ( Tenaga Kerja ).
2) Machines ( Mesin-mesin ).
3) Methods ( Metode Kerja ).
4) Material ( Bahan Baku dan Bahan Penolong ).
5) Media (Surat Kabar).
6) Motivation ( Motivasi ).
7) Money ( Keuangan ).
(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.241, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).
2.5.4 Improve (I)
Merupakan langkah operasional keempat dalam program peningkatan
kualitas Six Sigma. Langkah ini dilakukan setelah sumber-sumber dan akar
penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi. Pada tahap ini ditetapkan suatu
rencana tindakan (action Plan) untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six
Sigma. Tool yang digunakan untuk tahap improve ini adalah FMEA (Failure
Mode and Effect Analysis). (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”,
2.5.5 Control (C)
Merupakan langkah operasional kelima dalam program peningkatan kualitas
Six Sigma. Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan
disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses
distandarisasikan dan disebarkan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan
dijadikan pedoman kerja standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab
ditransfer dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung jawab proses, yang
berarti proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini. Standarisasi dimaksudkan untuk
mencegah masalah yang sama atau praktek-praktek lama terulang kembali.
(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.293, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta Gaspersz, Vincent, 2002).
2.6 Failure Mode Effect Analysis (FMEA)
FMEA adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses, dan form untuk
mengidentifikasi dan mendahulukan masalah-masalah potensial
(kegagalan). (Sumber : “The Six Sigma Way”, hal.402, Penerbit Andi,
Yogyakarta, Cavanagh, Peter S. Pande, Robert P.Neuman, 2002).
Definisi FMEA yang lain yaitu suatu prosedur terstruktur untuk
mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan. Mode
kegagalan ini meliputi apa saja yang termasuk dalam kecacatan desain, kondisi di
luar batas spesifikasi yang telah ditetapkan atau perubahan-perubahan dalam
Pada dasarnya FMEA terbagi menjadi 2 yaitu FMEA Design yang
dipergunakan untuk memprediksi kesalahan yang akan terjadi pada desain proses
produk, sedangkan FMEA process untuk mendeteksi kesalahan pada saat proses
telah dijalankan. Dengan menggunakan FMEA maka akan meningkatkan
keandalan dari suatu produk dan pelayanan sehingga meningkatkan kepuasan
pelanggan yang menggunakan produk dan pelayanan tersebut.
Tahapan FMEA sendiri adalah :
1. Menetapkan batasan proses yang akan dianalisa, didapatkan dari tahap
define dari proses DMAIC.
2. Melakukan pengamatan terhadap proses yang akan dianalisa.
3. Hasil pengamatan digunakan untuk menemukan kesalahan / defect
potensial pada proses.
4. Mengidentifikasi potensial cause (penyebab dari kesalahan / defect
yang terjadi).
5. Mengidentifikasikan akibat (effect) yang ditimbulkan.
6. Menetapkan nilai-nilai (dengan jalan brainstorming) dalam point :
- Keseriusan akibat kesalahan terhadap proses lokal, lanjutan dan
terhadap konsumen (severity).
- Frekuensi terjadinya kesalahan (occurance).
- Alat kontrol akibat potential cause (detection).
7. Memasukkan kriteria nilai sesuai dengan 3 kriteria yang telah dibuat
sebelumnya.
8. Dapatkan nilai RPN (Risk Potential Number) dengan jalan mengalikan
9. Pusatkan perhatian pada nilai RPN yang tertinggi, segera lakukan
perbaikan terhadap potential cause, alat control dan efek yang
diakibatkan.
10.Buat implementation action plan, lalu terapkan.
11.Ukur perubahan yang terjadi dalam RPN dengan langkah-langkah
yang sama diatas.
12.Apabila ada perubahan maka pusatkan perhatian pada potential cause
yang lain. Tidak ada angka acuan RPN untuk melakukan perbaikan.
2.6.1 Severity
Severity merupakan suatu estimasi atau perkiraan subyektif tentang
bagaimana pengaruh buruk yang dirasakan akibat kegagalan dalam proses produk
atau jasa. Adapun skala yang menggambarkan severity dapat diinterpretasikan
pada tabel 2.2 sebagai berikut :
Tabel 2.3 Skala Penilaian Severity
Rating Kriteria Deskripsi
1 Negligible severity Pengaruh buruk yang dapat diabaikan
2 Mild severity Pengaruh yang ringan atau sedikit
3 Mild severity Pengaruh yang ringan atau sedikit
4 Moderat severity
Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi)
5 Moderat severity
Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi)
6 Moderat severity
Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi)
7 High severity Pengaruh buruk yang tinggi (berada di luar
batas toleransi)
batas toleransi)
9 Potential safety
problem
Akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya (berkaitan dengan keselamatan atau keamanan potensial)
2.6.2 Occurrence
Occurrence menunjukkan nilai keseringan suatu masalah terjadi karena
potensial cause. Adapun skala yang menggambarkan occurrence dapat
diinterpretasikan pada tabel 2.3 sebagai berikut :
Tabel 2.4 Skala Penilaian Occurrence
Rating Tingkat Kegagalan Deskripsi
1 1 dalam 1.000.000 Tidak mungkin bahwa penyebab ini yang menyebabkan mode kegagalan
2 1 dalam 20.000 Kegagalan akan jarang terjadi
3 1 dalam 4.000 Kegagalan akan jarang terjadi
4 1 dalam 1.000 Kegagalan agak mungkin terjadi
5 1 dalam 400 Kegagalan agak mungkin terjadi
6 1 dalam 80 Kegagalan agak mungkin terjadi
7 1 dalam 40 Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi
8 1 dalam 20 Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi
9 1 dalam 8 Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan akan terjadi
10 1 dalam 2 Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan akan terjadi
2.5.3 Detection
Detection merupakan alat kontrol yang digunakan untuk mendeteksi
potential cause. Adapun skala yang menggambarkan detection dapat
Tabel 2.5 Skala Penilaian Detection
Rating Degree Deskripsi
1 Very high Otomatis proses dapat mendeteksi kesalahan yang terjadi (komputerisasi)
2 Very high
Hampir semua kesalahan dapat dideteksi oleh alat kontrol (visual pada bentuk barang dan double checking)
3 High Alat kontrol cukup andal untuk mendeteksi
kesalahan (visual pada bentuk barang)
4 High Alat kontrol relatif andal untuk mendeteksi
kesalahan (visual pada bentuk barang)
5 Moderate Alat kontrol bisa mendeteksi kesalahan (visual pada susunan barang)
6 Moderate Alat kontrol cukup bisa mendeteksi kesalahan (visual pada susunan barang)
7 Low Keandalan alat kontrol untuk mendeteksi
kesalahan rendah (pengamatan fisik)
8 Low Keandalan alat kontrol untuk mendeteksi
kesalahan sangat rendah (perubahan warna)
9 Very low
Alat kontrol tidak bisa diandalkan untuk mendeteksi kesalahan (feeling berdasar pengalaman masa lalu)
10 Very low Tidak ada alat kontrol yang bisa digunakan untuk mendeteksi kesalahan
2.7 Penelitian Terdahulu
Untuk mengetahui perkembangan penelitian dengan tema lean thinking,
peneliti akan memberikan review dari beberapa penelitian terdahulu sehingga
dapat diketahui posisi dan perbedaan penelitian yang dilakukan saat ini dengan
penelitian lainnya, antara lain:
o Penelitian oleh Dina Amamiyah (2006) melakukan identifikasi terhadap
pemborosan dengan menggunakan VALSAT guna mengurangi lead time