i Universitas Kristen Maranatha Nama peneliti Asrimalianti Kusuma Sadia Putri dengan Nrp 0630108. Judul penelitian ini adalah Studi Deskriptif mengenai Kecerdasan Emosional pada Perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y” Bandung.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kecerdasan emosional pada perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y" Bandung. Sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian ini maka rancangan yang digunakan metode deskriptif, dengan menggunakan teknik survei. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 44 perawat yang bekerja di bagian rawat inap Gedung “X” Rumah Sakit “Y” Bandung.
Kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa atau penuh harap (Goleman, 1996). Dimensi-dimensi dalam kecerdasan emosional adalah kesaaran diri emosional, mengelola emosi, memanfaatkan emosi secara produktif, empati – membaca emosi, dan membina hubungan.
Alat ukur yang digunakan untuk melihat kecerdasan emosional pada perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y” Bandung adalah alat ukur yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan teori Goleman (1996) dan terdiri dari 40 item. Uji validitas yang digunakan adalah uji korelasi Rank Spearman. Analisis item dengan menggunakan uji korelasi terhadap 20 perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y” Bandung, diperoleh nilai validitas antara 0.320 sampai 0.792, dan nilai reliabilitas adalah 0.935.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, sebanyak 23 orang dengan persentase 52.27% perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y” Bandung memiliki kecerdasan emosional yang tergolong rendah, sedangkan sebanyak 21 orang dengan persentase 47.73% perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y” Bandung memiliki kecerdasan emosional yang tergolong tinggi.
ii Universitas Kristen Maranatha inpatient nurse Building "X" in the Hospital "Y" Bandung.
This research was conducted with the objective of identifying emotional intelligence in nurse-patient Building "X" in the Hospital "Y" Bandung. In accordance with the intent and purpose of this study design used the descriptive method, using survey techniques. Number of respondents in this study was 44 nurses working in the inpatient Building "X" Hospital "Y" Bandung.
Emotional intelligence is the ability to motivate yourself and endure frustration, control impulses and not exaggerate the pleasure, set the mood and keep your stress load does not cripple the ability to think, empathize and pray or full of hope (Goleman, 1996). The dimension of emotional intelligence is emotional self-awareness, managing emotions, use emotions productively, empathy - read emotions, and relationships.
A measuring tool used to view emotional intelligence in nurse-patient Building "X" in the Hospital "Y" Bandung is a measuring tool developed by researchers based on theories of Goleman (1996) and consists of 40 items. Test validity used is Rank Spearman correlation test. Item analysis using the correlation test with 20 nurse-patient Building "X" in the Hospital "Y" Bandung, the validity of values obtained between 0320 to 0792, and the reliability value is 0935.
Based on the results obtained, as many as 23 people with a percentage of 52.27% of inpatient nurses Building "X" in the Hospital "Y" Bandung has a relatively low emotional intelligence, while as many as 21 people with a percentage of 47.73% of inpatient nurses Building "X" at the Hospital "Y" Bandung has a relatively high emotional intelligence.
iii Universitas Kristen Maranatha
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
Lembar Pengesahan ... iii
Kata Pengantar... iv
Daftar Isi ... vii
Daftar Skema ... x
Daftar Tabel ... xi
Daftar Lampiran ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 11
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11
1.3.1 Maksud Penelitian ... 11
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Kegunaan Penelitian ... 11
1.4.1 Kegunaan Teoritis... 11
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 12
1.5 Kerangka Pemikiran ... 12
1.6 Asumsi ... 24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional... 25
2.1.1 Latar Belakang Lahirnya Teori Kecerdasan Emosional ... 25
iv Universitas Kristen Maranatha
Perawatan Medis ... 34
2.1.5 Menuju Ilmu Kedokteran yang Peduli ... 35
2.2 Keperawatan ... 36
2.2.1 Konsep Dasar Keperawatan... 36
2.2.2 Pengertian Keperawatan... 37
2.2.3 Peran, Tugas dan Tanggung Jawab Tenaga Keperawatan .... 38
2.2.4 Persyaratan Keperawatan sebagai Suatu Profesi... 39
2.2.5 Pelayanan dan Asuhan Keperawatan ... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian... 44
3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 44
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 44
3.3.1 Variabel Penelitian ... 44
3.3.2 Definisi Operasional ... 45
3.4 Alat Ukur ... 46
3.4.1 Alat Ukur Kecerdasan Emosional ... 46
3.4.2 Prosedur Pengisian Kuesioner ... 48
3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 48
3.4.4 Validitas dan Reliabilitas ... 49
3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 49
3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 50
3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 52
v Universitas Kristen Maranatha
3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 52
3.6 Teknik Analisis Data ... 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ... 54
4.2 Hasil Penelitian ... 56
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 69
5.2 Saran ... 70
5.2.1 Saran Teoritis ... 70
5.2.2 Saran Guna Laksana ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 72
DAFTAR RUJUKAN... 73
vii Universitas Kristen Maranatha
3.2 Tabel Operasional Variabel ... 47
3.3 Tabel Penilaian Item ... 48
4.1 Tabel Gambaran Subyek Berdasarkan Usia ... 54
4.2 Tabel Gambaran Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 55
4.3 Tabel Gambaran Subyek Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 55
4.4 Tabel Gambaran Subyek Berdasarkan Lama Kerja ... 55
4.5 Tabel Kecerdasan Emosional ... 56
4.6 Tabel Dimensi Mengenali Emosi Diri ... 56
4.7 Tabel Dimensi Mengelola Emosi ... 57
4.8 Tabel Dimensi Memotivasi Diri Sendiri ... 58
4.9 Tabel Dimensi Mengenali Emosi Orang Lain (Empati) ... 58
viii Universitas Kristen Maranatha
Lampiran 2 Surat Pernyataan Persetujuan ... 76
Lampiran 3 Data Pribadi ... 77
Lampiran 4 Data Penunjang ... 78
Lampiran 5 Petunjuk Pengisian ... 79
Lampiran 6 Kuesioner Penelitian ... 80
Lampiran 7 Data Mentah Kuesioner Kecerdasan Emosional ... 85
Lampiran 8 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 86
1 Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan
lainnya. Rumah sakit termasuk salah satu organisasi yang bergerak dalam
bidang jasa. Rumah sakit selalu berusaha untuk memberikan suatu pelayanan
yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pasiennya. Pelayanan di rumah
sakit merupakan salah satu faktor penentu bagi mutu pelayanan dan citra
rumah sakit di mata masyarakat.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_sakit/oktober2010)
Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan baik yang
diselenggarakan pemerintah dan masyarakat yang berfungsi untuk melakukan
upaya kesehatan dasar atau kesehatan rujukan dan upaya kesehatan penunjang.
Rumah sakit dalam menjalankan fungsinya diharapkan senantiasa
memperhatikan fungsi sosial dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
masyarakat. Keberhasilan rumah sakit dalam menjalankan fungsinya di tandai
dengan adanya mutu pelayanan prima rumah sakit. Sebagai pusat rujukan dari
pelayanan kesehatan, maka pelayan rumah sakit perlu menjaga kualitas
pelayanannya terhadap masyarakat yang membutuhkan (Depkes RI, 2002).
Menjadi pasien rumah sakit dapat merupakan pengalaman yang
Universitas Kristen Maranatha rumah sakit mulai merancang kamar-kamar inap yang memungkinkan anggota
keluarga dapat tinggal bersama pasien, memasak, dan merawat mereka seperti
halnya yang dilakukan di rumah, suatu langkah maju yang sudah jadi hal
lumrah di negara-negara Dunia Ketiga (Goleman, 1995).
Setiap rumah sakit akan melayani hampir seluruh penyakit umum, dan
biasanya memiliki institusi perawatan darurat yang siaga 24 jam (ruang gawat
darurat) untuk mengatasi bahaya dalam waktu secepatnya dan memberikan
pertolongan pertama. Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang
mudah ditemui di suatu negara, dengan kapasitas rawat inap sangat besar
untuk perawatan intensif ataupun jangka panjang. Rumah sakit jenis ini juga
dilengkapi dengan fasilitas bedah, bedah plastik, ruang bersalin, laboratorium,
dan sebagainya. Tetapi kelengkapan fasilitas ini bisa saja bervariasi sesuai
kemampuan penyelenggaranya. Rumah sakit yang sangat besar sering disebut
Medical Center (pusat kesehatan), biasanya melayani seluruh pengobatan modern. Sebagian besar rumah sakit di Indonesia juga membuka pelayanan
kesehatan tanpa menginap (rawat jalan) bagi masyarakat umum (klinik).
Biasanya terdapat beberapa klinik/poliklinik di dalam suatu rumah sakit.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_sakit/oktober2010)
Depkes RI, 2002 menyebutkan bahwa mutu pelayanan rumah sakit di
pengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yang paling dominan adalah
sumber daya manusia. Tenaga kesehatan rumah sakit merupakan instansi
yang memiliki tenaga profesi yang bermacam-macam, terdiri dari tenaga
Universitas Kristen Maranatha meliputi Perawat dan Bidan, dan Tenaga gizi meliputi Nutrisionis,
Dietisien.
Terdapat nilai medis lebih bila dokter atau perawat mau berempati, mau
menyesuaikan diri dengan pasien-pasiennya, mau jadi pendengar dan
penasihat yang baik. Ini berarti mengembangkan perawatan yang berpusat
pada hubungan, mengakui bahwa hubungan antara dokter dan pasien itu
sendiri merupakan faktor penting. Hubungan semacam itu akan lebih mudah
ditingkatkan apabila pendidikan ilmu kedokteran memasukkan beberapa
perangkat dasar kecerdasan emosional, terutama kesadaran diri dan seni
berempati dan seni mendengarkan (Goleman, 1995).
Langkah diatas merupakan langkah awal, tetapi apabila kedokteran mau
memperluas pandangannya sehingga mencakup pengaruh emosi, maka ada
dua implikasi besar penemuan-penemuan ilmiah yang harus diperhatikan:
pertama, membantu orang-orang untuk pandai mengelola perasaan-perasaan
yang tidak menyenangkan-amarah, kecemasan, depresi, pesimisme, dan
kesepian, sebagai suatu bentuk pencegahan penyakit. Kedua, banyak pasien
memperoleh manfaat besar apabila kebutuhan psikologisnya terpenuhi seiring
dengan terpenuhi kebutuhan murni medisnya (Goleman, 1995).
Meskipun hal ini adalah langkah maju ke arah perawatan yang lebih
manusiawi apabila dokter atau perawat memberikan hiburan dan pelipur lara
kepada pasien yang tertekan, masih banyak hal yang harus dilakukan. Tetapi
perawatan emosi, merupakan kesempatan yang amat sering terlupakan dalam
Universitas Kristen Maranatha terabaikan dalam ilmu kedokteran. Meskipun semakin banyak pasien yang
mencari pengobatan yang lebih manusiawi, pengobatan semacam itu semakin
langka. Tentu saja, tetap ada perawat dan dokter yang penuh dedikasi yang
merawat dengan penuh kasih sayang serta penuh kelembutan kepada
pasien-pasiennya. Tetapi, perubahan budaya kedokteran itu sendiri, dimana
kedokteran lebih responsif terhadap tuntutan bisnis, maka perawatan semacam
itu semakin sulit ditemukan. Di pihak lain, mungkin ada keuntungan bisnis
untuk perawatan yang manusiawi: mengobati beban stres emosional pada
pasien, begitu muncul tanda-tanda awal, dapat menghemat uang terutama bila
tindakan tersebut dapat mencegah atau menunda munculnya penyakit, atau
menolong pasien untuk lebih cepat sembuh (Goleman, 1995).
Perawat merupakan tenaga profesional yang perannya tidak dapat
dikesampingkan dari semua bentuk pelayanan rumah sakit. Oleh karena
itu organisasi tempat perawat bekerja senantiasa mengusahakan
peningkatan kualitas profesionalisme mereka. Peran ini disebabkan
karena tugas perawat mengharuskan kontak paling lama dengan pasien.
Tugas pokok seorang perawat adalah merawat pasien untuk mempercepat
proses penyembuhan. Seorang perawat, karena pekerjaannya dinamis,
perlu memiliki kondisi tubuh yang baik, sehat dan mempunyai energi yang
cukup. Kondisi tubuh yang kurang maksimal akan menyebabkan perawat
mudah patah semangat bilamana saat ia bekerja mengalami kelelahan fisik,
emosional dan mental
Universitas Kristen Maranatha Pelayanan keperawatan yang dilakukan di rumah sakit merupakan
sistem pengelolaan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien
agar menjadi berdaya guna dan berhasil guna. Sistem pengelolaan ini akan
berhasil apabila seseorang perawat yang memiliki tanggung jawab
mengelola tersebut mempunyai pengetahuan tentang manajemen
keperawatan dana kemampuan memimpin orang lain di samping
pengetahuan dan keterampilan klinis yang harus dikuasainya pula.
Rumah sakit “Y” Bandung ini merupakan rumah sakit umum yang
ditetapkan menjadi rumah sakit propinsi dan berada dibawah pengawasan
Departemen Kesehatan. Rumah Sakit “Y” pada saat ini memiliki Gedung
Rawat Inap yang khusus disediakan untuk pasien peserta Program Jamkesmas
/ Jamkesda. Gedung tersebut diberi nama Gedung “X” Instalasi Pelayanan
Terpadu Jamkesmas / Jamkesda dan penggunaannya telah diresmikan pada
tanggal 27 April 2010 oleh Menteri Kesehatan RI, dr. Endang Sedyaningsih,
MPH, Dr.PH. Sesuai dengan salah satu sasaran Renstra RS “Y” 2007-2011,
yaitu terlayaninya seluruh pasien Gakin di RS “Y” secara bermutu, diharapkan
Gedung “X” dapat memberikan pelayanan terbaiknya untuk pasien
Jamkesmas / Jamkesda. Gedung “X” akan memberikan nilai tambah bagi
masyarakat kurang mampu yang membutuhkan pelayanan kesehatan dan
merupakan salah satu bentuk upaya untuk mewujudkan visi Rumah Sakit “Y”
menjadi rumah sakit yang prima dalam pelayanan, pendidikan dan penelitian
Universitas Kristen Maranatha kapasitas 400 tempat tidur (TT), terdiri dari 360 TT untuk Ruang Rawat Biasa,
32 TT Ruang Isolasi dan 8 TT High Care Unit.
Perawat yang bekerja di Gedung “X” ini berjumlah 139 orang. Dalam
kesehariannya, perawat bekerja secara secara shift dengan pembagian tiga shift
yaitu shift pagi, siang, dan malam dengan waktu 8 jam dalam satu hari. Shift pagi dimulai pukul 7.00 pagi sampai pukul 15.00, shift siang dimulai pukul 15.00 sampai pukul 23.00 dan shift malam dimulai pukul 23.00 malam sampai
pukul 7.00 pagi. Dalam setiap shift, perawat yang berjaga berjumlah 3 sampai
4 orang dengan rata-rata jumlah pasien yang harus dijaga sebanyak 3 sampai
10 orang pasien di setiap ruangan.
Tugas perawat di Gedung “X” ini adalah mencatat kondisi pasien secara
intens, membantu dan melayani pasien pada masing-masing kamar seperti
memberikan obat kepada para pasien sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan, memandikan pasien, membantu pasien ketika akan buang air
besar ataupun air kecil. Kemudian perawat juga bertanggung jawab dalam
pemberian suntikan pada pasien tertentu dan membuat laporan mengenai
perkembangan keadaan pasien pada tiap kamar yang dijaganya kepada kepala
perawat setiap harinya. Selain itu juga perawat memantau dan bertanggung
jawab terhadap keluarga penunggu pasien yang tidak boleh lebih dari dua
orang serta menjaga kebersihan dan fasilitas ruangan yang telah tersedia.
Menurut Kepala Perawat Gedung “X” Rumah Sakit “Y” Bandung, jumlah
perawat yang bekerja di gedung ini tidak sebanding dengan jumlah pasien.
Universitas Kristen Maranatha perawatnya. Para perawat disini sering merasa kewalahan menghadapi para
pasiennya. Mereka sering mendapatkan keluhan dari para pasien mengenai
cara kerja mereka ketika merawat. Dengan keadaan seperti ini, seringkali
memancing emosi para perawat ketika sedang merawat pasien. Perawat
menjadi mudah menggerutu, membentak ketika berbicara dengan pasien, tidak
dapat bersikap ramah ketika melayani para pasiennya. Padahal dalam
melakukan tugasnya seorang perawat dituntut untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang lebih memperhatikan kepentingan pasien.
Kepentingan pasien yang dimaksud adalah melayani dengan ramah,
mendengarkan keluhannya, cepat dan tanggap dalam memberikan pelayanan,
bersedia menerima kondisi pasien apa adanya, memiliki fokus perhatian
terhadap kesejahteraan pasien yaitu membantu mereka untuk mendapatkan
rasa aman dan nyaman, menyampaikan anjuran-anjuran dari dokter untuk
pasien dan berusaha agar anjuran tersebut dilaksanakan pasien. Selain itu,
perawat dituntut untuk memiliki kemampuan yang lebih dalam pekerjaannya,
seperti bagaimana strategi menghadapi pasien dalam menyampaikan
keluhannya, bagaimana mengatasi pasien yang emosional serta bagaimana
perawat dapat berempati terhadap apa yang disampaikan oleh pasien
mengenai penyakitnya.
Berdasarkan survei awal yang dilakukan melalui wawancara kepada 15
orang perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y” Bandung,
sebanyak 6 orang mengatakan bahwa mereka terkadang menampilkan tingkah
Universitas Kristen Maranatha nyaman ketika bekerja, memberikan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan
kepada pasien yang secara terus-menerus mengeluh. Mereka mengatakan
terkadang sampai harus membentak pasien, jika pasien tersebut tidak sabar
menunggu gantian untuk dilayani karena dalam sekali shift hanya ada 3-4
perawat yang bekerja. Pada akhirnya mereka akan mengandalkan dan
melimpahkan tugas kepada keluarga pasien seperti memandikan pasien.
Mereka juga suka merasa kesal ketika ada keluarga pasien yang suka
melanggar peraturan dari rumah sakit, misalnya penunggu pasien yang tidak
boleh lebih dari 2 orang. Mereka sudah berusaha untuk memberitahu secara
baik-baik namun tetap saja keluarga dari pasien melanggar aturan tersebut,
sehingga jika mereka sudah sangat kesal biasanya mereka menjadi membentak
dan memanggil satpam untuk mengingatkan para keluarga pasien tersebut.
Sedangkan 9 orang sisanya mengatakan bahwa mereka sudah terbiasa
dalam menghadapi pasien-pasien yang terlalu rewel atau sering mengeluh
mengenai penyakitnya. Biasanya mereka bersikap untuk lebih sabar dan tidak
terpancing emosinya ketika ada pasien yang marah-marah karena belum
sempat dilayani. Biasanya mereka mencoba untuk memberi pengertian bahwa
mereka sedang melayani pasien yang lainnya terlebih dahulu memanggil
karena pada tiap shift perawat yang berjaga hanya ada 4 orang, sehingga
mereka harus bergantian berjaga dan melayani para pasiennya.
Kemudian peneliti juga melakukan survei awal melalui wawancara
terhadap 20 orang pasien di Rumah Sakit “Y” Bandung. Hasilnya menunjukan
Universitas Kristen Maranatha sampai 5 orang perawat yang kurang dapat bersikap ramah ketika melayani
mereka, menggerutu jika mereka membutuhkan bantuan dari para perawat,
kurang dapat berkomunikasi dengan baik kepada mereka. Selain itu mereka
mengeluhkan bahwa terkadang perawat melimpahkan tugasnya kepada para
keluarga dari pasien seperti misalnya memandikan pasien.
Sedangkan sisanya sebanyak 12 orang mengatakan bahwa mereka
mengatakan bahwa perawat-perawat disini telah melakukan tugasnya dengan
baik. Mereka mencoba untuk memahami bahwa mereka harus bersabar dalam
menerima pelayanan dari para perawat, karena mereka mengetahui bahwa
pada tiap shift perawat yang berjaga hanya sekitar 3-4 orang. Mereka
mengatakan bahwa perawat disini mampu untuk bersikap sabar dalam
melayani mereka, mampu untuk bersikap ramah dalam memberikan pelayanan
meskipun mereka terlihat kelelahan dalam bekerja.
Kepala perawat Rumah Sakit “Y” Bandung mengatakan bahwa dalam
memberikan pelayanan yang berhubungan langsung dengan pasien, para
perawat dituntut untuk memiliki kemampuan yang lebih dalam pekerjaannya,
seperti bagaimana strategi menghadapi pasien ketika menyampaikan
keluhannya, bagaimana menangani pasien yang emosional. Perawat juga
dituntut untuk tidak mudah terpancing emosinya ketika memberikan
pelayanan pada pasien meskipun pada saat itu para perawat menghadapi
situasi yang dapat memancing emosinya. Selain itu perawat juga dituntut
untuk dapat menciptakan hubungan yang kondusif ketika bekerja serta
Universitas Kristen Maranatha mengenai penyakitnya. Kemampuan lebih yang dimaksud disini adalah
kemampuan dalam kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional menurut Goleman (1996), adalah kemampuan yang
dimiliki oleh seorang individu untuk memotivasi diri sendiri, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati
dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,
berempati dan penuh harapan. Goleman (1996), kemudian mengembangkan
dimensi-dimensi dari kelima wilayah kecerdasan emosional yaitu kesadaran
diri emosional, mengelola emosi, memanfaatkan emosi secara produktif,
empati – membaca emosi, dan membina hubungan.
Dimensi dari kecerdasan emosional yang pertama yaitu kesadaran diri
emosional. Pengertian dari kesadaran diri emosional adalah mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Hal ini merupakan dasar dari
kecerdasan emosional (Goleman, 1996). Dimensi kecerdasan emosional yang
kedua yaitu mengelola emosi. Pengertian dari mengelola emosi adalah
kecakapan untuk menangani perasaan agar terungkap dengan tepat, hal ini
didasari oleh kesadaran diri, meliputi kemampuan untuk menghibur diri
sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan (Goleman,
1996).
Dimensi dari kecerdasan emosional yang ketiga yaitu memanfaatkan
emosi secara produktif. Pengertian dari memanfaatkan emosi secara produktif
adalah kemampuan menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan, dasar
Universitas Kristen Maranatha Untuk dimensi kecerdasan emosional yang keempat adalah empati – membaca
emosi. Kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional,
merupakan keterampilan dalam bergaul. Empati akan menuntun seseorang
untuk menangkap sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa
yang dikehendaki atau dibutuhkan orang lain (Goleman, 1996). Dimensi
terakhir dalam kecerdasan emosional adalah membina hubungan. Pengertian
dari membina hubungan dengan orang lain yaitu keterampilan untuk
mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan antarpribadi (Goleman, 1996).
Pada dimensi kemampuan kesadaran diri emosional, dengan adanya
kesadaran diri sendiri akan membuat perawat mengetahui apa yang ia rasakan
dan apa yang menjadi penyebabnya, sehingga mereka akan penuh
pertimbangan dalam memberikan reaksi yang tepat terhadap stimulus
lingkungan. Dalam hal ini perawat akan mampu memberikan pelayanan yang
professional kepada pasien.
Kemudian dalam dimensi mengelola emosi ini dilandasi oleh pengenalan
terhadap emosi yang dialami saat itu akan membantu perawat untuk dapat
menampilkan perilaku yang wajar ketika mengungkapkan emosinya, sehingga
meskipun perawat menghadapi perilaku pasien yang dapat memancing
emosinya, mereka tetap dapat menghadapinya dengan respon yang tepat.
Dimensi berikutnya adalah memanfaatkan emosi secara produktif. Pada
kemampuan ini akan mempermudah perawat dalam menyesuaikan diri dengan
Universitas Kristen Maranatha perawat akan semangat dan dapat berkonsentrasi dalam melaksanakan
tugasnya untuk melayani pasien.
Lalu dimensi empati – membaca emosi, memungkinkan seorang perawat
menangkap maksud pasien dan apa yang mereka kehendaki. Selain itu
pengenalan terhadap emosi pasien akan mengarahkan pemilihan tindakan
yang tepat ketika melayani pasien.
Untuk dimensi yang terakhir adalah membina hubungan, hal ini akan
menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan bagi pasien untuk
berurusan dengan perawat. Perawat dengan kemampuan ini akan memiliki
fleksibilitas dalam berinteraksi dengan berbagai macam pasien.
Berdasarkan dari fenomena yang telah dijabarkan diatas, maka peneliti
tertarik untuk meneliti mengenai kecerdasan emosional pada perawat bagian
rawat inap di Gedung “X” Rumah Sakit “Y” Bandung.
1.2Identifikasi Masalah
Bagaimana tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki oleh perawat
bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y” Bandung.
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Untuk memperoleh gambaran tentang kecerdasan emosional pada perawat
Universitas Kristen Maranatha 1.3.2 Tujuan Penelitian
Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai derajat
kecerdasan emosional dan kaitannya dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi pada perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah
Sakit “Y” Bandung.
1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
Memberikan informasi mengenai kecerdasan emosional untuk bidang
ilmu Psikologi Sosial.
Memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi peneliti lain yang
berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai kecerdasan
emosional.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Memberi informasi pada pihak Rumah Sakit “Y” Bandung, melalui
kepala perawat bagian rawat inap Gedung “X” untuk dapat memahami
tingkat kecerdasan emosional perawat-perawatnya dan memberikan
pelatihan kepada para perawat agar dapat meningkatkan kecerdasan
emosionalnya.
Memberi informasi kepada perawat bagian rawat inap Gedung “X” di
Universitas Kristen Maranatha kecerdasan emosional mereka dan memperbaiki diri dengan mengikuti
pelatihan untuk meningkatkan kecerdasan emosional.
1.5Kerangka Pemikiran
Perawat merupakan tenaga profesional yang perannya tidak dapat
dikesampingkan dari semua bentuk pelayanan rumah sakit. Oleh karena itu
organisasi tempat perawat bekerja senantiasa mengusahakan peningkatan
kualitas profesionalisme mereka. Peran ini disebabkan karena tugas perawat
mengharuskan kontak paling lama dengan pasien. Tugas pokok seorang
perawat adalah merawat pasien untuk mempercepat proses penyembuhan.
Seorang perawat, karena pekerjaannya dinamis, perlu memiliki kondisi tubuh
yang baik, sehat dan mempunyai energi yang cukup. Kondisi tubuh yang
kurang maksimal akan menyebabkan perawat mudah patah semangat
bilamana saat ia bekerja mengalami kelelahan fisik, emosional dan mental.
(http://psikologi.binadarma.ac.id/jurnal/jurnal_rita.pdf)
Perawat professional adalah seseorang yang mengenal dan mengerti
kebutuhan dasar manusia yang sakit maupun yang sehat, dan mengetahui
bagaimana kebutuhan ini dapat terpenuhi. Sebagai seorang perawat yang
professional dengan tuntutan pekerjaannya, perawat harus bertanggung jawab
dan berwenang memberikan pelayanan keperawatannya secara mandiri dan
atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan
kewenangannya (Depkes RI, 2002). Di samping itu perawat juga diharapkan
Universitas Kristen Maranatha pengetahuan pada umumnya dan mempunyai kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan perawatan seseorang atau masyarakat.
Pelayanan keperawatan yang dilakukan di rumah sakit merupakan
sistem pengelolaan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien
agar menjadi berdaya guna dan berhasil guna. Sistem pengelolaan ini akan
berhasil apabila seseorang perawat yang memiliki tanggung jawab
mengelola tersebut mempunyai pengetahuan tentang manajemen
keperawatan dana kemampuan memimpin orang lain di samping
pengetahuan dan keterampilan klinis yang harus dikuasainya pula.
Rumah Sakit “Y” pada saat ini memiliki Gedung Rawat Inap yang khusus
disediakan untuk pasien peserta Program Jamkesmas/ Jamkesda. Gedung
tersebut diberi nama Gedung “X” Instalasi Pelayanan Terpadu
Jamkesmas/Jamkesda dan diharapkan Gedung “X” dapat memberikan
pelayanan terbaiknya untuk pasien Jamkesmas/Jamkesda. Gedung “X” akan
memberikan nilai tambah bagi masyarakat kurang mampu yang membutuhkan
pelayanan kesehatan dan merupakan salah satu bentuk upaya untuk
mewujudkan visi Rumah Sakit “Y” menjadi rumah sakit yang prima dalam
pelayanan, pendidikan dan penelitian di bidang kesehatan tingkat regional
pada tahun 2011.
Tugas dari perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y”
Bandung adalah mencatat kondisi pasien secara intens, membantu dan
melayani pasien pada masing-masing kamar seperti memberikan obat kepada
Universitas Kristen Maranatha membantu pasien ketika akan buang air besar ataupun air kecil. Kemudian
perawat juga bertanggung jawab dalam pemberian suntikan pada pasien
tertentu dan membuat laporan mengenai perkembangan keadaan pasien pada
tiap kamar yang dijaganya kepada kepala perawat setiap harinya. Selain itu
juga perawat memantau dan bertanggung jawab terhadap keluarga penunggu
pasien yang tidak boleh lebih dari 2 orang serta menjaga kebersihan dan
fasilitas ruangan yang telah tersedia.
Selain itu dalam memberikan pelayanan yang berhubungan langsung
dengan pasien, para perawat dituntut untuk memiliki kemampuan yang lebih
dalam pekerjaannya, seperti bagaimana strategi menghadapi pasien ketika
menyampaikan keluhannya, bagaimana menangani pasien yang emosional.
Perawat juga dituntut untuk tidak mudah terpancing emosinya ketika
memberikan pelayanan pada pasien meskipun pada saat itu para perawat
menghadapi situasi yang dapat memancing emosinya. Selain itu perawat juga
dituntut untuk dapat menciptakan hubungan yang kondusif ketika bekerja
serta perawat dapat berempati terhadap apa yang disampaikan oleh pasien
mengenai penyakitnya. Kemampuan lebih yang dimaksud disini adalah
kemampuan dalam kecerdasan emosional.
Perawat bagian rawat inap Gedung ”X” ini dalam setiap tugasnya akan
selalu berhubungan langsung dengan para pasien. Banyaknya tekanan
terhadap pekerjaannya sebagai perawat, misalnya ketika berhadapan dengan
perilaku pasien yang rewel atau banyak mengeluh pada perawat yang sedang
Universitas Kristen Maranatha masalah yang belum selesai pada teman seprofesi terkadang membuat para
perawat akan terpancing emosinya. Sedangkan, tuntutan tugasnya sendiri
mengharuskannya untuk dapat mengendalikan emosinya sendiri, tidak
terpancing emosinya, dan selalu berpegang pada tugasnya sebagai perawat.
Disinilah pentingnya seorang perawat untuk dapat memahami dan
mengembangkan kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa atau
penuh harap (Goleman, 1996). Kemudian Goleman mengembangkan
kecerdasan emosional dari Peter Salovey, dimana Peter Salovey
mempunyai 5 wilayah dari kecerdasan emosional. Kelima wilayah
kecerdasan emosional yang telah dikembangkan tersebut adalah
kesadaran diri emosional, mengelola emosi, memanfaatkan emosi secara
produktif, empati – membaca emosi, dan membina hubungan.
Pengertian dari kesadaran diri emosional yaitu mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi. Hal ini merupakan dasar dari kecerdasan
emosional. Dengan memiliki kesadaran diri, seseorang akan mempunyai
kepekaan lebih tinggi tentang perasaan mereka yang sesungguhnya atas
pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi (Goleman, 1996). Pada
dimensi pengenalan terhadap emosi diri ini, perawat bagian rawat inap
Universitas Kristen Maranatha timbul serta mengetahui apa yang menjadi penyebabnya. Membuat perawat
memantau reaksi-reaksi yang mereka berikan pada saat berhubungan dengan
pasien. Sehingga perawat akan penuh pertimbangan dalam bereaksi terhadap
stimulus lingkungan. Ketika ada pasien yang menolak untuk meminum obat,
peran perawat disini adalah membujuk pasien agar mau minum obat dengan
cara yang sopan sehingga tidak menimbulkan permasalahan antara pasien
dengan perawat dan pasien mau untuk meminum obatnya.
Dalam pelaksanaannya di rumah sakit, ketika menghadapi pasien yang
menolak untuk meminum obat yang diberikan, bagi perawat yang dapat
mengenali emosinya, akan lebih mampu untuk membujuk pasien agar mau
meminum obatnya tanpa ada paksaan. Sedangkan perawat yang kurang
mampu mengenali emosi yang muncul dalam dirinya akan mudah bagi diri
perawat untuk terpancing emosinya oleh pasien yang rewel ketika diberi obat.
Kemampuan mengenali emosi diri sendiri ini sangat penting untuk perawat,
agar dapat memperoleh kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan bagi para
pasien.
Dimensi kecerdasan emosional yang kedua yaitu mengelola emosi.
Pengertian dari mengelola emosi adalah kecakapan untuk menangani perasaan
agar terungkap dengan tepat, hal ini didasari oleh kesadaran diri, meliputi
kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan (Goleman, 1996). Mengelola emosi disini
maksudnya yaitu usaha yang dilakukan seseorang untuk menyeimbangkan
Universitas Kristen Maranatha berarti menekan emosinya yang tidak menyenangkan dan bukan
melampiaskan emosinya tanpa kendali namun menjaga agar emosi tetap
terkendali (Goleman, 2005).
Dimensi pengelolaan emosi dilandasi oleh pengenalan terhadap emosi
yang dialami saat itu akan membantu perawat untuk dapat menampilkan
perilaku yang wajar saat mengungkapkan emosinya, sehingga meskipun
perilaku pasien memancing emosinya, perawat dapat menghadapinya dengan
respon yang tepat. Selain itu dapat membantu perawat dalam mengatasi
suasana hati yang tidak menyenangkan, sehingga perawat akan tetap
memberikan kenyamanan kepada pasien saat berhubungan dengannya. Ketika
pasien menolak meminum obat dengan marah, perawat harus bersabar dan
jangan terpancing emosi karena sikap pasien tersebut. Perawat harus bisa
menciptakan suasana agar tetap nyaman bagi pasien sehingga pasien mau
meminum obatnya. Jika perawat yang tidak memiliki kemampuan ini
cenderung akan mudah terpancing emosinya, dan melepaskan emosi tanpa
berpikir jernih, mudah tersinggung dan biasanya tidak mau menerima kejadian
yang membuatnya kesal.
Kemudian dimensi dari kecerdasan emosional yang ketiga yaitu
memanfaatkan emosi secara produktif. Pengertian dari memanfaatkan emosi
secara produktif adalah kemampuan menata emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan, dasar untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri dan
berkreasi (Goleman, 1996). Termasuk kemampuan untuk mengendalikan diri
Universitas Kristen Maranatha dorongan hati serta menyesuaikan diri dalam berkonsentrasi penuh, terbebas
dari gangguan emosional sehingga dapat menunjukan kinerja yang tinggi.
Dimensi kemampuan memanfaatkan emosi secara produktif yang dimiliki
akan menumbuhkan motivasi seseorang. Motivasi akan muncul dari
optimisme dan besarnya harapan seseorang. Sikap ini membuat orang lain
cenderung untuk berusaha sebaik-baiknya memanfaatkan keterampilan apa
saja yang mereka miliki atau melakukan apa-apa saja untuk mengembangkan
dirinya. Dimensi ini akan mempermudah perawat dalam menyesuaikan diri
dengan pekerjaannya sehingga menimbulkan kinerja yang tinggi dalam segala
bidang.
Perawat dengan keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan
efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Ketika pasien yang menolak
untuk minum obat, perawat berusaha membujuk pasien agar mau minum obat.
Perawat membujuk dengan cara yang sopan, berkata-kata dengan lembut agar
pasien tidak tersinggung. Bagi perawat yang kurang mampu dalam
memotivasi diri, cenderung kurang terampil dalam menjalankan tugasnya,
cenderung menjadi perawat yang malas, kurang bersemangat, dan menjadi
tidak bertanggung jawab sehingga ketika dihadapi situasi darurat mereka tidak
tahu apa yang harus dilakukan terlebih dahulu dan bertindak gegabah. Oleh
karena kemampuan memotivasi diri ini diperlukan oleh perawat agar dapat
memanfaatkan emosinya sehingga mampu melayani pasien lebih baik lagi.
Selanjutnya dimensi kecerdasan emosional yang keempat yaitu empati –
Universitas Kristen Maranatha empati. Kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional,
merupakan keterampilan dalam bergaul. Empati akan menuntun seseorang
untuk menangkap sinyal sosial yang mtersembunyi yang mengisyaratkan apa
yang dikehendaki atau dibutuhkan orang lain (Goleman, 1996). Dimensi
kemampuan empati – membaca emosi, memungkinkan seorang perawat
menangkap maksud pasien dan apa yang mereka kehendaki. Melihat pasien
yang tidak mau meminum obat sebagai perawat selain membujuk pasien agar
mau meminum obatnya, perawat juga harus mampu mengetahui apa yang
menyebabkan pasien tidak mau melakukan hal itu. Perawat dapat bertanya
dengan pasien apa yang dirasakannya saat itu sehingga pasien tidak mau
meminum obatnya. Karena proses penyembuhan seorang pasien tidak hanya
dari obat, tetapi juga suasana hati pasien akan mempercepat proses
penyembuhannya. Perawat harus dapat menjadi seorang pendengar yang baik
bagi pasien.
Ciri-ciri perawat yang mampu berempati dengan baik adalah mampu
memahami orang lain, mengantisipasi, mengakui dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pasien, menumbuhkan kesempatan-kesempatan melalui keragaman
pada banyak pasien, mampu membaca kecenderungan perilaku pasien atau
lingkungan rumah sakit. Sedangkan perawat yang tidak memiliki kemampuan
mengenali emosi (empati) dari pasien, maka perawat tidak akan dapat
memenuhi kebutuhan pasien dan tidak dapat mengantisipasi dan
Universitas Kristen Maranatha perawat dituntut agar mampu memahami keadaan pasien dan apa yang
dibutuhkan oleh pasien.
Dimensi kecerdasan emosional yang terakhir yaitu membina hubungan.
Pengertian dari membina hubungan adalah keterampilan untuk mengelola
emosi orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan dan
keberhasilan antarpribadi (Goleman, 1996). Dimensi kemampuan membina
hubungan dengan orang lain, akan menciptakan suasana yang nyaman dan
menyenangkan bagi pasien untuk berurusan dengan perawat. Perawat dengan
kemampuan ini akan memiliki fleksibilitas dalam berinteraksi dengan
berbagai macam pasien. Ketika perawat mau mendengarkan keluhan pasien,
akan membuat pasien merasa nyaman berhubungan dengannya. Dengan
hubungan yang baik antara perawat dan pasien, perawat akan mengetahui apa
yang diinginkan oleh pasien. Perawat akan dapat mengurangi kemungkinan
kesalahan yang akan terjadi ketika dia mengurus pasiennya.
Dalam kaitan dengan aktivitas bersama orang lain, maka frekuensi dan
jenis aktivitas yang dilakukan oleh seseorang mempengaruhi tingkat
kecerdasan emosional yang dimilikinya. Kecerdasan emosional yang dimiliki
para perawat akan berkembang lebih baik jika terjalin relasi sosial yang baik
antara perawat dengan pasien, perawat dengan keluarga pasien, perawat
dengan kepala perawat dan juga perawat dengan rekan seprofesi. Hubungan
yang baik dengan pasien perlu dibina oleh perawat, agar pasien merasa
nyaman selama berada di rumah sakit. Selain dengan pasien, perawat juga
Universitas Kristen Maranatha dimaksudkan agar keluarga juga mengetahui sejauh mana perkembangan
kesehatan pasien.
Hubungan yang baik dengan kepala perawat juga perlu dibina karena akan
memudahkan perawat ketika menghadapi hambatan dalam pekerjaannya.
Perawat akan lebih mudah bertanya pada kepala perawat dan mencari solusi
untuk menyelesaikan masalahnya. Selain dengan kepala perawat, hubungan
dengan sesama rekan kerja juga perlu dibina karena akan mempengaruhi hasil
kerja yang akan dicapai. Dalam hal inilah, peran kecerdasan emosional
seseorang dibutuhkan guna dapat berhubungan baik dengan rekan kerja yang
lain. Bila perawat tidak memiliki kemampuan membina hubungan ini, maka
dia tidak akan berhasil dalam pekerjaannya terutama pekerjaan yang
membutuhkan sikap persuasif dalam membujuk pasien dan pesan yang ingin
disampaikan cenderung disalahartikan oleh pasien sehingga bisa terjadi salah
paham dan salah pengertian.
Kelima dimensi diatas tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling terkait
satu dengan yang lain dan membentuk suatu tingkatan. Seseorang baiknya
harus mengetahui dasar pemahaman dari kelima dimensi kecerdasan
emosional sampai pada kadar tertentu dan ketika ia tidak terlalu menguasai
salah satu aspek, ia dapat mempelajari dan melatihnya supaya dapat
menjadikannya lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional
lebih banyak diperoleh melalui belajar dan dapat berkembang sepanjang
kehidupan sambil terus belajar dari pengalaman sendiri (Goleman, 1999).
Universitas Kristen Maranatha karena adanya pengaruh lingkungan yang mencakup keluarga dan teman
sebaya. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari
emosi, dalam lingkungan yang akrab ini individu belajar bagaimana
merasakan perasaannya sendiri dan bagaimana orang lain menanggapi
perasaannya tersebut, bagaimana berpikir tentang perasaannya dan
pilihan-pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi, serta bagaimana membaca dan
mengungkapkan harapan dan rasa takut. Pembelajaran emosi ini bukan hanya
melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orangtua secara langsung
kepada anak-anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka
berikan sewaktu menangani perasaan mereka sendiri atau perasaan yang biasa
muncul antara suami dan istri (Goleman, 2005).
Keterampilan emosional tertentu juga diasah dengan teman, terutama
kemampuan empati. Teman sebaya memberikan pengaruh dalam membentuk
tingkah laku seseorang. Teman sebaya juga sering dijadikan model dalam
bertingkah laku. Teman sebaya yang dapat mengungkapkan emosinya secara
matang, dapat menangani emosi teman yang lain seperti menghibur,
menolong, menunjukkan empati kepada teman dapat menjadi bahan
pembelajaran untuk temannya yang lain (Goleman, 2005). Teman sebaya yang
dimaksud bagi perawat-perawat disini adalah teman seprofesi atau rekan kerja.
Kecerdasan emosional pada perawat bagian rawat inap Gedung ”X” di
Rumah Sakit ”Y” Bandung ini berbeda-beda, dapat dikategorikan dalam
tingkat yang tinggi dan rendah. Perawat yang tinggi kecerdasan emosionalnya,
Universitas Kristen Maranatha melibatkan diri dengan orang-orang, untuk memikul tanggung jawab dan
mempunyai pandangan moral, mereka simpatik dan hangat dalam
hubungan-hubungan mereka. Kehidupan emosional mereka kaya tetapi wajar, mereka
merasa nyaman dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan dunia
pergaulannya (Goleman,2005).
Sebaliknya bagi perawat yang kecerdasan emosionalnya rendah, akan
kurang mantap secara sosial, dalam hal bergaul. Mereka kurang mampu
melibatkan diri dengan orang lain, kurang bertanggungjawab, kurang
memiliki pandangan moral, kurang simpatik dan kurang hangat dalam
hubungan mereka. Mereka merasa kurang nyaman dengan diri mereka sendiri,
Universitas Kristen Maranatha Skema kerangka berpikir :
Faktor yang mempengaruhi EI : 1. Keluarga (orangtua) 2. Rekan Kerja
Perawat Bagian Rawat Inap Gedung “X” di
Rumah Sakit “Y” Bandung
Kecerdasan Emosional (EI)
EI Rendah EI Tinggi
Dimensi Kecerdasan Emosional : Kesadaran diri emosional Mengelola emosi
Memanfaatkan emosi secara produktif
Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran diatas, maka peneliti
merumuskan asumsi sebagai berikut:
Kecerdasan emosional pada perawat bagian rawat inap Gedung
“X” di Rumah Sakit “Y” Bandung memiliki dimensi kesadaran diri
emosional, mengelola emosi, memanfaatkan emosi secara
produktif, empati – membaca emosi, dan membina hubungan.
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perawat bagian rawat
inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y” Bandung yaitu keluarga
(orang tua) dan rekan kerja.
Derajat kecerdasan emosional pada perawat bagian rawat inap
Gedung “X” di Rumah Sakit “Y” Bandung berbeda-beda yaitu
78 Universitas Kristen Maranatha BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data mengenai
kecerdasan emosional pada perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit
“Y” Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Jika dilihat dari persentase untuk kecerdasan emosional yang tergolong
tinggi dan rendah dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional dihayati
oleh perawat bagian rawat inap Gedung “X” di Rumah Sakit “Y”
Bandung dengan frekuensi yang relatif sama.
2. Perawat yang memiliki kecerdasan emosional yang tergolong rendah,
mempunyai dimensi dari kecerdasan emosional yaitu kesadaran diri
emosional, mengelola emosi, memanfaatkan emosi secara produktif,
empati – membaca emosi, dan membina hubungan yang tergolong rendah
juga.
3. Begitu juga dengan perawat yang memiliki kecerdasan emosional yang
tergolong tinggi, mempunyai dimensi dari kecerdasan emosional yaitu
kesadaran diri emosional, mengelola emosi, memanfaatkan emosi secara
produktif, empati – membaca emosi, dan membina hubungan yang
Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
peneliti mengajukan saran untuk diadakan penelitian mengenai hubungan antara
kecerdasan emosional dengan kinerja perawat.
5.2.2 Saran Guna Laksana
1. Bagi pihak Rumah Sakit “Y” Bandung melalui kepala perawat, disarankan untuk
mengupayakan langkah-langkah yang diperlukan guna meningkatkan kecerdasan
emosional perawat, seperti mengadakan pelatihan ESQ untuk para perawat agar
dalam bekerja dapat memberikan asuhan keperawatan yang bermutu baik kepada
pasien.
2. Bagi perawat yang kecerdasan emosionalnya sudah tergolong tinggi agar dapat
mempertahankannya. Kemudian bagi perawat yang kecerdasan emosionalnya
80 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Aziz. 1998. Pengantar konsep dasar keperawatan. Jakarta : Salemba Medica.
Gardner, Howard Goleman, Daniel. 1996. Emotional intelligence : Kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting daripada IQ, edisi pertama. jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence : Kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting daripada IQ, edisi pertama. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 2000. Working with emotional intelligence. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gullo, W. 2004. Metodologi penelitian. Jakarta : Grasindo.
Mayer, John dalam Goleman, Daniel. 1997. Emotional intelligence : Kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting daripada IQ, edisi pertama. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
81 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
FP-UKM. 2009. Pedoman penulisan skripsi sarjana edisi revisi :III. Bandung.
Hana Irawati Herawan. 2008 Studi Deskriptif tentang Kecerdasan Emosional
pada Siswa Pengurus OSIS SMA “X” di Kota Bandung. Bandung:
Universitas Kristen Maranatha.
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_sakit/oktober2010
http://teori-psikologi.blogspot.com/2008/05/kecerdasan-emosi.html
Sellya Putri. 2006. Suatu Penelitian Mengenai Hubungan Antara Self Efficacy dengan Produktivitas Kerja Pada Perawat yang telah Menikan di RS „X‟ Bandung. Metodologi Penelitian Lanjutan. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.
Viona Sulamit. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Penanggulangan Stress Pada
Perawat yang Bekerja di Rumah Sakit Jiwa di Kota „X‟. Bandung: