EKSISTENSI
BALIAN BAWO
DAYAK LAWANGAN
DI DUSUN TENGAH, BARITO TIMUR,
KALIMANTAN TENGAH
ERVANTIA RESTULITA L. SIGAI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi sudah melewati proses sejarah yang sangat panjang, suatu
fenomena yang dirasakan semakin kuat mencengkram memasuki abad dua puluh
satu ini. Umat manusia menghadapi sebuah lompatan kuantum ke depan,
menghadapi pergolakan sosial terdalam dan restrukturisasi kreatif sepanjang masa
(Toffler dan Heidi, 2002: 1-2). Globalisasi telah menjadi ideologi baru dengan
ciri-ciri seakan-akan dunia tanpa batas, ruang, dan waktu. Globalisasi menjadi
suatu pertanda bahwa zaman baru telah datang dan tidak bisa dibendung ataupun
ditolak.
Globalisasi adalah penyebaran praktik, relasi, kesadaran, dan organisasi di
seluruh penjuru dunia. Hampir setiap bangsa dan jutaan orang di seluruh dunia
mengalami transformasi, sering dramatis, yang disebabkan globalisasi (Ritzer,
2012: 976). Hal ini memberikan dampak dalam berbagai aspek kehidupan sosial
dan budaya masyarakat. Terjadinya perubahan secara langsung maupun tidak
langsung akan menggeser tata nilai yang lama dengan tata nilai yang baru di
masyarakat.
Walaupun demikian, bukan berarti globalisasi begitu saja dapat
menyebabkan perubahan budaya suatu masyarakat tanpa reaksi masyarakat yang
bersangkutan, karena sebagaimana dikemukakan Naisbitt dan Aburdene (dalam
sekarang ini adalah semacam penolakan (counter trend) terhadap homogenitas
budaya, sehingga timbul hasrat untuk menegaskan keunikan kultural dan bahasa.
Terkait dengan penolakan tersebut, berbagai strategi dan kebijakan telah
diupayakan oleh berbagai kelompok-kelompok masyarakat untuk tetap
mempertahankan kebudayaannya. Strategi kebudayaan itu terkait dengan kondisi
alam lingkungannya dan tradisi yang telah turun-temurun dari generasi ke
generasi. Malinowski (1939) menyatakan segala sesuatu yang terdapat di dalam
masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan penyeimbang (equilibrium) yang
memuat totalitas ideologi dan konsepsi-konsepsi tata kehidupan mereka.
Tradisi dalam kebudayaan masyarakat menurut Piliang (2005: 5)
merupakan repitisi dan reproduksi atau keberlanjutan masa lalu ke masa kini.
Tradisi dengan demikian adalah suatu yang tidak pernah berubah dan dilanjutkan
dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai sebuah pengetahuan
(knowledge), kebenaran (truth), yang tidak perlu dipertanyakan atau
diinterpretasikan kembali (reinterpretation).Tradisi akan kehilangan sifat ‘tradisi’
apabila ia diubah. ‘Perubahan’ dianggap sebagai ‘musuh’ tradisi, yang
mengancam keaslian, otensitas, dan keberlanjutannya. Pudentia (1998: vii)
menyatakan dalam konteks pewarisannya, tradisi kadangkala diwariskan secara
lisan (oral) dari satu generasi ke generasi berikutnya atau dikenal dengan istilah
tradisi lisan. Etnis Dayak Lawangan hanya mengenal budaya lisan. Keberlanjutan
tradisi secara turun-temurun dilangsungkan secara lisan. Demikian pula balian
3
adalah medium identitas. Identitas adalah penciptaan konstansi dalam perjalanan
waktu, yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan.
Di dalam tradisi budaya masyarakat, selalu ada nilai-nilai dan kepercayaan
yang disakralkan atau disucikan yang berfungsi sebagai pedoman yang memberi
orientasi kepada kehidupan masyarakatnya. Lebih lanjut Haviland (1988: 207)
menyatakan bahwa di antara berbagai unsur dalam suatu kebudayaan ada yang
disebut inti (culture core) yang berupa unsur-unsur kebudayaan yang menentukan
berbagai bentuk kehidupan suatu masyarakat yang telah terintegrasi ke dalam
cara-cara hidupnya (the ways of social life) atau segala aspek kehidupannya
(all aspects of social life). Jadi, terdapat korelasi timbal balik yang padu
(integrated correlation) antara keseimbangan batin manusia dan keseimbangan
holistik alam raya dalam mewadahi dan menghidupi manusia.
Ritualbalianhingga kini masih menjadi salah satu ritual utama yang ada
dalam kehidupan masyarakat Dayak di pulau Kalimantan. Dalam praktiknya,
ritual balian ini memiliki berbagai variasi di tiap wilayah atau etnis yang
berbeda. Dalam komunitas Dayak Meratus di pengunungan Meratus Kalimantan
Selatan, pengobatan balian dilakukan bersamaan dengan upacara selamatan atau
baaruh. Di Kalimantan Timur, Kabupaten Kutai Barat dalam komunitas Dayak
Benuaq di rumah panjang Papas Eheng Barong Tongkok, ritual balian digelar
hingga 20 hari dengan upacara besar-besaran yang diakhiri dengan menyembelih
beberapa ekor sapi (Ranan, 2011: 2). Sementara di Kalimantan Tengah,
pelaksanaan ritual balian bawo mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan
bawo komunitas Dayak Lawangan di daerah Dusun Tengah. Sampai saat ini,
pelaksanaan ritualbalian bawo di Dusun Tengah ini tidak bisa dilepaskan dari
ritus siklus kehidupan orang Dayak Lawangan.
Ritual balian bawo dan balian bawo merupakan inti kebudayaan yang
penting, tidak sekadar sebagai stimulate of emotion, tetapi menjaga keselarasan
antarmanusia dengan manusia dan manusia dengan kosmos. Dalam menjaga
keselarasan manusia diingatkan akan hakikat kemanusiaannya bahwa ada
kekuatan-kekuatan lain di luar kemampuan jangkauan pikiran manusia.
Van Gennep (dalam Koentjaraningrat, 1985: 32) menyatakan bahwa siklus
hidup dalam tahap-tahap pertumbuhan sebagai individu, yaitu sejak ia lahir,
kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan menikah,
menjadi orang tua, dan hingga saatnya ia meninggal. Manusia mengalami
perubahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budaya yang dapat
memengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Van Gennep (dalam
Koentjaraningrat, 1985: 33) menganggap rangkaian ritus dan upacara sepanjang
tahap-tahap pertumbuhan, atau lingkaran hidup (life cycle rites), sebagai rangkaian
ritus dan upacara yang paling penting, mungkin paling tua dalam masyarakat, dan
kebudayaan manusia.
Dalam komunitas etnis Dayak Lawangan di Dusun Tengah, siklus
kehidupannya dimulai dari fase kelahiran sampai dengan kematian. Setiap fase
dalam siklus kehidupannya (life cycle rites) diikuti juga dengan pelaksanan ritual
balian, seperti ritual balian palas bidan (ritual setelah kelahiran), balian nyapu
5
pernikahan tingkat yang paling tinggi), membangun rumah, pengobatan, menolak
bala atau membersihkan alam semesta, dan syukur terhadap panen yang
melimpah.
Dilihat dari siklus kehidupan orang Dayak Lawangan di Dusun Tengah
meliputi lima aspek, yaitu: (1) kelahiran, (2) kematian (ritual pasca kematian), (3)
kesejahteraan, (4) keselamatan/kedamaian, dan (5) kesehatan. Dalam setiap aspek
tersebut melibatkan peran utama seorangbalian bawo sebagai pelaksana ritual.
Contohnya dalam aspek kesehatan, peran seorang balian bawo akan menjadi
sangat penting dalam ritual pengobatan sebagai sentral dari hubungan antara
penyembuh dengan penderita yang dapat mendatangkan kekuatan supranatural
menjadi energi penyembuh. Balian bawo itu berusaha menembus ruang bawah
sadar pasien, memengaruhi pikiran pasien untuk membebaskannya dari rasa
takut. Kekuatan pasien dirangsang dijadikan penyembuh alami.
Ritual balian bawo berjalan secara turun-temurun sehingga merupakan
sebuah konstruksi budaya yang berkaitan dengan keyakinan Hindu (Kaharingan)
yang mereka anut. Kebudayaan mempunyai hubungan yang timbal balik yang
sangat erat dengan agama atau sistem kepercayaan (believe system). Kebudayaan
suatu masyarakat atau bangsa sering melahirkan suatu agama atau sistem
kepercayaan tertentu. Sebaliknya suatu sistem kepercayaan tertentu yang dianut
oleh mayoritas penduduk di suatu tempat merupakan manifestasi dari sistem
budaya yang berlaku di situ atau paling tidak memiliki kesesuaian dengan sistem
nilai yang dianut oleh penduduk yang bersangkutan (Florus, 1994: 18). Ritual
moyang, dan‘sahabat’.
Namun, globalisasi dengan segala implikasinya telah membawa pengaruh
ke dalam kehidupan komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Salah satunya
terlihat dari keberadaan balian bawo belakangan ini yang semakin langka
terdegradasi oleh arus modernisasi. Menurut Giddens (2003: 67), globalisasi
membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan berbagai
permasalahan sosial dalam peradaban manusia. Hal ini mengancam eksistensi
budaya lokal akan menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju
kepunahan (Strey dalam Alkausar, 2011: 54).
Pada saat ini para penutur balian bawo tersebut semakin kurang diminati
oleh generasi penerus. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti
dengan tokoh masyarakat, didapatkan informasi bahwa pada periode tahun
1980-1990 jumlah balian bawo ada duabelas orang; pada periode tahun 1991-2008
sekitar delapan orang balian bawo; tahun 2009-2010 sekitar lima orang dan
pada periode tahun 2011 sampai sekarang lima orang balian bawo yang
terdiri atas dua orang usia lanjut dan fisik lemah, sedangkan tiga orang masih
sehat.
Saat ini keadaan penuturbalian bawoyang secara fisik mampu melakukan
tugasnya memimpin ritual ada tiga orang. Dari tiga orang balian bawo tersebut
hanya satu orangbalian bawo yang mampu secara paripurna melaksanakan semua
aspek ritual dalam setiap fase siklus kehidupan Dayak Lawangan di Dusun Tengah
sedangkan dua orang balian bawo yang lain tidak bersedia menjalankan ritual
7
mengungkapkan di Dusun Tengah terjadi krisis pelaku balian bawo Dayak
Lawangan.
Malinowski (1939: 938, 1960: 34--37) menyatakan aksioma bahwa setiap
unsur kebudayaan itu berfungsi bagi kehidupan, manakala tidak berfungsi lagi,
maka kebudayaan tersebut akan hilang atau punah. Dilihat dari pandangan
Malinowski di atas, realitas keberadaan balian bawo yang terjadi di Dusun
Tengah agak berbeda. Balian bawo mengarah kepada kelangkaan padahal
eksistensi balian bawo dalam berbagai segi kehidupan komunitas Dayak
Lawangan masih berfungsi. Dengan demikian, keberadaan balian bawo
menjadi unsur pranata budaya yang masih memiliki arti bagi komunitas
Dayak Lawangan. Kaplan dan Manner (dalam Wirata, 2010: 196) menyatakan
bahwa sistem budaya sangat memungkinkan untuk dipertahankan eksistensinya
selama memiliki syarat-syarat fungsional bagi masyarakatnya.
Di sisi lain terjadi pula kontradiktif di kalangan generasi muda Dayak
Lawangan di Dusun Tengah, di tengah kelangkaan balian bawo tersebut
justru banyak dari kalangan generasi mudanya bersikap permisif terhadap
warisan leluhur dan kurang tertarik menjadi balian bawo. Bahkan, beberapa
dari kalangan generasi muda yang telah “ditunjuk” sebagai penerus balian
bawo cendrung tidak menjalankan profesi sebagai balian bawo. Hal ini akan
berpengaruh pada proses pewarisanbalian bawoselanjutnya.
Balian bawo merupakan pranata sosial budaya yang tak terpisahkan
dari struktur sosial budaya komunitas etnis Dayak Lawangan yang
mengandung kearifan lokal, simbol, nilai, dan dampak bagi kehidupan
masyarakat pendukungnya. Dari semua uraian realitas di atas, maka kajian
penelitian mengenai eksistensi balian bawo di Dusun Tengah, Barito Timur,
Kalimantan Tengah ini dinilai sangat penting untuk segera dilakukan,
mengingat keberadaan balian bawo berkaitan erat dengan siklus hidup
maupun praktik kehidupan sehari-hari Dayak Lawangan.
Tradisi lisan sebagai titik tolak penelitian ini merupakan suatu bentuk
upaya agar tradisi lisan tersebut dapat dimanfaatkan, dikembangkan,
direvitalisasi, dan dilestarikan. Balian bawo sebagai suatu bentuk kebudayaan
yang perlu dijaga dari ancaman kepunahannya demi keberlanjutan tradisi
komunitas etnis Dayak Lawangan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka bisa ditarik beberapa rumusan
permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana praktik balian bawo dan relasinya dengan pranata kehidupan
komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan
Tengah?
2. Mengapa terjadi kelangkaan balian bawo Dayak Lawangan di Dusun
Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah?
3. Bagaimana implikasi kelangkaan balian bawo bagi komunitas Dayak
9
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan mengkaji, mendeskripsikan, dan
memahami tentang praktik balian bawo dan relasinya dengan pranata kehidupan
komunitas Dayak Lawangan, penyebab utama yang memengaruhi terjadinya
kelangkaan balian bawodan implikasinya bagi komunitas Dayak Lawangan di
Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah.
1.3.2 Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini dilakukan untuk menemukan jawaban atas
masalah yang dirumuskan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui praktik balian bawo dan relasinya dengan pranata
kehidupan komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur,
Kalimantan Tengah.
2. Untuk mengetahui penyebab yang memengaruhi terjadinya kelangkaan
balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur,
Kalimantan Tengah
3. Untuk memahami implikasi kelangkaan balian bawo Dayak Lawangan bagi
komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat penelitian ini secara teoretis diharapkan sebagai berikut.
1. Menghasilkan temuan yang bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya
pengembangan kajian tradisi lisan di Nusantara.
2. Memberi kontribusi secara keilmuan bagi akademisi dan peneliti lain yang
berminat mengkaji budaya lokal sebagai kajian untuk pengembangan
pengetahuan lebih lanjut.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. memberikan pengetahuan, wawasan, dan penyadaraan pelestarian budaya lokal
balian bawobagi masyarakat;
2. memberikan kontribusi kepada pembuat kebijakan pembangunan khususnya
pemerintah daerah dan pihak terkait dalam menetapkan kebijakan yang tepat
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2. 1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dilakukan untuk menelusuri penelitian yang relevan
dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Secara khusus studi
tentang Eksistensi Balian Bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito
Timur, Kalimantan Tengah relatif sedikit dikaji oleh para peneliti terdahulu.
Adapun tulisan-tulisan tersebut akan dijadikan rujukan guna mendukung dan
memberi inspirasi dalam penelitian ini.
Dari penelusuran terhadap studi-studi terdahulu tentang balian yang
mempunyai relevansi dengan penelitian ini ada beberapa tulisan yang bisa
dipakai sebagai acuan kajian pustaka, yaitu penelitian Andreas W. Massing
(1982), “Where Medicine Fails: Belian Disease Prevention and Curing Rituals
Among the Lawangan Dayak of East Kalimantan” dalam Borneo Research
Bulletin vol.14. Penelitian ini dilakukan di Kalimantan Timur di wilayah Benuaq
dan Tanjung. Dalam penelitiannya ini, Massing menyatakan bahwa
kajiannya tidak hanya untuk kalangan antropolog saja, tetapi bisa bermanfaat
juga bagi dokter dan tenaga kesehatan untuk membuat mereka memahami
subjektif keyakinan pasien.
Menurut Massing (1982), tenaga medis atau dokter perlu memahami
didasarkan pada agama Dayak Lawangan. Tindakan utama yang perlu dilakukan
adalah bagaimana membuat obat medis menjadi lebih efektif dengan tidak
menyatakan keyakinan mereka sebagai sebuah tahayul.
Hasil penelitian Massing ini bersifat deskripsi, memberikan pemahaman
tentang pentingnya ritual balian dalam komunitas Dayak Lawangan, akan tetapi
Massing dalam penelitiannya lebih banyak mengulas dan mengklasifikasikan tipe
baliandaripada menyatakan peran ritual balian. Penelitian ini digunakan peneliti
untuk melihat tipe-tipe klasifikasi ritualbalian.
Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Isabell Herrmans (2011),
Towards the Breaking Day,An Ethnography of Belian Curing Rituals among the
Luangans of Indonesian Borneo. Penelitian ini mulai dilakukan pada tahun 1983,
kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 1996 sampai 1997, dengan mengambil
lokasi penelitian di daerah perbatasan provinsi Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur. Herrmans mengkaji karakteristik yang muncul dari variabel
ritual pertunjukan dalam praktik-praktik sosial penyembuhan, transformasi, dan
representasional. Tulisan Hermans ini digunakan peneliti sebagai acuan untuk
melihat telaah diskursus dialetika yang terjadi terutama pada mitologi yang
menghidupkan hubungan manusia-roh dalam ritual. Kajiannya Herrmans tidak
secara spesifik meneliti tentang balian bawo, karena varian ritual balian
bermacam-macam fungsi dan peruntukannya.
Kedua penelitian terdahulu di atas Massing (1982), Herrmans (2011)
digunakan sebagai acuan pustaka, bahan rujukan dan pembanding. Telaah
13
bidang keilmuan, jangka waktu, dan lokasi penelitian. Walaupun yang dikaji
tentang balian, tetapi kedua penelitian tersebut lebih fokus dalam masalah ritual
balian pengobatan, sedangkan penelitian ini difokuskan pada masalah eksistensi
balian bawodalam siklus hidup Dayak Lawangan di Dusun Tengah.
Penelitian yang dilakukan oleh Noerid Haloei Radam (2001) dalam
bukunya yang berjudul“Religi Orang Bukit: Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi
dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi”. Penelitian ini dilakukan di selama 20 bulan,
yakni dari bulan April 1979 hingga November 1980 dengan lokasi penelitian di
kawasan hulu Amandit, Kalimantan Selatan. Radam dalam penelitian ini
melukiskan kehidupan orang Bukit dengan menghubungkan aspek-aspek ekonomi
dan ekologis perladangan yang erat kaitannya dengan sistem keagamaannya
dengan menggunakan pendekatan strukturalisme fungsional.
Dalam penelitiannya, Radam menyatakan bahwa Orang Bukit meyakini
adanya sejumlah Ilah, roh alam dan roh nenek moyang, yang mempunyai wilayah
kekuasaan dan objek pemeliharaannya masing-masing pada berbagai upacara
yang dilakukan. Hal yang menarik dari penelitian Radam adalah bagaimana
budaya lokal (kosmologi keyakinan mereka) mengalami proses budaya, secara
historis mungkin diadopsi dari kebudayaan orang Banjar Hulu yang banyak
dipengaruhi agama Islam.
Proses-proses budaya yang terjadi pada kehidupan orang Bukit
bersentuhan dengan gagasan dan nilai agama Islam dengan agamanya, yang
disebut agama balian. Proses-proses tersebut terlihat dalam mite penciptaan
pertama. Kejadian alam semesta terjadi karena perluasan gerakan dan dorongan
biologisDatu AdamdanDatu Tihawa.
Dalam religi orang bukit mengenal pula konsepsi tentang nabi dan
malaikatJabarilpendampingSuwaramendapat pengaruh agama Islam.Guguhan
atau Suwara itu disebut pula Panglangit (Bapak Langit) juga diyakini sebagai
sumber asal mula yang ada, baik yang hidup di muka bumi maupun yang berada
di alam semesta. Guguhan atau Suwara sebagai Ilahi yang tinggal di kawasan
langit tertinggi yakni di Langit Ing-ingan yang juga dipercaya sebagai tempat
tinggalIndung Hawa dan Adam serta Nining Bahatara. Hal menarik dari tulisan
ini adalah diantara nabi-nabi itu ada yang menjadibalian setelah berguru dengan
padaBalian Asa Mula, yakniDatu Adam.
Radam mengungkapkan penamaan Nining Bahatara diadopsi dari
Hinduisme yang pernah berkembang di Kalimantan Selatan, tetapi tidak
diungkapkan lebih jauh mengenai temuan tersebut. Radam juga tidak
menguraikan mengapa masyarakat orang Bukit menamai agama mereka sebagai
agamaBalian.
Fredrik Ngindra (1999) dalam bukunya “Upacara Agama Bungan Pada
Masyarakat Kenyah Bakung di Long Apan Baru”, lebih banyak
mendokumentasikan kegiatan keagamaan dan upacara ritual agama lama
masyarakat Kenyah Bakung di Long Apan Baru, Kecamatan Long Pujungan,
Kalimantan Timur, yang dinamakan agama Bungan. Penelitian Ngindra
menggunakan data yang diperoleh dari responden yang dipilih dalam jangka
15
ditemukan dan respondennya sudah berusia lanjut. Agama Bungan kini tidak
dipraktikkan lagi karena seluruh penduduknya telah menganut agama Kristen.
Dalam penelitian ini, Ngindra mengulas tentang upacara ritual agama
Bungan. Salah satu ritual yang diulas adalah upacara mending yang
menggunakan balian untuk mengusir roh-roh jahat yang menggangu kehidupan
penghuni rumah panjang. Mendiang berarti “mendindingi (semua celah-celah
rumah)”.Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai otoritas dan peran baliandalam
agamaBunganselain mengusir roh-roh jahat dan sebagai dukun yang mengobati
orang sakit.
Tulisan Daniel Lawing (1999), “Lagu-lagu dan Alat Musik Dayak
Kenyah Leppo’ Ma’ut”, merupakan hasil penelitian singkat yang dilaksanakan
Lewing di Desa Long Alango di Kecamatan Long Pujungan, Kalimantan Timur.
Penelitian ini dilakukan melalui wawancara dengan orang-orang tua yang
menguasai kebudayaanLeppo’ Ma’ut.
Hasil penelitian Lawing (1999) ini merangkum lagu-lagu dan musik
rakyat Leppo’ Ma’utdengan menggunakan nada pentatonis, yaitu nada terbatas,
hanya ada lima sampai dengan tujuh nada maupun diatonis (untuk lagu yang
menggunakan nada satu oktav penuh). Rima lagu-lagu rakyat Dayak Kenyah
Leppo’ Ma’ut pada umumnya A-A-B-B. Adapun jenis dan kategori lagu yang
ditulis dalam buku tersebut, yaitu: (1) lagu belian, terdiri atas tiga jenis lagu:
belian kenai ndok, belian suket dan belian sakit; (2) lagu silun, terdiri atas tiga
jenis:silun tindau, silun ketena’ dan silun menjaeng; (3) londe; (4) uyon along;
Dari penelitian Ngindra (1999) dan Lawing (1999) ini diketahui bahwa
jenis balian yang diungkapkan berbeda dengan penelitian balian bawo dari
aspek religi, tata cara ritual, maupun bahasa atau mantra yang digunakan. Fokus
penelitan Lawing terutama sastra lisan, lagu-lagu rakyat, dan alat musik
tradisonalnya, sementara penelitian Ngindra mengenai sistem religi.
Penelitian lain yang meneliti tentang kegiatan ritual suku Dayak di
wilayah kabupaten Barito Timur dilakukan oleh Wayan Gepu (2009), “Upacara
Balian Palas Bidan pada Masyarakat Hindu Kaharingan Suku Lawangan di
Desa Putai Kabupaten Barito Timur Kalimantan Tengah (Kajian Bentuk,
Fungsi, dan Makna)”. Upacarabalian palas bidanmerupakan upacara memohon
anugerah dan berkah kepada Tuhan, dengan tujuan untuk mendapatkan
keselamatan dan kesucian. Upacara balian palas bidan merupakan kewajiban
yang patut dilaksanakan dengan tujuan agar anak yang sudah dilahirkan atau
sudahkepus tali pusermenjadi bersih dan suci, serta diizinkan dibawa ke tempat
ibadah.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Gepu (2009) menyimpulkan
pelaksanaan upacara balian palas bidan dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap
persiapan, tahap kegiatan pokok, dan tahap akhir yang dipimpin oleh seorang
belian (balian). Tahap persiapan merupakan kegiatan untuk mempersiapkan
segala sarana yang digunakan. Sedangkan tahap pokok berisi kegiatan
penyucian atau memandikan bayi yang disaksikan oleh Juwata sebagai
penguasa sungai. Tahap akhir mengantar kembali Mulung Umbo dan Mulung
17
Penelitian Gepu memfokuskan pada prosesi pelaksanaan ritual atau
upacara yang meliputi bentuk pelaksanaan, sarana prasarana, mantra yang
digunakan, tempat, dan waktu pelaksanaannya.
Kuri (2008) “Tradisi Tuyo Hindu Kaharingan di Desa Rodok, Barito
Timur, Kalimantan Tengah (Kajian Teologi Lokal)”, tulisan tentang sebuah
tradisi unik yang ada di Desa Rodok yang disebut tuyo. Dalam penelitiannya,
Kuri menguraikan bahwa pada mulanya sebutan tradisituyo itu bervariasi antara
lain disebut bapajem, bekapek, dan nyuli. Pada zaman penjajahan Belanda
banyak pengikut tuyo yang ditangkap karena tradisi tuyo dianggap
menghidupkan manusia yang sudah meninggal dunia untuk melawan penjajah.
Hal menarik lain disebutkan pada tahun 1942 pernah ada orang Jepang bernama
“Tuan Balok Enam Belas” yang ikut melaksanakan tradisi tuyo karena ajaran
tuyodilihat memiliki kesesuaian dengan kepercayaan orang Jepang yang bersifat
“suci hati”.
Tradisituyo merupakan salah satu bentuk pemujaan yang ada pada etnis
Dayak Lawangan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kedamaian, dan
pembersihan atau penyucian diri kepada Mo Maha Pengewasa Ulun Tinggi
Alam Pengelamen dalam manifestasinya sebagai dewa penjaga delapan penjuru
mata angin.
Tradisi tuyo dalam pelaksanan ritualnya dilakukan dengan tuye (tarian
tuyo) yang diiringi tinga-tinga (doa atau mantra). Menari memutar mengelilingi
tempat dan sarana persembahyangan sebanyak empat atau delapan kali putaran
pemimpin sembahyang. Pemimpin sembahyang tradisi tuyo yang disebut belian
tuyo.
Tradisi tuyo saat ini biasa dilaksanakan di lingkungan keluarga yang
dilakukan sebanyak tiga kali sehari, yaitu pada pagi hari pukul 06.00 wib, siang
hari pukul 12.00 wib, dan sore hari pukul 18.00 wib. Di lingkungan umat
dilaksanakan di langar rodok loma bawoo dan langar tudan tuyo (tempat
ibadah) setiap malam Senin dan Kamis. Tradisituyojuga dilaksanakan pada hari
tertentu yaitu setiap tanggal 1 Januari tahun baru masehi sebagai ungkapan
syukur atas anugrah tahun sebelumnya dan mendoakan keselamatan pengikut
tuyopada tahun baru berikutnya.
Perayaan besar lain yang biasa dirayakan adalah ulang tahun tuyo yang
dirayakan tiap tahun pada tanggal 4 Juni, yang sudah dilaksanakan sejak tahun
1959. Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus tradisi tuyo dirayakan pula untuk
mendoakan memohon keselamatan umat manusia, bangsa, dan negara.
Tradisi tuyo berbeda dengan ritual balian bawo walaupun memiliki
persamaan dalam tujuan ritual. Tradisi tuyo lebih menekankan aspek ibadah
dan penyucian diri. Dalam penelitian Kuri tidak dijelaskan lebih mendalam
tentang keunikan teologi tradisi tuyo dan bagaimana agama lokal mengalami
perwujudkan sebagai identitas ideologi lokal.
Hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas dijadikan sebagai sumber
data sekunder yang akan digunakan sebagai bahan pembanding dan pelengkap,
sedangkan sumber data primer yang akan digali di lapangan. Sumber data primer
19
terutama penutur utama balian bawo yang masih hidup. Balian bawo
merupakanliving traditions.Penelitian ini akan menggali ingatan kolektif yang
tersimpan dalam memori komunitas Dayak Lawangan.
2.2 Konsep
Konsep merupakan sejumlah karateristik yang menjelaskan suatu objek,
kejadian, gejala, kondisi atau situasi yang diyatakan dalam satu istilah atau kata.
Konsep bersifat operasional yang menyatakan seperangkat petunjuk atau kriteria,
atau operasional yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana
mengamati (Silalahi, 1999: 79). Definisi operasional tentang suatu konsep yang
dikemukakan oleh setiap peneliti dapat berbeda meskipun topik atau konsep yang
diteliti sama. Adapun konsep yang dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu: (a)
eksistensi balian bawo, (b) komunitas Dayak Lawangan, dan (c) kelangkaan dan
kepunahan Budaya.
2.2.1 EksistensiBalian Bawo
Sistem ritus dan upacara dalam religi berwujud aktivitas dan tindakan
manusia dalam melaksanakan baktinya terhadap Tuhan, Dewa-dewa, roh nenek
moyang, atau makhluk halus lain. Ritus atau upacara religi biasanya terdiri atas
suatu kombinasi yang merangkaikan satu, dua, atau beberapa tindakan, seperti
berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi,
berproses, berseni drama suci, berpuasa, intositasi, bertapa, dan bersemedi
Asumsi filosofis ritus adalah manusia sebagai homo religious. Kottak
(dalam Vianey, 2008: 28--29) menegaskan ritus sebagai representasi dan
artikulasi dari religi yang memuat unsur verbal dan non-verbal. Unsur verbal dari
dalam religi dalam ritus antara lain terungkap dalam doa, mitos, ajaran kearifan
hidup berupa tuturan-tuturan ritual berbentuk ungkapan-ungkapan tradisional
yang memuat pernyataan-pernyataan filosofis, teologis, dan moral yang berkaitan
dengan manusia dan Tuhan.
Unsur-unsur non-verbal ritus dapat dilihat dalam proses pelaksanaannya
berupa sarana prasarana yang dihadirkan, sesaji, bahan-bahan ritual, serta waktu
dan tempat yang digunakan untuk mengaktualkan ritual tersebut oleh para
pemimpin upacara serta pembantu-pembantu khususnya dan warga atau umat
yang terlibat.
Dhavamony (1995: 175-176) membedakan ritus menjadi empat macam,
yaitu: (1) tindakan magi, yakni tindakan yang dikaitkan dengan penggunaan
bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya magis; (2) tindakan religius; (3)
ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan
merujuk pada pengertian-pengertian mistik sehingga dengan demikian
upacara-upacara kehidupan menjadi khas; (4) ritual faktif, yakni meningkatkan
produktivitas atau kekuataan, atau permurnian dan perlindungan, atau dengan kata
lain meningkatkan suatu kesejahteraan materi dari suatu kelompok.
Upacara ataupun ritual merupakan sebuah tindakan dan perbuatan manusia
dalam rangka usaha menghubungkan dirinya dengan semua objek yang dipandang
21
dipandangnya amat mempengaruhi, dan menentukan kehidupan di masa depan.
Upacara menjadi alat pengukur religi individu ataupun komunitas.
Menurut Hadi (1999: 29-30) ritual merupakan suatu bentuk perayaan yang
berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat
khusus yang menimbulkan rasa hormat atau rasa luhur yang merupakan
pengalaman yang suci. Sedangkan Endaswara (2003: 175) mengklasifikasi ritual
menjadi dua, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan
dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup
ketika masuk dalam peralihan. Pada masa ini, manusia akan masuk dalam lingkup
krisis karena terjadi perubahan tahap hidup, termasuk dalam lingkup ini antara lain
kelahiran, pubertas, dan kematian. Kedua, ritual ganguan, yakni ritual sebagai
negosiasi dengan roh agar tidak menggangu hidup manusia. Ritual balian bawo
termasuk dalam semua klasifikasi tersebut.
Ritual balian bawo tidak bisa lepas dari peran balian bawo dan
merupakan satu kesatuan yang utuh. Berdasarkan hasil wawancara dengan
berbagai narasumber Ririt (wawancara, 24 November 2013); Eben Tube
(wawancara, 25 November 2013); Martan (wawancara, 22 Agustus 2014);
Ardiansyah (wawancara, 18 November 2013); dan Aking Dugoi (wawancara,
22 November 2013), dinyatakan balian bawo mempunyai arti, yaitu: (1)
pimpinan ritual upacara, dukun dan tabib; (2) prosesi ritual balian bawo, (3)
identitas orang yang memimpin ritual disebut balian bawo. Sedangkan arti
katabalianmenurut Dusio Moenge mempunyai arti sebagai berikut.
Mengembalikan segala sesuatu yang tidak diinginkan dan menukarkan atau ganti diri dengan sajianhampatung (sajen) supaya tetap serasi seperti asalnya. Mengharmoniskan alam semesta tidak ada saling iblis setan itu menggangu. Mengembalikan roh-roh yang tidak diinginkan (wawancara, 10 September 2013).
Istilah kata balian dalam peyebutan bervariasi, Massing (1982) dan
Herrmans (2011) menggunakan kata belian bawo. Dalam penelitian ini
menggunkan istilah balian bawo berdasarkan informasi dari para balian bawo
Dusun Tengah. Namun, untuk membatasi dan memudahkan pemahaman antara
balian bawosebagai individu danbalian bawosebagai ritual. Dalam penelitian ini
dilakukan pembatasan. Peneliti menggunakan istilah “balian atau balian bawo”
untuk konotasi yang merujuk individu, sedangkan istilah “ritual balian bawo”
untuk hal yang merujuk ritual.
Pelaksanaan ritual-ritual dalam siklus hidup komunitas etnis Dayak
Lawangan dipimpin oleh balian bawo. Balian bawo bertugas sebagai mediator
dan komunikator dengan Tuhan, alam semesta, dan mahluk lainnya, yang
keberadaannya tidak terlihat secara kasat mata. Menurut Randam (2001: 2),
balianadalah perantara (medium,syaman) antara komunitas religius maupun yang
magis dengan Ilahi-ilahi, Hyang, dan roh yang diyakini menguasai kehidupan
orang banyak. Komunitas Dayak Lawangan percaya balian bawo memiliki
kemampuan istimewa yang tidak dimiliki oleh setiap orang.
Kemampuan para balian tidak terbagi dalam spesialisasi ritual yang
akan ditangani. Para balian secara individual mampu melaksanakan ritual
dalam semua siklus hidup Dayak Lawangan. Jumlah para balian ketika
23
tergantung dari jenis ritual dan permintaan warga yang menyelenggarakan
ritual tersebut. Ritualnya bersifat terbuka yang dapat ditonton warga setempat.
Eksistensi berasal dari kata latin existere dari kata ex yang artinya keluar
dan kata sitere yang bermakna membuat sendiri. Dengan demikian, artinya apa
yang ada, ada yang memiliki aktualitas, apa yang dialami. Dalam konteks ini
menekankan bahwa sesuatu itu ada (Sutrisno, 1993: 355). Eksistensi adalah
merupakan pangkal dari eksistensialisme. Menurut pandangan Harun Hadiwiyono
(dalam Salam, 1996: 207-208) eksistensi adalah; (1) cara manusia berada. Hanya
manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ada pada manusia. Oleh karena
itu, bersifat humanistis, (2) bereksistensi harus diartikan secara dinamis.
Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti
berbuat, menjadi dan merencanakan, (3) dalam filsafat eksistensialisme, manusia
dipandang terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus
dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia manusia, (4) filsafat
eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang kongkret,
pengalaman yang eksistensial.
Eksistensi adalah keadaan kesadaran manusia yang mampu melampaui
situasi-situasi yang melingkari, mampu mengatasi apa yang fakum dan datum
dalam proses transendensi melampaui pagar-pagar yang membatasi alam yang
mendukungnya (Sutrisno, 1993: 355). Eksistensi adalah hal-ihwal, sedang esensi
adalah apa-nya (Adian, 2005: 161). Ketika peneliti bertanya apa itubalian bawo,
sesungguhnya peneliti bertanya tentang esensi, sedang eksistensi adalah
dimaksud adalah eksistensi balian Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Jadi,
eksistensi adalah keberadaan, wujud, yang tampak, dan yang memiliki aktualitas.
2.2.2 Komunitas Dayak Lawangan
Komunitas menurut Suparlan (2004: 117) adalah satuan kehidupan yang
lebih kecil dari masyarakat, hidup dalam sebuah wilayah tertentu, dengan
batas-batas wilayah yang jelas. Anggotanya saling terkait satu sama lain melalui
jaringan sosial dan jaringan kekerabatan, karena garis keturunan dari satu nenek
moyang yang sama atau karena melalui hubungan perkawinan. Sebuah komunitas
mempunyai aturan, pengetahuan, nilai, dan norma yang dipakai sebagai acuan
pedoman untuk bertindak dan memahami lingkungan hidupnya. Komunitas yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah orang Dayak Lawangan dengan budaya,
tradisi, norma, nilai dan mitologi yang mengiringinya sebagai suku bangsa.
Koentjaraningrat (dalam Hardiman, 2009: 9) mengartikan suku bangsa sebagai
suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan
budaya, yang sering dikuatkan oleh kesatuan kebudayaan dan tradisi. Kesatuan
kebudayaan dan tradisi dalam satu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh
orang luar, tetapi berdasarkan konversi para anggotanya.
Banyak pernyataan dan perbedaan-perbedaan pendapat mengenai asal-usul
nama etnis Dayak. Menurut O.K Rahmant dan R. Sunardi (dalam Riwut, 2003:
57) Dayak merupakan suatu perkataan untuk menamakan stam-stam yang tidak
beragama Islam yang mendiami pedalaman Kalimantan. Pendapat yang hampir
25
digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-muslim atau non-melayu yang
tinggal di Pulau Kalimantan.“Dayak” literally means people of the interior, and
is a collective name for a diverse group of tribal peoples who differ in language,
art forms and many elements of culture and social organization (MacKinnon,
dkk., 1986: 358). Nama Dayak berasal dari bahasaMalayyaitu dari kataaja yang
berarti asli (Scharer, 1963: 1).
Menurut Riwut (2003: 59) Dayak mempunyai sekitar 450 subsuku.
Masyarakat Dayak secara umum saat ini dibedakan menjadi enam kelompok
besar. Enam kelompok besar tersebut yaitu: Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum,
Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Suku-suku tersebut terbagi lagi menjadi
beberapa sub suku: Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, Dayak Ma’anyan, Dayak
Lawangan, Dayak Siang, Dayak Murung, Dayak Dusun, Dayak Bawo, Dayak
Sampit, OT Danum, Dayak Kotawaringin dan Dayak Taboyan (Riwut, 2003: 61).
Sedangkan penyataan Sillander (1995: 71) sebagai berikut.
If someone were asked to mention one or a few Dayak groups, Luangan would unlikely be among those that first came to mind. On the contrary, few have ever heard about them even in Kalimantan. Still, the Luangan are distributed over a vast territory, located between two of the major rivers of Borneo - east of the middle reaches of the Barito, and south of the middle Mahakam- and their population is among the largest in Borneo - it exceeds 50,000 even by a very conservative count, and it approximates 100.000, if all potential candidates for subgroups are included.
Durasid (1990: 47) menyatakan sebagai berikut.
Kelompok Barito itu dibagi atas tiga subkelompok, yaitu Barito Barat, yang terdiri atas bahasa Kahayan dan Dohoi, Barito Timur yang terdiri atas bahasa Maanyan dan subkelompok Lawangan-Dusun Deyah (yang terpisah menjadi bahasa Lawangan dan Duson Deyah), dan Barito– Mahakam, di sini diwakili bahasa Tunjung… penutur bahasa Lawangan
berpusat di kecamatan Dusun Tengah dengan ibukota kecamatan Ampah. Bahasa Lawangan berbatas langsung dengan bahasa Maanyan dan terjadi hubungan langsung. Jumlah penuturnya diperkirakan 120.000 orang.
Perdebatan penggunaan istilah Luangan dan Lawangan, dalam kajian
Weinstock (1983: 72--77) istilah Luangan berdasarkan pertemuannya dengan
orang-orang yang berasal dari Sungai Luang, anak Sungai Teweh di Kalimantan
Tengah. Istilah Luangan Weinstock dianggap sebagai kesalahan otografi oleh
Mallinckrodt (1927). Perbedaan Mallinckrodt dengan istilah Lawangan dan
Weinstock dengan istilah Luangan berfungsi untuk menerangkan hetrogenitas
atau variasi pengunaan istilah bukan secara etimologi. Peneliti dalam kajian ini
menggunakan istilah Lawangan atau Dayak Lawangan berdasarkan pernyataan
komunitas Dusun Tengah untuk menamai identitas dirinya. Selain bahasa,
kelompok Dayak Lawangan juga memiliki banyak unsur-unsur budaya yang
sama. Menurut Sillander (1995: 71) hal yang paling penting seperti kutipan
berikut ini.
The most important of these are religious beliefs; adherence to the officially recognized Hindu-Kaharingan religion (and a high percentage of members who have not converted to Christianitys) sets these groups apart from other Dayaks. Elaborate secondary mortuary cermonies (kwangkei, gombok, ijambé, tiwah) are characteristic of these peoples, and frequent curing rituals (belian, balian, wadian) play an important part in their everyday Life. Regarding other commonalities social organization is more fluid than among many other Dayaks, especially among the Luangan. Longhouses are and were uncommon or small in comparison to central and northern Borneo. Headhunting was also less important, and among some groups it may not have been practised at Some form of stratification seems to have existed among all Barito Dayaks, but rank probably had only minor significance as a socially organizing principle.
Dalam penelitian eksistensibalian bawo ini, sub suku Dayak yang diteliti
27
Tengah, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah yang memiliki keyakinan
Kaharingan atau dikenal luas di Kalimantan Tengah sebagai Hindu Kaharingan.
Seperti halnya etnis-etnis lain, etnis Dayak Lawangan juga memiliki budaya
tersendiri yang berbeda dengan budaya etnis lainnya, yang di dalamnya terdapat
seperangkat nilai, tradisi, dan pengetahuan. Sosok budaya komunitas Dayak
Lawangan tercermin dengan eksistensibalian bawodan pelaksanaan ritualbalian
bawo yang mereka laksanakan dalam siklus kehidupannya.
2.2.3 Kelangkaan dan Kepunahan Budaya
Warisan budaya mempuyai cakupan pengertian yang luas, meliputi budaya
yang bersifat kebendaan yang dapat diraba (tangible) dan yang tidak dapat diraba
(intangible). Warisan budaya yang tak teraba (intangible) tercakup didalamanya
hal-hal yang bisa ditangkap panca indera lain diluar peradaban, seperti musik,
pembacaan sastra maupun bahasa lisan (Sedyawati, 2008: 207). Budaya akan
tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya. Masyarakat
sebagai ahli waris sekaligus pelaku menuju terciptanya situasi yang disebut sadar
budaya. Sadar budaya adalah kesadaran atau pemahaman di kalangan masyarakat
sebagai individu yang berada di tengah tatanan pergaulan, posisinya tidak pernah
singular, melainkan plural. Di samping itu, suatu masyarakat tidak akan mampu
menjaga eksistensinya dan menghayati budayanya sendiri apabila tidak bergaul
dengan masyarakat lain (Sayuti, 2008: 25-26).
Masalah yang dihadapi masyarakat pemilik tradisi dewasa ini adalah
Intensitas penyelenggaraan ritual balian bawo dan upacara tradisonal lainnya,
yang sesungguhnya merupakan kekuataan masyarakat di daerah-daerah sebagai
perekat kebersamaan. Menghidupkan budaya lokal sama artinya dengan
menghidupkan kembali identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur
yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan (Piliang, 2004: 279).
Tradisi lisan mempunyai peluang bertahan, berkembang atau bisa juga
punah. Kepunahan itu disebabkan terlalu lama tidak diingat oleh masyarakat dan
tidak pernah diperdengarkan lagi (Sukarman, 2009: 13). Menurut Ali (2000:
15-16), kepunahan tradisi lisan bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain, yaitu:
(1) dampak keberhasilan pembangunan diiringi merambahnya media pandang dengar sehingga membuat anak-anak melupakan tradisi lisan; (2) tidak ada alih cerita dan penutur generasi tua banyak yang meninggal dunia dan generasi muda enggan mewarisi tradisi karena dianggap kuno; dan (3) kurangnya kesadaraan dari pemerintah maupun masyarakat akan pentingnya fungsi tradisi lisan sebagai sarana pendidikan, yakni sebagai sarana penyampaian nilai luhur bangsa.
Kepunahan tradisi terjadi karena faktor internal maupun faktor eksternal yang
terjadi di dalam masyarakat tersebut. Akibat dari situasi dan kondisi kelangkaan
tradisi tersebut membuat manusia tidak dapat memuaskan semua kebutuhan
subjektifnya. Kebutuhan subjektif meliputi kebutuhan keadaan alam, agama dan
kepercayaan, dan adat istiadat. Manusia menginterpretasikan pemenuhan
kebutuhan dan keinginan untuk mencapai kebahagiaan dengan berusaha
menyelaraskan dan menyeimbangkan dua sisi kehidupan duniawi dan religi.
29
2.3 Landasan Teori
Pada hakikatnya teori digunakan untuk menjelaskan mengapa sesuatu
terjadi yang berlaku dalam kenyataan, teori melaksanakan fungsi ganda, yaitu
pertama, menjelaskan fakta yang sudah diketahui, dan kedua, membuka celah
pandangan baru untuk menemukan fakta baru. Apabila kejadian yang sama
ditafsirkan dalam konteks teoretis berbeda, akan muncul jenis-jenis fakta yang
berlainan pula (Kaplan, 2002: 15). Teori sebagai panduan menganalisis dan
mengembangkan pikiran dalam upaya menjawab masalah yang dikaji. Dalam
penelitian ini digunakan sejumlah teori, yaitu (a) teori genealogi, kekuasaan
dan pengetahuan, (b) teori praktik sosial, dan (c) teori semiotika.
2.3.1 Teori Genealogi, Kekuasaan dan Pengetahuan
Teori genealogi, kekuasaan dan pengetahuan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori Michael Foucault, yang lahir di Poitiers Prancis, 15
Oktober 1926 dan meninggal 25 Juni 1984 (Foucault, 2002: 5-6). Foucault
adalah figur sentral dalam filsafat Prancis abad ke-20 yang ide-idenya sering
diasosiasikan dengan aliran pascastruktural. Pemikirannya amat memengaruhi
perkembangan kajian budaya kontemporer. Pemikiran Michael Foucault kental
dipengaruhi Nietzsche. Michael Foucault berikhtiar untuk mengidentifikasikan
kondisi-kondisi historis dan sejumlah aturan yang berkontribusi dalam
pembentukan pelbagai wacana sekaligus bekerjanya model kekuasaan
pengetahuan dalam praktik sosial (Barker, 2014: 101).
Language, Foucault mengembangkan pemikirannya pada pendekatan arkeologi
(Ritzer, 2010: 67). Michael Foucault juga mengembangkan kajiannya ke arah
genealogi (sisilah) kekuasaan (Edkins-Williams, 2010: 211). Dalam kajian
budaya, konsep genealogi mendapatkan makna yang khas bila dikaitkan dengan
karya Foucault yang menggunakan konsep ini untuk meneliti relasi kekuasaan
serta kesinambungan (Barker, 2014: 106).
Genealogi Michael Foucault memfokuskan asal usul perkembangan
rezim-rezim kekuasaan dan ilmu pengetahuan (Ritzer, 2010: 78). Genealogi
Michael Foucault memaparkan bagaimana klaim-klaim kebenaran mempunyai
keterkaitan histories dengan akar-akar institusional tertentu dalam sejarah.
Genealogi Michael Foucault diilhami oleh Frederich Nietzche dalam karya
genealogi of morals (1887). Genealogi berhubungan dengan sejarah. Dalam
genealogi Foucault mengungkapkan perhatiannya pada hubungan timbal balik
antara sistem kebenaran dan mekanisme kuasa. Genealogi tidak mencari asal usul
melainkan menemukan awal-awal dari pembentukan diskursus, menganalisis
pluralitas sejarah kemunculan mereka secara faktual, dan melepaskan diri dari
ilusi identitas (Hadiyanta, 1997: 14).
Genealogi berkaitan dengan keturunan dan kesinambungan serta
ketidaksinambungan historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam
kondisi-kondisi historis yang spesifik dan tereduksi (Barker, 2005: 512).
Lebih lanjut Foucault (1984: 76) menyatakan bahwa:
31
Genealogi Foucault berusaha memperlihatkan bagaimana relasi-relasi kekuasaan
dan pengetahuan berjalan untuk menguasai dan mengontrol. Pada tahap ini
Foucault berusaha mendudukkan antara kekuasaan dan diskursus. Pengetahuan
dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan pengetahuan
akan menimbulkan efek kekuasaan (Eriyanto, 2003: 65).
Michael Foucault juga berbicara tentang relasi antara pengetahuan dan
kekuasaan. Dalam konteks ini, pandangan Michael Foucault (dalam Sarup, 2003),
kekuasaan dapat menciptakan realitas serta objek dan ritual kebenaraan yang
dijunjung tinggi, dibekukan, dan diwariskan dalam relasi kekuasaan. Karena itu
kemudian praktik kekuasaan dapat melahirkan objek pengetahuan baru yang
menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan.
Lebih detil Michael Foucault mengungkapkan berikut ini.
Kekuasaan menciptakan realitas dan kekuasaan menciptakan domain objek dan ritual kebenaran. Pelaksanaan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan objek pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan kekuasaan tidak mungkin dijalankan, pengetahuan tidak mungkin tidak melahirkan kekuasaan (dalam Sarup, 2003: 124--128).
Menurut Foucault kekuasaan terartikulasi ke dalam pengetahuan dan sebaliknya
pengetahuan terartikulasi ke dalam kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan tidak
hanya punya relasi dengan pengetahuan, melainkan kekuasaan terdiri atas
pengetahuan, sebagaimana halnya pengetahuan juga terdiri atas kekuasaan (dalam
Suryawan, 2010: 121).
Bagi Foucault, kekuasaan bukan hubungan subjektif searah, kemampuan
seseorang atau kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain.
perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. Menurut Haryomoko
(2002: 8--21) sebagai berikut ini.
Secara umum harus diakui bahwa kekuasaan lebih beroperasi daripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan kelas dominan, tetapi akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat yang menunjukkan posisi mereka yang didominasi. Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa dilokalisasi pada tempat tertentu menjadi milik seseorang. Kekuasaan itu ada di mana-di mana menyebar dalam hubungan-hubungan masyarakat.
Bertens (2014: 311--314) menyimpulkan, teorities kuasa Michael Foucault
dapat dibagi dalam empat perspektif penting, sebagai berikut.
Pertama, kuasa bukanlah milik melainkan strategi. Kuasa tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Menurut Foucault strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam, malah memungkinkan semua itu. Ketiga, kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Keempat, kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif. Kuasa tidak menghancurkan tetapi menghasilkan sesuatu. Kuasa itu produktif, kuasa memungkinkan segala sesuatu. Menolak kuasa termasuk strategi kuasa itu sendiri.
Menurut Foucault (dalam Suryawan, 2010: 121) kuasa tidak bersifat subjektif.
Inilah salah satu alasan mengapa Michael Foucault menolak Marxistis; kuasa
tidak dapat dilihat sebagai suatu proses dialektis di mana si A menguasai si B dan
kemudian (sesudah beberapa syarat telah terpenuhi) si B menguasai si A. Kuasa
juga tidak bekerja dengan negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan
produktif. Pandangan Foucault (dalam Bartens, 2014: 313) sebagai berikut ini.
Kita harus berhenti melukiskan akibat-akibat kuasa dengan cara negatif: seolah-olah kuasa ‘meniadakan’, ‘merepresi’, ‘mensensor’, ‘mengabstrakkan’,‘menyelubungi’,‘menyembunyikan’.Pada kenyataannya
33
lingkup objek dan ritus-ritus kebenaran. Baik manusia perorangan maupun pengetahuan yang dapat diperoleh daripadanya, termasuk produksi ini.
Menurut Foucault (2002a: 23), pengetahuan selalu berkaitan dengan
kekuasaan. Keduanya saling menguatkan satu sama lain, misalnya berbekal
pengetahuan psikologi seseorang mempunyai kekuasaan untuk menghakimi
kondisi mental orang lain. Pengetahuan terbentuk di dalam praktik kekuasaan
dan membangun perkembangan, perbaikan dan profilerasi teknik baru
kekuasaan (Barker, 2004: 83).
Bahasa dan praktik mengacu kepada produksi pengetahuan bahasa yang
memberikan makna kepada objek matrial dan praktik sosial. Diskursus
mengkontruksikan, mendefinisikan, dan menghasilkan objek pengetahuan
dengan cara yang dapat dipahami sambil mengesampingkan bentuk penalaran
lain sebagai suatu yang tidak dapat dipahami (Barker, 2004: 81). Foucault
(2002: 9) menegaskan bahwa diskursus adalah cara menghasilkan
pengetahuan, berserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas
yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan
praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini.
Teori Genealogi, kekuasaan dan pengetahuan dipergunakan dalam
penelitian ini untuk melihat kaitan antara mitologi, silsilah atau sejarah dan proses
menjadibalian bawo terkait dengan pengetahuanbalian bawo mempunyai punya
efek kuasa. Balian bawo memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaan.
Pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Relasi tercipta antara
balian bawodengan komunitas Dayak Lawangan. Tanpa pengetahuannya,balian
pengetahuan yang dilakukanbalian bawo melandasi kekuasaannya karena setiap
kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan. Eksistensi
balian bawo menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang
menimbulkan efek kuasa. Pengetahuan dan kekuasaan mempunyai hubungan
timbal balik.
2.3.2 Teori Praktik Sosial
Teori praktik sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
Pierre-Felix Bourdieu, seorang pemikir Prancis terkemuka yang lahir di Denguin
Distrik Pyrenees-Altantigues barat daya Prancis, 1 Agustus 1930 dan meninggal
di rumah sakit Saint-Antoine Paris, 23 Januari 2002. Dalam teori praktik sosial,
Bourdieu merumuskan bahwa praktik adalah gabungan habitus, modal, dan ranah
(Harker dkk, 2009).
Teori praktik sosial ini dikembangkan untuk memahami kompleksitas
realitas sosial. Dalam teori ini mengajukan analisis dialektis atas kehidupan
praktis dan menawarkan kesanggupan untuk menunjukkan hubungan saling
memengaruhi antara praktik personal dan praktik sosial eksternal. Praktik sosial
merupakan akumulasi proses habitus manusia, pola pikir maupun tingkah laku.
Bourdieu memahami praktik-praktik sosial sebagai kegiatan reflektif dan
reproduktif, baik dalam hal relasi-relasi sosial yang objektif maupun
interpretasi-interpretasi subjektif (dalam Soeriadiredja, 2012: 8).
Pierre Bourdieu (dalam Harker, 2009: 13) menyatakan rumus generatif,
35
yang memerantarai individu dan realitas sosial. Habitus juga merupakan struktur
subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu
lain dalam jaringan struktur objektif yang ada di dalam ruang sosial. Habitus
diindikasikan sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari
benda-benda dalam realitas sosial.
Menurut Takwin (2003: 114), skemahabitustersebut membentuk struktur
kognitif yang memberi kerangka acuan sebuah tindakan kepada individu di dalam
setiap keseharian mereka. Habitusjuga dapat dinyatakan ketidaksadaran kultural,
yakni pengaruh sejarah yang disadari dianggap alamiah. Pembelajaran yang
dilakukan terkadang tidak disadari secara halus dan tampil sebagai sesuatu yang
wajar, sehingga akan kelihatan alamiah atau berasal dari sananya.
Habitus (Jenkins, 2004: 109) merupakan hasil pembelajaran melalui
pengasuhan aktivitas bermain, belajar, dan pendidikan masyarakat di dalam arti
luas. Habitus juga mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai
dunia yang memberikan kontribusi tersendiri pada realitas dunia itu.Habitus juga
berubah-ubah yang mengupayakan adanya kompromi dan kondisi material. Hal
ini akan memunculkan kontribusi baru untuk membangun suatu prinsip baru
untuk memunculkan sebuah praktik di dalam individu.
Sementara itu, modal budaya (cultural capital) menurut Bourdieu (dalam
Herwanto, 2005: 181-182), ada tiga modal yang berperan dalam masyarakat yang
menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial. Pertama, modal
ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa
kepentingannya sendiri. Ketiga, modal budaya yang memiliki beberapa dimensi
seperti: (a) pengetahuan objektif tentang seni dan budaya; (b) cita rasa budaya
(cultural tastes) dan preferensi; (c) kualifikasi-kualifikasi formal; (d)
kemampuan-kemampuan budayawi (cultural skills) dan pengetahuan praktis (savoir-faireatau
know-how seperti kemampuan memainkan alat musik), serta (e) kemampuan
untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan yang buruk.
Modal budaya sebagai dimensi yang lebih luas dari habitus, sekaligus
menunjukkan lingkungan sosial pemiliknya dan modal budaya yang dapat
berubah-ubah. Modul budaya terbentuk selama bertahun-tahun hingga
terinternalisasikan dalam diri seseorang (Soeriadiredja, 2012: 10). Komunitas
Dayak Lawangan sebagai orang-orang yang memiliki habitus-nya sendiri dan
modal budaya, bergerak secara aktif di dalam ranah-ranah, sehingga
menghasilkan praktik sosial. Dalam arenanya komunitas Dayak Lawangan, hal
ini terjadi di dalam arena konflik yang melibatkan modal budaya, peran
balian bawodan generasi mudanya.
Teori Praktik sosial, pertama digunakan untuk mengamati tentang struktur
objektif Dayak Lawangan yang terinternalisasi oleh ritual balian bawo
terhubung dengan keyakinan mereka. Kedua, digunakan untuk mencari struktur
subjektif peran di dalam internal komunitas Dayak Lawangan. Ketiga, untuk
menemukan pola-pola praktik sosial yang diyakini orang Dayak Lawangan untuk
memproduksi struktur objektif maupun struktur subjektif yang bermunculan di
sekitar mereka. Keempat, bagaimana balian bawo dipakai sebagai bagian dari
37
kebutuhan subjektif.
2.3.3 Teori Semiotika
Semiotika mempunyai satu pandangan global bahwa apabila di dalam
setiap praktik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan keagaamaan
digunakan tanda-tanda dalam berbagai bentuk, maka semua praktik
pertandaan (signifying practice) dapat dibaca melalui semiotika (Piliang,
2012: 249). Menurut Hoed (2011: 3), semiotika adalah ilmu yang mengkaji
tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan
dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberikan makna.
Pendekatan semiotika atau semiologi didasarkan pada asumsi bahwa
tindakan manusia atau hal yang dihasilkannya menunjukkan makna asalkan
tindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi dan
pembedaan yang mendasarinya dan yang memungkinkan adanya makna tersebut.
Di mana ada tanda di situlah ada sistem. Hal inilah yang sama-sama ada dalam
berbagai kegiatan yang menjadi penanda (Culler, 1996: 74).
Elemen dasar semiotika adalah tanda (penanda dan petanda), aksi tanda
(sintagma dan sistem), tingkatan tanda (denotasi dan konotasi), serta relasi tanda
(metafora dan metonimi) (Piliang, 2012: 301). Semiotika terkait dengan
permasalahan penelitian ini, khususnya tentang eksistensi balian bawo Dayak
Lawangan di Dusun Tengah. Dalam kaitan ini, pendekatan semiotika terhadap
balian bawo meliputi analisis penanda, untuk mengindentifikasi pelibat balian
Ritual Balian bawo merupakan penanda bentuk atau ekspresi dari
komunitas Dayak Lawangan, sedangkan petanda-nya menjelaskan konsep
ideologi dan makna ritual balian bawo bagi mereka. Balian bawo tidak bisa
dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya
dengan tanda-tanda yang lain terkait masyarakat pendukungnya. Analisis
tanda berdasarkan sistem kepercayaan mereka.
Roland Barthes (2012: 90) mengembangkan dua tingkatan petanda
(stagered systems), yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah
tingkat petanda yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda,
atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan yang
ekplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi, dalam hal ini adalah makna
yang tampak (Piliang, 2012: 304). Apa saja yang terkandung secara eksplisit
secara pasti dan langsung dari kelangkaan balian bawo. Apakah kelangkaan
balian bawo akibat keenganan generasi mudanya untuk terlibat ataukah
faktor internal dan faktor eksternal di dalam komunitas mereka.
Metode analisis teks semiotika interpretatif pada dasarnya beroperasi
pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara individual, misalnya
jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda, dan makna tanda secara individual.
Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi, yaitu kumpulan
tanda-tanda yang membentuk apa yang disebut sebagai teks (Piliang, 2012: 313).
Tipe-tipe teks yang paling jelas adalah kalimat-kalimat yang diucapkan penutur
balian bawo atau unsur-unsur atribut balian bawo yang digunakannya.
39
dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna. Sistem
budaya sebagai sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya
manusia.
Ketika teks dan konteks dilihat dalam dimensi sosialnya, maka diperlukan
analisis yang menghubungkan teks dengan struktur mikro, yaitu mitos dan
ideologinya. Pada tataran analisis makronya menyangkut pengalaman langsung
dalam kehidupan keseharian komunitas Dayak Lawangan berhadapan dengan
ideologi religi balian bawo dan tradisi maupun sistem pewarisannya. Jadi,
eksistensi balian bawo adalah sebuah teks dan konteks, bagaimana relasi
pranata sosial budaya, faktor dan implikasi yang terdapat dalambalian bawobagi
komunitas Dayak Lawangan.
2.3 Model Penelitian
Model penelitian Eksistensi Balian Bawo Dayak Lawangan di Dusun
Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah tampak dalam gambar 2.1 Model
Gambar 2.1 Model Penelitian
Sumber: Konstruksi Ervantia, 2013
Keterangan:
: Hubungan memengaruhi secara langsung
Model penelitian pada gambar di atas mengimplementasikan globalisasi
merambah di segala segi kehidupan. Globalisasi secara langsung maupun tidak
langsung akan menggeser tata nilai yang lama dengan tata nilai yang baru.
Pengaruh modernisasi, kapitalisme, teknologi, dan rasionalitas memberikan
pengaruh yang intens bagi masyarakat. Semakin intens masyarakat lokal
mentrasformasi kultural, dapat berdampak pada identitas, nilai, dan tradisi yang
41
akan memengaruhi dan mengubah paradigma berpikir, bersikap, motivasi maupun
tindakan. Globalisasi dapat memperteguh, memperkuat kebudayaan lokal, tetapi
juga dapat menihilkan kebudayaan lokal tersebut.
Di satu sisi kebudayaan lokal tetap mempertahankan kebudayaan sebagai
bagian kosmologi, sistem ritual, dan kepercayaan magis. Keberadaanbalian bawo
belakangan ini semakin langka tereduksi oleh modernisasi. Dalam kehidupan
masyarakat etnis Dayak Lawangan di Dusun Tengah setiap fase siklus hidup
komunitas mereka tidak bisa dilepaskan dari balian bawo. Dalam Praktiknya,
balian bawodominan dalam segala aspek kehidupan mereka. Pergulatan tersebut
menjadi problematika bagi eksistensi balian bawo Dayak Lawangan di Dusun
Tengah. Oleh sebab itu, diperlukaan perlindungan dan pelestarian demi
kelangsungan sebuah komunitas Dayak Lawangan sebagai pemilik kebudayaan
balian bawo.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penting eksplorasi eksistensi
balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Hal ini akan bermanfaat
bagi keberlangsungan kehidupan Dayak Lawangan. Tradisi sebagai
kekuataan kultural merupakan pembentukan peradabaan, jangan sampai
balian bawohanya menjadi sekadar cerita yang pernah ada dan tidak dikenal
oleh generasi yang akan datang. Penelitian ini harus segera dilakukan karena
suatu tradisi budaya sebagai bentuk kebudayaan untuk dimanfaatkan,