4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Administrasi wilayah
Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak pada 10 LU– 40 LS dan 102,250 – 108,410 BT, dengan luas mencapai 87.017,42 km2, atau 8.701.742 ha yang terdiri dari daratan dan perairan baik perairan umum maupun perairan laut. Luas perairan umum mencapai 2.705.000 ha dan luas laut mencapai ± 47.000 km2
• Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi
dengan panjang garis pantai ± 570,14 km. Secara administrasi Provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan :
• Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Bangka Belitung • Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung • Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu
Sebagai suatu pemerintahan, Provinsi Sumatera Selatan terbagi menjadi beberapa kabupaten yaitu Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Lahat, Empat Lawang, Muara Enim, Ogan Hilir, Ogan Komering Hilir, Komering Ulu, Komering Ulu Timur, Komering Ulu Selatan, kota Lubuk Linggau, Pagar Alam, Palembang dan kota Prabumulih. Provinsi Sumatera Selatan memiliki potensi produksi berdasarkan jenis perairan yang terbagi atas perairan laut, umum dan tambak. Perairan laut terbagi atas pantai (± 570,14 km) dengan potensi produksi 152.280 ton/tahun dan perairan laut (± 47,000 km2
Berdasarkan hasil analisis, luas perairan Provinsi Sumatera Selatan sewaktu Bangka Belitung masih termasuk wilayah Sumatera Selatan adalah seluas 40.183,12 km
) dengan potensi produksi lebih dari 38.653 ton/tahun. Perairan umum (± 2.505.000 ha) dengan potensi produksi 50 kg/ha/tahun dan perairan tambak (> 200.000 ha) dengan potensi produksi 500 kg/ha/tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan 2009).
2, setelah Bangka Belitung menjadi Provinsi baru, luas
perairan Provinsi Sumatera Selatan tinggal 8.105,97km2 dengan panjang garis pantai 526,57 km. Penurunan ini berpengaruh terhadap produksi dan pengelolaan perikanan sehingga diperlukan suatu rancang bangun yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan.
4.2 Perairan Laut Sumatera Selatan
Secara geografis, perairan laut Provinsi Sumatera Selatan termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Cina Selatan, Selat Karimata dan Laut Natuna memiliki arti strategis baik ditinjau dari sumberdaya yang dikandung maupun dari segi lalu lintas pelayaran serta memiliki wilayah perbatasan dengan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perbatasan melalui berbagai usaha perikanan selain dapat meningkatkan aspek kesejahteraan juga keamanan. Dengan aspek kesejahteraan, dimaksudkan sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya alam untuk meningkatkan kemakmuran atau kesejahteraan, sedangkan aspek keamanan adalah meningkatkan upaya pengamanan wilayah perairan perbatasan tersebut.
Menurut Cholik et al. 1995, perairan Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dengan rata-rata kedalaman perairan 70 m, pada dasar relatif rata dan produktivitas perairan sangat dipengaruhi oleh musim. Sekitar sepertiga luas perairan termasuk ke dalam perairan teritorial dan ZEE Indonesia. Luas perairan Laut Cina Selatan yang masuk wilayah Indonesia diestimasi sekitar 595.000 km2
Kondisi obyektif menunjukkan tingginya tingkat eksploitasi di perairan Laut Cina Selatan baik oleh armada Indonesia maupun asing membawa konsekwensi turunnya sediaan ikan disertai penurunan hasil tangkapan dan perubahan struktur populasi. Oleh karena itu, pengkajian stok ikan melalui estimasi tentang jumlah atau kelimpahan (abundance) sumberdaya, estimasi laju pengurangan stok yang disebabkan oleh penangkapan dan sebab-sebab lain, serta indikator perubahan stok ikan sangat penting diketahui. Di pihak lain, informasi tentang status sumberdaya ini digunakan oleh para penentu kebijakan dan para pengelola perikanan untuk menentukan sejumlah tindakan yang diperlukan dalam meningkatkan pemanfaatan yang terbaik atas sumberdaya ikan.
dengan iklim tropis dan curah hujan yang tinggi, maka perairan ini memiliki ekosistem dengan keanekaragaman jenis ikan yang tinggi. Sumberdaya ikan yang melimpah terutama kelompok ikan pelagis kecil, demersal, dan udang penaeid.
(1) Sumberdaya perikanan pelagis kecil
Eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan berkembang sejak tahun 1970-an, di mana penangkapan ikan banyak menggunakan gill net dengan trip harian (one day fishing) terutama oleh nelayan di Kalimantan
Barat. Penggunaan pukat cincin (purse seine) berkembang sejak tahun 1986 oleh nelayan yang berpangkalan di Pontianak dan Pemangkat. Dalam perkembangan, banyak kapal pukat cincin dari Pekalongan (Jawa Tengah) yang menangkap ikan pelagis kecil di perairan Laut Cina Selatan bahkan sampai dengan di daerah Natuna terutama pada musim Tenggara (Sadhotomo and Potier, 1995).
Penghitungan nilai potensi lestari (maximum sustainable yield) berdasarkan pada data terbaru (tahun 2002 sampai dengan 2004) belum dapat ditentukan. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan yang bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2001) perairan Laut Cina Selatan yang memiliki luas perairan sekitar 550.000 km2
(2) Sumberdaya ikan demersal
mempunyai potensi sumberdaya ikan pelagis kecil 621.500 ton dengan tingkat pemanfaatan sekitar 33% dari potensi lestari.
Hasil tangkapan ikan pelagis kecil neritik dan kostal dengan alat tangkap bagan di perairan Bangka-Belitung didominasi oleh ikan teri (Stolephorus spp.) dan cumi-cumi (Loligo spp.). Sementara itu, hasil tangkapan payang didominasi oleh ikan siro (Amblygaster sirm) dan tembang (Sardinella gibbosa). Hasil tangkapan pancing di sekitar Tanjung Pandan, Belitung didominasi oleh selar (Selar spp. dan Atule mate) dan banyar (Rastrelliger kanagurta).
Daerah penyebaran ikan pelagis kecil oseanik di perairan Laut Cina Selatan meliputi perairan Selat Karimata, perairan Barat Pemangkat dan sekitar Kepulauan Natuna. Perikanan bagan di Bangka terdapat di sepanjang pantai Utara seperti di Sungai Liat, Koba dan Pangkal Pinang, serta sebelah Barat Belitung. Daerah penangkapan ikan dengan payang terdapat di perairan Utara Bangka (kira-kira 5 sampai dengan 10 mil dari pantai), Pulau Tujuh dan Pulau Kelasa di sebelah Timur pada kedalaman 25 m.
Secara geografis, dimaksud dengan perairan Laut Cina Selatan dalam konteks sumberdaya ikan demersal terletak pada posisi geografis antara 01°40’00” LU–03°00’00” LS dan 104°30’00”–110°00’00” BT. Data dan informasi tentang sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan pada periode kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Republik Federasi Jerman (GTZ) antara tahun 1975 sampai dengan 1978 dapat
dikatakan merupakan data awal (benchmark) yang dapat digunakan sebagai salah satu pembanding bagi hasil-hasil penelitian periode sesudah. Setelah diberlakukan Keppres.39/80 tentang pelarangan trawl, penelitian sumberdaya ikan demersal dilakukan secara parsial dan tidak berkesinambungan. Pelaksanaan lebih dititikberatkan di tempat-tempat pendaratan ikan terpilih di Laut Cina Selatan.
Tingginya tingkat pemanfaaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan tampak dari kecenderungan menurunnya angka kepadatan stok sebagai hasil dari survei trawl di Laut Cina Selatan selama beberapa tahun. Survei pada bulan Agustus sampai dengan September 1975 diperoleh kepadatan stok 2,36 ton km-2 diikuti dengan penurunan pada tahun 1978 menjadi 1,8 ton km-2 dan seterusnya pada bulan Agustus 2001 diperoleh nilai 1,04 ton km-2. Survei trawl dengan tipe standar (high opening trawl/Thailand trawl) pada bulan Juni sampai dengan Juli 2005 diperoleh nilai kepadatan stok 1,70 ton km-2 dengan standing stock or biomass 487.000 ton. Mengacu pada luas daerah penangkapan ikan demersal di Laut Cina Selatan seluas 558.000 km2
Perubahan tersebut diduga sebagai akibat ada perubahan kondisi oseanografis perairan yang secara langsung mempengaruhi perilaku pengelompokkan ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan. Perubahan musim tersebut berlangsung secara reguler mengikuti pola pergerakkan matahari yang selanjutnya menyebabkan timbul 2 puncak musim (monsoon) yaitu musim Timur dan Barat. Kegiatan survei pada tahun 1975 dilakukan pada bulan Agustus atau September, sedangkan tahun 1978 dan 2005 dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Juli.
(Widodo et al. 1998), maka diperoleh nilai potensi lestari 474.300 ton. Dibandingkan dengan potensi tahun 2001 yang besar 334.800 ton (Departemen Kelautan dan Perikanan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2001), maka mengalami peningkatan sekitar 41,6%.
(3) Sumberdaya perikanan udang
Penghapusan trawl di Laut Cina Selatan tampak tidak banyak memberikan dampak penurunan produksi udang, sebaliknya malah cenderung meningkat terutama sejak tahun 1997 sebagaimana tampak di perairan Barat Kalimantan. Peningkatan tersebut terutama untuk jenis udang krosok (dalam statistik perikanan dimasukan kategori udang lain).
Peningkatan catch per unit of effort didominasi oleh udang yang berukuran kecil atau krosok (dalam statistik perikanan termasuk kategori udang lain) dan sebagian udang jerbung dan dogol. Peningkatan udang krosok diikuti oleh menurunnya jumlah unit alat tangkap, antara lain jermal, sero, serok, dan perangkap lain yang sebagian besar dioperasikan secara pasif dan mengandalkan proses pasang surut. Sementara itu, jumlah unit gill net, trammel net, dan pukat pantai tahun 1991 sampai dengan 2000 cenderung mendatar atau relatif tetap dari tahun ke tahun.
4.3 Perikanan tangkap
Perairan Sumatera Selatan memiliki variasi kondisi perairan yang berkaitan dengan potensi keberadaan sumberdaya ikan di wilayah perairan Provinsi Sumatera Selatan. Kelimpahan sumberdaya perikanan Sumatera Selatan, dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dalam hal ini adalah jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima diperairan Provinsi Sumatera Selatan cukup tinggi seperti wilayah tropis lainnya. Sehingga faktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan jasad renik yang merupakan salah satu faktor penting produktivitas perairan salah satu jenis perairan yang kaya akan jasad renik adalah perairan pantai. Menurut Nybaken (1988) perairan pantai merupakan daerah yang memiliki tingkat kesuburan tinggi yang mendukung terhadap kelimpahan sumberdaya ikan.
Kondisi perairan yang memiliki pengaruh terhadap kegiatan perikanan, khususnya tangkap adalah panjang pantai. Provinsi Sumatera Selatan memiliki panjang garis pantai mencapai 570,14 km yang tersebar pada 2 wilayah kabupaten/kota di Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir 275 km dan Banyuasin 295,14 km ( Dinas Kelautan dan Perikanan Proivinsi Sumatera Selatan 2009 ).
4.3.1 Nelayan
Nelayan merupakan orang-orang yang sehari-harinya bekerja menangkap Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan dikategorikan nelayan meskipun tidak melakukan
aktivitas penangkapan (Ditjen Perikanan Tangkap 2002). Pengertian nelayan disini ditujukan untuk orang-orang yang menangkap ikan di wilayah perairan laut. Berdasarkan data statistik tahun 2001-2007 jumlah rumah tangga perikanan Provinsi Sumatera Selatan secara umum mengalami peningkatan dari tahun 2001-2007 sebesar 3941 menjadi 7159. Berdasarkan kategori usaha terlihat bahwa jenis kapal motor memiliki jumlah RTP tertinggi dibandingkan dengan RTP lainnya. Pada kategori kapal motor terlihat juga bahwa kapal motor < 5GT memiliki jumlah RTP terbanyak pada tahun 2007 yaitu 3957. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan masih berada di bawah garis kemiskinan, hal ini ditunjukkan oleh data RTP yang diperoleh. Beberapa aspek yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut adalah aspek material, pendidikan dan status sosial yag dipengaruhi oleh perubahan kondisi ekonomi. Jumlah nelayan perikanan laut di Provinsi Sumatera Selatan ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah nelayan berdasarkan RTP menurut kategori usaha di Provinsi
Sumatera Selatan
Kategori Usaha Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Perahu tanpa motor Kecil 371 380 413 465 508 550 580 Sedang 312 315 664 744 813 882 1050 Besar 185 132 161 161 176 191 203 Motor tempel 83 86 221 225 247 268 330 Kapal motor < 5 GT 2405 2412 2495 2718 3073 3427 3957 5 - 10 GT 407 417 389 420 472 524 604 10 - 20 GT 46 52 214 230 263 295 307 20 - 30 GT 132 135 45 47 61 74 110 30 - 50 GT 0 0 12 12 14 16 18 Jumlah 3941 3929 4614 5022 5624.5 6227 7159
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Jumlah nelayan di suatu daerah biasanya selalu bertambah. Hal ini disebabkan oleh adanya kebiasaan dikalangan nelayan untuk mempekerjakan anak mereka dengan cara mengajak pergi melaut. Faktor keturunan diduga merupakan faktor utama yang sangat sulit dikendalikan disamping faktor lainnya seperti kedatangan nelayan dari daerah lain ataupun orang baru yang beralih profesi menjadi nelayan juga dapat menambah jumlah nelayan untuk suatu daerah dan waktu tertentu. Apabila dilihat dari Tabel 5 maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar nelayan di Provinsi Sumatera Selatan adalah nelayan kecil. Hal ini dapat dilihat pada jumlah perahu tanpa motor dan perahu dengan motor tempel yang lebih dominan dibandingkan yang lainnya. Tabel 5 juga
menunjukkan bahwa armada perikanan di Provinsi Sumatera Selatan masih tergolong dalam armada perikanan skala kecil.
Gambar 10 Kecenderungan jumlah nelayan berdasarkan RTP di Provinsi Sumatera Selatan.
Sepanjang tahun 2001 hingga tahun 2007, jumlah RTP mengalami kenaikan secara perlahan-lahan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap masih menjadi salah satu andalan bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan penghasilan. Meskipun demikian, peningkatan jumlah nelayan yang tidak disertai dengan manajemen pengelolaan dan pengawasan yang baik justru mulai berdampak negatif terhadap produktivitas dan kelestarian sumberdaya ikan.
4.3.2 Kapal penangkap ikan
Armada perahu/kapal yang digunakan untuk menangkap ikan di Provinsi Sumatera Selatan terdiri atas perahu (tanpa motor maupun dengan motor) dan kapal (< 30 GT dan > 30 GT). Kategori perahu/kapal yang paling banyak digunakan di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2007 adalah kapal dengan tonase < 30 GT sebanyak 4797 unit. Selanjutnya perahu/kapal tanpa motor merupakan jumlah armada kedua yang terbanyak yaitu 1769 unit. Secara umum jumlah armada perikanan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan pada kurun waktu tahun 2001-2007 mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2001 sebanyak 4030 unit dan pada tahun 2007 bertambah menjadi 6864 unit. Peningkatan armada perahu/kapal tersebut diharapkan dapat lebih meningkatkan penghasilan
nelayan apabila didukung dengan peningkatan alat tangkap dan keahlian nelayan dalam kegiatan penangkapan. Data jumlah armada penangkapan yang beroperasi di wilayah Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah perahu/kapal perikanan menurut jenis atau ukuran perahu di Provinsi Sumatera Selatan sejak tahun 2001-2007
Kategori Perahu/kapal Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Perahu : a. Tanpa Motor 903 827 1240 1370 1497 268 1769 b. Motor Tempel 100 86 221 225 247 268 279 Kapal Motor : a. < 30 GT 3027 3016 3362 3634 3977 4320 4797 b. > 30 GT - - 12 12 14 16 19 Jumlah 4030 3929 4835 5241 5734 4872 6864
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan jenis kapal yang beroperasi di Sumatera Selatan terdiri dari atas kapal yang mengoperasikan gill-net, rawai, perangkap, trammelnet dan bagan. Banyaknya armada yang melakukan kegiatan operasi di kawasan ini didasarkan pada sumberdaya yang masih tersedia di sekitar perairan Sumatera Selatan.
Kapal yang digunakan oleh nelayan memiliki karakteristik dan ukuran tertentu tergantung pada jenis alat tangkap dan ikan tujuan operasi penangkapan. Adapun karakteristik kapal/perahu yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Kapal/perahu Gill-Net
Ukuran kapal (P x L x D) yaitu 9,5 m x 2,1 m x 0,8 m. Tenaga penggerak yang digunakan yaitu 38 PK (ukuran mesin); Suzuki, Yamaha dan Dongfeng (merek mesin); dan solar (bahan bakar). Alat tangkap yang digunakan adalah gillnet dengan dimensi alat tangkap (P x L) yaitu 23 m x 3 m sejumlah 70 piece.
2. Kapal/perahu Rawai
Ukuran kapal (P x L x D) yaitu: 7 m x 1,4 m x 0,6 m. Tenaga penggerak yang digunakan yaitu 40 PK (ukuran mesin), Yamaha (merek mesin) dan solar (bahan bakar). Alat tangkap yang digunakan adalah rawai sejumlah 5000 mata pancing dengan jarak antara mata pancing 4 m.
3. Kapal/perahu Trammel-net
Ukuran kapal (P x L x D) yaitu 10 m x 2,2 m x 0,8 m. Tenaga penggerak yang digunakan yaitu 45 PK (ukuran mesin), suzuki (merek mesin) dan solar (bahan bakar). Alat tangkap yang digunakan adalah jaring dengan dimensi (P x L) : 20 m x 1,5 m sejumlah 100 piece.
4.3.3 Alat tangkap
Alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di perairan Provinsi Sumatera Selatan, terdiri dari enam kelompok yaitu seine net, gillnet, lift net, rawai, trap, dan alat pengumpul kerang. Jumlah alat tangkap di perairan Sumatera Selatan pada tahun 2001-2007 mengalami peningkatan yaitu 4537 unit pada tahun 2001 dan 7801 pada tahun 2007. Peningkatan ini terjadi seiring dengan peningkatan jumlah armada dan volume penangkapan ikan di sekitar perairan Sumatera Selatan setelah berpisah dengan Provinsi Bangka Belitung. Peningkatan alat tangkap ini diharapkan dapat ikut serta meningkatkan jumlah penghasilan nelayan yang beroperasi di kawasan ini.
Jenis alat tangkap paling banyak digunakan oleh nelayan di sekitar Sumatera Selatan adalah jenis jaring insang (gill-net, trammel-net, jaring insang tetap dan jaring insang hanyut). Jenis jaring ini sangat populer digunakan sampai pada tahun 2007, hal ini disebabkan oleh jenis target spesies yang memungkinkan untuk ditangkap di sekitar perairan Sumatera Selatan adalah dengan menggunakan jenis alat tangkap ini. Hasil tangkapan dengan menggunakan alat tangkap sejenis jaring insang ini lebih banyak, namun juga tidak semua ikan tertangkap (yang kecil masih dapat lolos) sehingga dapat melakukan regenerasi populasi. Dengan begitu kondisi populasi ikan di kawasan ini masih dapat dimanfaatkan kembali (tidak habis dalam sekali penangkapan). Data jumlah alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Perkembangan jumlah alat tangkap perikanan laut (unit) menurut jenis alat tangkap di Provinsi Sumatera Selatan
No. Alat Tangkap Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1. Payang 98 139 179 179 208 236 258
2. Jaring insang hanyut 513 1008 408 422 434 446 480
3. Jaring insang tetap 196 202 825 854 822 789 696
4. Jaring insang lingkar 101 94 86 86 91 95 101
5. Jaring klitik 345 403 471 478 467 457 407
6. Trammel net 696 712 856 870 844 818 789
7. Bagan tancap 570 580 648 717 724 731 760
8. Serok 260 39 251 251 271 291 398
9. Jaring angkat lainnya 146 395 647 658 729 800 764
10. Pancing 777 751 1042 1064 1186 1308 1222
11. Sero 194 204 356 577 619 661 769
12. Jermal 234 238 244 244 265 285 293
13. Alat perangkap lainnya 535 802 411 688 742 795 736
14. Alat pengumpul kerang 106 15 282 295 173 51 128
Jumlah 4537 5581 6706 7383 7572 7762 7801
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Secara umum, seperti halnya yang terjadi pada perkembangan jumlah nelayan, jumlah alat tangkap pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti ditunjukkan pada Gambar 11. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada periode tahun 2001-2004 yaitu dari angka 4537 unit menjadi 7383 unit. Pada periode setelahnya tidak terlalu besar peningkatannya dimana pada tahun 2005 hingga 2007 naik dari jumlah alat tangkap sebesar 7572 unit menjadi 7801 unit. 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun J u m la h ( u n it )
Gambar 11 Perkembangan jumlah seluruh alat tangkap menurut jenis alat di Provinsi Sumatera Selatan.
4.3.4 Produksi perikanan tangkap
Produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan mengalami kenaikan dari tahun 2001-2007. Pada tahun 2001 jumlah produksi perikanan 46191,70 ton dan pada tahun 2007 menurun menjadi 36643,08ton. Produksi perikanan tangkap secara keseluruhan menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 8.
Secara umum terjadi kecenderungan peningkatan produksi perikanan tangkap sepanjang periode 2001-2004 (Gambar 12). Meskipun demikian, pada tahun 2005-2006, terjadi penurunan produksi bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini diakibatkan oleh karena adanya kenaikan harga BBM sehingga banyak kapal penangkapan yang tidak melakukan aktifitas-aktifitasnya, hal ini terlihat dari menurunnya jumlah trip penangkapan pada tahun 2004 sebanyak 1.023.260 trip menjadi 929.115 trip pada tahun 2006. Kemudian secara perlahan-lahan naik kembali pada tahun 2007 dengan produksi mencapai 36643,08 ton. Kenaikan bahan bakar sangat berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan karena bahan bakar merupakan komponen biaya terbesar yang di butuhkan dalam melaksanakan operasional penangkapan. Namun demikian, hal paling penting yang berdampak terhadap fluktuasi hasil tangkapan yang mengarah pada degradasi sumberdaya ikan adalah adanya target peningkatan produksi perikanan yang mengesampingkan aspek kelestariannya yang juga dibarengi dengan semakin tingginya permintaan terhadap ikan baik dari dalam maupun luar negeri.
Kualitas perairan yang semakin menurun dan peningkatan jumlah effort memberikan tekanan yang cukup berarti sehingga berdampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan. Produksi perikanan tangkap per jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan seperti yang di tunjukan pada Tabel 8 dan Gambar 12.
Tabel 8 Produksi perikanan tangkap per jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 Kategori Jenis Ikan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Demersal Sebelah 483.80 535.30 563.20 579.30 598.20 380.10 486.80 Peperek 1460.40 1572.60 1678.40 1727.30 1512.50 1133.90 1284.80 Manyung 3316.60 3706.80 3979.10 4481.80 2052.50 2464.30 2161.24 Gerot-gerot 1738.70 1860.00 2035.10 2095.00 1078.90 1375.50 1381.30 Merah 786.30 869.80 862.60 885.70 577.55 581.40 953.30 Kakap 1205.40 1357.40 1415.80 2003.20 2252.00 958.50 1036.60 Gulamah 569.30 707.60 722.40 1123.70 882.20 487.30 519.53 Cucut 2012.80 2187.00 2320.60 2220.80 1872.80 1566.70 1481.27 Pari 2180.70 2326.10 2266.90 2751.70 2001.20 1531.20 1344.10 Pelagis Kuro 216.60 301.00 351.00 494.90 185.50 236.20 423.93 Layur 549.70 610.90 590.00 657.40 312.40 398.10 623.83 Bawal Hitam 1433.80 1600.90 1714.40 1836.40 1608.20 1357.70 1363.63 Bawal Putih 805.00 960.40 945.70 1253.40 900.40 637.90 844.40 Selar 1628.80 1718.60 1946.30 1065.00 1031.50 1315.20 1282.07 Belanak 1291.10 1464.00 1529.10 1903.00 1610.10 1032.60 1666.07 Teri 1638.90 1739.20 1391.10 1431.90 1337.40 940.00 1341.93 Japuh 508.70 578.80 546.90 561.80 289.20 368.60 583.00 Golok-golok 2422.00 2671.20 3010.50 3666.80 1230.00 1679.60 1723.07 Kembung 152.80 208.00 214.60 442.40 458.80 146.20 253.60 Tenggiri Papan 1002.60 1125.60 1044.90 1075.50 953.90 706.10 820.00 Tenggiri 813.70 892.70 852.10 876.10 651.00 574.80 691.23 Tongkol 431.00 514.20 503.70 516.60 466.10 339.20 555.67 Ikan lainnya 13897.30 13748.70 14664.00 11694.70 15280.80 10498.20 8519.67 Binatang berkulit keras Rajungan 470.10 700.20 1803.80 2104.50 1008.80 1256.10 1244.27 Udang windu 169.60 199.70 178.90 368.80 194.90 120.80 192.03 Udang putih 1863.60 2101.20 2176.90 2580.20 1153.80 1191.30 1294.30 Udang dogol 976.30 1084.90 1104.10 1326.90 1394.10 744.50 882.90 Udang lainnya 1645.30 1803.30 1504.70 1422.10 1577.70 1092.60 1109.83 Binatang berkulit lunak Kerang darah 520.80 578.10 549.90 893.80 290.10 369.80 578.70 Jumlah 46191.70 49724.20 52466.70 54040.70 44762.55 35484.40 36643.08
0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun P ro d u ks i ( T o n )
Gambar 12 Perkembangan produksi total perikanan tangkap menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007.
Kapal perikanan yang beroperasi di sekitar perairan Sumatera Selatan, pada umumnya melakukan satu kali trip (one day fishing). Meskipun demikian, masing-masing kapal memiliki durasi dan jumlah trip yang berbeda tergantung pada jenis alat tangkap dan ukuran kapal yang digunakan. Pada tahun 2001, jumlah trip secara keseluruhan mencapai 774.343 dan pada tahun 2007 naik mencapai angka 982.386. Kenaikan jumlah trip ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah armada pada tahun yang sama. Jumlah trip terbesar dalam kurun waktu 7 tahun terakhir terjadi pada alat tangkap pancing tonda dan pancing lainnya, perangkap dan trammel net. Jumlah trip kapal penangkapan ikan menurut alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan seperti yang di tunjukan pada Table 9.
Tabel 9 Jumlah trip kapal penangkapan ikan menurut alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
No. Alat Tangkap Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1. Payang 6468 9418 12530 12172 15847 16744 15848 2. Jaring insang hanyut 78489 67167 62424 64566 25146 30888 30883 3. Jaring insang tetap 39200 40400 165000 134932 116653 112038 94656 4. Jaring insang lingkar 17170 15895 14620 14620 11390 11900 13940 5. Jaring klitik 45951 11024 67581 67721 78536 90723 96200
6. Trammel net 139200 142400 154080 137460 119848 116156 107304
7. Bagan tancap 85500 87000 97200 107550 78600 79650 82500 8. Serok 52000 7800 45180 41159 38482 41322 54128 9. Jaring angkat lainnya 12702 34365 56246 57203 63380 69557 66468 10. Pancing+Pancing Tonda 132090 144670 177140 180880 150620 154360 156740 11. Sero 23280 24480 30604 30604 57288 58124 92280 12. Alat perangkap lainnya 107000 160400 73980 108704 105293 112890 127296 13. Alat pengumpul kerang 14840 2100 39480 41300 8880 9259 17920 14. Jenis alat lainnya 20453 21765 2077 24389 2787 25505 26223
Jumlah 774343 768884 1019142 1023260 894750 929115 982386
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Produktivitas alat penangkapan ikan diartikan sebagai ukuran jumlah hasil tangkapan yang diperoleh baik selama setahun atau per trip menurut jenis alat tangkap yang digunakan. Produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan secara umum mengalami fluktuasi antara tahun 2001-2007. Alat tangkap jaring insang hanyut memiliki produktivitas yang paling tinggi pada tahun 2007 yaitu 16,99 ton. Peningkatan jumlah alat tangkap yang tidak sebanding dengan peningkatan produksi mengakibatkan nilai produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan menjadi menurun seperti ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10 Produktivitas tahunan alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 (Ton/Tahun/Alat penangkap ikan)
No. Alat Tangkap
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1. Payang 2,65 2,69 1,07 1,14 0,49 0,54 0,77 2. Jaring insang hanyut 23,34 12,65 30,26 30,04 26,79 18,58 16,99 3. Jaring insang tetap 0,68 1,00 8,06 8,04 6,74 5,73 2,57 4. Jaring insang lingkar 4,68 6,59 8,09 8,22 4,02 4,92 5,81 5. Jaring klitik 8,96 8,29 7,14 7,23 3,80 4,96 7,03
6. Trammel net 9,54 9,97 4,89 4,97 2,64 3,49 5,51
7. Bagan tancap 16,72 17,50 14,33 13,34 11,66 8,53 10,71 8. Serok 0,25 2,36 0,38 0,42 0,44 0,35 0,29 9. Jaring angkat lainnya 0,20 0,10 0,06 0,06 0,03 0,03 0,06 10. Pancing 7,64 8,51 5,81 5,88 5,25 3,14 2,30 11. Sero 15,88 16,04 8,82 5,62 2,70 3,24 2,73 12. Jermal 8,13 5,81 9,62 5,92 3,92 3,37 1,35 13. Alat perangkap lainnya 3,08 24,06 1,95 1,91 1,68 7,25 6,11 14. Alat pengumpul kerang 0,06 0,07 0,29 0,27 0,46 0,17 0,32
Rata-rata 2,65 2,69 1,07 1,14 0,49 0,54 0,77
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Penurunan produktivitas alat penangkapan dari tahun 2001-2007 juga diikuti dengan mengurangi produksi rata-rata per trip alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan. Pada tahun 2001 produktivitas rata-rata dari ke-14 alat tangkap yang ada adalah sebesar 0.051 ton/trip dan naik menjadi menjadi 0,082 ton/trip pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2007 kembali menurun sehingga menjadi 0,051 ton/trip pada tahun. Produksi rata-rata per trip alat penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Produksi rata-rata per trip alat penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007 (Ton/Trip/Alat penangkap ikan)
No. Alat Tangkap Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1. Payang 0,040 0,040 0,015 0,017 0,006 0,008 0,012
2. Jaring insang hanyut 0,153 0,190 0,198 0,196 0,462 0,268 0,264 3. Jaring insang tetap 0,003 0,005 0,040 0,051 0,047 0,040 0,019 4. Jaring insang lingkar 0,028 0,039 0,048 0,048 0,032 0,039 0,042 5. Jaring klitik 0,067 0,303 0,050 0,051 0,023 0,025 0,030 6. Trammel net 0,048 0,050 0,027 0,031 0,019 0,025 0,041 7. Bagan tancap 0,111 0,117 0,096 0,089 0,107 0,078 0,103
8. Serok 0,001 0,012 0,002 0,003 0,003 0,002 0,002
9. Jaring angkat lainnya 0,002 0,001 0,001 0,001 0,000 0,000 0,001 10. Pancing 0,045 0,044 0,034 0,035 0,041 0,027 0,021
11. Sero 0,132 0,134 0,103 0,106 0,029 0,037 0,023
12. Alat perangkap lainnya 0,041 0,029 0,053 0,037 0,028 0,024 0,010 13. Alat pengumpul kerang 0,022 0,172 0,014 0,014 0,033 0,040 0,044 14. Jenis alat lainnya 0,015 0,017 0,024 0,081 0,012 0,051 0,102
Rata-rata 0,051 0,082 0,050 0,054 0,060 0,047 0,051
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2008
Tingkat produktivitas alat penangkapan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan di samping tingkat harga ikan hasil tangkapan. Dengan meningkatnya produktivitas maka pendapatan nelayan pun akan meningkat. Harga ikan di Provinsi Sumatera Selatan mengalami fluktuasi. Fluktuasi yang terjadi ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi negara, kebijakan pemerintah dan ketersediaan sumberdaya yang terbatas pada musim-musim tertentu. Harga sumberdaya yang paling tinggi sejak tahun 2001-2007 adalah udang windu yaitu berada pada kisaran Rp 40.000 – Rp 43.000 per Kg, sedangkan kerang darah memiliki harga yang paling rendah yaitu Rp 1.500 – Rp 3.500 per Kg. Harga ikan menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Harga ikan (Rp/kg) menurut jenis ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
Kategori Jenis Ikan
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Demersal Sebelah 5.500 6.000 6.000 6.500 7.000 7.000 7.500 Peperek 5.500 5.500 5.500 6.000 6.000 6.000 6.500 Manyung 5.000 5.000 5.000 5.000 5.500 6.000 7.500 Gerot-gerot 4.000 4.000 4.500 5.000 5.500 6.000 7.000 Merah 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 9.500 9.500 Kakap 5.000 6.000 7.500 8.000 9.000 9.000 9.000 Gulamah 2.500 2.500 2.500 3.000 4.000 4.500 6.000 Cucut 5.000 5.000 5.000 5.500 6.000 7.000 7.500 Pari 4.000 4.000 4.000 4.500 5.000 6.000 6.500 Kuro 8.000 10.000 13.000 16.000 18.000 18.000 20.000 Layur 4.500 4.500 5.500 6.500 7.500 8.000 8.000 Bawal Hitam 6.500 7.000 7.000 7.500 8.000 8.500 9.000 Bawal Putih 6.500 7.000 7.000 7.500 8.000 8.500 9.000 Pelagis Selar 4.000 4.000 4.500 5.000 6.000 6.500 7.000 Belanak 4.000 4.000 4.500 4.500 5.500 6.000 6.500 Teri 4.000 4.500 4.500 5.000 5.500 5.500 5.500 Japuh 4.000 4.000 4.500 4.500 5.000 5.000 7.000 Golok-golok 4.000 4.000 4.500 5.000 6.000 6.000 7.000 Kembung 5.000 5.000 5.500 6.500 7.000 7.500 8.000 Tenggiri Papan 7.000 7.500 8.500 9.000 9.500 10.000 11.000 Tenggiri 7.000 7.500 8.500 9.000 9.500 10.000 11.000 Tongkol 4.000 4.000 4.500 5.000 5.500 6.500 7.500 Ikan lainnya 3.000 3.500 4.000 4.500 5.500 6.000 6.000 Binatang berkulit keras Rajungan 20.000 20.000 20.500 23.000 23.000 24.000 25.000 Udang windu 40.000 40.000 42.000 42.000 43.000 43.000 43.000 Udang putih 37.000 37.000 38.000 38.000 40.000 42.000 44.000 Udang dogol 25.000 25.000 30.000 30.000 31.000 31.000 32.000 Udang lainnya 10.000 10.000 12.000 15.000 15.000 15.500 16.000 Binatang
berkulit lunak Kerang darah 1.500 1.500 2.000 2.000 2.500 3.000 3.500
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
Nilai produksi perikanan tangkap dari jenis demersal, pelagis, binatang bertulang lunak dan binatang bertulang keras di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan Tabel 13 terlihat mengalami kenaikan dari tahun 2001-2007. Pada tahun 2001 nilai produksi perikanan tangkap sebesar Rp. 296.791.000.000- dan Rp. 374.185.200.000,- pada tahun 2007. Nilai produksi perikanan tangkap meningkat seiring dengan meningkatnya hasil tangkapan. Peningkatan hasil tangkapan didukung dengan peningkatan alat penangkapan dan armada perahu/kapal. Secara lebih jelas nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
Kategori Jenis Ikan
Tahun (Rp. X 1.000.000) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Demersal Sebelah 2660,9 3211,8 3379,2 3765,5 4187,4 2660,7 3651,0 Peperek 8032,2 8649,3 9231,2 10363,8 9075,0 6803,4 8351,2 Manyung 16583,0 18534,0 19895,5 22409,0 11288,8 14785,8 16209,3 Gerot-gerot 6954,8 7440,0 9158,0 10475,0 5934,0 8253,0 9669,1 Merah 3931,5 5218,8 6038,2 7085,6 5198,0 5523,3 9056,4 Kakap 6027,0 8144,4 10618,5 16025,6 20268,0 8626,5 9329,4 Gulamah 1423,3 1769,0 1806,0 3371,1 3528,8 2192,9 3117,2 Cucut 10064,0 10935,0 11603,J0 12214,4 11236,8 10966,9 11109,5 Pari 8722,8 9304,4 9067,6 12382,7 10006,0 9187,2 8736,7 Kuro 1732,8 3010,0 4563,0 7918,4 3339,0 4251,6 8478,7 Layur 2473,7 2749,1 3245,0 4273,1 2343,0 3184,8 4990,7 Bawal Hitam 9319,7 11206,3 12000,8 13773,0 12865,6 11540,5 12272,7 Bawal Putih 5232,5 6722,8 6619,9 9400,5 7203,2 5422,2 7599,6 Pelagis Selar 6515,2 6874,4 8758,4 5325,0 6189,0 8548,8 8974,5 Belanak 5164,4 5856,0 6881,0 8563,5 8855,6 6195,6 10829,4 Teri 6555,6 7826,4 6260,0 7159,5 7355,7 5170,0 7380,6 Japuh 2034,8 2315,2 2461,1 2528,1 1446,0 1843,0 4081,0 Golok-golok 9688,0 10684,8 13547,3 18334,0 7380,0 10077,6 12061,5 Kembung 764,0 1040,0 1180,3 2875,6 3211,6 1096,5 2028,8 Tenggiri Papan 7018,2 8442,0 8881,7 9679,5 9062,1 7061,0 9020,0 Tenggiri 5695,9 6695,3 7242,9 7884,9 6184,5 5748,0 7603,6 Tongkol 1724,0 2056,8 2266,7 2583,0 2563,6 2204,8 4167,5 Ikan lainnya 41691,9 48120,5 58656,0 52626,2 84044,4 62989,2 51118,0 Binatang berkulit keras Rajungan 9402,0 14004,0 36977,9 48403,5 23202,4 30146,4 31106,8 Udang windu 6784,0 7988,0 7513,8 15489,6 8380,7 5194,4 8257,4 Udang putih 68953,2 77744,4 82722,2 98047,6 46152,0 50034,6 56949,2 Udang dogol 24407,5 27122,5 33123,0 39807,0 43217,1 23079,5 28252,8 Udang lainnya 16453,0 18033,0 18056,4 21331,5 23665,5 16935,3 17757,3 Binatang
berkulit lunak Kerang darah 781,2 867,2 1099,8 1787,6 725,3 1109,4 2025,5 Jumlah 296791,0 342565,2 402854,0 475883,7 388108,8 330832,8 374185,2
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
Keberlanjutan perikanan tangkap di suatu daerah tidak terlepas dari volume produksi tahunan. Angka produksi tersebut menunjukkan seberapa besar potensi sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan di wilayah tersebut. Meskipun sumberdaya perikanan termasuk dalam jenis sumberdaya yang dapat pulih, namun pengeksploitasian yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan kepunahan ikan. Menurut Suharso et. al (2006), sumberdaya perikanan dapat dieksploitasi pada tingkat tertentu tanpa dampak negatif terhadap stok sumberdaya ikan. Oleh karena itu, prinsip yang perlu dipahami
adalah bagaimana menggali sumberdaya yang ada di Provinsi Sumatera Selatan untuk kehidupan masyarakat secara lestari dan berkelanjutan. Walaupun sumberdaya perikanan termasuk sumberdaya yang dapat diperbaharui, tetapi jika pengelolaannya salah, maka sumberdaya tersebut akan mengalami kepunahan dan tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh manusia.
4.3.5 Pengolahan hasil perikanan
Proses pengolahan hasil perikanan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa jenis. Untuk komoditas ekspor seperti udang dan rajungan, setelah mengalami pengolahan dengan memotong kepala (udang tanpa kepala) dan pemisahan cangkang (rajungan), produk ekspor tersebut langsung dibekukan untuk mempertahankan mutu tetap baik. Pengolahan produk komoditas lokal dilakukan dengan cara pemindangan, pengasapan maupun penjemuran.
Jenis olahan lain yang menjadi salah satu makanan khas Provinsi Sumatera Selatan adalah pempek dan kerupuk ikan. Makanan yang bahan utamanya dari ikan ini menjadi oleh-oleh khas bagi wisatawan dan sangat disenangi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan potensi pasar yang besar merupakan salah satu keunggulan hasil olahan perikanan Provinsi Sumatera Selatan. Melalui koordinasi dan pembinaan yang terpadu, maka usaha pempek dan kerupuk dapat dikembangkan dengan lebih baik dan melibatkan banyak tenaga kerja yang pada akhirnya bukan hanya meningkatkan pendapatan bagi pengusaha tetapi juga mampu menggerakkan ekonomi bagi masyarakat pesisir.
4.3.6 Pemasaran hasil tangkapan
Produk perikanan Provinsi Sumatera Selatan telah didistribusikan ke berbagai wilayah pemasaran baik lokal, nasional maupun internasional. Wilayah pemasaran lokal meliputi kabupaten/kota di seluruh Provinsi Sumatera Selatan hingga ke wilayah lain yang permintaan produk perikanannya tinggi. Metode pemasaran dapat dilakukan langsung di tempat pendaratan ikan baik kepada pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan konsumen lainnya. Selain di pasarkan di lingkungan Provinsi Sumatera Selatan, ikan-ikan hasil tangkapan nelayan di daerah ini juga didistribusikan ke provinsi lain baik di wilayah Sumatera maupun ke Jakarta, Batam dan Tanjung Balai Karimun. Komoditi andalannya antara lain udang, rajungan, golok-golok dan manyung.
4.3.7 Prasarana perikanan
Provinsi Sumatera Selatan belum terdapat pelabuhan perikanan skala menengah ataupun kecil. Dalam kegiatan jual beli hasil perikanan, terdapat 2 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang masing-masing terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin. Pangkalan Pendaratan Ikan diharapkan dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Adapun lokasi dan kondisi PPI tersebut disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Pangkalan Pendaratan Ikan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
Nama PPI Lokasi Kondisi
Ogan Komiring Ilir Kabupaten. Ogan Komiring Ilir Masih berfungsi Banyuasin Kabupaten. Banyuasin Masih berfungsi
Sumber : Statistik Perikanan Sumatera Selatan Tahun 2001-2007
Dalam perkembangan ke depan, setelah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi Provinsi sendiri (dulunya masih bergabung dengan Sumatera Selatan) dibutuhkan pelabuhan perikanan yang dapat dijadikan sarana dalam meningkatkan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Adanya pelabuhan perikanan akan membuat kegiatan perikanan berjalan lancar sehingga dapat meningkatkan penghasilan masyarakat.
4.4 Sumberdaya Ikan Unggulan
Indonesia termasuk daerah tropis dengan berbagai jenis sumberdaya ikan baik pelagis maupun demersal. Jumlah spesies yang beragam tersebut memberikan 2 hal yang berbeda. Keberagaman spesies menyebabkan penentuan jumlah stok sumberdaya ikan memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah subtropis yang umumnya memiliki single spesies. Namun demikian, jumlah spesies yang relatif tinggi memberikan banyak pilihan dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan.
Nilai produksi dan usaha perikanan dipengaruhi oleh kegiatan pemasaran. Dalam kegiatan pemasaran perlu memperhatikan upaya pemenuhan kebutuhan akan ikan, baik untuk skala domestik maupun skala ekspor dengan ketentuan
harga yang pantas di tingkat nelayan. Kesejahteraan nelayan dapat ditingkatkan dengan adanya kegiatan pemasaran. Perluasan jangkauan pasar, promosi, penyediaan informasi dan peningkatan pengetahuan nelayan merupakan faktor-faktor lainnya yang dapat meningkatkan produksi dengan selalu berorientasi pada permintaan pasar. Untuk mengetahui jenis-jenis komoditas yang memiliki potensi dan nilai jual yang tinggi, dapat dilakukan dengan pendekatan aspek pemasaran. Oleh karena itu, aspek ini digunakan dalam menentukan komoditas unggulan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.
Aspek pemasaran dilakukan melalui 2 tahapan. Diharapkan dengan melakukan 2 tahapan tersebut akan diperoleh komoditas unggulan yang benar-benar dapat dijadikan basis dalam pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan pada masa yang akan datang. Komoditas unggulan harus selalu ditingkatkan dari tahun ke tahun dengan tetap memperhatikan kelestarian dari sumberdaya tersebut. Tahapan tersebut adalah pertama, semua komoditas yang dianggap memiliki potensi pemasaran yang baik diinventarisasi, komoditas tersebut diperoleh dari para stakeholder perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan. Inventarisasi dari data sekunder juga dijadikan masukan dalam menentukan komoditas unggulan. Selanjutnya, informasi tersebut di seleksi kembali dengan menggunakan metode skoring. Kedua, menggunakan pendekatan pada aspek pemasaran. kriteria yang digunakan antara lain nilai produksi, harga, wilayah pemasaran dan nilai tambah. Hasil analisis dengan menggunakan metode skoring menunjukkan adanya perbedaan ranking dari 23 jenis ikan yang menjadi target penangkapan nelayan di Provinsi Sumatera Selatan. Jenis ikan yang memiliki ranking tertinggi merupakan komoditas unggulan yang layak untuk dikembangkan. Komoditas unggulan terpilih yang berada pada 4 ranking teratas dipilih sebagai komoditas unggulan berdasarkan fungsi nilai tertinggi. Keempat jenis komoditas unggulan terpilih tersebut adalah udang, rajungan, manyung dan golok-golok. Udang dan rajungan merupakan komoditas utama yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan dengan ikan manyung dan golok-golok. Selain itu, sifat biologis udang yang memiliki kemampuan recovery/pemulihan cukup cepat menyebabkan jenis komoditas ini relatif aman untuk ditangkap. Namun dalam pelaksanaannya harus tetap menggunakan cara dan metode yang ramah lingkungan. Selain itu, wilayah cakupan pemasarannya yang mencakup wilayah internasional (ekspor) serta harganya yang tinggi menjadi kekuatan tersendiri yang menyebabkan udang
berada pada rangking pertama. Sementara itu, ikan manyung dan golok-golok merupakan 2 jenis komoditas yang banyak terdapat di perairan ini. Pemanfaatan kedua jenis ikan tersebut antara lain sebagai ikan konsumsi , tingkat konsumsi ikan masyarakat yang tinggi diperkirakan akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap keempat komoditas unggulan tersebut. Proses penentuan komoditas unggulan tersebut disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Seleksi komoditas unggulan di perairan Sumatera Selatan dengan metode skoring
Nama Nama Nilai Fungsi Harga Fungsi Wilayah Fungsi Nilai Fungsi Nilai Rataan Komoditi Ilmiah Produksi Nilai (Rp/Kg) Nilai Pemasaran Nilai Tambah Nilai Gabungan Fungsi
Ikan (Rp) Nilai
Sebelah Psettodes erumai 2,253,512 0.028 6,500 0.210 2 0.667 1 0.500 1.405 0.351 18 Peperek Secutor ruconis 6,914,591 0.087 5,857 0.189 1 0.333 1 0.500 1.110 0.277 22 Manyung Arius thalassinus 27,570,700 0.347 5,571 0.180 2 0.667 2 1.000 2.193 0.548 3 Gerot-gerot Johnius sp. 6,348,485 0.080 5,143 0.166 1 0.333 1 0.500 1.079 0.270 21 Merah Priacanthus spp. 4,556,332 0.057 7,714 0.249 2 0.667 1 0.500 1.473 0.368 16 Kakap Lutjanus spp 8,618,891 0.108 7,643 0.247 2 1.000 1 0.500 1.855 0.464 7 Gulamah Argyrosomus amoyensis 1,739,367 0.022 3,571 0.115 2 0.667 2 1.000 1.804 0.451 10 Cucut Sphyrhinidae 10,472,008 0.132 5,857 0.189 2 0.667 1 0.500 1.488 0.372 12 Pari Trigonidae 12,798,688 0.161 4,857 0.157 1 0.333 2 1.000 1.651 0.413 11 Kuro Eletheronema tetradactylum 20,375,114 0.256 14,714 0.475 3 1.000 1 0.500 2.232 0.558 5 Layur Trichiurus savala 4,337,045 0.055 6,357 0.205 2 0.667 1 0.500 1.427 0.357 19 Bawal hitam Formio niger 6,485,262 0.082 7,643 0.247 2 0.667 1 0.500 1.495 0.374 13 Selar Caranx bucculentus 4,672,159 0.059 5,286 0.171 2 0.667 1 0.500 1.396 0.349 17 Belanak Mugil sp 5,186,088 0.065 5,000 0.162 2 0.667 2 1.000 1.893 0.473 6 Teri Thryssa sp 8,862,257 0.111 4,929 0.159 1 0.333 2 1.000 1.604 0.401 14 Japuh Dussumieria acuta 2,162,512 0.027 4,857 0.157 2 0.667 2 1.000 1.851 0.463 9 Golok-golok Chirocentrus dorab 19,917,307 0.250 5,214 0.168 2 0.667 2 1.000 2.086 0.521 4 Kembung Rastrelliger k anagurta 1,092,797 0.014 6,357 0.205 2 0.667 2 1.000 1.886 0.471 8 Tenggiri Scomberomorus comersonii 6,858,420 0.086 8,929 0.289 2 0.667 1 0.500 1.541 0.385 15 Tongkol Euthynus sp 1,692,210 0.021 5,286 0.171 2 0.667 1 0.500 1.359 0.340 20 Rajungan Portunus sp 55,031,000 0.692 22,214 0.718 3 1.000 2 1.000 3.410 0.852 2 Udang Penaeid 79,549,572 1.000 30,946 1.000 3 1.000 1 0.500 3.500 0.875 1 Kerang darah Anadara sp 1,195,615 0.015 2,286 0.074 1 0.333 1 0.500 0.922 0.231 23
Rangking
Keterangan :
Untuk wilayah pemasaran : 1 = Lokal 2 = Nasional 3 = Internasional Untuk nilai tambah : 1 = Rendah 2 = Tinggi 3 = Sangat tinggi
Komoditas unggulan hasil seleksi merupakan jenis ikan yang menjadi prioritas pengembangan perikanan di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan jenis komoditi unggulan tersebut maka selanjutnya dilakukan berbagai analisis sehingga dihasilkan strategi pemanfaatan yang tepat dan optimal. Analisis yang dimaksud antara lain status dan tingkat pemanfaatan keempat komoditas unggulan, teknologi penangkapan yang tepat serta alokasi optimum bagi teknologi penangkapan terpilih.
4.5 Status dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Unggulan
Di Provinsi Sumatera Selatan terdapat 4 (empat) jenis komoditas unggulan. Keempat jenis komoditas tersebut diperoleh dari hasil survei, kuisioner, wawancara dengan nelayan dan stakeholder di lokasi studi. Pemanfaatan keempat jenis komoditas unggulan tersebut dapat dioptimalkan
dengan melakukan pendugaan terhadap ketersediaan stok dan tingkat pemanfaatan jenis ikan unggulan. Estimasi terhadap keberadaan stok ikan dengan menggunakan metode surplus production. Alasan digunakannya metode tersebut karena metode tersebut relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaannya. Kesuksesan dalam menggunakan metode ini terletak pada keakuratan sumber data yang digunakan dalam analisis stok sumberdaya ikan nantinya. Metode ini membutuhkan data-data time series seperti hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan pada lokasi penelitian. Penggunaan metode surplus production dengan menerapkan Model Schaefer pada kondisi tertentu, bisa digunakan dalam menghitung dan menentukan batas hasil tangkapan yang diperbolehkan, yaitu untuk memberikan kelonggaran dan keleluasaan bagi nelayan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang ada (Zulkarnain dan Darmawan, 1997).
Suatu stok dianggap sebuah gumpalan besar biomasa dan sama sekali tidak berpedoman atas umur dan ukuran panjang ikan (Gulland 1983). Dengan mempertimbangankan bahwa jumlah biomasa stok tetap dan adanya aktivitas usaha perikanan. Dengan demikian dapat diduga bahwa semakin banyak jumlah kapal, maka akan semakin kecil bagian masing-masing kapal. Selain itu, Selanjutnya kejadian tangkap lebih (over fishing) dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah indikator stok, seperti : (i) penurunan hasil tangkapan per unit upaya, (ii) penurunan total hasil tangkapan yang didaratkan, (iii) penurunan rata-rata bobot/ukuran ikan, (iv) perubahan struktur umur/struktur ukuran, dan atau (v) perubahan komposisi spesies dalam populasi (Widodo (2003). Hasil analisis potensi sumberdaya ikan untuk ke empat jenis komoditi unggulan dengan menggunakan metode surplus production dapat ditunjukkan pada Tabel 16.
Tabel 16 Potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan untuk komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan
No. Jenis ikan
Potensi Lestari (ton) Upaya optimum (trip) Upaya aktual (trip) Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (ton) Produksi rata-rata (ton) Tingkat Pemanfaatan (%) 1. Udang 6.297,98 709.952 308.802 5.038,39 4.536,5 66,77 2. Rajungan 1.955,98 207.849 91.940 1.564,78 1.298,3 63,60 3. Manyung 4.488,06 358.268 135.713 3.590,45 3.308,9 65,02 4. Golok-golok 3.718,69 286.413 92.520 2.974,95 2.514,7 58,42
Berdasarkan hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 16, komoditi unggulan memiliki tingkat pemanfaatan yang beragam. Udang memiliki tingkat pemanfaatan mencapai 66,77% dan masih memiliki peluang pengembangan yang cukup besar. Udang merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi. Wilayah pemasarannya tersebar luas mulai dari pasar domestik hingga manca negara. Harga jualnya yang diatas rata-rata menjadi pemicu penangkapan secara besar-besaran. Udang memiliki sifat biologi reproduksi yang unik, dimana udang memiliki siklus reproduksi relatif singkat (< 1 tahun). Hal ini menyebabkan tingkat pulihnya (recovery) menjadi sangat cepat. Oleh karena itu, pemanfaatan udang yang dilakukan secara bertanggung jawab dan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan akan tetap menjamin kelestarian sumberdaya udang di perairan Sumatera Selatan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka peluang pengembangan perikanan udang masih sangat besar dengan memperbaiki teknologi penangkapan yang digunakan dan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya penangkapan yang ramah lingkungan.
Pemanfaatan rajungan baik sebagai bahan konsumsi penduduk lokal dan nasional juga mulai dilirik sebagai salah satu komoditas ekspor baik dalam bentuk segar maupun olahan. Harga jualnya yang relatif tinggi juga menjadi daya tarik tersendiri bagi penangkapan rajungan oleh nelayan. Tingkat pemanfaatan rajungan di perairan Sumatera Selatan mencapai 63,60%. Oleh karena itu, peluang pengembangan perikanan rajungan masih sangat besar. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan introduksi terhadap metode dan alat penangkapan yang digunakan. Hal ini tentu saja harus berpedoman pada kaidah-kaidah pemanfaatan yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab.
Ikan manyung dan golok-golok juga memiliki peluang pengembangan yang masih tergolong baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai tingkat pemanfaatannya yang masing-masing 65,02% dan 58,42%. Oleh karena itu, peluang pengembangan kedua jenis komoditi tersebut masih sangat besar (34,98% dan 41,58%). Potensi perikanan yang masih tersisa hendaknya dapat dimanfaatkan dengan bijak melalui berbagai langkah dalam mewujudkan pembangunan perikanan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui
penerapan teknologi yang lebih baik (Nikijuluw, 2002). Oleh karena itu, pemerintah daerah sudah seharusnya memberikan sumbangsih dan peran aktif dalam mengoptimalkan pemanfaatan SDI baik melalui introduksi teknologi penangkapan yang lebih efektif dan selektif, pendampingan nelayan dan penguatan kelembagaan. Melalui penguatan kelembagaan dan pendampingan diharapkan dapat mengangkat derajat kesejahteraan nelayan dan sekaligus menjadikan sektor perikanan tangkap sebagai leading sector dalam perekonomian di Sumatera Selatan. Selain itu, keberadaan sumberdaya perikanan bagi masyarakat pesisir yang sangat penting hendaknya menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam merancang pola pengelolaan yang rasional. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat berlanjut (sustainable) dan memberi nilai ekonomi bagi pengembangan kawasan Sumatera Selatan (Gaffar et al. 2007).
Analisis terhadap komodits unggulan telah dilakukan dengan memperoleh jenis komoditasnya dan potensi yang masih memiliki peluang pengembangannya pada masa yang akan datang. Selanjutnya dapat dilakukan analisis terhadap jenis teknologi yang memungkinkan digunakan dalam mendukung pemanfaatan sumberdaya ikan dominan di Provinsi Sumatera Selatan. Menurut Monintja (2000), pemilihan suatu teknologi penangkapan ikan yang tepat untuk diterapkan dalam pengembangan perikanan tangkap perlu mempertimbangkan : (1) teknologi yang ramah lingkungan, (2) teknologi yang secara teknis dan ekonomis menguntungkan, dan (3) teknologi yang berkelanjutan.
4.6 Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan Unggulan
Pemilihan teknologi penangkapan ikan unggulan dilakukan menggunakan metode MCA (multi kriteria analisis). Kriteria yang digunakan untuk menentukan unit penangkapan terbaik adalah biologi, teknis, sosial, dan ekonomi dari pengoperasian unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan.
4.6.1 Aspek biologi
Analisis terhadap aspek biologi dilakukan untuk melihat apakah jenis alat tangkap yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan Sumatera Selatan mengganggu atau tidak terhadap kondisi biologis sumberdaya
ikan. Penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan dititik beratkan pada tiga kriteria utama yaitu lama musim ikan, lama waktu musim penangkapan ikan, dan selektivitas masing-masing alat tangkap terhadap sumberdaya yang menjadi target penangkapannya.
Dari hasil analisis seperti yang di sajikan seperti pada Tabel 17, unit penangkapan pancing merupakan alat tangkap yang memiliki nilai paling baik berdasarkan kriteria lama musim ikan selama satu tahun, Tingginya penilaian pancing disebabkan unit penangkapan pancing di Sumatera Selatan dapat dioperasikan sepanjang tahun. Kemudian berdasarkan aspek kedua yaitu lama waktu musim penangkapan, unit penangkapan yang memiliki nilai atau prioritas yang tinggi adalah perangkap, jaring klitik, dan jaring insang tetap. Kriteria terakhir yang digunakan untuk menilai aspek biologi adalah selektivitas alat tangkap, dari 8 (delapan) jenis alat tangkap yang digunakan di Perairan Sumatera Selatan, unit penangkapan yang memiliki selektivitas terbaik adalah, pancing. Hal ini disebabkan unit penangkapan pancing hanya menangkap ikan-ikan ukuran tertentu sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan.
Secara keseluruhan berdasarkan penilaian aspek biologi unit penangkapan yang memiliki nilai terbaik adalah pancing, diikuti oleh jaring kelitik dan jaring insang tetap, kemudian perangkap pada prioritas ketiga, pada prioritas ke 4 adalah jaring insang hanyut dan trammel net, serta urutan kelima hingga terakhir masing-masing adalah bagan tancap dan jaring insang lingkar.
Tabel 17 Penilaian aspek biologi unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan
No Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian
W1 UP W2 UP W3 UP
1 Bagan tancap 9 4 8 2 2 3
2 Perangkap 11 2 9 1 2 3
3 Jaring klitik 11 2 9 1 3 2
4 Jaring insang tetap 11 2 9 1 3 2
5 Pancing 12 1 8 2 4 1
6 Trammel net 9 4 8 2 3 2
7 Jaring insang lingkar 10 3 7 3 2 3
8 Jaring insang hanyut 9 4 8 2 3 2
Standardisasi
No Unit Penangkapan Ikan
Kriteria Penilaian V(W) UP
V(W1) V(W2) V(W3)
1 Bagan tancap 0,00 0,50 0,00 0,50 5
2 Perangkap 0,67 1,00 0,00 1,67 3
3 Jaring klitik 0,67 1,00 0,50 2,17 2
4 Jaring insang tetap 0,67 1,00 0,50 2,17 2
5 Pancing 1,00 0,50 1,00 2,50 1
6 Trammel net 0,00 0,50 0,50 1,00 4
7 Jaring insang lingkar 0,33 0,00 0,00 0,33 6
8 Jaring insang hanyut 0,00 0,50 0,50 1,00 4
Sumber : hasil analisis
Keterangan :
Wl = lama waktu musim ikan (bulan)
W2 = lama waktu musim penangkapan ikan (bulan) W3 = selektivitas alat tangkap
V(Wl) = lama musim ikan yang distandardisasi
V(W2) = lama musin ikan penangkapan ikan yang distandardisasi V(W3) = selektivitas yang distandardisasi
UP = urutan prioritas
4.6.2 Aspek teknis
Jenis alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di Provinsi Sumatera Selatan adalah jenis alat tangkap yang umum digunakan seperti gillnet, trammel net, pancing, perangkap, Jaring insang lingkar, jaring insang hanyut dan bagan tancap. Teknologi penangkapan yang ada dan digunakan tersebut masih berskala kecil dan masih menggunakan teknologi yang relatif sederhana. Adapun jenis teknologi penangkapan eksisting yang ada di Provinsi Sumatera Selatan yang digunakan untuk menangkap jenis komoditi unggulan (Udang, manyung, golok-golok dan rajungan) adalah jaring insang hanyut, jaring
insang tetap, jaring klitik, pancing, perangkap, trammel net dan bagan tancap. Adapun penggunaan jenis teknologi penangkapan ikan komoditi unggulan disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Jenis teknologi yang digunakan untuk menangkap ikan jenis komoditi unggulan di Provinsi Sumatera Selatan
Komoditi Unggulan
Jenis Teknologi Penangkapan eksisting
Udang Jaring klitik, trammel net dan jaring insang tetap Manyung Jaring insang hanyut, jaring klitik, jaring insang tetap,
trammel net, bagan tancap dan pancing
Golok-golok Jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, trammel net, bagan tancap dan jaring klitik
Rajungan Jaring insang tetap, perangkap
Jika dilihat dari jumlah dan penggunaan jenis teknologi penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan dapat dikatakan bahwa jenis alat tangkap yang digunakan masih belum optimal. Hal ini terlihat bahwa beberapa jenis alat tangkap menangkap jenis ikan yang sama, sehingga teknologi penangkapan tersebut tidaklah efektif untuk menangkap jenis ikan yang merupakan target dari penangkapan. Dalam penelitian ini masih dibutuhkan analisis terhadap penggunaan teknologi penangkapan yang tepat, efektif dan ramah lingkungan.
Keragaman aspek teknis dari teknologi penangkapan yang digunakan di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan dengan menggunakan metode skoring dan fungsi nilai sebagai kriteria dalam menentukan jenis teknologi yang efektif dan tepat digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di sekitar perairan Sumatera Selatan. Urutan prioritas dinilai berdasarkan dari nilai produktivitas alat per trip (CPUE), produktivitas alat per tahun dan jarak jangkauan penangkapannya.
Jaring insang merupakan alat tangkap yang memiliki produktivitas penangkapan per tahun tertinggi bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya, kemudian alat tangkap yang memiliki produktivitas per trip tertinggi adalah unit penangkapan bagan tancap, alat tangkap ini memiliki produksi tinggi karena kondisi jaring yang berukuran kecil mampu menangkap ikan dalam berbagai selang ukuran, selain itu alat tersebut dioperasikan di sekitar pantai yang
merupakan daerah asuhan dan berkembangbiaknya sumberdaya ikan. Kriteria ketiga produktivitas per jam operasi yang memiliki nilai terbaik adalah jaring insang hayut, hal ini terjadi karena nelayan hanya memerlukan sedikit waktu untuk seting dan hauling pada proses pengoperasian unit penangkapan jaring insang hanyut, oleh karenanya jumlah jam operasi drift gillnet lebih baik dibandingkan alat tangkap lainnya. Bila dipandang berdasarkan produktivitas per tenaga kerja maka unit penangkapan bagan tancap adalah alat tangkap yang lebih baik karena dengan tenaga kerja berjumlah 2-3 orang unit penangkapan ini menghasilkan produksi lebih baik, hal ini terjadi karena efisiensi dan efektifitas alat tangkap ini dalam menangkap sumberdaya ikan pelagis kecil. Selain kategori-kategori di atas, alat tangkap terbaik juga dapat dilihat dari produktivitas per tenaga penggerak, hal ini penting untuk melihat apakah effort yang dikeluarkan sudah cukup efisien bila dikonversi dengan jumlah hasil tangkapan. Berdasarkan hasil perhitungan unit panangkapan bagan tancap merupakan alat tangkap terbaik dari sisi produktivitas per tenaga penggerak. Hal ini terjadi karena tenaga penggerak unit penangkapan bagan tancap hanya digunakan untuk transportasi baik nelayan maupun hasil tangkapan dari fishing base ke fishing ground, sehingga praktis selama operasi penangkapan berlangsung unit penangkapan ini tidak memerlukan tenaga penggerak lagi.
Secara keseluruhan berdasarkan aspek teknis bagan tancap lebih diprioritaskan karena berdasarkan beberapa kriteria teknis pengoperasian seperti produktivitas per trip, per tenaga kerja dan per tenaga penggerak lebih unggul bila dibandingkan dengan 7 jenis alat tangkap lainnya. Pada Tabel 19 ditunjukkan pemilihan alat tangkap terbaik berdasarkan kriteria teknis pengoperasian unit penangkapan di Provinsi Sumatera Selatan, dimana urutan dari yang tinggi hingga terendah secara berturut-turut adalah bagan tancap, jaring insang hanyut, pancing, trammel net, jaring insang tetap, jaring klitik, jaring insang lingkar dan perangkap.
Tabel 19 Matriks pemilihan unit penangkapan unggulan berdasarkan aspek teknis operasional alat tangkap di perairan Sumatera Selatan
No Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian X1 UP X2 UP X3 UP X4 UP X5 UP 1 Bagan tancap 8179,43 2 0,37 1 0,03 2 0,18 1 0,09 1 2 Perangkap 3773,76 5 0,0 7 0,00 7 0,00 8 0,00 8 3 Jaring klitik 2697,00 6 0,08 6 0,01 5 0,07 6 0,01 6 4 Jaring insang tetap 2161,90 7 0,11 4 0,01 6 0,05 4 0,01 5 5 Pancing 5261,01 3 0,18 3 0,02 3 0,06 3 0,04 3 6 Trammel net 4534,84 4 0,10 5 0,01 4 0,05 5 0,02 4 7 Jaring insang lingkar 682,88 8 0,08 6 0,01 5 0,01 7 0,01 7 8 Jaring insang hanyut 10402,09 1 0,33 2 0,04 1 0,16 2 0,05 2
Standardisasi Aspek Teknis
No Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian V(A) UP V(X1) V2(X2) V3(X3) V4(X4) V5(X5) 1 Bagan tancap 0,77 1,00 0,77 1,00 1,00 4,54 1 2 Perangkap 0,32 0,00 0,00 0,00 0,00 0,32 8 3 Jaring klitik 0,21 0,20 0,26 0,13 0,11 0,91 6 4 Jaring insang tetap 0,15 0,28 0,20 0,28 0,15 1,07 5 5 Pancing 0,47 0,48 0,60 0,32 0,38 2,24 3 6 Trammel net 0,40 0,27 0,39 0,27 0,17 1,50 4 7 Jaring insang lingkar 0,00 0,20 0,26 0,06 0,07 0,60 7 8 Jaring insang hanyut 1,00 0,89 1,00 0,89 0,51 4,29 2
Sumber : hasil analisis
Keterangan :
X1 : Produksi per tahun X2 : Produksi per trip
X3 : Produksi per jam operasi X4 : Produksi per tenaga kerja
X5 : Produksi per tenaga penggerak dan UP : Urutan prioritas (X1) : Standardisasi nilai produksi per tahun
V(X2) : Standardisasi nilai produksi per trip
V(X3) : Standardisasi nilai produksi per jam operasi V(X4) : Standardisasi nilai produksi per tenaga kerja V(X5) : Standardisasi nilai produksi per tenaga penggerak
4.6.3 Aspek sosial
Aspek sosial merupakan salah satu aspek penting yang patut diperhatikan dalam pemilihan alat tangkap untuk dikembangkan dan digunakan secara masal
oleh masyarakat. Pertimbangan aspek sosial ini sangat diperlukan karena kebijakan penggunaan suatu alat tangkap akan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat baik dari sisi permodalan, penyerapan tenaga kerja, pendapatan usaha dan pada akhirnya tingkat kesejahteraan nelayan sebagai pelaku kegiatan perikanan. Hasil perhitungan kriteria sosial dan standardisasinya disajikan pada Tabel 20.
Kriteria yang digunakan untuk mengukur aspek sosial kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan adalah jumlah tenaga kerja, pendapatan nelayan per tahun, dan kemungkinan kepemilikan suatu alat tangkap oleh nelayan. Berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja, unit penangkapan jaring insang lingkar merupakan alat tangkap yang terbaik, karena mampu mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Dari sisi pendapatan nelayan per tahun, unit penangkapan yang memberikan penghasilan terbesar adalah jaring insang tetap, oleh karena itu unit penangkapan jaring insang tetap memiliki prioritas lebih baik dari sisi pendapatan nelayan. Kemudian bila dilihat dari sisi kemampuan nelayan memiliki alat tangkap maka unit penangkapan trammel net merupakan alat tangkap yang sisi kepemilikannya lebih baik bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Hal ini disebabkan tingkat investasi untuk kegiatan penangkapan dengan menggunakan trammel net lebih murah.
Secara keseluruhan, unit penangkapan yang terbaik berdasarkan aspek sosial adalah trammel net. Munculnya trammel net sebagai alat terbaik berdasarkan aspek sosial disebabkan unit penangkapan ini mudah dimiliki oleh nelayan dalam arti jumlah investasi yang harus dikeluarkan oleh nelayan untuk memiliki alat tangkap ini relatif lebih murah dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Selain itu, trammel net juga dapat memberikan hasil usaha cukup baik. Secara rinci penilaian aspek sosial disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Matriks keragaman aspek sosial dari teknologi penangkapan eksisting untuk komoditi unggulan di perairan Sumatera Selatan
No Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian X1 UP X2 UP X3 UP 1 Bagan tancap 2 3 7.375.500 4 0,16 2 2 Perangkap 2 3 4.048.200 7 0,13 5 3 Jaring klitik 3 2 5.009.500 5 0,06 7
4 Jaring insang tetap 2 3 9.819.300 1 0,14 3
5 Pancing 3 2 4.174.756 6 0,09 6
6 Trammel net 2 3 9.020.812 2 0,18 1
7 Jaring insang lingkar 6 1 2.504.750 8 0,04 8
8 Jaring insang hanyut 2 3 7.425.000 3 0,14 4
Standardisasi No Unit Penangkapan Ikan Kriteria Penilaian V(A) UP V(X1) V(X2) V(X3) 1 Bagan tancap 0,00 0,67 0,86 1,52 3 2 Perangkap 0,00 0,21 0,64 0,85 6 3 Jaring klitik 0,25 0,34 0,10 0,70 8
4 Jaring insang tetap 0,00 1,00 0,71 1,71 2
5 Pancing 0,25 0,23 0,34 0,82 7
6 Trammel net 0,00 0,89 1,00 1,89 1
7 Jaring insang lingkar 1,00 0,00 0,00 1,00 5
8 Jaring insang hanyut 0,00 0,67 0,68 1,35 4
Sumber : hasil analisis
Keterangan :
X1 = Jumlah tenaga kerja
X2 = Pendapatan nelayan per tahun X3 = Kemungkinan pemilikan
V(X1) = Standardisasi Jumlah tenaga kerja
V(X2) = Standardisasi Pendapatan nelayan per tahun V(X3) = Standardisasi Kemungkinan pemilikan UP = Urutan prioritas
4.6.4 Aspek ekonomi
4.6.4.1 Analisis usaha/keuntungan
Secara teoritis, dalam upaya pengembangan satu unit usaha penangkapan ada baiknya kita mengetahui jumlah dana yang akan dialokasikan untuk kegiatan tersebut, sehingga dengan mengetahui hal tersebut diharapkan usaha tersebut dapat berjalan dengan baik karena keperluan dana telah diperkirakan sebelumnya. Pada penelitian ini, investasi yang dibutuhkan dalam
memulai usaha penangkapan ikan di sekitar perairan Sumatera Selatan bervariasi berkisar antara Rp 31.200.000 hingga Rp 86.500.000. Adanya perbedaan kebutuhan dana yang diperlukan dalam memulai kegiatan usaha penangkapan sebagian besar dipengaruhi oleh perbedaan komponen investasi terutama kapal dan perlengkapan pendukungnya.
Rata-rata dari beberapa jenis usaha penangkapan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, komponen biaya investasi yang dikeluarkan oleh nelayan digunakan untuk keperluan pembelian perahu, mesin, dan alat tangkap serta perlengkapan lainnya khusus untuk bagan dan pancing. Adapun rincian biaya investasi yang dibutuhkan untuk memulai usaha bidang perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21 Modal investasi usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian
No.
Jenis Alat Tangkap
Jenis investasi (Rp)
Perahu Mesin Alat Tangkap Lain-lain Jumlah 1. Jaring insang tetap 24.000.000 12.000.000 35.000.000 - 71.000.000 2. Jaring klitik 22.000.000 12.000.000 52.500.000 - 86.500.000 3. jaring insang lingkar 25.000.000 12.000.000 24.000.000 - 61.000.000 4. Jaring insang hanyut 25.000.000 10.000.000 20.000.000 - 55.000.000 5. Trammel net 25.000.000 10.000.000 15.750.000 - 50.750.000 6. Perangkap 18.000.000 12.000.000 1.200.000 - 31.200.000 7. Bagan tancap 23.000.000 13.000.000 2.500.000 30.000.000 68.500.000 8. Pancing 24.000.000 15.000.000 5.560.000 2.000.000 46.560.000
Sumber : hasil analisis
Perhitungan keuntungan juga menjadi perhatian dalam melakukan usaha, berdasarkan perhitungan analisis usaha dilakukan terhadap delapan jenis usaha perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Selatan diketahui bahwa, usaha perikanan jaring klitik memberikan keuntungan tertinggi dari sisi pendapatan kotor. Tingginya keuntungan usaha perikanan jaring klitik disebabkan target species alat tangkap ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi yaitu jenis crustacea terutama udang. Selain tingkat pendapatan yang tinggi, biaya operasional maupun investasi usaha perikanan jaring klitik juga lebih tinggi dibandingkan dengan jenis usaha perikanan tangkap lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan di sekitar perairan Sumatera Selatan diketahui bahwa kebutuhan investasi usaha perikanan jaring klitik mencapai Rp 86.500.000 dan biaya operasional yang diperlukan selama satu tahun adalah Rp 121.316.250.