• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 61/DPD RI/III/2012-2013

TENTANG

PANDANGAN DAN PENDAPAT

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

TENAGA KESEHATAN

J A K A R T A

2013

(2)
(3)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

PANDANGAN DAN PENDAPAT

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

KESEHATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejateraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citta-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak azasi manusia

dalam bidang kesehatan, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau juga merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia, tenaga kesehatan Indonesia harus dipayungi oleh payung hukum yang tepat;

c. bahwa RUU tenaga kesehatan yang diarahkan sebagai regulasi yang bersifat umum yang mengatur tenaga kesehatan, menimbulkan ketidakjelasan tata perundangan bidang tenaga kesehatan;

d. bahwa Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan kewenangan telah merumuskan Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan;

e. bahwa Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan kewenangannya telah merumuskan pandangan dan pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan;

f. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e diatas, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tenatang Pandangan dan Pendapat Dewan erwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan;

(4)

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5423);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Tata Tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/ DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun 2007-2009;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-11 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang III Tahun Sidang 2012-2013

tanggal 28 Maret 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PANDANGAN DN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG TENAGA KESEHATAN.

PERTAMA : Pandangan dan Pendapat tertulis Dewan perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk dibahas bersama oleh Dewan Pewakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan Pemerintah. KEDUA : Isi dan Rincian Pandangan dan Pendapat sebagaimana dimaksud dalam

diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 28 Maret 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

(5)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/DPD RI/III/2012-2013

PANDANGAN DAN PENDAPAT

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

TENAGA KESEHATAN I. PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut setiap orang mempunyai hak yang sama dalam mengakses pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau juga merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia. Pada saat yang bersamaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada tuntutan atas pelayanan kesehatan yang paripurna. Pelayanan Kesehatan paripurna hanya dapat terwujud apabila tersedia sumber daya manusia kesehatan, yakni tenaga kesehatan yang mumpuni, baik yang memadai dari segi kualitas, kuantitas, maupun penyebarannya.

Sangat tidak mudah untuk mewujudkan tenaga kesehatan yang mumpuni, terlebih pada era globalisasi saat ini karena migrasi ketenagakerjaan, termasuk tenaga kesehatan asing antarnegara, dapat dilakukan. Masuknya tenaga kesehatan warga negara asing ke Indonesia akan menjadi pesaing bagi tenaga kesehatan Indonesia. Agar dapat bersaing di dunia internasional, tenaga kesehatan Indonesa harus memiliki kualitas sesuai dengan

standar internasional. Kebijakan terkait sertifikasi, standardisasi, registrasi, dan perizinan

yang tepat merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dan menjaga kualitas sekaligus melindungi tenaga kesehatan Indonesia dari serbuan tenaga kesehatan warga negara asing.

Tidak sebandingnya jumlah tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk di Indonesia juga merupakan persoalan yang hingga kini belum terpecahkan. Di Kalimantan Selatan,

misalnya, terjadi kelangkaan tenaga apoteker, perawat, bidan, dan tenaga gizi. Rasio tenaga apoteker saat ini 3,2 orang perawat per 100 ribu penduduk, padahal idealnya adalah

10 orang apoteker per 100 ribu penduduk. Adapun rasio perawat saat ini 58,8 per 100

ribu, padahal idealnya adalah 117,5 perawat berbanding 100 ribu penduduk; bidan 51,7 per 100 ribu penduduk, padahal idealnya adalah 100 bidan berbanding 100 ribu penduduk;

tenaga gizi 10 per 100 ribu penduduk, padahal idealnya adalah 22 orang berbanding 100

ribu penduduk. Begitu puladi Jawa Timur, dari jumlah penduduk mencapai 37,47 juta jiwa, tenaga kesehatan yang ada hanya 50.177 atau 1:746. Bahkan di DKI Jakarta juga masih mengalami kekurangan tenaga kesehatan. Dengan jumlah penduduk mencapai 9,59 juta

jiwa hanya terdapat tenaga kesehatan 13.956 orang atau 1:687.

Data di atas menunjukkan bahwa persebaran tenaga kesehatan tidak merata hingga ke daerah terpencil dan perbatasan. Minimnya koordinasi yang baik antara pemerintah dan pemerintah daerah guna memastikan terlaksananya pembagian tugas sesuai dengan kewenangan telah berakibat pada tidak terpenuhinya pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di daerah terpencil dan perbatasan.

Berbagai persoalan sebagaimana telah dipaparkan di atas menjadi latar belakang disusunnya Rancangan Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disebut RUU Nakes), tetapi terdapat beberapa pandangan dan pendapat dari masyarakat, khususnya organisasi profesi tenaga kesehatan, sebagai kritik atas RUU Nakes. Kritik

(6)

tersebut berpangkal pada kehadiran RUU Nakes yang diarahkan sebagai regulasi yang bersifat umum yang mengatur tenaga kesehatan. Pada pokoknya pengaturan tenaga kesehatan hanya dilakukan dalam satu undang-undang agar memudahkan pengaturan, koordinasi, dan pembinaan. Namun pernyataan pemerintah tersebut menjadi bertentangan dengan adanya pengecualian RUU Nakes terhadap UU Praktik Kedokteran. Pengecualian keberlakuan UU Nakes atas UU Praktik Kedokteran dapat dipastikan akan diikuti oleh pengecualian atas ketentuan tentang tenaga kesehatan keperawatan karena pada saat yang bersamaan juga sedang disusun dan dibahas di RUU tentang Keperawatan di DPR RI.

Pengecualian itu pada satu sisi dapat ditafsirkan sebagai bentuk diskriminasi karena adanya regulasi khusus bagi dokter dan perawat, tetapi bagi jenis dan kelompok tenaga kesehatan yang lain berlaku RUU Nakes. Pada sisi yang lain argumentasi perlunya regulasi yang mengarah pada kekhususan bagi setiap kelompok tenaga kesehatan semakin menguat didasarkan pada pertimbangan adanya perbedaan watak, karateristik, dan spesialisasi, bahkan kode etik profesi dari setiap kelompok tenaga kesehatan sehingga sangat tidak mungkin dilakukan generalisasi. Selain itu, kebutuhan atas peningkatan kualitas dari setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan agar mampu bersaing di tingkat internasional dan memenuhi standar internasional juga menjadi alasan perlunya pengaturan secara khusus bagi tenaga kesehatan sesuai dengan jenis dan kelompoknya. Dengan kata lain, yang dibutuhkan adalah undang-undang yang bersifat khusus yang mengatur secara khusus bagi setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan.

II. LANDASAN YURIDIS

1. Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945.

2. Pasal 224 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043). 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

III. TUJUAN PANDANGAN DAN PENDAPAT

Pandangan dan pendapat ini merupakan rumusan yang disusun berdasarkan pengkajian secara cermat dan mendasar terhadap RUU Nakes dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai narasumber dan diskusi intensif yang dilakukan oleh anggota DPD RI. Pandangan dan pendapat itu dimaksudkan menjadi masukan bagi pembahasan RUU Nakes oleh DPR RI dan Presiden/Pemerintah sehingga rancangan undang-undang yang

disusun memenuhi aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis yang logis, akseptabel, dan fisibel,

terutama memenuhi konteks regional di Indonesia.

IV. METODE KERJA

1. Pencermatan naskah RUU Nakes serta naskah akademiknya. 2. Rapat Kerja dengan Kementerian Kesehatan RI, 14 Maret 2013.

3. Rapat Dengar Pendapat/Umum, dengan Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Ahli

Gizi Indonesia dan Ikatan Apoteker Indonesia, 4 Maret 2013

4. Penyerapan aspirasi mayarakat dan daerah, 27 Desember sampai dengan 13 Januari 2013

V. PANDANGAN DAN PENDAPAT

Pandangan dan pendapat DPD RI terhadap RUU tentang Tenaga Kesehatan dapat disampaikan sebagai berikut:

A. PANDANGAN

1. Kompleksitas Pembentukan RUU Nakes

Pada hakikatnya pembentukan hukum, dalam hal ini undang-undang dibutuhkan untuk menjawab berbagai persoalan hukum yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada atau untuk mengatasi permasalahan hukum sebagai akibat regulasi yang ada. Dengan kehadiran hukum atau regulasi diharapkan tercapai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum menjadi bagian dari pembentukan dan materi muatan hukum itu sendiri yang harus bervisi ke depan dengan berbagai terobosannya. Satjipto Rahardjo menyebutnya sebagai hukum progresif. Hukum progresif mengarahkan hukum agar lebih berguna bagi manusia, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.

Kehadiran RUU Nakes sepatutnya juga diarahkan pada tujuan sebagaimana paparan di atas. Kehadiran RUU Nakes pada satu sisi harus dimaksudkan untuk memberi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan agar mendapatkan layanan kesehatan yang paripurna, sedang pada sisi

(7)

lain, RUU Nakes harus dimaksudkan pula untuk memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan tenaga kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan. Proses penyusunan dan muatan RUU Nakes harus bervisi ke depan sehingga mampu mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan mampu menghadapi arus globalisasi yang memungkinkan migrasi tenaga kesehatan warga negara asing ke Indonesia. RUU Nakes harus memastikan tenaga kesehatan Indonesia menjadi tenaga kesehatan pilihan utama meskipun terdapat banyak tenaga kesehatan warga negara asing dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat karena

kualifikasi, kompetensi, dan keprofesionalan tenaga kesehatan Indonesia tidak

diragukan.

DPD RI berpandangan bahwa kehadiran RUU Nakes, pembentukan dan muatan materinya belum mencerminkan sebagaimana paparan di atas. RUU Nakes menurut DPD RI disusun hanya semata-mata karena adanya alasan yuridis, yakni ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan undang-undang. RUU Nakes juga diarahkan untuk mengatur semua jenis dan kelompok tenaga kesehatan yang sesungguhnya sangat tidak mungkin dilakukan. Hal itu karena setiap profesi tenaga kesehatan pada prinsipnya memiliki watak, karakteristik, dan kode etik yang berbeda.

Pengecualian terhadap RUU Nakes, misalnya, berdampak pada dua hal.

Pertama, Ketentuan pengecualian RUU Nakes seharusnya tidak hanya diberlakukan bagi UU Praktik Kedokteran, tetapi juga bagi regulasi tentang keperawatan yang sedang dilakukan pembahasan di DPR RI. Kedua, ketentuan pengecualian UU Praktik Kedokteran atas RUU Nakes tidak sejalan dengan maksud dan tujuan RUU Nakes sebagai regulasi bagi seluruh jenis dan kelompok tenaga kesehatan. Pengecualian RUU Nakes bagi tenaga medis seharusnya diikuti dengan dikeluarkannya tenaga medis dari kelompok tenaga kesehatan. Namun, dalam ketentuan yang lain tenaga medis dokter diakui oleh RUU Nakes sebagai kelompok tenaga kesehatan.

Kehadiran RUU Nakes juga telah menyebabkan adanya diskriminasi pengakuan atas eksistensi jenis dan kelompok tenaga kesehatan sebab terdapat beberapa tenaga kesehatan yang keberadaannya ditetapkan oleh undang-undang dan sebagian lainnya ditetapkan oleh Ketetapan Menteri. Hal itu bertentangan dengan Pasal 21 ayat (3) UU Kesehatan yang menyatakan bahwa aturan tentang tenaga kesehatan diatur dengan undang-undang.

Upaya penyeragaman kualifikasi tenaga kesehatan minimal diploma III dalam

RUU Nakes juga tidak sejalan dengan Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang mempersyaratkan tenaga kerja

profesional minimal diploma IV atau sarjana terapan/sarjana.

Begitu pula dengan kebutuhan adanya pengaturan sertifikasi, registrasi, dan perizinan tenaga kesehatan, meskipun telah diatur oleh berbagai regulasi yang tidak

berbentuk undang-undang, terdapat upaya untuk meningkatkan bentuk regulasi tersebut menjadi undang-undang guna memperkuat penegakannya. Atas dasar hal tersebut kehadiran undang-undang yang khusus bagi setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan-mengingat perbedaan watak dan karakteristik setiap tenaga kesehatan-menjadi jawaban yang tepat.

2. Kualifikasi Tenaga Kesehatan

Kualifikasi menjadi unsur penting dalam meningkatkan kualitas tenaga kesehatan.

Agar sejalan dengan maksud dan tujuan RUU Nakes yang digunakan untuk mengatur seluruh jenis dan kelompok tenaga kesehatan, penentuan pendidikan diploma III

sebagai kualifikasi minimum tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

10 ayat (1) RUU Nakes harus dipastikan dapat diberlakukan bagi seluruh jenis dan kelompok tenaga kesehatan yang ada, baik pada saat ini maupun pada saat yang akan datang. Oleh karena itu, sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang lain harus dilakukan untuk memastikan tidak adanya perbedaan keberlakuan hukum.

3. Pengecualian Keberlakuan RUU Nakes dan Implikasinya terhadap Pengelompokan Nakes

Pasal 4 RUU Nakes mengatur pengecualian atas keberlakuan UU Nakes terhadap UU Praktik Kedokteran. Pengecualian juga dipastikan akan berlaku bagi RUU Keperawatan yang pada saat ini sedang dalam proses penyusunan dan pembahasan oleh DPR RI bersamaan dengan proses penyusunan dan pembahasan RUU Nakes. Pengecualian terhadap UU Praktik Kedokteran menjadikan kelompok tenaga medis tidak termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) RUU Nakes. Pencantuman tenaga medis ke dalam pengelompokan tenaga kesehatan dalam Pasal 12 (1) RUU Nakes dapat ditafsirkan bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 RUU Nakes.

(8)

4. Perencanaan, Pengadaan, dan Pendayagunaan Tenaga Kesehatan

Perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan merupakan tiga persoalan krusial di bidang sumber daya manusia kesehatan Indonesia dan menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan yang dimiliki untuk menetapkan kebijakan atas ketiga hal tersebut.

Kebijakan pendayagunaan tenaga kesehatan Indonesia ke luar negeri juga harus mendapat perhatian seiring dengan semakin dibutuhkannya beberapa jenis dan kelompok tenaga kesehatan Indonesia di pasar kerja internasional. Agar pendayagunaan tenaga kesehatan Indonesia pada pasar kerja internasional menempati posisi dan/atau jabatan pada level menengah ke atas dan bukan menengah ke bawah, dukungan dari institusi pendidikan dan pelatihan sangat diperlukan.

5. Sertifikasi, Registrasi, dan Perizinan Tenaga Kesehatan

Kewajiban sertifikasi, registrasi, dan perizinan tenaga kesehatan dilakukan

sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga

kesehatan. Secara universal pemenuhan atas sertifikasi, registrasi, dan perizinan

tenaga kesehatan juga merupakan wujud keprofesionalan tenaga kesehatan.

6. Tenaga Kesehatan Lulusan Luar Negeri dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing

Pengaturan atas tenaga kesehatan warga negara asing di Indonesia harus diarahkan pada pelindungan terhadap tenaga kesehatan Indonesia. Berdasarkan pada pertimbangan asas nasionalisme aktif, pelaksanaan berbagai kebijakan di bidang tenaga kesehatan harus memprioritaskan peruntukan dan penggunaan tenaga kerja Indonesia. Kehadiran tenaga kesehatan warga negara asing harus ditempatkan sebagai alternatif pilihan setelah tidak tersedianya tenaga kesehatan Indonesia. Selain itu, kehadiran tenaga kesehatan warga negara asing dibutuhkan dalam upaya transfer of knowledge and technology kepada tenaga kesehatan Indonesia.

7. Penyelenggaraan Keprofesiaan Tenaga Kesehatan

Sebagai sebuah profesi, tenaga kesehatan dituntut untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam memberikan layanan kesehatan secara profesional dengan menjunjung tinggi etika profesi. Pelaksanaan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan juga harus sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya. Tindakan di luar kewenangan hanya dapat dilakukan pada saat terjadinya keadaan darurat yang disertai dengan adanya pendelegasian.

Karena pelayanan kesehatan menyangkut keselamatan jiwa dan raga manusia, setiap tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penerima layanan kesehatan wajib mendapat persetujuan terlebih dahulu dari penerima layanan serta wajib dicatatkan dalam sebuah catatan khusus rekam medis yang wajib dijaga kerahasiaannya.

8. Penyelesaian Perselisihan

Hubungan antara penerima pelayanan kesehatan dan pemberi layanan kesehatan, yakni tenaga kesehatan, sesungguhnya merupakan hubungan kontraktual keperdataan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan timbulnya perselisihan yang disebabkan tidak dilaksanakan pelayanan kesehatan atau dilaksanakan tetapi tidak optimal sehingga mengakibatkan kerugian bagi penerima layanan kesehatan.

9. Ketentuan Pidana

Kehadiran norma ketentuan pidana dalam sebuah regulasi dimaksudkan sebagai daya paksa bagi penegakan norma lainnya. Bentuk pemidanaan tersebut berupa pidana penjara, pidana kurungan, dan/atau pidana denda. Norma pemidanaan tidak hanya dapat dikenakan pada subjek hukum orang perseorangan, tetapi juga subjek hukum korporasi. Dalam teori pembentukan peraturan perundang-undangan, norma pemidanaan hanya dapat dimuat dalam peraturan yang berbentuk undang-undang.

10. Peraturan Pelaksanaan RUU Nakes

RUU Nakes dapat dipastikan membutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan untuk menjabarkan perincian berbagai jenis dan kelompok tenaga kesehatan yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) RUU Nakes.

B. PENDAPAT

1. Kompleksitas Pembentukan RUU Nakes

Berdasarkan seluruh pandangan sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya, DPD RI berpendapat bahwa RUU Nakes secara konstruksi juridis tidak dapat menjadi regulasi yang mengatur secara umum tenaga kesehatan.

Pasal 21 ayat (3) UU Kesehatan harus ditafsirkan bukan sebagai undang-undang umum yang mengatur dan berlaku bagi seluruh jenis dan kelompok tenaga kesehatan sebagaimana Undang-Undang tentang Tenaga Kerja, melainkan sebagai

(9)

undang-undang khusus yang berlaku bagi setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan. Keinginan pembentukan RUU Nakes yang diarahkan sebagai regulasi yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh jenis dan kelompok tenaga kesehatan telah menyebabkan kompleksitas dalam penyusunan materi muatan RUU Nakes sehingga menimbulkan permasalahan. Salah satunya terdapat materi muatan yang tidak selaras dan tidak sinkron antara yang satu dan yang lain, bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

Pengundangan UU Praktik Kedokteran dan desakan untuk mengesahkan RUU Keperawatan menjadi bukti konkrit yang menghapus ruang lingkup keberlakuan RUU Nakes yang akan mengatur tenaga kesehatan secara umum. Selain itu, mengingat

terdapat permasalahan yang menyangkut kualifikasi pendidikan minimal diploma

III, terjadi duplikasi pengaturan perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan dengan UU Kesehatan; terdapat kontradiksi pengecualian tenaga

medis sebagai tenaga kesehatan; permasalahan sertifikasi; registrasi; perizinan;

tenaga kesehatan asing; dan sanksi. Hal itu semakin menegaskan kelemahan dan ketidakmampuan UU Nakes untuk dapat menjangkau pengaturan seluruh jenis dan kelompok tenaga kesehatan dengan segala perbedaan watak, karakteristik, dan kode etik.

2. Kualifikasi Tenaga Kesehatan

DPD RI berpendapat bahwa penentuan pendidikan diploma III sebagai kualifikasi

minimum tenaga kesehatan sebagaimana disebut dalam Pasal 10 ayat (1) RUU Nakes

tidak sejalan dengan Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi

Nasional Indonesia (KKNI) yang merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi

kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor, termasuk kesehatan. Jika merujuk pada Pasal 5 huruf 3 dan Pasal 6 ayat (1) huruf b KKNI, lulusan diploma III setara dengan jenjang 5 dan tidak dapat dikategorikan sebagai tenaga professional, melainkan sebagai teknisi. Menurut KKNI, yang termasuk dalam tenaga kerja professional, sedikitnya harus berada pada jenjang 6, yakni berpendidikan diploma IV atau sarjana terapan.

Penentuan pendidikan diploma III sebagai kualifikasi minimum tenaga

kesehatan juga tidak dapat diterapkan pada tenaga kesehatan, khususnya dalam kelompok tenaga kefarmasian, yaitu apoteker yang saat ini tunduk dan diatur oleh PP No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (selanjutnya disebut PP Pekerjaan Kefarmasian). Sebagaimana disebut dalam Pasal 36 ayat (1) PP Pekerjaan Kefarmasian, apoteker sebagai salah satu jenis tenaga kesehatan dalam kelompok tenaga kefarmasian merupakan pendidikan profesi setelah sarjana farmasi.

Selain itu, ketentuan Pasal 10 ayat (1) RUU Nakes yang mengecualikan

persyaratan diploma III sebagai kualifikasi minimum bagi tenaga medis, semakin

menegaskan dan menguatkan kembali pendapat DPD RI bahwa RUU Nakes tidak dapat menjadi regulasi yang mengatur secara umum tenaga kesehatan.

3. Pengecualian Keberlakuan RUU Nakes dan Implikasinya terhadap Pengelompokan Tenaga Kesehatan

DPD RI berpendapat bahwa terdapat kontradiksi antara norma yang mengatur pengecualian keberlakuan RUU Nakes sebagaimana disebut Pasal 4 RUU Nakes dan norma hukum yang mengatur pengelompokan tenaga kesehatan sebagaimana disebut pada Pasal 12 ayat (1) RUU Nakes. Kontradiksi tersebut memperkuat alasan bahwa kehadiran RUU Nakes perlu ditinjau kembali.

Sebagaimana telah disebutkan pada Pasal 4 RUU Nakes bahwa beberapa norma hukum dalam RUU Nakes dikecualikan bagi tenaga medis dokter karena telah diundangkannya UU Praktik Kedokteran. Dengan mempertimbangkan proses penyusunan dan pembahasan RUU Keperawatan yang dilakukan bersamaan dengan proses penyusunan dan pembahasan RUU Nakes serta untuk mengantisipasi pengesahan lebih awal RUU tentang Keperawatan dibandingkan dengan RUU Nakes, DPD RI berpendapat bahwa materi RUU Keperawatan merupakan materi yang dikecualikan oleh Pasal 4 RUU Nakes.

Pencantuman norma hukum yang menyangkut pengelompokan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) RUU Nakes menimbulkan beberapa persoalan hukum. Pertama, pengelompokan tenaga kesehatan tersebut tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan norma hukum pengecualian keberlakuan RUU Nakes terhadap tenaga medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 RUU Nakes. Pasal 12 ayat (1) RUU Nakes masih menyebutkan bahwa tenaga medis merupakan kelompok tenaga kesehatan. Padahal, dengan adanya pengecualian sebagaimana disebut dalam Pasal 4, tenaga medis seharusnya juga dikecualikan sebagai bagian dari kelompok tenaga kesehatan.

(10)

Kedua, adanya frasa “tenaga kesehatan lainnya” yang diupayakan untuk mengakomodasi munculnya jenis dan kelompok tenaga kesehatan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi justru menimbulkan diskriminasi, bahkan kekacauan dan ketidakpastian hukum yang tentu bertentangan dengan tujuan hukum, yaitu keadilan dan kepastian hukum. Apalagi jika dikaitkan dengan norma hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 13 RUU Nakes yang menyatakan bahwa Menteri dapat menetapkan jenis dan kelompok tenaga kesehatan selain yang disebut dalam Pasal 12 ayat (1) RUU Nakes. Hal itu berarti bahwa ada kelompok tenaga kesehatan yang keberadaannya ditetapkan dengan undang-undang dan ada kelompok tenaga kesehatan yang ditetapkan dengan Ketetapan Menteri. Padahal, jika merujuk Pasal 21 ayat (3) UU Kesehatan, pengaturan tentang tenaga kesehatan diatur

dengan Undang-Undang. Selain itu, menurut DPD RI, pencantuman definisi tenaga

kesehatan sebagaimana disebut pada Pasal 1 angka 1 sudah sangat memadai dan dapat menjangkau berbagai jenis dan kelompok tenaga kesehatan yang ada pada saat ini dan pada masa datang.

Uraian di atas semakin memperkuat alasan dan pendapat DPD RI bahwa RUU Nakes tidak dapat menjadi regulasi yang mengatur secara umum tenaga kesehatan.

4. Perencanaan, Pengadaan, dan Pendayagunaan Tenaga Kesehatan

Pasal 21 ayat (2) UU Kesehatan menyatakan bahwa ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan diatur dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan fakta yuridis tersebut, DPD RI berpendapat bahwa norma perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana tercantum dalam Bab IV RUU Nakes merupakan norma hukum yang telah menjadi materi muatan UU Kesehatan.

Peraturan pemerintah tentang perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan hingga kini belum dibentuk. Namun hal itu tidak menjadi alasan pembenaran bagi munculnya RUU Nakes yang di dalamnya memuat norma tentang perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan. Jika hal itu dibiarkan, akan terjadi ketidakpastian hukum di dalam masyarakat karena terdapat dua undang-undang yang berbeda, tetapi memuat norma hukum yang sama. Masyarakat tentu akan kebingungan manakala harus memilih undang-undang mana yang akan dijadikan rujukan. Tindakan yang tepat dilakukan adalah segera menerbitkan PP tentang perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan, bukan malah menyusun RUU baru, seperti RUU Nakes ini.

Fakta yuridis lain yang tidak terbantahkan menyebutkan bahwa meskipun belum terdapat PP tentang perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan, penyusunan dan penetapan perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan saat ini telah diatur secara teknis, yaitu dengan berpedoman pada Keputusan

Menteri Kesehatan No. 81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan

Perencanaan Sumber Daya Manusia Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, serta Rumah Sakit sehingga tidak pernah terjadi kekosongan hukum terkait dengan materi perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan.

Berdasarkan paparan tersebut, DPD RI berpendapat bahwa RUU Nakes tidak diperlukan.

5. Sertifikasi, Registrasi, dan Perizinan Tenaga Kesehatan

Meskipun belum terdapat undang-undang tentang Tenaga Kesehatan, muatan

materi sertifikasi, registrasi, dan perizinan tenaga kesehatan sebagaimana tercantum

dalam Bab V RUU Nakes telah terakomodasi dalam bentuk regulasi yang lain, yakni telah terakomodasi dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1796/Menkes/Per/ VIII/2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan (selanjutnya disebut sebagai PMK

1796/2011) dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Peraturan pelaksanaan itu

lahir sebagai pemenuhan atas amanat Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Kesehatan

yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai perizinan diatur dalam Peraturan

Menteri.

DPD RI dapat memahami keinginan untuk memperkuat norma hukum tentang

sertifikasi, registrasi, dan perizinan menjadi muatan undang-undang, bukan hanya

sekadar peraturan menteri. DPD RI juga memahami bahwa sanksi pidana juga harus dikenakan pada setiap pelanggaran, bukan hanya berupa sanksi administratif seperti yang telah terjadi saat ini sehingga akan memperkuat penegakan hukum atas norma itu sendiri. Akan tetapi, perlu dipertimbangkan watak dan karakteristik setiap jenis dan

kelompok tenaga kesehatan yang saling berbeda. Undang-undang lazimnya memuat

norma yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh tenaga kesehatan, bukan hanya

berisikan norma tentang sertifikasi, registrasi, dan perizinan tenaga kesehatan. Jika

suatu undang-undang hanya berisikan itu, undang-undang tersebut hanya bersifat khusus yang berlaku hanya bagi setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan.

(11)

6. Tenaga Kesehatan Lulusan Luar Negeri dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing

Kewajiban melakukan registrasi bagi tenaga kesehatan warga negara Indonesia lulusan luar negeri dan tenaga kesehatan warga negara asing juga telah terakomodasi dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1796/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan (selanjutnya disebut sebagai PMK 1796/2011). Sama halnya dengan pendapat DPD RI pada butir 5, yaitu bahwa DPD RI dapat

memahami keinginan untuk memperkuat norma hukum tentang sertifikasi, registrasi, dan perizinan menjadi muatan undang-undang, bukan hanya sekadar peraturan

menteri. DPD RI juga memahami bahwa sanksi pidana juga harus dikenakan pada setiap pelanggaran, bukan hanya berupa sanksi administratif seperti yang telah terjadi saat ini sehingga akan memperkuat penegakan hukum atas norma itu sendiri. Akan tetapi, perlu dipertimbangkan watak dan karakteristik setiap jenis dan kelompok

tenaga kesehatan yang saling berbeda. Undang-undang lazimnya memuat norma

yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh tenaga kesehatan, bukan hanya

berisikan norma tentang sertifikasi, registrasi, dan perizinan tenaga kesehatan. Jika

suatu undang-undang hanya berisikan itu, undang-undang tersebut hanya bersifat khusus yang berlaku hanya bagi setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan.

Selain itu, perlu diperhatikan bahwa pengaturan tenaga kesehatan lulusan luar negeri dan tenaga kesehatan warga negara asing melibatkan berbagai kementerian terkait sehingga diperlukan koordinasi dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan.

7. Penyelenggaraan Keprofesian Tenaga Kesehatan

Hingga saat ini baru terdapat regulasi penyelenggaraan keprofesian yang diperuntukan tenaga medis dokter yang terangkum dalam UU Praktik Kedokteran. Dari UU Praktik Kedokteran muncul beberapa peraturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan menteri. Kehadiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/

III/2008 tentang Rekam Medis merupakan amanat dari Pasal 47 ayat (3) UU Praktik

Kedokteran, sedangkan kehadiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/

Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran merupakan amanat dari Pasal

45 UU Praktik Kedokteran.

DPD RI mendukung sepenuhnya adanya regulasi penyelenggaraan keprofesian bagi tenaga kesehatan lainnya agar norma hukum tersebut memiliki kekuatan penegakan melalui pemberian sanksi pidana dan sanksi administratif sehingga muatan norma hukum tersebut diletakan pada undang. Namun, undang-undang tersebut adalah undang-undang-undang-undang yang bersifat khusus bagi setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan, bukan undang-undang yang diberlakukan secara umum bagi seluruh tenaga kesehatan. Dengan demikian, pemuatan norma penyelenggaraan keprofesian dalam satu undang-undang yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam RUU Nakes tidaklah tepat.

8. Penyelesaian Perselisihan

Dalam ranah hukum perdata, setiap perselisihan yang timbul dapat diselesaikan tanpa harus melalui proses pengadilan ataupun melalui proses berperkara di pengadilan. Namun, setiap penyelesaian perselisihan sangat dianjurkan dilakukan melalui proses pengadilan dalam bentuk mediasi terlebih dahulu atau bahkan menjadi pilihan utama bagi setiap orang yang berselisih berdasarkan pada pertimbangan kemudahan administrasi perkara serta menghindari bertumpuknya perkara di pengadilan. Penyelesaian perselisihan melalui proses pengadilan harus menjadi jalan terakhir setelah proses mediasi di luar pengadilan dilakukan. Dengan adanya Peraturan

Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, proses

mediasi menjadi bagian dari tahapan yang wajib dilalui dalam proses penyelesaian perkara di persidangan.

Berdasarkan paparan di atas, DPD RI mendukung sepenuhnya alternatif model penyelesaian perselisihan di luar pengadilan dengan cara mediasi serta hak untuk mendapatkan ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian tindakan dalam layanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Norma yang relatif baru ini dalam perspektif DPD RI menjadi materi muatan undang-undang yang secara khusus hanya untuk setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan.

9. Ketentuan Pidana

Dari seluruh pandangan DPD RI yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, tampak bahwa telah terdapat berbagai regulasi di bidang layanan kesehatan yang diperuntukan tenaga kesehatan selain tenaga medis. Namun, regulasi tersebut tidak berbentuk undang-undang, tetapi berbentuk peraturan perundang-undangan yang tingkatannya berada di bawah undang-undang, seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Kehadiran suatu peraturan perundang-undangan merupakan perintah lebih lanjut dari UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

(12)

Dengan ditingkatkannya norma hukum yang merupakan muatan berbagai peraturan perundang-undangan menjadi muatan undang-undang, diharapkan penegakan hukum atas seluruh norma yang ada lebih kuat karena adanya unsur pidana sebagai pemaksa. Dalam perspektif DPD RI undang-undang yang harus diterbitkan adalah undang-undang yang bersifat khusus yang mengatur setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan.

10. Peraturan Pelaksanaan

DPD RI berpendapat bahwa di dalam RUU Nakes terdapat pendelegasian pengaturan teknis tenaga kesehatan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yakni membutuhkan lima buah Peraturan Pemerintah dan enam belas Peraturan Menteri. Pendelegasian tersebut menimbulkan kesulitan di dalam implementasinya karena sangat sulit pengoperasiannya. Selain itu, pendelegasian pengaturan teknis mengenai tenaga kesehatan dalam bentuk Peraturan Pemerintah sangat tidak tepat karena setiap tenaga kesehatan memiliki karakteristik yang berbeda dan khusus yang seharusnya diatur dalam undang-undang tersendiri.

VI. SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. SIMPULAN

Berdasarkan seluruh paparan sebagaimana telah disampaikan di atas, DPD RI menyimpulkan bahwa secara konseptual RUU Nakes tidak dapat menjadi regulasi yang bersifat umum dan yang dapat diberlakukan bagi seluruh jenis dan kelompok tenaga kesehatan.

B. REKOMENDASI

Berdasarkan paparan dan simpulan di atas, DPD RI merekomendasi hal-hal berikut.

1. Meninjau kembali urgensi pembentukan RUU Nakes untuk mengatur seluruh jenis dan kelompok tenaga kesehatan karena setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan memiliki watak, karakteristik, dan kode etik yang berbeda dan mendorong pembentukan undang-undang yang mengatur secara khusus bagi setiap jenis dan kelompok tenaga kesehatan.

2. Memprioritaskan pembahasan dan pengesahan RUU Keperawatan sebagai regulasi yang mengatur secara khusus perawat sebagai tenaga kesehatan.

VII. PENUTUP

Pandangan dan pendapat DPD RI terhadap RUU tentang Tenaga Kesehatan yang disusun oleh DPD RI ini dimaksudkan untuk menjadi pertimbangan DPR RI dalam melakukan pembahasan terhadap rancangan undang-undang di maksud.

.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 28 Maret 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan kepada guru matematika untuk dapat menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe TAI dengan pendekatan Reciprocal Teaching ini sebagai salah satu

Leuwih écésna Modul Diklat Guru Pembelajar Basa Sunda Kelompok Kompeténsi Gngawengku 10matéri poko, nu ngawengku 4 (opat) matéri poko kompeténsi pédagogik, jeung 6

Pada hasil uji perbandingan dengan uji Mann Whitney U didapat nilai sebesar 0,000 dengan nilai signifikan sebesar 0,000 dan nilai Z adalah -6,655 yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil masyarakat commuter, hubungan sosial, dan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat commuter di Dusun Sungai

Flowchart menu utama ini terdapat pada client, ketika program aplikasi dijalankan maka akan tampil menu utama yang di dalamnya terdapat lima pilihan yaitu info,

Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Runtuwene (2015), menjelaskan bahwa persepsi kualitas yang dimiliki produk Sepeda Motor Yamaha Mio-J mempunyai pengaruh

Bahwa berdasarkan isi Perjanjian Konsesi disebutkan tujuan Perjanjian Konsesi dibuat adalah memasok air bersih untuk memenuhi kebutuhan saat Perjanjian Konsesi

Uji unit dalam kontek OO tidak melakukan uji pada tiap modul secara individual seperti uji unit dari perangkat lunak konvensional, namun unit terkecil yang