• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUKURAN TOLERANSI FRUSTRASI DEWASA DINI DENGAN MENGGUNAKAN THE ROSENZWEIG PICTURE-FRUSTRATION (P-F) STUDY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGUKURAN TOLERANSI FRUSTRASI DEWASA DINI DENGAN MENGGUNAKAN THE ROSENZWEIG PICTURE-FRUSTRATION (P-F) STUDY"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

PADA DEWAS

THE ROSEN

UNIV

ASA DINI DENGAN MENGGUN

ENZWEIG PICTURE-FRUSTRA

(P-F) STUDY

Di susun oleh :

MARIA KHRISTINA I

019114087

IVERSITAS SANATA DHARMA

FAKULTAS PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

YOGYAKARTA

2008

(2)
(3)
(4)
(5)

IF

YOU

WANNA

MAKE

THE

CHANGES

FOR

YOUR

LIFE

Jika kehidupan Anda harus memberikan arti, hal itu harus dimulai hari ini

juga.

Kita semua harus menjadi seorang juara dunia untuk satu usaha di bidang tertentu. Kita wajib menemukan bidang tersebut.

Namun, melakukan hal yang sama setiap harinya tidak mungkin memberikan hasil yang baru. Untuk mengubah hasil yang Anda peroleh, Anda perlu mengubah apa yang sedang Anda kerjakan. Anda harus mengubah cara Anda menjalani hidup.

Mengubah cara hidup Anda berarti mengubah cara berpikir Anda. Mengubah cara berpikir Anda berarti mengubah apa yang Anda yakini atau terima mengenai kehidupan. Hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Sedemikian sulitnya sehingga bahkan ketika Anda sangat ingin berubah, Anda lebih memilih untuk menderita karena hal itu terasa akrab dan menyenangkan bagi diri Anda.

Itulah maut yang melumpuhkan dari zona kenyaman itu.

Pada dasarnya, ada dua macam orang: orang yang tergolong sebagai singa dan domba. Sembilan puluh persen dari kita adalah domba. Karena kita suka

menaati norma-norma. Norma itu menjadi zona kenyaman kita. Zona kenyamanan adalah di mana Anda perlahan-lahan tenggelam dan Anda menikmatinya saat melakukan hal tersebut.

(6)

dipertaruhkan bagaikan koin-koin di meja judi, hal tersebut tidak berguna kecuali jika digunakan untuk bertaruh.

Hidup Anda bukan milik Anda sampai Anda mempertaruhkannya. Yang Anda miliki hanyalah sebuah kesempatan baik untuk menjalani kehidupan. Setiap kali Anda berpaling dari sesuatu yang menggoyang zona kenyamanan Anda dan setiap kali Anda memilih untuk tidak mengambil resiko, anda kehilangan kesempatan itu.

Satu kata sederhana yang menyedihkan yang mendefinisikan 90 persen umat manusia adalah kata “seandainya”.

Seandainya segalanya berbeda

S

EGALA HAL TIDAK PERLU BERBEDA

.

A

NDALAH YANG PERLU BERBEDA

.

Keberuntungan bukanlah yang utama. Dunia ini, senantiasa, adalah sebuah tempat yang adil. Apa yang Anda taburkan itulah yang akan Anda tuai.

Jika Anda mengalami kegagalan, Anda memang perlu mengalami

kegagalan itu. Kegagalan adalah satu langkah maju. Kegagalan adalah

harga yang harus Anda bayar.

Ada satu solusi terhadap setiap masalah dan terkadang jika Anda cukup keras dalam mencarinya, masalah itu sendiri akan menyajikan sebuah solusi.

(7)

Semua masalah, pada hakikatnya, adalah sebuah solusi

yang belum terealisasikan.

Ada sebuah peluang dalam setiap masalah yang Anda alami. Semua masalah adalah sebuah hadiah. Hanya dengan menerima dan membuka

bungkusnyalah Anda akan menyadari hadiah itu.

Anda Didefinisikan oleh masalah-masalah yang Anda

hadapi. Baik oleh masalah-masalah yang mampu Anda

atasi maupun masalah-masalah yang tidak bisa Anda

atasi.

Dimanapun Anda kini berada, Anda

ditempatkan di posisi terbaik untuk

memperbaiki diri Anda. Itulah cara yang

ditempuh alam semesta.

Anggaplah masalah itu sebagai sebuah panggilan yang

membangunkan Anda.

Saya harus berubah.

Saya perlu berubah.

Saya pasti berubah.

Saya akan berubah.

(8)

atau lebih kecil. Masalah tidak pernah menjadikan seseorang persis seperti sebelum ia menghadapi masalah itu.

Ketahuilah bahwa di dalam segala sesuatu,

ada sebuah tujuan.

(9)
(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terimakasih saya panjatkan kepada Tuhan Yesus

Kristus atas selesainya penulisan skripsi dengan judul “Pengukuran Toleransi

Frustrasi pada Dewasa Dini dengan Menggunakan The Rosenzweig

Picture-Frustration (P-F) Study” Penulis juga ingin menyampaikan ucapan

terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya

skripsi ini.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis secara pribadi ingin

menghaturkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Psi, selaku dosen pembimbing yang mau

dengan sangat sabar sekali untuk membantu penulis menyelesaikan

penelitian ini. Terima sekali ya pak.. Untuk Bu Titik juga, maaf kalo saya

sering merepotkan..

2. Orangtuaku tersayang. Terima kasih untuk tetap percaya bahwa anaknya

ini suatu saat pasti akan menyelesaikan skripsinya.. ^.^ Amien, sekarang

udah selesai nih ma.. pa.. Makasih juga buat dukungan finansialnya...i

love you so much.

3. Bapak Edy Suhartanto, M.si, selaku Dekan Fakultas Psikologi atas segala

bantuan baik teknis maupun non-teknis.

4. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari S.Psi, M.Si, selaku Kepala

Program Studi Psikologi dan Dosen Pembimbing. Terima kasih untuk

(11)

5. Semua dosen fakultas Psikologi yang dengan senang hati membantu saya

selama kuliah dan selama penulisan skripsi ini, khususnya untuk Pak

Cahyo.. Terima kasih ya pak untuk segala bantuan terutama dalam hal

”energi kehidupan”nya.. Saya banyak dapat pelajaran dari bapak.

6. Mas Gandung, Mas Mudji, Mbak Nanik, Pak Gie’, terimakasih atas

semua bantuannya. Juga untuk Mas Doni, terima kasih ya mas udah mau

direpotin terus di ruang baca.

7. Fur meine liebe... Ahie, thanks banget untuk setiap supportnya, untuk

segala pengertiannya, untuk semua hal-hal konyol yang kamu lakukan

buatku.. It’s work hun.. =) hehehehe... thanks yah... Love you so much.

JBUs.

8. Kakak2ku tersayang.. Mas Ivan, Mba Anis, Mas Reza, Mba Ade, Mas

Boy.. thanks yah udah kasih support terus selama ini.. Ditunggu lho kado

kelulusannya.. hehehehe.. =)

9. Maria (BIA) dan suaminya Adri, thanks ya guys.. walaupun kalian

sekarang pacaran mulu tapi kalian masih mau tetep ada buatku dari awal

pembuatan skripsi ini.... (entah berapa thn yg lalu..) sampai akhirnya

selesai juga.. thank u for care..

10.My lovely cousin, Karla.. Gw ga tau deh kalo lo ga pernah dateng and

kasih solusi itu buat gw (QN).. it’s change everything.. thx ya sist.. you

are my family, my friends, my leader, and i proud of you!! Thx untuk

segala bantuan doa, semangat, dll yang pasti ga akan muat kalo gw tulis

(12)

11.Untuk teman2ku di QUESTNET.. thank u for the brotherhood.. untuk

Afong, thk u udah selalu jadi Tim Senang-Senang buatku.hehehe.. Mario,

thk u for the lesson, Chip-Chip buat semua foto-foto perjuanganku, Aan

buat segala pertengkaran yang menyenangkan wkwkwkwk.. =D, Fenny

buat pinjeman buku-bukunya.. thanks bgt ya fensy..., untuk Kaisar, Reza,

Vina, Genesis, Franstens, Agung, dan semua A-Team Giant yg ga bisa

satu-satu disebutin.. thk u so much..

12.Temen-temen basketku... Pippi, Frida, Nyonyo, Efan, Vicki, Shasha, Nila,

Bebhe, Nyoman, dll, thk u udah selalu nanyain ”kapan selesainya sih tien

skripsinya...” hehehehe.. And thx bgt untuk Topa yang udah bikin

gambar adaptasinya, can’t do without him.. thx guyz...

13.Kowuk, thk u udah slalu nemenin maen bilyard kalo tien lagi bad mood..

jangan bosen-bosen yah...

14.Richo yang lagi banting tulang di rantau.. Son, i did it.. thk u yah.. thk u

buat semua support DVDnya, it always help me when i’m down. thx son..

15.Thio and Gerald.. thks buat kecerewetan kalian tentang kuliahku.. untung

kalian udah ga dijogja.. Gmn kalo disini, pasti tiap saat makin cerewet

aja... hehehe.. love u guys..

16.Diana, thks yah dah ngrepotin kamu.. thk u untuk semua info-info tentang

kampus.. apa jadinya kalo ga ada kamu.. hehehe.. ^.^

17.Rabun.. teman kecilku, teman seperjuanganku.. kapan neh nyusul aku??

(13)

18.Untuk Vodka, Whisky, Jojo.. thk u dah jadi anjing yang slalu

menghiburku.. Untuk choky buayaku sayang, thk u dah slalu maklumin

kalo aku lupa kasih makan.. hehehe.. The last but not least, momo and

popo.. kalian bener2 hamster yg hiperaktif, thk u utk itu. Aku jadi bisa

ketawa setiap ngliat kalian.. ^.^

19.Temen-temen fakultas Psikologi yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu. Terimakasih atas semuanya.

Akhir kata, segala upaya dan kemampuan telah penulis curahkan agar

menjadikan skripsi ini sebagai suatu hasil karya yang bermanfaat. Penulis

menyadari akan segala kekurangan dan kelemahan yang ada. Oleh karena

itu penulis akan sangat berterimakasih dan berbesar hati bila ada kritik

dan saran dari pembaca untuk lebih memperbaiki karya penelitian ini.

Yogyakarta, Mei 2008

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..………... i

LEMBAR PENGESAHAN OLEH PEMBIMBING……….. ii

LEMBAR PENGESAHAN OLEH PENGUJI………..………... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…….………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO…….……….. v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN……… ix

KATA PENGANTAR………...………... x

DAFTAR ISI……….. xiv

DAFTAR TABEL……….... xviii

DAFTAR GRAFIK……….………..…. xix

DAFTAR LAMPIRAN……….... xx

ABSTRAK………...……….. xxi

ABSTRACT……….………...….. xxii

BAB I PENDAHULUAN………..……….………….. 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Rumusan Masalah…………...……… 9

C. Tujuan Penelitian………...………. 10

D. Manfaat Penelitian………..……… 10

1. Manfaat Praktis………...……….. 10

2. Manfaat Teoretis………...……… 10

BAB II LANDASAN TEORI………..………. 12

A. Toleransi Frustrasi……….…..………... 12

1. Pengertian Toleransi Frustrasi……….…………. 12

(15)

a. Fase pengaturan..………. 17

b. Fase reproduksi………..…………. 18

c. Fase bermasalah…..………...…………. 18

d. Fase ketegangan emosional…….……… 19

e. Fase keterasingan social……….. 19

f. Fase komitmen………...………. 19

g. Fase ketergantungan……… 20

h. Fase perubahan nilai……… 20

i. Fase penyesuaian diri dengan cara hidup baru……... 21

j. Fase kreatif………..… 21

B. Pengukuran Toleransi Frustrasi………...……..……..… 23

1. Rosenzweig Picture-Frustration Study………..… 25

a. Sejarah Rosenzweig Picture-Frustration Study……... 25

b. Konstruk dan Terminologi……….……. 27

2. Adaptasi Tes…………...………..………. 31

a. Pengertian Adaptasi Tes………...………… 31

b. Metode Mengadaptasi Tes……… 31

1. Langkah Adaptasi Bahasa……….…. 31

2. Adaptasi Gambar………....… 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………..……….… 34

A. Jenis Penelitian………...… 34

(16)

C. Definisi Operasional………. 35

D. Subjek Penelitian………. 36

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data………..…. 38

a. Extraggression (E-A)….……….……….. 40

b. Intraggression (I-A)………….………. 41

c. Imaggression (M-A)………. 41

d. Obstacle-Dominant (O-D)……..……….. 41

e. Ego-Defense (E-D)……….……….. 42

f. Need-Persistence (N-P)………….……… 42

Langkah Adaptasi……… 42

1. Langkah Adaptasi Bahasa………….………... 43

2. Adaptasi Gambar……….……… 44

F. Pertanggungjawaban Mutu Alat Pengumpul Data……...… 46

1. Validitas………...……… 46

a. Sebelum Adaptasi……… 46

b. Setelah Adaptasi……….. 46

2. Reliabilitas……… 49

a. Sebelum Adaptasi……… 49

b. Setelah Adaptasi……….. 50

G. Metode Analisis Data…..………….……… 51

1. Skoring………. 51

2. Interpretasi……… 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.………... 60

A. Pelaksanaan Penelitian……… 61

B. Deskripsi Subjek Penelitian……… 61

(17)

D. Pembahasan……….. 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 79

A. Kesimpulan………... 79

B. Saran………. 79

DAFTAR PUSTAKA……….………. 81

(18)

DAFTAR TABEL

TABEL 1. Komponen-komponen dalam Skoring dari Rosenzweig picture-

Frustration Study……… 29

TABEL 2. Mean dan Standar deviasi dari Kategori Skoring untuk Dewasa ….……….……… 57

TABEL 3. Norma Kategorisasi Jenjang…..………...…… 58

TABEL 4. Norma Kategorisasi Skoring…..………..……..…….…... 59

TABEL 5. Kategorisasi Usia dan Jenis Kelamin Subjek...…………... 60

TABEL 6. Klasifikasi E-A………..………... 61

TABEL 7. Klasifikasi I-A………...……….… 63

TABEL 8. Klasifikasi M-A………...…..…………... 64

TABEL 9. Klasifikasi O-D……….……….. 66

TABEL 10. Klasifikasi E-D………...…..……… 67

(19)

DAFTAR GRAFIK

GRAFIK 1. Skor Toleransi Frustrasi……….……….. 71

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : ALAT TES ASLI….……...……….. 84

LAMPIRAN 2 : ADAPTASI BAHASA ………...……….…... 93

LAMPIRAN 3 : ALAT TES YANG TELAH DI ADAPTASI….……... 96

LAMPIRAN 4 : CONTOH PENGISIAN ALAT TES OLEH SUBJEK .. 105

LAMPIRAN 5 : CONTOH PENSKORINGAN………..…. 120

LAMPIRAN 6 : HASIL TINGKAT TOLERANSI FRUSTRASI SUBJEK…

125

LAMPIRAN 7 : RELIABILITAS TIAP KATEGORI SKORING…... 128

(21)

Pengukuran Toleransi Frustrasi pada Dewasa Dini dengan Menggunakan The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study

Maria Khristina Indriani ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur toleransi frustrasi pada dewasa dini dengan cara melakukan adaptasi pada alat tes The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study for Adult. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif yang berarti memberikan gambaran secara umum tentang toleransi frustrasi pada dewasa dini berdasarkan analisis skor jawaban subjek

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes psikologi, yaitu tes proyektif dengan alat tes The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study yang telah diadaptasi. Penelitian ini menggunakan 59 orang subjek.

(22)

The Measurement of Frustration Tolerance to early adult with The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study

Maria Khristina Indriani

ABSTRACT

This research aimed to measure the frustration tolerance of early adult by doing an adaptation to The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study for Adult. This was a quantitative description research which give a general view about the frustration tolerance of early adult depend on subject analysis answering score.

Methodology used in this research was a psychology test, it was projective test with The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study that have been adapted. This research used 59 subjects.

(23)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Tidak bisa dipungkiri bahwa di jaman sekarang ini banyak orang

melakukan tindak kekerasan yang bisa membahayakan orang lain. Bila

kita menonton televisi, ada beberapa stasiun televisi yang mempunyai

program khusus untuk menayangkan berita-berita seputar tindak

kekerasan. Ketika kita membaca berita di Koranpun, yang paling banyak

menghiasi halaman depan adalah berita seputar kekerasan. Lihat saja,

betapa banyak berita yang kita baca tentang seseorang yang mampu untuk

membunuh orang lain hanya untuk masalah yang “sepele” seperti karena

uang Rp 50.000 (Petranto, 2006). Entah mengapa masyarakat kita

sekarang ini mudah sekali terpicu untuk marah. Dari hal yang kecil-kecil

seperti sikap pengendara mobil atau pengguna lalu lintas yang kurang

disiplin, kualitas produk yang kurang memenuhi syarat, hingga hal-hal

yang bersifat makro, seperti keadilan dan kebijakan pemerintah,

semuanya mudah memicu marah.

Banyak orang melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya

terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Contoh lainnya adalah berita

(24)

apinya di depan para wartawan yang berusaha mewawancarainya

(Yulianto, 2004). Beberapa dari kita setelah mendengar berita-berita di

atas mungkin berpikir, bagaimana itu bisa terjadi? Situasi apa yang

sedang dialami sehingga seseorang melakukan tindakan tersebut?

Pertanyaan semacam ini sering kali dilontarkan untuk mengetahui motif

seseorang ketika ia melakukan suatu tindakan yang negatif. Byrne &

Kelley (dalam Riantori, 2007) mengatakan bahwa para peneliti emosi

manusia mengenali bahwa kejadian-kejadian tertentu atau perbuatan

orang lain dapat membuat kita menjadi marah, seperti ketika kita secara

sengaja disakiti, dihina, ditipu, dibohongi atau diolok-olok – semua ini

membangkitkan kemarahan dan sikap agresif kita. Namun penjelasan

yang diutarakan oleh pelaku dirasa masih kurang mampu untuk

menggambarkan keadaan dirinya saat melakukan tindakan yang negatif.

Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mengetahui keadaan emosi

seseorang yang mendasari suatu perbuatan jika hanya dengan

melontarkan pertanyaan-pertanyaan langsung semacam itu.

Untuk mengungkapkan keadaan emosi seseorang yang sukar

diungkap digunakanlah suatu alat yang dinamakan teknik proyektif.

Teknik ini memungkinkan agar individu memproyeksikan pribadinya

melalui objek di luar dirinya. Dalam tes proyektif, subjek dihadapkan

pada materi atau stimulus yang sifatnya ambiguous, dan kemudian ia diminta untuk memberi respon terhadap stimulus tersebut. Subjek akan

(25)

ada pada dirinya dalam suatu perbuatan yang biasa ia lakukan. Penilaian

atau interpretasi tes proyektif ini tidak didasarkan pada prinsip benar dan

salah. Semua jawaban dalam tes proyektif adalah benar bila jawaban atau

repon yang diberikan benar-benar sesuai dengan keadaan individu yang

dites. Tes proyektif seperti halnya pemeriksaan psikologis yang lain

merupakan suatu upaya pengukuran agar diperoleh informasi yang akurat

untuk menggambarkan kepribadian seseorang dengan lebih tepat. Dengan

demikian gambaran kepribadian yang diperoleh sesuai dengan

kenyataannya (Yahman, 2007).

Salah satu contoh yang termasuk dalam kategori tes proyektif

adalah The Rosenzweig Picture - Frustation (P-F) Study. Dengan menciptakan sebuah prosedur yang bersifat proyektif, tes ini bertujuan

untuk mengukur reaksi terhadap frustasi dengan menyingkap pola-pola

dari respon pada stres sehari-hari. Materi teknik ini terdiri dari 24 seri

gambar karikatur yang menggambarkan dua orang yang terlibat dalam

suatu situasi yang membuat frustasi dari sebuah kejadian sehari-hari.

Figur di sebelah kiri dari tiap gambar ditunjukkan mengatakan kata-kata

yang membantu individu lain dalam penguraian frustasinya. Figur di sisi

kanan selalu ditunjukkan dengan sebuah kotak kosong di atasnya.

Ekspresi muka dan ekspresi-ekspresi emosi lain sengaja dihilangkan dari

gambar. Saat itu juga subjek diperintahkan untuk memeriksa situasi

(26)

kemudian menuliskannya pada kotak kosong di atas figur disebelah kanan

(Rosenzweig, 1978).

Asumsi dasar Tes P-F adalah bahwa subjek akan memproyeksikan

dirinya ke dalam situasi stimulus dan mungkin mengidentifikasikan

dirinya sebagai tokoh utama, yaitu, karakter yang berada dalam kondisi

frustasi pada tiap item. Dalam memberikan respon pertamanya - tema

gambar pertama yang masuk dalam pikirannya hampir seperti dibuat oleh

orang yang frustasi - subjek diasumsikan akan merespon dalam beberapa

perasaan yang tidak disadari oleh dirinya. Beberapa respon-responnya

pada item P-F kemudian bisa diambil sebagai suatu contoh kumpulan

pola reaksi dalam situasi-situasi frustrasi.

Frustasi adalah suatu hal yang penting untuk dibahas lebih

mendalam. Perasaan frustrasi yang dialami seseorang bisa saja

menyebabkan suatu perbuatan negatif jika tidak ditanggulangi dengan

tepat. Bila kita lihat di televisi, koran, atau internet, akan banyak sekali

kita temui berita-berita tentang seseorang yang melakukan suatu tindakan

yang merugikan dirinya atau orang lain yang disebabkan oleh rasa

frustrasi. Ada yang nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri

setelah cintanya diputus oleh pacarnya (Pikiran rakyat, 2003), ada yang

melampiaskan rasa frustrasinya dengan kebut-kebutan di jalan raya, ada

pula yang menjadi agresif dan marah-marah terus. Sebagian menyalurkan

emosinya dengan sengaja mencari masalah seperti mengajak orang

(27)

seseorang karena dipicu oleh perasaan frustrasi. Frustrasi mampu

menyebabkan tindakan agresif apabila berada dalam tingkat yang cukup

tinggi. Dalam kondisi ini, orang yang sedang mengalami frustrasi tidak

dapat mengatasi frustrasinya dengan mudah. Ketidakmampuan mengatasi

frustrasi ini dapat disebabkan oleh tidak adanya cara yang dapat

dilakukan atau bisa juga sebenarnya ia sudah melakukan berbagai cara

namun tidak ada yang berhasil menghilangkan frustrasinya. Bila tidak

dapat mengatasi, maka ia melakukan tindakan agresif, baik secara

langsung atau beberapa saat setelah frustrasi dialami (Yulianto, 2004).

Tindakan agresif yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak

mampu mengatasi frustrasinya ini bisa saja merugikan banyak pihak.

Apabila frustrasi tersebut tidak dapat dikendalikan lagi, bahkan bersifat

destruktif baik bagi diri sendiri maupun orang lain, hal itu bisa menjadi

sumber masalah, seperti masalah di kantor, di rumah, di kampus, dan

secara umum mempengaruhi kualitas hidup orang tersebut. Orang seperti

ini bisa saja melempar-lempar barang atau mengucapkan sumpah

serapahnya kepada orang lain sebagai bentuk agresinya. Pada umumnya,

orang yang mudah marah memiliki toleransi yang rendah terhadap

frustrasi. Ia merasa tidak pantas mendapatkan perlakuan yang tidak

semestinya dari orang lain, atau mendapatkan perlakuan yang tidak adil

dari orang lain. Misalnya terhadap kesalahan kecil yang diperbuatnya,

atau akibat kesalahpahaman, dan cara yang biasa dilakukan untuk

(28)

Penulis merasa bahwa dewasa dini adalah kelompok usia yang

sangat cocok untuk digunakan sebagai subjek penelitian dalam skripsi ini.

Masa dewasa dini merupakan masa awal dimana seseorang dituntut untuk

bersikap selayaknya orang dewasa sehingga toleransi terhadap kesalahan

mulai berkurang (Santrock, 1995). Masa ini juga dianggap sebagai masa

pencarian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh

dengan masalah dan ketegangan emosional. Pada masa ini, tugas-tugas

perkembangan mengacu pada beberapa pokok penyesuaian terhadap

peran sebagai mahluk sosial. Hurlock (1999) mencatat setidaknya ada

delapan tugas perkembangan pokok yang harus dipenuhi, yaitu : mulai

bekerja, memilih pasangan, belajar penyesuaian hidup dengan tunangan,

memasuki kehidupan keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga,

mengambil tanggung jawab sebagai warga negara dan mencari kelompok

sosial yang menyenangkan. Dua diantara delapan tugas tersebut

merupakan usaha untuk membentuk sebuah keluarga yang biasanya

didahului dengan proses pacaran, yang secara sederhana diartikan sebagai

hubungan cinta antara lelaki dan perempuan diluar pernikahan (Komaidi,

2004).

Pacaran pada usia dewasa dini biasanya dijalani dengan lebih

serius, dengan harapan dapat berlanjut sampai pada jenjang perkawinan.

Namun terkadang hubungan cinta tidak selamanya berjalan mulus.

Hubungan yang dibina mungkin satu dua tahun bahkan lebih ini

(29)

sedih yang dalam, merasakan kekecewaan, sakit hati, bahkan marah dan

bisa dalam waktu yang cukup lama (Cita Cinta, 2004). Tidak semua orang

yang memasuki masa dewasa dini bisa mengendalikan kemarahan dan

sakit hatinya dengan mudah. Hal paling fatal yang bisa disebabkan oleh

orang yang marah dan sakit hati adalah bunuh diri (Saud, 2005). Banyak

kasus yang terjadi diakibatkan gagalnya seseorang dalam membina

hubungan cinta dan berakhir dengan bunuh diri. Salah satunya adalah

Dodi (21) warga Desa Sukaraja Kec. Ciawigebang Kab. Kuningan

ditemukan tewas gantung diri karena putus cinta (Pikiran Rakyat, 2006)

dan Valentina Eva Laura Maria (21) yang menggemparkan masyarakat

Pemalang. Pasalnya, dia memanjat tower milik Satelindo setinggi 75 m

dan mencoba menjatuhkan diri karena cintanya diputus (Suara Merdeka,

2004). Adapun Wadi (20) warga Kp. Waru RT.07/01 Desa Hegarmana

Kecamatan Karangtengah Kabupaten Cianjur, nekat mengakhiri hidupnya

dengan cara gantung diri setelah cintanya diputus oleh pacarnya (Pikiran

rakyat, 2003). Menurut Dra Reni Kusumowardhani, seorang psikolog di

RSUD Cilacap, orang yang bunuh diri tersebut bisa dipastikan

mempunyai tingkat toleransi frustrasi yang rendah. Semua manusia pasti

pernah mengalami tekanan dari luar, namun bila memiliki tingkat

toleransi frustrasi tinggi, orang itu akan memilih jalan lain selain

mengakhiri hidup (Suara Merdeka, 2004).

Selain itu, tugas perkembangan dewasa dini juga mencari

(30)

masuk ke perguruan tinggi. Mereka mulai mencari teman-teman

sekelompok yang mempunyai kesukaan yang sama, minat yang sama, dan

mungkin juga sifat yang sama. Namun karena usia dewasa dini juga

merupakan usia yang rentan terhadap masalah dan emosi yang tinggi.

Ketika mempunyai masalah yang rumit, tidak jarang mereka mengalihkan

masalah dan emosinya yang kacau pada perilaku-perilaku yang negatif.

Beberapa reaksi negatif yang dilakukan oleh mahasiswa mulai dari

melanggar rambu lalu lintas, kasus perkelahian antar kelompok

mahasiswa yang lebih dikenal dengan tawuran di berbagai kota (Jakarta,

Semarang, Pekalongan, dan sebagainya), kriminalitas, penyalahgunaan

narkoba, perilaku seksual bebas dan sebagainya (R. Lestari dan S. Lestari,

2005). Kasus tertangkapnya mahasiswa yang sedang menghisap

shabu-shabu karena frustrasi (Solopos, 20 April 2001), mahasiswa sebagai

penjual narkoba dan sekaligus mengkonsumsinya (Kedaulatan Rakyat, 13

Juni 2002) semakin membukakan mata bahwa beberapa mahasiswa

berperilaku tidak konstruktif sebagai salah satu cara untuk mengatasi

masalah yang sedang dialami.

Seharusnya, tindakan agresif tersebut dapat saja kita cegah bila

kita bisa mengetahui terlebih dahulu keadaan emosi seseorang yang bisa

menyebabkan frustrasi. Bila kita mampu untuk mengetahui motif dibalik

kata-kata yang diucapkan atau tanda-tanda yang ditunjukkan oleh

orang-orang yang mengalami frustrasi, setidaknya kita bisa mengantisipasinya

(31)

sekali adanya alat tes yang dapat untuk mengukur frustrasi seseorang,

agar orang-orang yang mempunyai toleransi frustrasi yang rendah dapat

memperoleh penanganan yang tepat sebelum ia merugikan dirinya sendiri

ataupun orang lain. Di Indonesia belum banyak alat-alat tes psikologi

yang bertujuan untuk mengukur frustrasi. Alat tes yang lazim digunakan

untuk mengetahui tingkat ketahanan seseorang menghadapi tekanan

adalah metode Kraepplin. Dengan mengajukan sejumlah pertanyaan,

dapat diketahui bagaimana kemampuan orang dalam menghadapi

tekanan.

Di Netherlands, The Rosenzweig Picture - Frustation (P-F) Study for Adult telah diadaptasi untuk mengukur hostility in violent pada

forensic psychiatric patients. Dalam jurnal ini, penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa alat tes ini dapat digunakan untuk mengukur sikap

permusuhan seseorang yang bisa mendorong ke perilaku agresi (Wiley &

Sons, 2007). Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mengadaptasi

The Rosenzweig Picture – Frustration Study for Adult ini kedalam bahasa dan budaya Indonesia agar dapat digunakan untuk mengukur toleransi

frustrasi seseorang, khususnya pada kelompok subjek dewasa dini.

(32)

Melalui adaptasi alat tes The Rosenzweig Picture-Frustration Study yang dilakukan oleh penulis ini, hendak melihat bagaimana toleransi frustrasi pada dewasa dini?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengukur

toleransi frustrasi pada dewasa dini.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoretis

a. Menambah pengetahuan dalam bidang Psikologi klinis khususnya

dalam permasalahan yang terkait dengan toleransi terhadap

frustrasi.

2. Manfaat Praktis

a. Di dalam bisnis dan industri, alat ini digunakan untuk mengukur

sejauh mana toleransi frustrasi seorang karyawan dalam

menghadapi rutinitas dan permasalahan kerja, bisa juga digunakan

untuk mengukur toleransi seorang karyawan yang akan diberikan

tanggung jawab yang lebih besar misalnya dalam hal naik jabatan.

b. Di dalam suatu lembaga pendidikan umum, informasi dari alat tes

(33)

pendidik dalam mengajar murid-muridnya. Dalam lembaga

pendidikan militer, misalnya kepolisian. Alat tes ini dapat

digunakan untuk mengukur toleransi frustrasi seorang polisi yang

hendak diberikan suatu tanggung jawab, contohnya dalam hal

memegang senjata.

c. Untuk riset kebudayaan, alat ini dapat dipakai untuk

membandingkan toleransi frustrasi antara masyarakat Yogyakarta

(34)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. TOLERANSI FRUSTRASI 1. Pengertian Toleransi Frustrasi

Semua orang pasti menginginkan hidupnya selalu teratur sesuai

dengan rencana yang sudah mereka susun. Hal ini sangat masuk akal,

lalu apa yang menjadi masalahnya? Sayangnya, terkadang kita selalu

hanya menginginkan – kita beranggapan bahwa segala sesuatunya

harus sejalan dengan apa yang kita mau. Hal ini mencerminkan

kecenderungan manusia yang dinamakan low frustration-tolerance

(LFT) atau yang disebut sebagai toleransi frustrasi yang rendah.

Toleransi frustrasi yang rendah (LFT) disebabkan oleh perasaan yang

mengganggap bahwa frustrasi adalah suatu bencana besar dan tidak

boleh dialami oleh seseorang (“What is Low Frustration-Tolerance,

2007, para.1). Hal ini didasarkan pada anggapan seperti:

“Dunia ini harus memberikan kesenangan dan

(35)

“Semuanya harus terjadi seperti yang aku mau, dan

aku tidak terima bila hal itu tidak terjadi seperti yang

kuinginkan”,

“Frustrasi adalah sesuatu yang tidak bisa diterima,

oleh karena itu aku harus menghindarinya”,

“Orang lain tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa

membuatku menjadi frustrasi”.

Sebuah konsep diciptakan oleh Albert Ellis (dalam ”Things must be, 2007), seorang psikolog di New Zeland yang mengatakan bahwa LFT muncul dari keinginan bahwa segala sesuatunya harus seperti

yang diinginkan. Oleh karena itu, bila sesuatu hal terjadi tidak seperti

yang diinginkan maka LFT bisa menimbulkan banyak penderitaan,

misalnya:

a. Kecemasan (anxiety), timbul ketika seseorang mempunyai keyakinan bahwa mereka harus mendapatkan apa yang mereka

inginkan (dan jangan sampai mendapatkan apa yang tidak

mereka inginkan), dan ketika sesuatu hal tidak terjadi seperti

yang seharusnya, maka akan menjadi sangat tidak

menguntungkan bagi orang tersebut. Kecemasan yang

berlebihan bisa menjadikan orang tersebut mengalami stress

berat.

b. Lari pada kesenangan-kesenangan yang bersifat sementara. Pada

(36)

bisa membuatnya merasa nyaman dan lari dari rasa sakitnya.

Seperti minum minuman beralkohol, memakai obat-obatan

terlarang, melakukan seks bebas, atau belanja berlebihan untuk

menghindari perasaan kehilangan.

c. Tendensi untuk ketergantungan (addictive tendencies). Toleransi frustrasi yang rendah adalah kunci untuk seseorang menjadi

ketergantungan. Lebih mudah menerima dorongan untuk minum

minuman beralkohol secara berlebihan, memakai obat-obatan

terlarang, berjudi, daripada untuk menolak dorongan tersebut.

Oleh karena itu hal ini dapat menyebabkan

kecanduan/ketergantungan.

d. Mengeluh dan berpikir negatif (negativity and complaining). Toleransi frustrasi yang rendah bisa menyebabkan orang

tersebut merasa menderita ketika melewati rintangan kecil, dan

cenderung untuk membanding-bandingkan antara keadaan

dirinya dengan orang lain.

e. Kemarahan (anger). Mengacu pada sikap permusuhan ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak disukai, atau orang

lain gagal untuk memenuhi apa yang diinginkan. Dan bisa saja

kemarahan ini mengacu pada tindakan agresif.

Begitulah yang biasa dilakukan oleh seseorang dengan toleransi

(37)

seakan-akan terperangkap pada anggapan seperti “aku tidak bisa”,

“aku tidak tahan”, atau “hal ini tidak bisa diterima”. Ketika seseorang dengan toleransi frustrasi yang rendah mengalami frustrasi, ini berarti

(a) dia merasa mengalami kehancuran, (b) dia tidak pernah lagi

merasakan kebahagiaan.

Namun, hal ini tentu saja berbeda dengan seseorang yang

mempunyai toleransi frustrasi yang tinggi. Toleransi frustrasi yang

tinggi (high frusrtration tolerance atau HFT) berarti menerima kenyataan dan menetapkan kesusahannya dalam pandangannya sendiri.

“Untuk menerima frustrasinya adalah untuk mengakui bahwa ketika

kamu tidak menyukainya, tidak ada hukum alam yang mengatakan

bahwa kamu seharusnya mendapat pengecualian (walaupun kamu

berharap kamu mendapatkannya).” Orang tersebut diharapkan untuk

mengalami emosi-emosi negatif seperti gangguan dan kekecewaan.

Namun ia menghindari untuk membesar-besarkan emosi ini (dengan

berkata pada dirinya sendiri bahwa ia bisa menghadapinya) menjadi

depresi, sikap permusuhan, sakit hati, atau keinginan untuk dikasihani

(Dryden, 2007, ABelief Pair).

Dryden mengatakan toleransi frustrasi yang tinggi mempunyai

keyakinan yang masuk akal, mudah menyesuaikan, serta tidak

membesar-besarkan suatu masalah. Keyakinan ini terekspresi dalam

(38)

mentolerir kegagalannya jika keinginannya terlalu tinggi, namun jika ia

mempunyai keyakinan sebagai seorang dengan HFT maka ia akan

sanggup untuk mentolerirnya. Hal ini disebabkan karena seseorang

dengan HFT akan terbantu untuk selalu mengambil tindakan yang

efektif ketika sedang menghadapi situasi yang negatif dan akan

membantu orang tersebut dalam memberikan dorongan positif pada

dirinya sendiri.

Maka dapat diambil kesimpulan, toleransi frustrasi adalah

kemampuan untuk menerima hal-hal yang tidak kita setujui atau tidak

kita sukai. Ketika seseorang merasa sangat frustrasi, hal itu bisa saja

menjadi pengganggu dalam penyelesaian tugasnya. Namun orang

dengan toleransi frustrasi yang tinggi (HFT) tidak mudah untuk mejadi

frustrasi (Frustration Tolerance, 2007).

2. Toleransi Frustrasi pada Dewasa Dini

Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap

pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang

dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran

suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah, dan mengembangkan

sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan

tugas-tugas baru ini. Penyesuaian diri ini menjadikan periode ini suatu

periode khusus dan sulit dalam rentang hidup seseorang (Hurlock,

1999). Bagi sebagian orang pada masa ini, menemukan tempat dalam

(39)

membutuhkan waktu yang lebih panjang dari yang kita bayangkan.

Pada masa ini, mereka masih bertanya pada dirinya siapakah mereka

dan khawatir jika tidak cukup untuk menjadi diri mereka yang

sekarang. Mimpi mereka berlanjut dan pikiran mereka semakin dalam,

namun pada titik tertentu mereka menjadi lebih pragmatis. Seks dan

cinta adalah hasrat yang kuat dalam hidup mereka – di satu sisi sebuah

kenikmatan, di sisi lain sebuah siksaan (Santrock, 1995).

Mahasiswa adalah seorang individu yang sedang studi di

perguruan tinggi, berusia sekitar 18-23 tahun. Hurlock (dalam

Hernawati, 2006) menyebutnya sebagai fase dewasa awal.

Tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu yang

mahasiswa:

a. Fase. pengaturan

Pada fase ini mahasiswa diminta untuk menerima tanggung jawab

sebagai orang dewasa. Pengaturan pola hidup dari yang sebelumnya;

di fase remaja, yang mungkin terasa tidak teratur sekarang dicoba

untuk dimengerti dan ditata sesuai dengan yang diinginkan.

Pengaturan jadual kuliah, jadual belajar, disamping jadual kerja bagi

mahasiswa yang memutuskan kuliah sambil kerja dan jadual

rekreasi serta berinteraksi sosial akan menentukan bidang minat

yang akan ditekuni lebih serius. Demikian pula dari semua teman

(40)

melakukan banyak percobaan untuk memahami dan menentukan apa

yang paling baik bagi dirnya. Mahasiswa yang telah dilatih

kemampuan memahami-membuat analisa-menyelesaikan masalah

melalui perkuliahan di kampus akan sangat terbantu di fase

pengaturan ini. Sekali individu menemukan pola hidup yang

diyakini dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan

mengembangkan pola-pola sikap, perilaku dan nilai-nilai yang

cenderung akan menjadi kekhasannya selama sisa hidupnya.

b. Fase reproduksi

Menjadi orangtua merupakan salah satu peran yang paling penting

dalam hidup orang dewasa. Mahasiswa yang memutuskan hidup

berumah tangga di fase ini, harus bersiap menjadi orangtua dalam

artian lain berarti juga harus siap memiliki anak.

c. Fase bermasalah

Dalam tahun-tahun awal masa dewasa, mahasiswa sangat berpotensi

masuk dalam masalah. Masalah yang dihadapi sekarang semakin

rumit bila dibandingkan yang dialami pada fase anak dan remaja.

Untuk ini dibutuhkan berbagai penyesuaian diri. Misalnya harus

menyesuaikan diri dengan penyelesaian tugas-tugas di kampus,

namun pada saat yang bersamaan ia harus meyesuaikan diri pada

kesepakatan dalam p e e r g r o u p / kelompoknya dalam hal

(41)

tidak memintanya. Ini berbeda waktu ia belum dianggap dewasa.

Meminta bantuan dari orang lainpun sepertinya ragu karena ia merasa

mampu menyelesaikan masalahnya, padahal belum tentu demikian.

d. Fase ketegangan emosional

Perpindahan dari fase anak ke fase dewasa menimbulkan kekawatiran

dan keresahan. Apa yang diresahkan orang muda ini tergantung dari

masalah-masalah penyesuaian diri yang harus dihadapi saat itu dan

berhasil tidaknya dalam upaya menyelesaikan masalah yang dihadapi

itu.

e. Fase keterasingan sosial

Saat mahasiwa berada di fase ini, interaksi sosial dengan temar-teman

kelompok sebaya menjadi renggang. Bersamaan dengan keterlibatan

dalam aktivitas sosial di luar rumah yang semakin berkurang. Sering

mahasiswa merasa kesepiaan dan intensitas keterasingan ini semakin

dipicu dengan timbulnya semangat bersaing dan hasrat yang kuat

untuk sukses dalam studi. Keramahtamahan pada fase remaja, diganti

dengan persaingan dalam lingkungan kelas di fakultas dan lebih luas

lagi adalah di universitas.

f. Fase komitmen

Sewaktu menjadi dewasa, orang-orang muda mengalami perubahan

tanggungjawab dari siswa yang sepenuhnya tergantung pada orangtua

dan guru, menjadi orang dewasa yang mandiri. Mahasiswa harus

(42)

membuat komitmen atas pilihannya. Memilih kuliah di suatu fakultas

berarti menekuninya sampai wisuda.

g. Fase ketergantungan

Banyak mahasiswa di fase ini masih memiliki ketergantungan

finansial pada orangtua berkaitan dengan biaya kuliah atau institusi

pendidikan yang memberi beasiswa. Rasa ketergantungan ini

membuatnya tidak bebas dalam artian sering terasa adanya tekanan

dari lingkungan eksternal yang mengharuskannya membuat prioritas

utama pada aktivitas kuliah.

h. Fase perubahan nilai

Nilai yang dianut oleh mahasiswa di fase dewasa dengan di fase

sebelumnya terdapat perbedaan. Hal ini karena: pertama, jika ia ingin

diterima oleh anggota kelompok orang dewasa maka mereka harus

menerima nilai-nilai kelompok tersebut. Perilaku acak-acakan dan

pemberontak di waktu remaja harus diganti dengan tingkah laku yang

dapat diterima masyarakat dewasa.; kedua, ia segera menyadari

bahwa nilai-nilai konvensional dalam hal keyakinan dan perilaku

harus lebih dipilih: Ketika remaja, sekolah adalah kewajiban yang

membebani namun pada umumnya masyarakat dewasa menolak

konsep tersebut dan menganggap kuliah adalah kesempatan menuntut

ilmu dan ini adalah investasi untuk sukses di kemudian hari; ketiga,

terjadi pergeseran nilai kearah yang lebih tradisional dan konservatif.

(43)

Pemenuhan kebahagiaan yang bersifat individual diganti dengan

pengembangan kesadaran akan perlunya keterlibatan sosial.

i. Fase penyesuaian diri dengan cara hidup baru.

Mahasiswa di fase ini ingin mengembangkan cara hidup yang baru,

dari tradisonal ke gaya hidup yang dianggap modern. Misalnya

menambah pengetahuan melalui internet, selain buku literatur,

menghubungi teman dan dosen lewat handphone. Penyesuaian kehidupan peran seks laki-laki dan perempuan atas dasar persamaan

derajat. Penyesuaian ini dapat menjadi sulit karena persiapan yang

sangat kurang dari arangtua dan guru untuk memasuki kehidupan

yang dinamis

j. Fase kreatif

Mahasiswa pada umumnya bangga mendapati dirnya berbeda dari

orang lain. Hal ini didukung dengan lepasnya ia dari berbagai

belenggu yang mengikatnya. Disinilah proses kreatifitas mulai

tumbuh. Membuat dan menjual kartu ucapan selamat menjelang

perayaan hari raya, membuat dan menjual T-shirt dengan design yang unik adalah proses kreatif yang membanggakan.

Santrock (1995) menyebutkan bahwa masa dewasa dini dimulai

pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Dengan

menurunnya tingkat usia kedewasaan secara hukum menjadi 18 tahun

(44)

masalah dan mereka tidak siap untuk mengatasinya. Hal ini disebabkan

oleh:

a. Pertama, sedikit sekali orang muda yang mempunyai persiapan

untuk menghadapi jenis-jenis masalah yang perlu diatasi sebagai

orang dewasa.

b. Kedua, sulit bagi orang muda untuk berhasil dalam memilih

karier sekaligus memilih pasangan hidup karena mencoba

menguasai dua atau lebih ketrampilan secara bersamaan

biasanya menyebabkan kedua-duanya kurang berhasil.

c. Ketiga, dan mungkin yang paling berat dari semuanya,

orang-orang muda itu tidak memperoleh bantuan dalam menghadapi

dan memecahkan masalah-masalah mereka, tidak seperti

sewaktu mereka dianggap belum dewasa.

Banyak kebingungan dan keresahan emosional yang mendasari

berbagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam masa ini.

Apabila seseorang merasa tidak mampu mengatasi masalah-masalah

utama dalam kehidupan mereka, hal ini dapat menyebabkan mereka

terganggu secara emosional, sehingga mereka memikirkan atau

mencoba untuk bunuh diri. Oleh karena itu, masa dewasa dini adalah

kelompok usia yang paling tepat sebagai subjek dalam penelitian ini.

Mahasiswa adalah individu yang kuliah di Perguruan Tinggi.

(45)

hidup yang sesuai; menyesuaikan diri dalam kehidupan orang

dewasa; mengatasi ketegangan emosional; mengatasi rasa

keterasingan sosial, hasrat berkompetisi; membuat komitmen;

mengatasi ketergantungan khususnya finansial; beradaptasi pada

perubahan nilai dari fase remaja ke dewasa; mengembangkan

kreativitas. Demikian pula mahasiswa harus memenuhi tugas

akademik: menyusun rencana studi; menaati tata tertib perkuliahan;

mengerjakan tugas kuliah; praktikum; mengikuti Ujian Tengah dan

Akhir Semester; skripsi. Mahasiswa sering belum mampu mengatasi

masalah yang berhubungan dengan tugas perkembangan dan

akademiknya, sehingga terkesan ia belum belajar dan

mengaktualisasikan diri secara maksimal. Sebenarnya menurut

perkembangan kognitifnya, ia telah berada pada fase formal

operasional yang memungkinkannya untuk berpikir abstrak, mampu

memecahkan masalah, membuat perencanaan, memonitoring, dan

mengevaluasi.

B. PENGUKURAN TOLERANSI FRUSTRASI

Secara tradisional, fungsi tes-tes psikologis adalah untuk mengukur

perbedaan-perbedaan antara individu-individu atau antara reaksi-reaksi

individu yang sama dalam berbagai situasi yang berbeda (Anastasi, 1998).

Dewasa ini, sekolah termasuk pihak yang paling besar menggunakan tes.

(46)

mengklasifikasi anak-anak untuk bisa mengambil manfaat dari berbagai

jenis pelajaran sekolah yang berbeda-beda, identifikasi mana yang

pembelajarannya cepat dan mana yang lamban, konseling pendidikan dan

pekerjaan pada tingkat sekolah menengah dan universitas, serta untuk

menyeleksi orang-orang yang melamar masuk sekolah-sekolah

professional.

Seleksi dan klasifikasi sumber daya manusia untuk bidang industri

menggambarkan penerapan utama lainnya atas tes psikologi. Dari

pekerjaan yang sifatnya mudah seperti operator pada lini-perakitan atau

staf pengarsipan sampai pada pekerjaan yang mempunyai tanggung jawab

besar seperti pihak manajemen puncak, hampir tidak ada pekerjaan yang

tidak dapat dibantu dengan dilakukannya tes tersebut dalam soal-soal

seperti penerimaan karyawan, penunjukkan tugas, pemindahan, promosi,

ataupun pemutusan hubungan kerja.

Penggunaan tes-tes dalam konseling perorangan secara bertahap

meluas dari bimbingan yang berlingkup sempit menyangkut rencana

pendidikan dan pekerjaan sampai pada keterlibatan dengan semua aspek

kehidupan seseorang. Ketentraman emosi dan hubungan-hubungan

interpersonal yang efektif kian lama kian menjadi sasaran utama

konseling. Selain itu, muncul juga penekanan pada penggunaan tes-tes

untuk meningkatkan pemahaman diri dan pengembangan diri (Anastasi,

(47)

Meskipun istilah kepribadian kadang kala digunakan dalam

pengertian yang lebih luas, dalam terminologi psikometri konvensional

tes-tes kepribadian adalah instrumen untuk mengukur ciri-ciri emosi,

motivasi, dan sikap, yang dibedakan dari kemampuan. Jumlah tes

kepribadian yang ada saat ini mencapai ratusan buah. Yang paling banyak

adalah inventori kepribadian dan teknik-teknik proyektif.

Ciri pembeda utama dari teknik proyektif adalah penilaiannya atas

tugas yang relatif tak terstruktur, yaitu tugas yang memungkinkan variasi

yang tak terbatas dari respon-respon yang mungkin diberikan. Untuk

memungkinkan individu berfantasi secara bebas, hanya instruksi umum

dan singkat yang akan diberikan. Karena alasan yang sama, stimuli tes

umumnya kabur atau ambigu. Hipotesis yang mendasari hal ini adalah

bahwa cara individu mempersepsi dan menginterpretasikan materi tes atau

menstrukturisasikan situasi itu akan mencerminkan aspek-aspek dasar dari

fungsi psikologisnya. Dengan kata lain, diharapkan materi tes bisa

berfungsi sebagai semacam saringan dimana responden memproyeksikan

proses pikiran, kebutuhan, kecemasan, dan konflik khas mereka (Anastasi,

1998).

Pada akhirnya, teknik-teknik proyektif selanjutnya dipandang

sebagai teknik yang amat efektif dalam menyingkapkan aspek tertutup,

laten, atau tak sadar dari kepribadian. Salah satu tes yang menggunakan

teknik proyektif adalah Rosenzweig Picture-Frustration Study (P-F Study).

(48)

a. Sejarah Rosenzweig Picture-Frustration Study

P-F Study adalah suatu perkembangan langsung dari sebuah

penelitian yang berorientasikan pada teori eksperimen. Tes Picture-Frustration ini sebelumnya tidak dirancang sebagai suatu alat klinis tetapi sebagai suatu metode untuk:

(a) mengeksplor konsep-konsep teori frustrasi, dan

(b) menguji beberapa dimensi metodologi yang bersifat

proyeksi.

Sebagai suatu teknik proyektif, P-F berada diantara World Association Test – yang menurut sejarahnya menjadi metode pertama yang bersifat proyeksi - dan Thematic Apperception Test (TAT); ini menyerupai kumpulan asosiasi terdahulu yang disebabkan oleh

instruksi, dan yang belakangan berdasarkan atas gambaran dasar dari

stimulus. Tetapi jika dibandingkan dengan TAT, yang mempunyai

keuntungan-keuntungan menjadi lebih umum dan lebih mudah

diselidiki, P-F mempunyai manfaat yang lebih siap dipergunakan

menjadi analisis (yang bersifat) kuantitatif. Jika dibandingkan dengan

TAT, stimulus yang dipakai dan respon-respon yang ditimbulkan

dalam P-F terbatas. Karena itu P-F adalah tehnik semiprojektif yang

terbatas (Rosenzweig, 1978). Maksudnya adalah bahwa Tes P-F

mempunyai tugas yang lebih terstruktur dibandingkan dengan tes-tes

projektif yang lain. Responnya lebih terbatas dan penentuan

(49)

standarisasi. Tes ini selain menggunakan gambar juga menggunakan

kata-kata untuk menstimulasi fantasi subjek.

b. Konstruk dan Terminologi

Dasar untuk menskoring dalam Tes P-F adalah bahwa subjek

yang tanpa disadari atau secara sadar mengidentifikasi dirinya

dengan individu yang frustasi pada setiap situasi dalam gambar dan

memproyeksikan prasangkanya sendiri di dalam jawaban-jawaban

yang diberikan. Untuk menggambarkan prasangkanya ini, skor

diberikan pada masing-masing respon di bawah dua dimensi utama:

Direction of Aggression dan Type of Aggression. (Lihat Tabel 1.) Yang termasuk dalam Direction of Aggression adalah:

a. extraggression (E-A) - di mana agresi ditujukankan pada lingkungan, contoh: Situasi no.3 “Saya akan meminta dia untuk

melepaskan topinya.”;

b. intraggression (I-A) - di mana agresi ditujukan pada diri subjek sendiri, contoh: Situasi no.3 “Saya harusnya memilih tempat

duduk yang lebih baik”; dan

c. imaggression (M-A) - di mana agresi dihindarkan dalam sebuah percobaan untuk menutupi frustrasi tersebut, contoh: Situasi

(50)

Hal ini seperti menggunakan suatu parafrase extraggressiveness

menjadikan agresi muncul keluar, intraggressiveness menjadikannya masuk, dan imaggressiveness memadamkannya.

Di bawah Type of Aggression terdapat:

a. obstacle-dominance (O-D) - di mana rintangan menyebabkan frustrasi keluar dalam sebuah respon, contoh: Situasi no.3

“Tidak, topi wanita ini menghalangi pandanganku.”;

b. ego(etho)-defense (E-D) - di mana ego dari subjek mendominasi untuk mempertahankan diri sendiri, contoh: Situasi no.3 “Saya

harap orang-orang mau melepaskan topinya didalam bioskop.”;

dan

c. need-persistence (N-P) - di mana solusi dari permasalahan ditekankan oleh subjek, contoh: Situasi no.3 “Harusnya kita

pergi ke bioskop lain.”

Dari kombinasi enam kategori ini dihasilkan sembilan kemungkinan

skoring untuk masing-masing item.

Suatu hal yang penting untuk diamati adalah bahwa agresi dalam

F tidak selalu menjadi agresi yang berimplikasi negatif. Dalam konteks

P-F, agresi secara umum digambarkan sebagai assertiveness (pengungkapan diri). Pengungkapan diri ini bisa muncul dalam bentuk persetujuan atau

negatif dalam karakternya. Persetujuan dalam P-F masuk dalam klasifikasi

(51)

sedangkan karakter negatif masuk dalam klasifikasi ego-defense yang sering kali bersifat destructive (untuk orang lain maupun diri sendiri). Hal ini penting karena di dalam banyak teori agresi sering kali pembedaan ini

dilewatkan dan agresi pada kenyataannya hanya bersinonim dengan

permusuhan atau yang bersifat merusak.

Tabel 1.

Komponen-komponen dalam Skoring dari Rosenzweig Picture- Frustration Study

Direction of Aggression

Type of Aggression

Obstacle- Dominance

Ego-Defense (Etho-Defense)

(52)

Extraggression (E-A)

(53)

Intaggression (I-A)

I′ (Intropeditive): Rintangan yang membuat frustasi ditafsirkan sama sekali tidak membuat frustasi atau bahkan seperti dalam beberapa manfaat cara; atau, dalam beberapa peristiwa, subjek menekankan perasaan malunya dengan menjadi terlibat di dalam penyelidikan frustrasi yang lain. I (Intropunitive): Kesalahan, celaan, dll., diarahkan oleh subjek atas dirinya. I :Suatu varian dari I di mana subjek mengakui rasa bersalahnya tetapi menyangkal setiap kesalahan penting dengan mengacu pada keadaan yang tidak dapat dihindari. i (Intropersistive) : Ganti rugi ditawarkan oleh subjek, biasanya dari suatu perasaan bersalah, untuk memecahkan masalah. Imaggression (M-A)

M′ (Impeditive) : Rintangan di dalam situasi frustasi diperkecil sampai berada dekat dengan point tentang keberadaan penyangkalnya.

M (Impunitive) : Menyalahkan orang lain yang frustrasi itu dihindarkan sama sekali, situasi itu dianggap sebagai situasi yang tidak dapat dihindari; secara khusus, individu yang " frustasi" diampuni.

(54)

2. Adaptasi Tes

a. Pengertian Adaptasi Tes

Adaptasi tes adalah perubahan yang dilakukan pada suatu alat

ukur asing (dalam hal bahasa dan budaya) menjadi suatu alat ukur

yang dapat dipakai ditempat yang baru. Dalam adaptasi ini terdapat

metode-metode yang harus diperhatikan agar nantinya adaptasi tes

bisa tetap valid seperti alat ukur yang asli. Adaptasi ini juga biasanya

dilakukan karena alasan subjek yang diukur, contohnya seperti yang

dilakukan di Netherlands, The Rosenzweig Picture - Frustation (P-F) Study for Adult telah diadaptasi untuk mengukur hostility in violent

pada forensic psychiatric patients dengan cara menyajikan tes ini secara lisan (Wiley & Sons, 2007).

b. Metode Mengadaptasi Tes

Mengadaptasi tes atau alat ukur dari luar Indonesia untuk

dipakai di Indonesia sebenarnya tidak hanya sekedar menerjemahkan

ke bahasa Indonesia. Mengadaptasi alat ukur berarti menyesuaikan

alat ukur tersebut dengan budaya Indonesia. Selain diterjemahkan ke

bahasa Indonesia, juga harus disesuaikan dengan konteks budaya,

dan lain-lain yang sekiranya diperlukan. Di samping itu, kita harus

tahu dasar teori dari alat ukur tersebut, dengan demikian item (butir

soal) dari alat ukur tersebut jelas mengukur apa (Yulianto, 2007).

(55)

1. Forward Translation. Penerjemahan dari bahasa asli ke bahasa Indonesia oleh individu yang mempunyai kompetensi bahasa,

misalnya dengan hasil TOEFL diatas 550 .

2. Back-Translation. Dari hasil translation, dilakukan back-translation. Hasil terjemahan bahasa Indonesia tadi diterjemahkan kembali ke bahasa asli oleh individu lain yang

berbeda dengan no. 1 diatas.

3. Comparing. Membandingkan hasil terjemahan no. 1 dan no. 2. Bila ada kesamaan/kesepakatan, berarti bisa dilanjutkan ke

tahap berikutnya. Bila berbeda, proses no. 1 dan no. 2 harus

diulangi dengan ahli yang berbeda.

4. Expert judgment. Pemeriksaan yang dilakukan oleh individu yang dianggap memiliki kompetensi dalam hal teori yang

diukur (untuk mengetahui apakah item sudah cukup baik

mewakili konstruk teoritis, disebut content validity).

2. Adaptasi Gambar

Selain adanya perubahan dalam hal bahasa, dalam adaptasi

ini perlu juga dilakukan perubahan dalam hal gambar. Mengingat

gambar-gambar pada alat ukur asli tersebut telah disesuaikan

dengan kebudayaan aslinya, sehingga jika diterapkan pada subjek

di Indonesia dikhawatirkan maksud dari gambar tersebut kurang

tersampaikan pada subjek. Oleh karena itu perlu adanya

(56)

Indonesia. Expert judgment kali ini juga dilakukan oleh Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Psi.

(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Menurut Sugiono (2000), penelitian deskriptif adalah penelitian

yang dilakukan untuk memberikan gambaran terhadap satu objek yang

diteliti melalui data sampel dan populasi sebagaimana adanya dengan

melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku secara umum.

Berdasarkan teori tersebut maka penelitian ini menggunakan data

kuantitatif yaitu data yang diperoleh melalui analisis skor jawaban subjek

pada alat tes sebagaimana adanya. Hal ini ditunjukkan untuk

menggambarkan toleransi frustrasi yang dialami oleh dewasa dini dan

membuat kesimpulan secara umum berdasarkan skor setiap kategori

dalam tes P-F.

Dengan demikian, jenis penelitian ini adalah deskriptif-kuantitatif

artinya memberikan gambaran secara umum tentang toleransi frustrasi

pada dewasa dini berdasarkan analisis skor jawaban subjek pada alat tes

P-F sebagaimana adanya. Hasil dari analisis akan digunakan untuk

menggambarkan mengenai toleransi frustrasi pada dewasa dini.

B. Variabel Penelitian

Menurut Arikunto (1998), variabel penelitian adalah objek

(58)

penelitian ini yang menjadi fokus atau objek penelitian adalah toleransi

frustrasi.

Toleransi frustrasi adalah kemampuan untuk menerima hal-hal

yang kita tidak setujui atau tidak kita sukai. Toleransi mensyaratkan

adanya penghargaan terhadap pandangan, keyakinan, nilai, serta praktik

orang atau kelompok yang berbeda dengan kita. Individu yang mudah

sekali menjadi marah biasanya adalah mereka yang memiliki tingkat

toleransi yang rendah terhadap suatu tekanan atau hal-hal yang

menyebabkan rasa frustrasi (low frustration tolerance). Toleransi frustrasi disini bisa berkaitan dengan dua situasi, yaitu dengan diri sendiri dan

dengan lingkungan sosial.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas

sifat-sifat hal yang di definisikan yang dapat diamati. Penyusunan definisi

operasional ini perlu karena digunakan sebagai acuan untuk alat

pengambil data yang akan digunakan dalam penelitian (Suryabrata,

1998).

Toleransi frustrasi adalah kemampuan untuk menerima hal-hal

yang tidak kita setujui atau tidak kita sukai. Untuk mengukur toleransi

frustrasi maka digunakanlah alat pengambil data yaitu alat ukur The Rosenzweig Picture-Frustration Study. Alat tes ini lebih untuk mengukur toleransi frustrasi individu ketika ia berhadapan dengan lingkungan

(59)

Berikut ini adalah penjelasan definisi operasional untuk enam

kategori dan sembilan kemungkinan skoring untuk masing-masing item

dari dua dimensi utama dalam P-F Study, yaitu Direction of Aggression

dan Type of Aggression. Yang termasuk dalam Direction of Aggression

adalah:

a. Extraggression (E-A) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada

tes P-F. Subjek menampakkan agresi dengan menekankan pada

kehadiran dari rintangan/permasalahan yang membuatnya

frustrasi (extrapeditive atau E’), menyalahkan orang lain dengan mengatakan kata-kata kasar untuk frustrasinya itu

(extrapunitive atau E), atau dengan menempatkan orang lain sebagai seseorang yang berkewajiban untuk memecahkan

masalah (extrapeditive atau e).

b. Intraggression (I-A) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada

tes P-F. Agresi dirubah masuk kedalam dirinya sendiri oleh

subjek, dengan menerima frustrasi sebagai sesuatu yang

bermanfaat dan lebih menekankan pada keadaan yang

(60)

ditimbulkan sebagai pemecahan masalah (intropersistive atau i).

c. Imaggression (M-A) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada tes P-F. Pada klasifikasi ini agresi dipadamkan atau dihindari, dan situasi

frustrasi digambarkan sebagai sesuatu yang tidak berarti

(impeditive atau M’), tidak terelakkan atau tidak dapat dihindari sehingga individu yang membuat subjek frustrasi

dimaafkan (impunitive atau M), atau berharap bahwa waktu akan memberikan suatu solusi untuk masalah tersebut;

kesabaran dan penyesuaian adalah karakteristiknya

(impersistive atau m).

Sedangkan yang termasuk dalam Type of Aggression adalah:

d. Obstacle-Dominant (O-D) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada tes P-F. Disini rintangan dalam peristiwa dititikberatkan pada respon dengan menekankan beratnya frustrasi tersebut

(extrapeditive atau E’), dengan mengartikan frustrasinya sebagai hikmah (keuntungan) daripada sebuah rintangan

(61)

e. Ego-Defensive (E-D) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada tes P-F. Ego dari subjek sangat berperan dalam responnya, dan ia bisa

menyalahkan orang lain atau benda disekelilingnya

(extrapunitive atau E), menyalahkan dirinya sendiri (intropunitive atau I), atau tidak seorangpun (impunitive atau M).

f. Need-Persistence (N-P) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada tes P-F. Kecenderungan pada respon-responnya adalah mengarah pada pemecahan masalah dari situasi frustrasinya, dan

reaksinya mengharapkan pelayanan dari orang lain untuk

solusinya (extrapersistive atau e), atau menempatkan diri subjek sendiri untuk memperbaiki kesalahan tersebut

(intropersistive atau i), atau menggantungkannya pada sang waktu untuk menjadi solusi dan berharap keadaan yang

berikutnya akan menjadi normal dengan sendirinya

(impersistive atau m).

D. Subjek Penelitian

Menurut Suharmi Arikunto (1993), subjek penelitian merupakan

tempat data diperoleh. Berdasarkan pengertian tersebut, maka subjek

(62)

dewasa dini. Pada fase ini seseorang diharuskan untuk menyesuaikan

dirinya dengan tugas-tugas baru atau lingkungan yang baru, sehingga hal

ini menjadikan periode dewasa dini sebagai suatu periode khusus dan

sulit dalam rentang hidup seseorang. Kegagalan dalam menjalani fase ini

akan menyebabkan adanya ketegangan emosional yang tinggi dan

akhirnya dapat mengganggu tahap perkembangan selanjutnya.

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester IV

Fakultas Psikologi USD angkatan tahun 2006/2007 dengan jenis kelamin

laki-laki dan perempuan yang berusia 19 tahun sampai 28 tahun pada saat

penelitian dilakukan. Pertimbangan yang dilakukan peneliti untuk

mengambil subjek mahasiswa semester IV yang berusia 19 tahun sampai

28 tahun karena pada umumnya mahasiswa yang berusia 19 tahun sampai

28 tahun termasuk dalam kategori dewasa dini.

E. Metode dan Alat Pengumpul Data

Untuk memperoleh data dan informasi mengenai toleransi

frustrasi pada diri subjek, metode pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah tes psikologi yaitu tes proyektif dengan alat

tes Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study.

Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study adalah sebuah alat tes yang diciptakan oleh Dr. Saul Rosenzweig dan diterbitkan pada tahun

1978 oleh Rana House di St. Louis, Wahington Avenue. P-F study ini

merupakan suatu alat tes yang bertujuan untuk mengukur reaksi terhadap

(63)

Tes ini terdiri dari 24 seri gambar karikatur yang menggambarkan dua

orang yang sedang terlibat dalam suatu situasi yang membuat frustasi dari

sebuah kejadian sehari-hari. Figur di sebelah kiri dari tiap gambar

ditunjukkan mengatakan kata-kata yang membantu individu lain dalam

penguraian frustasinya. Figur di sisi kanan selalu ditunjukkan dengan

sebuah kotak kosong di atasnya. Saat itu juga subjek diperintahkan untuk

memeriksa situasi tersebut dan memberikan jawaban yang pertama kali

masuk pikirannya dan kemudian menuliskannya pada kotak kosong di

atas figur disebelah kanan (Lihat lampiran 1 hal. 84).

Seperti yang sudah dijelaskan dalam Bab II, dasar untuk

menskoring Tes P-F adalah bahwa subjek yang tanpa disadari atau secara

sadar mengidentifikasi dirinya dengan individu yang frustasi pada setiap

situasi dalam gambar dan memproyeksikan prasangkanya sendiri di

dalam jawaban-jawaban yang diberikan. Untuk menggambarkan

prasangkanya ini, skor diberikan pada masing-masing respon di bawah

dua dimensi utama: Direction of Aggression dan Type of Aggression. (Lihat Tabel 1 hal. 29) Yang termasuk dalam Direction of Aggression

adalah extraggression (E-A); intraggression (I-A); dan imaggression (M-A). Sedangkan dalam Type of Aggression t

Gambar

Tabel 1. Komponen-komponen dalam Skoring dari Rosenzweig Picture-
Tabel 3 Norma Kategorisasi Jenjang
Tabel 4Norma Kategori Skoring
Tabel 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan campuran Piperazine-DEA terhadap solubilitas CO 2 dalam larutan 30% berat K 2 CO 3 untuk berbagai variabel

Hal ini sesuai dengan penelitian Mile, 2004 yang menunjukkan bahwa pada pemupukan pada saat tanam dengan kombinasi pupuk organik bokasi cair dosis 350 cc dengan majemuk anorganik NPK

Pendapatan daerah Kabupaten Tanggamus terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain - lain PAD. Belanja Daerah meliputi semua pengeluaran dari

Dapat dilihat bahwa semakin besar nilai beban, maka semakin besar pula batas saturasi bawahnya sampai pada nilai saturasi minimum karena kapabilitas transistor dan

Kelebihan dan kekurangan Baterai Alkali dengan Timah Hitam antara lain adalah Kelebihan dan kekurangan Baterai Alkali dengan Timah Hitam antara lain adalah baterai

Ibu Zulphiniar Ir., MT, selaku dosen Co-Pembimbing yang membantu memberikan arahan–arahan, serta dorongan–dorongan yang dirasakan sangat bermanfaat bagi penulis

Hasil percobaan pemisahan butir patah pada be- ras varietas IR 36 dengan menggunakan indented plate menunjukkan, bahwa butir beras yang terpisah tidak hanya butir beras