PADA DEWAS
THE ROSEN
UNIV
ASA DINI DENGAN MENGGUN
ENZWEIG PICTURE-FRUSTRA
(P-F) STUDY
Di susun oleh :
MARIA KHRISTINA I
019114087
IVERSITAS SANATA DHARMA
FAKULTAS PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
YOGYAKARTA
2008
IF
YOU
WANNA
MAKE
THE
CHANGES
FOR
YOUR
LIFE
Jika kehidupan Anda harus memberikan arti, hal itu harus dimulai hari ini
juga.
Kita semua harus menjadi seorang juara dunia untuk satu usaha di bidang tertentu. Kita wajib menemukan bidang tersebut.
Namun, melakukan hal yang sama setiap harinya tidak mungkin memberikan hasil yang baru. Untuk mengubah hasil yang Anda peroleh, Anda perlu mengubah apa yang sedang Anda kerjakan. Anda harus mengubah cara Anda menjalani hidup.
Mengubah cara hidup Anda berarti mengubah cara berpikir Anda. Mengubah cara berpikir Anda berarti mengubah apa yang Anda yakini atau terima mengenai kehidupan. Hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Sedemikian sulitnya sehingga bahkan ketika Anda sangat ingin berubah, Anda lebih memilih untuk menderita karena hal itu terasa akrab dan menyenangkan bagi diri Anda.
Itulah maut yang melumpuhkan dari zona kenyaman itu.
Pada dasarnya, ada dua macam orang: orang yang tergolong sebagai singa dan domba. Sembilan puluh persen dari kita adalah domba. Karena kita suka
menaati norma-norma. Norma itu menjadi zona kenyaman kita. Zona kenyamanan adalah di mana Anda perlahan-lahan tenggelam dan Anda menikmatinya saat melakukan hal tersebut.
dipertaruhkan bagaikan koin-koin di meja judi, hal tersebut tidak berguna kecuali jika digunakan untuk bertaruh.
Hidup Anda bukan milik Anda sampai Anda mempertaruhkannya. Yang Anda miliki hanyalah sebuah kesempatan baik untuk menjalani kehidupan. Setiap kali Anda berpaling dari sesuatu yang menggoyang zona kenyamanan Anda dan setiap kali Anda memilih untuk tidak mengambil resiko, anda kehilangan kesempatan itu.
Satu kata sederhana yang menyedihkan yang mendefinisikan 90 persen umat manusia adalah kata “seandainya”.
Seandainya segalanya berbeda
S
EGALA HAL TIDAK PERLU BERBEDA
.
A
NDALAH YANG PERLU BERBEDA
.
Keberuntungan bukanlah yang utama. Dunia ini, senantiasa, adalah sebuah tempat yang adil. Apa yang Anda taburkan itulah yang akan Anda tuai.
Jika Anda mengalami kegagalan, Anda memang perlu mengalami
kegagalan itu. Kegagalan adalah satu langkah maju. Kegagalan adalah
harga yang harus Anda bayar.
Ada satu solusi terhadap setiap masalah dan terkadang jika Anda cukup keras dalam mencarinya, masalah itu sendiri akan menyajikan sebuah solusi.
Semua masalah, pada hakikatnya, adalah sebuah solusi
yang belum terealisasikan.
Ada sebuah peluang dalam setiap masalah yang Anda alami. Semua masalah adalah sebuah hadiah. Hanya dengan menerima dan membuka
bungkusnyalah Anda akan menyadari hadiah itu.
Anda Didefinisikan oleh masalah-masalah yang Anda
hadapi. Baik oleh masalah-masalah yang mampu Anda
atasi maupun masalah-masalah yang tidak bisa Anda
atasi.
Dimanapun Anda kini berada, Anda
ditempatkan di posisi terbaik untuk
memperbaiki diri Anda. Itulah cara yang
ditempuh alam semesta.
Anggaplah masalah itu sebagai sebuah panggilan yang
membangunkan Anda.
Saya harus berubah.
Saya perlu berubah.
Saya pasti berubah.
Saya akan berubah.
atau lebih kecil. Masalah tidak pernah menjadikan seseorang persis seperti sebelum ia menghadapi masalah itu.
Ketahuilah bahwa di dalam segala sesuatu,
ada sebuah tujuan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terimakasih saya panjatkan kepada Tuhan Yesus
Kristus atas selesainya penulisan skripsi dengan judul “Pengukuran Toleransi
Frustrasi pada Dewasa Dini dengan Menggunakan The Rosenzweig
Picture-Frustration (P-F) Study” Penulis juga ingin menyampaikan ucapan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya
skripsi ini.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis secara pribadi ingin
menghaturkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Psi, selaku dosen pembimbing yang mau
dengan sangat sabar sekali untuk membantu penulis menyelesaikan
penelitian ini. Terima sekali ya pak.. Untuk Bu Titik juga, maaf kalo saya
sering merepotkan..
2. Orangtuaku tersayang. Terima kasih untuk tetap percaya bahwa anaknya
ini suatu saat pasti akan menyelesaikan skripsinya.. ^.^ Amien, sekarang
udah selesai nih ma.. pa.. Makasih juga buat dukungan finansialnya...i
love you so much.
3. Bapak Edy Suhartanto, M.si, selaku Dekan Fakultas Psikologi atas segala
bantuan baik teknis maupun non-teknis.
4. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari S.Psi, M.Si, selaku Kepala
Program Studi Psikologi dan Dosen Pembimbing. Terima kasih untuk
5. Semua dosen fakultas Psikologi yang dengan senang hati membantu saya
selama kuliah dan selama penulisan skripsi ini, khususnya untuk Pak
Cahyo.. Terima kasih ya pak untuk segala bantuan terutama dalam hal
”energi kehidupan”nya.. Saya banyak dapat pelajaran dari bapak.
6. Mas Gandung, Mas Mudji, Mbak Nanik, Pak Gie’, terimakasih atas
semua bantuannya. Juga untuk Mas Doni, terima kasih ya mas udah mau
direpotin terus di ruang baca.
7. Fur meine liebe... Ahie, thanks banget untuk setiap supportnya, untuk
segala pengertiannya, untuk semua hal-hal konyol yang kamu lakukan
buatku.. It’s work hun.. =) hehehehe... thanks yah... Love you so much.
JBUs.
8. Kakak2ku tersayang.. Mas Ivan, Mba Anis, Mas Reza, Mba Ade, Mas
Boy.. thanks yah udah kasih support terus selama ini.. Ditunggu lho kado
kelulusannya.. hehehehe.. =)
9. Maria (BIA) dan suaminya Adri, thanks ya guys.. walaupun kalian
sekarang pacaran mulu tapi kalian masih mau tetep ada buatku dari awal
pembuatan skripsi ini.... (entah berapa thn yg lalu..) sampai akhirnya
selesai juga.. thank u for care..
10.My lovely cousin, Karla.. Gw ga tau deh kalo lo ga pernah dateng and
kasih solusi itu buat gw (QN).. it’s change everything.. thx ya sist.. you
are my family, my friends, my leader, and i proud of you!! Thx untuk
segala bantuan doa, semangat, dll yang pasti ga akan muat kalo gw tulis
11.Untuk teman2ku di QUESTNET.. thank u for the brotherhood.. untuk
Afong, thk u udah selalu jadi Tim Senang-Senang buatku.hehehe.. Mario,
thk u for the lesson, Chip-Chip buat semua foto-foto perjuanganku, Aan
buat segala pertengkaran yang menyenangkan wkwkwkwk.. =D, Fenny
buat pinjeman buku-bukunya.. thanks bgt ya fensy..., untuk Kaisar, Reza,
Vina, Genesis, Franstens, Agung, dan semua A-Team Giant yg ga bisa
satu-satu disebutin.. thk u so much..
12.Temen-temen basketku... Pippi, Frida, Nyonyo, Efan, Vicki, Shasha, Nila,
Bebhe, Nyoman, dll, thk u udah selalu nanyain ”kapan selesainya sih tien
skripsinya...” hehehehe.. And thx bgt untuk Topa yang udah bikin
gambar adaptasinya, can’t do without him.. thx guyz...
13.Kowuk, thk u udah slalu nemenin maen bilyard kalo tien lagi bad mood..
jangan bosen-bosen yah...
14.Richo yang lagi banting tulang di rantau.. Son, i did it.. thk u yah.. thk u
buat semua support DVDnya, it always help me when i’m down. thx son..
15.Thio and Gerald.. thks buat kecerewetan kalian tentang kuliahku.. untung
kalian udah ga dijogja.. Gmn kalo disini, pasti tiap saat makin cerewet
aja... hehehe.. love u guys..
16.Diana, thks yah dah ngrepotin kamu.. thk u untuk semua info-info tentang
kampus.. apa jadinya kalo ga ada kamu.. hehehe.. ^.^
17.Rabun.. teman kecilku, teman seperjuanganku.. kapan neh nyusul aku??
18.Untuk Vodka, Whisky, Jojo.. thk u dah jadi anjing yang slalu
menghiburku.. Untuk choky buayaku sayang, thk u dah slalu maklumin
kalo aku lupa kasih makan.. hehehe.. The last but not least, momo and
popo.. kalian bener2 hamster yg hiperaktif, thk u utk itu. Aku jadi bisa
ketawa setiap ngliat kalian.. ^.^
19.Temen-temen fakultas Psikologi yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu. Terimakasih atas semuanya.
Akhir kata, segala upaya dan kemampuan telah penulis curahkan agar
menjadikan skripsi ini sebagai suatu hasil karya yang bermanfaat. Penulis
menyadari akan segala kekurangan dan kelemahan yang ada. Oleh karena
itu penulis akan sangat berterimakasih dan berbesar hati bila ada kritik
dan saran dari pembaca untuk lebih memperbaiki karya penelitian ini.
Yogyakarta, Mei 2008
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………..………... i
LEMBAR PENGESAHAN OLEH PEMBIMBING……….. ii
LEMBAR PENGESAHAN OLEH PENGUJI………..………... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…….………... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO…….……….. v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN……… ix
KATA PENGANTAR………...………... x
DAFTAR ISI……….. xiv
DAFTAR TABEL……….... xviii
DAFTAR GRAFIK……….………..…. xix
DAFTAR LAMPIRAN……….... xx
ABSTRAK………...……….. xxi
ABSTRACT……….………...….. xxii
BAB I PENDAHULUAN………..……….………….. 1
A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Rumusan Masalah…………...……… 9
C. Tujuan Penelitian………...………. 10
D. Manfaat Penelitian………..……… 10
1. Manfaat Praktis………...……….. 10
2. Manfaat Teoretis………...……… 10
BAB II LANDASAN TEORI………..………. 12
A. Toleransi Frustrasi……….…..………... 12
1. Pengertian Toleransi Frustrasi……….…………. 12
a. Fase pengaturan..………. 17
b. Fase reproduksi………..…………. 18
c. Fase bermasalah…..………...…………. 18
d. Fase ketegangan emosional…….……… 19
e. Fase keterasingan social……….. 19
f. Fase komitmen………...………. 19
g. Fase ketergantungan……… 20
h. Fase perubahan nilai……… 20
i. Fase penyesuaian diri dengan cara hidup baru……... 21
j. Fase kreatif………..… 21
B. Pengukuran Toleransi Frustrasi………...……..……..… 23
1. Rosenzweig Picture-Frustration Study………..… 25
a. Sejarah Rosenzweig Picture-Frustration Study……... 25
b. Konstruk dan Terminologi……….……. 27
2. Adaptasi Tes…………...………..………. 31
a. Pengertian Adaptasi Tes………...………… 31
b. Metode Mengadaptasi Tes……… 31
1. Langkah Adaptasi Bahasa……….…. 31
2. Adaptasi Gambar………....… 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………..……….… 34
A. Jenis Penelitian………...… 34
C. Definisi Operasional………. 35
D. Subjek Penelitian………. 36
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data………..…. 38
a. Extraggression (E-A)….……….……….. 40
b. Intraggression (I-A)………….………. 41
c. Imaggression (M-A)………. 41
d. Obstacle-Dominant (O-D)……..……….. 41
e. Ego-Defense (E-D)……….……….. 42
f. Need-Persistence (N-P)………….……… 42
Langkah Adaptasi……… 42
1. Langkah Adaptasi Bahasa………….………... 43
2. Adaptasi Gambar……….……… 44
F. Pertanggungjawaban Mutu Alat Pengumpul Data……...… 46
1. Validitas………...……… 46
a. Sebelum Adaptasi……… 46
b. Setelah Adaptasi……….. 46
2. Reliabilitas……… 49
a. Sebelum Adaptasi……… 49
b. Setelah Adaptasi……….. 50
G. Metode Analisis Data…..………….……… 51
1. Skoring………. 51
2. Interpretasi……… 57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.………... 60
A. Pelaksanaan Penelitian……… 61
B. Deskripsi Subjek Penelitian……… 61
D. Pembahasan……….. 71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 79
A. Kesimpulan………... 79
B. Saran………. 79
DAFTAR PUSTAKA……….………. 81
DAFTAR TABEL
TABEL 1. Komponen-komponen dalam Skoring dari Rosenzweig picture-
Frustration Study……… 29
TABEL 2. Mean dan Standar deviasi dari Kategori Skoring untuk Dewasa ….……….……… 57
TABEL 3. Norma Kategorisasi Jenjang…..………...…… 58
TABEL 4. Norma Kategorisasi Skoring…..………..……..…….…... 59
TABEL 5. Kategorisasi Usia dan Jenis Kelamin Subjek...…………... 60
TABEL 6. Klasifikasi E-A………..………... 61
TABEL 7. Klasifikasi I-A………...……….… 63
TABEL 8. Klasifikasi M-A………...…..…………... 64
TABEL 9. Klasifikasi O-D……….……….. 66
TABEL 10. Klasifikasi E-D………...…..……… 67
DAFTAR GRAFIK
GRAFIK 1. Skor Toleransi Frustrasi……….……….. 71
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : ALAT TES ASLI….……...……….. 84
LAMPIRAN 2 : ADAPTASI BAHASA ………...……….…... 93
LAMPIRAN 3 : ALAT TES YANG TELAH DI ADAPTASI….……... 96
LAMPIRAN 4 : CONTOH PENGISIAN ALAT TES OLEH SUBJEK .. 105
LAMPIRAN 5 : CONTOH PENSKORINGAN………..…. 120
LAMPIRAN 6 : HASIL TINGKAT TOLERANSI FRUSTRASI SUBJEK…
125
LAMPIRAN 7 : RELIABILITAS TIAP KATEGORI SKORING…... 128
Pengukuran Toleransi Frustrasi pada Dewasa Dini dengan Menggunakan The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study
Maria Khristina Indriani ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur toleransi frustrasi pada dewasa dini dengan cara melakukan adaptasi pada alat tes The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study for Adult. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif yang berarti memberikan gambaran secara umum tentang toleransi frustrasi pada dewasa dini berdasarkan analisis skor jawaban subjek
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes psikologi, yaitu tes proyektif dengan alat tes The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study yang telah diadaptasi. Penelitian ini menggunakan 59 orang subjek.
The Measurement of Frustration Tolerance to early adult with The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study
Maria Khristina Indriani
ABSTRACT
This research aimed to measure the frustration tolerance of early adult by doing an adaptation to The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study for Adult. This was a quantitative description research which give a general view about the frustration tolerance of early adult depend on subject analysis answering score.
Methodology used in this research was a psychology test, it was projective test with The Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study that have been adapted. This research used 59 subjects.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Tidak bisa dipungkiri bahwa di jaman sekarang ini banyak orang
melakukan tindak kekerasan yang bisa membahayakan orang lain. Bila
kita menonton televisi, ada beberapa stasiun televisi yang mempunyai
program khusus untuk menayangkan berita-berita seputar tindak
kekerasan. Ketika kita membaca berita di Koranpun, yang paling banyak
menghiasi halaman depan adalah berita seputar kekerasan. Lihat saja,
betapa banyak berita yang kita baca tentang seseorang yang mampu untuk
membunuh orang lain hanya untuk masalah yang “sepele” seperti karena
uang Rp 50.000 (Petranto, 2006). Entah mengapa masyarakat kita
sekarang ini mudah sekali terpicu untuk marah. Dari hal yang kecil-kecil
seperti sikap pengendara mobil atau pengguna lalu lintas yang kurang
disiplin, kualitas produk yang kurang memenuhi syarat, hingga hal-hal
yang bersifat makro, seperti keadilan dan kebijakan pemerintah,
semuanya mudah memicu marah.
Banyak orang melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya
terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Contoh lainnya adalah berita
apinya di depan para wartawan yang berusaha mewawancarainya
(Yulianto, 2004). Beberapa dari kita setelah mendengar berita-berita di
atas mungkin berpikir, bagaimana itu bisa terjadi? Situasi apa yang
sedang dialami sehingga seseorang melakukan tindakan tersebut?
Pertanyaan semacam ini sering kali dilontarkan untuk mengetahui motif
seseorang ketika ia melakukan suatu tindakan yang negatif. Byrne &
Kelley (dalam Riantori, 2007) mengatakan bahwa para peneliti emosi
manusia mengenali bahwa kejadian-kejadian tertentu atau perbuatan
orang lain dapat membuat kita menjadi marah, seperti ketika kita secara
sengaja disakiti, dihina, ditipu, dibohongi atau diolok-olok – semua ini
membangkitkan kemarahan dan sikap agresif kita. Namun penjelasan
yang diutarakan oleh pelaku dirasa masih kurang mampu untuk
menggambarkan keadaan dirinya saat melakukan tindakan yang negatif.
Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mengetahui keadaan emosi
seseorang yang mendasari suatu perbuatan jika hanya dengan
melontarkan pertanyaan-pertanyaan langsung semacam itu.
Untuk mengungkapkan keadaan emosi seseorang yang sukar
diungkap digunakanlah suatu alat yang dinamakan teknik proyektif.
Teknik ini memungkinkan agar individu memproyeksikan pribadinya
melalui objek di luar dirinya. Dalam tes proyektif, subjek dihadapkan
pada materi atau stimulus yang sifatnya ambiguous, dan kemudian ia diminta untuk memberi respon terhadap stimulus tersebut. Subjek akan
ada pada dirinya dalam suatu perbuatan yang biasa ia lakukan. Penilaian
atau interpretasi tes proyektif ini tidak didasarkan pada prinsip benar dan
salah. Semua jawaban dalam tes proyektif adalah benar bila jawaban atau
repon yang diberikan benar-benar sesuai dengan keadaan individu yang
dites. Tes proyektif seperti halnya pemeriksaan psikologis yang lain
merupakan suatu upaya pengukuran agar diperoleh informasi yang akurat
untuk menggambarkan kepribadian seseorang dengan lebih tepat. Dengan
demikian gambaran kepribadian yang diperoleh sesuai dengan
kenyataannya (Yahman, 2007).
Salah satu contoh yang termasuk dalam kategori tes proyektif
adalah The Rosenzweig Picture - Frustation (P-F) Study. Dengan menciptakan sebuah prosedur yang bersifat proyektif, tes ini bertujuan
untuk mengukur reaksi terhadap frustasi dengan menyingkap pola-pola
dari respon pada stres sehari-hari. Materi teknik ini terdiri dari 24 seri
gambar karikatur yang menggambarkan dua orang yang terlibat dalam
suatu situasi yang membuat frustasi dari sebuah kejadian sehari-hari.
Figur di sebelah kiri dari tiap gambar ditunjukkan mengatakan kata-kata
yang membantu individu lain dalam penguraian frustasinya. Figur di sisi
kanan selalu ditunjukkan dengan sebuah kotak kosong di atasnya.
Ekspresi muka dan ekspresi-ekspresi emosi lain sengaja dihilangkan dari
gambar. Saat itu juga subjek diperintahkan untuk memeriksa situasi
kemudian menuliskannya pada kotak kosong di atas figur disebelah kanan
(Rosenzweig, 1978).
Asumsi dasar Tes P-F adalah bahwa subjek akan memproyeksikan
dirinya ke dalam situasi stimulus dan mungkin mengidentifikasikan
dirinya sebagai tokoh utama, yaitu, karakter yang berada dalam kondisi
frustasi pada tiap item. Dalam memberikan respon pertamanya - tema
gambar pertama yang masuk dalam pikirannya hampir seperti dibuat oleh
orang yang frustasi - subjek diasumsikan akan merespon dalam beberapa
perasaan yang tidak disadari oleh dirinya. Beberapa respon-responnya
pada item P-F kemudian bisa diambil sebagai suatu contoh kumpulan
pola reaksi dalam situasi-situasi frustrasi.
Frustasi adalah suatu hal yang penting untuk dibahas lebih
mendalam. Perasaan frustrasi yang dialami seseorang bisa saja
menyebabkan suatu perbuatan negatif jika tidak ditanggulangi dengan
tepat. Bila kita lihat di televisi, koran, atau internet, akan banyak sekali
kita temui berita-berita tentang seseorang yang melakukan suatu tindakan
yang merugikan dirinya atau orang lain yang disebabkan oleh rasa
frustrasi. Ada yang nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri
setelah cintanya diputus oleh pacarnya (Pikiran rakyat, 2003), ada yang
melampiaskan rasa frustrasinya dengan kebut-kebutan di jalan raya, ada
pula yang menjadi agresif dan marah-marah terus. Sebagian menyalurkan
emosinya dengan sengaja mencari masalah seperti mengajak orang
seseorang karena dipicu oleh perasaan frustrasi. Frustrasi mampu
menyebabkan tindakan agresif apabila berada dalam tingkat yang cukup
tinggi. Dalam kondisi ini, orang yang sedang mengalami frustrasi tidak
dapat mengatasi frustrasinya dengan mudah. Ketidakmampuan mengatasi
frustrasi ini dapat disebabkan oleh tidak adanya cara yang dapat
dilakukan atau bisa juga sebenarnya ia sudah melakukan berbagai cara
namun tidak ada yang berhasil menghilangkan frustrasinya. Bila tidak
dapat mengatasi, maka ia melakukan tindakan agresif, baik secara
langsung atau beberapa saat setelah frustrasi dialami (Yulianto, 2004).
Tindakan agresif yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
mampu mengatasi frustrasinya ini bisa saja merugikan banyak pihak.
Apabila frustrasi tersebut tidak dapat dikendalikan lagi, bahkan bersifat
destruktif baik bagi diri sendiri maupun orang lain, hal itu bisa menjadi
sumber masalah, seperti masalah di kantor, di rumah, di kampus, dan
secara umum mempengaruhi kualitas hidup orang tersebut. Orang seperti
ini bisa saja melempar-lempar barang atau mengucapkan sumpah
serapahnya kepada orang lain sebagai bentuk agresinya. Pada umumnya,
orang yang mudah marah memiliki toleransi yang rendah terhadap
frustrasi. Ia merasa tidak pantas mendapatkan perlakuan yang tidak
semestinya dari orang lain, atau mendapatkan perlakuan yang tidak adil
dari orang lain. Misalnya terhadap kesalahan kecil yang diperbuatnya,
atau akibat kesalahpahaman, dan cara yang biasa dilakukan untuk
Penulis merasa bahwa dewasa dini adalah kelompok usia yang
sangat cocok untuk digunakan sebagai subjek penelitian dalam skripsi ini.
Masa dewasa dini merupakan masa awal dimana seseorang dituntut untuk
bersikap selayaknya orang dewasa sehingga toleransi terhadap kesalahan
mulai berkurang (Santrock, 1995). Masa ini juga dianggap sebagai masa
pencarian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh
dengan masalah dan ketegangan emosional. Pada masa ini, tugas-tugas
perkembangan mengacu pada beberapa pokok penyesuaian terhadap
peran sebagai mahluk sosial. Hurlock (1999) mencatat setidaknya ada
delapan tugas perkembangan pokok yang harus dipenuhi, yaitu : mulai
bekerja, memilih pasangan, belajar penyesuaian hidup dengan tunangan,
memasuki kehidupan keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga,
mengambil tanggung jawab sebagai warga negara dan mencari kelompok
sosial yang menyenangkan. Dua diantara delapan tugas tersebut
merupakan usaha untuk membentuk sebuah keluarga yang biasanya
didahului dengan proses pacaran, yang secara sederhana diartikan sebagai
hubungan cinta antara lelaki dan perempuan diluar pernikahan (Komaidi,
2004).
Pacaran pada usia dewasa dini biasanya dijalani dengan lebih
serius, dengan harapan dapat berlanjut sampai pada jenjang perkawinan.
Namun terkadang hubungan cinta tidak selamanya berjalan mulus.
Hubungan yang dibina mungkin satu dua tahun bahkan lebih ini
sedih yang dalam, merasakan kekecewaan, sakit hati, bahkan marah dan
bisa dalam waktu yang cukup lama (Cita Cinta, 2004). Tidak semua orang
yang memasuki masa dewasa dini bisa mengendalikan kemarahan dan
sakit hatinya dengan mudah. Hal paling fatal yang bisa disebabkan oleh
orang yang marah dan sakit hati adalah bunuh diri (Saud, 2005). Banyak
kasus yang terjadi diakibatkan gagalnya seseorang dalam membina
hubungan cinta dan berakhir dengan bunuh diri. Salah satunya adalah
Dodi (21) warga Desa Sukaraja Kec. Ciawigebang Kab. Kuningan
ditemukan tewas gantung diri karena putus cinta (Pikiran Rakyat, 2006)
dan Valentina Eva Laura Maria (21) yang menggemparkan masyarakat
Pemalang. Pasalnya, dia memanjat tower milik Satelindo setinggi 75 m
dan mencoba menjatuhkan diri karena cintanya diputus (Suara Merdeka,
2004). Adapun Wadi (20) warga Kp. Waru RT.07/01 Desa Hegarmana
Kecamatan Karangtengah Kabupaten Cianjur, nekat mengakhiri hidupnya
dengan cara gantung diri setelah cintanya diputus oleh pacarnya (Pikiran
rakyat, 2003). Menurut Dra Reni Kusumowardhani, seorang psikolog di
RSUD Cilacap, orang yang bunuh diri tersebut bisa dipastikan
mempunyai tingkat toleransi frustrasi yang rendah. Semua manusia pasti
pernah mengalami tekanan dari luar, namun bila memiliki tingkat
toleransi frustrasi tinggi, orang itu akan memilih jalan lain selain
mengakhiri hidup (Suara Merdeka, 2004).
Selain itu, tugas perkembangan dewasa dini juga mencari
masuk ke perguruan tinggi. Mereka mulai mencari teman-teman
sekelompok yang mempunyai kesukaan yang sama, minat yang sama, dan
mungkin juga sifat yang sama. Namun karena usia dewasa dini juga
merupakan usia yang rentan terhadap masalah dan emosi yang tinggi.
Ketika mempunyai masalah yang rumit, tidak jarang mereka mengalihkan
masalah dan emosinya yang kacau pada perilaku-perilaku yang negatif.
Beberapa reaksi negatif yang dilakukan oleh mahasiswa mulai dari
melanggar rambu lalu lintas, kasus perkelahian antar kelompok
mahasiswa yang lebih dikenal dengan tawuran di berbagai kota (Jakarta,
Semarang, Pekalongan, dan sebagainya), kriminalitas, penyalahgunaan
narkoba, perilaku seksual bebas dan sebagainya (R. Lestari dan S. Lestari,
2005). Kasus tertangkapnya mahasiswa yang sedang menghisap
shabu-shabu karena frustrasi (Solopos, 20 April 2001), mahasiswa sebagai
penjual narkoba dan sekaligus mengkonsumsinya (Kedaulatan Rakyat, 13
Juni 2002) semakin membukakan mata bahwa beberapa mahasiswa
berperilaku tidak konstruktif sebagai salah satu cara untuk mengatasi
masalah yang sedang dialami.
Seharusnya, tindakan agresif tersebut dapat saja kita cegah bila
kita bisa mengetahui terlebih dahulu keadaan emosi seseorang yang bisa
menyebabkan frustrasi. Bila kita mampu untuk mengetahui motif dibalik
kata-kata yang diucapkan atau tanda-tanda yang ditunjukkan oleh
orang-orang yang mengalami frustrasi, setidaknya kita bisa mengantisipasinya
sekali adanya alat tes yang dapat untuk mengukur frustrasi seseorang,
agar orang-orang yang mempunyai toleransi frustrasi yang rendah dapat
memperoleh penanganan yang tepat sebelum ia merugikan dirinya sendiri
ataupun orang lain. Di Indonesia belum banyak alat-alat tes psikologi
yang bertujuan untuk mengukur frustrasi. Alat tes yang lazim digunakan
untuk mengetahui tingkat ketahanan seseorang menghadapi tekanan
adalah metode Kraepplin. Dengan mengajukan sejumlah pertanyaan,
dapat diketahui bagaimana kemampuan orang dalam menghadapi
tekanan.
Di Netherlands, The Rosenzweig Picture - Frustation (P-F) Study for Adult telah diadaptasi untuk mengukur hostility in violent pada
forensic psychiatric patients. Dalam jurnal ini, penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa alat tes ini dapat digunakan untuk mengukur sikap
permusuhan seseorang yang bisa mendorong ke perilaku agresi (Wiley &
Sons, 2007). Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mengadaptasi
The Rosenzweig Picture – Frustration Study for Adult ini kedalam bahasa dan budaya Indonesia agar dapat digunakan untuk mengukur toleransi
frustrasi seseorang, khususnya pada kelompok subjek dewasa dini.
Melalui adaptasi alat tes The Rosenzweig Picture-Frustration Study yang dilakukan oleh penulis ini, hendak melihat bagaimana toleransi frustrasi pada dewasa dini?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengukur
toleransi frustrasi pada dewasa dini.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoretis
a. Menambah pengetahuan dalam bidang Psikologi klinis khususnya
dalam permasalahan yang terkait dengan toleransi terhadap
frustrasi.
2. Manfaat Praktis
a. Di dalam bisnis dan industri, alat ini digunakan untuk mengukur
sejauh mana toleransi frustrasi seorang karyawan dalam
menghadapi rutinitas dan permasalahan kerja, bisa juga digunakan
untuk mengukur toleransi seorang karyawan yang akan diberikan
tanggung jawab yang lebih besar misalnya dalam hal naik jabatan.
b. Di dalam suatu lembaga pendidikan umum, informasi dari alat tes
pendidik dalam mengajar murid-muridnya. Dalam lembaga
pendidikan militer, misalnya kepolisian. Alat tes ini dapat
digunakan untuk mengukur toleransi frustrasi seorang polisi yang
hendak diberikan suatu tanggung jawab, contohnya dalam hal
memegang senjata.
c. Untuk riset kebudayaan, alat ini dapat dipakai untuk
membandingkan toleransi frustrasi antara masyarakat Yogyakarta
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TOLERANSI FRUSTRASI 1. Pengertian Toleransi Frustrasi
Semua orang pasti menginginkan hidupnya selalu teratur sesuai
dengan rencana yang sudah mereka susun. Hal ini sangat masuk akal,
lalu apa yang menjadi masalahnya? Sayangnya, terkadang kita selalu
hanya menginginkan – kita beranggapan bahwa segala sesuatunya
harus sejalan dengan apa yang kita mau. Hal ini mencerminkan
kecenderungan manusia yang dinamakan low frustration-tolerance
(LFT) atau yang disebut sebagai toleransi frustrasi yang rendah.
Toleransi frustrasi yang rendah (LFT) disebabkan oleh perasaan yang
mengganggap bahwa frustrasi adalah suatu bencana besar dan tidak
boleh dialami oleh seseorang (“What is Low Frustration-Tolerance,
2007, para.1). Hal ini didasarkan pada anggapan seperti:
“Dunia ini harus memberikan kesenangan dan
“Semuanya harus terjadi seperti yang aku mau, dan
aku tidak terima bila hal itu tidak terjadi seperti yang
kuinginkan”,
“Frustrasi adalah sesuatu yang tidak bisa diterima,
oleh karena itu aku harus menghindarinya”,
“Orang lain tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa
membuatku menjadi frustrasi”.
Sebuah konsep diciptakan oleh Albert Ellis (dalam ”Things must be, 2007), seorang psikolog di New Zeland yang mengatakan bahwa LFT muncul dari keinginan bahwa segala sesuatunya harus seperti
yang diinginkan. Oleh karena itu, bila sesuatu hal terjadi tidak seperti
yang diinginkan maka LFT bisa menimbulkan banyak penderitaan,
misalnya:
a. Kecemasan (anxiety), timbul ketika seseorang mempunyai keyakinan bahwa mereka harus mendapatkan apa yang mereka
inginkan (dan jangan sampai mendapatkan apa yang tidak
mereka inginkan), dan ketika sesuatu hal tidak terjadi seperti
yang seharusnya, maka akan menjadi sangat tidak
menguntungkan bagi orang tersebut. Kecemasan yang
berlebihan bisa menjadikan orang tersebut mengalami stress
berat.
b. Lari pada kesenangan-kesenangan yang bersifat sementara. Pada
bisa membuatnya merasa nyaman dan lari dari rasa sakitnya.
Seperti minum minuman beralkohol, memakai obat-obatan
terlarang, melakukan seks bebas, atau belanja berlebihan untuk
menghindari perasaan kehilangan.
c. Tendensi untuk ketergantungan (addictive tendencies). Toleransi frustrasi yang rendah adalah kunci untuk seseorang menjadi
ketergantungan. Lebih mudah menerima dorongan untuk minum
minuman beralkohol secara berlebihan, memakai obat-obatan
terlarang, berjudi, daripada untuk menolak dorongan tersebut.
Oleh karena itu hal ini dapat menyebabkan
kecanduan/ketergantungan.
d. Mengeluh dan berpikir negatif (negativity and complaining). Toleransi frustrasi yang rendah bisa menyebabkan orang
tersebut merasa menderita ketika melewati rintangan kecil, dan
cenderung untuk membanding-bandingkan antara keadaan
dirinya dengan orang lain.
e. Kemarahan (anger). Mengacu pada sikap permusuhan ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak disukai, atau orang
lain gagal untuk memenuhi apa yang diinginkan. Dan bisa saja
kemarahan ini mengacu pada tindakan agresif.
Begitulah yang biasa dilakukan oleh seseorang dengan toleransi
seakan-akan terperangkap pada anggapan seperti “aku tidak bisa”,
“aku tidak tahan”, atau “hal ini tidak bisa diterima”. Ketika seseorang dengan toleransi frustrasi yang rendah mengalami frustrasi, ini berarti
(a) dia merasa mengalami kehancuran, (b) dia tidak pernah lagi
merasakan kebahagiaan.
Namun, hal ini tentu saja berbeda dengan seseorang yang
mempunyai toleransi frustrasi yang tinggi. Toleransi frustrasi yang
tinggi (high frusrtration tolerance atau HFT) berarti menerima kenyataan dan menetapkan kesusahannya dalam pandangannya sendiri.
“Untuk menerima frustrasinya adalah untuk mengakui bahwa ketika
kamu tidak menyukainya, tidak ada hukum alam yang mengatakan
bahwa kamu seharusnya mendapat pengecualian (walaupun kamu
berharap kamu mendapatkannya).” Orang tersebut diharapkan untuk
mengalami emosi-emosi negatif seperti gangguan dan kekecewaan.
Namun ia menghindari untuk membesar-besarkan emosi ini (dengan
berkata pada dirinya sendiri bahwa ia bisa menghadapinya) menjadi
depresi, sikap permusuhan, sakit hati, atau keinginan untuk dikasihani
(Dryden, 2007, ABelief Pair).
Dryden mengatakan toleransi frustrasi yang tinggi mempunyai
keyakinan yang masuk akal, mudah menyesuaikan, serta tidak
membesar-besarkan suatu masalah. Keyakinan ini terekspresi dalam
mentolerir kegagalannya jika keinginannya terlalu tinggi, namun jika ia
mempunyai keyakinan sebagai seorang dengan HFT maka ia akan
sanggup untuk mentolerirnya. Hal ini disebabkan karena seseorang
dengan HFT akan terbantu untuk selalu mengambil tindakan yang
efektif ketika sedang menghadapi situasi yang negatif dan akan
membantu orang tersebut dalam memberikan dorongan positif pada
dirinya sendiri.
Maka dapat diambil kesimpulan, toleransi frustrasi adalah
kemampuan untuk menerima hal-hal yang tidak kita setujui atau tidak
kita sukai. Ketika seseorang merasa sangat frustrasi, hal itu bisa saja
menjadi pengganggu dalam penyelesaian tugasnya. Namun orang
dengan toleransi frustrasi yang tinggi (HFT) tidak mudah untuk mejadi
frustrasi (Frustration Tolerance, 2007).
2. Toleransi Frustrasi pada Dewasa Dini
Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap
pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang
dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran
suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah, dan mengembangkan
sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan
tugas-tugas baru ini. Penyesuaian diri ini menjadikan periode ini suatu
periode khusus dan sulit dalam rentang hidup seseorang (Hurlock,
1999). Bagi sebagian orang pada masa ini, menemukan tempat dalam
membutuhkan waktu yang lebih panjang dari yang kita bayangkan.
Pada masa ini, mereka masih bertanya pada dirinya siapakah mereka
dan khawatir jika tidak cukup untuk menjadi diri mereka yang
sekarang. Mimpi mereka berlanjut dan pikiran mereka semakin dalam,
namun pada titik tertentu mereka menjadi lebih pragmatis. Seks dan
cinta adalah hasrat yang kuat dalam hidup mereka – di satu sisi sebuah
kenikmatan, di sisi lain sebuah siksaan (Santrock, 1995).
Mahasiswa adalah seorang individu yang sedang studi di
perguruan tinggi, berusia sekitar 18-23 tahun. Hurlock (dalam
Hernawati, 2006) menyebutnya sebagai fase dewasa awal.
Tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu yang
mahasiswa:
a. Fase. pengaturan
Pada fase ini mahasiswa diminta untuk menerima tanggung jawab
sebagai orang dewasa. Pengaturan pola hidup dari yang sebelumnya;
di fase remaja, yang mungkin terasa tidak teratur sekarang dicoba
untuk dimengerti dan ditata sesuai dengan yang diinginkan.
Pengaturan jadual kuliah, jadual belajar, disamping jadual kerja bagi
mahasiswa yang memutuskan kuliah sambil kerja dan jadual
rekreasi serta berinteraksi sosial akan menentukan bidang minat
yang akan ditekuni lebih serius. Demikian pula dari semua teman
melakukan banyak percobaan untuk memahami dan menentukan apa
yang paling baik bagi dirnya. Mahasiswa yang telah dilatih
kemampuan memahami-membuat analisa-menyelesaikan masalah
melalui perkuliahan di kampus akan sangat terbantu di fase
pengaturan ini. Sekali individu menemukan pola hidup yang
diyakini dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan
mengembangkan pola-pola sikap, perilaku dan nilai-nilai yang
cenderung akan menjadi kekhasannya selama sisa hidupnya.
b. Fase reproduksi
Menjadi orangtua merupakan salah satu peran yang paling penting
dalam hidup orang dewasa. Mahasiswa yang memutuskan hidup
berumah tangga di fase ini, harus bersiap menjadi orangtua dalam
artian lain berarti juga harus siap memiliki anak.
c. Fase bermasalah
Dalam tahun-tahun awal masa dewasa, mahasiswa sangat berpotensi
masuk dalam masalah. Masalah yang dihadapi sekarang semakin
rumit bila dibandingkan yang dialami pada fase anak dan remaja.
Untuk ini dibutuhkan berbagai penyesuaian diri. Misalnya harus
menyesuaikan diri dengan penyelesaian tugas-tugas di kampus,
namun pada saat yang bersamaan ia harus meyesuaikan diri pada
kesepakatan dalam p e e r g r o u p / kelompoknya dalam hal
tidak memintanya. Ini berbeda waktu ia belum dianggap dewasa.
Meminta bantuan dari orang lainpun sepertinya ragu karena ia merasa
mampu menyelesaikan masalahnya, padahal belum tentu demikian.
d. Fase ketegangan emosional
Perpindahan dari fase anak ke fase dewasa menimbulkan kekawatiran
dan keresahan. Apa yang diresahkan orang muda ini tergantung dari
masalah-masalah penyesuaian diri yang harus dihadapi saat itu dan
berhasil tidaknya dalam upaya menyelesaikan masalah yang dihadapi
itu.
e. Fase keterasingan sosial
Saat mahasiwa berada di fase ini, interaksi sosial dengan temar-teman
kelompok sebaya menjadi renggang. Bersamaan dengan keterlibatan
dalam aktivitas sosial di luar rumah yang semakin berkurang. Sering
mahasiswa merasa kesepiaan dan intensitas keterasingan ini semakin
dipicu dengan timbulnya semangat bersaing dan hasrat yang kuat
untuk sukses dalam studi. Keramahtamahan pada fase remaja, diganti
dengan persaingan dalam lingkungan kelas di fakultas dan lebih luas
lagi adalah di universitas.
f. Fase komitmen
Sewaktu menjadi dewasa, orang-orang muda mengalami perubahan
tanggungjawab dari siswa yang sepenuhnya tergantung pada orangtua
dan guru, menjadi orang dewasa yang mandiri. Mahasiswa harus
membuat komitmen atas pilihannya. Memilih kuliah di suatu fakultas
berarti menekuninya sampai wisuda.
g. Fase ketergantungan
Banyak mahasiswa di fase ini masih memiliki ketergantungan
finansial pada orangtua berkaitan dengan biaya kuliah atau institusi
pendidikan yang memberi beasiswa. Rasa ketergantungan ini
membuatnya tidak bebas dalam artian sering terasa adanya tekanan
dari lingkungan eksternal yang mengharuskannya membuat prioritas
utama pada aktivitas kuliah.
h. Fase perubahan nilai
Nilai yang dianut oleh mahasiswa di fase dewasa dengan di fase
sebelumnya terdapat perbedaan. Hal ini karena: pertama, jika ia ingin
diterima oleh anggota kelompok orang dewasa maka mereka harus
menerima nilai-nilai kelompok tersebut. Perilaku acak-acakan dan
pemberontak di waktu remaja harus diganti dengan tingkah laku yang
dapat diterima masyarakat dewasa.; kedua, ia segera menyadari
bahwa nilai-nilai konvensional dalam hal keyakinan dan perilaku
harus lebih dipilih: Ketika remaja, sekolah adalah kewajiban yang
membebani namun pada umumnya masyarakat dewasa menolak
konsep tersebut dan menganggap kuliah adalah kesempatan menuntut
ilmu dan ini adalah investasi untuk sukses di kemudian hari; ketiga,
terjadi pergeseran nilai kearah yang lebih tradisional dan konservatif.
Pemenuhan kebahagiaan yang bersifat individual diganti dengan
pengembangan kesadaran akan perlunya keterlibatan sosial.
i. Fase penyesuaian diri dengan cara hidup baru.
Mahasiswa di fase ini ingin mengembangkan cara hidup yang baru,
dari tradisonal ke gaya hidup yang dianggap modern. Misalnya
menambah pengetahuan melalui internet, selain buku literatur,
menghubungi teman dan dosen lewat handphone. Penyesuaian kehidupan peran seks laki-laki dan perempuan atas dasar persamaan
derajat. Penyesuaian ini dapat menjadi sulit karena persiapan yang
sangat kurang dari arangtua dan guru untuk memasuki kehidupan
yang dinamis
j. Fase kreatif
Mahasiswa pada umumnya bangga mendapati dirnya berbeda dari
orang lain. Hal ini didukung dengan lepasnya ia dari berbagai
belenggu yang mengikatnya. Disinilah proses kreatifitas mulai
tumbuh. Membuat dan menjual kartu ucapan selamat menjelang
perayaan hari raya, membuat dan menjual T-shirt dengan design yang unik adalah proses kreatif yang membanggakan.
Santrock (1995) menyebutkan bahwa masa dewasa dini dimulai
pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Dengan
menurunnya tingkat usia kedewasaan secara hukum menjadi 18 tahun
masalah dan mereka tidak siap untuk mengatasinya. Hal ini disebabkan
oleh:
a. Pertama, sedikit sekali orang muda yang mempunyai persiapan
untuk menghadapi jenis-jenis masalah yang perlu diatasi sebagai
orang dewasa.
b. Kedua, sulit bagi orang muda untuk berhasil dalam memilih
karier sekaligus memilih pasangan hidup karena mencoba
menguasai dua atau lebih ketrampilan secara bersamaan
biasanya menyebabkan kedua-duanya kurang berhasil.
c. Ketiga, dan mungkin yang paling berat dari semuanya,
orang-orang muda itu tidak memperoleh bantuan dalam menghadapi
dan memecahkan masalah-masalah mereka, tidak seperti
sewaktu mereka dianggap belum dewasa.
Banyak kebingungan dan keresahan emosional yang mendasari
berbagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam masa ini.
Apabila seseorang merasa tidak mampu mengatasi masalah-masalah
utama dalam kehidupan mereka, hal ini dapat menyebabkan mereka
terganggu secara emosional, sehingga mereka memikirkan atau
mencoba untuk bunuh diri. Oleh karena itu, masa dewasa dini adalah
kelompok usia yang paling tepat sebagai subjek dalam penelitian ini.
Mahasiswa adalah individu yang kuliah di Perguruan Tinggi.
hidup yang sesuai; menyesuaikan diri dalam kehidupan orang
dewasa; mengatasi ketegangan emosional; mengatasi rasa
keterasingan sosial, hasrat berkompetisi; membuat komitmen;
mengatasi ketergantungan khususnya finansial; beradaptasi pada
perubahan nilai dari fase remaja ke dewasa; mengembangkan
kreativitas. Demikian pula mahasiswa harus memenuhi tugas
akademik: menyusun rencana studi; menaati tata tertib perkuliahan;
mengerjakan tugas kuliah; praktikum; mengikuti Ujian Tengah dan
Akhir Semester; skripsi. Mahasiswa sering belum mampu mengatasi
masalah yang berhubungan dengan tugas perkembangan dan
akademiknya, sehingga terkesan ia belum belajar dan
mengaktualisasikan diri secara maksimal. Sebenarnya menurut
perkembangan kognitifnya, ia telah berada pada fase formal
operasional yang memungkinkannya untuk berpikir abstrak, mampu
memecahkan masalah, membuat perencanaan, memonitoring, dan
mengevaluasi.
B. PENGUKURAN TOLERANSI FRUSTRASI
Secara tradisional, fungsi tes-tes psikologis adalah untuk mengukur
perbedaan-perbedaan antara individu-individu atau antara reaksi-reaksi
individu yang sama dalam berbagai situasi yang berbeda (Anastasi, 1998).
Dewasa ini, sekolah termasuk pihak yang paling besar menggunakan tes.
mengklasifikasi anak-anak untuk bisa mengambil manfaat dari berbagai
jenis pelajaran sekolah yang berbeda-beda, identifikasi mana yang
pembelajarannya cepat dan mana yang lamban, konseling pendidikan dan
pekerjaan pada tingkat sekolah menengah dan universitas, serta untuk
menyeleksi orang-orang yang melamar masuk sekolah-sekolah
professional.
Seleksi dan klasifikasi sumber daya manusia untuk bidang industri
menggambarkan penerapan utama lainnya atas tes psikologi. Dari
pekerjaan yang sifatnya mudah seperti operator pada lini-perakitan atau
staf pengarsipan sampai pada pekerjaan yang mempunyai tanggung jawab
besar seperti pihak manajemen puncak, hampir tidak ada pekerjaan yang
tidak dapat dibantu dengan dilakukannya tes tersebut dalam soal-soal
seperti penerimaan karyawan, penunjukkan tugas, pemindahan, promosi,
ataupun pemutusan hubungan kerja.
Penggunaan tes-tes dalam konseling perorangan secara bertahap
meluas dari bimbingan yang berlingkup sempit menyangkut rencana
pendidikan dan pekerjaan sampai pada keterlibatan dengan semua aspek
kehidupan seseorang. Ketentraman emosi dan hubungan-hubungan
interpersonal yang efektif kian lama kian menjadi sasaran utama
konseling. Selain itu, muncul juga penekanan pada penggunaan tes-tes
untuk meningkatkan pemahaman diri dan pengembangan diri (Anastasi,
Meskipun istilah kepribadian kadang kala digunakan dalam
pengertian yang lebih luas, dalam terminologi psikometri konvensional
tes-tes kepribadian adalah instrumen untuk mengukur ciri-ciri emosi,
motivasi, dan sikap, yang dibedakan dari kemampuan. Jumlah tes
kepribadian yang ada saat ini mencapai ratusan buah. Yang paling banyak
adalah inventori kepribadian dan teknik-teknik proyektif.
Ciri pembeda utama dari teknik proyektif adalah penilaiannya atas
tugas yang relatif tak terstruktur, yaitu tugas yang memungkinkan variasi
yang tak terbatas dari respon-respon yang mungkin diberikan. Untuk
memungkinkan individu berfantasi secara bebas, hanya instruksi umum
dan singkat yang akan diberikan. Karena alasan yang sama, stimuli tes
umumnya kabur atau ambigu. Hipotesis yang mendasari hal ini adalah
bahwa cara individu mempersepsi dan menginterpretasikan materi tes atau
menstrukturisasikan situasi itu akan mencerminkan aspek-aspek dasar dari
fungsi psikologisnya. Dengan kata lain, diharapkan materi tes bisa
berfungsi sebagai semacam saringan dimana responden memproyeksikan
proses pikiran, kebutuhan, kecemasan, dan konflik khas mereka (Anastasi,
1998).
Pada akhirnya, teknik-teknik proyektif selanjutnya dipandang
sebagai teknik yang amat efektif dalam menyingkapkan aspek tertutup,
laten, atau tak sadar dari kepribadian. Salah satu tes yang menggunakan
teknik proyektif adalah Rosenzweig Picture-Frustration Study (P-F Study).
a. Sejarah Rosenzweig Picture-Frustration Study
P-F Study adalah suatu perkembangan langsung dari sebuah
penelitian yang berorientasikan pada teori eksperimen. Tes Picture-Frustration ini sebelumnya tidak dirancang sebagai suatu alat klinis tetapi sebagai suatu metode untuk:
(a) mengeksplor konsep-konsep teori frustrasi, dan
(b) menguji beberapa dimensi metodologi yang bersifat
proyeksi.
Sebagai suatu teknik proyektif, P-F berada diantara World Association Test – yang menurut sejarahnya menjadi metode pertama yang bersifat proyeksi - dan Thematic Apperception Test (TAT); ini menyerupai kumpulan asosiasi terdahulu yang disebabkan oleh
instruksi, dan yang belakangan berdasarkan atas gambaran dasar dari
stimulus. Tetapi jika dibandingkan dengan TAT, yang mempunyai
keuntungan-keuntungan menjadi lebih umum dan lebih mudah
diselidiki, P-F mempunyai manfaat yang lebih siap dipergunakan
menjadi analisis (yang bersifat) kuantitatif. Jika dibandingkan dengan
TAT, stimulus yang dipakai dan respon-respon yang ditimbulkan
dalam P-F terbatas. Karena itu P-F adalah tehnik semiprojektif yang
terbatas (Rosenzweig, 1978). Maksudnya adalah bahwa Tes P-F
mempunyai tugas yang lebih terstruktur dibandingkan dengan tes-tes
projektif yang lain. Responnya lebih terbatas dan penentuan
standarisasi. Tes ini selain menggunakan gambar juga menggunakan
kata-kata untuk menstimulasi fantasi subjek.
b. Konstruk dan Terminologi
Dasar untuk menskoring dalam Tes P-F adalah bahwa subjek
yang tanpa disadari atau secara sadar mengidentifikasi dirinya
dengan individu yang frustasi pada setiap situasi dalam gambar dan
memproyeksikan prasangkanya sendiri di dalam jawaban-jawaban
yang diberikan. Untuk menggambarkan prasangkanya ini, skor
diberikan pada masing-masing respon di bawah dua dimensi utama:
Direction of Aggression dan Type of Aggression. (Lihat Tabel 1.) Yang termasuk dalam Direction of Aggression adalah:
a. extraggression (E-A) - di mana agresi ditujukankan pada lingkungan, contoh: Situasi no.3 “Saya akan meminta dia untuk
melepaskan topinya.”;
b. intraggression (I-A) - di mana agresi ditujukan pada diri subjek sendiri, contoh: Situasi no.3 “Saya harusnya memilih tempat
duduk yang lebih baik”; dan
c. imaggression (M-A) - di mana agresi dihindarkan dalam sebuah percobaan untuk menutupi frustrasi tersebut, contoh: Situasi
Hal ini seperti menggunakan suatu parafrase extraggressiveness
menjadikan agresi muncul keluar, intraggressiveness menjadikannya masuk, dan imaggressiveness memadamkannya.
Di bawah Type of Aggression terdapat:
a. obstacle-dominance (O-D) - di mana rintangan menyebabkan frustrasi keluar dalam sebuah respon, contoh: Situasi no.3
“Tidak, topi wanita ini menghalangi pandanganku.”;
b. ego(etho)-defense (E-D) - di mana ego dari subjek mendominasi untuk mempertahankan diri sendiri, contoh: Situasi no.3 “Saya
harap orang-orang mau melepaskan topinya didalam bioskop.”;
dan
c. need-persistence (N-P) - di mana solusi dari permasalahan ditekankan oleh subjek, contoh: Situasi no.3 “Harusnya kita
pergi ke bioskop lain.”
Dari kombinasi enam kategori ini dihasilkan sembilan kemungkinan
skoring untuk masing-masing item.
Suatu hal yang penting untuk diamati adalah bahwa agresi dalam
F tidak selalu menjadi agresi yang berimplikasi negatif. Dalam konteks
P-F, agresi secara umum digambarkan sebagai assertiveness (pengungkapan diri). Pengungkapan diri ini bisa muncul dalam bentuk persetujuan atau
negatif dalam karakternya. Persetujuan dalam P-F masuk dalam klasifikasi
sedangkan karakter negatif masuk dalam klasifikasi ego-defense yang sering kali bersifat destructive (untuk orang lain maupun diri sendiri). Hal ini penting karena di dalam banyak teori agresi sering kali pembedaan ini
dilewatkan dan agresi pada kenyataannya hanya bersinonim dengan
permusuhan atau yang bersifat merusak.
Tabel 1.
Komponen-komponen dalam Skoring dari Rosenzweig Picture- Frustration Study
Direction of Aggression
Type of Aggression
Obstacle- Dominance
Ego-Defense (Etho-Defense)
Extraggression (E-A)
Intaggression (I-A)
I′ (Intropeditive): Rintangan yang membuat frustasi ditafsirkan sama sekali tidak membuat frustasi atau bahkan seperti dalam beberapa manfaat cara; atau, dalam beberapa peristiwa, subjek menekankan perasaan malunya dengan menjadi terlibat di dalam penyelidikan frustrasi yang lain. I (Intropunitive): Kesalahan, celaan, dll., diarahkan oleh subjek atas dirinya. I :Suatu varian dari I di mana subjek mengakui rasa bersalahnya tetapi menyangkal setiap kesalahan penting dengan mengacu pada keadaan yang tidak dapat dihindari. i (Intropersistive) : Ganti rugi ditawarkan oleh subjek, biasanya dari suatu perasaan bersalah, untuk memecahkan masalah. Imaggression (M-A)
M′ (Impeditive) : Rintangan di dalam situasi frustasi diperkecil sampai berada dekat dengan point tentang keberadaan penyangkalnya.
M (Impunitive) : Menyalahkan orang lain yang frustrasi itu dihindarkan sama sekali, situasi itu dianggap sebagai situasi yang tidak dapat dihindari; secara khusus, individu yang " frustasi" diampuni.
2. Adaptasi Tes
a. Pengertian Adaptasi Tes
Adaptasi tes adalah perubahan yang dilakukan pada suatu alat
ukur asing (dalam hal bahasa dan budaya) menjadi suatu alat ukur
yang dapat dipakai ditempat yang baru. Dalam adaptasi ini terdapat
metode-metode yang harus diperhatikan agar nantinya adaptasi tes
bisa tetap valid seperti alat ukur yang asli. Adaptasi ini juga biasanya
dilakukan karena alasan subjek yang diukur, contohnya seperti yang
dilakukan di Netherlands, The Rosenzweig Picture - Frustation (P-F) Study for Adult telah diadaptasi untuk mengukur hostility in violent
pada forensic psychiatric patients dengan cara menyajikan tes ini secara lisan (Wiley & Sons, 2007).
b. Metode Mengadaptasi Tes
Mengadaptasi tes atau alat ukur dari luar Indonesia untuk
dipakai di Indonesia sebenarnya tidak hanya sekedar menerjemahkan
ke bahasa Indonesia. Mengadaptasi alat ukur berarti menyesuaikan
alat ukur tersebut dengan budaya Indonesia. Selain diterjemahkan ke
bahasa Indonesia, juga harus disesuaikan dengan konteks budaya,
dan lain-lain yang sekiranya diperlukan. Di samping itu, kita harus
tahu dasar teori dari alat ukur tersebut, dengan demikian item (butir
soal) dari alat ukur tersebut jelas mengukur apa (Yulianto, 2007).
1. Forward Translation. Penerjemahan dari bahasa asli ke bahasa Indonesia oleh individu yang mempunyai kompetensi bahasa,
misalnya dengan hasil TOEFL diatas 550 .
2. Back-Translation. Dari hasil translation, dilakukan back-translation. Hasil terjemahan bahasa Indonesia tadi diterjemahkan kembali ke bahasa asli oleh individu lain yang
berbeda dengan no. 1 diatas.
3. Comparing. Membandingkan hasil terjemahan no. 1 dan no. 2. Bila ada kesamaan/kesepakatan, berarti bisa dilanjutkan ke
tahap berikutnya. Bila berbeda, proses no. 1 dan no. 2 harus
diulangi dengan ahli yang berbeda.
4. Expert judgment. Pemeriksaan yang dilakukan oleh individu yang dianggap memiliki kompetensi dalam hal teori yang
diukur (untuk mengetahui apakah item sudah cukup baik
mewakili konstruk teoritis, disebut content validity).
2. Adaptasi Gambar
Selain adanya perubahan dalam hal bahasa, dalam adaptasi
ini perlu juga dilakukan perubahan dalam hal gambar. Mengingat
gambar-gambar pada alat ukur asli tersebut telah disesuaikan
dengan kebudayaan aslinya, sehingga jika diterapkan pada subjek
di Indonesia dikhawatirkan maksud dari gambar tersebut kurang
tersampaikan pada subjek. Oleh karena itu perlu adanya
Indonesia. Expert judgment kali ini juga dilakukan oleh Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Psi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Menurut Sugiono (2000), penelitian deskriptif adalah penelitian
yang dilakukan untuk memberikan gambaran terhadap satu objek yang
diteliti melalui data sampel dan populasi sebagaimana adanya dengan
melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku secara umum.
Berdasarkan teori tersebut maka penelitian ini menggunakan data
kuantitatif yaitu data yang diperoleh melalui analisis skor jawaban subjek
pada alat tes sebagaimana adanya. Hal ini ditunjukkan untuk
menggambarkan toleransi frustrasi yang dialami oleh dewasa dini dan
membuat kesimpulan secara umum berdasarkan skor setiap kategori
dalam tes P-F.
Dengan demikian, jenis penelitian ini adalah deskriptif-kuantitatif
artinya memberikan gambaran secara umum tentang toleransi frustrasi
pada dewasa dini berdasarkan analisis skor jawaban subjek pada alat tes
P-F sebagaimana adanya. Hasil dari analisis akan digunakan untuk
menggambarkan mengenai toleransi frustrasi pada dewasa dini.
B. Variabel Penelitian
Menurut Arikunto (1998), variabel penelitian adalah objek
penelitian ini yang menjadi fokus atau objek penelitian adalah toleransi
frustrasi.
Toleransi frustrasi adalah kemampuan untuk menerima hal-hal
yang kita tidak setujui atau tidak kita sukai. Toleransi mensyaratkan
adanya penghargaan terhadap pandangan, keyakinan, nilai, serta praktik
orang atau kelompok yang berbeda dengan kita. Individu yang mudah
sekali menjadi marah biasanya adalah mereka yang memiliki tingkat
toleransi yang rendah terhadap suatu tekanan atau hal-hal yang
menyebabkan rasa frustrasi (low frustration tolerance). Toleransi frustrasi disini bisa berkaitan dengan dua situasi, yaitu dengan diri sendiri dan
dengan lingkungan sosial.
C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas
sifat-sifat hal yang di definisikan yang dapat diamati. Penyusunan definisi
operasional ini perlu karena digunakan sebagai acuan untuk alat
pengambil data yang akan digunakan dalam penelitian (Suryabrata,
1998).
Toleransi frustrasi adalah kemampuan untuk menerima hal-hal
yang tidak kita setujui atau tidak kita sukai. Untuk mengukur toleransi
frustrasi maka digunakanlah alat pengambil data yaitu alat ukur The Rosenzweig Picture-Frustration Study. Alat tes ini lebih untuk mengukur toleransi frustrasi individu ketika ia berhadapan dengan lingkungan
Berikut ini adalah penjelasan definisi operasional untuk enam
kategori dan sembilan kemungkinan skoring untuk masing-masing item
dari dua dimensi utama dalam P-F Study, yaitu Direction of Aggression
dan Type of Aggression. Yang termasuk dalam Direction of Aggression
adalah:
a. Extraggression (E-A) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada
tes P-F. Subjek menampakkan agresi dengan menekankan pada
kehadiran dari rintangan/permasalahan yang membuatnya
frustrasi (extrapeditive atau E’), menyalahkan orang lain dengan mengatakan kata-kata kasar untuk frustrasinya itu
(extrapunitive atau E), atau dengan menempatkan orang lain sebagai seseorang yang berkewajiban untuk memecahkan
masalah (extrapeditive atau e).
b. Intraggression (I-A) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada
tes P-F. Agresi dirubah masuk kedalam dirinya sendiri oleh
subjek, dengan menerima frustrasi sebagai sesuatu yang
bermanfaat dan lebih menekankan pada keadaan yang
ditimbulkan sebagai pemecahan masalah (intropersistive atau i).
c. Imaggression (M-A) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada tes P-F. Pada klasifikasi ini agresi dipadamkan atau dihindari, dan situasi
frustrasi digambarkan sebagai sesuatu yang tidak berarti
(impeditive atau M’), tidak terelakkan atau tidak dapat dihindari sehingga individu yang membuat subjek frustrasi
dimaafkan (impunitive atau M), atau berharap bahwa waktu akan memberikan suatu solusi untuk masalah tersebut;
kesabaran dan penyesuaian adalah karakteristiknya
(impersistive atau m).
Sedangkan yang termasuk dalam Type of Aggression adalah:
d. Obstacle-Dominant (O-D) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada tes P-F. Disini rintangan dalam peristiwa dititikberatkan pada respon dengan menekankan beratnya frustrasi tersebut
(extrapeditive atau E’), dengan mengartikan frustrasinya sebagai hikmah (keuntungan) daripada sebuah rintangan
e. Ego-Defensive (E-D) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada tes P-F. Ego dari subjek sangat berperan dalam responnya, dan ia bisa
menyalahkan orang lain atau benda disekelilingnya
(extrapunitive atau E), menyalahkan dirinya sendiri (intropunitive atau I), atau tidak seorangpun (impunitive atau M).
f. Need-Persistence (N-P) Dilihat dari jawaban-jawaban yang diberikan subjek saat merespon gambar yang ditunjukkan pada tes P-F. Kecenderungan pada respon-responnya adalah mengarah pada pemecahan masalah dari situasi frustrasinya, dan
reaksinya mengharapkan pelayanan dari orang lain untuk
solusinya (extrapersistive atau e), atau menempatkan diri subjek sendiri untuk memperbaiki kesalahan tersebut
(intropersistive atau i), atau menggantungkannya pada sang waktu untuk menjadi solusi dan berharap keadaan yang
berikutnya akan menjadi normal dengan sendirinya
(impersistive atau m).
D. Subjek Penelitian
Menurut Suharmi Arikunto (1993), subjek penelitian merupakan
tempat data diperoleh. Berdasarkan pengertian tersebut, maka subjek
dewasa dini. Pada fase ini seseorang diharuskan untuk menyesuaikan
dirinya dengan tugas-tugas baru atau lingkungan yang baru, sehingga hal
ini menjadikan periode dewasa dini sebagai suatu periode khusus dan
sulit dalam rentang hidup seseorang. Kegagalan dalam menjalani fase ini
akan menyebabkan adanya ketegangan emosional yang tinggi dan
akhirnya dapat mengganggu tahap perkembangan selanjutnya.
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester IV
Fakultas Psikologi USD angkatan tahun 2006/2007 dengan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan yang berusia 19 tahun sampai 28 tahun pada saat
penelitian dilakukan. Pertimbangan yang dilakukan peneliti untuk
mengambil subjek mahasiswa semester IV yang berusia 19 tahun sampai
28 tahun karena pada umumnya mahasiswa yang berusia 19 tahun sampai
28 tahun termasuk dalam kategori dewasa dini.
E. Metode dan Alat Pengumpul Data
Untuk memperoleh data dan informasi mengenai toleransi
frustrasi pada diri subjek, metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah tes psikologi yaitu tes proyektif dengan alat
tes Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study.
Rosenzweig Picture-Frustration (P-F) Study adalah sebuah alat tes yang diciptakan oleh Dr. Saul Rosenzweig dan diterbitkan pada tahun
1978 oleh Rana House di St. Louis, Wahington Avenue. P-F study ini
merupakan suatu alat tes yang bertujuan untuk mengukur reaksi terhadap
Tes ini terdiri dari 24 seri gambar karikatur yang menggambarkan dua
orang yang sedang terlibat dalam suatu situasi yang membuat frustasi dari
sebuah kejadian sehari-hari. Figur di sebelah kiri dari tiap gambar
ditunjukkan mengatakan kata-kata yang membantu individu lain dalam
penguraian frustasinya. Figur di sisi kanan selalu ditunjukkan dengan
sebuah kotak kosong di atasnya. Saat itu juga subjek diperintahkan untuk
memeriksa situasi tersebut dan memberikan jawaban yang pertama kali
masuk pikirannya dan kemudian menuliskannya pada kotak kosong di
atas figur disebelah kanan (Lihat lampiran 1 hal. 84).
Seperti yang sudah dijelaskan dalam Bab II, dasar untuk
menskoring Tes P-F adalah bahwa subjek yang tanpa disadari atau secara
sadar mengidentifikasi dirinya dengan individu yang frustasi pada setiap
situasi dalam gambar dan memproyeksikan prasangkanya sendiri di
dalam jawaban-jawaban yang diberikan. Untuk menggambarkan
prasangkanya ini, skor diberikan pada masing-masing respon di bawah
dua dimensi utama: Direction of Aggression dan Type of Aggression. (Lihat Tabel 1 hal. 29) Yang termasuk dalam Direction of Aggression
adalah extraggression (E-A); intraggression (I-A); dan imaggression (M-A). Sedangkan dalam Type of Aggression t