PENINGKA EKOLAH DASAR DI SLB NEGERI 2 BANTU
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
MOTTO
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan"
(Qur’an surat Al-Maidah ayat 2)
“A little consideration, a little thought for others, makes all the difference.” (Eeyore, Winnie the Pooh)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Kedua orangtuaku tercinta, Lalu Burhan (alm) dan Irahayati yang tanpa kalian aku bukanlah apa-apa, yang selalu memberikan semangat dan dukungan serta tak pernah lelah mendoakan.
2. Saudara-saudaraku yang kusayangi, Baiq Aini Hidayah, Lalu M. Muttakim, Baiq Eli Ramdani, Lalu Ahmad Alpian, dan Baiq Raudatul Jannah. Terima kasih atas segala dukungan dan motivasinya.
PENINGKATAN KETERAMPILAN SOSIAL MELALUI
PEMBELAJARAN KOLABORATIF BAGI ANAK TUNARUNGU KELAS 4 SEKOLAH DASAR DI SLB NEGERI 2 BANTUL
Oleh
Baiq Hatimatussa’adah NIM 11103244048
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan sosial anak dengan hambatan tunarungu melalui pembelajaran kolaboratif bagi siswa kelas 4 SD di SLB Negeri 2 Bantul.
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan desain penelitian Kemmis dan McTaggart. Subjek penelitian adalah 4 orang siswa tunarungu kelas 4 Sekolah Dasar di SLB Negeri 2 Bantul. Penelitian dilaksanakan dalam 2 siklus dimana siklus I terdiri dari 3 pertemuan dan siklus II terdiri dari 3 pertemuan. Pengumpulan data dilakukan dengan tes keterampilan sosial berupa pengamatan akan prilaku siswa selama pelaksanaan pembelajaran, observasi prilaku siswa dalam berhubungan dengan orang lain dan wawancara. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan penyajian data dalam bentuk tabel.
Hasil penelitian menunjukan bahwa keterampilan sosial anak tunarungu dapat ditingkatkan dengan penerapan pembelajaran kolaboratif. Hal ini dibuktikan dengan perbandingan hasil tes keterampilan sosial siswa yang terus meningkat di setiap siklus, dari perolehan nilai dibawah KKM yaitu 60% dari nilai maksimal tes keterampilan sosial pada hasil Pre test hingga seluruh siswa memperoleh nilai diatas KKM pada tes pasca tindakan siklus II. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial anak tunarungu kelas 4 SD di SLB Negeri 2 Bantul dapat ditingkatkan melalui pembelajaran kolaboratif.
KATA PENGANTAR
Allhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT karena rahmat dan hidayah-Nya, penulisan tugas akhir skripsi dengan judul
“Peningkatan Keterampilan Sosial Melalui Pembelajaran Kolaboratif bagi Anak
Tunarungu Kelas 4 Sekolah Dasar di SLB Negeri 2 Bantul” dapat terselesaikan guna
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Yogyakarta.
Penyusunan tugas akhir skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan
arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah berkenan memfasilitasi
selama penulis menempuh studi.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Yogyakarta, yang telah
memberikan kemudahan untuk pelaksanaan kegiatan penelitian.
3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa yang telah memberikan bantuan dan
dorongan dalam penyelesaian tugas akhir skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Suparno, M.Pd selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Drs. Heri Purwanto selaku dosen pembimbing akademik yang terus
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah mendidik dan berbagi
pengetahuan dengan kami.
7. Bapak dan Ibu staf dan karyawan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah
membantu penyelesaian administrasi selama kegiatan perkuliahan serta dalam
proses penyelesaian penelitian sampai selesai.
8. Kepala SLB Negeri 2 Bantul yang telah memberikan izin penelitian,
dukungan, dan kemudahan selama penelitian.
9. Ibu Nurul Wasliyah selaku guru kelas 4 di SLB Negeri 2 Bantul yang telah
banyak membimbing dan membantu penulis dalam proses pelaksanaan
penelitian.
10.Seluruh keluarga besar SLB Negeri 2 Bantul terutama siswa-siswi kelas 4 di
SLB Negeri 2 Bantul yang telah membersamai sebagai Subjek dalam
penelitian ini.
11.Kepada seluruh keluargaku inaq, kak Eni, Kak Takim, Kak Eli, Kak Pian dan
Rodah yang selalu mendoakan, membersamai di rumah maupun di Jogja,
memberikan kasih sayang, semangat, nasehat, dan motivasi serta tak pernah
lelah mentolerirku selama ini, Hatim sayang kalian.
12.Seluruh keluarga besar H. Lalu Burhan yang telah mendukungku selama ini.
13.Teman-teman di jurusan Pendidikan Luar Biasa angkatan 2011 yang telah
DAFTAR ISI
B. Identifikasi Masalah ………... 6
C. Batasan Masalah ………...………... 6
D. Rumusan Masalah ………... 6
E. Tujuan Penelitian ………... 7
F. Manfaat Penelitian ………... 7
G. Definisi Operasional ………....……... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Anak Tunarungu ………...…... 10
1. Pengertian Anak Tunarungu ………... 10
2. Klasifikiasi dan karakteristik Anak Tunarungu ... 11
3. Karakteristik perkembangan Ketunarunguan ...…...…... 15
B. Kajian Tentang Keterampilan sosial …... 18
1. Pengertian Keterampilan sosial …...…... 18
3. Tujuan sosialisasi ...………... 21
4. Faktor-Faktor Terjadinya Interaksi ...………...…... 22
C. Kajian Tentang Pembelajaran Kolaboratif ….……...…... 24
1. Pengertian Pembelajaran Kolaboratif …….………... 24
2. Macam-Macam Pembelajaran Kolaboratif …..…………... 26
3. Kelebihan Pembelajaran Kolaboratif ……….…...…....…... 30
4. Kelemahan Pembelajaran Kolaboratif ... 30
D. Kerangka Pikir ………... 30
E. Hipotesis Tindakan ………... 32
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ………...……...…………... 33
B. Desain Penelitian ...………….………....……...………... 34
C. Prosedur Penelitian ...……..………....…...………... 36
D. Waktu dan Tempat Penelitian .………....………... 39
E. Sunyek Penelitian ...……….………...………... 39
F. Teknik Pengumpulan Data ……..………...…... 39
G. Instrumen Pengumpulan Data ...………... 40
H. Validitas ………...……...………... 46
I. Analisis Data ………...…………..………... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... ... 50
1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 50
2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 51
3. Deskripsi Kemampuan Awal Keterampilan Sosia... 57
4. Deskripsi pelaksanaan penelitian ... 61
a. Siklus I ... ... 61
b. Siklus II ... ... 77
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 89
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 96
B. Saran ... ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 99
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 3.1 Kisi-Kisi instrumen tes keterampilan sosial ... 41
Tabel 3.2 Kisi-kisi instrumen observasi awal ... 44
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Observasi Kegiatan Pembelajaran ... 45
Tebel 3.4 kategori Ketuntasan belajar ... 48
Tabel 4.1 Nilai Pre test keterampilan sosial anak tunarungu ... 61
Tabel 4.2 nilai pasca tindakan siklus I keterampilan sosial anak tunarungu ... 75
Tabel 4.3 perbandingan hasil pre test dan post test I keterampilan sosial ... 76
Tebel 4.4 nilai pasca tindakan siklus II keterampilan sosial anak tunarungu ... 87
Tabel 4.5 perbandingan hasil post test I dan post test II keterampilan sosial ... 87
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1 Instrumen Tes Keterampilan Sosial ... 102
Lampiran 2 Instrumen Observasi Kemampuan Awal Siswa ... 104
Lampiran 3 Instrumen Observasi Kegiatan Pembelajaran ... 105
Lampiran 4 Instrumen Tes Keterampilan Sosial (Post Test 1) ... 106
Lampiran 5 Instrumen Tes Keterampilan Sosial (Post Test II) ... 107
Lampiran 7 Rencana Program Pembelajaran (RPP) ... 110
Lampiran 8 Lampiran Gambar ... 141
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang tua mengharapkan anak yang dilahirkan dalam keadaan
dan kondisi yang sehat dan sempurna, tumbuh dan berkembang dengan baik
menjadi anak yang dapat dibanggakan kelak dengan memberikan segala
kebutuhan yang dapat membantu anak mencapai impiannya. Tidak semua
kelahiran sesuai dengan harapan orang tua tersebut, terkadang anak lahir
dengan berbagai kelaianan mulai dari berbagai penyakit bahkan beberapa
lahir dengan kelainan yang biasa disebut dengan anak cacat. Kecacatan yang
dialami anak dapat berupa cacat fisik (tunadaksa), gangguan penglihatan
(tunanetra), retardasi mental (tunagrahita), gangguan emosi dan prilaku
(tunalaras), dan gangguan pendengaran (tunarungu).
Tunarungu merupakan suatu keadaan kehilangan pendengaran yang
mengakibatkan seseorang tidak mampu menangkap rangsang bunyi melalui
indra pendengaran, sebagai akibat dari adanya kerusakan atau tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran. Kondisi ketunarunguan
pada seseorang menyebabkan adanya hambatan dalam perkembangan bahasa.
Hal itu menunjukkan bahwa kemampuan pendengaran sangat penting artinya
dalam perkembangan bahasa seseorang. Perkembangan bahasa anak
tunarungu terutama yang tergolong tuli berat tentu tidak mungkin untuk
sampai pada penguasaan bahasa yang baik hanya melalui pendengarannya,
penglihatan untuk menangkap pesan visual juga sebagai pintu masuknya
konsep-konsep bahasa.
Hambatan lain yang dialami anak tunarungu akibat terhambatnya
perkembangan bahasanya ialah hambatan dalam berkomunikasi dimana anak
sulit dalam memahami perkataan orang lain serta kesulitan dalam
menyampaikan ide dan pikiran serta perasaannya. Hal tersebut menyebabkan
orang lain akan sulit untuk melibatkan anak dalam berbagai kegiatan seperti
diskusi dalam keluarga maupun kelompok belajar. Kesullitan yang dialami
dikarenakan sulitnya memahamkan anak tentang keseluruhan situasi baik
situasi dalam bahasan diskusi maupun situasi diskusi dalam kelompok itu
sendiri. Terhambatnya perkembangan bahasa anak juga sering kali
menyebabkan anak salah menafsirkan suatu hal.
Kondisi ketunarunguan tersebut mempengaruhi berbagai aspek
perkembangan anak yang memberikan karakteristik khusus bagi anak yang
mengalami hambatan pendengaran. Bidang perkembangan tersebut meliputi
perkembangan akademis anak, perkembangan fisik/ kesehatan serta pada
perkembangan sosial-emosional anak. Hambatan pendengaran yang dialami
anak pada kemampuan interaksi akan membentuk karakteristik anak dalam
bidang sosial emosional seperti anak memiliki pergaulan yang terbatas hanya
dengan anak lain yang juga mengalami ketunarunguan, memiliki sifat
egosentris yang lebih besar dibandingkan anak pada umumnya, memendam
dialihkan apabila suka terhadap suatu hal, memiliki sifat polos, cepat marah
serta mudah tersinggung.
Anak dalam aktivitas sehari-hari, baik untuk berhubungan dengan
lingkungan keluarga, sekolah atau dengan lingkungan yang lebih luas yaitu
masyarakat sekitar sangat diperlukan keterampilan sosial dengan orang lain
agar terjadi interaksi yang baik. Keterampilan sosial tersebut berguna agar
anak dapat diterima di lingkungannya dengan melakukan penyesuaian diri
sesuai dengan kondisi dan keadaan lingkungannya atau dapat pula dengan
menyesuaikan lingkungan sesuai dengan kondisi dan keadaan anak yang
memiliki hambatan. Dalam interaksi tersebut terjadi hubungan timbal balik
antara individu/ diri anak dengan masyarakat/lingkungannya.
Begitu pula dengan aktivitas di sekolah, anak tidak akan dapat bergaul
dengan teman lainnya apabila anak terus memaksakan kehendak sendiri tanpa
menerima masukan dan kehendak orang lain, baik dalam aktivitas bermain
maupun dalam kegiatan belajar di kelas. Sifat tunarungu yang memiliki
tingkat egosentris yang tinggi menyebabkan anak sering kali bersikap paling
benar dan tidak mau mendapat koreksi dari teman yang dianggap setara atau
bahkan memiliki pengetahuan yang lebih rendah, terkecuali koreksi dari
orang yang dianggap benar dan dipercaya anak seperti guru atau orang tua.
Sedangkan anak yang tidak mengetahui suatu hal akan mudah percaya pada
informasi yang diperoleh dari orang lain tanpa mengoreksi atau
mempertanyakan informasi tersebut padahal informasi yang di peroleh anak
sehingga sering kali timbul masalah akibat sikap anak dengan kesalahan
informasi tersebut.
Berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan di SLB N 2 Bantul,
khususnya pada siswa-siswi kelas 4 Sekolah Dasar tampak adanya perbedaan
sikap dari siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. di kelas 4 SD tersebut
terdapat siswa dengan sikap yang ramah dengan terus menyapa orang lain dan
membantu siswa lain yang mengalami kesulitan memahami penjelasan
ataupun perintah guru. Di kelas yang sama juga terdapat siswa yang sangat
jarang terlihat berinteraksi dengan teman lainnya, jarang merespon ketika
diajak berbicara, menyendiri saat jam istirahat dan tidak menyelesaikan tugas
ketika tidak memahami perintah yang disampaikan guru. Hal tersebut
menunjukkan perbedaan keterampilan sosial yang mencolok antara siswa
yang satu dengan siswa lainnya walaupun mereka berada dalam satu kelas
yang sama.
Berdasarkan masalah yang ditemukan di lapangan tersebut, peneliti
berpendapat diperlukan adanya suatu penanganan yang dapat di gunakan
untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa dengan bantuan dari siswa lain
yang memiliki sikap dan keterampilan yang baik dalam bidang sosialnya.
Guru selaku orang yang dianggap anak memiliki kebenaran pengetahuan
diharapkan mengarahkan siswa dalam berbagai hal termasuk dalam
berinteraksi dimana siswa perlu mengolah informasi yang diterima atau
menjaga sikap dalam menyampaikan informasi agar berguna bagi orang lain
disampaikan kepada orang lain. Guru dapat mengajarkan anak untuk dapat
menyampaikan dan menanggapi informasi yang diterima dengan benar di luar
proses pembelajaran dengan membiasakan anak saling bertutur sapa dengan
anggota masyarakat sekolah lainnya atau dalam proses pembelajaran dengan
menggunakan media, metode dan atau pendekatan yang dapat memahamkan
anak cara yang baik dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Salah satu metode yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran
yang dapat mengembangkan sikap kerja sama dan kemampuan interaksi siswa
ialah pembelajaran kolaboratif. Gunawan (dalam Hosnan, 2014: 310)
menjelaskan bahwa collaboratif learning bukan hanya sekedar bekerja sama
dalam suatu kelompok, tetapi lebih kepada suatu proses pembelajaran yang
melibatkan proses komunikasi secara utuh dan adil di dalam kelas, pendapat
tersebut jelas memberikan keterangan bahwa pentingnya terjadi komunikasi
antar siswa dalam menyelesaikan suatu persoalan. Pembelajaran kolaboratif
bukan metode yang hanya menekankan pada perkembangan akademik siswa,
namun juga pada perkembangan sosial siswa karena metode pembelajaran
kolaboratif dilaksanakan dengan memberikan suatu tugas untuk diselesaikan
oleh siswa bersama dengan siswa lainnya dalam suatu kelompok diskusi.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin menjelaskan peningkatan
keterampilan sosial yang dapat dicapai anak tunarungu tingkat sekolah dasar
kelas 4 kelas di SLB Negeri 2 Bantul dengan penerapan pembelajaran
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang
dapat di identifikasi antara lain:
1. Keterampilan siswa dalam menyampaikan pendapat kepada orang lain
dalam suatu diskusi masih kurang.
2. Keterampilan siswa dalam memahami materi pembelajaran masih kurang.
3. Siswa mudah marah ketika diberi masukan oleh orang lain.
4. Keterampilan siswa dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
lingkungan sekitar masih rendah.
C. Batasan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya masalah yang di hadapi oleh anak tunarungu
terutama anak tunarungu kelas 4 tingkat sekolah dasar di SLB N 2 Bantul
dalam kehidupan sosial anak terutama dalam hal interaksi dengan orang lain
di lingkungan sosialnya, maka peneliti membatasi masalah dalam penelitian
ini pada poin nomor 1 dan 4 yaitu “kurangnya kemampuan siswa dalam
menyampaikan pendapat serta kurangnya kemampuan siswa dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.”
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalah tersebut maka dapat disusun rumusan
Bagaimana meningkatkan keterampilan sosial anak tunarungu dengan
menggunakan metode pembelajaran kolaboratif?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan sosial anak
tunarungu tingkat Sekolah Dasar kelas 4 di SLB N 2 Bantul dengan
menggunakan metode pembelajaran kolaboratif.
F. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
mengenai metode yang dapat digunakan dalam meningkatkan
keterampilan sosial anak tunarungu.
2. Secara praktis
a. Bagi mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mahasiswa
mengenai perkembangan psikologis anak tunarungu khususnya pada
keterampilan sosial serta metode yang dapat digunakan dalam
meningkatkan keterampilan tersebut yang dapat di gunakan dalam
b. Bagi guru
Sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam memberikan
penanganan bagi sikap siswa tingkat sekolah dasar kelas 4 yang masih
kurang mampu bersosialisasi.
c. Bagi sekolah
Sebagai bahan pertimabangan kepada sekolah dalam pengaturan
sistem dan pembelajaran yang sesuai dengan hambatan dan kebutuhan
siswa yang mengalami suatu masalah perkembangan.
G. Definisi Operasional
1. Keterampilan sosial adalah kemampuan seorang individu untuk memenuhi
tugas perkembangan dalam bidang sosial yang terlihat dari aktivitas
individu dalam berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan
sehari-hari. Indikator keterampilan sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini
terdiri dari beberapa indikator yaitu keterampilan dalam berhubungan
dengan orang lain, keterampilan siswa dalam berhubungan dengan diri
sendiri, penerimaan siswa terhadap orang lain yang seusia dengannya,
keterampilan yang berhubungan dengan kemampuan akademik, serta
keterampilan siswa dalam berkomunikasi.
2. pembelajaran kolaboratif adalah suatu pendekatan dalam kegiatan belajar
mengajar dimana siswa harus bekerja sama menyelesaikan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing untuk mencapai tujuan bersama.
kelas, kondisi pembelajaran, serta kesempatan belajar yang baik dan
kondusif bagi siswa. Pembelajaran kolaboratif dalam penelitian ini
dilaksanakan dengan memberikan tugas kepada siswa untuk diselesaikan
atau didiskusikan bersama dengan teman lainnya, jumlah anggota
kelompok diskusi ialah minimal 2 orang.
3. Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau
ketidakmampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang
diakibatkan oleh tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat
pendengarannya yang menyebabkan terjadi hambatan dalam berinteraksi
dengan orang lain. Dalam penelitian ini, siswa tunarugu tersebut ialah
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Anak Tunarungu
1. Pengertian anak tunarungu
Tunarungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”, Tuna berarti
kurang dan Rungu artinya pendengaran sehingga secara harfiah,
tunarungu dapat disimpulkan sebagai anak yang kurang mampu
mendengar atau seseorang yang memiliki hambatan atau gangguan dalam
pendengaran. Mufti Salim (dalam Soemantri, 2007: 93-94)
mengemukakan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami
kekurangan atau kehilangan pendengaran kemampuan mendengar yang
disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh
alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan
bahasanya. Dalam ranah pendidikan, gangguna tunarungu di bedakan
kedalam dua kelompok yaitu kurang dengar dan tkehilangn pendengaran
total atau tuli.
Halalhan dan kauffman (2009: 340) mengemukakan bahwa “A
deaf person is one whose hearing disability precludes successful
processing of linguistic information through audition, with or without
hearing aid” yang dapat diartikan sebagai orang tuli adalah orang yang
mengalami gangguan pendnegaran yang menyebabkan hambatan dalam
memperoleh informasi melalui pendengaran baik menggunakan alat bantu
with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable
succesfull prossesing of linguistic information trought audition (Hallahan
dan kauffman, 2009: 340)” yaitu orang yang mengalami kurang dengar
adalah orang yang dengan menggunakan alat bantu dengar
memungkinkan orang tersebut untuk memperoleh informasi melalui
pendengaran dengan memanfaatkan sisa pendengarannya.
Donald (dalam Somad dan Hernawati,1996: 27) mengemukakan
bahwa orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan
mendengar pada tingkat 70 dB atau lebih sehingga ia tidak dapat mengerti
pembicaraaan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau
dengan menggunakan alat bantu dengar. Berdasarkan berbagai pendapat
para ahli mengenai pengertian anak tunarungu tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa anak tunarungu adalah seseorang yang mengalami
gangguan pada sistem pendengarannya baik secara keseluruhan ataupun
sebagian yang mengakibatkan terjadinya hambatan pada kemampuan
memperoleh informasi melalui pendengarannya.
2. Klasifikasi dan karakteristik anak tunarungu
Terdapat berbagai kriteria yang digunakan untuk mengelompokkan atau
sebagai dasar klasifikasi anak tunarungu yang juga mempengaruhi
karakteristik anak. Berikut ini adalah beberapa klasifikasi anak tunarungu
yaitu:
1) Tunarungu pra-bahasa (prelingual deafness), yaitu ketunarunguan
yang terjadi sebelum berkembangnya kemampuan bahasa dan
bicara anak.
2) Tunarungu pasca-bahasa (post lingual deafness) yaitu
ketunarunguan yang terjadi setelah anak berkembangnya
kemampuan bahasa dan bicara anak.
b. Klasifikasi secara etiologis yaitu klasifikasi berdasarkan sebab-sebab
atau asal usul terjadinya ketunarunguan antar lain:
1) Sebelum lahir
a) Faktor genetik, yaitu apabila salah satu atau kedua orang tua
mengalami ketunarunguan atau membawa gen pembawa sifat
abnormal.
b) Orang tua menderita sakit yang di sebabkan oleh rubela,
moribili atau sakit lainnya terutama pada waktu trimester
pertama kandungan.
c) Ibu mengkonsumsi obat terlalu banyak, pecandu alkohol atau
obat-obat berbahaya lain yang di konsumsi selama ibu
mengandung.
2) Pada saat kelahiran
a) Penggunaan alat bantu kelahiran seperti vacum, tang dan alat
bantu kelahiran lainnya.
b) Anak lahir prematur atau lahir pada usia kandungan yang
3) Setelah kelahiran
a) Ketunarunguan dapat di sebabkan karena terjadinya infeksi
pada anak misalnya infeksi pada otak (meningitis).
b) Pemberian obat-obat ototoksi pada anak.
c) Terjadinya kecelakaan yang menyebabkan terjadinya
kerusakan pada organ pendengaran.
c. Klasifikasi berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis,
yaitu:
1) Tunarungu konduktif
Kehilangan fungsi pendengaran yang di sebabkan oleh kerusakan
yang terjadi pada telinga bagian luar dan telinga tengah yang
berfungsi sebagai penghantar gelombang suara ke telinga dalam.
2) Tunarungu sensorineural
Yaitu kehilangan fungsi pendnegaran yang di sebabkan oleh
terjadinya kerusakan pada telinga bagian dalam atau pada sistem
saraf pendengaran.
3) Tunarungu campuran
Kehilangan fungsi pendengaran akibat kerusakan yang terjadi
pada telingan bagian luar atau telinga tengah serta pada bagian
telingan dalam atau sarat pendengaran.
d. Klasifikasi berdasarkan taraf kehilangan pendengaran yang dialami
Berikut ini adalah klasifikasi anak tunarungu yang di sampaikan oleh
Samuel A. Kirk yaitu:
1) Kehilangan pendengaran antara 27-40 dB tergolong tunarungu
ringan (mild hearing loss). Anak yang mengalami tunarungu
ringan akan mengalami kesulitan dalam mendengar bunyi dari
jarak jauh.
2) Kehilangan pendengaran antara 41-55 dB tergolong tunarungu
sedang (mild hearing loss). Anak yang mengalami tunarungu
sedang mampu memahami percakapan secara langsung atau
dengan berhadapan namun mengalami kesulitan dalam mengikuti
diskusi yang di ikuti oleh banyak orang. Anak membutuhkan alat
bantu dengar dan terapi wicara untuk memaksimalkan pemahaman
bahasa anak.
3) Kehilangan pendengaran antara 56-70 dB tergolong tunarungu
agak berat (moderately severe hearing loss). Anak hanya dapat
mendengar suara dari jarak dekat dengan menggunakan alat bantu
dengar. Anak masih memiliki sisa pendengaran yang dapat
digunakan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi anak.
4) Kehilangan pendengaran antara 71-90 dB tergolong tunarungu
berat (severe hearing loss). Anak hanya dapat mendengar suara
yang berjarak sangat dekat sehingga sering kali dianggap tuli.
bahasa anak, anak juga memerlukan layanan pendidikan khusus
secara intensif.
5) Kehilangan pendengaran lebih dari 90 dB tergolong tunarungu
berat sekali (profound hearing loss). Anak menyadari adanya suara
melalui getaran yang diterima, lebih memanfaatkan indra
penglihatan dalam memperoleh informasi dan tergolong sebgai
tuli.
3. Karakteristik perkembangan anak tunarungu
a. Perkembangan kognitif
Anak tunarungu pada umumnya memiliki intelegensi yang
setara dengan anak normal, namun perkembangan kognitif anak
tunarungu dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa, keterbatasan
informasi, dan daya abstarksi anak yang menyebabkan anak tunarungu
mengalami hambatan dalam pencapaian pengetahuan yang setara
dengan anak normal. Terhambatnya perkembangan intelegensi anak
tersebut mempengaruhi prestasi belajar anak, namun tidak semua
aspek intelegensi anak tunarungu mengalami hambatan.
Aspek-aspek intelegensi yang mengalami hambatan ialah
aspek perkembangan yang bersifat verbal seperti pada kemampuan
pengertian, menghubungkan, menarik kesimpulan dan meramalkan
kejadian (Somantri, 2012: 97), mata pelajaran di sekolah yang
berhubungan dengan kemampuan verba tersebut seperti mata
Matematika yang berhubungan dengan soal cerita. Aspek intelegensi
yang berhubungan dengan dengan kemampuan penglihatan dan
motorik anak tidak begitu terhambat atau bahkan berkembang lebih
cepat seperti pada pelajaran Olahraga dan Keterampilan.
b. Perkembangan sosial-emosional
Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan untuk bersama
dengan orang lain, namun karena hambatan yang dialami anak
tunarungu mengakibatkan anak mengalami hambatan dalam
penyesuaian diri terhadap lingkungan. Hambatan dalam penyesuaian
diri tersebut menyebabkan anak memiliki perasaan terasing dari
lingkungannya. Keadaan tersebut dapat memunculkan beberapa sifat
anak tunarungu (Wardani, 2008: 5.19-5.21) seperti:
1) Pergaulan yang terbatas pada sesama tunarungu
Karena hambatan yang dialami anak tunarungu dalam hal
komunikasi, anak lebih menarik diri dari lingkungan orang
mendengar. Sebagai dampak lainnya, anak menjadi lebih sering
bergaul dengan sesama tunarungu.
2) Sifat egoisentris yang melebihi anak normal
Anak tunarungu memperoleh sebagian besar informasi melalui
penglihatannya, namun daya serap informasi melalui penglihatan
tidak mampu mengganti semua informasi yang dapat diperoleh
anak melalui pendengaran. Hal tersebut menyebabkan anak
menyebabkan anak hanya mampu memahami sebagian kecil dari
lingkungan untuk diadaptasikan pada dirinya. hambatan dalam
perkembangan sosial tersebut mengakibatkan timbulnya
kecenderungan menyendiri dan memusatkan perhatian pada
dirinya sendiri yang disebut dengan sifat egosentris.
3) Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar
Anak tunarungu hidup dalam lingkungan yang beraneka ragam
dimana akan mudah memunculkan perasaan kekhawatiran karena
anak harus menghadapi lingkungan tersebut dengan komunikasi
yang beraneka ragam pula.
4) Perhatian yang sukar dialihkan
Anak tunarungu memiliki daya abstraksi yang rendah serta
hambatan dalam meramalkan suatu kejadian sehingga anak
menghindari terjadinya perubahan yang belum pasti dan belum
nyata. Hal tersebut menyebabkan anak lebih terpaku pada hal-hal
konkret yang diketahui anak.
5) Memiliki sifat polos
Anak akan mengungkapkan apa yang sedang dirasakan apa
adanya tanpa berpura-pura dan terkadang anak tunarungu sulit
untuk diajak bercanda karena anak menanggapi segala hal secara
serius.
Keterbatasan anak tunarungu dalam kemampuan berbahasanya,
baik pada kemampuan untuk menyampaikan informasi/ berbicara
maupun memahami pembicaraan orang lain sering kali
menimbulkan perasaan kecewa pada anak yang menyebabkan
anak mudah tersinggung dan cepat marah.
c. Perkembangan prilaku
Prilaku/kepribadian banyak dipengaruhi oleh kemampuan
penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya. Prilaku anak
tunarungu juga dipengaruhi oleh kemampuan masing-masing dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda tersebut terutama
pada hubungan anak di awal masa kehidupannya dengan lingkungan
(hubungan dengan lingkungan dalam arti sempit diawal masa
kehidupan yaitu dengan orang tua).
B. Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial menurut Shapiro (1997: 173) adalah kemampuan
seseorang untuk bergaul dengan orang lain agar dapat ikut serta secara efektif
dalam dunia sosial serta anak belajar mengenali, menafsirkan dan bereaksi
secara tepat terhadap situasi-situasi sosial. Pengertian lain mengenai
keterampilan sosial adalah keterampilan seseorang untuk mempertahankan
tujuan pribadi yang hendak dicapai dengan hubungan baik dengan orang lain
oleh Izzaty yang juga menjelaskan keterampilan sosial terdiri dari empati,
afiliasi dan rekonstruksi publik serta mengembangkan kebiasaan positif.
Dalam memahami keterampilan sosial, perlu juga di pahami mengenai
kesamaan pengertian keterampilan sosial diantaranya kesamaan dengan
penyesuaian sosial yang menurut Hurlock (1978: 287) merupakan
keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada
umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya. Setiap anggota
masyarakat diharapkan seiring berjalannya waktu akan semakin dapat
menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dan dapat memenuhi harapan
sosial sesuai dengan perkembangan usia mereka. Keterampilan yang
dimaksudkan berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya di mana dikatakan, bahwa interaksi sosial
adalah hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain, dan
dalam hubungan tersebut suatu individu mempengaruhi individu yang lain
atau dipengaruhi individu lain yang menyebabkan terjadinya hubungan timbal
balik (Walgito, 2003: 65). Interaksi sosial tidak hanya terjadi antara individu
satu dengan individu lainnya, tapi juga antara individu dengan dirinya sendiri.
Menurut teori yang dikemukakan oleh Bandura yang menyatakan bahwa
seseorang akan mempengaruhi lingkungannya, tetapi juga mempengaruhi
individu yang bersangkutan (dalam Walgito, 2003: 66).
Keterampilan sosial yang dimaksudkan tersebut dijabarkan oleh
Gresham & Reschly (dalam Gimpel dan Merrell, 1998) dengan
1. Perilaku Interpersonal
Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut keterampilan
yang digunakan selama melakukan interaksi sosial dengan orang lain.
2. Perilaku Intrapersonal (Prilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri)
Perilaku ini merupakan ciri dari seorang yang dapat mengatur dirinya
sendiri dalam situasi sosial, seperti: keterampilan menghadapi stress,
memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan sebagainya.
3. Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis
Perilaku ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi
belajar di sekolah, seperti: mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan
sekolah dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di
sekolah.
4. Penerimaan Teman Sebaya
Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan sosial
yang rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena
mereka tidak dapat bergaul dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang
dimaksud adalah: memberi dan menerima informasi, dapat menangkap
dengan tepat emosi orang lain, dan sebagainya.
5. Keterampilan Berkomunikasi
Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang
baik, berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap lawan bicara,
Sehingga dapat pahami bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan
seorang individu untuk memenuhi tugas perkembangan dalam bidang sosial
yang terlihat dari aktivitas individu dalam berinteraksi dengan orang lain
dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan sosial yang dimaksudkan tersebut
antara lain keterampilan berhubungan dengan orang lain (interpersonal),
keterampilan berhubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), keterampilan
yang berhubungan dengan kesuksesan akademik, keterampilan dalam
berhubungan dengan teman sebaya, serta keterampilan berkomunikasi.
Berns (2013: 36-41) menjabarkan tujuan dari sosialisasi yang
dilaksanakan oleh seseorang mulai dari masa kecil hingga pada tujuan hidup
di masa depan yaitu:
1. Membangun konsep diri
Konsep diri adalah pemahaman diri seseorang tentang identitas diri
sebagai pembeda antara dirinya dengan orang lain.
2. Membangun aturan untuk diri sendiri
Aturan diri menyangkut kemampuan untuk mengontrol kehendak hati,
prilaku, dan atau emosi hingga dapat di ungkapkan atau di kelurkan pada
waktu, tempat dan objek yang tepat.
3. Membangun prestasi
Sosialisasi membantu melengkapi cita-cita seseorang ketika dewasa nanti.
Adanya cita-cita memberi alasan bagi seseorang untuk sekolah, bergaul
dengan orang lain, mentaati peraturan yang ada dan lain-lain.
Menjadi bagian dari suatu kelompok, seseorang harus memiliki fungsi
yang melengkapi kelompok tersebut.
5. Sebagai alat untuk membentuk kecakapan
Sosialisasi bertujuan sebagai pelengkap kecakapan sosial, emosional dan
kognitif seorang anak sehingga ia dapat bergaul dengan baik atau
berfungsi secara maksimal dalam masyarakat.
Prilaku dalam interaksi sosial merupakan proses yang rumit yang
tidak hanya kegiatan interaksi antara satu individu dengan individu lain,
namun interaksi sosial merupakan suatu proses kompleks yang di dasari oleh
berbagai faktor, termasuk faktor psikologis dan faktor lingkungan yaitu orang
lain. Berikut ini beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya interkasi:
1. Faktor Imitasi
Imitasi merupakan dorongan seseorang untuk meniru orang lain.
Beberapa ahli mengungkapkan bahwa imitasi merupakan suatu landasan
atau suatu faktor yang mendasari terjadinya interaksi sosial namun imitasi
bukanlah satu-satunya faktor yang mendasari interaksi. Faktor imitasi
tidak terjadi secara otomatis, melainkan juga terjadi dengan pengaruh dari
faktor lain seperti sikap menerima sikap/prilaku yang di imitasi tersebut.
Imitasi banyak terjadi pada tahap-tahap awal perkembangan individu,
seperti perkembangan bahasa anak yang terjadi setelah anak
mendengarkan ucapan dari orang lain dan kemudian belajar untuk
menyampaikan kembali kata/ucapan tersebut.
Sugesti adalah pengaruh psikis yang diterima tanpa banyak kritik dari
individu yang bersangkutan, pengaruh psikis tersebut dapat datang dari
diri sendiri (auto-sugesti) maupun orang lain (hetero-sugesti). Dalam
interaksi sosial di masyarakat, banyak individu menerima suatu cara,
pedoman, pandangan maupun norma dari orang lain atau lingkungannya
tanpa banyak kritik terhadap norma, pandangan, pedoman maupun cara
tersebut.
3. Faktor Identifikasi
Identifikasi adalah dorongan untuk menjadi sama dengan orang lain.
Dalam proses terjadinya identifikasi, seluruh norma, cita-cita bahkan
sikap dari orang tua dapat dijadikan norma, cita-cita dan sikap anak yang
tampak dari prilaku anak sehari-hari. Pada masa remaja, seorang individu
tidak lagi melakukan identifikasi terhadap orang tua melainkan mulai
mencari norma-norma sosial sendiri. Pencarian tersebut menyebabkan
anak mencari sosok atau tokoh dalam masyarakat yang di anggap
memiliki pandangan yang sesuai dengan individu.
4. Faktor Simpati
Simpati merupakan rasa tertarik kepada orang lain yang timbul tidak atas
dasar logis rasional, melainkan atas dasar perasaan atau emosi.
Timbulnya simpati dapat mengakibatkan seseorang dapat memahami
individu lain dengan lebih mendalam sehingga terjalin interaksi sosial
C. Pembelajaran Kolaboratif (Collaborative Learning)
1. Pengertian pembelajaran kolaboratif
Collaborative diartikan sebagai “act of working together” atau
kegiatan bekerja secara bersama yang dimaksudkan ialah seseorang
bekerja bersama orang lain untuk menyelesaikan tugasnya, baik itu tugas
individu maupun tugas bersama. Gerlach (dalam Suryani, 2010: 10)
mengartikan pembelajaran kolaboratif sebagai sebuah pendekatan dalam
hal pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan sekelompok siswa
untuk bekerja bersama menyelesaikan masalah, tugas, atau dalam
menghasilkan suatu produk.
Pendapat lain mengenai pembelajaran kolaboratif disampaikan
oleh Ted Panitz sebagai filsafat interaksi dan gaya hidup yang menjadikan
kerjasama sebagai suatu struktur interaksi yang dirancang sedemikian
rupa guna mempermudah usaha kolektif untuk mencapai tujuan bersama.
Gunawan (dalam Hosnan,2014: 310) menjelaskan bahwa collaboratif
learning bukan hanya sekedar bekerja sama dalam suatu kelompok, tetapi
lebih kepada suatu proses pembelajaran yang melibatkan proses
komunikasi secara utuh dan adil di dalam kelas. Bakley, Cross, dan Major
(2012, 6) menjelaskan bahwa pembelajaran kolaboratif adalah perpaduan
dua atau lebih pelajar yang bekerja bersama-sama dan berbagi beban kerja
secara setara sembari secara perlahan mewujudkan hasil pembelajaran
Bruner (dalam Brady, 2006: 3) megatakan bahwa siswa harus
bertanggung jawab atas pembelajarannya melalui partisipasi aktif yang
dapat mendekatkan siswa pada apa yang dipelajarinya. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa siswa akan lebih memahami apa yang di
pelajarinya apabila siswa melaksanakan pembelajaran tersebut tanpa
tekanan dan menyenangkan bersama teman-teman yang lainnya. Pada
teori lain, Vigotsky (dalam Brady, 2006: 9 ) menyampaikan bahwa
pendidikan umumnya digelar dengan dasar sosial-budaya. Pandangan ini
memandang pembelajaran sebagai hasil dari pengalaman sosial dan
budaya dari pelajar, keadaan sosial lingkungan belajar dan interaksi yang
telah dilaksanakan pelajar.
Laurie Brady memberikan gambaran tentang kegiatan belajar
mengajar yang dinamakan model konstruktivis sosial dari pembelajaran
dan pengajaran, yaitu:
a. Suasana kelas
Menciptakan suasana kelas yang yang kolaboratif, saling perduli
atau saling menjaga, dan dengan cara berdialog dalam menemukan
makna.
b. Kondisi belajar
Kondisi belajar tersebut ialah dengan mengatur sebuah kasus untuk
mendorong rasa ingin tahu siswa, menanyakan
pertanyaan-pertanyaan, dan bekerja sama dengan siswa lain untuk membangun
c. Kegiatan Pembelajaran
Yaitu kegiatan dalam mediskusikan tujuan-tujuan belajar yang
menantang siswa untuk mengembangkan kemampuannya.
d. Kesempatan Belajar Siswa
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan
hasil pekerjaannya kepada siswa lain untuk mendapatkan masukan
atau timbal balik.
Gambaran tentang pembelajaran tersebut memberikan kesempatan
yang banyak bagi siswa untuk mengembangkan sikap sosial yang baik
dalam kegiatan pembelajaran yang merupakan sistem kelas yang
demokratis. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran kolaboratif adalah suatu pendekatan dalam kegiatan
belajar mengajar dimana siswa harus bekerja sama menyelesaikan tugas
dan tanggung jawabnya masing-masing untuk mencapai tujuan bersama.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu terciptanya suasana kelas, kondisi
kelas, kondisi pembelajaran, serta kesempatan belajar yang baik dan
kondusif bagi siswa. Selama proses penyelesaian tugas tersebut terjadi
partisipasi aktif dan komunikasi antar siswa yang dapat mengembangkan
kemampuan siswa untuk berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Macam-Macam Pembelajaran Kolaboratif
a. Learning Together. Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas
beranggotakan siswa-siswa yang beragam kemampuannya. Tiap
oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set
lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok.
b. Teams-Games-Tournament (TGT). Setelah belajar bersama
kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba
dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan
masing-masing. Penilaian didasarkan pada jumlah nilai yang
diperoleh kelompok.
c. Group Investigation (GI). Semua anggota kelompok dituntut untuk
merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan
masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan
dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut
bagaimana perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian
didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
d. Academic-Constructive Controversy (AC). Setiap anggota kelompok
dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual
yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik
bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain.
Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan
pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis,
pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan
keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota
e. Jigsaw Proscedure (JP). Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota
suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda tentang suatu pokok
bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami keseluruhan pokok
bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian
didasarkan pada rata-rata skor tes kelompok.
f. Student Team Achievement Divisions (STAD). Para siswa dalam
suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil.
Anggota-anggota dalam setiap kelompok saling belajar dan membelajarkan
sesamanya. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh
terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan
kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu siswa.
Penilaian didasarkan pada pencapaian hasil belajar individual maupun
kelompok.
g. Complex Instruction (CI). Metode pembelajaran ini menekankan
pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada penemuan,
khususnya dalam bidang sains, matematika dan pengetahuan sosial.
Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota
kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan
dalam pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua
bahasa) dan di antara para siswa yang sangat heterogen. Penilaian
didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
h. Team Accelerated Instruction (TAI). Bentuk pembelajaran ini
dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap anggota
kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih
dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam
kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar,
setiap siswa mengerjakan soal-soal tahap berikutnya. Namun jika
seorang siswa belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan
benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap
tahapan soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian
didasarkan pada hasil belajar individual maupun kelompok.
i. Cooperative Learning Stuctures (CLS). Dalam pembelajaran ini setiap
kelompok dibentuk dengan anggota dua siswa (berpasangan). Seorang
siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor
mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban
tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan
terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan
sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu berganti peran.
j. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). Model
pembelajaran ini mirip dengan TAI. Sesuai namanya, model
pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis dan
tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para siswa saling menilai
kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis
3. Kelebihan Pembelajaran Kolaboratif
a. Siswa belajar bermusyawarah
b. Siswa belajar menghargai pendapat orang lain
c. Dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional
d. Dapat memupuk rasa kerja sama.
e. Adanya persaingan yang sehat
4. Kelemahan Pembelajaran Kolaboratif
a. Pendapat serta pertanyaan siswa dapat menyimpang dari pokok
persoalan.
b. Membutuhkan waktu yang cukup lama.
c. Terdapat siswa yang ingin tampil menonjol dan siswa yang lemah
d. Merasa rendah diri dan selalu berketergantungan pada orang lain.
e. Kesimpulan atau penyelesaian masalah yang sering kali menyimpang
dari tujuan.
D. Kerangka Berpikir
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami hambatan pendengaran
yang menyebabkan anak mengalami hambatan dalam perkembangan
bahasanya. Bagi anak tunarungu yang memperoleh pendidikan dan pelatihan
pengembangan bahasa baik di sekolah maupun di lembaga rehabilitasi
lainnya memiliki kesempatan untuk mengembangkan bahasanya serta belajar
menggunakan indera lain sebagai kompensasi hambatan pendengaran yang
perkembangan bahasa anak normal. Walaupun perkembangan bahasa anak
telah berkembang dengan baik, namun ketunarunguan terkadang membentuk
prilaku anak yang lebih mementingkan diri sendiri dan kurang perhatian
dengan orang di sekitar anak termasuk dalam hal komunikasi dengan orang
lain. Anak tunarungu terbiasa dengan sikap lingkungan yang kurang
menghiraukan anak karena di anggap sulit untuk di ajak berkomunikasi,
menyebabkan anak lebih memfokuskan pada diri sendiri (egosentris),
sehingga anak kurang dapat menerima informasi dan pendapat orang lain.
Besarnya sifat egosentris anak tersebut sering kali menyebabkan
kesalahpahaman antara individu dengan orang lain, termasuk pada anak
tunarungu tingkat Sekolah Dasar kelas 4 dimana anak hanya menerima
informasi tanpa menyaringnya, menyampaikan informasi tanpa mengetahui
kebenarannya, serta tetap berpegang teguh pada pengetahuan yang ia percayai
walaupun salah.
Dengan sifat anak yang demikian, guru sebagai pendidik utama siswa
di sekolah hendaknya mengajarkan siswa cara untuk saling menghargai
pendapat, menyampaikan informasi dengan alasan yang benar. Salah satu
pendekatan yang dapat digunakan ialah pembelajaran kolaboratif dimana
siswa berada dalam suatu kelompok untuk membahas suatu masalah dengan
bekerja sama mencapai tujuan yang telah di tetapkan kelompok. Dalam
pembelajaran kolaboratif, setiap siswa memiliki kesempatan untuk
menyampaikan pendapatnya dan siswa lain berkewajiban mendengarkan
Peneliti meyakini bahwa dengan menggunakan pendekatan pembelajaran
kolaboratif dalam kegiatan belajar siswa, dapat membantu siswa untuk
bersosialisasi dengan lebih baik terhadap lingkungannya, begitu pula pada
siswa tingkat Sekolah Dasar kelas 4 di SLB Negeri 2 Bantul.
E. Hipotesis Tindakan
Dari kajian teori dan kerangka berpikir yang telah di uraikan di atas, maka
hipotesis yang dapat dirumuskan yaitu ”Keterampilan sosial dapat
ditingkatkan dengan menggunakan metode pembelajaran kolaboratif pada
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekataan penelitian dibedakan menjadi 2 jenis pendekatan yaitu
pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Menurut Purwanto (2008:
16) Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang mengukur kualitas suatu
produk dalam bentuk angka dalam pengumpulan dan analisis datanya,
sedangkan penelitian kualitatif adalah penelitian yang mempertahankan
keaslian data tanpa penapsiran menggunakan angka(purwanto, 2008: 20).
Pendekatan penelitian yang di gunakan pada penelitian ini ialah
pendekat Penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian yang digunakan ialah
Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang merupakan
suatu upaya untuk mencermati kegiatan belajar sekelompok peserta didik
dengan memberikan sebuah tindakan (treatment) yang sengaja dimunculkan
(Mulyasa, 2009: 11). Dalam penelitian ini, tindakan yang dimaksudkan ialah
tindakan yang dilaksanakan oleh peserta didik dalam melaksanakan
pembelajaran menggunakan metode pembelajaran kolaboratif dibawah
bimbingan dan arahan dari guru, sedangkan peneliti bertugas sebagai
pengamat perubahan prilaku siswa dan faktor-faktor yang menyebabkan
tindakan yang dilaksanakan tersebut gagal atau berhasil (Mulyatiningsih, tt:
1).
Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 1), Penelitian Tindakan Kelas
Tindakan yang di berikan peneliti dalam menyelesaikan masalah
keterampilan sosial siswa ialah dengan menggunakan metode pembelajaran
kolaboratif.
B. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini ialah
Pengamatan
Peneliti melaksanakan observasi tentang keaktifan siswa, cara menyampaikan pendapat serta kontribusi siswa dalam kelompok Perencanaan
1. Melakukan observasi pre tindakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa 2. Melaksanakan koordinasi dengan guru
kelas mengenai rencana pelaksanaan
5. Menyusun kisi-kisi kriteria pencapaian keberhasilan dan lembar observasi
3. membagi siswa ke dalam kelompok kerja.
4. Memberikan satu masalah kepada setiap kelompok.
5.penyampaian hasil diskusi. 6. Masukan dari guru mengenai
kegiatan siswa.
Refleksi
1. Peneliti mengevaluasi hasil observasi dan wawancara mengenai kegiatan siswa dan menentukan faktor yang menghambat peningkatan kemampuan dan faktor yang membantu.
2.Perbaikan dalam hal pelaksanaan aktivitas di kelas.
Siklus I
Perencanaan
1. Melakukan observasi pre tindakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa 2. Melaksanakan koordinasi dengan guru
kelas mengenai rencana pelaksanaan
5. Menyusun kisi-kisi kriteria pencapaian keberhasilan dan lembar observasi
3.membagi siswa ke dalam kelompok kerja.
4.Memberikan satu masalah kepada setiap kelompok.
5.penyampaian hasil diskusi. 6.Masukan dari guru mengenai
kegiatan siswa.
Pengamatan
Peneliti melaksanakan observasi tentang keaktivan siswa, cara menyampaikan pendapat serta kontribusi siswa dalam kelompok Refleksi
1.Peneliti mengevaluasi hasil observasi dan wawancara mengenai kegiatan siswa dan menentukan faktor yang menghambat peningkatan kemampuan dan faktor yang membantu.
2.Perbaikan dalam hal pelaksanaan aktivitas di kelas.
C. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah pelaksanaan penelitian tindakan kelas terdiri dari
empat tahapan yaitu:
1. Perencanaan
Kegiatan perencanaan yang dilaksanakan dalam penelitian ini
ialah dengan melakukan diskusi dengan guru kelas mengenai
kemampuan awal siswa, rencana pelaksanaan tindakan mulai dari waktu
pelaksanaan, pre test dan pelaksanaan tindakan serta materi dan bahan
pembelajaran yang akan diberikan. Selama kegiatan perencanaan peneliti
juga menyusun lembar evaluasi, observasi pelaksanaan, dan indicator
keberhasilan serta menyusun RPP yang akan digunakan selama
pelaksanaan tindakan.
2. Pelaksanaan
Kegiatan pelaksanaan merupakan implementasi atau penerapan
rencana pelaksanaan yang telah di rancang pada kegiatan perencanaan
sebelumnya. Pada kegiatan ini akan membahas tentang rencana
pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan
sosial siswa dengan menggunakan metode pembelajaran kolaboratif yang
akan dilaksanakan di kelas IV Sekolah Dasar selama satu siklus yang
terdiri dari 3 kali pertemuan. Langkah-langkah pembelajaran yang
dimaksud ialah sebagai berikut:
a. Kegiatan awal pembelajaran
2) Siswa bersama dengan guru berdoa sebelum dilaksanakannya
kegiatan pembelajaran.
3) Guru menjelaskan mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan
selama kegiatan pembelajaran.
b. Kegiatan inti
1) Siswa memperhatikan penjelasan guru tentang alat dan bahan
yang akan di gunakan dalam praktik pembelajaran tersebut.
2) Guru/peneliti menjelaskan pembagian tugas siswa selama
pelaksanakan kegiatan.
3) Mengkondisikan ruang kelas atau mengkondisikan siswa untuk
melaksanakan kegiatan di luar kelas untuk kegiatan
pembelajaran.
4) Siswa melaksanakan kegiatan seperti yang telah di jelaskan oleh
guru serta guru bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan.
5) Siswa bersama dengan guru membersihkan tempat pelaksanaan
kegiatan
6) Guru memberikan pertanyaan tentang pelaksanaan kegiatan
kemudian meminta siswa untuk menuliskannya di papan tulis.
7) Siswa mengekspresikan perasaannya tentang pelaksanaan
kegiatan bersama dengan teman secara lisan.
c. Kegiatan penutup
1) Siswa bersama guru melaksanakan refleksi dengan tanya jawab
komentar tentang pelaksanaan kegiatan yang telah dilaksanaan
siswa secara bersama-sama, serta pelaksanaan tugas oleh
masing-masing siswa.
2) Menutup kegiatan pembelajaran dengan berdoa.
d. Melaksanakan post test pada akhir pelaksanaan tindakan untuk
mengetaui kemampuan siswa setelah diberikannya tindakan.
3. Observasi
Kegiatan observasi dilaksanakan oleh peneliti untuk mengamati
jalannya pembelajaran selama diberikannya tindakan berupa pelaksanaan
pembelajaran kolaboratif. Kegiatan observasi menekankan pada
keterampilan sosial siswa dengan memperhatikan kemampuan bekerja
sama siswa dengan siswa lain serta kemampuan komunikasi siswa
dengan siswa lain maupun dengan guru.
4. Refleksi
Kegiatan refleksi dilaksanakan oleh peneliti bekerja sama dengan
guru kelas untuk mengkaji data yang di peroleh selama pelaksanaan
tindakan siklus I mengenai hasil post test siklus I, hambatan yang dialami
peneliti selama pelaksanaan, serta masukan dari guru sebagai perbaikan
yang dapat di gunakan peneliti untuk pelaksanaan tindakan selanjutnya.
Setelah refleksi dilaksakan dan apabila hasil pelaksanaan siklus I belum
mencapai indicator keberhasilan tindakan, maka peneliti menyusun
D. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 4 minggu atau 1 bulan yang dimulai
dari bulan Mei hingga bulan Juni yang dilaksanakan di SLB Negeri 2 Bantul
yang berlokasi di Wojo, Bangunharjo, Sewon, Bantul merupakan SLB Negeri
dengan siswa yang sebagian besar memiliki hambatan ketunarunguan.
E. Subjek Penelitian
Subjek yang di gunakan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi
tunarungu tingkat Sekolah Dasar kelas 4 di SLB Negeri 2 Bantul yang
berjumlah 4 orang siswa. Siswa kelas IV terdiri dari 2 orang siswa perempuan
dan 2 orang siswa laki-laki dengan rentang usia 10-16 tahun. Pemilihan kelas
IV sebagai subjek dalam penelitian ini ialah karena siswa kelas IV SD di SLB
N 2 Bantul memiliki perbedaan kemampuan dalam hal keterampilan sosial
dimana siswa masih kurang dapat memperhatikan orang lain dalam
komunikasi serta siswa yang sulit memberi respon terhadap pertanyaan
maupun aktivitas orang lain.
F. Teknik Pengumpulan Data
a. Tes
Ialah tes yang digunakan untuk mengukur keterampilan sosial
siswa dalam hal keterampilan intrapersonal, interpersonal, penerimaan
teman sebaya, ketrampilan dalam hal yang berhubungan dengan
teman kelas siswa di sekolah. Tes tersebut berupa serangkaian
pernyataan yang diberi skor antara 0-2 yang dinilai oleh guru/peneliti.
b. Observasi
Observasi dilaksanakan untuk mengetahui prilaku siswa dalam
kegiatan belajar di kelas, untuk mengamati interaksi siswa satu dengan
siswa lainnya, keaktifan siswa untuk mendengarkan pendapat orang lain,
keaktifan siswa dalam menyampaikan pendapatnya kepada orang lain.
Observasi dilaksanakan untuk memperoleh data sebelum tindakan,
selama tindakan dan setelah pelaksanaan tindakan berupa penggunaan
metode pembelajaran kolaboratif.
c. Wawancara
Wawancara dilaksanakan untuk memperoleh informasi mengenai
aktivitas dan kemampuan sosial siswa dari sudut pandang orang lain
seperti dari pengamatan guru dengan menyampaikan serangkaian
pertanyaan.
G. Instrumen Pengumpulan Data
1. Instrumen Tes Keterampilan Sosial
Tes keterampilan sosial ini di gunakan untuk mengetahui
keterampilan sosial siswa sebelum pemberian tindakan yaitu dengan
dilaksanakannya pre test, selain itu juga untuk mengetahui keterampilan
sosial siswa setelah pelaksanaan tindakan yang di ketahui melalui
Tabel 3.1. Kisi-kisi instrumen tes keterampilan sosial
Variabel Sub Variabel Deskrisi Indikator Butir
pendapat dari
orang lain
Menjelaskan kembali
dengan cara lain
apabila siswa lain
tidak memahami
ucapan siswa.
1
Cara penentuan nilai:
Tiap-tiap butir soal dapat dinilai dengan memberikan skor antara 0 hingga
2 yang kemudian diberikan nilai keseluruhan dengan perhitungan:
nilai keterampilan sosial siswa = × 100
Sedangkat nilai ketuntasan yang menjadi acuan keberhasilan tindakan
ialah apabila siswa memperoleh nilai minimal 60 dari nilai keterampilan
sosial siswa tersebut di atas.
2. Observasi
Observasi di gunakan untuk mengetahui prilaku siswa dalam
pelaksanaan kegiatan pembelajaran menggunakan metode pembelajaran
kolaboratif. Observasi juga dimaksudkan untuk mengetahui
perkembangan kemampuan siswa dalam hal keterampilan sosialnya di
luar kegiatan pembelajaran yang terjadi secara bebas dan atas kehendak
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Observasi Awal
Variabel Sub
Variabel
Deskripsi Indikator Ket
Keterampilan
Panduan observasi selanjutnya ialah panduan observasi untuk
variabel pembelajaran kolaboratif yang di gunakan untuk mengetahui
pelaksanaan pembelajaran kolaboratif dalam kelas. Instrumen ini di
gunakan untuk mengamati suasana belajar, kondisi kelas selama
pelaksanaan pembelajaran serta kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
guna meningkatkan keterampilan sosial siswa dengan menggunakana
Tabel 3.3 Kisi-kisi Instrumen observasi kegiatan pembelajaran
Variabel Sub
Variabel
Deskripsi Indikator Ket
Pembelajaran
membantu siswa
Validitas berhubungan dengan sejauh mana suatu alat dapat mengukur
apa yang menurut orang seharusnya di ukur oleh alat tersebut (Furchan, 2005:
293). Validitas instrumen dalam penelitin ini dilaksanakan dengan
menggunakan validitas isi dimana validitas isi menunjuk pada sejauh mana
instrumen tersebut mencerminkan isi yang di kehendaki (Furchan, 2005:295).
Validitas isi digunakan untuk mengetahui isi dari suatu alat ukur baik dalam
hal bahannya, topiknya, maupun substansinya. Validitas isi todak dapat
dinayatakan dalam bentuk angka, namun pada dasarnya merupakan suatu
pertimbangan atau pendapat, baik pendapat sendiri maupun pendapat orang
lain. Uji validitas dalam penelitian ini dilaksanakan oleh dosen pembimbing
dan juga guru kelas IV SLB Negeri 2 Bantul yaitu Nurul Wasliyah dengan
membaca dan memberikan pendapatnya mengenai instrumen yang di
gunakan oleh peneliti.
Reliabilias berasal dari kata reliability yang secara harfiah dapat
diartikan sebagai sesuatu yang dapat di percaya atau sesuatu yang tahan uji,
ketika diuji. Azwar (dalam Matondang, 2009: 93) menyatakan bahwa
reliabilitas merupakan salah satu ciri atau karakter utama instrumen
pengukuran yang baik. Terdapat beberapa metode pengukuran reliabilitas
instrumen yang dapat digunakan salah satunya ialah kesepakan dengan
observer dimana suatu instrumen tes yang sama digunakan oleh beberapa
observer untuk menilai suatu kelompok subjek yang sama. Penilaian
reliabilitas instrumen tersebut dilaksanakan dengan membandingkan skor
yang diperoleh dari dua observer atau lebih. Inilah metode uji reliabilitas
yang di gunakan peneliti dalam penelitian ini dimana observer yang
melakukan uji instrumen tes tersebut ialah peneliti sendiri dengan seorang
rekan satu jurusan peneliti.
I. Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2005:
248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasi data, memilah menjadi data yang dapat dikelola, mencari dan
menemukan hal penting dan hal yang dapat dipelajari serta hal yang dapat
disampaikan kepada orang lain. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif kuantitatif.
Teknik analisis data kuantitatif yang dimaksud dalam penelitian ini
ialah dengan mengumpulkan data dari lapangan dengan teknik observasi dan
tes, memilih data yang dapat di gunakan dan menyusun dalam deskripsi hasil
angka skor di hitung untuk mengetahui nilai keterampilan sosial yang berupa
data angka persen. Untuk mengetahui prosentase nilai keterampilan sosial
siswa digunakan rumus sebagai berikut (Ngalim, 2013: 102):
=
!× 100
Keterangan:
NP : Nilai yang diharapkan
R : Skor yang di peroleh siswa
SM : Skor Maksimal yang dapat di peroleh
100 : bilangan tetap (persen)
Kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang menjadi acuan ketercapaian
keterampilan sosial siswa ialah perolehan nilai minimal 60 dari nilai
maksimal 100 dari tes keterampilan sosial yang dilaksanakan dengan predikat
“Cukup” dari kategori ketuntasan belajar berikut (Ngalim, 2013: 103):
Tabel 3.4 Kategori Ketuntasan Belajar
Tingkat penguasaan Predikat
86 – 100 % Sangat Baik
76 – 85 % Baik
60 – 75 % Cukup
55 – 59 % Kurang