• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS PENYAKIT BERDASARKAN ICD- 10 DI PUSKESMAS GONDOKUSUMAN II KOTA YOGYAKARTA | Pramono | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 58 194 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS PENYAKIT BERDASARKAN ICD- 10 DI PUSKESMAS GONDOKUSUMAN II KOTA YOGYAKARTA | Pramono | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 58 194 1 PB"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS PENYAKIT BERDASARKAN

ICD-10 DI PUSKESMAS GONDOKUSUMAN II KOTA YOGYAKARTA

Angga Eko Pramono1,Nuryati2

Program Diploma Rekam MedisSekolah Vokasi UGM1,2 anggaekopramono@gmail.com1,nur3yati@yahoo.com2

ABSTRAK

Sistem klasifikasi penyakit merupakan pengelompokan penyakit-penyakit yang sejenis dengan

International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem Tenth Revisions

(ICD-10) untuk istilah penyakit dan masalah yang berkaitan dengan kesehatan. Penerapan pengodean harus sesuai ICD-10 guna mendapatkan kode yang akurat karena hasilnya digunakan untuk mengindeks pencatatan penyakit, pelaporan nasional dan internasional morbiditas dan mortalitas, analisis pembiayaan pelayanan kesehatan, serta untuk penelitian epidemiologi dan klinis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keakuratan kode diagnosis penyakit berdasarkan ICD-10 di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta pada tahun 2012. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan rancangan penelitian secara cross sectional. Populasi obyek dalam penelitian ini adalah seluruh berkas rekam medis pasien rawat jalan pada periode bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2012 sedangkan populasi subyeknya adalah seluruh dokter dan perawat. Sampel pada penelitian ini berjumlah 385 berkas rekam medis dengan menggunakan tekniksimple random samplingsedangkan sampel subyeknya adalah 2 orang dokter dan 2 orang perawat. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah kode yang akurat sebanyak 174 kode (45,2%), dan tidak akurat sebanyak 211 kode (54,8%). Ada beberapa faktor penyebab ketidakakuratan kode diagnosis di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta diantaranya tidak sesuainya kualifikasi SDM yang bertugas untuk mengode diagnosis, tidak adanyaStandard Operating Procedure(SOP) untuk pengodean diagnosis, data diagnosis dan kodenya yang ada di sistem informasi manajemen puskesmas (SIMPUS) tidak lengkap, serta tidak optimalnya penggunaan buku ICD-10 sebagai panduan untuk mengode diagnosis penyakit.

Kata Kunci : ICD-10, keakuratan kode diagnosis, SIMPUS

ABSTRACT

Disease classification system is a grouping of diseases that are similar to the International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems Tenth Revisions (ICD-10) for the term of diseases and health-related issues. The implementation should be appropriate with ICD-10 in order to obtain the accuracy of codes because the results are used to index the recording of diseases, national and international reporting of morbidity and mortality, the analysis of health care financial, as well as for research and clinical epidemiology. The purpose of this study to determine the accuracy of the diagnosis codes based on ICD-10 at Public Health Center of Gondokusuman II Yogyakarta in 2012. This research was using qualitative research with cross sectional design. The population of objects in this study was all files of outpatient medical records for the period of January to June in 2012 while the population of subjects was the whole doctors and nurses.The sample of objects in this research was 385 medical records used simple random sampling technique while the sampleofsubject was 2 doctors and 2 nurses. The analysis showed that the amount of codes that accurate was 174 codes (45.2%) and inaccurate was 211 codes (54.8%). There were several factors that cause the codes was inaccurate at Public Health Centerof Gondokusuman II Yogyakarta such as incompatibility among qualified human resources assigned to code the diagnosis, the absence of the Standard Operating Procedure (SOP) for diagnosis of coding, diagnosis data and the codes at management information system of public health center (SIMPUS) were not completed, and the use of ICD-10 book as a guide to code the diagnosis was not optimal.

(2)

PENDAHULUAN

Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) merupakan sebuah organisasi di bawah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di peringkat kecamatan, pelayanan yang ditawarkan bersifat menyeluruh, berpadu, dapat diterima dan dijangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2000). Puskesmas juga mengutamakan keterlibatan aktif masyarakat, penggunaan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan upaya dan kemampuan pemerintah serta masyarakat (Depkes RI, 2002). Perekam medis merupakan salah satu sumber daya yang terlibat dalam puskesmas.

Menurut Kepmenkes RI Nomor 377/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, seorang perekam medis harus mampu menetapkan kode penyakit dan tindakan dengan tepat sesuai klasifikasi yang diberlakukan di Indonesia (ICD-10) tentang penyakit dan tindakan medis dalam pelayanan dan manajemen kesehatan. Penerapan pengodean digunakan untuk mengindeks pencatatan penyakit, masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis, memudahkan proses penyimpanan dan pengambilan data terkait diagnosis karakteristik pasien dan penyedia layanan, bahan dasar dalam pengelompokan DRG’s

(diagnostic related groups) untuk sistem penagihan pembayaran biaya pelayanan, pelaporan nasional dan internasional

morbiditas dan mortalitas, tabulasi data pelayanan kesehatan bagi proses evaluasi perencanaan pelayanan medis, menentukan bentuk pelayanan yang harus direncanakan dan dikembangkan sesuai kebutuhan zaman, analisis pembiayaan pelayanan kesehatan, serta untuk penelitian epidemiologi dan klinis

Pelaksanaan pengodean diagnosis harus lengkap dan akurat sesuai dengan arahan ICD-10 (WHO, 2002). Keakuratan kode diagnosis pada berkas rekam dipakai sebagai dasar pembuatan laporan. Kode diagnosis pasien apabila tidak terkode dengan akurat maka informasi yang dihasilkan akan mempunyai tingkat validasi data yang rendah, hal ini tentu akan mengakibatkan ketidakakuratan dalam pembuatan laporan, misalnya laporan morbiditas rawat jalan, laporan sepuluh besar penyakit ataupun klaim Jamkesmas. Dengan demikian, kode yang akurat mutlak harus diperoleh agar laporan yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan.

(3)

II Kota Yogyakarta, petugas tersebut menyatakan bahwa kode diagnosis yang akurat sangat penting gunanya. Dikarenakan ketidakakuratan kode diagnosis, ada klaim Jamkesmas menjadi tidak terlaksana sehingga Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta mengalami kerugian. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Keakuratan Kode Diagnosis

Penyakit Berdasarkan ICD-10 Di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta Pada Tahun 2012”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keakuratan kode diagnosis penyakit berdasarkan ICD-10 dan faktor penyebab ketidakakuratan kode diagnosis penyakit di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta.

Rekam Medis

Menurut Huffman (1994), rekam medis adalah fakta berkaitan dengan keadaan pasien, riwayat penyakit dan pengobatan masa lalu serta saat ini yang ditulis oleh profesi kesehatan yang memberikan pelayanan kepada pasien tersebut. Rekam medis dibuat oleh institusi pelayanan kesehatan sehingga berkas fisiknya menjadi milik institusi. Dengan kata lain institusi pelayanan kesehatan mempunyai media yang digunakan untuk dokumentasi (kertas, komputer, tape, dan lain-lain). Sedangkan isinya atau informasi yang terkandung dalam berkas rekam medis merupakan milik pasien.

Menurut Kepmenkes RI No. 377/Menkes/SK/III/2007 tentang tentang Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien di sarana pelayanan kesehatan. Rekam medis bersifat rahasia karena menyangkut data pribadi seseorang dengan penyakit yang diderita, riwayat penyakit dan diagnosis lainnya. Mengingat begitu pentingnya isi serta peranan rekam medis, seharusnya setiap rumah sakit dan institusi pelayanan kesehatan menyimpan, menyusun dan merawat rekam medis dengan baik serta menjaga keamanannya dari kerusakan dan penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak berhak, dan juga menyediakan berkas rekam medis tersebut setiap kali dibutuhkan.

Menurut Hatta (2008), rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pesien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan. Sedangkan rekam kesehatan merupakan wadah informasi pelayanan kesehatan pasien (konsep elektronik).

Coding(Pengodean Diagnosis)

Menurut Depkes RI (1997), coding

(4)

dalam Hatta (2008), pengodean yang sesuai dengan ICD-10 adalah:

a. Tentukan tipe pernyataan yang akan dikode, dan buka volume 3 Alfabetical Indeks (kamus). Bila pernyataan adalah istilah penyakit atau cidera atau kondisi lain yang terdapat pada Bab I-XIX dan XXI (Z00-Z99), lalu gunakan ia sebagai “lead term” untuk dimanfaatkan sebagai

panduan menelusuri istilah yang dicari pada seksi 1 indeks (Volume 3).Bila pernyataan adalah penyebab luar (external cause) dari cedera (bukan nama penyakit) yang ada di Bab XX (Volume 1), lihat dan cari kodenya pada seksi II di Indeks (Volume 3).

b. “Lead term” (kata panduan) untuk penyakit dan cedera biasanya merupakan kata benda yang memaparkan kondisi patologisnya. Sebaiknya jangan menggunakan istilah kata benda anatomi, kata sifat atau kata keterangan sebagai kata panduan. Walaupun demikian, beberapa kondisi ada yang diekspresikan sebagai kata sifat atau eponim (menggunakan nama penemu) yang tercantum di dalam indeks sebagai “lead term”.

c. Baca dengan seksama dan ikuti petunjuk catatan yang muncul di bawah istilah yang akan dipilih pada Volume 3. d. Baca istilah yang terdapat dalam tanda

kurung “()” sesudah lead term (kata dalam tanda kurung = modifier, tidak akan mempengaruhi kode). Istilah lain yang ada di bawah lead term (dengan tanda (-)minus = idem = indent) dapat

memengaruhi nomor kode, sehingga semua kata-kata diagnostik harus diperhitungkan).

e. Ikuti secara hati-hati setiap rujukan silang (cross references) dan perintahsee

dansee alsoyang terdapat dalam indeks. f. Lihat daftar tabulasi (Volume 1) untuk

mencari nomor kode yang paling tepat. Lihat kode tiga karakter di indeks dengan tanda minus pada posisi keempat yang berarti bahwa isian untuk karakter keempat itu ada di dalam volume 1 dan merupakan posisi tambahan yang tidak ada dalam indek (Volume 3). Perhatikan juga perintah untuk membubuhi kode tambahan (additional code) serta aturan cara penulisan dan pemanfaatannya dalam pengembangan indeks penyakit dan dalam sistem pelaporan morbiditas dan mortalitas.

g. Ikuti pedoman Inclusion dan Exclusion

pada kode yang dipilih atau bagian bawah suatu bab (chapter), blok, kategori, atau subkategori.

h. Tentukan kode yang anda pilih.

i. Lakukan analisis kuantitatif dan kualitatif data diagnosis yang dikode untuk memastikan kesesuaiannya dengan pernyataan dokter tentang diagnosis utama di berbagai lembar formulir rekam medis pasien, guna menunjang aspek legal rekam medis yang dikembangkan. Keakuratan Kode

(5)

sesuai dengan kondisi pasien dengan segala tindakan yang terjadi, lengkap sesuai aturan klasifikasi yang digunakan. Bila kode mempunyai 3 karakter dapat diasumsikan bahwa kategori tidak dibagi. Seringkali bila kategori dibagi, kode nomor pada indeks akan memberikan 4 karakter. Suatu dash

pada posisi ke-4 (mis. O03.-) mempunyai arti bahwa kategori telah dibagi dan karakter ke-4 yang dapat ditemukan dengan merujuk ke daftar tabular. Sistem dagger (†) dan

asterisk(*) mempunyai aplikasi pada istilah yang akan diberi dua kode (WHO, 2004).

Terincinya kode klasifikasi penyakit dan masalah terkait kesehatan dapat menyebabkan terjadinya kesalahan dalam menetapkan suatu kode. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kesalahan dalam menetapkan kode berdasarkan hasil penelitian Institute of Medicine (Abdelhak, dkk,2001) adalah:

a. Kesalahan dalam membaca diagnosis yang terdapat dalam berkas rekam medis, dikarenakan rekam medis tidak lengkap b. Kesalahan dalam menentukan diagnosis

utama yang dilakukan oleh dokter c. Kesalahan dalam menentukan kode

diagnosis ataupun kode tindakan

d. Kode diagnosis atau tindakan tidak valid atau tidak sesuai dengan isi dalam berkas rekam medis

e. Kesalahan dalam menuliskan kembali atau memasukkan kode dalam komputer. Kecepatan dan ketepatan pengodean dari suatu diagnosis sangat tergantung kepada pelaksana yang menangani rekam medis, yaitu:

a. Tenaga medis dalam menetapkan diagnosis;

b. Tenaga rekam medis yang memberikan kode diagnosis;

c. Tenaga kesehatan lainnya yang terkait dalam melengkapi pengisian rekam medis.

Kompetensi Perekam Medis

Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 377/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar profesi Perekam Medis, ada dua kategori kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang perekam medis. Kategori kompetensi tersebut adalah kompetensi pokok dan kompetensi pendukung. Kompetensi pokok perekam medis dan informasi kesehatan meliputi:

a. klasifikasi dan kodifikasi penyakit, masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan serta tindakan medis;

b. aspek hukum dan etika profesi;

c. manajemen rekam medis dan informasi kesehatan;

d. menjaga mutu rekam medis; dan e. statistik kesehatan.

Kompetensi pendukung perekam medis dan informasi kesehatan meliputi: a. manajemen unit kerja rekam medis; dan b. kemitraan profesi.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian

(6)

dan sejauh mana tingkat keakuratan kode diagnosis serta faktor-faktor yang mempengaruhi keakuratan kode diagnosis berdasarkan ICD-10 di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta.

Populasi dan Sampel Penelitian

Menurut Sugiyono (2007), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi objek dalam penelitian ini adalah seluruh berkas rekam medis pasien rawat jalan pada periode bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2012 yang dikode oleh dokter dan perawat di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta pada tahun 2012. Jumlah populasi objek sebesar 10.224 berkas rekam medis. Populasi subjek penelitian meliputi semua perawat dan dokter di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling. Besar sampel obyek adalah 385 berkas rekam medis sedangkan besar sampel subyeknya adalah 2 orang dokter dan 2 orang perawat.

Studi Lapangan

Pengamatan (observasi)

Observasi yang dilakukan adalah dengan melihat proses pelaksanaan pengodean diagnosis, serta melihat keadaan yang terkait dengan pelaksanaan pengodean diagnosis di Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta. Jenis observasi yang digunakan adalah observasi partisipasif, yaitu peneliti berada

di tempat kegiatan subjek yang diteliti dan ikut terlibat dalam kegiatan subjek.

Wawancara

Dalam wawancara, peneliti

mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan secara langsung kepada

responden dengan bantuan panduan

wawancara, dan jawaban dicatat dengan

menggunakan alat pencatat serta direkam

menggunakanrecorder.

Validitas data

Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiyono, 2007). Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi teknik yang berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Teknik triangulasi dalam penelitian ini dicapai dengan membandingkan data hasil wawancara terhadap responden dengan data hasil observasi. Bila data yang dihasilkan berbeda, maka peneliti melakukan diskusi kepada sumber data yang bersangkutan untuk memastikan mana yang dianggap benar.

Analisis Hasil

Reduksi Data

(7)

Penyajian Data

Penyajian data adalah proses setelah dilakukan reduksi data. Setelah dilakukan pengolahan maka data disajikan baik berupa angka maupun bukan angka. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif sehingga penyajian data bukan berupa angka namun berupa teks yang bersifat naratif. Penyajian seperti itu dapat memberikan informasi yang detail dan paham.

Menarik kesimpulan/verifikasi

Langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan yang dikemukakan didukung oleh bukti-bukti yang valid saat peneliti mengumpulkan data di lapangan. Oleh karena itu, kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan.

HASIL dan PEMBAHASAN

Proses Pengodean Diagnosis Penyakit

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan terhadap proses pengodean, diperoleh hasil bahwa proses pengodean diagnosis penyakit sudah dilaksanakan di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta. Petugas yang melakukan kegiatan pengodean adalah dokter dan perawat. Tidak semua berkas rekam medis dikode oleh dokter. Jika kode sudah dituliskan oleh dokter di berkas rekam medis maka perawat tinggal memasukkan kode tersebut di SIMPUS. Akan tetapi, jika kode belum ada maka perawat yang bertugas mencari kode di SIMPUS. Perawat sudah hapal sebagian besar kode diagnosis sehingga perawat tinggal mengetikkan kode

berdasarkan diagnosis terkait di SIMPUS. Namun, apabila perawat belum hapal diagnosis yang tertera maka yang dilakukan adalah dengan mengetikkan kata kunci dari diagnosis pada kolom yang tersedia kemudian menekan tombol enter sehingga muncul beberapa pilihan kode. Selanjutnya, perawat tinggal memilih kode sesuai diagnosis yang tertulis di berkas rekam medis. Cara lain yang dilakukan untuk menentukan kode diagnosis adalah dengan melihat buku pintar atau buku panduan yang berisi daftar diagnosis beserta kodenya yang merupakan kumpulan penyakit yang sering muncul di puskesmas.

Berikut merupakan tahapan memasukkan kode ke dalam SIMPUS:

a. Hal pertama yang harus dilakukan adalah petugas harus masuk ke dalam software

SIMPUS terlebih dahulu. Petugas mengetikkan username dan password

(8)

Gambar 1. Tampilan Halaman Pertama SIMPUS

b. Setelah masuk ke halaman depan SIMPUS petugas dapat memilih menu utama yang sudah tersedia di layar. Untuk memasukkan kode penyakit, menu yang dipilih oleh seorang petugas adalah menu pemeriksaan. Berikut tampilannya:

Gambar 2. Tampilan Halaman SIMPUS Setelah Proses Login

c. Setelah memilih menu pemeriksaan, tampilan yang terlihat dalam layar adalah tampilan seluruh kunjungan pasien pada hari itu. Apabila petugas akan mengubah ataupun menambah data pada pasien yang datang berobat pada hari tersebut maka petugas hanya butuh mengklik logo (+) pada kolom aksi yang artinya menambah data.

Gambar 3. Tampilan Halaman Data Kunjungan Pasien

d. Apabila petugas tidak dapat menemukan data yang akan dirubah atau ditambah pada tampilan tersebut, petugas dapat mencarinya berdasarkan kategorinya. Misal apabila petugas akan mencari data pasien melalui nomor rekam medis, petugas hanya perlu memilih kategori NORM, mengetikkan nomor rekam medis lalu memasukkan tanggal registrasi, tanggal lahir dan selanjutnya klik tombol cari pada tampilan tersebut. Maka akan muncul pada layar data pasien yang dicari, lalu petugas tinggal memilih aksi yang akan dilakukan.

Gambar 4. Tampilan Halaman Entry Nomor Rekam Medis

(9)

data pasien yang berkunjung adalah nama pasien. Sama seperti pada kategori nomor pasien, langkah yang harus dilakukan adalah petugas memilih kategori nama, mengetikkan nama lalu memasukkan tanggal registrasi, tanggal lahir dan selanjutnya klik tombol cari. Maka akan muncul pada layar data pasien yang dicari, lalu petugas tinggal memilih aksi yang akan dilakukan.

Gambar 5. Tampilan Halaman Entry Nama Pasien

f. Setelah muncul beberapa data pasien yang mendekati dengan kategori yang sudah dimasukkan sebelumnya, petugas hanya tinggal memilih satu nama pasien yang akan dirubah atau ditambah datanya.

Gambar 6. Tampilan Halaman Entry Data Diagnosis dan Kodenya

g. Dari gambar 6, selanjutnya petugas tinggal memasukkan data diagnosis beserta kodenya. Petugas mengklik tombol […] pada baris diagnosis

sehingga akan muncul tampilan seperti gambar di bawah dimana petugas tinggal memasukkan data diagnosis untuk selanjutnya dikode.

Gambar 7. Tampilan Halaman

Pencarian Data Diagnosis dan Kodenya

h. Apabila petugas ingin mengode dan petugas tersebut hafal dengan kode diagnosis tesebut petugas dapat mengetikkan kodenya setelah memilih kategori kode. Setelah muncul beberapa kode, petugas hanya tinggal memilih kode yang paling tepat di kolom aksi.

(10)

i. Selain kategori kode, ada juga kategori “Nama Eng” atau “Nama English” (nama

diagnosis dalam bahasa inggris). Petugas hanya perlu mengetikkan nama. Petugas lalu memilih kode yang paling sesuai dengan yang diharapkan.

Gambar 9. Tampilan Halaman Pencarian Diagnosis dan Kodenya Berdasarkan Nama Diagnosis

j. Apabila kode sudah ditetapkan, maka petugas tinggal menyimpan data tersebut dengan mengklik tombol simpan. Keakuratan Kode Diagnosis

Kode diagnosis yang tepat adalah kode diagnosis yang ditulis spesifik sesuai dengan kode yang ada pada ICD-10 dan pemilihan kode alfabet beserta nomor dan jumlah digit yang dihasilkan dibandingkan dengan diagnosis adalah benar dan tepat. Kode penyakit yang berupa kode alfanumerik memiliki digit yang berbeda sesuai dengan penyakit dan kelompok penyakit. Ada kode yang memiliki 3 digit atau 4 digit. Kode 3 digit dianjurkan untuk datapelaporan WHO

mortality databasedan perbandingan umum internasional (WHO, 2002). Menurut Hatta (2008), proses ketepatan pengodean harus memonitor beberapa elemen, yaitu :

a) Konsisten bila dikode petugas berbeda kode tetap sama (reliability)

b) Kode tepat sesuai diagnosis dan tindakan (validity)

c) Mencakup semua diagnosis dan tindakan yang ada di rekam medis (completeness)

d) Tepat waktu (timeless)

Di bawah ini merupakan data tentang analisis keakuratan kode diagnosis yang ada pada berkas rekam medis pasien di Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta. Tabel 1.Jumlah Item Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari sampel sebanyak 385 berkas, jumlah berkas yang kode diagnosisnya akurat sebesar 174 berkas (45,2%) dan selebihnya kode diagnosisnya tidak akurat yaitu sebesar 211 berkas (54,8%). Berikut disajikan diagram keakuratan kode diagnosis penyakit di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta.

Gambar 10. Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta

No Kategori Jumlah

Persentase (%)

1 Akurat 174 45,2

2

Tidak

akurat 211 54,8

Jumlah 385

(11)

Tabel 2. Jumlah Item Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit (Coder: Dokter)

No Kategori Jumlah

Persentase (%)

1 Akurat 63 33,3

2

Tidak

akurat 126 66,7

Jumlah 189 100,0

Tabel 2 menunjukkan bahwa dari sampel sebanyak 189 berkas, jumlah berkas yang kode diagnosisnya akurat sebesar 63 berkas (33,3%) dan selebihnya kode diagnosisnya tidak akurat yaitu sebesar 126 berkas (66,7%). Berikut disajikan diagram keakuratan kode diagnosis oleh dokter di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta.

Gambar 11. Keakuratan Kode diagnosis (Coder : Dokter)

Tabel 3. Jumlah Item Keakuratan Kode diagnosis (Coder: Perawat)

No Kategori Jumlah

Persentase (%)

1 Akurat 85 43,4

2

Tidak

akurat 111 56,6

Jumlah 196 100,0

Tabel 3 menunjukkan bahwa dari sampel sebanyak 196 berkas, jumlah berkas yang kode diagnosisnya akurat sebesar 85 berkas

(43,4%) dan selebihnya kode diagnosisnya tidak akurat yaitu sebesar 111 berkas (56,6%). Berikut disajikan diagram keakuratan kode diagnosis oleh perawat di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta.

Gambar 12. Keakuratan Kode diagnosis (Coder : Perawat)

Berdasarkan data hasil studi observasi, kriteria ketidakakuratan kode dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Kode tidak sesuai/tidak tepat

Beberapa diagnosis yang dituliskan oleh dokter pada berkas rekam medis dikode secara tidak tepat. Berikut disajikan contoh-contoh diagnosis dan kodenya yang tidak tepat.

Tabel 4. Daftar Kode Diagnosis

TidakTepat

No Diagnosis Kode pada RM

Kode yang Tepat

1 Arthralgia M13 M25.5

2 Dyslipidemia E75.6 M78.8

3 Dyspepsia K29 K30

4 LBP (Low

back pain) M13 M54.5

(12)

yang akurat seharusnya adalah M25.5 tetapi pada kenyataannya kode yang dituliskan adalah M13. Ketidakakuratan penentuan kode lain yang sering muncul yaitu pada diagnosisDyslipidemiayang biasanya diberi kode E75.6, seharusnya kodenya adalah E78.8.

b. Kode tidak akurat

Tabel 5. Daftar Kode Diagnosis Tidak

Akurat

No Diagnosis Kode

pada RM

Kode yang Tepat

1 Arthritis M13 M13.9

2 Asma J45 J45.9

3 Diabetes

Mellitus E11 E11.9

4 Gout

Arthritis M10 M10.0

Ketidakakuratan penulisan kode yang terjadi di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta sebagian besar juga disebabkan karena sebagian besar kode hanya dituliskan dalam tiga digit padahal masih ada digit keempat yang menentukan keakuratan kode. Hal ini sesuai dengan teori WHO (2004) bahwa subkategori 4 karakter digunakan paling tepat untuk identifikasi, misalnya, variasi tempat yang berbeda pada kategori 3 karakter untuk penyakit tunggal, atau penyakit yang berdiri sendiri pada kategori 3 karakter untuk kondisi yang berkelompok.

Sebagai contoh, diagnosis Arthritis

hanya dikode M13, seharusnya agar akurat maka kodenya M13.9. contoh lainnya adalah Asma yang dikode J45, seharusnya kodenya adalah J45.9 agar kode menjadi akurat.

Penggunaan kode yang tepat harus ditegakkan untukmengidentifikasi diagnosis yang spesifik dan prosedur klinik pada klaim, pengisian form, dan transaksi elektronik lainnya (AHIMA, 2010). Kualitas data terkode merupakan hal penting bagi kalangan tenaga personel Manajemen Informasi Kesehatan, fasilitas asuhan kesehatan, dan para profesional Manajemen Informasi Kesehatan. Ketepatan data diagnosis sangat krusial di bidang manajemen data klinis, penagihan kembali biaya, beserta hal-hal yang berkaitan dengan asuhan dan pelayanan kesehatan (Hatta, 2008).

Sumber Daya Manusia

(13)

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan terhadap proses pengodean, diperoleh hasil bahwa proses pengodean diagnosis penyakit sudah dilaksanakan di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta. Petugas yang melakukan kegiatan pengodean adalah dokter dan perawat.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 377/Menkes/SK/III/2007tentang Standar Profesi Perekam Medis menyebutkan salah satu kompetensi perekam medis adalah klasifikasi dan kodifikasi penyakit, masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan tindakan medis artinya bahwa seorang profesi perekam medis dan informasi kesehatan harus mampu menetapkan kode diagnosis penyakit dan tindakan dengan tepat sesuai klasifikasi yang diberlakukan di Indonesia (ICD-10). Oleh karena itu, perekam medis atau coder harus mengode diagnosis penyakit atau diagnosis seakurat mungkin agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan.

Hsia (2009) menyebutkan bahwa 61,7% kesalahan pengodean yang terjadi di pelayanan kesehatan tersebar pada dokter dan petugas administrasi rumah sakit yang bertugas menangani kegiatan pengodean. Kesalahan ini mayoritas dilakukan oleh petugas coding yang tidak mampu memahami dalam pemilihan kode untuk penyakit yang lebih kompleks. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa petugascodingdalam melakukan pengodean harus benar-benar memahami penyakit yang diderita pasien untuk kemudian ditentukan

kode diagnosisnya untuk memperkecil kesalahan kode yang dihasilkan.

Di Puskesmas Gondokusuman II, petugas yang bertugas untuk mengode diagnosis adalah perawat atau dokter yang tentunya jika ditinjau dengan Kemenkes No. 377/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Perekam Medis maka kompetensinya tidak sesuai. Selain itu, petugas (dokter dan perawat) juga belum pernah mengikuti pelatihan mengenai pengodean. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan pembinaan dan pelatihan kepada dokter mengenai penentuan diagnosis dan kode yang sesuai dengan ketentuan ICD-10 (Yuniarti, 2005). Karena tidak mempunyai pengetahuan yang memadahi mengenai pengodean diagnosis, petugas bisa saja melakukan kesalahan dalam memberikan kode sehingga keakuratan kode diagnosis berkurang.

(14)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan. Oleh karena itu pelatihan tentang ilmu pengodean sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan petugascoding terhadap ilmu pengodean.

Pelatihan ilmu pengodean yang dimaksud di sini antara lain memuat tentang segala hal yang berkaitan dengan ilmu pengodean, antara lain proses pengodean, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, manfaat, serta fungsi dari kode. Menurut Mathis dan Jackson (2006), pelatihan(training) adalah sebuah proses di mana orang mendapatkan kapabilitas untuk mencapai tujuan-tujuan organisasional. Dalam pengertian terbatas, pelatihan memberikan karyawan pengetahuan dan keterampilan yang spesifik dan dapat diidentifikasi untuk digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini. Sedangkan menurut Sastrohadiwiryo (2003), programpendidikan dan pelatihan harus dihubungkan dengandeskripsi pekerjaan (job description) dan syarat-syarat pekerjaan (job spesification).

Menurut Mathis dan Jackson (2006), ada tiga jenispelatihan yang dapat ditempuh dalam menentukan tujuan dan prioritas pelatihan yaitu:

1. Pengetahuan: menanamkan informasi kognitif danperincian untuk peserta pelatihan.

2. Keterampilan: mengembangkan perubahan perilaku dalam menjalankan kewajiban-kewajiban pekerjaan dan tugas.

3. Sikap: menciptakan ketertarikan dan kesadaran akan pentingnya pelatihan. Pelatihan yang dapat dilakukan dan diprioritaskan dalam hal ini adalah pelatihan

coding yang termasuk ke dalam pelatihan pengetahuan sekaligus keterampilan.

Bloom (Notoatmodjo, 2003) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan

domain terpenting dalam terbentuknya tindakan seseorang. Dalam hal ini, petugas yang terlibat dalam pengodean di Puskesmas Gondokusuman II dilakukan oleh dokter atau perawat, padahal puskesmas memiliki petugas dengan lulusan Diploma Rekam Medis.

Dokter hanya sesekali mengode diagnosis yang telah dituliskannya di berkas rekam medis. Dokter biasanya mengode diagnosis yang telah dituliskannya di berkas rekam medis secara langsung tanpa merujuk pada buku ICD-10. Dokter biasanya hanya mengode diagnosis-diagnosis yang sering muncul di puskesmas tanpa menggunakan ICD-10. Dapat dikatakan bahwa dokter hanya mengode diagnosis secara hafalan. Sebagai contoh, diagnosis-diagnosis yang sering dikode oleh dokter adalah

Hypertension (I10) dan Common Cold

(15)

Tidak semua berkas rekam medis dikode oleh dokter. Jika dokter belum menuliskan kode diagnosis penyakit, maka yang bertugas mengode adalah perawat. Perawat mengode diagnosis dengan menggunakan

software berupa Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) yang di dalamnya sudah tersediadatabasediagnosis penyakit beserta kodenya. Dalam mengode diagnosis penyakit, perawat hanya memasukkan kode tanpa menuliskannya di dalam berkas rekam medis. Hal ini tidak sejalan dengan Hatta (2008) yang menyatakan bahwa berkas rekam medis mempunyai tujuan utama yaitu mendokumentasikan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan, penunjang medis dan tenaga lain yang bekerja dalam berbagai fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan demikian rekaman itu membantu pengambilan keputusan tentang terapi, tindakan, dan penentuan diagnosis pasien. Rekam medis juga sebagai sarana komunikasi antar tenaga lain yang sama-sama terlibat dalam menangani dan merawat pasien. Kode pada berkas rekam medis digunakan untuk perawatan klinik, penelitian dan pendidikan. Kode juga mencakup identifikasi gejala yang harus dievaluasi, peringatan kepada tenaga kesehatan tentang alergi penderita, informasi pelayanan yang telah diberikan untuk keperluan pembayaran, dan untuk administrasi pelayanan (AHIMA, 2010). Di Puskesmas Gondokusuman II, Perawat mengode diagnosis penyakit juga tanpa merujuk pada buku ICD-10 meskipun buku

ICD-10 tersedia di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta.

Jika kode sudah dituliskan oleh dokter di berkas rekam medis maka perawat tinggal memasukkan kode tersebut di SIMPUS. Akan tetapi, jika kode belum ada maka perawat mencari kode di SIMPUS. Perawat sudah hapal sebagian besar kode diagnosis sehingga perawat tinggal mengetikkan kode berdasarkan diagnosis terkait di SIMPUS. Namun, apabila perawat belum hapal diagnosis yang tertera maka yang dilakukan adalah dengan mengetikkan kata kunci dari diagnosis pada kolom yang tersedia kemudian menekan tombol enter sehingga muncul beberapa pilihan kode. Selanjutnya, perawat tinggal memilih kode sesuai diagnosis yang tertulis di berkas rekam medis.

(16)

Prosedur Tetap

Menurut Lumenta (2001), kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas (ketentuan pokok) yang menjadi garis besar dan dasar bagi rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, serta konsisten dengan tujuan organisasi. Kebijakan yang efektif haruslah rasional, relevan, wajar, direvisi bila diperlukan, disosialisasikan dengan adekuat. Kebijakan dapat berupa prosedur tetap.

Menurut Terry dalam Hartono (2005), prosedur adalah suatu rangkaian tugas yang mewujudkan urutan waktu dan rangkaian itu harus dilaksanakan. Menurut Fitzgeral dan Stallings dalam Hartono (2005) prosedur adalah urutan-urutan yang tepat dari tahapan-tahapan instruksi yang menerangkan apa (what) yang harus dikerjakan, siapa (who) yang mengerjakan, kapan (when) dikerjakan, dan bagaimana (how) mengerjakan.

Prosedur tetap adalah suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, memberikan langkah-langkah yang benar dan terbaik untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi. Prosedur tetap merupakan konsensus bersama untuk jalan yang terbaik. Memberikan pelayanan juga membantu mengurangi kesalahan dan pelayanan dibawah standar dengan memberikan langkah-langkah yang sudah diuji dan disetujui dalam melaksanakan berbagai kegiatan (Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2001).

Menurut Sabarguna (2008), prosedur tetap dibuat bertujuan untuk:

a. Bahan acuan dalam cara melaksanakan tugas tertentu dan menjadi tolak ukur pelaksanaannya

b. Menghindari kesalahan dan kebingungan dalam pelaksanaan tugas

c. Menjamin terlaksananya pekerjaan menurut aturan yang benar secara efisien d. Memperjelas garis tanggung jawab e. Sebagai perlindungan hukum baik bagi

karyawan maupun institusi pelayanan kesehatan.

Belum ada peraturan yang mengatur siapa yang bertugas untuk memberi kode diagnosis, penulisan kode diagnosis, dan langkah untuk mengode diagnosis di Puskesmas Gondokusuman II. Tidak ada peraturan yang jelas atau SOP tentang pelaksanaan pengodean diagnosis tersebut menyebabkan ketidakakuratan kode diagnosis yang ada pada berkas rekam medis. Petugas mengode sesuai dengan pengetahuannya. Oleh karenanya, petugas tidak mengode diagnosis sesuai petunjuk atau langkah-langkah pengodean.

(17)

disusun suatu petunjuk teknis atau prosedur tetap tentang pengodean penyakit. Sadiyah (2004) juga menyatakan bahwa faktor ketidaksesuian penulisan diagnosis dikarenakan belum ada aturan khusus yang tertulis (SOP) mengenai pengodean diagnosis berdasarkan ICD-10.

SIMPUS

Menurut Hatta (2008), sistem informasi kesehatan di puskesmas memiliki tanggung jawab untuk melakukan kegiatan-kegiatan: a. Mencatat dan mengumpulkan data, baik

kegiatan dalam gedung maupun luar gedung

b. Mengolah data

c. Membuat laporan berkala ke dinas kesehatan kabupaten/kota

d. Memelihara bank data

e. Mengupayakan penggunaan data dan informasi untuk manajemen pasien dan manajemen unit puskesmas

f. Memberikan pelayanan data dan informasi kepada masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya di wilayah kerjanya.

Databasepenyakit beserta kodenya yang ada di dalam SIMPUS pada Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta tidak selengkap daftar penyakit pada ICD-10. Sistem Informasi Manajemen untuk kode diagnosis yang ada pada komputer di Puskesmas Gondokusuman II kurang lengkap dan kurang spesifik, sehingga perlu dilakukan penyesuaian istilah dengan ICD-10 serta melakukan penambahan kode diagnosis baru. Berdasarkan Kimberly, et

al., (2005) dinyatakan bahwa database diagnosis yang digunakan untuk pengodean harus dievaluasi secara rutin terkait update

diagnosis maupun kode, sehingga proses pengodean sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam ICD-10. Akan tetapi database di Pusmas Gondokusuman II Yogyakartatidak dilakukan evaluasi oleh pihak puskesmas, hal ini dikarenakan kewenangan pihak puskesmas hanya sebagai

user. Keputusan terkait evaluasi program dalam SIMPUS terkait kewenangan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Sehingga dalam pelaksanannya terjadi banyak hambatan, diantaranya adalah ketika petugas mencari kode diagnosis yang diinginkan tidak ketemukan petugas akan mengode diagnosis dengan kode diagnosis yang mendekati, sehingga tidak spesifik. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakakuratan dalam pembuatan laporan Puskesmas. Beberapa kode yang seharusnya spesifik hingga empat digit hanya ada tiga digit. Sedangkan kode-kode yang bahkan jarang digunakan ada lengkap hingga empat digit. Hal ini tentunya mempengaruhi hasil pengodean diagnosis dari petugas. Sebagai contoh adalah kode untuk diagnosis Diabetes Mellitus dengan kode E11. Padahal di ICD-10, kode E11 bervariasi mulai dari E11.0 sampai dengan E11.9. Dengan demikian, jika perawat menentukan kode Diabetes Mellitus, maka perawat hanya bisa memilih kode E11 saja. PedomanCoding

International Statistical Classification of

(18)

memberikan kode penyakit disertai dengan materi baru yang berupa aspek praktis penggunaan klasifikasi. ICD-10 mempunyai tujuan untuk mendapatkan rekaman sistematik, melakukan analisa, interprestasi, serta membandingkan data morbiditas dan mortalitas dari negara yang berbeda atau antar wilayah dan pada waktu yang berbeda. ICD-10 digunakan untuk menterjemahkan diagnosis penyakit dan masalah kesehatan dari kata-kata menjadi kode alfanumerik yang akan memudahkan penyimpanan dan mendapatkan data kembali serta analisa data (WHO, 1993).

Pengodean diagnosis adalah pemberian penetapan kode dengan menggunakan huruf atau angka atau kombinasi huruf dan angka yang mewakili komponen data. Kegiatan dan tindakan serta diagnosis yang ada di dalam rekam medis harus diberi kode dan selanjutnya diindeks agar memudahkan pelayanan pada penyajian informasi untuk menunjang fungsi perencanaan, manajemen, dan penelitian bidang kesehatan. Kode klasifikasi penyakit oleh WHO bertujuan untuk menyeragamkan nama dan golongan penyakit, cidera, gejala, dan fakta yang mempengaruhi kesehatan (Depkes RI, 1997).

Dalam hal ini, apabila coder salah mengode diagnosis penyakit, maka jumlah pembayaran klaim juga akan berbeda. Kode diagnosis penyakit juga sangat berpengaruh dalam penentuan biaya klaim sesuai dengan diagnosis dokter. Hal ini sesuai dengan Konsil Kedokteran Indonesia (2006) yang menyebutkan bahwa salah satu manfaat

rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien.

Menurut Kasim dalam Hatta (2008), pengodean morbiditas sangat bergantung pada diagnosis yang ditetapkan oleh dokter yang merawat pasien atau yang bertanggung jawab menetapkan kondisi utama pasien.

Coding adalah pemberian penetapan kode yang menggunakan huruf atau angka, dan atau kombinasi huruf dalam angka yang mewakili komponen data. Penetapan kode harus secara spesifik sesuai dengan ICD-10. Penetapan kode yang akurat menentukan jumlah klaim yang akurat juga.

Buku ICD-10 sebagai alat bantu dalam mengode diagnosis telah tersedia di Puskesmas Gondokusuman II, namun penggunaannya masih belum maksimal. Petugas lebih memilih menggunakan buku praktis. Buku ini dianggap lebih efektif dibandingkan dengan buku ICD-10 karena berisikan kode-kode penyakit yang sering muncul di Puskesmas Gondokusuman II. Buku praktis merupakan daftar kode diagnosis dari Dinas Kesehatan berisi kode-kode penyakit yang dibuat berdasarkan diagnosis yang sering dijumpai di Puskesmas. Isi dari daftar kode diagnosis tersebut sama dengan isi daridatabasekode diagnosis yang ada pada SIMPUS. Akan tetapi kode diagnosis di dalam database

(19)

SIMPULAN

Masih banyak kode diagnosis penyakit yang tidak akurat di Puskesmas

Gondokusuman II Kota

Yogyakartadisebabkan oleh beberapa faktor penyebab antara lain:tidak sesuainya kualifikasi SDM yang melaksanakan kegiatan coding;tidak adanya SOP yang mengatur pengodean diagnosis;database diagnosis dan kode ICD-10 yang ada di SIMPUS tidak lengkap; serta tidak digunakannya buku ICD-10 dalam kegiatan

coding. Olah karenanya, perlu adanya kebijakan yang sebaiknya dipertimbangkan untuk diterapkan diantaranya petugascoding

adalah petugas dengan kualifikasi pendidikan D-3 Rekam Medis sehingga diharapkan tingkat keakuratan kode diagnosis semakin meningkat. SOP tentang pengodean diagnosis penyakit perlu dibuat agar pelaksanaan pengodean sistematis dan sesuai ICD-10. Kebijakan lainnya adalah

database penyakit yang ada di dalam SIMPUS perlu dilengkapi agar kode semakin akurat serta buku ICD-10 yang ada perlu selalu dipakai sebagai pedoman dalam kegiatancoding.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdelhak M., Grostick S., Hanken M. A., and Jacobs E. B. 2001. Health Information of A Strategic Resource 2nd Edition. Philadelphia: Sunders Company.

2. Departemen Kesehatan RI. 1997.

Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.

3. Departemen Kesehatan RI. 2000.

Panduan Pelaksanaan Jaminan Kualitas Model Evaluasi Pelayanan Kesehatan Dasar bagi Puskesmas. Jakarta: Direktorat Kesehatan Khusus, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat

4. Departemen Kesehatan RI. 2002. Visi Pembangunan Kesehatan Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

5. Hartono J. 2005. Analisis dan Desain Sistem Informasi: Pendekatan Terstruktur Teori dan Praktik Aplikasi Bisnis. Yogyakarta: Andi.

6. Hatta G. R. 2008. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: UI-Press.

7. Huffman E. K. 1994. Health Information Management. Illionis: Phsycians’ Record Company.

8. Komisi Akreditasi Rumah Sakit. 2001.

Pedoman Penyusunan SOP dan Program Di Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.

9. Konsil Kedokteran Indonesia. 2006.

Manual Rekam Medis. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia

10. Notoatmodjo S. 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta.

11. Rockwell S. & Alton C.J. 1990.

Management of Hospital Health Service Strategic. Toronto: The C.V. Mocby Company.

12. Sabarguna B. S. 2008. Organisasi dan Manajemen Rumah Sakit. Yogyakarta: Konsorsium RSI.

(20)

[Tugas Akhir]. Yogyakarta: Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. 14. Santosa, H. & Malek, N.M. 2011.

Penilaian Kualitas Pelayanan Pusat Kesehatan Masyarakat di Wilayah Sumatera Utara, Indonesia. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol. 14 No. 01 Maret 2011 Hal. 49 54. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM.

15. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R & D. Bandung: Alfabeta.

16. World Health Organization. 1993.

International Statistical Classification of Diseases and Ralated Health Problem. Geneva: WHO.

17. _______. 2002. International Statistical Classification of Diseases and Ralated Health Problem. Geneva: WHO.

18. _______. 2004. International Statistical Classification of Diseases and Ralated Health Problem. Geneva: WHO.

19. AHIMA. 2010. Medical Coding.

Diakses dari

http://www.ahima.org/coding/

20. Hasibuan, M.S. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

21. Hsia, D. C. 2009. Accuracy of Diagnostic Coding for Medicare Patients Under The Prospective-Payment System. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3 113929/

22. Mathis, R.L., Jackson, J.H. 2006.

Manajemen Sumber Daya Manusia.

Jakarta: Salemba Empat.

23. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Diakses dari www.depkes.go.id

24. Sastrohadiwiryo, S. 2003. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia.Jakarta: Bumi Aksara.

25. Sulistiyani, A.T. 2009. Manajemen SDM Konsep, Teori danPengembangan dalam Konteks Organisasi Publik. Yogyakarta. 26. Mardiyanto. 2005. Studi Tentang

Pelaksanaan Sistem Pencatatan Pelaporan Puskesmas (SP3) pada Tingkat Puskesmas di Kabupaten Wonogiri Tahun 2000. Universitas Diponogoro

Gambar

Gambar 1. Tampilan Halaman Pertama
Gambar 7. Tampilan Halaman
Tabel 2. Jumlah Item Keakuratan KodeDiagnosis Penyakit (Coder : Dokter)
Tabel 5. Daftar Kode Diagnosis Tidak

Referensi

Dokumen terkait

1) Bagi bangsa dan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan

Dampak Kekerasan Dalam Berpacaran (Studi Kasusm pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember); Windha Ayu Safitri, 080910301073, 2013; 83

[r]

Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka.. mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan

[r]

(1) Kemampuan siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Silima Pungga Pungga Tahun Pembelajaran 2016/2017 dalam menulis puisi sebelum menggunakan media film bingkai tergolong

Metode pemecahan emulsi krim santan secara fisik, kimia dan fermentasi berpengaruh terhadap kadar protein, lemak dan abu tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar air dari

1) Pada permukiman kumuh ringan, keberadaan kegiatan ekonomi yang berada disekitarnya turut mempengaruhi karakter yang dimiliki oleh permukiman tersebut,seperti misalnya dalam