• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pertumbuhan Tanaman Nilam Aceh (Pogostemon Cablin Benth.) Dengan Penambahan Naftalen Asam Asetat (Naa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Pertumbuhan Tanaman Nilam Aceh (Pogostemon Cablin Benth.) Dengan Penambahan Naftalen Asam Asetat (Naa)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

11

EFFECT OF ADDED NAPHTALEN ACETIC ACID (NAA) ON GROWTH

PATCHOULI ACEH (Pogostemon cablin Benth.) PLANT

PENGARUH PERTUMBUHAN TANAMAN NILAM ACEH (Pogostemon

cablin Benth.) DENGAN PENAMBAHAN NAFTALEN ASAM ASETAT

(NAA)

Selvy Isnaeni1*, Liberty Chaidir2, Deti Novie2

1Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Perjuangan Tasikmalaya Jl. PETA No. 177 Kota Tasikmalaya, Jawa Barat 46115, Indonesia

2Program Studi Agroteknologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Gunung Djati Jl. A.H. Nasution No. 105 Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Penulis korespondensi: isnaeniselvy@gmail.com

ABSTRACT

Patchouli Aceh is a plantation in which an atsiri oil got 2,5-5%. But, the availability of

SODQW YRODWLOH RLO SDWFKRXOL H[SHULHQFHG WKH GURS LQ SURGXFWLRQ 7KHUHIRUH WKDW·V QHHG GLG

mass-produce through in vitro. The purpose of this research is to know influence NAA concentration in nilam Aceh. The research do in Tissue Culture Laboratory Agroteknologi Department, Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung University started from March until August 2017. The treatment without NAA consisted of 6 treatment, there are: without NAA, 0,1 ppm, 0,3 ppm, 0,5 ppm, 0,7 ppm, and 0,9 ppm which each repeated as many as 5 times. Analysis of the result is used descriptive method. In treatment by the addition of NAA there is growing a callus with value the percentage growth a callus on each treatment by the addition of NAA reached 100%, but value the percentage total the formation of callus of 6 treatment reached 83,3% because on control treatment eksplan grow well. It was reflected from the fastest calli happened to 0,1 ppm treatment, Size diameter a callus largest found in treatment 0.1 ppm in diameter a callus reached 1cm. A callus quality based on color and texture a callus found in treatment 0.1 ppm with a texture crumb and white.

Keywords : callus, in vitro, NAA, patchouli aceh

ABSTRAK

Nilam aceh merupakan tanaman perkebunan yang mengandung minyak atsiri mencapai 2,5% - 5%. Namun, ketersediaan minyak atsiri nilam mengalami penurunan produksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbanyakan massal melalui in vitro. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh pada in vitro dapat mempengaruhi pertumbuhan eksplan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi NAA pada tanaman nilam Aceh. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Jurusan Agroteknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung mulai Maret sampai Agustus 2017. Perlakuan yang diberikan terdiri dari 6 perlakuan yaitu tanpa NAA, 0,1 ppm, 0,3 ppm, 0,5 ppm, 0,7 ppm, serta 0,9 ppm yang masing-masing diulang sebanyak 5 kali. Analisis hasil penelitian dilakukan dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan NAA memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan eksplan. Pada perlakuan dengan penambahan NAA terjadi pertumbuhan kalus dengan nilai presentase pertumbuhan kalus pada setiap perlakuan dengan penambahan NAA mencapai 100%, akan tetapi nilai presentase total pembentukan kalus dari 6 perlakuan mencapai 83,3% dikarenakan pada perlakuan kontrol eksplan tumbuh dengan baik. Pembentukkan kalus tercepat terjadi pada perlakuan 0,1 ppm, ukuran diameter kalus terbesar terdapat pada perlakuan 0,1 ppm dengan diameter kalus mencapai 1 cm. Kalus yang berkualitas berdasarkan warna dan tekstur kalus terdapat pada perlakuan 0,1 ppm dengan tekstur remah dan berwarna putih yang memiliki potensi untuk tumbuh tunas.

(2)

12 PENDAHULUAN

Minyak nilam merupakan produk yang terbesar penghasil minyak atsiri dan pemakaiannya di dunia menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Dapat dikatakan bahwa hingga saat ini belum ada produk apapun baik alami maupun sintetis yang dapat menggantikan minyak nilam dalam posisinya sebagai fixative yaitu sebagai penguat aroma atau sebagai bahan pengikat parfum (Sobardini dkk., 2006).

Selain itu, masalah yang dihadapi dalam perbaikan varietas atau populasi nilam adalah variabilitas genetik yang diperkirakan rendah. Di Indonesia terdapat tiga spesies nilam, yaitu Pogostemon cablin Benth., Pogostemon hortensis Backer, dan Pogostemon heyneanus Benth. Dari ketiga spesies tersebut, yang banyak diusahakan yaitu Pogostemon cablin Benth yang dikenal dengan nama nilam aceh. Dua spesies lainnya tidak diusahakan secara komersial karena rendemen dan mutu minyaknya rendah sehingga tidak memenuhi standar mutu perdagangan (Mariska dan Lestari, 2003). Berdasarkan Nuryani (2006), nilam aceh mengandung sekitar 2,5-5 % minyak, sehingga banyak diminati oleh petani maupun pasar. Untuk memenuhi kebutuhan minyak nilam dalam skala yang luas, maka dilakukan perbanyakan serta perbaikan kualitas minyak yang dihasilkan dengan penerapan teknologi kultur jaringan. Pengembangan teknik kultur jaringan pada tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) ditujukan antara lain untuk menyediakan benih klonal dalam jumlah besar yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bibit yang terus meningkat.

Pada tunas lateral terdapat kandungan sitokinin endogen yang lebih tinggi dari kandungan auksin endogen, sehingga untuk

mendapatkan pertumbuhan eksplan yang utuh hingga menjadi planlet perlu ditambahkan zat pengatur tumbuh auksin berupa NAA (Naftalen Asam Asetat) yang berfungsi untuk merangsang pembentukkan akar eksplan. Dengan demikian, teknik kultur jaringan yang dilakukan hingga terjadinya pertumbuhan eksplan utuh yang terdiri dari bagian batang, daun serta akar dapat memenuhi kebutuhan bibit dalam jumlah yang banyak dan dalam kondisi yang seragam. Akan tetapi, penambahan NAA juga dapat memicu terjadinya pertumbuhan kalus (Trimulyono dkk., 2004).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu meliputi eksplan tanaman nilam aceh berupa ruas tunas lateral berumur 2 bulan setelah inisiasi, eksplan ini diperoleh dari Laboratorium Kultur Jaringan Balai Pengembangan Benih Hortikultura dan Aneka Tanaman (BPBHAT) Pasir Banteng, Sumedang; media kultur MS (Murashige dan Skoog); gula pasir; agar; Zat Pengatur Tumbuh NAA (Naftalem Asam Asetat) berdasarkan perlakuan; aquades 2 L; NaOH 1 tetes untuk menaikan pH media; Buffer 4 untuk menurunkan pH yang terlalu tinggi; formalin; serta alkohol 70%.

Metode Penelitian

Rancangan analisis pada penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu metode yang dilakukan melalui pendeskripsian respon pertumbuhan eksplan nilam Aceh terhadap penambahan zat pengatur tumbuh NAA yang diberikan.

Perlakuan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 6 perlakuan dengan masing-masing diulang sebanyak 5 kali, sehingga diperoleh 30 unit percobaan.

(3)

13 Rancangan perlakuan yang digunakan yaitu meliputi: N0 = tanpa NAA N1 = NAA 0,1 ppm N2 = NAA 0,3 ppm N3 = NAA 0,5 ppm N4 = NAA 0,7 ppm N5 = NAA 0,9 ppm

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Tumbuh Eksplan

Nilai presentase tumbuh eksplan didapatkan dari jumlah eksplan yang tumbuh di bagi dengan jumlah total eksplan yang diinisiasi yang kemudian dikali 100%. Pada perlakuan 0,1 ppm, 0,3 ppm, serta 0,5 ppm terjadi penurunan presentase tumbuh sehingga menjadi 80%. Pada perlakuan 0,1 ppm terjadi penurunan presentase tumbuh pada minggu ke 5 setelah inisiasi, pada perlakuan 0,3 ppm terjadi penurunan presentase tumbuh pada minggu ke 6 setelah inisiasi serta pada perlakuan 0,5 ppm terjadi penurunan presentase tumbuh pada minggu ke 4 setelah inisiasi.

Persentase eksplan tumbuh total dari 6 perlakuan terjadi penurunan dari minggu ke 4 setelah inisiasi dengan presentase tumbuh eksplan menjadi 97%, pada minggu ke 5 setelah inisiasi terjadi penurunan presentase tumbuh eksplan menjadi 93,3%, serta pada minggu ke 6 setelah inisiasi presentase tumbuh eksplan menjadi 90%. Penurunan nilai presentase tumbuh eksplan terjadi karena adanya serangan kontaminasi sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan eksplan nilam.

Pengaruh NAA Terhadap Pertumbuhan Eksplan Nilam Aceh

Pada perlakuan kontrol (tanpa NAA) eksplan tumbuh dengan normal dan baik yang meliputi adanya pertumbuhan daun, penambahan tinggi tanaman, serta tumbuhnya akar. Sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi pertumbuhan kalus terlebih dahulu.

Pertumbuhan eksplan yang diawali dengan pembentukan kalus merupakan organogenesis tidak langsung. Kalus merupakan massa sel yang tidak terdiferensiasi seperti sel meristem (Acquaah, 2004).

Pada perlakuan kontrol (tanpa NAA) terjadi awal tumbuh tunas dan awal tumbuh daun pada minggu ke 2 setelah inisiasi, sedangkan pada perlakuan dengan penambahan NAA terjadi pembentukan kalus pada minggu ke 2. Selain itu, pada perlakuan kontrol terjadi awal tumbuh akar pada minggu ke 4 setelah inisiasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Swamy et al., (2010), yang menyatakan bahwa pada minggu ke 4 setelah inisiasi, eksplan nilam sudah ditumbuhi dengan akar. Adapun nilai rata-rata tinggi tanaman pada perlakuan kontrol mencapai 2,5 cm. Jumlah daun rata-rata mencapai 23 helai daun. Jumlah akar rata-rata yang tumbuh yaitu 4 akar.

Sementara itu untuk rata-rata panjang akar mencapai 0,3 cm. Pada media tanpa penambahan zat pengatur tumbuh, eksplan masih memiliki kemampuan untuk membentuk akar. Hal ini diduga bahwa sel-sel jaringan masih memiliki kemampuan berdiferensiasi membentuk akar karena adanya pengaruh auksin endogen yang dimiliki oleh tanaman nilam (Sulasiah dkk., 2015).

Gambar 1. Perlakuan media MS tanpa NAA 6 MSI

Pada perlakuan 0,1 ppm, 0,3 ppm, 0,5 ppm, 0,7 ppm serta 0,9 ppm mengalami pembentukan

(4)

14 kalus. Pada penelitian ini terlihat adanya perbedaan kalus yang terbentuk pada setiap perlakukannya. Umumnya, kalus yang terbentuk mengalami perubahan ukuran diameter kalus pada setiap minggunya serta sebagian besar kalus yang terbentuk mengalami browning. Menurut Hutami (2008), dalam kegiatan kultur jaringan seringkali terjadi gejala pencokelatan (browning) pada eksplan sesaat setelah inisiasi, sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu, salah satu masalah yang terjadi pada tahap inisiasi tunas in vitro yaitu keluarnya getah dari eksplan yang ditanam, sehingga dapat menghambat pertumbuhan. Getah yang keluar dari eksplan tersebut merupakan senyawa fenolik yang teroksidasi pada saat sel mengalami pelukaan (Sulistiani dan Yani, 2012). Pembentukan kalus pada perlakuan 0,1 ppm terjadi pada minggu ke 2 sedangkan pada perlakuan 0,3 ppm, 0,5 ppm, 0,7 ppm dan 0,9 ppm pembentukan kalus terjadi pada minggu ke 3 setelah inisiasi. Pembentukan kalus ditandai dengan adanya pembengkakan pada eksplan. Setiap perlakuan menghasilkan ukuran diameter kalus yang berbeda-beda, pada perlakuan 0,1 ppm menghasilkan kalus dengan diameter rata-rata 1 cm, perlakuan 0,3 ppm, 0,7 ppm dan 0,9 ppm menghasilkan kalus dengan diameter rata-rata 0,8 cm, serta pada perlakuan 0,5 ppm menghasilkan kalus dengan diameter rata-rata 0,9 cm.

Berdasarkan pengamatan visual mengenai warna kalus yang tumbuh mengalami perubahan pada setiap minggunya. Awalnya kalus memiliki warna putih kehijauan yang kemudian mengalami perubahan setiap minggunya menjadi kekuningan hingga cokelat. Pada perlakuan 0,1 ppm

pembentukan kalus pada minggu ke 2 setelah inisiasi memiliki warna kalus putih kehijauan. Menurut Fatmawati (2008) warna hijau pada kalus mengindikasikan kalus mengandung klorofil. Pada minggu ke 4 setelah tanam kalus mengalami perubahan warna menjadi agak kecoklatan. Pada perlakuan 0,1 ppm didapatkan warna kalus putih agak kecokelatan hingga minggu ke 6 setelah inisiasi. Warna kecoklatan pada kalus menunjukkan terjadinya penuaan kalus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Trimulyono dkk., (2004), yang menyatakan bahwa perubahan warna kalus menjadi berwarna kecokelatan terjadi setelah berumur 28 - 30 hari. Pada penelitian ini didapatkan tekstur kalus yang remah dan kompak. Tekstur kalus yang remah terdapat pada perlakuan 0,1 ppm. Tekstur kalus remah ditandai dengan susunan sel-sel yang lunak, tidak terlihat padat, dan terlihat mudah untuk dipisahkan. Sedangkan pada perlakuan 0,3 ppm, 0,5 ppm, 0,7 ppm, dan 0,9 ppm memiliki tekstur yang kompak. Kalus yang kompak mempunyai tekstur yang sulit untuk dipisahkan dan ditandai dengan susunan sel-sel yang terlihat padat. Tekstur kalus yang kompak merupakan efek dari sitokinin dan auksin yang mempengaruhi potensial air dalam sel. Hal ini menyebabkan penyerapan air dari medium ke dalam sel meningkat sehingga sel menjadi lebih kaku (Fitriani, 2008).

Menurut Nisak et al., (2012) menyatakan bahwa kalus yang bertekstur remah dipacu oleh adanya auksin endogen yang diproduksi oleh eksplan dan auksin eksogen yang ditambahkan pada media. Kalus remah terjadi melalui proses pertumbuhan yang mengarah pada pembentukan sel-sel berukuran kecil dan berikatan longgar.

(5)

15 KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penambahan NAA pada media memberikan pengaruh pada pertumbuhan eksplan tunas lateral nilam, yaitu terjadinya pembentukkan kalus. Pada perlakuan 0,1 ppm merupakan kalus yang berkualitas berdasarkan warna dan tekstur kalus dengan tekstur remah dan berwarna putih, selain itu merupakan pembentukkan kalus tercepat serta memiliki ukuran diameter kalus terbesar. Sedangkan pada perlakuan kontrol (tanpa NAA) tidak terjadi pembentukan kalus. DAFTAR PUSTAKA

Acquaah, G. 2004. Understanding Biotechnology, and Integrated and Cyber-Based Approach. Pearson Prentice Hall, New Jersey.

Fatmawati, A. 2008. Kajian Konsentrasi BAP dan 2,4-D terhadap Induksi Kalus Tanaman Artemisia annua L. secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian. UNS. Surakarta

Fitriani, H. 2008. Kajian Konsentrasi BAP dan NAA terhadap Multiplikasi Tanaman Artemisia annua L. secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian. UNS. Surakarta.

Hutami, S. 2008. Ulasan : Masalah Pencoklatan pada Kultur Jaringan. J. Agro Biogen 4(2): 83-88.

Mariska, I., G.L Endang. 2003. Pemanfaatan Kultur In Vitro Untuk Meningkatkan

Keragaman Genetik Tanaman Nilam. J. Litbang Pertanian, 22(2). Hal 64-69

Nisak, K., T. Nurhidayati, K. I. Purwani. 2002. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi ZPT NAA dan BAP pada Kultur Jaringan Tembakau Nicotiana tobacum L. var. Prancak 95. J. Sains dan Seni Pomits. 1(1):1-6.

Nuryani, Y. 2006. Budidaya Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor, ID.

Sobardini, D., E. Suminar, Murgayanti. 2006. Perbanyakan Cepat Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth..) secara Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi Benih Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran, Bandung, ID. Sulasiah, A., C. Tumilisar, T. Lestari.

2015. Pengaruh Pemberian Jenis dan Konsentrasi Auksin Terhadap Induksi Perakaran pada Tunas Dendrobium sp. secara In Vitro. Bioma UNJ Pr. 11(1):56-66.

Trimulyono, G., Solichatun, S.D. Marliana. 2004. Pertumbuhan Kalus dan Kandungan Minyak Atsiri Nilam (Pogostemon cablin (Blanco) Bth.) dengan Perlakuan

$VDP Â-Naftalen Asetat (NAA) dan Kinetin. Biofarmasi Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. 2(1):9-14.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh dari aplikasi yang telah dibuat antara lain dapat menyimpan segala data yang diperlukan untuk perhitungan gaji dimulai dari data absensi,

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap

10 Pemeriksaan MRI pada pasien ini ditemukan lokasi tumor pada daerah retroorbita dengan perluasan ke ruang masticator dan ruang parapharyngeal kanan serta

Titik nyala biodiesel yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan bahan bakar solar tetapi masih berada diatas standar minimum yang ditetapkan ASTM seperti yang

Kelangkaan sumberdaya baik SDA yang tidak bisa diperbaharui maupun SDA yang bisa diperbaharui pada dasarnya bisa diperkirakan melalui indikator fisik dan indikator ekonomi

Sel elektrolit Low Temperature Solid Oxide Fuel Cell (LT SOFC) yang digunakan pada rentang suhu 500 o C hingga 650 o C telah berhasil dihasilkan dengan menggunakan metode

Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

Dari hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja Badan Keswadayaan Masyarakat Artha Bhakti Adhi Guna dalam mengelola dana PNPM Mandiri sudah dapat