Dilema Rokok dalam Perspektif Sosial dan Hukum
Oleh : Farisa Puspita AdilaRokok merupakan salah satu produk yang bahan bakunya terbuat dari tembakau, terdapat banyak pabrik di Indonesia yang memproduksi rokok dengan berbagai jenis dan varian yang berbeda-beda. Rokok yang ada sejak dulu telah menjadi salah satu kebutuhan penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang tidak dapat dipisahkan. Banyak orang yang menggantungkan pendapatan mereka dari hasil melinting rokok, begitu juga orang yang telah terbiasa mengkonsumsi rokok biasanya sulit untuk berhenti merokok. Banyak perdebatan yang terjadi mengenai rokok di bidang hukum dan sosial yang melibatkan banyak pihak dimana terdapat banyak pertimbangan positif maupun negatif dengan adanya rokok sehingga menimbulkan dilematis apakah rokok tetap dibiarkan atau harus dilarang peredarannya di masyarakat.
Sejak resmi diundangkan, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan paling sering diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Uniknya, sebagian besar pengujian itu terkait dengan tembakau atau lebih spesifik kepada rokok. Sejumlah pihak yang menjadi pemohon pengujian UU Kesehatan mengklaim dirugikan hak konstitusionalnya atas keberadaan pasal-pasal terkait tembakau atau rokok. Merujuk latar belakang para pemohon, terkesan ada pertarungan antara kelompok masyarakat pro rokok dan anti rokok di balik pengujian sejumlah pasal tembakau dalam UU Kesehatan. Meski MK menolak, dua hakim Konstitusi mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang tak sepakat jika hanya tembakau sebagai satu-satunya zat adiktif. Mereka berpendapat tembakau yang menghasilkan produk rokok memiliki kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya bagi petani tembakau dan buruh pabrik rokok yang jumlahnya diperkirakan sekitar enam juta. Selain itu, menurut dua hakim tersebut kebiasaan merokok juga merupakan bagian warisan budaya di sebagian masyarakat Indonesia yang sejak zaman nenek moyang dulu bahwa rokok juga dapat dilambangkan sebagai status sosial dilihat dari semakin tinggi harga rokok yang dikonsumsinya. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f349ad3f219a/pertarungan-konstitusionalitas-tembakau-di-balik-uu-kesehatan)
kesehatan terdiri dari jenis gambar sebagai berikut: gambar kanker mulut, gambar perokok dengan asap yang membentuk tengkorak, gambar kanker tenggorokan, gambar orang merokok dengan anak di dekatnya, dan gambar paru-paru menghitam karena kanker yang dipasang sebesar 40 persen dari seluruh tampilan produk kemasan. Hal ini telah lama ditunggu oleh para aktivis anti rokok dan masyarakat non-perokok alias perokok pasif yang sebenernya bertujuan untuk mengurangi jumlah perokok aktif agar masyarakat yang merokok tersebut sadar akan dampak kesehatan bagi tubuh yang sangat membahayakan. Apabila ada perusahaan yang melanggar peraturan tersebut maka akan diberikan sanksi bertahap, yang pertama berupa peringatan, yang kedua pencabutan izin sementara, dan terakhir adalah pencabutan izin selamanya. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, dengan jumlah penduduk yang mencapai 240 juta, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia dalam hal jumlah perokok. Sekitar 65 persen laki-laki Indonesia dan 35 persen dari perempuan berusia 15 atau lebih tua merokok pada tahun 2010, seperti yang dilaporkan oleh kementerian. Penyakit tidak menular termasuk yang disebabkan merokok membukukan 64 persen dari semua kematian di Indonesia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia naik lebih dari 50 persen pada tahun 1995.
Dalam UU No 36 Tahun 2009, terdapat juga aturan mengenai rokok yaitu
Dengan kata lain, aturan hukum yang mengatur KTR telah memberikan toleransi optimal bagi semua pihak. Terlebih, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim seharusnya terikat secara individual atas fatwa rokok haram untuk anak-anak, remaja, wanita hamil, dan merokok di tempat umum yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Januari 2009.
Persentase konsumsi rokok di Indonesia dinyatakan terbesar se-Asia Tenggara. Peneliti sekaligus dosen Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, R.A. Yayi Suryo Prabandari, mengungkapkan jumlah perokok di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Secara keseluruhan, jumlah perokok di Indonesia laki-laki dan perempuan naik 35 persen pada 2012. Yayi menjelaskan, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, konsumsi rokok di Indonesia mencapai 46,16 persen. Sedangkan di Malaysia, konsumsi rokok hanya 2,90 persen, di Myanmar 8,73 persen, Filipina 16,62 persen, Vietnam 14,11 persen, dan Thailand sebanyak 7,74 persen. Di Singapura, konsumsi rokok hanya 0,39 persen, Laos sebanyak 1,23 persen, Kamboja 2,07 persen, dan Brunei Darussalam 0,04 persen konsumsi rokok. Berdasarkan data yang diterbitkan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Southeast Asia Tobacco Control Alliance, dan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Indonesia bahkan menduduki urutan ketiga dengan jumlah perokok terbanyak di dunia setelah Cina dan India. Pada 2012, diperkirakan terdapat 62,3 juta perokok di Indonesia. Meningkat dari 2011 dengan jumlah perokok sebanyak 61,4 juta perokok dimana sekitar 60 persen pria dan 4,5 persen wanita di Indonesia adalah perokok. (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/10/090520749/Perokok-Indonesia-Terbanyak-seAsia-Tenggara-).
Health (ICTOH) 2014. Kegiatan yang bertemakan Tobacco Control: Save Lives Saves Money ini menjadi wadah yang tepat untuk menambah pengetahuan, berbagi pemikiran, dan bertukar pengalaman tentang pengendalian tembakau. Kegiatan yang didukung oleh Kementerian Kesehatan RI ini mengajak generasi muda untuk terlibat aktif dalam pengendalian tembakau. Mengingat jumlah perokok remaja meningkat tiga kali lipat dari 7,1% di tahun 1995 menjadi 18,3% di tahun 2013. Kesan macho, gaul, dan solidaritas yang dicitrakan iklan promosi dan sponsor rokok telah berkontribusi signifikan dalam menggiring remaja menjadi perokok aktif. Tingginya niat industri rokok untuk menciptakan perokok-perokok baru dari kalangan anak-anak muda, menjadikan kegiatan ini sebagai penguatan tentang buruknya rokok bagi kesehatan. Kegiatan yang dilangsungkan sebagai peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) ini, juga melibatkan kalangan dari akademisi. Kalangan akademis diharapkan dapat bergerak di bidang advokasi. Misalnya kampus bebas dari rokok, dimana kampus tidak menerima beasiswa sponsor dari rokok. Tingginya cukai rokok yang mencapai Rp50 triliun di tahun 2010, salah satunya disebabkan oleh murahnya harga rokok di Indonesia. Tetapi kerugian ekonomi yang ditimbulkan rokok mencapai hampir Rp250 triliun di tahun 2010. Oleh karena itu diadakan konferensi tingkat nasional di bidang tembakau dan kesehatan, untuk tercapainya generasi berkualitas bebas asap tembakau. Diharapkan pemerintah dapat menaikkan harga pajak rokok, untuk semakin menekan pertumbuhan perokok baru, terutama di kalangan anak muda. (http://swa.co.id/business-strategy/remaja-dilibatkan-menekan-jumlah-perokok)
negara yang tidak meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) pada tahun 2003 serta belum mempunyai regulasi yang komprehensif untuk mengatur peredaran dan produksi tembakau bagi industri rokok kecuali hanya regulasi tentang cukai rokok.
Akhir-akhir ini persoalan iklan, peredaran dan produksi rokok di Indonesia memunculkan keadaan pro dan kontra atas persoalan rokok tersebut, di satu sisi para aktivis anti rokok berupaya mendesak pemerintah untuk mengeluarkan regulasi tentang rokok untuk melindungi masyarakat non perokok karena dapat berakibat fatal bagi kesehatan manusia dan lingkungan secara global akibat dampak negatif asap rokok dengan berbagai argumen ilmiah dan sebagai bentuk kepedulian warga bangsa atas dampak bahaya merokok, terutama melindungi anak dari dampak negatif atas asap rokok. Di sisi lain, industri rokok dan pemerintah mencoba untuk mencari jalan tengah dengan berdalih melindungi kepentingan nasional yang lebih besar atas pertumbuhan dan perkembangan industri rokok dari mulai pengusaha, tenaga kerja industri rokok sampai pada petani tembakau. Industri rokok maupun perilaku merokok di masyarakat dalam aspek sosial ekonomi tidak bisa dilepas dari perspektif kemiskinan. Pada aspek produksi, banyak faktor atau elemen yang terlibat pada aspek tersebut di antaranya adalah pemilik pabrik (pemodal), karyawan/buruh, petani tembakau sampai pada penjual rokok di pinggiran jalan.
dan impian seseorang seperti enjoy aja, gak ada loe gak rame, pria sejati, kreatif, ketangguhan, dan lain sebagainya. Ini menyebabkan masyarakat miskin terutama anak-anak dari keluarga miskin berimajinasi dan mencoba apa yang mereka lihat, mereka dengar, serta menurut mereka merokok adalah salah satu bagian gaya hidup anak kota dan bagian dari penunjukan identitas diri tanpa berpikir kemampuan diri dan sosialnya. Dan pada akhirnya keterpaksaan keluarga miskin dalam memangkas pendapatan untuk konsumsi rokok yang dalam sehari bisa menghabiskan 6–12 batang/hari ini dapat teratasi karena produk tembakau dapat dibeli secara batangan sehingga akses untuk menjadi korban ketergantungan produk rokok bagi masyarakat sangat besar terlebih pada masyarakat miskin.
Selama ini kebiasaan merokok di masyarakat disebabkan oleh pengaruh lingkungan, seseorang yang awalnya tidak merokok akan mengikuti teman yang merokok karena dibujuk sehingga muncul rasa penasaran dan ingin mencoba hal tersebut. Apalagi untuk anak-anak yang juga memiliki orang tua yang perokok maka akan lebih besar kesempatan anak-anak tersebut mencontoh perilaku yang dilakukan orang tuanya yaitu merokok. Alasan lain bagi orang untuk merokok adalah alasan medis. Memang tidak ada dokter yang menyarankan orang untuk merokok, tetapi bagi beberapa penderita depresi merokok adalah obat bagi mereka untuk mengurangi ketegangan. Nikotin melepaskan senyawa tertentu ke dalam sistem saraf dan menciptakan efek tenang. Orang yang awalnya hanya iseng kemudian lama-kelamaan menjadi ketagihan dan sulit untuk berhenti karena ada efek kecanduan/ adiktif. Hal tersebutlah yang membuat mitos-mitos rokok dijadikan sebagai justifikasi. Bisa dibilang bahwa merokok telah mendarah daging bagi sebagian masyarakat Indonesia, merka beranggapan bahwa tidak akan dapat melakukan aktivitas apapun sebelum menghisap rokok karena kurangnya konsentrasi walaupun .anggapan tersebut hanya asumsi dari para perokok tapi memang itulah kenyataan yang sebenarnya terjadi selama ini.
Daftar Pustaka
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f349ad3f219a/pertarungan-konstitusionalitas-tembakau-di-balik-uu-kesehatandiakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/10/090520749/Perokok-Indonesia-Terbanyak-seAsia-Tenggara- diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.
http://nasional.sindonews.com/read/744854/15/61-4-juta-penduduk-indonesia-perokok-aktif diakses pada tanggal 30 Oktober 2014.