• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASA DEPAN HALUAN NEGARA REPUBLIK INDONE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MASA DEPAN HALUAN NEGARA REPUBLIK INDONE"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

MASA DEPAN

HALUAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1

Oleh: Romi Librayanto, S.H., M.H.2

( e- m ail: romi_in don esia01 @yahoo. c o. id) ( e- m ail: romi_in don esia01 @yahoo. c o. id)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Gambaran Umum terhadap Gagasan tentang Haluan Negara

Dari berbagai diskursus mengenai GBHN (penulis menyebut

sebagai haluan negara) yang penulis sempat ikuti, maka sudah

banyak gagasan yang dapat menjadi alternatif pilihan di masa

akan datang. Berbagai pandangan tersebut akan penulis rangkum akan datang. Berbagai pandangan tersebut akan penulis rangkum

ke dalam 3 (tiga) gagasan utama, yaitu:

Pertama, model GBHN seharusnya memiliki status hirarkis

secara yuridis lebih tinggi dari UU. Pandangan ini tidak

menentukan nomenklatur hukum yang perlu menampung GBHN.

Hal ini dapat dilihat pada argumen bahwa bekenaan dengan

strategi penyusunan perencanaan pembangunan nasional yang

berdimensi jangka panjang sebagai dokumen hukum , yang juga

memuat perencanaan arah kebijakan pembangunan hukum

1

Makalah disampaikan dalam rangka Focus Group Discussion (FGD)

Universitas Hasanuddin, yang dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2016, bertempat di Grand Clarion Hotel, Makassar.

(2)

nasional, status hirarkisnya secara yuridis seharusnya lebih tinggi

dari sekedar UU, karena sifatnya merupakan pedoman bagi

presiden yang terpilih, oleh karenanya perencanaan pembangunan

nasio nal model GBHN sebaiknya dipertimbangkan kembali untuk

digunakan3.

Kedua, GBHN sudah seharusnya ditempatkan pada

nomenklatur hukum Ketetapan MPR. Gagasan ini sangat baik

karena berlandaskan aspek yuridis, yaitu penentuan pokok

permasalahan terkait degradasi kehidupan bangsa (terutama

bidang hukum), Penentuan jenis strategi unggulan yang dapat

menjadi solusi, serta Mekanisme pelaksanaan dan penerapan

pene gakan hukum dalam kehidupan masyarakat secara pene gakan hukum dalam kehidupan masyarakat secara

menyeluruh seharusnya tertuang dalam GBHN dan diterapkan

dengan sasaran, arah kebijakan, strategi yang jelas, terstruktur

dan massive (kokoh) serta oleh lembaga yang kredibel, dan

akuntabel. Mengingat dalam undang-undang tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Ketetapan (Tap)

MPR RI berada di urutan kedua setelah UUD 1945 maka sudah

3 Syafruddin Muhtamar, dkk, RELEVANSI PERENCANAAN

(3)

selayaknya jika posisi itu dimanfaatkan dengan menjadikan MPR

sebagai lembaga pembentuk GBHN4.

Ketiga, pandangan yang menganggap bahwa keberadaan

GBHN telah terwujud dalam RPJPN. Pijakan argumennya adalah

bahwa konstru ksi normatif RPJP secara substantif sebena rnya

hampir sama dengan GBHN pada masa Orde Baru. Nilai lebih

yang dimiliki sistem dan dokumen perencanaan pembangunan

pada era reformasi adalah adanya kesempatan kepada daerah

untuk bisa menggali berbagai potensi dan keunggulan daerah

masing-tertuang dalam RPJP dalam rangka mencapai tujuan yang

diamanatkan oleh konstitusi. Dengan demikian, urgensi untuk diamanatkan oleh konstitusi. Dengan demikian, urgensi untuk

menghidupkan kembali GBHN menjadi tidak justified, karena

keberadaannya telah terwujud dalam RPJPN5.

Tentu masih sangat banyak variasi gagasan yang telah

disampaikan kepada MPR yan g penulis tidak mampu untuk

menelusuri. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba

keluar dari berbagai varian gagasan yang telah ada sebelumnya.

4 Siti Marwijah dan Nunuk Nuswardani, Garis -Garis Besar Haluan Siti Marwijah dan Nunuk Nuswardani, Garis -Garis Besar Haluan

Negara sebagai Penentu Arah dan Strategi Rencana Pembangunan Indonesia, Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 1, Juni 2014, hal. 102.

(4)

Hal ini penulis lakukan semata-mata untuk menambah khazanah

akademik pada diskursus mengenai haluan ne gara ini.

B. Isu mengenai Kajian

Dalam membahas mengenai GBHN (baca: haluan negara) ,

maka yang perlu dilakukan adalah sistematisasi isu. Isu yang

dapat penulis sistematisasi adalah sebagai berikut:

1.

ataukah haluan negara ?

2. Apakah yang diperlukan adalah

3. Apakah yang diperlukan adalah harus berwenang

sesuai dengan mar

4.

harus ada lembaga yang

mengontrol

Dari berbagai isu di atas, maka penulis berupaya untuk

memilih isu yang tepat, yang mana isu tersebut adalah:

1. Yang diperlukan adalah haluan negara;

2. Haluan negara tersebut harus partisipatif;

(5)

4.

MPR harus memiliki kewenangan sesuai dengan

marwahnya.

Dari isu yang penulis pilih di atas, maka nampak bahwa

terdapat 2 (dua) isu besar yang dapat disebutkan, yaitu:

1. isu mengenai haluan negara, dan

2. isu mengenai marwah MPR

Sebelum membahas kedua isu di atas, maka berikut ini

penulis akan memaparkan beberapa ketentuan mengenai rencana

pembangunan nasional.

C. Beberapa Ketentuan mengenai P erencanaan Pembangunan

Pada Tahun 1999, MPR mengeluarkan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

IV/MPR/1999 tentang Garis -Garis Besar Haluan Negara Tahun

1999-2004 (GBHN 1999-2004). Selain itu, MPR mengeluarkan TAP

MPR Nomor VII/ MPR/2001 tentang visi indonesia masa depan.

Pada bagian menimbang butir c diuraikan:

bahwa untuk menjaga kesinambungan arah penyelenggaraan negara diperlukan perumusan Visi Antara, yaitu visi di antara cita-cita luhur bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang merupakan visi Indonesia masa depan, dengan visi lima tahunan yang Indonesia masa depan, dengan visi lima tahunan yang dirumuskan dalam Garis -garis Besar Haluan Negara. Visi Antara tersebut adalah Visi Indonesia 2020;

Pasal I ATURAN TAMBAHAN UUD NRI Tahun 1945

(6)

Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan

peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan

pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.

Wujud amanat dari UUD NRI Tahun 1945 tersebut

Wujud amanat dari UUD NRI Tahun 1945 tersebut

dituangkan ke dalam Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003

tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum

Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun

2002.

Dalam Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, 139 Ketetapan

MPRS dan Ketetapan MPR telah ditinjau materi dan status

hukumnya sehingga dapat diketahui secara jelas pengelompokan

dan keberlakuannya. Status Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR

dibagi dalam 6 (enam) kelompok yang masing -masing dijelaskan

dalam pasal-pasal, yaitu:

1.

Pasal 1, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Yang dicabut

dan dinyatakan tidak berlaku, ada delapan Ketetapan;

2. Pasal 2, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Yang

Dinyatakan Tetap Berlaku Dengan Ketentuan, ada tiga

Ketetapan;

3. Pasal 3, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Yang

Dinyatakan Tetap Berlaku Sampai dengan Terbentuknya

(7)

4.

Pasal 4, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Yang

Dinyata kan Tetap Berlaku Sampai Dengan Terbentuknya

Undang -Undang, ada sebelas Ketetapan;

5. Pasal 5, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang

Dinyatakan Masih Berlaku Sampai dengan Ditetapkannya

Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004, ada

lima Ketetapan;

6. Pasal 6, Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Yang

Dinyatakan Tidak Perlu Dilakukan Tindakan Hukum Lebih

Lanjut, Baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut,

maupun telah selesai dilaksanakan, ada 104 Ketetapan.

Pasal 3 TAP MPR Nomor I/MPR/2003 menetapkan bahwa:

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004.

Salah satu TAP MPR yang disebutkan adalah TAP MPR

Nomor IV/MPR/1999.

Selanjutnya, Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003

menetapkan bahwa: menetapkan bahwa:

(8)

Salah satu TAP MPR yang disebutkan adalah TAP MPR

Nomor VII/MPR/2001.

Pada Tahun 2004, ditetapkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM

INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM

PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (selanjutnya disebut

UU No. 25 Tahun 2004).

Pasal 1 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:

3.

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu

kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana -rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.

4. Rencana Pembangunan Jangka Panjang, yang

selanjutnya disingkat RPJP, adalah dokumen selanjutnya disingkat RPJP, adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun.

5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang

selanjutnya disingkat RPJM, adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun.

6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), adalah dokumen perencanaan Kementerian/ Lembaga untuk periode 5 (lima) tahun.

7. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja

Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.

8. Rencana Pembangunan Tahunan Nasional, yang

selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP), selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP), adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun.

9. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang

(9)

10.

Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL), adalah dokumen perencanaan Kementrian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.

Pasal 2 Ayat (4) UU No. 25 tahun 2004 menetapkan bahwa: Pasal 2 Ayat (4) UU No. 25 tahun 2004 menetapkan bahwa:

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:

a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;

b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi

baik antarDaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;

c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara

perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;

d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan

e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara

efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Pasal 3 Ayat (3) UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa: Pasal 3 Ayat (3) UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:

Perencanaan Pembangunan menghasilkan: a. rencana pembangunan jangka panjang;

b. rencana pembangunan jangka menengah; dan c. rencana pembangunan tahunan.

Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:

(1) RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan Nasional.

(10)

yang berupa kerangka regulasi dan kerangka

pendanaan yang bersifat indikatif.

(3) RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional,

memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka

ekonomi makro yang mencakup gambaran

perekonomian secara menyeluruh termasuk arah

kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga,

lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam

lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam

bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan

yang bersifat indikatif.

Pasal 5 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:

(1) RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan

Daerah yang m engacu pada RPJP Nasional.

(2) RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan

program Kepala Daerah yang penyusunannya

berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan

RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan

Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan

umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah,

lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program

lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program

kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja

dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang

bersifat indikatif.

(3) RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan

mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka

ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah,

rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang

dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang

ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

Pasal 13 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:

(1) RPJP Nasional ditetapkan dengan Undang-undang.

(2) RPJP Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 19 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:

(1) RPJM Nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik. (2) Renstra-KL ditetapkan dengan peraturan pimpinan

(11)

(3) RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala

Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala

Daerah dilantik.

(4) Renstra-SKPD ditetapkan dengan peraturan pimpinan

Satuan Kerja Perangkat Daerah setelah disesuaikan

dengan RPJM Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(3).

Pasal 25 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:

(1) RKP menjadi pedoman penyusunan RAPBN.

(2) RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD.

Pasal 26 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:

(1) RKP ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

(2) RKPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

Pasal 35 UU No. 25 Tahun 2004 menetapkan bahwa:

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

menurut Undang-undang ini ditetapkan paling lambat 6

(enam) bulan setelah diundangkannya Undang-undang ini.

Undang -undang ini Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5

Oktober 2004.

Setelah terbentuknya pemerintahan berdasarkan pemilihan

umum tahun 2004, maka berdasarkan TAP MPR No. 1 Tahun

2003, maka TAP MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

Tahun 1999-2004 (GBHN 1999-2004) dianggap tidak berlaku lagi.

Selanjutnya, dikeluarkanlah UU tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Dengan adanya UU

RPJPN ini, maka berdasarkan TAP MPR No. 1 tahun 2003, TAP

(12)

Setelah memaparkan beberapa ketentuan mengenai rencana

pembangunan nasional, maka selanjutnya penulis akan

membahas isu mengenai haluan negara dan isu mengenai marwah

MPR.

BAB II

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Haluan Negara

Jika GBHN dimaknai sebagai suatu haluan negara yang

akan menuntun ke arah pencapaian tertentu, maka pertanyaan

mendasar yang perlu dijawab adalah apakah RPJPN, RPJMN, dan

RKP tidak dapat dikualifikasikan sebagai suatu haluan negara?

Menurut penulis, ketiga hal tersebut dapat dikualifikasi sebagai

haluan negara.

Apabila kita mengacu pada akhir era TAP MPR, nampak

bahwa TAP MPR membuat tiga arah tujuan negara RI, yaitu:

1. Tujuan yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun

1945;

2. Tujuan yang terdapat dalam TAP MPR tentang Visi Indonesia

Masa Depan; dan Masa Depan; dan

3. Tujuan yang terdapat dalam TAP MPR tentang GBHN

Selanjutnya, tujuan yang terdapat dalam GBHN terjabarkan

ke dalam program pembangunan nasional tahunan, yang menjadi

(13)

Jika kita melihat isi dari TAP MPR sebagaimana dimaksud di

atas (Visi Indonesia Masa Depan dan GBHN) maka dapat

disimpulkan bahwa Indonesia telah dan tetap memiliki haluan

negara, bahkan lebih terstruktur dan sistematis.

Namun, apabila GBHN yang dimaksud adalah berbeda

dengan makna haluan negara sebagaimana yang terdapat dalam

TAP MPR itu sendiri, maka hal ini perlu dijelaskan oleh

pihak-pihak yang menganggap berbeda.

Lantas, apakah instrumen haluan negara yang ada telah

mampu mengakomodir isu mengenai haluan negara tersebut

harus partisipatif dan isu mengenai harus ada lembaga yang

mengontrol haluan negara?

mengontrol haluan negara?

Pertama, isu mengenai haluan negara tersebut harus

partisipatif. Pasal 2 Ayat (4) UU No. 25 tahun 2004 menetapkan

bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan

untuk:

a.

mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;

b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik

antarDaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah

maupun antara Pusat dan Daerah;

c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;

(14)

e.

menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien,

efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Jika kita melihat ketentuan di atas, maka jelas bahwa

komponen bangsa yang harus dilibatkan dalam perencanaan

pembangunan, yaitu:

- pelaku pembangunan

- masyarakat

- pemerintah pusat

- pemerintah daerah

Keterkaitan yang perlu diperhatikan adalah:

- antarDaerah

- antarRuang

- antarRuang

- antarWaktu

- antarfungsi pemerintah

- antara pusat dan daerah

- perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan

Arah yang akan dituju adalah:

- penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan,

dan berkelanjutan.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

partisipasi masyarakat mendapat tempat dalam sistem

(15)

Kedua, isu mengenai harus ada lembaga yang mengontrol

haluan negara. Dalam UUD NRI Tahun 1945, sangat banyak

Kepresidenan (baca: Presiden dan/atau Wakil Presiden). Secara

yuridis, kalau mengacu pada kon struksi UUD NRI Tahun 1945

dan UU No. 25 Tahun 2004, maka dapat dilihat bahwa Presiden

adalah lembaga yang bertanggung jawab atas penyusunan

rencana pembangunan nasional. Lantas, siapa yang mengontrol?

Sebagaimana yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945, maka

lembaga yang mengontrol adalah DPR sebagai lembaga yang

memberikan keputusan hukum, dan MPR selaku lembaga yang

memberikan keputusan hukum, dan MPR selaku lembaga yang

memberikan keputusan politik.

Bagaimana konstruksinya?

Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, antara lain

sebagai berikut:

-

Dalam hal proses penyusunan UU tentang rencana pembangunan nasional tidak sesuai prosedur.

Dalam hal prosedur, tentu Presiden harus mengikuti

prosedur sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No. prosedur sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No.

25 Tahun 2004. Jika tidak, maka tentu saja secara politik

DPR seharusnya tidak menyetujui RUU tentang RPJPN

(16)

disebutkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 (pelaku

pembangunan, masyarakat, dan pemerintah daerah) tentu

secara politik tidak akan menyetujui hal tersebut.

dari Presiden tersebut? Jika hal itu terjadi, maka instrumen

yuridisnya adalah dengan pengajuan permohonan pengujian

UU ke MK. MK telah memberikan rambu-rambu bahwa

untuk pengujian formil maka batas pengajuan permohonan

pengujiannya adalah selambat-lambatnya 45 hari sejak UU

tersebut diundangkan.

-

Dalam hal substansi RUU tentang rencana pembangunan nasional tidak sejalan dengan tujuan UUD NRI Tahun 1945.

1945.

J ika terdapat materi dalam UU rencana pembangunan

nasional yang dianggap bertentangan dengan tujuan

sebagaimana yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945,

maka tentu saja hal ini tidak akan disetujui oleh DPR. Jika

dapat

pula diajukan pengujian permohonan kepada MK. Siapa

yang bermohon? Tentu akan banyak pihak yang hak

konstitusionalnya terlanggar. Solusi yuridis ini dapat juga

digunakan dalam hal Presiden berkehendak untuk

melakukan perubahan UU tentang rencana pembangunan

(17)

-

Dalam hal UU tentang rencana pembangunan nasional tidak dibuat.

Apabila Presiden tidak mengajukan RUU tentang renca na

pembangunan nasional, maka tindakan Presiden ini dapat

Pasal 9 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menetapkan

bahwa:

Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh -sungguh dibhadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut: Sumpah Presiden (Wakil Presiden):

Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik -baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang -Undang Dasar dan menjalankan segala undang -undang dan peraturannya dengan segala undang -undang dan peraturannya dengan

selurus-Janji Presiden (Wakil Presiden):

janji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,

memegang teguh Undang -Undang Dasar dan menjalankan segala undang -undang dan peraturannya dengan s

elurus-Jika sumpah ini dilanggar oleh Presiden, maka hal ini dapat

sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7A UUD NRI sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7A UUD NRI

Tahun 1945, yaitu:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila

(18)

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak

pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dengan demikian, DPR dapat mengajukan permintaan

kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili,

dan memutus pe ndapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan

pelanggaran hukum berupa perbuatan tercela sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945.

Berdasarkan Pasal 7B Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945,

Mahkamah Konstitus i wajib memeriksa, mengadili, dan

memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR

tersebut .

Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden

terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa perbuatan

tercela, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang

paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden

kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana yang

ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 7B Ayat (5).

Selanjutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib

menyelenggarakan sidang untuk memu tuskan usul Dewan

Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari

(19)

tersebut sebagaimana yang ditetapkan dalam UUD NRI

Tahun 1945 Pasal 7B Ayat (6).

Kemudian, berdasarkan Pasal 7B Ayat (7) UUD NRI Tahun

1945, maka Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat

atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

harus diambil dalam rapat paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh

sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir,

setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan

menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

Permusyawaratan Rakyat.

-

Dalam hal rencana yang termuat dalam UU tentang rencana pembangunan nasional tidak dilaksanakan oleh Presiden.

Apabila terdapat rencana pembangunan yang tidak

dilaksanakan oleh Presiden, maka secara politis ada DPR

yang melakukan kontrol terhadap Presiden. Kemudian, ada

pula instrumen persetujuan terhadap RUU APBN setiap

tahunnya. DPR tentu akan menolak RUU APBN tersebut

apabila tidak sejalan dengan UU tentang rencana

pembangunan nasional. Lantas, bagaimana jika DPR

Dalam hal

(20)

RPJMN yang termuat dalam Peraturan Presiden. Jika

terdapat hal yang tidak bersesuaikan dengan RPJPN, maka

tentu dapat dilakukan permohonan pengujian peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undang -undang ke MA. MA yang menilai apakah terdapat

ketidaksesuaian Peraturan Presiden terhadap UU.

Bagaimana mengenai pembentukan UU APBN? Jika DPR

diajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD di MK.

MK yang menilai apakah terdapat hal yang bertentangan

dalam UU APBN terhadap UUD NRI Tahun 1945.

B. MPR harus Memiliki Kewenangan Sesuai dengan Marwahnya B. MPR harus Memiliki Kewenangan Sesuai dengan Marwahnya

Selanjutnya, isu yang akan penulis bahas adalah isu

mengenai MPR harus memiliki kewena ngan sesuai dengan

marwahnya. Pertanyaan dasarnya adalah apa marwah MPR?

Berdasarkan konstruksi UUD NRI Tahun 1945, secara sederhana

dapat dikatakan bahwa MPR adalah lembaga yang merupakan

wadah rakyat untuk bermusyawarah. Siapa yang dimaksud

dengan rakyat? Rakyat adalah orang -perorangan yang

rakyat? Kepentingan rakyat bisa meliputi ekonomi, sosial, budaya,

politik, keamanan, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. Secara

(21)

pada DPR dan aspirasi kewilayahan terwujud pada DPD.

Selanjutnya, anggota DPR dan anggota DPD inilah yang dimaksud

sebagai MPR.

Kewenangan MPR yang akan disoroti di sini adalah

kewenangan mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar

sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 Ayat (1) UUD NRI Tahun

1945. Kewenangan ini akan dikaitkan dengan Pasal 2 Ayat (3)

UUD NRI Tahun 1945 yang menetapkan bahwa Segala putusan

Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang

terbanyak

6.

Bagaimana keterkaitan kedua pengaturan ini? Bagaimana keterkaitan kedua pengaturan ini?

MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Dalam

hal mengubah dan menetapkan UUD, tentu terdapat mekanisme

dan prosedur yang harus dipenuhi. Salah satu mekanisme

tersebut adalah segala putusan MPR ditetapkan dengan suara

terbanyak. Apa makna suara terbanyak? Suara terbanyak dalam

apapun sebuah voting, sedemokratis apapun sebuah voting, dan

setepat apapun tafsir bahwa voting sama dengan musyawarah,

6 Mengenai kewenangan MPR ini dapat dilihat pada Romi Librayanto,

(22)

namun rasa keadilan dan rasa kesopanan masyarakat Indonesia

masih menganggap bahwa musyawarah adalah hal yang

bertentangan dengan voting. Jika MPR benar adalah sebuah

lembaga permusyawaratan, sudah seharusnya cara -cara yang

digunakan dalam mengambil keputusan adalah dengan

musyawarah.

Lantas, bagaimana dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945

yang mengharuskan suara terbanyak? MPR harus bisa

membuktikan, walaupun dengan mekanisme suara terbanyak,

namun yang terjadi akan selalu n:0 (n adalah jumlah suara

sebanyak anggota MPR yang hadir, 0 adalah jumlah suara dengan

pendapat berbeda). pendapat berbeda).

Bagaimana cara mewujudkannya?

Penulis akan membagi ke dalam beberapa tahapan, yaitu

sebagai berikut:

1. Alasan Perubahan UUD

Dalam hal mengubah UUD, MPR seharusnya menggunakan

nalar rasionalitas. Bagaimana nalar rasionalitasnya? MPR

harus memiliki dasar pikiran yang kuat mengenai alasan

perubahan UUD. Apa dasar pikiran yang kuat terhadap

perubahan UUD? Pertama, harus dipastikan bahwa UUD

adalah dokumen yuridis yang menjamin hak asasi manusia.

(23)

untuk menjamin pembatasan kekuasaan

7. Dengan kedua hal

tersebut di atas, maka dasar pikiran yang kuat mengenai

alasan perubahan UUD adalah sebagai berikut:

- Adakah ketetapan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang tidak

menjamin hak asasi manusia?

- Adakah ketetapan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang tidak

menjamin pembatasan kekuasaan?

Jika salah satu atau kedua pertanyaan di atas telah terjawab,

maka MPR sudah bisa melangkah pada tahapan selanjutnya.

2. Penyatuan Pandangan Masyarakat

Tahapan ini dimaksudkan agar tidak terdapat penafsiran

berbeda bahwa ada ketetapan dalam UUD NRI Tahun 1945 berbeda bahwa ada ketetapan dalam UUD NRI Tahun 1945

yang tidak menjamin HAM dan atau tidak menjamin

pembatasan kekuasa an. Dampak positif ketika tahapan ini

dilakukan adalah:

- Jika terdapat penafsiran yang sama bahwa suatu ketetapan

dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak menjamin HAM dan atau

tidak menjamin pembatasan kekuasaan, berarti ketetapan

itu sudah selayaknya untuk diubah; dan

7 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu

(24)

- Jika terdapat penafsiran berbeda, maka inipun

membuktikan bahwa ketetapan tersebut tidak dimaknai

seragam, sehingga perlu perubahan terhadapnya.

3. Sistematisasi Tafsir

Tahapan ini dilakukan dalam hal terdapat penafsiran yang

berbeda sebagaimana yang tel ah diuraikan di atas. Instrumen

penafsiran yang utama tentu saja historis dan futuristis.

Selanjutnya, jika telah tersusun sistematika tafsir, maka tafsir

yang digunakan adalah tafsir positif bahwa ketetapan dalam

UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin HAM dan atau telah

menjamin pembatasan kekuasaan. Tafsir ini seharusnya

menjadi tafsir dari MPR. Jika ditanya apa bentuk hukum dari menjadi tafsir dari MPR. Jika ditanya apa bentuk hukum dari

tafsir UUD NRI Tahun 1945 ini? Jawabannya adalah serupa

dengan pertanyaan bahwa apa bentuk hukum perubahan

UUD? Samakah antara mengu bah UUD dan menetapkan UUD?

Jika pertanyaan ini bisa dijawab, maka seharusnya pertanyaan

mengenai bentuk hukum tafsir UUD NRI Tahun 1945 juga bisa

dijawab.

4. Sistematisasi Redaksi perubahan

Tahapan ini dilakukan dalam hal terdapat penafsiran yang

sama bahwa ketetapan dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak

menjamin HAM dan atau tidak menjamin pembatasan

(25)

salah satu atau beberapa ketetapan dalam UUD NRI Tahun

1945 yang telah dibuktikan tidak menjamin HAM dan atau

tidak menjamin pembatasan kekuasaan. Redaksi frasa atau

kalimat yang akan dijadikan pengubah terhadap frasa atau

kalimat yang akan diubah harus disusun sedemikian rupa.

Bagaimana caranya? MPR meminta pendapat dari seluruh

komponen masyarakat. Dari berbagai masukan mengenai

redaksi perubahan, MPR melakuka n sistematisasi yang akan

menghasilkan ketepatan kebahasaan dalam hal sintaktik,

semantik, dan pragmatik

8.

5. Mengubah salah satu atau beberapa ketetapan dalam UUD

NRI Tahun 1945 NRI Tahun 1945

Ini adalah tahapan untuk memenuhi prosedur perubahan UUD

NRI Tahun 1945, dengan menggunakan prinsip musyawarah

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yang akan

berujung pada pemungutan suara dengan hasil n:0.

Inilah yang penulis sebut sebagai menempatkan MPR sesuai

dengan marwahnya. MPR tidak memiliki kehendak. Yang memiliki

kehendak adalah rakyat. Rakyat memilih anggota DPR dan

anggota DPD bukan dalam konteks teori organ, tetapi dalam

(26)

konteks teori mandat9. Anggota DPR dan anggota DPD membaur

dalam sebuah wadah MPR, yang ka rakternya tetap merupakan

implementasi teori mandat.

Jika MPR menganggap bahwa sangat perlu untuk

melakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945, maka buatlah

rumusan sistemik seperti di atas. Apabila MPR menghendaki agar

Ketetapan MPR dan GBHN perlu untuk dimasuk kan dalam UUD

NRI Tahun 1945, maka langkah -langkah di atas perlu untuk

dilakukan.

Dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana di

yang perlu dicapai. Apakah MPR harus lebih kuat atau tidak, itu

adalah cara untuk mewujudkan tujuan negara. Oleh karena itu,

hal di atas sangat penting untuk mencegah agar MPR tidak

terjebak dalam perdebatan yang kontraproduktif.

Secara politik, apapun yang diin ginkan oleh MPR tentu akan

sangat bergantung pada MPR sendiri berdasarkan kalkulasi

politik . Secara sosiologis, legitimasi akan diberikan oleh

masyarakat jika hal itu memberikan dampak yang baik bagi

kehidupan mereka. Namun secara yuridis, keinginan -keingi nan

(27)

tersebut (baik politis maupun sosiologis) perlu mengikuti nalar

rasionalitas yang dibingkai dalam rambu-rambu hukum.

C. Saran mengenai Masa Depan Haluan Negara

Setelah mengemukakan mengenai dua isu besar

sebagaimana dimaksud sebelumnya, maka penulis akan

menyampaikan beberapa hal, yaitu:

- MPR belum saatnya untuk diberi wewenang kembali untuk

membuat GBHN. Secara sosiologis, tingkat kepercayaan

terendah masyarakat pada tatanan bernegara di Republik

Indonesia ada pada lembaga politik dan lembaga hukum.

Apa pun yang akan dilakukan oleh pranata politik akan

ditafsir sebagai upaya perburuan rente kue kekuasaan. Bagi

MPR, yang terbaik sekarang adalah bagaimana mampu

menampung sebanyak mungkin aspirasi masyarakat dengan

memberikan umpan balik kepada masyarakat, sehingga

masyarakat benar -benar merasa memiliki suatu majelis

permusyawaratan.

- Keberadaan haluan negara sudah pasti menguntungkan.

Keuntungannya adalah bahwa kita memiliki arah dan Keuntungannya adalah bahwa kita memiliki arah dan

panduan yang sama untuk mengisi kemerdekaan

mewujudkan cita-cita pendiri negara yang telah terjabarkan

(28)

adalah apakah haluan negara i

RKP

-

Jika harus memberi saran mengenai haluan yang

bagaimana yang dibutuhkan bangsa Indonesia, maka secara

sederhana jawabannya adalah haluan yang terukur, mampu

dilaksanakan, mau dilaksanakan, tanpa adanya intervensi

politik.

- Sistematika dan materi haluan negara sebagaimana yang

tertera dalam UU RPJPN sudah baik.

- Bentuk produk hukum haluan negara bukan sesuatu yang

krusial. Untuk saat ini, sudah tepat dalam bentuk krusial. Untuk saat ini, sudah tepat dalam bentuk

undang-undang. Namun jika ada pihak yang tidak puas dengan

bentuk undang -undang, maka bentuk hukumnya bisa

seperti bentuk hukum tafsir undang-undang dasar seperti

yang telah penulis paparkan10.

- Mengenai akibat hukum, sebenarnya akibat hukum sudah

ada dalam berbagai peraturan perundang -undangan.

10

Sebagai bandingan, lihat juga Cholid Mahmud , REFORMULASI GBHN

10

Sebagai bandingan, lihat juga Cholid Mahmud , REFORMULASI GBHN MENGUATKAN KEDUDUKAN PEDOMAN PEMBANGUNAN NASIONAL, Makalah

Mewujudkan Kesatuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan

(29)

Sebagaimana yang penulis telah paparkan sebelumnya,

bahwa banyak instrumen yuridis yang bisa digunakan

untuk memberikan akibat hukum kepada pemerintah pusat.

Untuk pemerintah daerah, tentu hal ini lebih mudah lagi.

Akibat hukumnya juga lebih nyata jika dibandingkan

pemerintah pusat. Sehingga, mustahil bisa terjadi

ketidakkonsistenan dan ketidakselarasan antara RPJP

Daerah dengan RPJP Nasional. Dalam hal visi dan misi

calon Presiden, ini juga sebenarnya mustahil untuk terjadi.

Pada hakikatnya, visi dan misi calon Presiden adalah

rencana strategis calon presiden dalam mencapai

target-terget pembangunan nasional (haluan negara). Kalaupun itu terget pembangunan nasional (haluan negara). Kalaupun itu

bisa terjadi, KPU sebagai penyelenggara Pemilu seharusnya

menegur calon Presiden agar menyesuaik an visi dan misinya

dengan haluan negara.

Jika calon Presiden tersebut pada akhirnya terpilih menjadi

Presiden dan memaksakan visi dan misinya dimasukkan

sebagai RPJMN, maka tentu hal ini akan dilakukan koreksi

agar tidak bertentangan dengan UU RPJPN. Jika Presiden

terpilih tetap mempertahankan visi dan misinya dengan

memasukkannya ke dalam Perpres tentang RPJMN, maka

(30)

BAB III

PENUTUP

Demikianlah sumbangan pemikiran yang dapat penulis

berikan, semoga dapat memberikan manfaat bagi diskursus berikan, semoga dapat memberikan manfaat bagi diskursus

mengenai Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional dengan Model GBHN. Akhir kata, penulis memberi pujian

kepada MPR yang berupaya keras untuk meminta pendapat,

masukan, dan saran dari seluruh masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, CV. Mandar Maju, Bandung, 1995.

Cholid Mahmud , Reformulasi GBHN Menguatkan Kedudukan Pedoman Pembangunan Nasional , Makalah , Kamis, 6 September 2012.

J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum (terj.) alih bahasa B. Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Mudiyati Rahmatunnisa, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), makalah, Kamis 25 April 2013.

Romi Librayanto, Ilmu Negara suatu Pengantar, Pustaka refleksi, Makassar, Cetakan Kedua, 2012.

Romi Librayanto, Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP -Indonesia, Makassar, 2008.

Siti Marwijah dan Nunuk Nuswardani, Garis -Garis Besar Haluan Negara seba gai Penentu Arah dan Strategi Rencana Pembangunan Indonesia, Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 1, Juni 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Pengadaan bahan baku, jika melihat kinerja penjamin mutu, merupakan tanggung jawab dari quality control, yaitu pada bagian produksi. Baik atau buruknya bahan baku

Akad murabahah berupa produk pembiayaan dan wadiah adalah akad titipan nasabah dalam tabungan, sedangkan akad asuransi menggunakan akad yang secara tidak langsung terikat dalam

Hasil uji hubungan dengan Chi square menunjukkan hasil signifikansi sebesar 0,000 (p value < 0,05) yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima, dimana dapat

1 tahun 2010, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika akan melaksanakan Diklat Supervisi Akademik Pengawas Sekolah In Service

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa ada 3 alternatif yang harus dilakukan oleh Koperasi XYZ, yaitu alternatif 2 (persewaan

Total arus yang memasuki suatu titik percabangan pada rangkain listrik sama dengan total arus yang keluar dari titik percabangan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pembelajaran IPS pada materi aktivitas manusia melalui penerapan pendekatan saintifik berbasis 4C (comunication,

Hasil validasi ketepatan dan kesesuaian materi pada LKS discovery learning fisika yang dilakukan kepada dua ahli materi mendapatkan interpretasi pada semua indikator, untuk