• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Komposisi Dan Teknik Bernyanyi Seriosa Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Komposisi Dan Teknik Bernyanyi Seriosa Indonesia"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MUSIK SERIOSA INDONESIA

2.1 Sejarah Singkat Musik Seriosa

Musik seriosa merupakan salah satu jenis musik klasik Indonesia yang

berasal dari jenis musik lied di Jeman. Musik seriosa mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1950-an sejalan dengan penyelenggaraan pemilihan Bintang Radio

dan Televisi (BRTV). Komposisi dan penyajian musik seriosa persis dengan jenis

lied bahwa lagu dan musik iringannya telah menyatu. Pada awalnya, lagu-lagu seriosa diiringi oleh piano namun seiring perkembangan musik iringan lagu-lagu

seriosa diaransir dalam bentuk ensambel atau orkes.

Untuk dapat membawakan lagu-lagu seriosa dengan baik, dibutuhkan

suatu persyaratan yang mencakup kemampuan teknik vokal yang baik karena

lagu-lagu seriosa merupakan adaptasi dari jenis lagu lied di Jerman. Musik seriosa merupakan bentuk nyanyian tunggal dengan iringan piano, yang dapat

dinyanyikan dengan baik setelah terlebih dahulu menguasai teknik-teknik vokal.

Teknik-teknik vokal tersebut mencakup, teknik produksi suara yang membahas berbagai hal yang erat kaitannya dengan organ-organ tubuh. Hal-hal yang

berkaitan dengan produksi suara adalah: pernafasan, sumber bunyi, gema suara,

dan artikulasi.

Lagu-lagu seriosa Indonesia berdasarkan tema syairnya dapat dikelompokkan

(2)

1. Musik seriosa dengan tema “Mengisahkan Keindahan Alam”. Beberapa

lagu-lagu seriosa yang bertemakan keindahan alam adalah: “Irama Desa” (karya Iskandar), “Senja di Pelabuhan Perahu”(karya Mochtar Embut), dan lain sebagainya.

2. Musik seriosa dengan tema “Mengisahkan Percintaan”. Beberapa lagu-lagu

seriosa yang bertemakan percintaan adalah: “Cintaku Jauh Di Pulau” (F.X. Soetopo), “Embun” (G.R.W Sinsoe), “Kisah Sandiwara”, “Srikandi”, dan “Gadis Bernyanyi di Cerah Hari” (karya Mochtar Embut), “Lumpur Bermutiara”(karya Surni Wakirman), “Bagi Kekasih” (karya Binsar Sitompul), “O, Angin” (karya Cornel Simanjuntak), “Kisah Mawar di Malam Hari”, dan “Lagu Pujaan” (karya Iskandar), dan lain sebagainya.

3. Musik seriosa dengan tema “Mengisahkan Patriotisme (Kepahlawanan)”.

Beberapa lagu-lagu seriosa yang bertemakan patriotisme adalah: “Lagu Untuk Pahlawan” (Karya FA. Warsono), “Fajar Harapan” (karya Ismail Marzuki), “Melati di TapalBatas” (karya Ismail Marzuki), “Bukit Kemenangan” (Karya Djuhari), dan sebagainya.

2.2 Komponis Seriosa Indonesia

Pada bagian ini, penulis akan membahas beberapa komponis seriosa.

Penulis menyadari tidak mampu memberikan gambaran tentang seluruh

komponis-komponis musik seriosa secara lengkap dan menyeluruh diakibatkan

data-data tentang komponis musik seriosa Indonesia yang sulit ditemukan. Dari

(3)

seriosa Indonesia adalah: Cornel Simanjuntak; Mochtar Embut; Iskandar; F.X.

Soetopo; dan Binsar Sitompul, Djuhari, G.R.W Sinsoe.

2.2.1 Komponis Cornel Simanjuntak

Cornel Simanjuntak lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara tahun1921.

Ia memperoleh pendidikan teori dan praktek musik dari Yesuit J. Schouten

semasa bersekolah guru di HIK Xaverius College di Muntilan, Jawa Tengah. Tak

banyak karya yang ditinggalkan, diantaranya adalah terutama lagu-lagu yang

semuanya menunjukkan daya cipta indah dan kecakapan musiknya yang kuat.

Melodinya indah, seperti pada Mekar Melati dan Mari Berdendang. Lagu

Kemuning dan 0, Angin selain liriknya yang hangat mengharukan, juga mengandung cita rasa dramatik. Dari rencana gubahan operanya yang berjudul

Madah Kelana, hanya sebagian kecil dapat diselesaikan, akan tetapi lagu-lagu

mars perjuangan dan lagu-lagu patriotik gubahannya yang dinyanyikan di seluruh

Indonesia, memegang peranan sangat penting dalam menggerakkan semangat

perjuangan semasa revolusi fisik. Beberapa lagu jenis ini termasuk Maju Tak Gentar, Tanah Tumpah Darah, Padamu Pahlawan, Teguh Kukuh Berlapis Baja,

Indonesia Tetap Merdeka yang lebih terkenal sebagai Sorak-Sorak Bergembira. Secara umum, lagu-lagu ini digubahnya ketika ia dirawat di Sanatorium Pakem,

Yogyakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, ketika ia bekerja di Keimin Bunka

Shidosho, ia menciptakan banyak lagu berbau propaganda, tetapi mempunyai arti

(4)

rakyat. Diantaranya adalah Menanam Kapas, Menabung, Bekerja, Bikin Kapal,

Hancurkanlah Musuh Kita yang lebih dikenal sebagai Awaslah Inggris dan Amerika. Karya-karyanya yang lain: Citra, O Ale Alogo, Kupinta Lagi, Andigan ma, Di na laho Maridi.

Cornel meninggal pada tanggal 15 September 1946 akibat penyakit

paru-paru yang dideritanya dan disebabkan kehidupan tak teratur selama masa

perjuangan kemerdekaan, bahwa ia ikut ambil bagian secara aktif. Secara

anumerta, dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan oleh Pemerintah RI tahun

1961. Kerangka jenazahnya tanggal 10 November 1980 dipindahkan dari

pemakaman umum ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.

2.2.2 Komponis Mochtar Embut

Mochtar Embut lahir pada tahun 1934 dari seorang ayah yang berasal dari

Medan dan ibu berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Ketika berusia tiga tahun ia

sudah mengenal musik dari orang tuanya. Pada usia 12 tahun, ia menjadi pianis

dan anggota orkes Kesejahteraan Angkatan Darat Territorium VII. Setelah tamat

SMA di Makasar, ia pindah ke Jakarta dan bekerja di RRI sebagai penggubah

lagu. Lagu-lagu gubahannya antara lain Di Wajahmu Kulihat Bulan, Di Sudut Bibirmu, Mars Pemilihan Umum, Mars Keluarga Berencana, Swa Bhuwana Paksa. Mochtar Embut seorang komponis yang kreatif dan produktif. Sepanjang hidupnya ia menggubah tidak kurang dari 100 lagu, baik pop, seriosa, maupun

keroncong. Ia juga mengaransir lagu-lagu untuk orkes besar. Ia dikenal sebagai

(5)

untuk mengikuti festival lagu pop sedunia, dan pada kesempatan itu ia

membawakan lagunya yang berjudul With the Deepest Love from Jakarta yang dibawakan oleh Elly Srie Kudus. Sampai akhir hayatnya Mochtar Embut tidak

berkeluarga, ia menderita sakit kanker hati. Akibat penyakitnya ini, yang pada

awalnya dirawat di Jakarta kemudian dipindahkan ke Bandung. Pada tahun 1973

Mochtar Embut meningal dunia dan dimakamkan di Jakarta.

2.2.3 Komponis Iskandar

Iskandar lahir tanggal 7 September 1920 di Plaju. Ayahnya, K. Suwandi,

bekerja sebagai pegawai pada perusahaan minyak. Sejak kecil ia sudah

menunjukkan kegemarannya pada musik dengan menyanyi dan menari. Namun

dalam usia 23 tahun, ia benar-benar terjun secara penuh menjadi pemain musik

dengan bergabung pada Orkes Keroncong pimpinan M. Sagi, kemudian bergabung dengan Orkes Studio Radio Pendudukan Jepang (1943).

Tahun 1945 setelah proklamasi kemerdekaan RI, terbentuklah RRI Studio

Jakarta, ia ditunjuk langsung sebagai pemimpin Orkes Studio RRI (Radio

Republik Indonesia) Jakarta. Iskandar juga mendirikan dan memimpin Orkes

Putra Indonesia dan Orkes Empat Sekawan. Tanggal 5 Oktober 1948, ia

mendirikan dan memimpin Orkes Puspa Kencana yang pemainnya kebanyakan

terdiri dari para pemain Orkes Studio RRI Jakarta. Di tahun ini juga, ia mulai

(6)

Pergumulannya dengan musik mempertemukannya dengan seorang gadis

penyanyi yang tenar di zamannya, Coryati yang kemudian menjadi istrinya.

Tahun 1953, tampil memimpin Orkes Tjandra Kirana, yang terdiri dari 16 pemain. Karirnya di RRl terus menanjak, tahun 1972 diangkat menjadi Kepala

Pembinaan Orkes-Orkes Studio sampai 1975. Tiga tahun kemudian, Januari 1978,

tampil untuk pertama kalinya memimpin Orkes Telerama di layar TV (Televisi),

dengan acara siaran tetap sekali sebulan.

Beberapa dari ratusan karya-karya lagu yang telah diciptakan, sebagian

besar lagu-lagu itu berhasil memasyarakat pada zamannya, malah merupakan

karya monumental. Lagu-lagu ciptaannya beragam jenisnya, ada Seriosa (Dahaga, Karam, Lagu Pujaan, Dewi Anggraeni), Keroncong (Bandar Jakarta, syairnya oleh Ismail Marzuki), Hiburan (Sabda Alam), Mars (Pemilihan Umum dan Keluarga Berencana) dan Hymne (Gita Jaya).

Dalam musik pop, ia punya perhatian tersendiri pada Andi Meriem

Mattalata asal Ujung Pandang, dengan menciptakan lagu khusus di antaranya

Mutiara Dari Selatan, Mohon Pamit, Sebutir Mutiara, Sadarlah Sayang, Mesedih, Tiada Bulan Di Wajah Rawan dan lain-lain. Perhatian khusus pernah pula ia berikan kepada banyak penyanyi sebelumnya, antara lain Bing Slamet, Ade

Ticoalu, Norma Sanger, Titiek Puspa, dan anak sulungnya sendiri, Diah Iskandar.

Sebagai tanda bakti kepada ayahnya, dengan bantuan TVRI (Televisi Republik

Indonesia), Diah mempersembahkan Orkes Chandra Kirana, yang ia resmikan

(7)

2.2.4 Komponis Binsar Sitompul

Binsar Sitompul lahir di Pahae Tarutung tanggal 5 Maret 1923. Ia

menamatkan Sekolah Dasar (Hollands – Inlandsche School) pada tahun 1939, lalu melanjutkan pendidikan sekolah pendidikan guru (Hollands-Indische Kweekschool Katolik) di Muntilan. Sekolah di Muntilan itu memberikan kesempatan pertama baginya untuk berkenalan secara serius dengan musik klasik

dalam berbagai bentuk penampilan, antara lain dalam bentuk orkes simfoni.

Selama pendudukan Jepang, ia berkonsentrasi dalam permainan biola dan

mendalami teori musik.

Binsar Sitompul menjadi pemasaran untuk bidang musik saat kongres

Kebudayaan I tahun 1948 di Magelang. Ia juga menjadi anggota Panitia Indonesia

Raya tahun 1948 di Yogyakarta, yang antara lain membahas lagu kebangsaan dari

segi pemyempurnaan bentuk dan penggunaannya secara protokoler. Pada tahun

1950, ia mendapat kesempatan belajar di Belanda selama beberapa tahun dan

sekembalinya ke tanah air, ia bekerja di RRI Jakarta dan menjadi dosen untuk

teori harmoni di IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) Jakarta, sekarang

Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pada tahun 1957, ia mendirikan dan membina

Paduan Suara RRI, serta menjadi pengajar sejarah musik di sekolah musik

Yayasan Pendidikan Musik (YPM).

Beberapa karyanya terpilih sebagai lagu wajib dalam lomba paduan suara

(8)

2.2.5 Komponis F.X. Soetopo

F.X. Soetopo lahir di Jombang, 26 April 1937. Ia memperoleh pendidikan

formal dalam bidang musik di Sekolah Menengah Musik Indonesia Yogyakarta

pada tahun 1957. Kemudian ia melanjutkan studinya di Akademi Musik Indonesia

dan ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta dan berguru kepada beberapa musisi

dari luar negeri seperti Willy Piel, Bodmer dan G. Kenney.

Pertama kali menciptakan lagu sekitar tahun 1951 saat aktif dalam gerakan

kepaduan. Selain berprofesi sebagai pemusik, ia juga berdinas di TNI Angkatan

Darat dengan pangkat terakhir sebagai kolonel. Ia mengajar di ISI Yogyakarta

(2001-2006). Ia juga pernah bertugas di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

sebagai Direktur Kesenian, serta sering memimpin aubade dalam acara

Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara (1971-1988).

Sebagai konduktor paduan suara dan orkes simfoni, ia tercatat pernah

memimpin Orkes Simfoni Jakarta dan Orkes ISI Yogyakarta serta mengiringi

musisi Adidarma, Iravati M. Sudiarso dan Kuei Pin Yeo. Tahun 1985, ia mewakili

Indonesia menjadi konduktor dalam ASEAN (Assosiation Of South East Nation) Youth Music Camp di Malaysia.

Beberapa komposisi vokal ciptaannya adalah “Mars Wajib Belajar 9

Tahun”, “Himne ASEAN”, “Himne Kodam Trikora”, Himne Universitas Widya Mandala Surabaya”. Karya musik seriosanya adalah “Cintaku Jauh Di Pulau”,

(9)

2.2.6 Komponis Djuhari

Djuhari lahir di Garut 6 Juni Tahun 1924 dan mempunyai bakat seni sejak

kecil secara otodidak. Diwarisi oleh ayahnya yang juga pemain musik dan ibunya

yang menyenangi seni Sunda. Tidak heran sejak duduk di bangku kelas VI

(Lagere School) ia telah mampu mencipta lagu.

Kariernya lama dijalani di RRI Bandung hingga Tahun 1972, kemudian ia

mendapat tugas sebagai Kepsta RRI Bogor sampai akhir Tahun 1975. Pekerjaan

di RRI mendorong berkembangnya bakat beliau. Sejak itu dari tangannya tercipta

lebih dari 400 buah karya lagu. Jenis lagu yang ia ciptakan sangat beragam

seperti; lagu-lagu jenis hiburan, keroncong, seriosa, pop, lagu anak-anak, qasidah,

hingga dangdut dan pop Sunda pun ia pernah ciptakan.

Salah satu kenangan beliau dalam menciptakan lagu, seperti seringkali

diceriterakan kepada anaknya; ialah pada saat diminta oleh pimpinan Studio

Jakarta Iskandar dan Mochtar Embut, untuk menciptakan lagu seriosa yang akan

dipergunakan dalam Pemilihan Bintang Radio. Saat itu beliau belum pernah

menciptakan jenis seriosa. Namun akhirnya ia mencobanya, maka lahirlah dua

buah lagu berjudul Bukit Kemenangan dan Hati Penuh Kerinduan. Lagu itu

dijadikan lagu wajib Pemilihan Bintang Radio Tahun 1960-an hingga beberapa

tahun kemudian.

Lagu lain yang yang selalu menjadi kenangan beliau ialah lagu Seuntai

Manikam. Saat itu tahun 1960, RRI mengadakan sayembara mengarang lagu.

Djuhari mencipatakan lagu tersebut selain dorongan kesenimanannya namun

(10)

kelahiran putranya. Dan ternyata lagu Seuntai Manikam pemenangnya. Uang

hadiah langsung ia bayarkan untuk biaya kelahiran putra kedua yang lahir tepat

saat pemenangnya diumumkan.

Lagu-lagu beliau banyak dinyanyikan para Bintang Radio/TV, seperti:

Sam Saimun, Bing Slamet, Donny Saleh, Dedy Damhudi, Tatty Saleh, Group

Patria, dll. Beliau juga salah seorang Dewan Juri baik provinsi maupun tingkat

Nasional setiap kegiatan Pemilihan Bintang Radio/TV hingga tahun terakhir. Di

bidang penulisan naskah dan penyutradaraan Sandiwara Radio, beliau adalah

pakarnya. Tahun 1993 pernah membawa RRI Bandung menjadi juara Swara

Kencana. Ratusan naskah sandiwara dan oratorium ia pun ciptakan. Salah satu

diantaranya ialah Oratorium Penyiaran Teks Naskah Proklamasi Kemerdekaan

RRI oleh para pejuang radio di Bandung yang pernah mendapat penghargaan dari

Menteri Penerangan, Harmoko.

Perjalanan hidupnya ia curahkan hampir sepenuhnya untuk musik dan

RRI. Sederatan Piagam Penghargaan tak terhitung jumlahnya. Mulai dari

Gubernur Jawa Barat bahkan pernah menerima Piagam Penghargaan dari Persiden

RI (1982). Karya-karya almarhum yang populer antara lain: Lagu Pop: Senja di

Priangan, Seuntai Manikam, Balada Dwikora, Tangkuban Perahu, Kepada Guru,

Kepada Pak Tani, Kepada Pak Sopir, Kepada Para Medis. Lagu Seriosa: Bukit

Kemenangan, Hati Penuh Kerinduan, Bunga Yang Gersang, Permata Hijau. Lagu

Keroncong: Di Remang Petang, Pulang, Gita Persada, Api Kasih. Hymne: Hymne

(11)

Lagu Pop Sunda: Hariring Kuring, Ngabungbang, Panineungan,

Harianeun, Teu Nyana, Ngalamun, Pasosore, Mapag Rayagung. Lagu anak-anak:

Mobil Butut, Ayun-Ayunan, Cika-cika, Hayu Mulang, Ucing jeung Anjing, Caang

Bulan. Lagu Qasidah: Balada Maha Pencipta, Pemuda Alam Semesta, Allah Maha

Besar, Maha Pemurah, Do'a Syukur, Gita Idul Fitri, Bulan Suci Telah Tiba,

Yerusalem, dll.

Naskah Sandiwara Radio: Pengorbanan, Jalan Buntu, Menguak Tirai

Kegelapan, Bukit Kemenangan, Sebuah Berita, Melati Berduri, Anak-anak yang

Terbuang, Dr. Mira, dll. Tak cukup ruang dan waktu untuk menulis berjuta jasa

dan kenangan almarhum. Hanya do'a yang mengiringi kepergian Bapak. Selamat

jalan Maestro RRI, musisi legendaris, sesepuh kami, beristiratlah di sisi Tuhan.

Kami mengiringi dengan do'a dan air mata, karena belum bisa membalas jasa budi

baikmu. (Iik Setiawan RRI Bandung ) .

2.2.7 Komponis George Rudolf Willems Sinsoe

George Rudolf Willems Sinsoe lahir di Tahuna, Sangihe, 12 November

1912 dan meninggal pada 9 Juli 1974 di Bogor, Jawa Barat, dalam usia 62 tahun.

Menyelesaikan pendidikannya di AMS semacam SLA sampai kelas II pada tahun

1932. Ia mahir memainkan gitar yang dipelajari dari ibunya. Ia tertarik pada biola

karena terkesan oleh permainan biola Joe Fenaty dalam Film King of Jazz. Bakat musiknya menurun dari ibunya, yang pandai bermain biola dan mandolin serta

pintar menyanyi. Tahun 1935 ia mendapat kontrak untuk main di Singapura dan

(12)

Hongkong, karena Jepang telah memasuki Cina. Di Jawa ia mendirikan orkes

Hawaiian Syncopeters yang merupakan satu dari lima besar dunia. Pada masa

pendudukan Jepang ia ditarik main dalam orkes symphoni Hosho Kyoku. Dalam

masa itulah lahir karya-karyanya yang terkenal seperti Surya Wisesa, Embun.

Penataan musik untuk film dimulainya sejak Darah dan Doa (1950), karya Usmar Ismail. Dan karyanya untuk Harimau Tjampa (1954) berhasil memenangkan hadiah dari FFA di Singapura 1955.

Pada awal 1930-an, mendirikan Hawaiian Syncopators di Jakarta. Pada 1950-an, ia bermain di Hotel Des Indes bersama Nick Mamahit (piano), Bart

Risakotta (drums) sedangkan dirinya memainkan bass. Ketika TIM baru berdiri

pada akhir tahun 1960-an, ia menyelenggarakan pertunjukan musik dalam bentuk

big band. Acara itu sempat berlangsung secara rutin setiap tiga bulan. Dalam Expo 1970 di Osaka, Jepang, bergabung dengan Indonesia Enam, pimpinan Mus

Mualim, bersama Sadikin Zuchra, Idris Sardi, Maryono, dan Benny Mustapha.

Selain bermusik, tahun 1950-an, pernah main film berjudul Krisis. Awal tahun 1970-an namanya kembali muncul di dunia musik dengan rombongan Big

Band-nya, yang memanggil kembali perhatian orang pada musik Jazz. Sejak tahun 1964

tiba-tiba ia muncul sebagai pelukis abstrak. Pernah pameran di TIM.

2.3 Penyanyi Seriosa Indonesia

Pada bagian ini, penulis akan membahas beberapa penyanyi seriosa yang

sudah memberikan konstribusi di dalam perkembangan musik seriosa pada

(13)

penyanyi-penyanyi seriosa Indonesia, oleh karena itu penulis tidak mungkin

memberikan gambaran tentang seluruh penyanyi seriosa Indonesia dalam

penelitian ini dikarenakan data tentang biografi mereka belum dituliskan. Berikut

ini adalah beberapa penyanyi seriosa Indonesia: Pranawengrum Katamsi, Aning

Katamsi, Pranadjaya, Rose Pandanwagi, Christopher Abimanyu.

2.3.1 Pranawengrum Katamsi

Pranawengrum Katamsi (sapaan akrab dengan nama Rum) lahir tanggal 28

Maret 1943, ia merupakan putri kelima dari enam bersaudara dari pasangan RM

Surachmad Padmorahardjo dan Oemi Salamah. Bakat seni yang mengalir dalam

dirinya didapat dari sang ayah. Ayahnya yang berprofesi sebagai pegawai swasta

memiliki kemampuan bermain biola. Dengan latar belakang yang dimiliki oleh

orang tuanya, maka perhatian yang penuh diberikan kepada Rum dalam

mengembangkan bakat bernyanyi yang dimiliki. Ditengah proses tersebut, ia

harus menerima kenyataan bahwa ayahnya meninggal dunia disaat ia masih

berusia tujuh tahun. Dalam situasi ini, posisi ayah yang selalu mendukung

perkembangan bakat musik bernyanyi Rum digantikan oleh ibunya. 21

Saat menempuh pendidikan di SMA (Sekolah Menengah Atas), Rum

mendapatkan kesempatan dari Nathanael Daldjoeni (kepala sekolah) yang juga

berprofesi sebagai penggubah lagu dan pemerhati musik. Nathanael salah satu

orang yang berjasa dalam memperkenalkan lagu seriosa kepadanya. Lambat laun

(14)

Di tengah upayanya memperkenalkan musik seriosa, Rum tak memungkiri

masih adanya pandangan keliru dari segelintir kalangan yang menganggap bahwa

musik seriosa hanya untuk konsumsi ''orang berstatus tinggi'' dengan pemahaman

musik di atas rata-rata. Padahal, musik seriosa sendiri tak pernah membatasi diri.

Bahkan pada 1950-an, seriosa menjadi musik yang sering dinyanyikan kaum

remaja.

Pada 1960, Rum mengikuti lomba seriosa di Pekan Kesenian Jakarta

mewakili sekolahnya. Rum yang ketika itu masih berusia 16 tahun berhasil meraih

juara II. Setahun berselang, ia mengikuti ajang Bintang Radio Wakil Presiden

Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta tingkat nasional, ia mampu

mendapatkan gelar juara harapan.

Rum secara terus menerus menimba ilmu kepada banyak guru vokal,

seperti R Suwandi, Suthasoma, Kusbini, Binsar Sitompul, Sari Indrawati, EL

Pohan, dan N Simanungkalit. Salah satu di antara guru vokal yang mendidik Rum

yaitu, N. Simanungkalit memiliki keyakinan bahwa Rum akan tumbuh menjadi

penyanyi seriosa yang terkenal di Indonesia.

Saat masih menjadi mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gajah Mada, ia tampil sebagai juara pertama dalam Pekan Kesenian

Mahasiswa seluruh Indonesia di Denpasar Bali. Prestasinya yang paling

membanggakan adalah saat ia berhasil keluar sebagai jawara sebanyak tujuh kali

dalam perlombaan Bintang Radio dan televisi tingkat nasional jenis seriosa yakni

(15)

berhak mendapat Piala W.R Supratman, sebuah penghargaan tertinggi dalam

ajang tersebut.

Pada 27 Januari 1964, Rum menikah dengan Amoroso Katamsi, seorang

aktor, dokter, dan perwira Angkatan Laut. Sebagai istri seorang prajurit, Rum

kerap menemani suaminya bertugas, seperti saat aktor pemeran Presiden Republik

Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto dalam film G30S/PKI (Gerakan 30

September/Partai Komunis Indonesia) itu ditugaskan ke Cilacap pada tahun 1969

hingga 1973. Selama kurun waktu tersebut, Pranawengrum absen dari kompetisi

bintang radio dan televisi. Setelah menikah, Rum dan keluarga bermukim di

Jakarta. Status barunya sebagai ibu rumah tangga tak menghalangi hasratnya

untuk terus berkecimpung di dunia olah vokal. Dengan dukungan penuh dari sang

suami, Rum kian giat berlatih di bawah bimbingan Pranadjaja, FX Sutopo,

Sunarto Sunaryo, dan Anette Frambach. Ia bahkan tak hanya eksis berkarya

sebagai penyanyi tetapi juga turut berusaha mengembangkan genre seriosa di

Indonesia. Misalnya Rum mengumpulkan rekan seprofesinya untuk

memperkenalkan musik seriosa kepada masyarakat awam. Upaya lain yang

dilakukannya adalah membuat rekaman bersama pianis Soewanto Soewandi, di

bawah label Irama Master, namun sayangnya album tersebut kurang mendapat

sambutan hangat.

Rum pernah mendapat undangan untuk tampil dalam Pentas Paduan Suara

Mahasiswa Nommensen Medan membawakan Oratorium The Messiah (Handel)

sebagai solois tamu. Selain secara solo, ia juga kerap berkolaborasi dengan

(16)

Orkes Remaja Bina Musika, Orkes Simponi Jakarta, Orkes mahasiswa Institut

Seni Indonesia Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta

pimpinan Ed van Ness, Konduktor, komposer, dan produser konduktor Richard

Haskin dari Orkes PPIA, pemimpin koor N Simanungkalit, Max Rukmarata, dan

FX Sutopo.

Kemampuannya berolah vokal membawakan lagu-lagu seriosa juga ia

tularkan kepada calon-calon penyanyi masa depan dengan menjadi pelatih dan

pembina sejumlah paduan suara. Pada tahun 1970, ia pernah mendirikan dan

memimpin Paduan Suara Wijayakusuma di Cilacap, Jawa Tengah, kemudian

membina Paduan Suara Gita Nusantara, Paduan Suara Anak-anak Radio Republik

Indonesia (RRI), dan Paduan Suara Lihat wanita di Jakarta bersama Binsar

Sitompul.

Sadar bahwa usahanya melakukan regenerasi tak berjalan sesuai harapan,

Pranawengrum tak patah arang. Baginya yang penting, ia sudah berusaha

melestarikan karya seni Indonesia. Kekecewaan Rum mulai terobati ketika ketiga

buah hatinya, Ratna, Doddy, dan Aning mengikuti jejaknya. Ratna yang kini

menjadi guru piano dan sejarah musik di Yayasan Pendidikan Musik (YPM)

Jakarta, mengawali kariernya sejak usia 11 tahun, di bawah bimbingan Chairi dan

Sunarto Sunario. Selain mengajar, Ratna juga sering tampil sebagai pengiring

berbagai konser dan lomba musik seriosa. Sesekali Ratna juga tampil mengiringi

ibunya dalam sejumlah pementasan.

Ratna yang merupakan sarjana biologi lulusan UI ini mempelajari piano

(17)

lain Reynaldo Reyes dan Walter Hautzig. Sementara, Doddy, satu-satunya anak

lelaki Pranawengrum, lebih memilih menjadi penyanyi rock yang sering

membawakan lagu-lagu Deep Purple. "Ibu tak melarang saya nyanyi rock. Dia

justru yang ngajari saya teknik vokal seriosa untuk diaplikasikan ke rock," kata

mantan personil grup musik Elpamas Surabaya seperti dikutip dari situs

kompas.com.

Sedangkan si bungsu, Aning yang kini dikenal sebagai penyanyi seriosa

mendapat bimbingan vokal awal dari sang ibu yang kemudian berlanjut di bawah

bimbingan Catharina W. Leimena. Lulusan Jurusan Fisika, Fakultas MIPA,

Universitas Indonesia ini sebenarnya pernah mendapat tawaran mengajar di

almamaternya, namun Aning lebih memilih mengajar vokal dan piano di YPM.

Di mata anak-anaknya, Rum dikenal sebagai ibu yang siap berkorban bagi

keluarga. Ratna mengisahkan, ibunya rela meninggalkan bangku kuliah di UGM

(Universitas Gajah Mada), demi berkonsentrasi mengasuh anak-anaknya. Bahkan,

ketika mengikuti rombongan paduan suara Kodam VII Pemimpin Perang

Diponegoro ke Bandung dan Jakarta di tahun 1965, Rum mengajak serta putri

sulungnya, Ratna, yang ketika itu baru berumur dua bulan.

Rum meninggal dunia pada Senin 4 September 2006 pukul 13.50 di RSAL

(Rumah Sakit Angkatan Laut) Mintohardjo, Jakarta, dalam usia 63 tahun.

Sebelum wafat, Rum yang diketahui mengidap penyakit gagal ginjal yang

mengalami komplikasi ke paru-paru dan jantung itu sempat menjalani perawatan

selama satu bulan. Sebelum dimakamkan, jenazahnya disemayamkan di Jalan

(18)

harinya, Selasa 5 September 2006, Rum dikebumikan di pemakaman Pangkalan

Jati.

Hampir separuh hidupnya didedikasikan untuk dunia musik, bahkan ketika

terbaring di rumah sakit, ia masih membicarakan seriosa. Cita-citanya sederhana

saja, yakni ingin kaum muda gemar menyanyi seriosa dengan dasar yang benar.

Meskipun punya prestasi dan nama besar, ia tetap seorang yang rendah hati dan

bersahaja. Kebersahajaan itu yang membuat dirinya luwes dalam bergaul.

Rekan-rekannya mengenang wanita Jawa ini sebagai sosok guru yang

selalu memberikan keteladanan. Ia pun senantiasa mensyukuri garis hidupnya

sebagai seniman musik. Pemusik Suka Hardjana bahkan menilai kesetiaan Rum

pada seriosa pantas dicontoh seniman lain. Hardjana juga menghargai konsistensi

dan kedisiplinan Rum pada pilihannya itu. Komponis penggubah lagu Hari

Merdeka, H Mutahar, bahkan memberikan Rum julukan "Ibu Seriosa Indonesia".

2.3.2 Aning Katamsi

Aning Katamsi lahir di Cilacap, 3 Juni 1969 adalah seorang penyanyi

seriosa Indonesia. Ia memiliki karakter vokal sopran. Aning adalah putri dari

Pranawengrum Katamsi, yang juga seorang penyanyi seriosa. Aning pernah

belajar vokal kepada Catharina Leimena, yang juga adalah penyanyi seriosa

Indonesia yang pernah menuntut ilmu di Conservatorio di musica “Giuseppe Verdi”, Milan, Italia. Saat ini, Aning adalah salah satu pelatih Paduan Suara Mahasiswa Universitas Indonesia Paragita. Selain bernyanyi, Aning juga adalah

(19)

master class dari Ruth Drucker, Andrea Ehrenreich, Adib Fazah dan Rudolf Jansen.

2.3.3 Pranadjaya

Pranadjaya lahir di Yogyakarta 11 Desember 1929 dan meninggal di

Jakarta 2 November 1997. Ia lahir dari keluarga Soepratman Djojodinoto, dan

menikah dengan Sri Soerniatoen. Pranadjaya pernah menempuh Kursus

Kementerian Dalam Negeri di Malang dan melanjutkan pendidikan pada Kursus

Ilmu Kepegawaian di Universitas Gadjah mada (FISIPOL-UGM), namun

tidak sampai selesai karena dorongan bermusiknya yang tinggi. Ia belajar

menyanyi pada Djaelan D Hasan, seorang guru lulusan Jepang, kemudian

melanjutkan belajar pada Prof. Nakayama di Universitas Kesenian Tokyo

di Jepang, selain itu juga belajar pada Prof. DR. Gerhard Heisch.

Prestasinya dimulai ketika mengikuti lomba menyanyi seriosa yang

diselenggarakan oleh FISIPOL UGM Yogyakarta dan meraih juara pertama.

Berturut-turut tahun 1955, 1956 dan 1957 ia terpilih sebagai juara I Bintang

Radio. Tahun 1958 ia pindah bekerja ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Kesenian, yang sebelumnya tahun 1952-1958 ia bekerja sebagai

pegawai Departemen Dalam Negeri. Tanggal 11 Desember 1972

dengan dorongan istrinya ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan musik "Bina

Vokalia" di bilangan Jl. Radio Dalam IV NO.4 Jakarta Selatan.

(20)

November 1997, setelah ia selesai memimpin pertunjukan paduan suaranya di

gedung Sekolah Jakarta Japanese School di Bintaro Jakarta Selatan.

2.3.4 Christopher Abimanyu Sastrodiharjo

Christopher Abimanyu Sastrodiharjo lahir di Bandung sekitar tahun 1970.

Sejak tahun 1985, pria yang juga mahir memberi terapi akupuntur ini mulai

menekuni profesinya sebagai penyanyi seriosa. Christopher Abimanyu untuk

pertama kalinya mendapat ilmu vokal dari Ir. Sudaryanto. Selain itu, dia juga

melatih vokalnya pada penyanyi sopran Marijke ten Kate dan Avip Priyatna.

Untuk semakin mengasah kemampuannya dalam bernyanyi seriosa, Christopher

Abimanyu sampai harus pergi ke Austria untuk menimba ilmu pada Prof Richard

Miller di Mozarteum, Salzburg. Setelah merasa cukup memiliki bekal,

Christopher Abimanyu memberanikan dirinya untuk mengikuti Festival Bintang

Radio dan Televisi tingkat Jawa Barat dan nasional di tahun 1985.

Di ajang tersebut, Christopher Abimanyu berhasil meraih juara I untuk

kategori penyanyi seriosa. Dua tahun kemudian, dia kembali menorehkan prestasi

dengan menjadi jawara dalam Festival Bintang Radio dan Televisi tingkat Jawa

Barat dan Nasional kategori seriosa. Setelah momen sukses menjuarai ajang

bergengsi tersebut, Christopher Abimanyu kemudian mulai berduet bersama

pianis Ine Lopulisa. Dengan duet ini, Christopher Abimanyu bersama Ine sering

diminta tampil dalam berbagai pagelaran konser di sejumlah kota besar di Pulau

Jawa, mulai dari kota kelahirannya, Bandung, ibukota Jakarta, hingga kota

Pahlawan Surabaya. Mereka berdua banyak sekali mengadakan berbagai konser

(21)

sampai seriosa Indonesia. Abimanyu bahkan juga sempat membuat album seriosa

Indonesia berjudul Sebutir Mutiara bersama Ine Lopulisa.

Selain bersama Ine, Christopher Abimanyu juga sering tampil bersama

berbagai orkes-orkes dan paduan-paduan suara, serta sejumlah konduktor di

Indonesia, salah satunya Addie MS. Bersama pimpinan Twilight Orchestra itu, dia

membawakan beragam repertoir mulai lagu-lagu Indonesia, opera, hingga

broadway. Bersama Twilite pula, Abimanyu pernah menjadi solis pada Symphony

No. 9 Beethoven dan disaksikan langsung oleh Presiden saat itu, Abdurrahman

Wahid dan beberapa kali tampil di depan Ibu Megawati Sukarnoputri dalam

acara-acara rutin Bimasena. Abimanyu bersama pianis Lendi Sudarno juga tampil

dalam Art Song Series, salah satunya pernah menampilkan siklus “Die Schone

Mullerin” karya dari F. Schubert secara lengkap.

Beberapa penghargaan dalam Perlombaaan Seriosa yang pernah beliau

raih adalah sebagai berikut; (1) Juara I Festival Bintang Radio dan Televisi tingkat

Nasional kategori seriosa (1987); (2) Juara I Festival Bintang Radio dan Televisi

tingkat Jawa Barat kategori seriosa (1987); (3) Juara I Festival Bintang Radio dan

Televisi tingkat Nasional kategori seriosa (1985); dan (4) Juara I Festival Bintang

Radio dan Televisi tingkat Jawa Barat kategori seriosa (1985).

2.3.5 Rose Pandanwangi

Rose Pandanwangi lahir di Makasar tanggal 26 Juni 1930, ayahnya

keturunan Jerman dan ibunya berdarah campuran Manado Spanyol. Nama Rose

Pandanwangi diberikan oleh S. Sudjojono suaminya yang menelusuri hidupnya di

(22)

orang sukses semua. Masing-masing anaknya mempunyai kesan

sendiri-sendiri terhadap lagu yang dibawakan ibunya. Misalnya Wicky lebih terkesan

dengan lagu Be Still and Listen, (lagu Negro Spiritual) lagu ini sering dilantunkan ibunya sewaktu kecil, sehingga setiap lagu ini dinyanyikan selalu mengingatkan

pada nasihat-nasihat ibunya waktu masih kanak-kanak. Pandan putri sulungnya

lebih terkesan dengan lagu Untuk Anakku, karya Syaiful Bachri.

Perjalanan karir Rose Pandanwangi dalam dunia seriosa diawali ketika

bertemu dengan guru menyanyi Jepang Miakira. Oleh Miakira, Rose

diperkenalkan dengan serombongan orkes dari Jepang yang mengadakan tour

keliling di Ujung Pandang. Bakat dan warna suara Rose ternyata cocok dengan

selera orkes tersebut maka ia diikutkan pada orkes tersebut. Sukses sebagai

penyanyi solo orkes, oleh ayahnya pada tahun 1947 dikirim ke Eropa untuk

memperdalam musik. Di Eropa inilah bakat Rose dibidang tarik suara khususnya

seriosa dapat berkembang. Tahun 1952 ia pulang ke Indonesia. Tahun 1958

untuk pertama kalinya mengikuti lomba bintang radio jenis seriosa dan merebut

juara III. Tahun 1959 ia mengikuti lomba lagi, dan berhasil mengalahkan

penyanyi legendaris seriosa Indonesia Norma Sanger. Prestasinya diulang lagi

ketika tampil menjadi juara nasional di Senayan tahun 1981. Sejak tahun 1958

sampai 1965, ia telah mengumpulkan 14 piala kemenangan baik untuk tingkat

DKI (Daerah Khusus Ibukota) maupun tingkat nasional. Semenjak tahun 1965

Rose tidak aktif mengikuti lomba-lomba bintang radio untuk memberi

(23)

seriosa dan aktif mengadakan pentas di berbagai acara hiburan maupun

gereja-gereja.

Prestasinya tidak terbatas di dalam negeri, tetapi juga ke mancanegara.

Tahun 1953 ia mengikuti festival lagu klasik yang diadakan di Bucharest,

Rumania dan berhasil sebagai juara III. Selain itu juga aktif pentas panggung

hiburan antara lain di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, dan Lembaga Indonesia Amerika. Model suaranya untuk tahun-tahun berikut hingga kini,

dianggap sebagai contoh paling baik untuk seriosa. Nama wangi baru

dikenal tahun 1958, sebelum itu ia memakai nama Rose Sumabrata, dan dengan

nama ini ia telah pula menyanyi di beberapa negeri di luar Indonesia. Sepeninggal

suaminya ia merawat galeri yang terletak di Pasar Minggu.

2.3.6 Catharina Wiriadinata Leimena

Catharina Wiriadinata Leimena lebih akrab dengan panggilan Catharina

Leimena. Lahir pada tanggal 12 September 1942. Sejak kecil bakat suaranya telah

tampak oleh guru seni suara pada saat itu, ibu Nel Hakim, yang kemudian menjadi

guru pianonya. Ia sering ditampilkan sebagai solist pada beberapa pagelaran

paduan suara dan oratorium, dengan pembina vokal privatnya seorang guru vokal

berkebangsaan Jerman, Madame Botterberg Schimieden. Sewaktu mahasiswa ia

memenangkan juara I untuk kategori seriosa dan mendapat beasiswa dari

pemerintah Italia untuk memperdalam seni vokal dan opera. Dengan bimbingan

dari Professora Anzeloti Zurlo (pangajar di Academia di Santa Cecilia) selama

(24)

Milano dibawah bimbingan professora Clotilde Ronchi dan mempelajari seni

opera di bawah bimbingan Professora Carla Castelanni. Pada tahun 1965 lulus

dengan meraih. Pada tahun 1965 lulus dengan meraih ”diploma per il canto

artistico” dan berhak turut dalam pagelaran-pagelaran yang diselenggarakan oleh

Konservatorium tersebut, antara lain dalam pagelaran karya-karya Monteverdi

dengan dirigen muda Riccardo Muti di hadapan Sri Paus Paulus VI di Vatican dan

Theatre Lugano di Swiss. Peran-peran opera yang pernah diperankan Catharina

antara lain, sebagai La Cleca dalam Opera La Gioconda karya komponis

Ponchiello; Azucena dalam Opera Il Trevatore karya Guiseppe Verdi; Mama

Lucia dalam Opera Cavaleria Rusticana karya Pietro Mascagni, Adalgisa dalam

Opera La Norma karya V. Bellini.

Sekembalinya ke Indonesia, Catharina mengadakan resital-resital tunggal

dengan pianis Iravati M. Sudiarso di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta.

Untuk memberikan apresiasi seni opera di Indonesia, Catharina membentuk

sanggar Opera ”Susvara”, dengan bekerjasama dengan beberapa grup paduan

suara, ballet, dan teater sempat mementaskan beberapa opera di Jakarta dan

Bandung. Pada tahun 1981 ia mendapat penghargaan dari ”Instituto Antonio

Pigafetta” dalam keberhasilannya memberi apresiasi untuk seni tersebut, dan Duta

Besar Italia mendatangkan dua kali grup opera dari Italia dengan pementasan ”Il

Barbieri di Siviglia” karya Rossini dan ”La Boheme” karya Giacomo Puccini, di

Jakarta.

Catharina juga bermain dalam berbagai opera dan menyanyi solis dalam

(25)

Studio Cantorum dan Bandung Choral Society. Menjadi salah satu penyanyi

dalam Night of Miracles yang diadakan oleh Rotary Club Jakarta di Hotel

Dharmawangsa. Terakhir pada 22 Agustus 2003. Ia tampil dalam resital tunggal

”Konser Vokal Emas” dalam rangkaian acara 50 tahun Yayasan Pendidikan

Musik.

Selain bernyanyi ia juga aktif menjado peserta ”International Choral

Symposium” di Rotterdam, Netherland. Menjadi pengamat pada Choir Olympic II

di Busan, Korea, menjadi peserta dalam Internatioanal Choral Symposium for

East-Asia di Singapura, memberikan beberapa materi dalam Church Choral

Symposium yang diadakan oleh Banding Choral Society pada bulan Juli 2003.

Saat ini aktif menjabat sebagai dosen di Sekolah Musik YPM dan Institut

Kesenian Jakarta, mengajar secara privat serta menjadi juri dalam berbagai

kompetisi dan festival paduan suara.

2.3.7Christine Theodosia Lubis

Lahir pada tanggal 1 Desember 1981 di Tanjung Balai. Nama lengkapnya

adalah Christine Theodosia Lubis. Mengenal musik sejak usia 5 tahun dari

keluarganya, khususnya ibunya sendiri R.Hutauruk. Tahun 1996 masuk Sekolah

Menengah Musik Negeri Medan dibawah bimbingan ibu Juliana Hutagalung. Ia

memperdalam pengetahuan musik vokalnya di Institut Kesenian Jakarta hingga

tahun 2003 dibawah bimbingan ibu Catharina Leimena. Mengikuti beberapa

(26)

Tenore dan Soprano dari Portugal dan Italia serta terakhir adalah dengan Monica

Bozzo dan Guiseppe Belancca (soprano-tenore) dari Italia di sekolah Musik YPM

Jakarta, pada April 2007.

Memiliki pengalaman sebagai penyanyi solis soprano, diantaranya:

Jak@rta Performance bersama Trisutji Kamal dan Catharina Leimena di Geding

Kesenian Jakarta pada Juni 2004; mendapat peran Donna Elvira, Dorabella dan

Pamina dalam pagelaran ”Catch A Glimpse of Mozart’s Opera” (Le Nozze di

Figaro, Don Giovanni, Cosi fan Tutte, Die Zauberflote) di GoetheHaus Jakarta

pada Januari 2007; sebagai solis menyanyikan beberapa cuplikan oratorium pada

pagelaran bertajuk ”The Seven Last Words Of Christ” karya T.Dubois, produksi

Susvara Opera Company di Gedung Kesenian Jakarta tahun 2008; Juara Bintang

Radio se-DKI Jakarta; Juara Bintang Radio Tingkat Nasional di Makassar pada

November 2009; menjadi solis soprano dalam pra konser ”One Voice, One heart”

bersama Cherubim Choir GII Hok Im tong di YMCA Auditorium Singapore pada

Oktober 2011; pembicara dalam seminar “Vocalizing and Choral Workshop

Program” dalam rangka Aldersgate Gereja Methodist Indonesia di Medan pada

November 2011; menjadi salah satu solist soprano dan vocal director dalam

“Victorious Journey” premiere concert Cantiamo La Verita di auditorium RRI,

Jakarta 20 Mei 2013. Di awal September 2013 mendapat kepercayaan menjadi

solist soprano mewakili Indonesia dalam misi kebudayaan ASEAN yang bertajuk

(27)

2.4 Musik Klasik di Indonesia

Pada bagian Pendahuluan sudah memaparkan bagaimana proses panjang

dan sentuhan awal masuknya musik klasik barat di Indonesia. Awal masuknya

musik diatonis barat di Indonesia tidak terlepas dari kedatangan orang-orang barat

dengan tujuan utama untuk perdagangan dan politik. Tahun 1511 merupakan titik

awal pengaruh barat di Indonesia, ditandai dengan datangnya sebuah kapal

Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d'Albuquerque ke pulau Maluku. Setelah

kedatangan Portugis, negara-negara barat lainnya juga berdatangan ke Indonesia

untuk berdagang, diantaranya; bangsa Belanda datang pada tahun 1596, bangsa

Spanyol datang pada tahun 1906, dan bangsa Inggris datang pada tahun 1619.

Kedatangan orang barat ke Indonesia pada waktu itu untuk berdagang

memberi dampak bukan hanya kepada bidang ekonomi akan tetapi membuka

ruang untuk memahami budaya masing-masing. Kebiasaan budaya di barat

tentunya akan tetap dibawa masyarakatnya dimanapun mereka berada. Inilah

keyataan yang terjadi pada era kedatangan bangsa barat ke Indonesia, mereka

membawa kebiasaan-kebiasaan budayanya seperti halnya pesta dan musik.

Proses ini dapat dipahami sebagai cikal bakal terjadinya akulturasi budaya

dan adanya kesempatan untuk belajar budaya luar. Pada masa penjajahan,orang

Barat mulai mempekerjakan orang pribumi sebagai penghibur. Sebagai penghibur

dalam hal bermain musik, berarti orang indonesia sudah mendapatkan sentuhan

awal mengenai pendidikan musik barat terlepas apakah pengetahuan musiknya

(28)

Pada tahun 1574, Portugis menjadikan bentuk pertunjukan musik sebagai

cara untuk melakukan kerjasama-kerjasama dalam berbagai hal. Orang-orang

pribumi sudah ikut terjun dalam kelompok ansambel tersebut. Hal ini dikuatkan

tulisan Smith (1968:117) yang mengatakan bahwa ia telah membuat kelompok

musisi di kapalnya yang bertujuan untuk menghibur raja-raja lokal. Dr. F de Haan

menulis bahwa seorang pejabat Belanda yang bernama Cornelis de Bevere tahun

1689 sudah mengambil tiga budak asli (orang pribumi) sebagai musisi yang

ditugaskan untuk memainkan instrumen seperti kontra bas, biola, dan kecapi.

Sejak abad ke-17 perkembangan awal musik barat di Jawa telah berada di

bawah administrasi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Belanda di Indonesia. Menurut Raden, bahwa Perusahaan Hindia Belanda pada tahun 1957

telah membuat rencana untuk mendirikan organisasi seni yang memungkinkan

dilakukannya kegiatan pertunjukan musik. Berg dalam bukunya Het Tooneel te Batavia di Vroegeretijd menyebutkan bahwa repertoar musik mereka adalah musik vokal atau instrumental. Musik yang dimainkan sama dengan apa yang

dipelajari di negara barat.

Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa musik barat di Indonesia

tetap mengalami perkembangan sampai pada tahap pada orang-orang Indonesia

mampu berkarya dalam menciptakan musik dengan pendekatan teori musik barat

baik dalam musik instrumental maupun dalam musik vokal. Pada tahun 1950-an

lahirlah komponis-komponis musik klasik Indonesia seperti: Amir Pasaribu,

Moctar Embut dan Cornel Simanjuntak. Karya-karya komposisi yang diciptakan

(29)

Gambar 2.1. Partitur Lagu “Si Bongkok dengan Sulingnya” Sumber: Manuskrip Karya Piano Amir Pasaribu

Geliat perkembangan musik klasik Barat di Indonesia sangat terasa pada

tahun 1950-an ditandai dengan semakin banyaknya orang pribumi yang mampu

bermain musik barat dan menciptakan musik dengan pendekatan konsep

komposisi barat. Salah satu pelopor musik klasik barat di Indonesia adalah Amir

(30)

tinggi untuk instrumen cello. Ia lolos audisi untuk menempati posisi pemain cello

dalam Orkes Radio van Batavia. Amir Pasaribu juga banyak bermain musik di

berbagai orkes simfoni dan perkumpulan-perkumpulan yang lebih kecil (sering

disebut kunstkring). Kunstkring adalah salah satu organisasi musik yang memiliki program mendatangkan grup-grup musik klasik dari luar negeri.22

22

Eitha Rohana Sitourus, 2009. Amir Pasaribu-Komponis, Pendidik & Perintis Musik

Perang Dunia II tahun 1942, Jepang menghadapi Amerika Serikat, Inggris,

Belanda. Akhirnya, Jepang mengalahkan Belanda dan Jepang berhasil masuk ke

Indonesia. Pemerintahan Belanda digantikan oleh pemerintahan Jepang. Awal

pemerintahan Jepang, ada dua hal yang menjadi prioritas di Indonesia, yaitu

memobilisasi rakyat Indonesia untuk kepentingan dan menghapus

pengaruh-pengaruh barat di Indonesia.

Kedatangan Jepang ke Indonesia membawa perubahan di dalam kehidupan

musik, yaitu didirikannya Kulturkammer (Keimin Bunka Shidoso) sebagai bentuk peraturan dalam berkesenian. Jepang melarang segala seni yang bukan berasal

dari Indonesia, terkecuali musik klasik, dan memuja-muja ketimuran. Selain

musik klasik, musik keroncong juga diperbolehkan, akan tetapi untuk syair

nyanyian yang berbau barat harus dibuang.

Salah satu cara yang dilakukan Jepang dalam mengurangi pengaruh Barat

dan menciptakan Asia Raya adalah dengan melarang pemakaian bahasa Belanda

dan Inggris. Bukan hanya melarang pemakaian bahasa, Jepang juga melakukan

(31)

Kehidupan musik pada masa pemerintahan Jepang tetap berjalan seperti

biasanya terlihat dengan adanya bentuk orkes musik yang pada waktu disebut

Hoshio Kyioku Kangen gakku (Orkes Tiup Radio) yang dipimpin konduktor Jepang, Nobuo Ida dan Nikolai Farvolomeyef dari Rusia. Amir Pasaribu juga ikut

dalam orkes ini sebagai pemain cello.

Amir Pasaribu, Cornel Simanjuntak dan Binsar Sitompul sama-sama

bekerja di Keimin Bunka Shidos (Pusat Kebudayaan) sebagai pengarang lagu-lagu propaganda. Musik yang mereka ciptakan kemudian diputar di Radio Republik

Jakarta. Dalam kondisi semua aktivitas telah dibatasi dalam berkarya, semua

karya musik tidak boleh lagi mencerminkan musik barat maka timbul kesadaran

para komponis Indonesia untuk berkarya dengan memasukkan idiom nusantara

dalam karya mereka. Selain itu, penggunaan syair dalam bahasa Indonesia dalam

konsep teori barat dijadikan sebagai sarana dalam membangkitkan rasa

nasionalisme. Lagu-lagu yang diciptakan banyak yang bertemakan perjuangan.

Musik vokal berkembang dan hidup pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.

Kecenderungan penciptaan karya komposisi vokal dengan kerjasama antara

penyair dan komposer, yaitu syair terlebih dahulu dibuat, kemudian iringan

musiknya dalam kesatuan emosi dan ekspresi oleh komposer. Penyair-penyair

Indonesia pada saat itu adalah Sanusi Pane, Armijn Pane, Umar Ismail dan

pengarang lagu adalah Cornel Simanjuntak, Kusbini dan Tjoh Shinsu.

Konsep komposisi pada saat itu memberikan jalan bagi lahirnya musik

seriosa yang dikenal seperti saat ini. Pelopor musik seriosa yang diprakarsai oleh

(32)

Konsep komposisi dengan pendekatan teori barat dan syair dalam Bahasa

Indonesia adalah ciri khas dari musik seriosa.

Pembelajaran tentang musik barat di Indonesia dalam wadah informal baru

terbentuk tahun 1952 yaitu, berdirinya Sekolah Musik Indonesia (SMIND). Akan

tetapi perlu dipahami bahwa sebelum terbentuknya sekolah informal ini,

pembelajaran musik secara informal (privat) terus berjalan. Pendapat ini diperkuat oleh Surtihadi dalam artikelnya yang berjudul Peranan Tan Thiam

Dalam Musik Barat Di Indonesia. Tulisannya ini menunjukkan bahwa Tan Tham

Kwie sudah memperoleh pendidikan musik tahun 1920-an.

Sebelum terbentuknya SMIND tahun 1952, terlebih dahulu dibentuk

panitia untuk pembukaan Sekolah Tinggi Kesenian pada tanggal 7 Agustus 1952.

Panitianya terdiri dari (1) Koentjara Poerbopranoto sebagai Penasehat Jawatan

Kebudayaan Kementerian P.P dan K, sekaligus merangkap Ketua; (2)

Soedarsono, Kepala Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P dan K. merangkap

Sekretaris; (3) Prof. Mr. Poerbotjaroko, guru besar Fakultas Sastra dan Filsafat

Universitas Indonesia; (4) Prof. Mr. Djikosoetono, guru besar Fakultas Hukum

dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia; (5) Katamsi, Direktur

Akademi Seni Rupa Indonesia; (6) Soemardja, pimpinan Akademi Seni Rupa

Indonesia; (7) Pangeran Soejohamidjojo, pimpinan konservatori Karawitan

Indonesia; (8) Indro Soegondo, Kepala Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan

Kementerian P.P dan K; (9) Ki Hadjar Dewantara, Anggota DPR; dan (10)

(33)

Lokasi untuk mendirikan sekolah musik pertama di Indonesia sempat

menjadi polemik, ada yang menginginkan dibuat di Jakarta dan di Yogyakarta.

Pertimbangan pemilihan lokasi di Jakarta menurut Amir Pasaribu dikarenakan

pada masa penjajahan Belanda, pertunjukan musik orkes dan kamar sudah berada

di Jakarta. Dipihak lain, ada yang berpendapat bahwa musik klasik Indonesia

seperti karawitan sudah terbentuk di Yogyakarta sehingga tenaga pengajar musik

lebih memungkinkan. Walaupun polemik terjadi, pada akhirnya pada bulan

Januari 1952 sebuah sekolah musik pertama di Indonesia didirikan di Yogyakarta.

Direktur pertama yang memimpin SMIND adalah Ir. S. Prawironegoro. 24

Suka Hardjana dalam Surtihadi mengatakan bahwa gagasan untuk

membuka Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta pada tahun 1952 dikemukakan

oleh dua tokah nasional Moh. Yamin dan Sultan Hamengku Buwana IX. Tokoh

musik berkebangsaan Belanda Henk te Strake pada waktu itu masih menjabat

dirigen Orkes Radio Djakarta (ORD) dan bersedia hijrah ke Yogyakarta untuk

turut memikirkan gagasan Sekolah Musik Indonesia.

Ketika Sekolah Musik Indonesia berdiri tahun 1952, tercatat hanya lima

orang tenaga guru pribumi dan satu keturunan Tionghoa, yakni: Soewandi dan

Tan Thiam Kwie (violin), Djoned Sastro Puspito (trombone), Pradjawaditra

(flute), dan Soekimin (klarinet). Sebahagian besar tenaga guru adalah orang asing

yang memang para pemain orkes besar yang ada pada waktu itu, termasuk Henk

(34)

Perkembangan pendidikan musik Indonesia untuk level konservatori

adalah didirikannya Akademi Musik Indonesia yang dikemudian hari menjadi

bagian dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pengajar musik di AMI juga

berasal dari luar negeri disamping itu juga masih ada tenaga guru pengajar

Indonesia seperti Than Thiam Kwie.

Than termasuk salah satu pelopor pendidikan musik Barat yang dipercaya

saat itu. Peranannya di dua institusi musik SMIND dan AMI sangatlah besar.

Peranan itu terutama di dalam spesialisasinya pada pembelajaran metode dan

praktik instrumen violin.

Perkembangan pendidikan seni dalam jenjang perguruan tinggi di

Indonesia tersebar di berbagai daerah seperti; Institut Kesenian Jakarta, Institut

Seni Indonesia Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Surakarta, Institut Seni

Indonesia Padangpanjang, Institut Seni Indonesia Denpasar, Sekolah Tinggi Seni

Indonesia (STSI) Bandung, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW)

Surabaya. Pendidikan Tinggi Seni di Sumatera Utara yang menawarkan

kurikulum musik dan Pengkajian Seni dalam musik Barat seperti: Prodi (Program

Studi) Magister Pengkajian dan Penciptaan Seni dan Jurusan Etnomusikoli di

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Prodi Seni Musik Fakultas

Bahasa dan Seni Universitas HKBP Nommensen dan Prodi Seni Musik

Universitas Negeri Medan. Untuk tingkat menengah kejuruan, terdapat SMK 11

Medan.

Persebaran musik Barat (baik instrumental dan vokal) dapat dikatakan

(35)

pendidikan seni yang bermunculan di tanah air. Persebaran musik barat dapat

dilihat dengan banyaknya lembaga musik informal yang menawarkan pendidikan

Gambar

Gambar 2.1. Partitur Lagu “Si Bongkok dengan Sulingnya” Sumber: Manuskrip Karya Piano Amir Pasaribu

Referensi

Dokumen terkait

Aanwijzing (penjelasan) : objek lelang dapat dilihat pada hari Rabu dan Kamis tanggal 21 s/d 22 Desember 2016 pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB bertempat di : Kantor

Sistem Informasi RSUD merupakan sebuah website yang sengaja dibuat untuk membantu masyarakat khususnya para pengguna internet agar lebih mudah dalam mencari informasi tentang

[r]

Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA SOLOK TENTANG PENJUALAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN PELELANGAN TERBATAS..

Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah terlebih dahulu mencari solusi awal yang layak dengan menggunakan metode Northwest Corner dan menghitung total biaya transportasi

Dalam kehidupan nyata, salah satu contoh aplikasi s panning tree adalah menentukan rangkaian jalan dengan jarak total seminimum mungkin yang menghubungkan semua kota

Hal tersebut relevan dengan hasil penelitian Hasanah (2014, p.4) salah satu penyebab hasil belajar siswa rendah karena masalah dalam lingkungan keluarga siswa di antaranya;

Target dan realisasi kegiatan Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis BPKP sampai dengan Triwulan II tahun 2017 sebagai berikut:.. Tanret Per T r lwulan