• Tidak ada hasil yang ditemukan

Musik Dan Realitas Sosial (Analisis Semiotika Dalam Lagu Iwan Fals “Surat Buat Wakil Rakyat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Musik Dan Realitas Sosial (Analisis Semiotika Dalam Lagu Iwan Fals “Surat Buat Wakil Rakyat)"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2. 1 Perspektif / Paradigma Kajian

Perspektif adalah suatu kerangka konseptual (conceptual framework), suatu perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang mempengaruhi persepsi kita dan pada gilirannya mempengaruhi cara kita bertindak dalam suatu situasi. Oleh karena itu, tidak ada seorang ilmuan yang berhak mengklaim, bahwa perspektifnya yang benar atau sah, sedangkan perspektif lain salah. Seperti dikemukakan Tucker, oleh karena suatu paradigma adalah suatu pandangan dunia dalam memandang segala sesuatu, paradigma mempengaruhi pandangan kita mengenai fenomena, yakni teori. Teori digunakan peneliti untuk menjustifikasi dan memandu penelitian mereka. Mereka juga membandingkan hasil penelitian berdasarkan teori itu untuk lebih jauh mengembangkan dan menegaskan teori tersebut. Tingkat perkembangan teoritis suatu bidang akademik merupakan indeks kecanggihan dan kematangan disiplin tersebut. Seraya merujuk kepada Kuhn, Tucker dalam buku Deddy Mulyana, mengatakan bahwa disiplin yang belum matang ditandai dengan persaingan di antara paradigm-paradigma, kurangnya

khasanah teori yang terintegerasi, dan pengumpulan fakta yang bersifat acak. Namun pendapat Kuhn mungkin hanya cocok untuk ilmu–ilmu alam dan eksakta. Bagi sebagian ilmu sosial, keistimewaan ilmu sosial, justru keanekaragaman perspektifnya. Objek ilmu–ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas) memang berada dengan objek ilmu sosial, yakni manusia, yang mempunyai jiwa dan kemauan bebas. Persaingan paradigma dalam disiplin komunikasi, misalnya, antara lain disebabkan rumitnya fenomena komunikasi. Frank Dance mengakui, disiplin komunikasi tidak punya grand theories, sejumlah teori parsial dan banyak teori yang partikularistik, berdasarkan alasan berikut.

 Sifat prosesual komunikasi yang menyulitkan prediksi.

 Sifat komunikasi yang hadir dimana–mana membuat penjelasan

menjadi sulit.

(2)

 Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan paradigmatik.  Persaingan antara disiplin–disiplin yang berkaitan.

Dalam bidang keilmuan, sekali lagi, perspektif akan mempengaruhi definisi, model atau teori kita yang pada gilirannya mempengaruhi cara kita melakukan penelitian. Perspektif tersebut menjelaskan asumsi–asumsinya yang spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam bidang yang bersangkutan. Perspektif menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan

bagi penelitian dan metode yang sesuai untuk menemukan hubungan di antara fenomena, yang kelak disebut teori (Mulyana, 2004: 17).

Peneliti memandang bidang ilmunya secara berbeda, ia cenderung menafsirkan fenomena yang sama dengan cara yang berbeda pula. Oleh karena tidak adanya paradigma, model dan sudut pandang yang diterima secara universal, semua interpretasi yang beraneka ragam dan sering tidak konsisten itu sama–sama absah. Keragaman paradigma berguna karena hal itu memberikan berbagai perspektif mengenai fenomena yang sama. Agar metode itu disebut ilmiah, kita harus dapat memahami apa yang kita lakukan, dan bagaimana kesimpulan yang kita peroleh. Berdasarkan kriteria ini, hampir semua metode bersifat ilmiah bila peneliti dapat mempertahankan pengamatan dan hasilnya secara sistematis dan teratur karena ada kejelasan dari panduan yang ada, antara lain memperhatikan tingkat kepercayaan data dan tafsiran, serta keterbukaan terhadap kritik dari public. Seperti ditegaskan Tucker, bila suatu paradigma menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena, paradigma itu memperoleh lebih banyak pendukukung. Lebih banyak lagi ilmuan yang mengeksplorasi, memperbaiki dan menyempurnakan paradigma tersebut. Penelitian–penelitian dan laporan–laporan penelitian berdasarkan paradigma tersebut berlipat ganda sementara paradigma– paradigma saingannya memperoleh sedikit perhatian. Lebih banyak orang menerima paradigma yang bersangkutan dan para penentangnya tersisihkan.

Menurut Tucker, paradigma tersebut berkembang sepanjang terus memungkinkan kita berhasil mengatasi problem kita dan menjelaskan fenomena yang kita teliti (Mulyana, 2004: 18).

(3)

terhadap dunia. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, abash dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisnya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2004: 9).

2.1.1 Perspektif Konstruktivisme

Konstruktivisme sebagian didasarkan pada teori George Kelly tentang gagasan pribadi yang menyatakan bahwa manusia memahami pengalaman dengan berkelompok serta membedakan kejadian menurut kesamaan dan perbedaannya. Perbedaan yang dirasakan tidak terjadi secara alami, tetapi ditentukan oleh hal–hal yang bertentangan dalam sistem kognitif individu. Pasangan yang bertentangan, seperti tinggi/pendek, panas/dingin dan hitam/putih yang digunakan untuk memahami kejadian dan banyak hal, disebut gagasan pribadi. Gagasan ini merupakan sumber nama dari teori Kelly teori gagasan pribadi. Sistem kognitif seseorang terdiri dari bannyak perbedaan. Dengan memisahkan

pengalaman ke dalam kategori–kategori, individu memberinya pemaknaan. Sebagai contoh, anda mungkin melihat ibu anda sebagai seseorang yang tinggi dan ayah anda sebagai seseorang yang pendek, kopi itu panas dan susu itu dingin, jaket favorit anda berwarna hitam dan topi favorit anda berwarna putih. Gagasan disusun ke dalam skema interpretif yang mengidentifikasi sesuatu dan mendapatkan sebuah objek dalam sebuah kategori. Dengan skema interpretif, kita memahami sebuah kejadian dengan mendapatkannya dalam sebuah kategori yang lebih besar (Littlejohn, 2011: 180).

(4)

ditetapkan, bagaimana tujuan dicapai, seperti jenis–jenis gagasan yang digunakan dalam skema kognitif.

Pengumpulan kepatuhan adalah salah dari beberapa jenis komunikasi yang telah diteliti dari sebuah sudut pandang yang terpusat pada orang. Pesan persuasive berkisar dari yang paling sedikit hingga yang paling terpusat pada orang. Pada tingkat yang paling sederhana, misalnya, seseorang dapat mencoba untuk mencapai satu tujuan kepatuhan dengan memberi perintah atau ancaman. Ada tingkat yang lebih kompleks, seseorang juga dapat mencoba membantu orang lain memahami kenapa kepatuhan itu penting dengan memberikan alasan– alasan untuk patuh. Pada sebuah tingkat kerumitan yang jauh lebih tinggi, seorang pelaku komunikasi dapat mencoba untuk mendapatkan simpati dengan membangun empati atau pemahaman terhadap sebuah situasi. Ketika pesan seseorang menjadi lebih kompleks, mereka perlu menggunakan lebih banyak tujuan dan lebih terpusat pada orang.

Pesan–pesan yang menghibur juga telah diteliti dari sudut pandang seorang ahli konstruktivis. Manusia mencoba untuk memberikan dukungan sosial bagi orang lain dalam berbagai cara dan beberapa metode ini lebih canggih dari yang lain. Peneliti tentang pesan–pesan yang

menghibur secara umum mendukung pandangan bahwa individu yang lebih kompleks secara kognitif menghasilkan pesan yang lebih canggih daripada individu yang kurang kompleks, bahwa pesan–pesan yang canggih lebih terpusat pada orang daripada pesan yang kurang canggih dan bahwa semakin canggih pesannya, maka semakin efektif dalam memberikan kenyamanan daripada pesan yang kurang canggih.

Sama canggihnya, konstruktivisme pada dasarnya masih merupakan sebuah teori pemilihan strategi. Prosedur penelitian konstruktivis biasanya meminta subjek untuk memilih jenis–jenis pesan yang berbeda dan membaginya menurut kategori–kategori strategi (Littlejohn, 2011: 181).

(5)

Little Jhon mengatakan bahwa teori–teori aliran ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentuk yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat dan budaya.

Pada pandangan konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epitimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Keberagaman pola konseptual/kognitif merupakan hasil dari lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali secara terus menerus. Jadi tidak ada pengetahuan yang koheren, sepenuhnya transparan dan independent dari subjek yang menamati. Manusia ikut berperan, ia menentukan pilihan perencanaan yang lengkap, dan menuntaskan tujuannya di dunia. Pilihan–pilihan mereka buat dalam kehidupan sehari–hari lebih sering didasarkan pada pengalaman sebelumnya, bukan pada prediksi secara ilmiah teoritis.

Bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan

(6)

tertentu juga dalam ilmu–ilmu alam, seperti yang ditunjukkan dalam fisika kuantum.

Konsekuensinya, kaum konstruktivis menganggap tidak ada makna yang mandiri, tidak ada deskripsi yang murni objektif. Kita tidak dapat secara transparan melihat “apa yang ada di sana” atau “yang ada di sini” tanpa termediasi oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial. Semesta yang ada di hadapan kita bukan satu yang ditemukan, melainkan selalu termediasi oleh paradigma, kerangka konseptual, dan bahasa yang dipakai. Karena itu, pendekatan yang aprioristic terhadap semesta menjadi tidak mungkin. Ide tentang tidak adanya satu representasi dan ketersembunyian semesta membuka peluang pluralisme metodologi, karena tidak adanya satu representasi yang memiliki aksen istimewa terhadap semesta.

Bahasa bukan cerminan semesta akan tetapi sebaliknya bahasa berperan membentuk semesta. Setiap bahasa mengkonstruksi aspek-aspek spesifik dari semesta denga carannya sendiri (bahasa puisi/sastra, bahasa sehari–hari, bahasa ilmiah). Bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial serta memiliki sifat yang tidak permanen, sehingga terbuka dan mengalami evolusi. Berbagai versi tentang objek–objek dan tentang

dunia muncul dari berbagai komunitas sebagai respon terhadap problem tertentu, sebagai upaya mengatasi masalah tertentu dan cara memuaskan kebutuhan dan kepentingan tertentu. Masalah kebenaran dalam konteks konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi atau representasi, melainkan masalah kesepakatan pada komunitas tertentu (Ardianto, 2007: 153).

2.1.2 Sejarah Perspektif Konstruktivisme

(7)

Aspek berfikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari suatu level ke level lain. Ini menyangkut operasi intlektual atau sistem transformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan kata lain, aspek yang lebih esensial dari berfikir adalah aspek

operatif. Berfikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dari suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi.

Secara ringkas dalam buku Filsafat komunikasi Ardianto, gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:

a) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. b) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang

perlu untuk pengetahuan.

c) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman–pengalaman seseorang (Ardianto, 2007: 155).

Konstruk Hubungan Dalam Komunikasi

(8)

menggambarkan dan mengambil kesimpulan karakteristik psikologi para pendengarnya secara internal

Faktor lain yang mempengaruhui proses komunikasi berbasis diri adalah konsep tentang tujuan. Setiap individu dalam interaksinya selalu berusaha untu memanejen tujuan. Tujuan itu bisa bersifat instrumental (seperti, mengajak atau memberitahukan seseorang) dan relasional (mendukung, penampilan seseorang, menunjukan pesona diri). B.J O’keefe Dan Delia (1982) menyatakan bahwa pesan berbasis-diri lebih kompleks dalam tindakannya karena mereka menentukan tujuan yang beragam. O’Kefee menggunakan trem kompleksitas tindakan (behavioural complexity) untuk merujuk pada bagaimana kebutuhan yang kompleks ini diatur dalam suatu interaksi. Produksi pesan yang kompleks ini bisa dikaitkan dengan kompleksitas kognitif. Secara khusus, individu dengan konstruk sistem yang berbeda akan membuat definisi yang kompleks tentang situasi antarpesona dan akan, sebagai hasil, memproduksi pesan yang lebih bersifat kompleks serta lebih terpusat pada diri (Ardianto, 2007: 163).

Penelitian pada hakikatnya merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha untuk

mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu. Model-model tersebut biasanya disebut dengan paradigma. Paradigma merupakan model atau pola tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi.

2. 2 Kajian Pustaka

(9)

Komunikasi

Frank Dance mengambil sebuah langkah besar dalam mengklarifikasikan konsep kasar ini dengan menggarisbawahi sejumlah elemen yang digunakan untuk membedakan komunikasi. Ia mendapatkan tiga poin dari “perbedaan konseptual yang penting” yang membentuk dimensi–dimensi dasar komunikasi. Dimensi yang pertama adalah tingkat pengamatan atau keringkasan. Beberapa definisi termasuk luas dan bebas; yang lainnya terbatas. Sebagai contoh, definisi komunikasi sebagai “proses yang menghubungkan semua bagian–bagian yang terputus” merupakan definisi yang umum. Definisi yang lain, komunikasi sebagai “sebuah sistem (misalnya telefon atau telegraf) untuk menyampaikan informasi dan perintah (misalnya di Angkatan Laut) yang bersifat membatasi”.

Perbedaan yang kedua adalah tujuan. Beberapa definisi hanya memasukkan pengiriman dan penerimaan pesan dengan maksud tertentu; yang lainnya tidak memaksakan pembatasan ini. Berikut ini adalah contoh definisi yang menyebutkan maksud: “situasi–situasi tersebut merupakan sebuah sumber yang mengirimkan sebuah pesan kepada penerima dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi perilaku penerima”. Sebuah definisi yang tidak memerlukan tujuan adalah sebagai berikut: “Komunikasi merupakan sebuah proses menyamakan dua atau beberapa hal mengenai kekuasaan terhadap seseorang atau beberapa orang”.

(10)

penting apakah informasi diterima dan dipahami atau tidak (Littlejohn, 20011; 5).

Komunikasi adalah hal yang paling wajar dalam pola tindakan manusia, tetapi juga paling komplit dan rumit. Bagaimana tidak, komunikasi sudah berlangsung semenjak manusia lahir, dilakukan secara wajar dan leluasa seperti halnya bernafas, namun ketika harus membujuk, membuat tulisan, mengemukakan pikiran dan menginginkan orang lain bertindak sesuai dengan harapan kita, barulah disadari bahwa komunikasi adalah sesuatu yang sulit dan berbelit–belit.

Dalam mendefinisikan atau menafsirkan komunikasi juga terjadi kesulitan. Kesulitan ini muncul Karena konsep komunikasi itu sendiri adalah sesuatu yang abstrak dan mempunyai berbagai makna. Kesulitan lainnya karena makna komunikasi yang digunakan sehari–hari berbeda dengan penggunaan komunikasi yang dimaksud oleh para ahli komunikasi untuk kepentingan keilmuan.

Sejak tahun empat puluh atau tepatnya era 1930-1960, definisi– definisi mengenai komunikasi telah banyak diungkap, ketika itu para ahli di Amerika Serikat mulai merasakan kebutuhan akan “Science of Communication”, di antaranya adalah Carl I. Hovland, seorang sarjana psikologi yang menaruh perhatian pada perubahan sikap.

Menurutnya, ilmu komunikasi adalah “suatu usaha yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas–azas dan atas dasar azas–azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap (a systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by

which information is transmitted and opinions and attitudes are formed). Adapun mengenai komunikasinya sendiri, Hovland merumuskan sebagai “proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang– perangsang (biasanya lambang–lambang dalam bentuk kata-kata) untuk untuk merubah tingkah laku orang lain atau komunikate (Purba, 2006: 29).

(11)

semenjak kita lahir, dilakukan dengan wajar dan leluasa seperti halnya bernafas, namun ketika harus membujuk, membuat tulisan, mengemukakan pikiran dan menginginkan orang lain bertindak sesuai dengan harapan kita, barulah disadari bahwa komunikasi adalah suatu yang sulit dan berbelit-belit. Proses komunikasi lain misalnya yang dikembangkan oleh Herbert G Hicks dan C Ray Gullet yang didasarkan pada model David K. Berlo dan model yang dikembangkan oleh Wilbur Schramn, menggambarkan komunikasi dimulai dari sumber sebagai titik awal komunikasi itu berasal. Dalam diri sumber terjadi proses pengkodean (encoding) yakni ketika ide dirubah menjadi kode atau simbol bahasa, gerak gerik dan sebagainya di alam pikiran kemudian diekspresikan menjadi sebuah pesan berupa produk fisik seperti kata – kata yang diucapkan, dicetak, ekspresi wajah yang disampaikan melalui saluran tetrtentu kepada penerima. Pesan tersebut diterima berupa ide atau simbol yang terlebih dahulu melalui proses pembacaan kode (decoding) dalam diri penerima dengan menyusun kembali guna memperoleh pengertian. Demikian selanjutnya terjadi proses yang sama dalam diri komunikan yang berubah menjadi komunikator (sumber) yaitu proses

encoding maupun decoding dalam menyampaikan pesan sebagai feedback

atau respon. Proses ini terus berlanjut secara sirkuler sampai akhirnya proses komunikasi itu berakhir. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa unsur – unsur dalam proses komunikasi menjadi semakin berkembang dengan menambah encoding, decoding dan feedback (Purba, 2006: 40)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa unsur–unsur komunikasi terdiri dari :

1. Sumber (communicator) 2. Pembentukan kode (encoding) 3. Pesan (message)

4. Saluran (channel)

(12)

7. Umpan balik (feedback) 8. Efek (effect)

(Purba, 2006: 40)

Tujuan komunikasi

Ada beberapa tujuan ilmu komunikasi yang terdapat pada buku Onong Uchjana Effendy (2003) yang berjudul Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi yaitu:

a. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion) b. Mengubah prilaku (to change the behavior)

c. Mengubah masyarakat (to change the society)

Jenis komunikasi

Sesungguhnya komunikasi bukan hanya multi makna dan multi definisi, tetapi cara membaginya pun juga bermacam – macam. Untuk memahami taksonomi (klasifikasi) komunikasi, maka kita dapat melacak pada awal pertumbuhannya sebagai ilmu.

Komunikasi dibagi atas dua bagian yaitu komunikasi media (beralat) dan komunikasi tatap muka (non media). Selanjutnya

komunikasi media dibedakan lagi atas dua jenis, yaitu komunikasi dengan menggunakan media massa (pers, radio, film dan televisi) dan komunikasi dengan menggunakan media individual (surat telegram, telepon dan sebagainya).

Jika komunikasi dititikberatkan pada sifat pesan, maka komunikasi dapat dibagi pula ke dalam dua jenis, yaitu komunikasi massa (isinya bersifat umum) dan komunikasi persona (isinya bersifat pribadi). Komunikasi massa dapat menggunakan media massa, sedangkan komunikasi persona boleh dilakukan dengan menggunakan alat seperti surat, telepon dan telegram.

(13)

dinamakan komunikasi persona, yang berlangsung dalam kelompok disebut komunikasi kelompok (ada kelompok kecil dan kelompok besar), dan yang berlangsung dengan massa, dinamakan komunikasi massa. Selain dari ketiga jenis komunikasi itu (persona, kelompok dan massa), para sosiologi menambahkan satu lagi jenis komunikasi, yaitu komunikasi organisasi yaitu komunikasi yang berlangsung didalam organisasi (formal).

Di samping itu sering pula dijumpai komunikasi dibagi berdasarkan lokasi atau kawasan, seperti komunikasi internasional, komunikasi regional dan komunikasi nasional. Tercakup di dalamnya adalah komunikasi lintas budaya, yaitu komunikasi yang berlangsung antara masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang berbeda, baik dalam lingkungan suatu bangsa (antar suku), maupun dalam lingkungan antar bangsa.

Pembagian yang lain, didasarkan kepada tujuan dan jenis pesan. Dalam hal ini komunikasi dapat dibedakan dalam banyak jenis antara lain:

a) Komunikasi Politik (kampanye,agitasi, propaganda), b) Komunikasi Perdagangan (reklame, advertensi, promosi),

c) Komunikasi Kesehatan (penyuluhan keluarga berencana). d) Komunikasi Agama (dakwa, tablig, khotbah),

e) Komunikasi Kesenian (drama, puisi, prosa,wayang), f) Komunikasi Pertanian (penyuluhan panca usaha tani).

(14)

Pesan

Pesan (message) adalah kata verbal tertulis (written) maupun lisan (spoken), isyarat (gestural), gambar (pictorial) maupun lambang–lambang lainnya yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan dan dapat dimengerti oleh komunikan.

Pesan tidak semata–mata disampaikan dalam bentuk kata–kata saja tetapi pesan juga dapat diungkapkan melalui lambang–lambang atau isyarat dalam bentuk komunikasi non verbal misalnya dengan busana berwarna hitam yang dikenakan oleh seseorang ketika sedang menghadiri upacara kemalangan akan memberikan pesan turut berduka cita. Cara seseorang tertawa lebar menyatakan pesan sangat gembira atau senang, menggelengkan kepala menyatakan tidak, berjabat tangan tanda berkenalan atau sepakat dan sebagainya akan memberi arti komunikasi bagi orang lain.

Suatu lambang verbal maupun nonverbal yang tidak dapat dimengerti atau dipahami oleh orang lain tidak dapat dikatakan pesan, sebab lambang atau simbol akan menjadi pesan apa bila terdapat kesamaan makna terhadap pesan atau dengan kata lain dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, baik komunikator maupun komunikan. Pesan

yang disampaikan seseorang secara langsung (face to face) maupun dengan media pribadi seperti telepon. Surat dan lain – lain adalah pesan yang bersifat pribadi atau intern karena ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang tertentu. Berbeda dengan pesan yang disampaikan kepada massa melalui media massa seperti radio, televisi, surat kabar, majalah dan lain – lain, bersifat umum karena ditunjukan kepada masyarakat umum dan menyangkut kepentingan umum. Hal ini merupakan karakteristik media massa sebagai salah satu yang membedakan antara komunikasi massa dengan komunikasi lainnya (Purba, 2006: 43).

(15)

penting diantaranya adalah pesan, karena pesan disampaikan melalui media yang tepat, bahasa yang di mengerti, kata-kata yang sederhana dan sesuai dengan maksud, serta tujuan pesan itu akan disampaikan dan mudah dicerna oleh komunikan. Adapun pesan itu menurut Onong Effendy, menyatakan bahwa pesan adalah: “suatu komponen dalam proses komunikasi berupa paduan dari pikiran dan perasaan seseorang dengan menggunakan lambang, bahasa/lambang-lambang lainnya disampaikan kepada orang lain”(Effendy, 2003: 224).

Pesan dapat dimengerti dalam tiga unsur yaitu kode pesan, isi pesan dan wujud pesan. Kode pesan adalah sederetan simbol yang disusun sedemikian rupa sehingga bermakna bagi orang lain. Contoh bahasa Indonesia adalah kode yang mencakup unsur bunyi, suara, huruf dan kata yang disusun sedemikian rupa sehingga mempunyai arti. Hubungan antara pesan dan tanda dibuat lebih kompleks dengan adanya tulisan dalam suatu cara yang tidak langsung. Apa yang ada dalam benak saya sesungguhnya terkonsentrasi pada fungsi genre literer dalam menghasilkan wacana sedemikian rupa menjadi sebuah model wacana, baik berupa puisi, narasi ataupun esai. Fungsi ini tidak diragukan lagi

concern dengan hubungan antara pesan dan kode dikarenakan genre

adalah alat generatif yang menghasilkan wacana sedemikian rupa menjadi sebuah model wacana, baik berupa puisi, cerita ataupun esai. Fungsi ini tidak diragukan lagi fokus hubungan antara pesan dan kode dikarenakan

(16)

Komunikasi Verbal

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal (Mulyana, 2004). Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.

Jalaluddin Rakhmat (1994) dalam buku Barker yang berjudul

Cultural Studies, mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti. Karya Saussure (1960) dalam buku Barker yang berjudul Cultural Studies,

cukup kritis dalam mengembangkan strukturalisme. Dia menyatakan bahwa makna terbangun melalui sistem perbedaan terstruktur pada bahasa. Pemaknaan lebih sebagai hasil dari aturan dan konvensi yang mengatur

bahasa (langue) ketimbang sebagai pemakaian dan ujar spesifik yang dilakukan individu dalam kehidupan sehari–hari (parole). Menurut Saussure, makna diproduksi melalu proses seleksi dan kombinasi tanda– tanda di sekitar dua poros, yaitu poros sintagmatis (linear misalnya kalimat) dan poros paradigmatis (arena tanda misalnya sinonim), yang ditata di dalam sistem penandaan. Tanda, yang dibangun oleh penanda (media) dan petanda (makna), tidak dijelaskan dengan mengacu kepada identitas dunia nyata namun ia membangun makna dengan mengacu satu sama lain. Makna adalah konvensi sosial yang diorganisasi melalui relasi antar tanda.

(17)

tanpa batas. Patut dicatat bahwa Saussere berbicara tentang ilmu tanda, yang disebut dengan semiotika, yang berimplikasi terhadap dimungkinkannya pengetahuan tanda yang objektif, pasti dan ilmiah. Kita juga harus mencatat adanya kecenderungan dalam strukturalisme terhadap analisis melalui oposisi biner, misalnya kontras antara langue dan parole, atau antara pasangan tanda sehingga ’hitam’ hanya bermakna ketika dikaitkan dengan ’putih’ dan sebaliknya (Barker, 2004: 18).

Arti penting bahasa bagi pemahaman kebudayaan dan konstruksi pengetahuan telah mencapai puncak agenda di dalam cultural studies dan ’ilmu humaniora’. Itu semua karena dua alasan sentral dan saling terkait:

1) Bahasa adalah media istimewa di mana makna budaya dibangun dan dikomunikasikan.

2) Bahasa adalah sarana dan media di mana kita membangun pengetahuan tentang diri kita dan tentang dunia sosial. Bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan dan transfer nilai, makna dan pengetahuan yang ada di luar batas–batasnya; namun, bahasa adalah pembangun nilai–nilai, makna dan pengetahuan tersebut. Jadi, bahasa memberikan makna kepada objek material dan praktik sosial yang ditampilkan dan digamblangkan ke hadapan kita dalam konteks yang

dibatasi bahasa. Bahasa lebih baik tidak dipahami sebagai refleksi naif atas makna non-lunguistik, atau sekedar dalam konteks kehendak para pengguna bahasa. Namun bahasa mengkonstruksi makna. Dia menstrukturkan makna mana yang dapat dan tidak dapat digunakan pada situasi tertentu oleh objek yang bertutur. Memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis melalui praktik–praktik pemaknaan bahasa. Ini menjadi domain semiotika, dipahami secara luas sebagai studi tanda dan dikembangkan dari karya perintis Saussure (Barker, 2004: 69).

(18)

digunakan oleh manusia untuk mengoordinasikan tindakan mereka dalam konteks hubungan sosial. ’Makna suatu kata adalah pemakaiannya dalam bahasa, yang terpenting adalah bahwa kita bertanya ”pada kondisi apa kalimat ini benar–benar digunakan di sanalah ia dapat dipahami”. Melihat bahasa sebagai alat berarti menyatakan bahwa kita melakukan berbagai hal dengan bahasa. Bahasa adalah tindakan dan penunjuk bagi tindakan. Bahasa, dalam konteks pemakaian secara sosial, secara temporer dapat distabilkan untuk tujuan praktis.

Ada kemiripan antara tulisan Derrida dengan Wittgenstein. Sebagai contoh, keduanya menekankan:

a. karakter non-representasional bahasa; b. hubungan arbitrer antara tanda dan referent; c. sifat kontekstual ’kebenaran’

Namun, Wittgenstein dalam buku Barker yang berjudul Cultural Studies, ketika menggarisbawahi karakter pragmatis dan sosial bahasa, termasuk arti penting hubungan sosial (yang kadang–kadang terpisah begitu jauh dari karakter sosialnya). Bagi Wittgenstein, kendati makna berasal dari relasi perbedaan, makna diberi tingkat stabilitas oleh konvensi sosial dan praktik. Permainan tiada ujung pemaknaan yang

dieksplorasi Derrida diatur dan sebagian distabilkan melalui narasi pragmatis. Bagi Wittgenstein, ekspresi yang penuh makna adalah suatu hal yang dapat diberi manfaat oleh eksistensi manusia yang hidup. Bahasa secara langsung berimbas pada ’bentuk kehidupan manusia’. Jadi selama makna kata ’meja’ dibangun melalui hubungan penanda meja, bangku, gerai, panel, dan lain–lain maka ia tidak stabil. Namun, ia distabilkan oleh pengetahuan sosial kata ’meja’, yaitu dipakai untuk apa, kapan, pada kesempatan apa, dan seterusnya dengan kata lain, kata ’meja’ tampil dalam narasi pragmatis atau permainan bahasa (Barker, 2004: 92).

(19)

Dengan kata lain Anda tidak dapat memilih satu kata pun semau Anda untuk mengutarakan maksud, tidak pula untuk menyusun kembali tata bahasa sekehendak Anda jika Anda ingin dimengerti.

Bahasa yang digambarkan dengan kaidah struktural adalah sebuah sistem hubungan baku tanpa inti. Hanya ketika makna ditambahkan pada fitur–fitur struktural dari bahasa, yang menjadikannya menggambarkan sesuatu. Kunci untuk memahami struktur dari sistem Saussure adalah

perbedaan. Elemen dan hubungan yang ditambahkan pada bahasa dibedakan oleh perbedaan mereka. Suatu bunyi terdengar berbeda dengan yang lainnya (seperti bunyi p dan b); suatu kata yang berbeda dengan yang lainnya (seperti kata pat dan bat); suatu bentuk tata bahasa yang berbeda dengan yang lainnya (seperti pembentukan has run dan will run). Sistem perbedaan ini mendasari struktur bahasa. Baik bahasa tertulis maupun yang diucapkan, berbeda di antara tanda objek–objek di dunia, dapat diidentifikasi dengan mencocokkan perbedaan–perbedaan di antara tanda–tanda linguistik. Tidak ada unit linguistik yang memiliki signifikansi di dalam atau di luarnya hanya berlawanan dengan unit linguistik lainnya yang menjadikan struktur tertentu mendapatkan makna.

Saussure meyakini bahwa semua orang yang mengenal dunia

ditentukan oleh bahasa. Tidak seperti kebanyakan penganut semiotik lainnya, Saussure tidak melihat tanda sebagai referensial. Tanda tidak

menandakan objek, melainkan mendasari mereka. Dapat saja tidak ada objek yang terpisah dari tanda yang digunakan untuk merancangnya. Hal ini menghubungkannya secara jelas dengan gagasan Langer bahwa dunia kita terdiri dari makna yang dikaitkan dengan simbol – simbol penting dalam kehidupan kita.

(20)

kegunaan sebenarnya dari bahasa untuk mencapai tujuan. Pelaku komunikasi tidak menciptakan peraturan bahasa. Peraturan ini berfungsi melalui periode waktu yang lama dan ”dianugerahkan” kepada kita saat bersosialisasi dalam sebuah komunitas bahasa. Sebaliknya, pelaku komunikasi menciptakan berbagai bentuk pengucapan setiap saat. Dengan kata lain, Anda tidak sedang duduk–duduk dengan teman Anda dan menemukan pola tata bahasa untuk menandakan masa lalu, sekarang dan masa depan tetapi anda melakukannya dengan interaksi, menggunakan bentuk–bentuk ini dengan kreatif dan secara konstan mengubah sesuatu. Inilah perbedaan antara bahasa dan pengucapan (Littlejohn, 2009; 157).

Bahasa bukanlah cermin untuk melihat dunia menjadi objek independent (realitas), melainkan sumber dalam ‘menyediakan bentuk’ bagi diri kita dan dunia kita di luar aliran perbincangan dan praktik sehari–hari yang tidak menentukan dan tidak tertata (Shotter, 1993). Di sini, identitas bukan merupakan suatu hal yang tetap, abadi, bukan juga suatu unsur dalam diri seseorang yang menjadi acuan kata–kata, melainkan suatu cara teratur dalam ‘berbicara’ tentang orang. Gagasan bahwa identitas merupakan konstruksi diskursif diperkuat oleh pandangan tentang bahasa bahwa tidak ada esensi yang menjadi acuan bahasa, sehingga tidak ada identitas esensial. Jadi, representasi tidak ‘memotret’ dunia melainkan membangunnya untuk kita. Itu semua karena hal–hal berikut :

1) Penanda membangun makna tidak dalam kaitannya dengan objek tetap melainkan dalam kaitannya dengan penanda lain. Menurut teori semiotika, makna dibangun melalui berbagai relasi perbedaan. Jadi, ‘baik’ bermakna ketika dikaitkan dengan ‘buruk’.

2) Hubungan antara bunyi dan tanda bahasa, penanda, dan apa yang mereka maksud, petanda, tidak diyakini berada pada hubungan yang tetap dan abadi.

(21)

bahasa agar mampu melihat secara langsung dunia objektif independent. Kita pun tidak dapat menemukan sudut pandang menyerupai Tuhan di mana kita melihat hubungan antara bahasa dengan dunia.

4) Bahasa berkarakter relasional. Kata–kata membangun makna tidak dengan mengacu kepada sejumlah karakteristik khusus atau esensial dari suatu objek atau suatu benda melainkan melalui jaringan hubungan permainan bahasa yang digunakan.

5) Kata tertentu mengandung gema atau jejak makna lain dari kata lain yang terikat dalam berbagai konteksnya. Makna pada dasarnya tidak stabil dan terus–menerus terpeleset. Demikian pula hanya dengan differance, ‘perbedaan dan pemelesetan’ di mana produksi makna terus–menerus dipelesetkan dan ditambah (atau dilengkapi) oleh makna kata lain

Pandangan tentang bahasa ini mengandung sejumlah kosekuensi penting bagi pemahaman diri dan identitas. Tidak bisa dikatakan bahwa bahasa secara langsung merepresentasikan ‘aku’ yang telah ada

sebelumnya. Agaknya, bahasa dan pemikiran membentuk‘aku’, keduanya

membawa ‘aku’ kepada hakikat melalui proses pemaknaan. Seseorang yang tidak mampu memilih ‘aku’, maka ia juga tidak dapat memilih ‘identitas’. Agaknya, seseorang dibentuk melalui bahasa sebagai serangkaian diskursus. Bahasa tidak mengekspresikan ‘benar dengan sendirinya’ wujud yang ada, tapi membawa diri kepada hakikat. Ucapan Descartes yang sangat terkenal. ‘Saya berfikir, karena itu saya ada’ menegaskan bahwa berpikir merupakan aktivitas yang terpisah dari dan merepresentasikan ‘aku’ yang telah ada sebelumnya. Namun, karena tidak ada ‘aku’ di luar bahasa, maka berpikir adalahhakikat; ‘aku’ adalah suatu

posisi dalam bahasa.

(22)

diskursus yang mendefinisikan, mengkonstruksi dan memproduksi objek pengetahuan mereka. Walhasil, yang dapat kita katakan tentang karakteristik identitas bagi, misalnya, laki–laki secara sosial. Identitas adalah konstruksi diskursif yang tidak mengacu kepada suatu ‘hal’ yang telah ada sebelumnya. Identitas tidak stabil dan secara temporer distabilkan oleh praktik sosial dan prilaku yang teratur dan dapat diprediksikan. Ini adalah sebuah pandangan yang dipengaruhi, sebagaimana dikatakan Stuart Hall, oleh karya Michael Foucault.

Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani

Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasarnya konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya hal lain

Lebih jelas lagi, kita banyak mengenal tanda–tanda dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Misalnya, bila di sekitar rumah kita ada tetangga yang memasang janur kuning maka itu pertanda ada ‘hajatan’ perkawinan, tetapi bendera warna kuning di depan rumah dan sudut jalan maka itu pertanda ada kematian. Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek–objek, peristiwa–peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradicmatic dalam arti berupaya menemukan makna termaksud dari hal–hal yang tersembunyi dibalik sebuah teks. Maka orang sering mengatakan semiotika adalah upaya menemukan makna ‘berita di balik berita’ (Seto, 2011: 6).

(23)

mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong (Eco, 2009: 7). Meski terkesan bermain-main dan tidak serius, ini merupakan definisi yang cukup mendalam karena ternyata kita memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apa pun yang kita inginkan melalui tanda-tanda, pun dengan cara-cara penuh dusta atau yang menyesatkan (Danesi, 2010: 33).

Dapat kita katakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2004: 13).

(24)

pada seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Stokes, 2010: 76).

Semiotik telah menjadi hal penting yang membantu kita dalam memahami apa yang terjadi dalam pesan bagian–bagiannya dan bagaimana semua bagian itu disusun. Teori ini juga membantu kita untuk memahami bagai mana menyampaikan pesan supaya bermakna. Sebagai contoh, jika Anda menyampaikan sebuah pidato, maka pendengar memperhatikan pada kata–kata yang Anda pilih, tata bahasa, intonasi dan gerak tubuh, kontak mata, serta cara Anda menempatkan diri dengan pendengar. Teori semiotik kurang memperhatikan karakteristik Anda sebagai pelaku komunikasi, pendengar merespons pesan Anda atau situasi sosial dan budaya saat pidato itu disampaikan, walaupun teori semiotik menganggap bahwa makna yang Anda dan pendengar berikan pada kata – kata dan gerak tubuh dari pidato Anda bergantung pada semua hal – hal diatas tersebut (Littlejohn, 2011: 153).

Ada dua jenis kajian semiotika, yakni semiotika komunikasi dan

semiotika signifikasi (Eco, 2009:8). Yang pertama menekankan pada pada kajian tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim,

penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua memberikan penekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.

Pada kajian yang kedua, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama masnusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)

(25)

dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

Semiotika, atau semiologi dalam istilah yang diperkenalkan oleh Roland Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bawa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek-objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004: 15).

Semiotika dibagi kedalam tiga wilayah kajian sematik, sintatik, dan prakmatik. Sematik berbicara bagaimana tanda–tanda berhubungan dengan yang ditujuknya atau apa yang ditunjukan oleh tanda–tanda. Semiotika menggambarkan dua dunia-dunia benda dan dunia tanda dan mencerahkan hubungan di antara kedua dunia tersebut. Kapan pun kita memberikan sebuah petanyaan “Apa uang direpresentasikan oleh tanda?” maka kita berada didalam ranah semantik. Sebagai contoh, kamus merupakan buku referensi semantik; ia mengatakan apa arti kata atau apa

yang mereka representasikan. Sebagai prinsip dasar semiotik, representasi selau dimediasi oleh interpretasi sadar seseorang dan interpretasi atau arti apa pun bagi sebuah tanda akan mengubah satu situasi ke situasi lainnya. Oleh karena itu, pertanyaan semantic yang lebih halus, “arti–arti apa saja yang dibawa oleh tanda kedalam pikiran seseorang dalam suatu situasi?” peneliti Martyna tentang kata ganti yang telah dijelaskan sebelumnya ditanamkan dengan kuat dalam cabang semantic pada semiotik.

(26)

yang kompleks. Semiotik tetap mengacu pada prinsip bahwa tanda–tanda selalu dipahami dalam kaitannya dengan tanda–tanda lain. Tentunya, kamus bukan sekedar catalog hubungan antara satu tanda dengan tanda lainya (satu kata didefinisikan oleh kata–kata lainnya). Ketika kita bergerak dari satu kata (dog) menuju sebuah kalimat (The cute dog licked my hand), kita berhubungan dengan sintaksis atau struktur bahasa. Isyarat –isyarat selalu dikombinasikan dengan isyarat–isyarat lainnya untuk membentuk sistem kompleks tanda–tanda non verbal dan tanda–tanda non verbal dipasangkan dengan bahasa untuk mengekspresikan arti-arti yang halusdan kompleks. Peraturan sintaktik memudahkan manusia untuk menggunakan kombinasi tanda–tanda yang tidak terbatas untuk mengekspresikan kekayaan makna.

Pragmatik, kajian utama semiotik yang ketiga, memperlihatkan bagaimana tanda–tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda dalam kehidupan sosial. Cabang ini mempunyai pengaruh yang paling penting dalam teori komunikasi karena tanda–tanda dan sistem tanda dilihat sebagai alat komunikasi manusia. Oleh Karena itu, prgmatik saling melengkapi dengan tradisi sosial budaya. Dari perspektif semiotik, kita

harus memiliki pemahaman bersama bukan hanya dengan kata–kata, tetapi juga pada struktur bahasa, masyarakat, dan budaya agar komunikasi dapat mengambil perannya. Sistem hubungan di antara tanda–tanda harus memperkenalkan pelaku komunikasi untuk mengacu kepada sesuatu yang lazim. Kita harus berbagi rasa keterkaitan dalam pesan–pesan atau kemungkinan tidak adannya sejumlah pemahaman dan kita harus berasumsi bahwa ketika kita menggunakan peraturan bahasa, sejumlah orang yang mengetahui peraturan itu akan mampu memahami maknayang kita maksud. Pragmatik tanda–tanda penting bagi sejumlah perhatian akan komunikasi yang luas, tetapi tentunya sangat berarti dalam belihat pada pemahaman dan kesalahpahaman (Littlejohn, 2011; 56).

(27)

mungkin menjadi “tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi. Selain itu, semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya (Sobur, 2004: 96).

Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah konsep konotasi yang

merupakan kunci semiotik dalam menganalisis budaya, dan konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam setiap eseinya, Barthes membahas fenomena yang sering luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.

1. Penanda dan Petanda

(28)

didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Singkat kata, petanda merupakan aspek mental dari bahasa (Sobur, 2004: 46).

2. Denotasi dan Konotasi

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memgang peranan penting di dalam ujaran. Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif (Sobur, 2004: 263). Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata merah bermakna warna seperti warna darah‟ (secara lebih objektif, makna dapat digambarkan

menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif.

(29)

3. Paradigmatik dan Sintagmatik

Paradigmatik (paradigms) merupakan sebuah istilah teknis untuk menggambarkan bahwa sebuah tanda itu bermakna dalam hubungannya dengan tanda lainnya (Danesi, 2010:46). Ia terdiri dari satu perangkat tanda (contoh: perbendaharaan kata), dan hanya satu unit dari perangkat itu yang dapat dipilih untuk memaknai sebuah tanda. Contoh dari penerapan paradigmatik adalah dalam satu sistem fashion. Di atas kepala seseorang tidak mungkin, atau jarang sekali, orang mengenakan topi sekaligus helm dan caping. Pemilihan penggunaan topi atau caping adalah satu pilihan paradigmatik.

4. Mitos

Mitos dapat didefinisikan sebagai narasi yang di dalamnya karakter-karakternya adalah para dewa, pahlawan, dan makhluk-makhluk mitis, dengan plotnya adalah tentang asal-usul segala sesuatu atau tentang peristiwa metafisis yang berlangsung di dalam kehidupan manusia, dan di sini setting yang diambil adalah penggabungan dunia metafisis dengan dunia nyata (Danesi, 2010: 56).

Mitos sering dianggap sebagai sebuah cerita yang aneh dan sering diisi dengan cerita yang tak masuk akal. Mitos terkadang digunakan

manusia untuk mencari jawaban-jawaban atas pertanyaannya terhadap alam semesta.

Pada umumnya mitos adalah suatu sikap lari dari kenyataan dan mencari “perlindungan dalam dunia khayal”. Sedangkan menurut Barthes, mitos merupakan cara berpikir kebudayaan tentang suatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sebuah hal (Sobur, 2004: 224).

(30)

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek). Dan sinifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi). Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos, dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama dalam peta Ronald Barthes.

Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebut hal tersebut sebagai denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda ataupun makna yang dapat tampak oleh

khalayak. Signifikasi tahap kedua adalah makna konotasi, yakni makna ekstra (secara mitologis) yang tampak oleh khalayak. Barthes menggunakannya untuk menunjukkan dan menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dari khalayak yang melihat pesan yang disampaikan.

Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004: 69).

(31)

deskriptif dan literal yang secara virtual dimiliki semua angota suatu kebudayaan. Jadi, ‘babi’ bermakna denotatif konsep binatang ternak yang berguna dan berwarna merah muda dengan moncong dan ekor, dan seterusnya. Pada level kedua konotasi, makna dibangun oleh penanda yang mengkaitkan dengan aspek budaya yang lebih luas: keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi suatu bangunan sosial. Makna menjadi persoalan asosiasi tanda dengan kode makna budaya lain. Jadi, ‘babi’ bisa bermakna konotatif polisi nakal atau seorang chauvinist laki – laki, menurut sub-kode atau leksion yang digunakan.

Makna dikatakan meningkat dari tanda yang ada sampai dengan tanda tunggal yang penuh dengan maknayang berlapis – lapis. Konotasi membawa nilai – nilai ekspresif yang muncul dari kekuatan kumulatif urutan (secara sintagmatis) atau, lebih umum, melalui perbandingan dengan alternatif yang tidak ada (secara paradigmatis). Ketika konotasi dinaturalisasikan sebagai sesuatu yang hegemonic, yaitu ketika diterima secara ‘normal’ dan ‘alami’, ia bertindak sebagai peta makna konseptual di mana seseorang memahami dunianya. Itu semua adalah mitos. Meskipun mitos adalah konstruksi budaya, tapi ia bisa tampak sebagai kebenaran universal yang ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam.

Mitos kemudian mirip dengan konsep ideologi, yang katanya, bekerja pada level konotasi. Volosinov (1973) berpendapat bahwa rana ideologi terkait dengan rana tanda. Di mana ada tanda maka di situ ada ideologi.

Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem pertama (penanda dan petanda) yang membangun makna denotative menjadi penanda pada urutan kedua makna mitologis konotatif (Barker, 2004: 72).

Semiotika Komunikasi Visual

(32)

pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm)

yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni. Di dalam semotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi mempunyai fungsi signifikasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009: xi).

Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko, 2009: 9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk

dan tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.

Makna

(33)

Dialektika subjektif-objektif ini tidaklah menghentikan pemaknaan makna dan untuk itu tidaklah menghapuskan struktur objektif. Sisi objektif wacana itu sendiri dapat diambil dalam dua cara. Kita dapat memakai apa wacana itu dan tentang apa wacana itu. Apa wacana itu adalah “makna’nya dan tentang apa wacana itu adalah ‘referensi’nya. Perbedaan antara makna dan referensi telah diperkenalkan dalam filsafat moderen oleh Gottlob Forge dalam makalahnya yang cukup terkenal “Ueber sinn und Bedeutung”yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi

on sense and reference”. Distingsi ini merupakan distingsi yang dapat

secara langsung dihubungkan dengan distingsi antara semiotik dan sematik. Hanya terhadap kalimatlah yang memungkinkan kita dapat membedakan antara apa yang dikatakan dan tentang apa yang dikatakan. Dalam sistem bahasa, mengatakan sebagai suatu bentuk leksikon, tidak ada masalah dengan referensi; tanda hannya mengacu kepada tanda lain dalam satu sistem. Namun begitu, dengan kalimat bahasa diarahkan kepada hal di balik dirinnya sendiri. Di mana makna bersifat objektif dalam makna ideal, referensi justru mengekspresikan adanya pergerakan di mana bahasa mentransendesikan dirinya sendiri. Dengan kata lain makna menghubungkan antara identifikasi fungsi dan fungsi predikat

dalam kalimat, dan referensi menghubungkan bahasa dengan dunia. Inilah adalah kata lain bagi klaim kebenaran wacana (Ricoeur, 2012: 53).

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan (Sobur, 2004: 255). Orang-orang sering menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’itu tidak sama dengan ‘makna’ pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna.

(34)

lagi kiranya dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi dan pemahaman (Danesi, 2010: 22).

Ada beberapa pandangan mengenai teori dan konsep makna. Seperti yang diungkapkan oleh Wendell Johnson (Sobur, 2004: 258):

1. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.

2. Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu).

3. Makna membutuhkan acuan. Komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan

eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.

(35)

perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila Anda telah membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak.

5. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui.

6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah

tercapai.

Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut

signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut, disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau konsep tersebut dinamakan dengan signification

atau pemaknaan.

(36)

sistem tanda, yang memaknai dengan mekanisme yang sama dengan bahasa, maka kita dapat menunjuknya sebagai teks budaya.

Namun, makna yang dibaca kritikus dalam teks budaya niscaya tidak sama dengan yang diproduksi oleh audien aktif atau pembaca. Benarlah, pembaca tidak akan berbagi makna yang sama antara yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, kritikus hanya bagian dari pembaca. Lebih jauh lagi, teks, sebagai bentuk representasi, bersifat polisemis (memiliki banyak arti). Mereka mengandung kemungkinan adannya aneka makna yang harus direalisasikan oleh pembaca di dunia nyata yang mengisahkan dan membayangkan kehidupannya. Meski kita dapat menelaah bekerjanya suatu teks, kita tidak bisa hanya ‘berhenti membaca’ produksi makna audien dari analisis tekstual. Yang sangat penting, makna diproduksi dalam interaksi antara teks dan pembacanya sehingga momen konsumsi juga merupakan momen produksi yang penuh makna (Barker, 2004: 12).

Budaya Populer

Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil dari pemikiran manusia. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sedangkan menurut Williams, budaya merupakan proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika (Storey, 2001:1). Budaya adalah suatu ekologi yang kompleks dan dinamis dari orang, benda, pandangan tentang dunia, kegiatan dan latar belakang yang secara fundamental bertahan lama tetapi juga berubah dalam komunikasi dan interaksi sosial yang rutin.

(37)

yang perlahan tergeser akan digantikan oleh sebuah budaya baru yang disebut budaya populer.

Budaya populer dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang disukai secara meluas dan sangat diminati oleh orang banyak (Storey, 2001:6). Atau juga dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang dilakukan atau telah dilakukan oleh orang banyak (Hall, 2011:76). Budaya populer bersifat dinamis, membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut budaya homogen. Budaya populer bertindak untuk melawan kemapanan, memberikan alternatif kepada masyarakat yang berubah, kemudian menjadi ‘pemersatu’ unsur-unsur masyarakat yang terpisahkan kelas dan status sosial ke dalam satu komunitas massa yang bersifat ‘maya’. Sebuah grup musik terkenal adalah salah satu bentuk budaya populer. Mereka memiliki penggemar yang tersebar di berbagai daerah dan bahkan negara, dan penggemar tersebut dapat dipersatukan pada saat band tersebut melakukan konser atau tur mancanegara. Maka pada saat itu mereka tergabung dalam sebuah komunitas yang bersifat ‘maya’ seperti yang tersebut di atas.

Kebudayaan dapat dipandang sebagai peta makna yang tertata dan terbangun dengan cara pembandingan diskursus di mana objek dan

praktik menemukan maknanya. Kebudayaan adalah suatu kilasan permainan wacana dalam ruang dan waktu tertentu. Suatu peta yang secara temporer membekukan ’makna yang tengah bergerak’. Kebudayaan dan identitas budaya secara temporer distabilkan pada ’titik simpul’ utama. Masyarakat moderen telah terbentuk secara historis di dalam kelas, gender, etnisitas dan usia. Proses di mana makna budaya termapankan secara temporer adalah pertanyaan soal kekuasaan dan politik budaya (Barker, 2004: 98).

Mitos

(38)

primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan.

Mitos adalah suatu wahana di mana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peran penting dalam kesatuan – kesatuan budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi – konotasi yang terdapat di dalamnya.

Dalam pandangan Umar Yunus, mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, akan tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Ia mungkin hidup dalam “gosip” kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu dibentuk oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos.

Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem

ideografis. Bagi Barthes, mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh Barthes dapat berbentuk verbal (lisan dan tulis) atau non verbal: n’importe quelle matière peut être dotée

arbitrairement de signification materi apa pun dapat dimaknai secara arbitrer‟. Seperti kita ketahui, parole adalah realisasi dari langue

(Barthes, 2006: 16).

(39)

membuktikannya dengan melakukan pembongkaran (démontage sémiologique).

Ciri-ciri mitos (Barthes, 2006:121):

1. Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form

(signifier), concept (signified). Ia menambahkan signification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of

deformation. Pada mitos, form dan concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form.

2. Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang harus menemukan mitos tersebut. Contoh: ketika ia

berjalan-jalan di Spanyol, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi, bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque.

(40)

analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis.

Minuman anggur adalah salah satu contoh penerapan mitos. Denotasi dari minuman anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan. Barthes mengamatinya lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang diminumnya bukan sekadar untuk bermabuk-mabukan. Hal tersebut ditunjukkan pula oleh adanya pelabelan tahun bagi minuman tersebut. Anggur dengan merek tertentu dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu makan, anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai makanan dengan ikan, anggur merah dengan daging, dan sebagainya. Dengan demikian, konotasi anggur, yaitu kenikmatan, tertanam di dalam praktik kehidupan sehari-hari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos. Menurut Barthes, mitos merupakan cara berpikir kebudayaan tentang suatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sebuah hal (Sobur, 2004: 224).

Selain itu, mitos juga sering diiringi oleh ritual-ritual tertentu. Hal ini biasanya menyangkut dengan mitos yang ada dalam sebuah agama tertentu ritual ini digunakan oleh pemuka-pemuka agama dengan tujuan

untuk menghindarkan bahaya atau mendatangkan keselamatan. Seperti yang diungkapkan oleh van Peursen bahwa mitos dapat dikatakan sebagai “sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang” (Sobur, 2004: 225).

Menurut Barthes, mitos dan ideologi bekerja dengan menaturalkan

interpretasi tertentu dari individu yang khas secara historis. Jadi, mitos menjadikan pandangan dunia tentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. ‘Mitos bertugas memberikan kehendak historis atau justifikasi alamiah, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi’ (Barthes, 2006: 155). Dalam analisis lain, Barthes menjabarkan iklan berbahasa Prancis demikian:

(41)

Bombay, lada, jamur, semua keluar dari tas tali yang setengah terbuka, dengan latar belakang kuning dan merah (Barthes, 2006: 33).

Dalam analisis berikutnya, Barthes membedakan kode linguistik (bahasa Prancis, label Panzani) dan kode visual yang dibangun dari serangkai tanda, dia mengulas penanda visual ‘tas setengah terbuka dan membiarkan persediaan makanan itu tumpah ke atas meja’. Dia membacanya sebagai ‘suatu kepulangan dari pasar’, suatu penanda yang berarti ‘kesegaran’ dan ‘persiapan aktivitas domestik’. Tanda kedua membawa serta ‘tomat, lada dan naungan triwarna (kuning, hijau,merah) poster tersebut; petandanya adalah Italia, atau lebih tepat disebut

Italianicty’ (Barthes, 2006: 34). Komposisi citra penampilan sebuah

lukisan hidup yang menambah karakter ke-Italia-an citra ini.

Karya Saussure dah karya Barthes di awal merupakan dua di antara sekian banyak teks pelopor dalam cultural studies kontemporer dan merepresentasikan gerak menjauh dari kulturalisme ke arah strukturalisme. Keduanya berpengaruh dalam cultural studies yang membantu para kritikus untuk menyerang pandangan teks sebagai ibu kandung makna yang bersifat transparan. Mereka memperjelas argument

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan di atas maka dosen dan mahasiswa Program Studi Kesmas bekerja sama dengan petugas kesehatan, pemerintah Negeri Hatuhenu dan

Dari 3 jurnal di atas merupakan suatu referensi yang sangat berguna bagi penulis untuk membuat atau merancang suatu sistem pakar yang baru atau juga bisa di sebut suatu

Secara umum proses kerja dari sistem informasi geografis berbasis web ini adalah menampilkan informasi yang dibutuhkan user untuk mengenai informasi mengenai potensi- potensi

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Perkembangan internet saat ini sebagai sarana untuk memperoleh informasi semakin banyak digunakan, karena jangkauannya luas, Internet sangat ideal bila digunakan sebagai sarana

Masih terdapatnya sebahagian besar siswa yang belum nemenfaatkan jasa kanscler sekelah untuk nsnyelesaikan masalah belajarnya.. Tidak semua guru, teman

regresi yang diperoleh dari penelitian ini menunjukan hasil bahwa, secara bersama-sama ke dua variabel Kemampuan dan Kepuasan Kerja berpengaruh terhadap tingkat

Gambar 4.8 Model menggambar bentuk benda silindris Dokumentasi: Kirwan (2013). Siswa mengerjakan tugas tersebut menggunakan media kertas gambar dan pensil, dari beberapa