BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era kapitalisme global, sektor informal (Informal Sector)adalahsektor
lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif besar dan
tidak terlalu menuntut karakteristik tertentu dari pelakunya. Istilah sektor informal
menggambarkan angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga
terorganisasi. Banyak masyarakat memilih sektor informal karena, pada sektor ini
mereka tidak membutuhkan syarat atau ketentuan seperti pada pekerjaan sektor
formal.
Salah satu sektor informal yang dipilih kebanyakan masyarakat adalah
perdagangan. Karena bidang ini tidak membutuhkan keahlian khusus atau
karakteristik tertentu.Minimnya lapangan pekerjaan di kota-kota besar di
Indonesia membuat sebagian masyarakat memilih mempertahankan hidup dengan
cara berdagang. Hal ini dinilai mampu menutupi tingginya biaya hidup di kota
besar. Mulai dari berdagang komoditas sandang, pangan dan papan mereka tekuni.
Tak pelak mereka juga memperdagangkan kebutuhan pendidikan yaitu buku.
Di Kota Medan terdapat sekelompok masyarakat yang memilih berdagang
buku bekas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan mereka juga difasilitasi
oleh Pemko Medan untuk berjualan. Persis di sisi timur Lapangan Merdeka
perjuangan panjang mereka yang menutut diberikan tempat yang layak untuk
berjualan.
Sejarah panjang komunitas pedagang buku bekas berawal sejak era tahun
1960-an. Dimana sekelompok orang mulai berjualan buku di sekitaran jembatan
gantung di dekat stasiun kereta api. Usaha ini dimulai dari beberapa masyarakat
yang bertempat tinggal di kawasan Gang. Buntu, Kecamatan Medan Timur.
Bertambahnya jumlah pedagang buku bekas, menyebar hingga ke Jl. Irian Barat,
Jl. Jawa, Jl. Veteran,dan Jl.Sutomo. Hingga sekarang, setidaknya sudah tiga
generasi yang berjualan buku bekas. Karena usaha ini memiliki kecenderungan
untuk diturunkan kepada keluarga yang lain.
Semasa kepemimpinan Walikota Medan Drs. Abdillah, para pedagang
buku di relokasi. Tepatnya pada tahun 2003. Pemko beralasan, bahwa jembatan
gantung merupakan cagar budaya. Sehingga harus dijaga kelestariannya.
Pemindahan (relokasi) pedagang buku Titi Gantung ke sisi timur Lapangan
merdeka berlandaskan SK: No. 511.3/5750.B tertanggal 22 Juli 2003. Dalam surat
tersebut dinyatakan bahwa pedagang buku akan di relokasi ke sisi timur Lapangan
Merdeka yang menjadi cagar budaya Kota Medan dan hak kepemilikan kios
untuk pedagang buku.
Setelah perundingan panjang, tawaran relokasi diterima pedagang.Mereka
yakin posisi Lapangan Merdeka yang ada di pusat kota akan menambah
penghasilan mereka. Sisi timur Lapangan Merdeka Medan awalnya adalah taman
sepatu roda. Karena tak digunakan lagi, Pemko Medan mengalih fungsikan taman
Sejak keberadaannya di Kota Medan, kegiatan usaha buku bekas telah
banyak berkontribusi dalam penyediaan buku murah bagi peserta didik ataupun
masyarakat yang gemar membaca buku. Buku-buku yang diperdagangkan
menjadi alternatif bagi konsumen, di tengah mahalnya biaya pendidikan dan harga
buku. Meski telah berpindah ke Lapangan Merdeka, masyarakat tetap mengenal
kawasan ini sebagai “Pedagang Buku Bekas Titi Gantung”.
Pasokan buku yang dijual mereka berasal dari hasil cuci gudang toko-toko
buku modern. Pedagang juga mencari buku hingga ke pengumpul barang bekas.
Apabila terdapat kerusakan, mereka kemudian memperbaiki buku tersebut hingga
layak untuk dipasarkan kembali. Selain dari pengumpul barang bekas, pedagang
juga mendapat pasokan buku dari masyarakat. Mereka menerima masyarakat yang
menjual buku bekasnya kepada pedagang. Berbeda dengan toko buku modern
yang sudah memiliki banderol, pedagang disini mematok harga yang relatif
murah.
Memasuki tahun 2012, pedagang kembali dihadapkan dengan dinamika
sosial. Dimana pemerintah membuat kebijakan membangun lapangan parkir
penumpang City Railink menuju Bandara Internasional Kuala Namu. Padahal,
peruntukan lahan untuk pembangunan tersebut harusnya terletak di Jalan Jawa
(Sekarang Mall Centre Point).
Alhasil pedagang akhirnya direlokasi ke lahan milik PT. KAI di Jalan.
Pegadaian. Pedagang yang menganggap Lapangan Merdeka adalah cagar budaya
bagi keberlangsungan hidup mereka tak tinggal diam.Perlawanan pun terjadi,
diruntuhkan. Karena tak ada jaminan apapun apabila mereka hanya direlokasi ke
lahan PT. KAI. Sewaktu-waktu, PT KAI bisa saja denga mudah mengusir mereka
apabila PT KAI, ingin membangun tambahan lintasan. Tuntutan para pedagang
akhirnya dikabulkan oleh pemerintah. Sekarang kios mereka sudah berdiri
kembali disana.
Menunggu revitalisasi yang dilakukan Pemko Medan selesai, pedagang
berjualan di sepanjang jalan Pegadaian. Kendala kembali terjadi, jalan satu arah
(one way) di Jalan Pegadaian berpengaruh pada pendapatan pedagang. Jumlah
konsumen berkurang dari biasanya karena tempat berdagang dinilai kurang
kondusif. Konsumen harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencari buku
yang mereka inginkan apabila buku tersebut tidak di dapat di kios pertama.
Pendapatan pedagang tiap harinya menjadi tak menentu. Antara pedagang
yang ada di ujung jalan, tengah dan ujung yang satunya kearah Pajak Ikan
menjadi sangat berbeda. Pendapatan pedagang yang ada di ujung jalan masuk ke
arah jalan Pegadaian lebih tinggi dibanding pedagang yang ada di tengah.
Pedagang menganggap pemerintah tidak memperhatikan aspek kesejahteraan
pedagang dalam melakukan relokasi.Banyak yang mengaku, sudah tak betah
berjualan buku di Jalan Pegadaian. Konsumen hanya datang pada saat musim
buku saja.
Meningkatnya kebutuhan akan buku murah membuat pedagang buku
banyak yang beralih. Pedagang yang awalnya menjual buku bekas kini menambah
barang dagangannya dengan buku baru. Buku baru ini biasa didapat dari hasil cuci
menjadi lebih murah. Sehingga pedagang bisa menjual kembali ke konsumen
dengan harga lebih murah dibanding dengan yang ada di toko. Beberapa pedagang
juga ada yang membangun kerjasama dengan pihak penerbit. Sehingga mereka
mendapat buku baru yang masih laris di pasaran. Tak sembarang orang yang bisa
mengambil buku dari penerbit. Hanya orang tertentu saja yang bisa berbelanja
dengan penerbit. Karena menurut informasi harus ada nmial yang dibayarkan
unuk memuluskan jalan ke penerbit.
Contoh diatas hanya sekelumit cara dalam berbisnis buku. Pedagang juga
mencetak buku sendiri alias membajak. Meski dinilai melanggar hukum, cara ini
tetap dilakukan. Namun butuh modal besar untuk mencetak buku bajakan. Orang
yang biasa mencetak buku bajakan biasa disebut toke (distributor).
Tauke disini bertugas Mendistribusikan buku bajakan ke pedagang
pengecer. Pembayaran dilakukan dengan sistem kredit. Itu dilakukan setiap hari.
Terjual atau tidak, pngecer harus membayar kredit buku kepada toke setiap
harinya. Pedagang pun harus mengkakulasi pendapatan setiap harinya.
Pendapatan setiap hari harus dialokasikan ke kebutuhan rumah tangga seperti
membeli kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan anak dan lainnya.
Sudah menjadi rahasia umum kalau pedagang buku memasarkan buku
bajakan. Dilihat dari kacamata hukum ini adalah pelanggaran hak cipta dan bisa
dikenakan sanksi hukum. Lain hal dengan pedagang buku. Buku bajakan
dianggap sesuatu yang lumrah. Karena dengan begitu mereka bisa punya
Buku bajakan juga lebih diminati konsumen. Selain harga yang lebih
murah, kualitasnya juga tak berbanding jauh dengan buku asli (original). Dugaan
sementara, maraknya perdagangan buku bajakan karena biaya produksi yang lebih
murah. Sehingga pedagang bisa megambil keuntungan yang lebih tinggi.
Perdagangan buku bajakan tidak terlepas dari jaringan. Dari informasi
rahaia yang didapat, mereka memiliki jaringan. Misalnya antara toke dan pencetak
buku. Atau antara toke yang satu dengan yang lain. Karena, apabila mereka tidak
memiliki jaringan, bagaimana mereka bisa mengembangkan usaha tersebut.
Dari berbagai fakta diatas penulis tertarik melakukan penelitian untuk
mengungkap fenomena ditengah pedagang buku. Mulai dari jaringan yang ada
diantara pedagang buku dalam memalsukan buku, hingga bagaimana cara untuk
memasarkan buku tersebut sampai ke masyarakat. Judul penelitian yang akan
diangkat penulis adalah : “Mafia Buku pada Komunitas Pedagang Buku Bekas
Lapangan Merdeka Medan”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena-fenomena diatas, penulis mengangkat beberapa
rumusan masalah antara lain :
1. Bagaimana proses mafia buku dalam menjalankan bisnisnya?
2. Bagaimana sistem pembayaran pedagang pengecer ke Mafia buku
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang secara garis besar mewakili berbagai
persoalan dalam kajian penelitian ini.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap proses mafia buku dalam
menjalankan bisnisnya. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
strategi mafia buku dalam memasok buku palsu ke pedagang kecil hingga resiko
yang harus ditanggung.
1.4 ManfaatPenelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
tentang Strategi Mafia Bukupada Komunitas Pedagang Buku Bekas Lapangan
Merdeka Medan dalam mempertahankan usahanya. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan manfaat penelitian sebagai berikut :
a) Menghasilkan karya ilmiah mengenai strategi MafiaBuku sehingga
penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan.
b) Hasil penelitian ini bisa dipakai sebagai referensi dalam memahami
strategi MafiaBukuyang cenderung memakai cara bertentangan
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pijakan bagi
masyarakat dalam memahami fenomena yang ada di pedagang buku serta dapat
meningkatkan kepedulian terhadap keberadaan pedagang buku dan perlunya rasa
kebersamaan agar tercipta rasa keamanan dan kenyamanan bagi para pedagang