• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Faktor Resiko Mayor Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari hingga Desember 2013 Yang Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi Faktor Resiko Mayor Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari hingga Desember 2013 Yang Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindroma Koroner Akut

2.1.1 Definisi Sindroma Koroner Akut

Sindroma koroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium). Sindroma koroner akut ini merupakan sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada arteri koronaria (Torry et al, 2012).

2.2 Klasifikasi Sindroma Koroner Akut

Sebelum era fibrinolitik, infark miokardium dibagi menjadi Q-wave dan non Q-Q-wave. Pembagian ini berdasarkan evolusi gambaran elektrokardiogram (EKG) yang terjadi pada beberapa hari setelah serangan. Infark miokardium tipe Q-wave menggambarkan adanya infark transmural. Sedangkan infark non Q-wave menggambarkan infark yang terjadi hanya pada lapisan subendokardium. Pada saat ini, istilah yang dipakai adalah STEMI (ST elevation myocardial infarction), NSTEMI (non ST elevation myocardial infarction), dan angina pektoris tidak stabil (Myrtha, 2012). Oleh itu, sindroma koroner akut mencakup penyakit jantung koroner yang bervariasi mulai dari (Torry et al, 2012):

i. angina pektoris tidak stabil

ii. infark miokard tanpa ST-elevasi (NSTEMI) iii. infark miokard dengan ST-elevasi (STEMI)

(2)

2.2.1 Angina Pektoris Tidak Stabil

Istilah lain yang sering digunakan untuk angina tidak stabil (ATS) adalah Angina preinfark, Angina dekubitus, dan Angina kresendo. Insufisiensi koroner akut atau sindroma koroner pertengahan. Bentuk ini merupakan kelompok suatu keadaan yang dapat berubah seperti keluhan yang bertambah progresif, sebelumnya dengan angina stabil atau angina pada pertama kali. Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri tersendiri (Anwar, 2004).

Sindroma ATS telah lama dikenal sebagai gejala awal dari infark miokard akut (IMA). Banyak penelitian melaporkan bahwa ATS merupakan resiko untuk terjadinya IMA dan kematian. Beberapa penelitian retrospektif menunjukkan bahwa 60-70% penderita IMA dan 60% penderita mati mendadak pada riwayat penyakitnya mengalami gejala prodroma ATS. Sedangkan penelitian jangka panjang mendapatkan IMA terjadi pada 5-20% penderita ATS dengan tingkat kematian 14-80%. ATS menarik perhatian karena letaknya di antara spektrum angina pektoris stabil dan infark miokard, sehingga merupakan tantangan dalam upaya pencegahan terjadinya infark miokard (Anwar, 2004).

Angina pektoris tidak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma iskemik miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan infark miokard akut. Terminologi ATS harus tercakup dalam kriteria penampilan klinis sebagai berikut (Anwar, 2004):

i.Angina pertama kali

Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami oleh penderita dalam priode 1 bulan terakhir

ii.Angina progresif

(3)

hilang dengan cara yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya menderita angina pektoris stabil.

iii.Angina waktu istirahat

Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang dapat menimbulkan peningkatan kebutuhan O2 miokard. Lama

angina sedikitnya 15 menit. iv.Angina sesudah IMA

Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA 2.2.2 Infark Miokard tanpa elevasi segmen ST

Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah oklusi sebagian dari arteri coroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG (Farissa, 2013). Secara klinis angina pektoris tidak stabil memiliki diagnosis yang sama dengan NSTEMI tetapi pada APTS tidak dijumpai kerusakan miokard dan dijumpai pada gambran EKG yang abnormal atau EKG normal dan juga tidak terjadi peningkatan troponin (Furqan, 2013).

2.2.3 Infark Miokard dengan elevasi segmen ST

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindroma koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa elevasi segmen ST, dan IMA dengan elevasi segmen ST (Farissa, 2013).

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Farissa, 2013).

(4)

Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh aterosklerosis arteri koroner. Untuk memahaminya secara komprehensif diperlukan pengetahuan tentang patofisiologi iskemia miokardium. Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada suplai oksigen ke miokardium. Oklusi akut karena adanya trombus pada arterikoroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium (Gambar 1). Contoh lain, pada pasien dengan plak intrakoroner yang bersifat stabil, peningkatan frekuensi denyut jantung dapat menyebabkan terjadinya iskemi karena meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium, tanpa diimbangi kemampuan untuk meningkatkan suplai oksigen ke miokardium (Myrtha, 2012).

Gambar 1: Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan oksigen

miokardium

(5)

sebagian lapisan) atau transmural (terjadi pada semua lapisan). Faktor-faktor yang berperan dalam progresi SKA dapat dilihat pada gambar 2 (Myrtha, 2012).

Gambar 2: Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya SKA

2.3.1 Pembentukan Plak Ateroskerotik

Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi endotel dan proses inflamasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah (Myrtha, 2012).

2.3.1.1 Inisiasi Proses Aterosklerosis : Peran Endotel

(6)

Beberapa faktor resiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktor-faktor resiko ini dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak. Endotel yang mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai berikut (Myrtha, 2012) :

i. Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis vaskuler

ii. Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin, molekul adhesifantarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-1 [VCAM1])

iii. Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif lokal.

2.3.1.2 Perkembangan Proses Aterosklerosis: Peran Proses Inflamasi Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks

(7)

Gambar 3: Pembentukan fatty streaks

Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor

necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metalloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak (Gambar 3) (Myrtha, 2012).

2.3.1.3 Stabilitas Plak dan Kecenderungan Mengalami Ruptur

(8)

LDL yang termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi matriks metalloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan (Myrtha, 2012).

Proses proinflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan menjadi rentan mengalami rupture (Gambar 4) (Myrtha, 2012).

Gambar 4: Pembentukan lesi aterosklerotik yang semakin kompleks

(9)

Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur (Myrtha, 2012).

Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit. Proses hemostasis primer maupun sekunder bisa dilihat pada gambar 5 (Myrtha, 2012).

Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk:

a. Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya menyebabkan oklusi sebagian.

(10)

Gambar 5: Skema pembentukan trombus dan target farmakologi obat-obat

penghambat pembentukan trombus

2.4 Gambaran Klinis

(11)

kerusakan miokardium yang terjadi. Sedangkan STEMI terjadi bila disrupsi plak dan thrombosis menyebabkan oklusi total sehingga terjadi iskemia transmural dan nekrosis (Myrtha, 2012).

2.5 Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut

Berdasarkan buku kardiologi oleh Bender (2006), diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko antara lain: faktor yang tidak dapat dikendalikan (nonmodifiable factors) dan faktor yang dapat dikendalikan (modifiable factors). Faktor yang dapat dikendalikan, yaitu: merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, stress, makanan tinggi lemak, dan kurang fisik. Sedangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan, yaitu: usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga (Furqan, 2013).

2.5.1 Faktor Resiko Mayor 2.5.1.1 Hipertensi

Hipertensi pada koroner jantung biasanya disebabkan meningkatnya tekanan darah dan mempercepat timbulnya aterosklerosis. Peningkatan tekanan darah menyebabkan beban jantung menjadi berat, sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (faktor miokard) pada akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium. Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Peningkatan tekanan darah yang menetap, menurut Anwar (2004), akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal dalam penggunaan oksigen oleh miokardium (Furqan, 2013).

(12)

Hiperlipidemia meningkatkan konsentrasi lemak dalam darah. Secara klinis, hiperlipidemia merupakan akumulasi berlebih salah satu lemak utama dalam darah sebagai kelainan metabolisme ataupun kelainan transportasi lemak. Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada jantung. Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung, akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri coroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak akan mengalami aterosklerosis (Fuster et al, 2010). Hiperlipidemia juga disebabkan karena abnormalnya lipoprotein dalam darah. Hal ini disebabkan karena meningkatnya LDL kolesterol dan menurunnya HDL kolesterol (Kumar, 2009).

Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida dapat mengindikasikan adanya faktor resiko untuk aterosklerosis. Kadar kolesterol di atas 180 mg/dL pada orang berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mg/dL untuk berusia lebih dari 30 tahun. Bila kadar kolesterol di atas 200 mg/dL merupakan faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Hiperkolesterolemia berkaitan erat dengan proses aterosklerosis pada usia 30-49 tahun, bila kadar kolesterol mencapai 260 mg/dL, kemungkinan terjadinya klinis aterosklerosis 3-5 kali dibandingkan dengan kadar kolesterol 220 mg/dL. Di bawah usia 50 tahun, hiperkolesterolemia mengungguli faktor resiko hipertensi, obesitas dan faktor (Furqan, 2013).

2.5.1.3 Merokok

(13)

Penelitian Framingham dalam Anwar (2004), mendapatkan kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih daripada bukan perokok. Hal ini disebabkan meningkatnya beban miokard yang dipicu oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO sehingga menimbulkan takikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, mengubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi karboksi -Hb. Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan kadar HDL kolesterol makin menurun. Penurunan kadar HDL kolesterol pada perempuan lebih besar dibandingkan laki–laki perokok. Efek merokok ini akan berdampak langsung pada peningkatan tingkat diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok (Furqan, 2013).

Merokok juga dapat mengubah konsentrasi serum lemak, terjadi peningkatan peroksidasi LDL lalu dimetabolisme oleh makrofag, gangguan intoleransi glukosa dan resistensi insulin sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Jika frekuensi dan intensitas merokok meningkat, maka kecenderungan terjadi kerusakan pembuluh darah lebih tinggi sehingga lebih mudah terjadi aterosklerosis (Furqan, 2013).

2.5.1.4 Diabetes Mellitus

(14)

Dengan tingginya kadar insulin pada penderita DM dalam sirkulasi darah menjadi salah satu faktor meningkatnya aterosklerosis (Furqan, 2013).

Menurut Supriyono (2008), yang dimaksud dengan penderita DM dengan kadar gula darah puasa >120 mg/dl atau kadar gula sewaktu >200 mg/dl akan cenderung mengalami aterosklerosis pada usia yang lebih dini dan penyakit yang ditimbulkan lebih cepat dan lebih berat pada penderita diabetes dari pada non- diabetes. Pada keadaan ini, insulin berdampak penting dalam metabolisme lipid dan kelainan-kelainan lipid pada penderita diabetes. Selain meupakan faktor resiko penyakit jantung koroner, diabetes berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen (Furqan, 2013).

2.5.2 Faktor Resiko Minor

Antara faktor minor sindroma koroner akut adalah berikut (Anwar, 2004):

a) Obesitas b) Stress

c) Kurang olahraga d) Laki-laki

e) Perempuan menopause

2.6 Terapi Sindroma Koroner Akut

Sejak 1960an, ketika terapi standard menjadi istirahat penuh (bed rest) dan defibrilasi (jika diperlukan), angka kematian infark miokard akut menurun terus. Penurunan yang stabil ini disebabkan oleh beberapa faktor (Lyrawati, 2008):

(15)

b) Adanya obatobat baru (beta blocker pada ~1970an) c) Tersedianya obat trombolisis (pada ~1980‐an)

d) Pengembangan angioplasi koroner dan stent (pada ~1990an)

e) Diketahuinya faktor resiko yang dapat dimodifikasi (misalnya hipertensi, diabetes, merokok) dan strategi penatalaksanaannya. Artikel ini akan membahas terapi obat terkini untuk SKA dan pentingnya intervensi koroner perkutan primer (primary percutaneous coronary intervention, PCI) sebagai alternatif trombolisis pada infark miokard akut.

Keberhasilan terapi SKA bergantung pada pengenalan dini gejala dan transfer pasien segera ke unit/instalasi gawat darurat. Terapi awal untuk semua SKA, yang diberikan oleh tenaga paramedik ataupun pada unit/instalasi gawat darurat sebenarnya sama. Manifestasi angina tidak stabil dan MI akut seringkali berbeda. Umumnya, gejala MI akut bersifat parah dan mendadak, sedangkan infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) atau angina tidak stabil berkembang dalam 2472 jam atau lebih. Pada kedua kasus tersebut tujuan awal terapi adalah untuk menstabilkan kondisi, mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pasien. Stabilisasi akan tercapai dengan berbagai tindakan. Oksigen diberikan untuk menjaga kadar saturasi dan memperbaiki oksigen yang sampai ke miokard. Diamorfin 5 mg (jika perlu diikuti dengan injeksi intravena perlahan 2,5‐5 mg) diberikan sebagai analgesik dan untuk mengurangi kecemasan pasien. Selain itu juga menurunkan respon adrenalin, frekuensi nadi (heart rate) dan tekanan darah, dan kebutuhan oksigen miokard. Morfin 10 mg diikuti dengan dosis 5‐10mg injeksi intravena perlahan merupakan alternatif pilihan jika diamorfin tidak dapat digunakan (Lyrawati, 2008).

(16)

platelet yang teraktivasi, dan dikatalisis oleh enzim siklooksigenase 1 (COX1). Pasien yang diduga infark miokard harus diberi aspirin (300 mg) secepat mungkin untuk membatasi trombus. Aspirin menghambat COX‐1 dalam platelet, menghambat produksi TXA‐2 dan agregasi platelet. Pasien yang alergi aspirin diberi clopidogrel 300 mg (Lyrawati, 2008).

Gambar

Gambar 1: Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan oksigen
Gambar 2: Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya SKA
Gambar 3: Pembentukan fatty streaks
Gambar 4: Pembentukan lesi aterosklerotik yang semakin kompleks
+2

Referensi

Dokumen terkait

1 Sistem informasi perikanan budidaya, 1 paket 200.000.000 Seleksi Sederhana Kota Semarang. VII Kegiatan Peningkatan Pelayanan Mutu Usaha

1 Pengadaan kapal > 30 GT Bagi Nelayan, 7 Unit 11.613.000.000 Lelang Umum Jawa Tengah PADA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI JAWA TENGAH. RENCANA UMUM PENGADAAN

BIDANG CIPTA KARYA DPU KABUPATEN KLATEN.. JL Sulaw

PEM ERINTAH KABUPATEN KLATEN PEJABAT PENGADAAN BARANG/ JASA.. BIDANG CIPTA KARYA DPU

Bagi Peserta yang berkeberatan dapat menyampaikan sanggahan secara tertulis kepada Panitia Lelang atas penetapan pemenang dan diberi waktu 5 ( lima) hari kerja

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan yaitu memiliki Surat Ijin Penyalur Alat Kesehatan (PAK) / Cabang Izin Penyalur

PEM ERINTAH KABUPATEN KLATEN PEJABAT PENGADAAN BARANG/ JASA.. BIDANG CIPTA KARYA DPU

Pada penelitian ini terdapat perbedaan yang membedakan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Shenoy et al 2011 yaitu, menggunakan analisis bivariat komparatif,