68
Bab III
DESKRIPSI PERSAMAAN HAK LGBT DI KOTA BLITAR
III.1 Latar Belakang dan Proses Pengambilan Data Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Blitar, Jawa Timur tepatnya kepada dalang yang ada di Kota Blitar ini. Kota Blitar penulis pilih sebagai tempat penelitian dikarenakan adanya festifal wayang yang diadakan pada bulan Juli 2016 yang lalu.1 Tujuan utama diadakannya pagelaran wayang ini adalah sebagai bentuk peringatan hari kesaktian Pancasila. Wayang dipakai sebagai sarana untuk kehidupan yang penuh toleransi yakni lebih tepatnya dengan mensosialisasi Pancasila melalui budaya wayang.2 Di kota Blitar pun penulis menentukan untuk melakukan penelitian di salah satu kelurahan yaitu kelurahan Ngadirejo, Kepanjen Kidul, Kabupaten Blitar. Di Kota Blitar ada 21 kelurahan yang tersebar di 3 kecamatan. Ketiga kecamatan itu antara lain Kecamatan Kepanjenkidul, Sananwetan, dan Sukorejo masing-masing terdapat kelurahan dalam jumlah yang sama yaitu sebanyak 7 kelurahan : 1. Kec. Kepanjenkidul (7 Kelurahan), yaitu Kel.Bendo, Kel.Kauman, Kel.Kepanjenkidul, Kel. Kepanjenlor, Kel. Ngadirejo, Kel. Sentul, Kel. Tanggung ; 2. Kec. Sananwetan (7 Kelurahan) antara lain Kel. Bendogerit, Kel. Gedog, Kel.Karang Tengah, Kel. Klampok, Kel. Plosokerep, Kel. Rembang, Kel. Sananwetan ; 3. Kec. Sukorejo (7 Kelurahan) antara lain Kel.
1
http://www.blitarkab.go.id/2016/07/16/festival-wayang-nusantara-lestarikan-budaya-bangsa/, diakses pada pada 18 September 2016
2
69
Blitar, Kel.Karangsari, Kel.Pakunden, Kel. Sukorejo, Kel. Tanjungsari, Kel. Tlumpu, Kel. Turi.3
Kelurahan Ngadirejo adalah sebuah kelurahan yang sangat beragam dari segi agamanya. Ada tiga agama di desa ini yaitu Islam, Kristen dan Katolik.4 Desa ini juga merupakan tempat dimana dalang yang menjadi salah satu subyek penelitian penulis ini tinggal, lebih tepatnya adalah di Desa Ngadirejo bagian selatan. Di Ngadirejo bagian selatan ini terdapat tempat wisata rohani Gua Maria Sendangrejo. Gua Maria ini terletak di antara rumah-rumah warga, dekat dengan persawahan. Salah satu hal menarik disini adalah penulis melihat mayoritas warga sekitar yang rumahnya dekat dengan Gua Maria adalah beragama Islam. Tidak ada gereja di sekitar Gua Maria, gereja Katolik untuk umat Katolik sendiri berada ratusan meter dari lokasi wisata Rohani Gua Maria Sendangrejo.
Organisasi Masyarakat yang Terdaftar5 2012 – 2015
Jenis Organisasi 2012 2013 2014 2015
1. Organisasi Masyarakat 21 23 32 24
2. Organisasi Kesamaan secara umum 28 30 28 10
3. Organisasi Keagamaan 10 10 10 19
4. Organisasi Wanita 6 6 6 8
5. Aliran Kepercayaan 4 4 3 2
6. Organisasi Beladiri 2 2 2 2
7. Organisasi Profesi 8 9 10 22
8. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 16 17 37 28
9. Yayasan 37 38 42 44
Jumlah 132 139 170 159
Sumber : Badan Kesbangpollinmas Daerah Kota Blitar
3https://blitarkota.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/414, pada 16 Desember 2016 4 Wawancara dengan Lurah Kepanjen Kidul, pada 09 Desember 2016
5
70
Data organisasi ini penulis cantumkan karena penelitian ini mengacu kepada konseling masyarakat, yang memungkin adanya suatu layanan atau lembaga yang bisa diajak untuk bekerja sama dalam menangani permasalahan yang muncul dengan keberadaan kaum LGBT.
Proses Pengambilan Data dan Profil Informan
71
ada juga teman-teman gay yang tidak lain adalah teman dari waria-waria yang ada di salon juga. Penulis melakukan penggalian data dengan tidak langsung menuju percakapan ke arah yang penulis butuhkan melainkan hanya datang selayaknya pelanggan salon pada umumnya. Disini awal datang penulis hanya sekedar observasi, yang kemudiaan penulis lanjutkan pada minggu-minggu berikutnya. Jadi, penelitian ini tidak berlangsung dalam waktu yang berkelanjutan begitu saja sebab penulis juga harus mengikuti pertunjukan wayang yang pagelarannya tidak hanya di kota Blitar saja. Alasan lainnya mengapa observasi tidak berkelanjutan adalah, penulis mencoba membangun komunikasi juga melalui handphone. Dari sini pada awalnya penulis ragu untuk dapat berkomunikasi dengan baik akan tetapi rupanya dari handphone ini mereka lebih terlihat mau membuka diri.
Di samping melakukan wawancara penulis juga datang sebagai penonton untuk melihat pertunjukkan wayang kulit yang ada di Jawa Timur. Pertunjukkan ini tidak dapat ditentukan secara pasti tempatkan karena tergantung rombongan wayang itu diundang dan dipentaskan dimana. Pada kesempatan ini, penulis melihat pertunjukkan wayang di Kota Kertosono dan juga di Kota Blitar. Untuk melihatnya, penulis tidak selalu datang dalam setiap pagelaran sebab hanya diberi kesempatan mengikuti pagelaran dengan tema-tema yang penulis perlukan saja. Alasan lain yang diberikan oleh dalang adalah mengenai waktu dan jarak tempat pementasan. Untuk waktu, pagelaran wayang baru dimulai paling cepat pada pukul 21.00 WIB dan akan berakhir antara pukul 03.30-04.00 WIB.
72
melainkan juga karena posisi penulis sebagai seorang yang muda dan perempuan. Sebagai seorang perempuan muda, menjadi penonton wayang di tengah malam merupakan tantangan tersendiri sebab pada umumnya memang yang menjadi penonton wayang adalah laki-laki. Kendala berikutnya adalah ketika sedang datang untuk melakukan obrolan tidak formal dengan warga mereka langsung menarik diri saat penulis mengarahkan obrolan seputar tema LGBT. Dalam hal ini penulis memang sudah diingatkan oleh kepala desa, terkait respon dan kecurigaan warga terhadap penulis.
Di desa Ngadirejo ini, penulis mengambil responden dengan purposive sampling. Responden yang penulis ambil adalah satu orang dalang, satu orang kepala desa, satu orang tukang kebun gua maria, satu orang pedagang, satu ibu rumah tangga, tukang tambal ban, tukang becak, juga kaum LGBT. Untuk LGBT sendiri penulis mewawancarai lima orang, tiga orang waria, dua orang gay. Penulis tidak mendapatkan responden yang lesbi di kota Blitar ini. Sekali lagi karena alasan tempat penelitian adalah bukan karena adanya informasi bahwa di kota ini terdapat perkumpulan LGBT. Alasan paling utama adalah ingin mengambil data dengan menggali apakah di salah satu kota di Jawa Timur ini mengenal atau mengetahui keberadaan LGBT atau tidak, juga respon mereka terhadapnya.
III.2 Deskripsi persamaan hak LGBT di kota Blitar
73
akan dilihat dari data penelitian yang berupa permasalahan yang dihadapi oleh LGBT beserta harapan-harapan atas keberadaan mereka. Dalam pemaparan deskripsi persamaan hak ini akan dibagi dalam dua bagian, bagian pertama yaitu pemaparan pengalaman LGBT itu sendiri, juga dari pandangan masyarakat akan keberadaan LGBT. Bagian kedua akan dipaparkan pandangan akan LGBT dari sudut pandang budaya jawa khususnya dari dunia pewayangan dalam melihat
adanya “keangkaramurkaan” pada jaman ini yakni diskriminasi yang terjadi
terhadap LGBT, seperti yang sudah dituliskan dalam bagian latar belakang penelitian ini dilakukan.
III.2.1 Keberadaan LGBT
Terkait dengan adanya keragaman orientasi seksual, bukanlah hal yang mudah bagi untuk teman-teman yang berorientasi seksual di luar heteroseksual. Mereka mengalami berbagai tantangan dalam menghadapi dan mengalami penghayatan orientasi seksualnya. Tantangan atau masalah yang dialami oleh teman LGBT bukan saja masalah dari luar diri mereka saja melainkan juga dari dalam diri mereka sendiri. Ada yang merasa bahwa dirinya aneh dan berbeda dengan yang lain sejak SD dan mencoba melawan apa yang dirasakan sampai-sampai ingin kabur dari keluarga,6 namun ketertarikan dengan sesama jenis itu rupanya dirasakan sampai SMA. Kemudian dari situ mulai mencari tahu sendiri apa yang terjadi dengan dirinya dan ternyata memang ada orang yang bisa tertarik atau suka dengan yang berjenis kelamin sama. Maka yang dilakukan kemudian adalah tidak menolak hal tersebut, karena tidak tahu harus berbuat apa sehingga
6
74
kenyataan yang dirasakan dan dialmai itu diterima.7 Masalah lain yang dialami oleh teman-teman LGBT yaitu berupa ketakutan akan ketertolakan dari luar apabila mereka mengakui dengan jujur akan keberadaan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu teman-teman LGBT lebih memilih untuk menutupi identitas diri mereka yang sebenarnya dari keluarga juga dari lingkungan sekitarnya. Cara yang dilakukan adalah dengan tetap berdandan seperti apa yang orang ketahui tentang dirinya akan tetapi jika sudah bersama dengan teman-temannya di luar lingkungannya maka dia menjadi diri sendiri, mengekpresikan diri sesuai dengan apa yang mereka rasakan dan alami dalam dirinya.8 Kemudian ada pula yang lebih memilih untuk tinggal berjauhan dari keluarga demi tujuan mencari penghidupan dan menjadi diri sendiri dengan sejujurnya.9 Masalah LGBT adalah masalah yang tidak melulu berbicara dalam ranah seksual. Disana ada pertentangan mengenai identittas dirinya. Ketika seseorang mendapati dirinya berbeda dengan yang lain, itu adalah pergumulan tersendiri, terelebih ini adalah tentang orientasi yang sulit diterima oleh orang lain, oleh masyarakat pada umumnya.
Keluarga yang seharusnya menjadi ranah terdekat untuk menjadi diri sendiri dengan sejujurnya rupanya justru menjadi salah satu masalah bagi teman LGBT. Keluarga dianggap salah satu masalah sebab di dalam keluarga inilah teman LGBT (dalam hal ini gay) justru mendapat tekanan untuk menikah dimana menikahnya adalah dengan lawan jenis yang tentunya akan menjadi masalah tersendiri bagi teman gay. Dengan adanya hal seperti ini mereka mengaku kalau
7
Wawancara dengan Inf A.5 (data A.5 no.2), pada 30 Desember 2016 8 Wawancara dengan inf A1 (data A.1 no.2), pada 29 Desember 2016 9
75
pada akhirnya dengan terpaksa dan pura-pura mulai berkenalan dan menjalin relasi dengan lawan jenis.10
Salah satu alasan bagi mereka yang berpura-pura dan tidak menjadi diri sendiri adalah adanya suatu pandangan negatif kepada mereka juga kepada orang tua mereka. Pandangan negatif ini muncul dikarenakan aktivitas yang dilakukan di malam hari oleh LGBT. Ini dialami oleh inf A.2 (Seorang waria yang bekerja dengan membuka salon). Ketika dia sedang keluar di malam hari, banyak yang mencibir kalau dia bekerja sebagai perempuan malam.11 Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah aktivitas yang dilakukan di malam hari memang berkonotasi negatif?
Perlakuan tidak menyenangkan tidak hanya didapati dengan adanya cibiran-cibiran apabila mereka keluar di malam hari saja. Ada perlakuan tidak menyenangkan lain yang dialami oleh teman LGBT dalam bentuk yang tidak hanya menyangkut tindakan fisik saja melainkan yang lebih menjadi masalah adalah tindakan melalui melalui verbal. Hal semacam ini diakui dan dialami oleh salah seorang LGBT. Ada yang mengaku bahwa penampilan mereka berbeda untuk siang dan malam. Ini dilakukan karena alasan supaya orang sekitarnya tidak menjauh. Meskipun begitu dengan ekspresinya sehari-hari dia masih dibilang
kemayu. Dia juga suka diajak arisan tapi seolah untuk bahan lucu-lucuan saja.12 Hal lain yang dialami oleh teman LGBT terkait bullying adalah mereka mengetahui kalau sedang di bully oleh sebab mereka belum menikah. Mereka yang tidak tertarik pada lawan jenis memang lebih memilih untuk tidak menikah
10
Wawancara dengan Inf A.4 (data A.4 no.1 dan 2), pada 29 Desember 2016 11 Wawancara dengan Inf A.2 (data A.2 no 2), pada 12 Desember 2016 12
76
daripada harus membohongi diri sendiri terlebih lagi membohongi orang lain terkait orientasi seksualnya.13
Selanjutnya terkait dengan pekerjaan, bagaimanapun juga, layaknya orang
“normal” pada umumnya, LGBT juga berusaha memenuhi kebutuhannya dengan
bekerja. Beberapa informan yang penulis temui berprofesi sebagai perias dan juga pekerja salon. Meskipun di beberapa tempat yang penulis ketahui bahwa waria biasanya mendapatkan keterampilan dari lembaga tertentu, namun tidak dengan waria yang penulis temui ini. Mereka belajar secara otodidak, atau juga belajar dari pemilik salon tempat dimana pada awalnya mereka bekerja sampai sebelum akhirnya membuka salon sendiri. Akan tetapi, dari beberapa keterangan informan LGBT, rupanya terkait pekerjaan menjadi salah satu masalah mereka. Mereka yang mengamennya tidak hanya siang hari menjadi incaran petugas atau di razia. Razia atau pengamanan oleh petugas yang dilakukan kepada waria yang mengamen ini adalah karena alasan untuk ketertiban.14
Ketika mereka berupaya mencari penghasilan yang halal, rupanya menjadi pengamen adalah sebuah masalah bagi teman-teman LGBT (waria) karena dianggap membuat lingkungan kurang tertib. Menurut teman waria mengamen adalah salah satu usaha mencari nafkah selain dengan hobby make up yang mereka salurkan untuk membuka salon. Perlu diketahui juga bahwa tidak semua waria itu bisa buka salon sebab tidak semuanya memiliki bakat merias atau hanya sekedar memotong rambut. Teman waria ini merasa bahwa ada para petugas itu
13
Wawancara dengan Inf A.4 no.1 pada 29 Desember 2016 14
77
lebih baik mengurus masalah adanya pencopet/ penjambret.15 Jadi, harapan mereka adalah untuk ke depannya tidak perlu lagi ada penertiban untuk pengamen seperti mereka.
Inf A3 : “Kalau ke depannya saya berharap ngamen ya gak usah
dikejar-kejar alasan biar tertib lah, toh saya juga halal ini nyari
duitya, ngamen juga gak teriak-teriak. Petugas-petugas tu urusin
saja pencopet tuh, mereka jambret orang sesukanya.”
Akan tetapi, sebagian dari mereka ini ada juga yang bekerja sebagai penyanyi elektun di acara seperti hajatan, khitanan, ulang tahun dan acara-acara lain. Jadi dari apa yang didapatkan dengan hasil menjadi penyanyi ini mereka mencukupi kebutuhan hidupnya. Bagi mereka dengan bernyanyi juga akan menambah kenalan, juga dapat bersosialisasi dengan lingkungan. Dalam hal ini bagi mereka yang penting adalah menjadi diri sendiri dan tidak terlalu memikirkan apa yang dikatakan orang lain tentang dirinya. Kalau ada yang tidak senang dengan mereka, mereka tidak mau repot dengan penilaian orang lain dan cenderung bersikap masa bodoh. Jadi, memang sekalipun mereka mengekspresikan diri tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, mereka tidak memiliki keinginan untuk operasi kelamin hanya saja mereka ingin jadi diri sendiri dan mengekspresikan diri sesuai apa yang mereka rasakan.16
Teman-teman LGBT ini juga tetap mengusahakan untuk membaur dan terlibat dalam kegiatan masyarakat, misalnya saja ikut terlibat dalam pelayanan di gereja,17 terlibat dalam kegiatan RT atau kegiatan di RW. Namun ada pula yang
15
Wawancara dengan Inf A.3 no.4 pada 30 Desember 2016 16 Wawancara dengan Inf A.1 no.4 pada 30 Desember 2016 17
78
tidak terlibat dalam lingkungan masyarakat dengan alasan bahwa mereka hanya seorang pendatang. Bagi mereka yang ikut terlibat dalam masyarakat, alasannya adalah karena mereka masih menjadi bagian dari penduduk dan masih tercatat sekalipun mereka tidak menjadi seperti apa yang mereka rasakan. Artinya, dalam keseharian ketika bersama dengan masyarakat, mereka tidak berdandan seperti pada malam hari. Sekalipun mereka tidak berdandan seperti pada malam hari, mereka masih dilihat kemayu oleh yang lain, juga sering dipanggil dengan panggilan jeng.18 Dari hal ini dapat dilihat bahwa masyarakat menilai seseorang dari penampilan luarnya, terlebih memang sudah menjadi konstruksi budaya bahwa yang kemayu itu dipanggil dengan sebutan jeng. Dari sini juga memperlihatkan bahwa sifat kemayu itu dimiliki oleh perempuan.
Dinilai oleh masyarakat kebanyakan dari jenis kelamin dan ekspresi mereka sudah menjadi hal yang tidak asing lagi bagi mereka. Akan tetapi, penilaian masyarakat tidak hanya berhenti pada hal itu saja. Masyarakat bahkan keluarga juga menilai bahwa seorang laki-laki harus menikah dengan perempuan, terlebih di usia yang sudah tergolong lewat nikah. Mereka merasa bahwa hal seperti itu tidaklah adil dan mereka sempat ingin marah ke Tuhan sebab sebenarnya mereka tidak pernah meminta menjadi orang yang suka dengan sesami jenis kelamin.19 Hal seperti ini menjadi masalah tersendiri bagi teman LGBT yang penulis temui. Mereka merasa tuntutan untuk menikah adalah tekanan untuk diri mereka. Akan tetapi, merasa berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang
menganggap diri “normal” tentunya ada keinginan untuk juga mendapat
pengakuan bahwa mereka juga normal. Tentu hal ini membutuhkan sekali adanya
18 Wawancara dengan Inf A.3 no.3 pada 29 Desember 2016 19
79
keberanian dan perjuangan dari teman-teman LGBT. Merasa takut ditolak, merasa takut menyakiti keluarga, merasa takut dianggap berbeda, itu yang mereka rasakan. Di atas semua ketakutan itu mereka masih dan tetap memiliki keinginan untuk mengatakan kejujuran tentang identitas mereka, tentang orientasi seksual mereka.20 Ketakutan lain yang muncul dari teman LGBT lainnya lagi adalah terkait dengan berita-berita soal keberadaan mereka. Mereka merasa miris (prihatin) melihat berita-berita sehubungan dengan oriantasi seksual dan diri mereka.21 Dari semua ini, yang begitu terlihat adalah teman LGBT memiliki keinginan untuk mengakui identitasnya, mengakui orientasi seksualnya kepada orang lain terutama keluarganya. Mereka berharap bahwa mereka bisa diterima dengan keadaan mereka.
III.2.2 Pandangan Masyarakat Terhadap LGBT
Perlunya mendengarkan juga pendapat dari masyarakat akan keberadaan LGBT ini tidak lain adalah demi tujuan mencari titik tengah yang dapat menjebatani mengenai apa dan bagaimana solusi yang dapat dilakukan di tengah diskriminasi yang terjadi pada LGBT.
Masyarakat mengetahui keberadaan LGBT di sekitar mereka bukan dari pengakuan teman LGBT itu sendiri, melainkan dari apa yang mereka jumpai di lingkungan mereka. Keberadaan teman LGBT terutama yang laki-kali suka sama laki-laki dan perempuan suka perempuan tidak bisa begitu saja diketahui oleh masyarakat. Akan tetapi masyarakat ada yang mengetahui tentang mereka yang suka sesama jenis ini adalah dari cara mereka bergaul sehari-hari, dari cara
20 Wawancara dengan Inf A.1 no.4 pada 30 Desember 2016 21
80
mereka memperlakukan temannya yang sama jenis kelaminnya.22 Ada juga informan yang mengatakan bahwa ia mengetahui perempuan pacaran sama perempuan ketika dia ada di Samarinda.23 Informan lain juga mengatakan bahwa mereka tahunya tentang waria bukan yang suka sesama jenis, yang seringkali mereka lihat waria-waria itu ada di alun-alun dan stasiun ketika pada waria yang mereka sebut banci itu sedang mengamen.24 Mereka cenderung takut dengan waria dikarenakan cara berdandannya juga merasa aneh kalau ada yang sama jenis kelaminnya dengan informan tetapi dandan seperti perempuan. mereka juga mengatakan apakah tandanya bahwa dunia akan kiamat, sebab ada manusia yang seperti waria atau yang suka dengan sesama jenis itu.25 Akan tetapi ada juga yang sama sekali tidak tahu mengenai keberadaan LGBT, atau mungkin mereka saja yang sebenarnya tidak mau tahu. Jadi dari sini terlihat bahwa keberadaan LGBT tidak seterbuka orang heteroseksual yang sudah dipandang umum di masyarakat. Kecurigaan dan apa yang mereka tahu tentang yang suka sama sejenis hanya sebatas pada cara bergaul dalam hidup kesehariannya.
Informan (masyarakat) juga berpendapat bahwa mereka yang suka dengan sesama jenis itu adalah sesuatu yang aneh. Orientasi seksual di luar heteroseksual merupakan sesuatu yang harus ditolak, keinginan untuk suka dengan sesama jenis perlu dilawan atau tidak perlu diikuti.26 Hal lain yang dilihat dari masyarakat adalah mengenai keturunan, karena suka dengan sesama jenis (terutama untuk gay
22 Wawancara dengan Inf B.1 pada 29 Desember 2016 23
Wawancara dengan Inf B.2 pada 29 Desember 2016 24
Wawancara dengan Inf B.4 , pada 9 Desember 2016 25 Wawancara dengan Inf B.6 pada 28 Desember 2016 26
81
dan lesbi) maka masalah utamanya adalah terletak pada keturunan.27 Adanya hubungan sesama jenis atau homoseksual (gay dan lesbian) ini juga dianggap tidak wajar oleh informan yang penulis temui.28 Menjadi aneh jika ada laki-laki sama laki-laki dan perempuan sama perempuan.29 mungkin, dalam melihat realitas ini, pada umumnya kaum heteroseksual merasakan ada sesuatu yang tidak alami dan diluar sifat-sifat manusia "normal". Apakah dengan adanya pemikiran normal dan tidak normal ini hanyalah dengan melihat banyaknya heteroseksual yang selama ini telah masyarakat ketahui ataukah ada alasan lain yang jelas adalah ketidakwajaran yang dimaksud juga terletak pada masalah keturunan.
Selain dianggap tidak normal dan tidak wajar, anggapan lain yang diberikan kepada LGBT adalah orang seperti LGBT ini bisa mempengaruhi anak kecil. Pengaruh yang ditakutkan itu adalah ke pemikiran anak-anak, jadi apa yang menjadi pemikiran LGBT ditakutkan dapat pula mempengaruhi pemikiran anak-anak.30 Untuk menyikapi hal seperti ini mereka sendiri juga tidak tahu harus dengan cara apa dan bagaimana. Dalam hal ini LGBT dianggap sebagai sesuatu yang bisa menular ke orang lain, khususnya mempengaruhi pemikiran. Akan tetapi ada informan yang berpendapat bahwa adanya mereka yang suka sesama jenis juga tidak perlu diusir. Tindakan tidak mengusir mereka yang suka dengan sesama jenis ini adalah sejauh mereka tidak mengganggu yang lain.31 Sekalipun ada rasa tidak senang dengan keberadaan mereka yang suka dengan sesama jenis ini, masyarakat juga ada yang memilih untuk lebih baik diam karena tidak enak
27 Wawancara dengan Inf B.3 pada 11 Desember 2016 28
Wawancara dengan Inf B.4 pada 09 Desember 2016 29
Wawancara dengan Inf B.1 pada 13 Desember 2016 30 Wawancara dengan Inf B.1 pada 13 Desember 2016 31
82
hati untuk menegur dan berbicara langsung. Alasan lain dari memilih diam adalah lebih baik memang diam daripada rame (bahasa rame ini lebih diartikan ke arti berkelahi) dan menimbulkan kesalahpahaman. Akan tetapi kalau bisa mereka yang suka sesama itu tidak tinggal di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka.32 Sejalan dengan pendapat ini, ada pula informan yang mengatakan bahwa mereka tidak bisa misalkan harus hidup berdampingan sebagai tetangga dengan yang suka sesama jenis (gay dan lesbi) juga waria dengan alasan supaya tidak tertular.33 Dengan adanya pendapat-pendapat ini penulis melihat bahwa informan masih menganggap bahwa mereka yang berorientasi seksual tidak sama dengan diri mereka ini dapat menular. Untuk itu jika ada yang tinggal di dekat mereka sebisa mungkin akan diminta untuk pindah tempat tinggal.
Selanjutnya, juga ada yang mengatakan bahwa setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Sebagai manusia hanya perlu menjalaninya dengan baik apa yang menjadi bagian dan jalannya. Maka dengan begitu tidak mikir aneh-aneh atau tidak perlu repot dengan keberadaan LGBT.34 Kemudian juga ada yang bersikap untuk tidak mau tahu, sebuah sikap yang dipilih oleh salah satu informan dengan keberadaan LGBT. Dalam hal ini ada perasaan tidak enak hati atau sungkan untuk menegur teman LGBT. Mereka memilih diam daripada nanti ada salah paham jika bicara terkait orientasi seksual dan penampilan teman-teman LGBT.35 Hal seperti tidak mau tahu begini dilakukan hanya untuk alasan menjaga keamanan di lingkungan dan juga hubungan antar masyarakat. Akan tetapi apakah langkah keacuhan / masa bodoh yang diambil masyarakat ini adalah sebagai
32
Wawancara dengan Inf B.1 pada 29 Desember 2016 33
Wawancara dengan Inf B.6, pada 28 Desember 2016 34Wawancara dengan Inf B.5, pada 12 Desember 2016 35
83
bentuk atau cara mereka menerima LGBT? Penulis merasa ini hanya sekedar untuk mencari aman dengan tidak adanya keributan mengenai keberagaman orientasi seksual yang ada.
III.3 Pemaknaan Semar
Semar adalah tiga bersaudara, yaitu ada Togog, Semar, Betara Guru (manikmaya) yang di kahyangan. Ketiganya adalah gambaran wayang yang sempurna, ketiganya berasal dari satu telur dan ketiganya adalah anak dari betara tunggal. Mereka memiliki eyang bernama Sang Hyang Wenang dan memiliki ibu bernama Dewi Rati yang tidak lain adalah anak dari betara yuyut. Jika ditanya mana atau siapa yang tua tidak ada yang tahu, telur itu tidak bisa dipegang juga tidak bisa dilepas. Akan tetapi dalam cerita, mereka berebut akan siapa yang tua, sampai memakan gunung. Dari situ akhirnya mereka diberi tugas. Togog ke bumi tempat orang yang angkara murka supaya togog memberikan nasehat. Semar diberi tugas momong satria utama dan yang saudara yang satu di kahyangan. Semar sebagai pamong secara khusus memberi nasehat kepada Pandawa saat terjadi perang Bharatayuda. Semar sebenarnya suci dan titisan dewa. Semar itu sebenarnya dari kata sarwo samar (gek ketok gek ora = sulit dipahami). Selain itu ia memiliki sebutan seperti Badranaya dan Nayatanka. Semar juga memiliki banyak nama lain, nama itu sesuai dengan perjalanan dan pengalaman serta pengenalan orang terhadapnya. Nama-nama Semar tersebut diantaranya seperti
Semar mbarang jantur, Semar Gugat, Semar mbangun kahyangan.36 Berikut sedikit keterangan tentang Semar mbangun kahyangan dan Semar gugat:
36
84
”Semar gugat dan semar bangun kahyangan itu serupa. Semar gugat itu di
kahyangan. Wong sekti duwe kayekten tapi duwe watak angkara murka maka
semar nggugat nang sing gawe urip..jadi semar mengadukan (memprotes sesuatu
yang takwajar), gugat itu ke penguasa..kalau mbangun kahyangan ya semar
sendiri yang mengajak bangun aklhak. Sak dekdayane wong kalau salah ya tetap
kalah sama kebaikan. Semar mbangun kahyangan itu terpenting karna tujuannya
perdamaian. Semar akan susah kalau masyarakat tidak tentram. Lurah itu kalau
masyarakat ndak sejahtera maka seorang pamong wajarnya susah..kepribadian
seperti semar dimiliki oleh Pandawa..tokoh kebaikan.”37
(Semar Gugat dan Semar mBangun Kahyangan itu serupa. Semar Gugat itu di kahyangan. orang sakti, punya kesaktian tetapi memliki watak tidak baik maka Semar menggugat kepada yang punya hidup. Jadi Semar mengadukan (protes sesuatu yang tidak wajar). Semar Gugat ke penguasa. Kalau bangun kahyangan, ya Semar sendiri yang mengajak membangun akhlak. Seberapapun kekuatan orang, kalau salah ya tetap kalah sama kebaikan. Semar bangun kahyangan itu terpenting, karena tujuannya perdamaian. Semar akan susah kalau masyarakat tidak tentram. Lurah itu kalau masyarakat tidak sejahtera maka seorang pamong wajarnya susah. Kepribadian seperti Semar dimiliki oleh Pandawa, tokoh kebaikan.)
“Semar adalah pamong. Pamong yang tulus tidak akan senang kalau negaranya
gak harmonis. Akhirnya semar bangun kahyangan. Bukan membangun istana,
tapi keadaan, kahyangan itu adalah hati. Kedamaian, surga. Semar bangun
kahyangan adalah membangun aklhak, kamu tau siapa kamu, kamu tau apa
kewajibanmu, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Semar tujuannya seperti
itu, terjadi ketidakharmonisan karena sesama manusia merampas hak yang lain.”38
Itulah sedikit penjelasan mengenai Semar Gugat dan Semar bangun kahyangan. Dalam dua lakon ini Semar melakukan protes atas adanya
37 Wawancara dengan Inf D no. 6 pada 11 Desember 2016 38
85
ketidakwajaran dan ketidakadilan terlebih yang dilakukan oleh para pemimpin dan penguasa. Semar melakukan protesnya tidak dengan kekerasan melainkan hanya dengan menyampaikan apa yang seharusnya dibuat oleh para pemimpin apabila ada suatu bentuk ketidaadilan. Untuk Semar mbarang jantur, Ki Dalang hanya memberikan sedikit penjelasan saja. Semar mbarang jantur lebih menggambarkan akan bagaimana karakter Semar, yaitu sebagai Pemerhati. Disini Semar mengamati, kemudian apa yang janggal disana yaitu yang janggal dalam pengamatannya maka ia akan meluruskan. Apa yang tidak wajar dalam penglihatannya maka akan ia akan melakukan tindakan-tindakan yang membuat suatu keadaan tidak lagi janggal.
“Lha ini mbangun kahyangan ini juga didahului dengan peran Semar dadi pengamat mbak..iku lho, Semar mbarang jantur...semar ngamati keadaan, misal ana sing ga wajar ya semar bertindak. Semar langsung melakukan sesuatu gawe membuat keadaan baik kabeh. Pokok sifat e semar iki ya mengamati, lha mau dapat darimana sampai ia tahu kalau ada yang hendak di gugat kalau dek e tidak mengamati dulu,ya to?”39
(“Lha ini bangun kahyangan ini juga didahului dengan peran Semar menjadi pengamat mbak..itu lho, Semar mbarang jantur. Semar mengamati keadaan, misal ada yang tidak wajar ya Semar bertindak. Semar langsung melakukan sesuatu untuk membuat semua keadaan itu baik. Pokoknya sifat Semar itu mengamati, lha mau dapat darimana sampai ia tahu kalau ada yang hendak digugat jika ia tidak mengamati dulu, ya kan?”)
Berbicara tentang Semar secara fisik, Semar itu tidak laki-laki tidak juga perempuan. Sebenarnya disini hanyalah subuah kiasan, artinya Semar bisa menjadi ibu juga bisa menjadi bapak. Dalam hal ini, menjadi ibu sekaligus bapak adalah terkait dengan perannya dan pemenuhan kebutuhan yang dilakukannya.
39
86
Jadi Semar tidak bisa dinilai keberadaannya secara jasmani atau biologis saja melainkan perlu dilihat dari perannya tadi. Laki-laki dan perempuan yang ada dalam diri Semar memang tidak bisa dipahami secara biologis, namun sangat bisa untuk dilihat dan dinilai secara filosofisnya. Ketika menjadi perempuan maka harus juga bisa menjadi seperti perempuan.Kemudian kalau dilihat dari status dan tugasnya sebagai pamong maka dia harus memiliki cara agar keharmonisan itu selalu ada dan terjaga. Jika terjadi ketidakharmonisan karena adanya perampasan hak antar sesama manusia maka sebagai pamong harus tahu bagaimana membuat keadaan itu baik. Manusia itu harus tahu tentang keberadaannya dan tahu akan kewajibannya jadi tahu akan apa yang harus dilakukan.40 Hal ini sesuai dengan siapa, apa dan bagaimana peran setiap lakon yang ada dalam pewayangan, terlebih secara khusus peran Semar.
Dalam dunia pewayangan ada banyak lakon yang memiliki peran, karakter dan tugas masing-masing misalnya saja Pandawa sebagai lakon kebaikan. Ada lakon yang menjadi penyebab masalah namun juga ada lakon yang bisa mengatasi atau menyelesaikan masalah itu. Pandawa menjadi figur pemimpin yang berbakti dan tahu akan kewajibannya kepada sang pencipta dan juga nusa bangsa. Sedangkan dalam pewayangan tokoh kejahatan adalah Kurawa. Kalau berbicara mengenai kedamaian atau keharmonisan, sudah jelas bahwa sejatinya yang ingin damai itu Pandawa. Pandawa atas dukungan dan bantuan dari Semar41 bisa menjadi figur yang selalu menginginkan damai. Dari hal ini maka dapat dilihat bahwa kedamaian yang Pandawa ciptakan tidaklah terlepas dari sosok Semar.
40 Wawancara dengan Inf D, no 7 pada 11 Desember 2016 41
87
Semar dalam hal ini adalah seorang pamong. Peran Semar ini juga sebenarnya tidak bisa terlepas dari peran ketiga anaknya yaitu Gareng, Bagong, Petruk :
“Semar iku ya ga iso dilepaskan saka ketiga lakon yang jadi anak e lho mbak. Ga iso dilepas saka tokoh punakawan lain mbak, Gareng, Petruk, Bagong. Lha, muncul e Semar ning gara-gara kan ya sama ketiga lakon iki mbak, Semar ga iso dewean. Jadi, ya penggambaran Semar itu memang ga iso lepas saka Gareng,
Bagong, Petruk. Kabeh iki duwe fungsine dewe-dewe mbak.”42
(Semr itu tidak bisa dilepaskan dari ketiga lakon yang jadi anaknya lho mbak. Tidak bisa dilepaskan dari tokoh punakawan lain mbak, Gareng, Petruk, bagong. Lha munculnya Semar dalam gara-gara kan ya sama ketiga lakon ini mbak. Semar tidak bisa sendirian. Jadi, ya penggambaran Semar itu memang tidak bisa lepas dari Gareng, Bagong, Petruk. Semua ini punya fungsi masing-masing mbak.)
Jika disebutkan bahwa setiap lakon dalam pewayangan itu memiliki karakter dan tugasnya masing-masing maka hal ini sesuai dengan tujuan daripada wayang itu sendiri. Dikatakan bahwa wayang memiliki tujuan misi, salah satunya misi kerukunan, kemakmuran. Ini yang disebut keharmonisan dalam dunia pewayangan. Selain itu keharmonisan juga bisa tercipta ketika pemimpinnya adil dan pejabat sesuai dengan harapan (tidak ingkar janji).43 Misi dari wayang ini sesuai dengan apa yang menjadi satu falsafah hidup orang jawa yaitu kerukunan. Dalam hal ini, kerukunan tidak hanya bergantung pada individu saja melainkan juga terdapat andil pemimpin di dalamnya.
Dalam dunia pewayangan Pandawa sebagai lakon kebaikan. Ada lakon yang menjadi penyebab masalah namun juga ada lakon yang bisa mengatasi atau menyelesaikan masalah itu. Pandawa menjadi figur pemimpin yang berbakti dan
42 Wawancara dengan Inf D, no 6 pada 11 Desember 2016 43
88
tahu akan kewajibannya kepada sang pencipta dan juga nusa bangsa. Sedangkan dalam pewayangan tokoh kejahatan adalah Kurawa. Adanya hal yang bertentangan dari Pandawa dan Kurawa ini akhirnya terjadi ketidakharmonisan. Jika terjadi suatu ketidakharmonisan maka masyarakatlah yang menjadi korban.44 Pandawa dan Kurawa hanya sebagai contoh dari sekian banyaknya lakon-lakon dan figur dalam dunia pewayangan. Namun dari contoh ini tergambar bahwa ketidakharmonisan akan memiliki akibat. Disebutkan bahwa adanya suatu ketidakharmonisan akan menimbulkan korban, dalam hal ini masyarakat. Suatu ketidakharmonisan itu terjadi karena adanya pihak yang mementingkan diri sendiri, menindas masyarakat dan tidak peduli dengan kepentingan masyarakat. Kalau di zaman ini adanya keangkaramurkaan yang menyebabkan ketidakharmonisan itu adalah keberadaan pemimpin yang egois dan ambisi serta lupa akan janji yang dibuat, pemimpin yang tidak mengayomi serta membedakan status / derajat rakyatnya.
Untuk tema LGBT yang penulis tanyakan, dalang berpendapat bahwa tema ini perlu dipikirkan sebab mereka tidak memiliki tempat untuk bernaung. Mereka berkarya sendiri serta tidak ada bentuk perlindungan untuk LGBT terkhusus dalam hal ini waria. Akan tetapi permasalahan ini tidak akan bisa diselesaikan jika dalam ranah hukum dan negara saja. Disini dalang memposisikan diri sebagai dalang untuk mewakili dirinya sendiri, mewakili Semar, namun juga ingin mencoba melihat dari sudut pandang agama dan pemerintah. Jadi permasalahan terkait LGBT harus dipikirkan dari sisi
44
89
kemanusiaan. Hal ini perlu sekali untuk dilakukan, perlu untuk diurus sebab selama ini yang diurusi oleh hanya laki-laki dan perempuan saja.45
“Di kehidupan sekarang, Semar sebagai pinisepuh, sebagai kiayi, pendeta, biksu..karakter semar ada dalam mereka semua itu. semar itu
ibarat pcenasehat. Persoalan ini sulit mbak. Zaman dulu dibiarkan
meskipun ada. akhirnya memang mereka tidak mengganggu..ta pi kasihan
terkait pekerjaan mereka. Misal waria, mereka ngamen dll, tapi ya tidak aman dari razia.” 46
Jika di jaman wayang atau dalam dunia pewayangan semar adalah pamong maka di jaman sekarang, Semar hadir pada diri pemuka-pemuka agama bahkan sebenarnya Semar itu ibarat seorang penasehat. Maka baiklah jika karakter Semar juga hidup dalam diri para pemuka agama. Dalam hal ini, mungkin semar dalam hal kebijaksanaannya maka semar ingin mengajak semua ke hati nurani yang baik yaitu mbangun kahyangan. Bangun kahyangan disini maksudnya adalah bukan membangun istana secara fisik melainkan menciptakan keadaan, sebab kahyangan sesungguhnya itu adalah hati. Semar bangun kahyangan adalah membangun aklhak. Tujuannya Semar bangun kahyangan adalah apabila terjadi ketidakharmonisan oleh karena manusia merampas hak yang lain, semar yang adalah pamong itu maka dia harus benar-benar bisa momomg. Dalam rangka menanggapi keberadaan LGBT dan diskriminasi yang terjadi maka tugas semar adalah membimbing dan mengembalikan ke haknya masing-masing. Sekalipun tertolak tetap harus dipikirkan nasibnya. Fungsi semar mengarahkan, kalau ada
45 Wawancara dengan Inf D.8 pada 11 Desember 2016 46
90
diskriminasi maka sosok-sosok Semar pada jaman ini harusnya bisa menjadi penengah supaya semua orang bisa hidup rukun.47
Sedikit ulasan tentang pendapat dalang mengenai LGBT dari atau mewakili perspektif Semar akan dijadikan sebagai acuan dalam menuliskan kajian permasalahan persamaan hak LGBT dari perspektif Semar. Tentang permasalahan persamaan hak LGBT ini akan terlebih dahulu dilihat dari prinsip hidup rukun dan bagaimana cara membuat keharmonisan. Dimana hal tersebut juga akan diawali dengan hal apa yang sebenarnya dapat membuat keadaan di tengah kehidupan itu mengalami kekacauan atau ketidakharmonisan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pamong, Semar melakukan tindakan kepada Pandawa dengan cara memberikan masukan, menasehati. Tindakan ini salah satunya dilakukan semar pada saat ada pertempuran antara Pandawa dan Kurawa. Sebagai seorang pamong tentunya memang ia tidak akan senang jika negaranya tidak harmonis. Akhirnya jika terjadi suatu ketidakharmonisan, sebagai salah satu contoh upaya Semar adalah ia mbangun kahyangan. Mbangun kahyangan disini bukanlah membangun istana melainkan membangun hati yang berarti disana ia membangun kedamain dan membangun akhlak.48
III.4 Rangkuman
LGBT dan permasalahannya
Menjadi bagian dari yang berorientasi non heteroseksual bukanlah sebuah pilihan yang dilakukan dengan sadar. Kesadaran bahwa diri berbeda dari orang
47 Wawancara dengan Inf D.10 pada 11 Desember 2016 48
91
pada umumnya membuat teman LGBT berusaha mencari tahu akan apa yang mereka alami sampai akhirnya juga ingin marah, akan tetapi kemudian menerima kenyataan diri yang berbeda tersebut. Kemudian dengan keadaan ketertarikan seksual yang berbeda dari orang pada umunya tersebut ternyata membuat mereka mengalami masalah. Teman-teman LGBT mengalami masalah tidak hanya di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka saja melainkan juga terkait dengan pengkuan kepada keluarga dan juga tentang ekpresi keseharian mereka. Jadi, mereka cenderung untuk tidak menjadi diri sendiri. Mereka berpura-pura sewajarnya mengekspresikan diri sesuai dengan keadaan biologis mereka namun tidak dengan jiwa, emosi dan ketertarikan seksual mereka.
Memang tidak ada perlakukan khusus misalnya menerima dengan baik kaum LGBT di tengah kehidupan masyarakat. Penerimaan yang dilakukan juga karena mereka yang masuk dalam kategori LGBT belum menjadi diri mereka sendiri. Secara khusus dalam penelitian ini, masalah yang dialami adalah adanya bullying, dianggap dapat menular dan mempengaruhi pemikiran, tekanan menikah, dikejar petugas keamanan saat mengamen, masyarakat cenderung tidak
mau tinggal berdampingan, stigma negatif (misal dianggap sebagai “pekerja
malam”, dianggap sebagai sesuatu yang aneh.
Terkait Semar dan asal-usulnya serta tanggapan terhadap LGBT
92
digambarkan sesuai nama dan cerita dalam setiap tindakan sesuai dengan namanya. Banyaknya nama yang dimiliki oleh Semar tersebut adalah sesuai dengan perjalanan dan pengalaman serta pengenalan orang terhadapnya. Nama-nama Semar tersebut diantaranya seperti Semar Mbarang Jantur (peran Semar sebagai pengamat suatu keadaan), Semar Gugat dan Semar mbangun kahyangan
(peran Semar memprotes dan menggugat kepada penguasa apabila terjadi hal yang tidak adil dan tidak wajar, kemudian mengajak membangun keadaan akhlak/ hati menjadi baik).