• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752012002 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752012002 BAB III"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

49

BAB III

PEMIKIRAN SOEKARNO TENTANG KEADILAN BAGI

KAUM PEREMPUAN

Bab tiga merupakan bab dimana penulis menjabarkan dan membahas tentang

Soekarno yang adalah tokoh yang sangat populer yang hadir pada masa bangsa

Indonesia mengalami penjajahan, masa pergerakan kemerdekaan, dan masa

kemerdekaan. Tujuan utama dari pembahasan pada bab ini ialah mengemukakan

tentang gagasan-gagasan keadilan bagi kaum perempuan. Adapun topik-topik yang

dibahas pada bab ini adalah: Biografi Soekarno, Konteks yang Mendukung

Pandangan Soekarno yang dibagi dalam dua sub topik yaitu Kenyataan Bangsa yang

Terjajah dan Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan yang dilihat dari aspek

Pendidikan, Pernikahan, Fisik dan Seksualitas, Wacana Publik, serta Politik dan

diakhiri dengan Kemerdekaan dalam Pandangan Soekarno.

A.Biografi Soekarno

Soekarno adalah seseorang yang memiliki tipe pekerja keras, senang

membantu orang lain, inspirator, pandai berbicara, cerdas, berjiwa seni, dan

berkemampuan. Ia melewatkan sebagian besar masa kecilnya bersama dengan

kakeknya di Tulungagung (Kediri). Di sinilah Soekarno diajarkan tentang banyak hal,

salah satunya diajarkan untuk selalu bersikap jujur dan berlaku adil. Pada masa

kecilnya, Soekarno gemar menyaksikan pertunjukan wayang yang merupakan

kebudayaan masyarakat Jawa. Ksatrya merupakan sosok yang hebat pada cerita pewayangan yang hadir dengan ide-ide tentang kebaikan, keadilan, dan

(2)

50 dalam memperjuangkan masa depan bangsa Indonesia yang pada saat itu mengalami

banyak penindasan dari pihak penjajah.1

Setelah beranjak dewasa, Ia bergabung dengan Sarekat Islam yang dibangun

atas dasar untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Di dalam pergerakan

itu, tekanan yang diberikan kepada anggota-anggotanya ialah untuk melindungi

masyarakat dari penindasan serta melindungi kesatuan bangsa. Dengan demikian, ia

mulai belajar dalam memperjuangkan dan mempertahankan persatuan serta kesatuan

bangsa dengan menyerukan perjuangan melawan “kapitalisme”.2

Ketika menjadi seorang mahasiswa, ia berkenalan dengan dua pandangan yang

berbeda secara mendasar satu sama lain mengenai sikap terhadap rezim kolonial:

sikap pasif yang diambil oleh Tjokroaminoto. Sebaliknya, ia menjumpai sikap militan

pada diri Tjipto Mangunkusumo yang adalah gurunya. Dalam prakteknya, Tjipto

menyerukan bagi para pengikutnya agar memiliki keberanian untuk mempertahankan

keyakinan dalam berjuang bagi Tanah Air. Pada diri Tjipto, Soekarno menemukan

kembali bahasa para ksatrya dari dunia pewayangan yang telah meninggalkan kesan begitu mendalam pada dirinya ketika masih kecil.3

Berdasarkan biografi dari Soekarno, disimpulkan bahwa pemikiran yang

dikembangkan oleh Soekarno tentang keutuhan bangsa, keadilan, dan cita-cita

kebangsaan sangat dipengaruhi kuat oleh kebudayaan Jawa yang tradisional

(pewayangan) dan ideologi anti-Barat yang pada saat itu menjajah bangsa Indonesia

serta tidak lepas dari pengaruh ajaran di dalam keluarga yang menekankan baginya

untuk menjadi pribadi yang bersikap jujur, berpihak kepada orang-orang yang lemah

dan bertindak adil.

1 Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1987), 27-28 2 Baskara T. Wardaya, Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga

(3)

51 Soekarno yang hidup pada masa penjajahan, kemudian bertekad untuk

membela kebenaran dan keadilan serta menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh

rakyat Indonesia. Tekadnya yang bulat didasarkan pada kenyataan pahit yang dialami

oleh bangsa Indonesia. Adapun hal tersebut akan dibincangkan dalam point berikut

ini.

B.Konteks yang Mendukung Pandangan Soekarno

B.1. Kenyataan Bangsa yang Terjajah

Sejarah masa lampau bangsa Indonesia dilatar belakangi oleh konteks

kemanusiaan yang sangat memprihatinkan dalam bidang: ekonomi, sosial, politik,

agama, dan budaya. Ketidak-adilan, penyelewengan, dan penindasan yang dialami

berdampak pada kebebasan dan kemerdekaan dari setiap warga masyarakat. Di bawah

kekuasaan bangsa lain, Indonesia mengalami penderitaan antara lain: perendahan

martabat sebagai manusia, diskriminasi, dirampasnya tenaga dan harta serta

eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh kaum penjajah terhadap rakyat

Indonesia.

Selama masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia mengalami penindasan

dari pihak koloni yang memerintah berdasarkan kebijakan perdagangan bebas. Pihak

koloni memberlakukan kerja paksa yang dikenal dengan sebutan “Sistem Tanam

Paksa” bagi masyarakat pribumi dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang besar

bagi pihak mereka. Sebaliknya masyarakat pribumi mengalami kerugian sehingga

mengakibatkan kemiskinan yang sangat memprihatinkan. Dengan keadaan terpaksa,

rakyat pribumi harus memusatkan segala bentuk perhatian mereka pada tanaman

ekspor sehingga menyebabkan turunnya produksi pangan, dan menimbulkan

kelaparan, rendahnya upah, besarnya pajak, serta kemiskinan di mana-mana. Sebagai

(4)

52 dihapuskannya Sistem Tanam Paksa. Kritik-kritik ini berhasil membawa masyarakat

pribumi pada kualitas hidup yang lebih menjanjikan melalui pemberlakuan Politik

Etis dalam tiga bidang yaitu, ekonomi, politik dan pendidikan.4

Dengan adanya perlakuan yang tidak adil terhadap bangsa Indonesia maka

timbulah sikap anti-imperialisme yang ditunjukkan oleh Soekarno. Menurutnya,

imperialisme adalah suatu sistem yang ekspolitatif, kapitalisme yang mendorong

praktik-praktik imperialis. Imperialisme adalah suatu hasrat berkuasa, yang antara lain

terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah dan mengatur ekonomi dan negara

orang lain.5 Karena itu ia mengajak rakyat Indonesia untuk melawan imperialisme,

baik sebagai sistem politik maupun sebagai sistem ekonomi.6

Berakhirnya kekuasaan Belanda tidak berarti Indonesia terbebas dari

penderitaan. Hadirnya bangsa baru yakni Jepang membawa perubahan bagi bangsa

Indonesia dalam menghadapi perjuangan kemerdekaan. Rakyat Indonesia percaya

akan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Di awal

pendudukannya, Jepang menunjukkan sikap yang baik7 sehingga disambut hangat

oleh rakyat Indonesia. Sayangnya, tindakan tersebut hanyalah merupakan upaya untuk

4 Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis

Sukarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 5-10. Dalam bidang ekonomi diadakan peningkatan pertanian dengan jalan memperbaiki irigasi dan mengurangi kepadatan penduduk yang ditempuh dengan kebijakan emigrasi. Dalam bidang politik, penguasa kolonial menempuh kebijakan yang lebih terbuka, antara lain dengan membuka peluang otonomi dan demokrasi. Dalam bidang pendidikan adanya perkembangan dengan cara diperluasnya pendidikan bagi kaum pribumi baik pendidikan dasar, menengah, bahkan juga pendidikan tinggi serta dibukanya peluang untuk melanjutkan studi di Belanda bagi pemuda yang berprestasi. Walaupun demikian, terjadinya diskriminasi dalam kebijakan pendidikan Politik Etis. Pendidikan dijalankan dengan dua pola yakni; pendidikan untuk rakyat umum dan pendidikan dengan pola Barat. Pola yang kedua lebih tinggi mutunya, dan hanya dimasuki oleh orang Eropa, Indo, atau kalangan Priyayi pribumi. Lain halnya dengan pendidikan rakyat yang mutunya lebih rendah dan lambat perkembangannya.

5 Baskara T. Wardaya, Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga

G 30S (Yogyakarta: Galangpress, 2009), 45. 6 Ibid., 46.

7 Hendri F. Isnaeni & Apid, Romusa: Sejarah Yang Terlupakan 1942-1945 (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2008), 29.

(5)

53 menghimpun dukungan dari rakyat pribumi demi kepentingan ekonomi mereka. Pada

akhirnya, Jepang mulai membentuk sistem tenaga kerja paksa yang dikenal dengan

sebutan romusha8 bagi rakyat pribumi untuk bekerja di pabrik, pelabuhan, atau perkebunan, dengan bayaran murah atau malah tanpa dibayar, tanpa jaminan

kesehatan dan makanan yang baik.

Dengan demikian penulis melihat bahwa secara kasat mata rakyat sangat

menderita. Dengan liciknya dua kekuasaan besar yang berkuasa pada saat itu yakni

Belanda dan Jepang memperdaya rakyat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan

mereka. Melalui cara kekerasan; tenaga, waktu, ladang yang merupakan harta yang

dimiliki oleh rakyat pribumi diperas habis-habisan. Para penguasa pribumi juga

dijadikan alat yang efektif untuk memaksa rakyat melaksanakan keinginan penjajah

yang tidak lain untuk memenuhi kepentingan mereka. Dalam kondisi ini, kaum

perempuan pun turut mengalami keadaan yang tertindas dan terdiskriminasi dari

berbagai aspek. Pokok ini akan dibicarakan dalam pembahasan berikut.

B.2. Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan

Diskriminasi merupakan sebuah gambaran yang tertuju pada kelompok

ataupun pribadi seseorang yang sementara berada pada suatu keadaan yang tidak

berdaya, keadaan yang tidak menguntungkan, dan keadaan yang tidak adil. Pada

fokus pembicaraan ini, kata diskriminasi diarahkan pada posisi yang tidak adil yang

8 Romusha adalah sistem kerja paksa yang ditetapkan oleh Jepang bagi rakyat Indonesia. Pada

(6)

54 dialami oleh kaum perempuan. Perempuan diperlakukan sebagai boneka, sebagai

benda mati dan diperlakukan seenaknya oleh kaum yang merasa bahwa dirinya lebih

unggul (laki-laki) dari kaum perempuan.

Dalam membahas tentang diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan

maka penulis berkaca dari pandangan yang dikemukakan oleh Soekarno berkaitan

dengan cerita-cerita dalam agama-agama monotheisme untuk menjelaskan dan

menguraikan tentang kedudukan serta peran yang tidak sejajar antara laki-laki dan

perempuan yang berdampak pada diskriminasi. Berikut simak uraiannya:9

Cerita Yahudi-tua tentang pembuatan Siti Hawa, bukan menurut “gambar Tuhan”, tetapi dari tulang rusuk Adam, tidakkah cerita ini bermaksud menggambarkan bahwa perempuan itu adalah “kelas kedua” dari laki-laki? Dan bukanlah orang katakan pula, bahwa Hawalah yang menjadi sebabnya Adam terusir dari surga? Bukankah oleh karena itu perempuan lantas dikatakan “makhluk dosa” dan makhluk yang tak suci? Di agama Yunani pun digambarkan salahnya aturan mengambil keturunan dari garis ibu itu dengan perkataan Dewa Apollo yang berbunyi: “bukan ibu yang membuat anak, dia hanyalah menjaga benih yang ditanamkan kepadanya oleh laki-laki. Orang juga dapat menjadi bapa dengan tidak beristeri”... Begitu pula dengan Hindu-tua perempuan direndahkan. Dalam Kitab Rig Veda dituliskan sabda Manu bahwa perempuan itu “selalu memikirkan kesyahwatan, selalu marah, selalu palsu dan tidak jujur... Menurut tabiatnya, perempuan itu “selalu mau menggoda kaum laki-laki, oleh karena itu laki-laki mesti selalu hati-hati kepadanya... Perempuan tak pernah dapat berdiri sendiri”. Di lain tempat Manu berkata: “Orang hilang kehormatannya karena perempuan; asalnya permusuhan adalah perempuan; karena itu jauhilah perempuan.” Agama Budha pun, yang umumnya begitu adil, sekonyong-konyong menjadi tidak adil terhadap perempuan kalau membicarakan kedudukan kaum perempuan: “perempuan itu makhluk dosa; roman-muka perempuan seperti keramat, tetapi hatinya seperti setan.”

Disimpulkan bahwa uraian di atas mejelaskan pada dasarnya cerita-cerita yang

bernuansa agama pun turut menghadirkan diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Perempuan tidak lagi dilihat sebagai pembawa berkat tetapi sebaliknya sebagai

pembawa bencana dan sumber dosa. Keberadaan perempuan hanya dipandang sebagai

“alat” yang dapat menghadirkan keturunan. Selebihnya, perempuan tidak memiliki

posisi yang sama dengan laki-laki karena diciptakan dari tulang rusuk laki-laki,

karena itu perempuan adalah makhluk kelas dua. Kenyataan ini memberikan

(7)

55 kontribusi terhadap penafsiran bagi kedudukan serta posisi antara laki-laki dan

perempuan. Artinya ialah, sebagai makhluk kelas dua, perempuan harus patuh

terhadap laki-laki karena laki-laki memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan

perempuan. Perempuan harus mengabdikan seluruh hidup dan kerjanya dalam

mengurus urusan rumah tangga. Hal ini berkaitan erat dengan adanya anggapan

terhadap ketidakmampuan bahkan kelemahan kondisi fisik dari perempuan itu sendiri

yang seakan-akan menjadi pendukung terjadinya diskriminasi bagi kaum perempuan.

Adapun ketidakadilan/diskriminasi yang dialami kaum perempuan dapat dikaji

melalui beberapa aspek, antara lain:

B.2.1. Pendidikan

Pada masa penjajahan, perempuan terisolasi dan terdiskriminasi dari berbagai

macam aspek, salah satunya ialah pendidikan. Sejak kecil hingga besar, laki-laki

mendapat kesempatan duduk pada bangku-bangku sekolah. Sebaliknya, banyak kaum

perempuan dikurung, tidak diizinkan untuk bersentuhan dengan dunia luar dan tidak

diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Soekarno mengatakan bahwa:10

“...banyak perempuan yang masih dikurung, banyak yang tidak dikasih kesempatan maju ke muka di lapangan masyarakat, banyak yang baginya diharamkan ini dan itu, maka tidak heran kita, kurang banyak kaum perempuan yang ilmunya membumbung ke udara. Tapi ini tidak menjadi bukti bahwa kualitas dan ketajaman otak perempuan kalah dengan otak laki-laki. Kualitasnya sama, ketajamannya sama, kemampuannya sama, hanya kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh karena itu... kita wajib berikhtiar membongkar ketidakadilan masyarakat terhadap kaum perempuan itu!

Dengan tidak dapat dibantah lagi, apa yang dikatakan oleh Soekarno

merupakan sebuah kebenaran yang harus diperjuangkan. Laki-laki dan perempuan

adalah makhluk yang sama, memiliki keunggulan yang sama. Karena itu laki-laki dan

perempuan harus diberi kesempatan yang sama. Hanya dengan tindakan yang

benar-benar adil yakni dengan menghilangkan interpretasi yang negatif bahwa perempuan

(8)

56 tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki, dan memberikan kebebasan bagi kaum

perempuan untuk keluar dari zona gelapnya dan berbaur dengan laki-laki dalam dunia

pendidikan rendah hingga pendidikan yang lebih tinggi agar dapat mengejar

ketertinggalannya. Wanita yang terpelajar, dapat bekerja dan mencari nafkah sendiri

dan hidupnya tidak tergantung dari saudara laki-laki atau suaminya serta tidak

menjadi orang yang mudah dibodohi.

B.2.2. Pernikahan

Dalam kehidupan keluarga lebih tepatnya kehidupan pernikahan, suami dan

isteri akan berhadapan dengan berbagai macam permasalahan dan secara

bersama-sama pula mencari jalan keluar bagi permasalahan yang mereka alami. Namun, pada

banyak kasus yang dialami oleh sepasang suami isteri terkadang adanya pembiaran

terhadap masalah-masalah tertentu, misalnya masalah ketidakadilan karena adanya

dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan yang terjadi dalam rumah tangga.

Soekarno mengawali pandangannya tentang ketidakadilan yang dialami oleh kaum

perempuan di dalam rumah tangga dengan sebuah pengalaman yang dia alami

sewaktu masih menjadi orang interniran11. Berikut ini akan diceritakan mengenai kisah tersebut:12

“Pada suatu hari ia bertamu dengan seorang kawan beserta isterinya pada salah seorang kenalannya. Setelah dipersilahkan duduk, salah seorang menanyakan tentang keberadaan nyonya rumah. Dengan wajah yang menjadi sedikit kemalu-maluan, tuan rumah (suami) menjawab pertanyaan yang ditanyakan kepadanya. Ia mengatakan bahwa isterinya berada dalam keadaan yang baik-baik saja, tetapi untuk saat ini isterinya tidak berada di rumah, - ia menengok bibinya yang sedang sakit. Singkat cerita, Soekarno yang duduk berhadapan dengan kain yang tergantung di pintu, melihat kain tersebut bergerak dan terlihat sepasang bola mata yang sedang mengintai, pun terlihat kaki dan ujung sarung perempuan! Soekarno mengenal dengan begitu baik bahwa perempuan tersebut adalah nyonya rumah.”

11 Ibid., 13.

(9)

57 Cerita di atas memberikan sebuah gambaran bahwa dalam kehidupan rumah

tangga, kemanusiaan seorang perempuan tidak dihormati oleh laki-laki. Ini

merupakan salah satu permasalahan yang hendak ditegaskan oleh Soekarno. Baginya,

banyak suami yang menghargakan istrinya sebagai mutiara, tetapi sebenarnya

merusak kebahagiaan istrinya. Dengan gaya bahasanya yang khas, ia mengatakan

demikian:13

“Mereka memuliakan isteri mereka, mereka cintainya sebagai barang yang berharga, mereka pundi-pundikannya sebagai mutiara, - tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan isterinya itu di dalam kurungan atau pingitan.”

Bagi penulis, kalimat di atas diumpamakan sebagai selembar uang kertas yang

memiliki gambar berbeda ditiap sisinya tetapi berada pada satu helai kertas yang tidak

dapat dipisahkan. Perumpamaan tersebut hendak menjelaskan kalimat sebelumnya

yang menggambarkan bahwa pada satu sisi, perempuan diperlakukan bagaikan dewi.

Sebagai bentuk penghargaan terhadap perempuan, maka si perempuan harus tetap

berada di rumah karena dianggap sebagai tempat yang aman, tempat di mana

perempuan tidak merasa terancam dari gangguan orang luar. Di sisi lain, perempuan

diperbudak, dikekang, tidak dapat menikmati haknya sebagai manusia yang bebas,

tidak memperoleh keadilan, dan tidak diberikan kesempatan untuk berekspresi.

Sayangnya, perempuan-perempuan yang berada pada posisi demikian tidak dapat

bertindak untuk keluar dari situasi yang memperbudak. Dapat diinterpretasi bahwa

penyebab utama dari sikap diam yang diambil oleh pihak perempuan ialah takut

terhadap perceraian karena perempuan tidak dididik bahkan tidak diberi kesempatan

untuk bekerja dan mencari nafkah sendiri, tidak diberi kesempatan untuk dapat berdiri

sendiri. Sehingga dengan demikian timbul perasaan takut untuk diceraikan, perasaan

takut nantinya tidak dinafkahi oleh suami sehingga tidak berani bersuara dan menjadi

(10)

58 kaum yang penurut, padahal jelas terlihat perempuan tidak mengalami kebahagiaan,

sebaliknya menelan pahitnya ketidakadilan dalam rumah tangga.

Sejalan dengan yang dikatakan oleh Soekarno, dalam sebuah buku yang

berjudul Kartini, dijelaskan oleh Soeroto bahwa perempuan yang telah ada dalam

hubungan pernikahan lebih banyak mengalami duka daripada suka. Alasan yang

mendukung adalah karena laki-laki diperbolehkan berpoligami dan perempuan tetap

berdiam diri. Demikian penuturannya:14

“...Wanita dalam perkawinan lebih banyak mengalami duka daripada suka. Sebab sang suami tidak hanya boleh mempunyai isteri lebih dari satu, tetapi disamping itu ia juga masih dapat menyeleweng memelihara wanita-wanita lain tanpa dikawin. Bahayanya keadaan ini bertahan sekian lama, karena kaum wanita selalu menerima nasibnya dengan berdiam diri (bahasa Jawa: “nrima”)! Mereka tidak pernah menentang, tidak pernah memberontak karena mereka takut diceraikan dan kehilangan nafkahnya.”

Melalui pernyataan di atas maka disimpulkan bahwa perceraian yang

merupakan alasan dimana kaum perempuan menjadi tidak berdaya atas situasi yang

dialami sehingga lebih memilih untuk menjadi kaum yang penurut.

Mengenai poligami yang merupakan bentuk ketidakadilan bagi kaum

perempuan, maka setidaknya berbicara juga tentang kehidupan pribadi Soekarno yang

mempraktekkan poligami dalam pernikahannya. Sebuah buku yang berjudul

Soekarno, Perempuan, dan Revolusi yang ditulis oleh Ashad Kusuma Djaya, menginformasikan bahwa kehadiran perempuan-perempuan di sekeliling Soekarno,

membantunya dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Diinformasikan pula

bahwa mereka memberikan kontribusi baik dalam hal-hal yang bersifat maternal,

kepemimpinan dan spiritual pada kehidupan politiknya.15 Bagi sebagian orang,

(11)

59 informasi ini dapat diterima karena memiliki alasan yang kelihatannya bernada

positif. Tetapi bagi sebagian orang lagi, informasi ini dilihat sebagai pembelaan atas

apa yang dilakukan oleh pemimpin bangsa.

Bagi mereka yang memiliki hubungan dekat dengan Soekarno, salah satunya

Toeti Kakiailatu yang adalah wartawan istana pada masa kepemimpinan Soekarno,

mengatakan bahwa Soekarno adalah sosok yang sangat ramah, sopan terhadap wanita

meskipun dalam hal ini dia menikahi banyak wanita (berpoligami).16 Selain itu,

Dalimin Ronoatmodjo yang adalah pengawal pribadi Soekarno juga menuturkan

bahwa sosok Soekarno adalah sosok yang dekat dengan siapa saja, termasuk dengan

perempuan.17 Kedekatannya dengan banyak perempuan yang kemudian dijadikan

isteri tentu berdampak pada isteri-isterinya yang terdahulu. Tidak ada seorang

perempuan pun yang dengan senang hati bersedia dipoligami. Dalam kasus ini,

Soekarno adalah seseorang yang memiliki kekuasaan karena itu para isteri hanya bisa

menerima apa yang menjadi keputusannya. Mereka lebih memilih untuk tidak banyak

berkomentar, tetapi memendam perasaan yang dipenuhi dengan rasa kecewa, sakit

hati karena mendapat perlakuan yang diskriminatif. Dapat dikatakan Soekarno

mengingkari kepentingan pokok yang menjadi alasan pembelaannya terhadap kaum

perempuan.

B.2.3. Fisik dan Seksualitas

Selain kedua bentuk diskriminasi yang telah dibahas, pada masa penjajahan

Belanda, perempuan yang dipekerjakan di perkebunan kopi sering menjadi sasaran

kontribusi yang membangun bagi kepribadian bahkan kehidupan politik Soekarno. Digambarkan bahwa perempuan-perempuan tersebut memiliki andil besar bagi perjuangan yang dilakukan oleh Soekarno.

16 Informasi ini diperoleh melalui perbincangan pada Mata Najwa tanggal 5 Juni 2013, bagian pertama yang membahas tentang Soekarno dengan nara sumber Toeti Kakialatu yang adalah Mantan Wartawan Istana pada masa kepemimpinan Soekarno. http://www.youtube.com/watch?v=YLhE-MOngoQ.

(12)

60 kekerasan fisik dan seksual.18 Soekarno juga mengatakan hal yang senada berkaitan

dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan adanya

diskriminasi terhadap unsur seks seorang perempuan. Misalnya; ketika terjadinya

hubungan antara laki-laki dan perempuan sehingga menghasilkan anak di luar

pernikahan maka perempuan yang seringkali dijadikan sebagai alasan utama

terjadinya hal tersebut. Perempuan mendapat penghinaan dari berbagai pihak,

dicemoh bahkan tidak jarang juga mendapatkan makian dari orang lain. Sebaliknya,

laki-laki berada pada posisi aman dan tidak menanggung segala bentuk cemohan dan

makian dari masyarakat.

Dalam menanggapi peristiwa seperti ini, Soekarno mengkritik bahwa: 19

“Jari tunjuk masyarakat hanya menuding kepada perempuan saja, tidak menunjuk kepada laki-laki, tidak menunjuk kepada kedua pihak secara adil.”

Bagi saya, Soekarno hendak mengkritik masyarakat Indonesia bahwa

persoalan di atas terjadi bukan karena kesalahan satu pihak saja, akan tetapi

merupakan kesalahan bersama yang dilakukan oleh kedua pihak. Karena itu, ketika

masyarakat hendak memberikan sanksi atas persoalan tersebut haruslah memberikan

secara adil bagi keduanya.

18 Pada beberapa bagian yang diperankan di dalam film ini menunjukkan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan kepada kaum perempuan. Perempuan-perempuan Indonesia yang pada saat itu bekerja di perkebunan kopi milik Belanda, sering dijadikan sebagai bahan pelampiasan seksual dari tentara-tentara Belanda. Jika perempuan memberontak maka akan dipukuli dan diperkosa. Tidak hanya itu, perempuan-perempuan muda bahkan dijadikan pelacur untuk memenuhi hasrat seksual dari tentara Belanda. Anggapan miring terhadap perempuan juga didapatkan dari tentara Indonesia yang menganggap bahwa dalam situasi perang, perempuan sebagai penghambat sehingga meremehkan kemampuan perempuan hanya karena alasan yang “konyol” bahwa perempuan tidak menggunakan celana panjang tetapi menggunakan “rok’ sehingga tidak dapat membantu laki-laki berperang melawan penjajah. Pada saat yang sama, perempuan menentang anggapan miring tersebut dan menunjukkan bahwa perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Perempuan juga pegang senjata dan turut bahu-membahu dalam melawan penjajah. Informasi ini diperoleh dari sebuah film Indonesia yang berjudul Darah Garuda-Merah Putih IIyang merupakan drama fiksi historis Indonesia yang dirilis tahun 2010. Film ini disutradarai oleh Yadi Sugandi dan Conor Allyn dan dibintangi antara lain oleh Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Darius Sinathrya, Ario Bayu, Teuku Rifnu Wikana, Rahayu Saraswati, Rudy Wowor, Astri Nurdin, Alex Komang, dan Aldy Zulfikar.

(13)

61 Sebuah buku yang berjudul Kisah Di Balik Pintu yang ditulis oleh Marching dikisahkan tentang seksualitas perempuan Indonesia mulai dari zaman pergerakan

kemerdekaan hingga sekarang. Pada zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia,

dikisahkan bahwa perempuan mengalami tindakan diskriminasi dalam hal

seksualitasnya. Sulistina Soetomo yang adalah isteri dari Bung Tomo merupakan

salah satu dari beberapa perempuan pada masa pergerakan kemerdekaan yang

diperlakukan tidak adil dari suaminya. Digambarkan bahwa dalam hubungan mereka

sebagai suami dan isteri, kesetiaan dan pengabdian seorang isteri adalah keharusan,

tetapi kesetiaan seorang suami tidak; ia tergantung dari istrinya dan bahkan menjadi

tanggung jawab sang isteri. Kalau dirasa sang isteri belum memenuhi “tanggung

jawab” ini, si lelaki bisa mempunyai pilihan lain, sedang isterinya tidak. Pernyataan

ini mendukung bahwa lelaki bisa lebih bebas dalam seksualitasnya. Sehingga pada

akhirnya Sulistina menyetujui bahwa ia yang harus menjaga kesetiaan Soetomo,

sedangkan kesetiaanya adalah tanggung jawab dirinya sendiri.20

Dari penjelasan di atas, maka siapakah yang seharusnya bertanggung jawab

penuh dalam menghadirkan nilai-nilai yang adil dalam hal seksualitas bagi keutuhan

rumah tangga? Apakah suami? Ataukah Isteri? Atau Keduanya? Pertanyaan ini

seharusnya dimaknai dengan tepat untuk terwujudnya keadilan bagi laki-laki dan

perempuan, juga bagi suami dan isteri. Sayangnya, hanya kaum perempuan yang

dijadikan sebagai objek untuk terbentuknya kesetiaan, ia pula yang harus memikul

tanggung jawab besar demi keutuhan keluarganya. Dengan demikian, terlihat adanya

ketimpangan dimana begitu pentingnya kepentingan dan kenikmatan lelaki. Disinilah

letaknya salah satu ketidakadilan dan diskriminasi terhadap seksualitas perempuan.

20 Soe Tjen Marching, Kisah Di Balik Pintu, Identitas Perempuan Indonesia: Antara Yang Publik &

(14)

62 Seksualitas perempuan dijadikan sebagai syarat untuk keutuhan rumah tangga

sedangkan laki-laki diberikan kebebasan penuh untuk tidak diatur dalam hal

seksualitasnya.

B.2.4. Wacana Publik

Wacana publik yang dimaksudkan oleh Soekarno adalah wacana yang

seharusnya dibangun atas dasar kemanusiaan. Berkaitan dengan ketidakadilan yang

dialami oleh kaum perempuan pada dunia publik, Soekarno menegaskan bahwa:21

“Kaum perempuan tidak cukup dengan mengejar persamaan hak dengan laki-laki sahaja, tidak pun cukup dengan mendapat persamaan hak dengan laki-laki sahaja... Kaum laki-laki boleh menjadi pegawai paberik, boleh berpolitik, boleh menjadi advocaat, boleh menjadi guru, boleh jadi anggauta parlemen – kenapa kaum perempuan tidak? Wahai, kaum perempuan, marilah bersatu, marilah rukun, marilah menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki itu, merebut persamaan hak itu dari tangannya kaum laki-laki yang mau menggagahi dunia sendiri!”

Analisa yang dibangun melalui penguraian di atas ialah terdapat gambaran

bahwa dalam praktek bermasyarakat telah terjadinya pengurungan dan ketidakadilan

bagi kaum perempuan, karena itu adanya penegasan bahwa kaum perempuan harus

bangkit dan berjuang menjadi pribadi yang tidak hanya menerima keadaan yang tidak

adil di dalam suatu masyarakat. Perempuan harus berani mengayunkan langkah di

depan kaum laki-laki untuk menggapai haknya dalam berkarya pada wilayah publik.

Dengan demikian disimpulkan bahwa wilayah publik tidaklah semata-mata menjadi

wilayah khusus bagi kaum laki-laki, tetapi menjadi wilayah bagi keduanya yakni

kaum laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya

secara bersama-sama.

Di dalam perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk merebut

haknya, perempuan berhadapan dengan kaum borjuis yang pada saat itu bersimpati

kepada perempuan. Ironisnya, simpati yang diberikan oleh kaum borjuis adalah

(15)

63 simpati yang terselubung yaitu untuk keuntungan bagi pihak mereka sendiri. Ideologi

yang terbentuk melalui rasa simpati yang terselubung dari pihak borjuis ialah ideologi

kapitalisme, dimana ketika kaum perempuan diperbolehkan bekerja pada wilayah

publik, maka dengan mudahnya mereka (kaum borjuis) mendapat kaum buruh

murah.22

Dengan memahami pernyataan di atas, maka dalam hal ini dapat diinterpretasi

bahwa kebebasan yang diberikan bagi kaum perempuan untuk terjun pada wilayah

publik tidak dapat menjamin seorang perempuan memperoleh keadilan yang

benar-benar adil. Awalnya perempuan mengalami ketidakadilan karena tidak diperbolehkan

bekerja pada wilayah publik, menanggapi ketidakadilan tersebut maka perempuan

berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kebebasan dan keadilan agar dapat

bergabung pada wilayah publik. Namun, ketika kebebasan telah dikantongi,

ketidakadilan tetap melekat pada diri perempuan yaitu dengan menjadi kaum buruh

murah yang mendapat bayaran murah. Hal ini pun hendak menegaskan bahwa

keberadaan perempuan di wilayah publik masih dipandang rendah dan dipandang

tidak memiliki kualitas yang setara dengan kaum laki-laki sehingga sekalipun telah

berada di wilayah publik tetap berada pada posisi yang rendah.

B.2.5. Politik

(16)

64 Sebuah kalimat yang sering didengar bahkan dikatakan oleh banyak orang

bahwa keberhasilan dan nama besar seorang laki-laki tidak terlepas dari sosok

perempuan yang menjadi penentu suksesnya seorang laki-laki. Namun, realitas yang

berkembang dalam pandangan masyarakat, perempuan adalah kaum lemah, tidak

berdaya, tidak dapat bersaing dengan laki-laki dan sebagainya. Untuk mematahkan

anggapan miring tersebut, maka pada masa perjuangan kemerdekaan banyak

perempuan yang turut berdiri di depan untuk merebut kemerdekaan sekaligus

menegakkan keadilan bagi kaum perempuan. Peran politik perempuan hendak

memperlihatkan bahwa keberadaan perempuan tidak hanya sekedar sebagai isteri dan

ibu rumah tangga tetapi juga sebagai pejuang kemerdekaan.23

Di dalam bukunya yang berjudul Sarinah, Soekarno mendukung kaum

perempuan untuk terlibat dalam dunia politik bersama dengan kaum laki-laki dalam

mewujudkan Indonesia Merdeka. Ia mengatakan bahwa:24

“Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner, - tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!”

Penulis memahami bahwa Soekarno menghimbau bagi kaum perempuan agar

tidak hanya menjadi penikmat dari gerakan revolusi dalam memperoleh kemerdekaan,

sebaliknya ia menginginkan agar kaum perempuan turut mengambil bagian di dalam

gerakan revolusi dengan menjadi barisan revolusioner. Barisan yang memberikan

kontribusi atau perubahan bagi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Di dalam

seruannya terkandung makna bahwa perempuan tidak kalah dengan laki-laki.

Perempuan bukanlah kaum yang bodoh, lemah, bahkan secara tidak langsung tersirat

23 Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Penerbit Garba Budaya, 1999), 332.

(17)

65 bahwa bangsa Indonesia mutlak membutuhkan kaum perempuan untuk sama-sama

bergerak dengan kaum laki-lakinya pada gerakan revolusi untuk kepentingan bersama.

Selain himbauan yang diberikan Soekarno bagi kaum perempuan, ia juga

mengkritik kaum laki-laki berkaitan dengan ketidakbebasan yang dialami oleh kaum

perempuan dalam pembangunan masyarakat. Baginya, laki-laki harus mendidik

dirinya sendiri untuk dapat memahami dengan benar persamaan antara laki-laki dan

perempuan. Kembali lagi ia tandaskan bahwa pada umumnya kaum laki-laki masih

terikat dengan sistim patriarki atau masih ada dalam produk “pemerintahan kaum

laki-laki”. Laki-laki harus belajar mengerti bahwa “soal wanita adalah soal kita yang amat

penting. Wanita adalah elemen mutlak dalam perjuangan Indonesia”.25

Dengan demikian disimpulkan bahwa himbauan bagi kaum perempuan untuk

bergerak aktif memberikan arti bahwa perempuan harus sadar akan pentingnya

keadilan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan. Tanpa adanya kesadaran dari

kaum perempuan, maka secara terus-menerus akan menjadi budak dan diperdaya oleh

kaum yang berkuasa. Begitu juga kaum laki-laki harus memiliki kesadaran penuh

untuk belajar memahami unsur-unsur yang adil antara laki-laki dan perempuan.

Laki-laki harus melepaskan egoisme yang ada di dalam dirinya, dan keluar dari sistim

patriarki yang mendominasi, kemudian bersama-sama dengan kaum perempuan dalam

menciptakan kondisi yang adil dalam masyarakat.

Kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya ialah ketika terciptanya suatu

kemerdekaan sosial yakni kemerdekaan dimana setiap rakyat Indonesia menjalani

kehidupan bersama yang di dalamnya terdapat harmonisasi dan tidak adanya

pembedaan. Bangsa yang satu. Bangsa yang hidup dalam satu negara yang merdeka,

(18)

66 bernaung dibawah satu bendera Merah Putih. Untuk memperoleh kemerdekaan yang

utuh maka semua lapisan masyarakat yang ada dan tergabung dalam tubuh NKRI

harus mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan. Artinya, tidak hanya kaum

laki-laki yang diberikan tanggung jawab dalam berjuang untuk mengusahakan

kemerdekaan. Sebaliknya, perempuan-perempuan Indonesia juga memiliki tanggung

jawab yang sama dalam menghadirkan Indonesia merdeka karena sejatinya,

perempuan juga merupakan elemen penting dalam perjuangan kemerdekaan

Indonesia. Soekarno mengatakan bahwa perempuan harus menggerakkan “separuh

dari tenaganya” untuk pembangunan masyarakat.26 Namun, bukanlah “separuh

tenaga” yang harus dikerahkan, tetapi “seluruh tenaga” dari perempuan yang harus

dikerahkan untuk pembangunan masyarakat.

Berdasarkan konteks bangsa yang terjajah serta adanya diskrimininasi melalui

perlakuan yang tidak adil terhadap kaum perempuan, kemudian mengarahkan

Soekarno pada sebuah pemahaman bahwa bangsa dan rakyat Indonesia membutuhkan

kebebasan dari tindakan-tindakan yang tidak adil dan yang menindas. Pemahaman

dan pandangan kemudian dituangkan kedalam bukunya yang berjudul Sarinah.

Berikut ini akan dibahas mengenai gagasan-gagasan yang terdapat di dalam Sarinah.

C.Gagasan Soekarno dalam Sarinah

Di dalam pembahasan berikut ini akan dibahas mengenai gagasan-gagasan

yang dikemukakan oleh Soekarno yang dituangkan di dalam Sarinah. Adapun

gagasan-gagasan tersebut antara lain; mengenai perempuan dan laki-laki, dikotomi

publik-domestik, matriarki dan patriarki. Berikut ini adalah pembahasannya:

C.1. Perempuan dan Laki-laki dalam Pandangan Soekarno

(19)

67 Soekarno adalah sosok yang menginspirasi banyak orang. Kepemimpinannya,

kecerdasannya, perjuangannya bahkan sifatnya yang tegas mampu menarik perhatian

banyak orang untuk terinspirasi melalui kehidupannya. Semasa hidupnya, ia banyak

berjumpa dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya yang bahkan juga

menjadi inspirator bagi masa depannya. Perjumpaan dengan banyak orang

(perempuan dan laki-laki) membuat ia memiliki pandangan yang beragam tentang

sifat perempuan dan laki-laki. Keadaan ini pula yang membantunya memahami

kelebihan dan kekurangan dari sosok perempuan maupun laki-laki. Berikut ini akan

dibahas mengenai hubungan laki-laki dan perempuan dalam pandangan Soekarno

yang terdapat di dalam Sarinah.

C.1.1. Siapa Itu Perempuan?

Secara garis besar, Soekarno memandang perempuan sebagai makhluk yang

mulia, pekerja keras, memiliki talenta dan kemampuan yang sama dengan laki-laki. Ia

tidak melakukan pembedaan antara laki dan perempuan karena baginya jika

laki-laki mampu menjadi individu yang sukses maka perempuan juga mampu dan berhak

menjadi individu yang sukses karena memiliki kemampuan yang sama dengan

laki-laki. Ia mengutarakan bahwa dalam pandangan sebagian besar rakyat Indonesia

terkandung pemahaman bahwa perempuan adalah objek laki-laki. Perempuan

diperlakukan sebagai barang yang berharga, barang yang selayaknya tetap berada

pada satu posisi yang tidak dapat dipindahkan. Untuk dapat menjamin kenyamanan

seorang perempuan maka ia harus tetap berada dalam posisi yang tidak mudah

diganggu oleh orang lain. Ini merupakan sebuah pandangan yang keliru karena

sejatinya manusia dalam hal ini perempuan adalah subjek dan bukan objek yang dapat

diperlakukan dengan tidak adil dan tidak setara. Bagi Soekarno, persoalan di atas

(20)

68 dipikirkan, dibolak-balikkan, bukan saja oleh kaum perempuan kita, tetapi juga oleh

kaum laki-laki kita, oleh karena soal perempuan adalah memang satu soal masyarakat

yang teramat penting. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kemanusiaan akan terus

pincang, selama yang satu menindas yang lain. Oleh karena itu, soal masyarakat dan

negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-laki. Dan soal

perempuan adalah satu soal masyarakat dan negara.27

C.1.2. Laki-laki dan Perempuan

Soekarno mengawali definisi tentang laki-laki dan perempuan dengan

pemahaman bahwa laki-laki tak dapat ada jika tak ada perempuan, dan sebaliknya

perempuan tak dapat ada jika tak ada laki-laki.28 Jika diinterpretasi, maka kalimat ini

memiliki arti bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hubungan atau kaitan

yang sangat erat. Keberadaan laki-laki tidak dapat dipisahkan dari keberadaan

perempuan. Dan sebaliknya keberadaan perempuan akan menjadi lebih berarti jika

adanya kehadiran laki-laki. Jadi antara laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan

dan peran yang sama dalam meningkatkan kelangsungan hidup keduanya. Karena itu,

laki-laki tidak harus mendominasi perempuan dan perempuan tidak harus

mendominasi laki-laki.

Untuk dapat melengkapi pandangannya tentang laki-laki dan perempuan,

Soekarno mengutip beberapa pemahaman yang dikemukakan oleh beberapa tokoh,

antara lain: 29

Olive Schreiner yang melambangkan laki-laki dan perempuan sebagai dua makhluk yang terikat satu kepada yang lain oleh satu “tali hidup” – begitu terikat satu kepada yang lainnya, sehingga yang satu tidak dapat mendahului selangkah pun kepada yang lain¸tak dapat maju setapak pun dengan tidak membawa juga kepada yang lain. Tidak berbeda jauh dengan pandangannya Schreiner, Charles Fourrire juga berpandangan bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan di dalam masyarakat.

(21)

69 Selain itu, Baba O’lllah menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan sebagai dua sayap ekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.

Ketiga pandangan di atas telah membuka cakrawala berpikir Soekarno bahkan

telah memberikan sebuah pertimbangan yang sama bagi kedudukan antara laki-laki

dan perempuan. Kedudukan yang tidak hanya mementingkan dan menguntungkan

salah satu pihak, bahkan kedudukan yang tidak menjatuhkan dan merugikan salah

satu pihak. Sayangnya, pada kenyataan yang terjadi perempuan adalah makhluk yang

tertindas sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bab ini.

Laki-laki nyata mendapat hak yang lebih, nyata mendapat kedudukan yang

lebih menguntungkan. Secara biologis terdapat perbedaan antara laki-laki dan

perempuan. Namun, perbedaan tersebut hanyalah untuk kesempurnaan tercapainya

tujuan kodrat alam, yaitu tujuan mengadakan keturunan, dan memelihara keturunan

itu. Tetapi perbedaan ini tidaklah harus membawa perbedaan pula di dalam

perikehidupan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk masyarakat maupun sebagai

anggota keluarga.30

Melalui pandangan di atas menurut penulis, masyarakat tidak hanya terdiri dari

kaum laki-laki saja, dan tidak pula terdiri dari kaum perempuan saja tetapi terdiri dari

kaum perempuan dan laki-laki. Suatu masyarakat tidak akan menjadi sehat jika salah

satu pihak menindas pihak yang lain. Sebaliknya, akan menjadi sehat ketika adanya

perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan kaum

perempuan yang sama adilnya. Perimbangan hak dan perlakuan antara laki-laki dan

perempuan tidak hanya harus diberlakukan pada wilayah publik, tetapi harus

disertakan pada wilayah domestik yang adalah unit utama dalam pengembangan

keadilan pada masyarakat.

(22)

70 C.2. Dikotomi Publik-Domestik

Pemahaman yang dibangun oleh Soekarno berkaitan dengan hubungan antara

laki-laki dan perempuan melahirkan sebuah kenyataan bahwa pada dasarnya laki-laki

dan perempuan memiliki kapasitas yang sama dalam mengembangkan kemampuan

dan potensinya. Sayangnya, potensi yang dimiliki oleh perempuan tidak tersalurkan

dengan bebas dan sempurna karena dihimpit oleh adanya kenyataan dikotomi

publik-domestik.

Pembagian kerja publik-domestik berawal pada masyarakat primitif dimana

laki-laki memiliki tugas berburu dan sebaliknya perempuan ditugaskan untuk mencari

bahan makanan nabati (tumbuhan) dan mengolah makanan. Periode selanjutnya

adalah periode zaman agraris. Pada zaman ini, perempuan berada pada masa

keemasannya dimana titik-tumpu kelangsungan kehidupan manusia berada pada

kemampuan perempuan sebagai produsen makanan. Periode berikutnya ialah periode

dengan sistem peternakan yang ditandai dengan konsep hak waris milik yang

diarahkan pada keturunan. Ketiga periode tersebut secara tidak langsung membentuk

berbagai pola pikir serta pembagian tentang posisi perempuan dan laki-laki dalam

mengembangkan potensi/kemampuannya. Banyak orang percaya bahwa wanita sudah

sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga. Sebaliknya laki-laki diberikan tugas

pada wilayah publik.31

Keterlibatan perempuan dalam ranah publik mengandung resiko guncangan

psikologis perempuan. Jika seorang perempuan melakukan aktifitasnya pada ranah

publik maka akan dijumpai banyaknya anggapan yang meremehkan kemampuan

seorang perempuan sehingga naluri kejiwaan sebagai perempuan akan kembali

31 Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologi tentang Peran

(23)

71 menarik perhatian mereka pada pekerjaan-pekerjaan domestik.32 Artinya, naluri

keperempuanan secara tidak langsung juga menjadi sekat yang menghambat seorang

perempuan untuk keluar dari tekanan-tekanan yang ada dalam ranah domestik. Seiring

dengan industrialisasi, maka gaya tarik menarik yang dialami oleh kaum perempuan

dalam menentukan posisi dan perannya pada dunia publik maupun domestik akan

semakin diperparah dengan adanya beban ganda yang dialami oleh kaum perempuan.

Stereotipe domestik sebagai “kewajiban” perempuan merupakan bagian dari konsep

patriaki yang tidak dapat begitu saja dihapuskan.33

Menurut penulis, berkaitan dengan pembahasan mengenai dikotomi

publik-domestik, Soekarno mengawalinya dengan sebuah cerita yang dialaminya yang

kemudian menjadi pengantar dalam menjelaskan tentang keadilan bagi kaum

perempuan.34 Pada pembahasan mengenai diskriminasi yang dialami oleh kaum

perempuan, dijelaskan bahwa dalam kehidupan rumah tangga pun kaum perempuan

masih ditempatkan pada posisi yang paling belakang. Perempuan tidak diberikan

kesempatan untuk berjumpa, bersinggungan dan bertukar pendapat dengan orang lain.

Tetapi, dalam hal ini Soekarno tidak mendudukan permasalahan keadilan bagi kaum

perempuan diawali dengan pembagian tugas atau pekerjaan rumah tangga yang adil

antara laki-laki dan perempuan. Namun bagi penulis, pandangan yang dikemukakan

olehnya ialah kaum perempuan harus keluar pada wilayah publik untuk mendapatkan

“kemerdekaan/kebebasan” antara lain bebas berjumpa, bertukar pikiran dengan orang

lain dan mengembangkan kemampuannya pada wilayah publik.

Sementara itu, realitas tumbuhnya kapitalisme secara besar-besaran juga

membawa dampak bagi posisi dan kedudukan perempuan dalam ranah publik maupun

32 Evi Nurleni, Teks Yang Memerdekakan: Interpretasi Terhadap SARINAH Sebagai Teks Ideologi dan

Implementasinya Bagi Gerakan Perempuan Indonesia (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2003), 86 33 Ibid., 99.

(24)

72 domestik. Kapitalisme menciptakan ketidakadilan bagi perempuan. Beban kerja

perempuan menjadi berganda antara tuntutan kebutuhan hidup dan tuntutan peran

domestik. Selebihnya, kapitalisme mendesak laki-laki membuat pembagian kerja

dengan isterinya. Kapitalisme akhirnya menimbulkan banyak penyakit sosial yang

sangat serius, mulai dari penindasan kaum buruh, kehamilan di luar pernikahan,

pelacuran, ketimpangan ekonomi, gangguan kejiwaan, dan perbudakan.35

C.3. Matriarki dan Patriarki

Untuk mendukung pembelaannya terhadap keadilan bagi kaum perempuan,

Soekarno mengemukakan tentang beberapa topik yang baginya turut mempengaruhi

terjadinya tindakan-tindakan yang tidak adil bagi kaum perempuan yang diantaranya

paham matriaki dan patriaki. Karena itu, saat ini penulis akan menguraikan secara

singkat tentang kedua paham tersebut. Salah satu alasan yang mendukung sehingga

dipilihnya pembahasan tentang kedua paham ini dikarenakan masyarakat Indonesia

yang hadir pada masa lampau hingga masa sekarang masih terkontaminasi dengan

konsep matriaki dan patriaki yang pada akhirnya berdampak pada

hubungan-hubungan yang tidak adil di dalam masyarakat. Demikian penjelasannya.

Pada awalnya, untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup, maka

manusia hidup secara nomaden. Pada waktu yang bersamaan pula, belum

terbentuknya suatu garis keturunan yang berkuasa pada saat itu. Masyarakat hidup

secara bersama-sama, bekerja bersama hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan agar

kehidupan tetap berlanjut. Namun, pada akhirnya terbentuk garis keturunan Matriarki

sebagai tanda bahwa perempuan berkuasa atas kelangsungan kehidupan. Selama

ratusan bahkan ribuan tahun lamanya perempuan duduk di tahta kekuasaannya.

Zaman semakin berkembang, pemenuhan kebutuhan hidup tidak hanya berfokus pada

35 Evi Nurleni, Teks Yang Memerdekakan: Interpretasi Terhadap SARINAH Sebagai Teks Ideologi dan

(25)

73 kebutuhan pangan, tetapi berfokus juga pada pemenuhan kebutuhan sandang dan

papan, maka kekuasaan yang awalnya dikendalikan oleh kaum perempuan, digantikan

dengan sistem patriarki di mana laki-laki mengambil alih kekuasaan yang dulunya

dikendalikan oleh kaum perempuan. Beralihnya matriarki kepada patriarki berarti

beralih pula cara pandang bahkan aturan dan norma yang terbentuk dalam satu garis

keturunan. Norma yang terbentuk pun mengandung berbagai macam nilai yang dapat

berdampak positif ataupun negatif bagi laki-laki maupun perempuan.

Berkaitan dengan keadilan bagi kaum perempuan yang selalu menjadi bahan

perbincangan publik, maka dalam anggapan banyak orang, kita harus kembali pada

sistem matriarki yang pada dasarnya menjunjung tinggi harkat, martabat, dan keadilan

bagi kaum perempuan. Anggapan ini sama sekali bertolak belakang dengan

pandangan yang dikemukakan oleh Soekarno. Baginya, matriarki hanya merupakan

sejarah pada masa lampau yang hanya dapat dikenang oleh masyarakat saat ini,

karena itu harapan untuk mengulang kembali sistem matriarki hanyalah sebagai

sebuah hayalan. Jika hendak menghadirkan suatu sistem masyarakat yang adil antara

laki-laki dan perempuan, dan yang memerdekakan maka dasarnya ialah masyarakat

yang ada pada zaman sekarang ini yakni masyarakat modern.36

36 Sukarno, SARINAH Sukarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. (Jakarta : Inti Idayu Press, 1984), 78.

(26)

74 Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum peribuan adalah hukum yang sudah

ketinggalan zaman, dan tidak mampu lagi menjawab berbagai macam persoalan, salah

satunya tentang ketidak-adilan yang sementara dihadapi oleh kaum perempuan.

Secara logis, zaman berganti sehingga kelangsungan kehidupan manusia yang ada

pada zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang. Karena itu, terdapat perbedaan

cara dalam menangani bahkan menyelesaikan sebuah permasalahan serta adanya

perbedaan pola pikir antara zaman dahulu dengan zaman sekarang. Benarlah apa yang

dikatakan oleh Soekarno bahwa dalam memberikan jalan keluar bagi ketidakadilan

yang sementara dihadapi oleh kaum perempuan di zaman modern ini, maka sangat

tidak tepat jika hendak kembali pada hukum peribuan yang sudah berakhir ratusan

bahkan ribuan tahun yang lampau.

Sementara itu, hukum perbapakan merupakan suatu sistem yang sudah maju.

Hanya sayang sekali bahwa kemajuan ini dibarengi dengan perbudakan, perbudakan

satu pihak guna menegakkan kepertuanannya pihak lain. Pokok hukum perbapakan itu

digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang jitu: “Ia berasaskan pertuanan

orang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-anak yang tak dapat

dibantah lagi siapa bapaknya: dan perbapakan yang tak dapat dibantah itu amat perlu,

oleh karena anak-anak ini nantinya harus mewarisi harta milik si bapa itu”. Hukum

perbapakan timbul sesudah masyarakat mengenal “milik”, yakni mengenal “milik

perseorangan”. Untuk menetapkan milik ini maka harus adanya keturunan yang dapat

mempertahankan harta pusaka agar tidak jatuh pada tangan pihak lain, maka

diadakanlah hukum perbapakan. Sistem kepemilikan tidak hanya dikhususkan bagi

suatu barang atau harta, tetapi juga diberlakukan bagi perempuan. Perempuan pun

dijadikan milik perorangan. Yang tadi-tadinya mempunyai kekuasaan untuk

(27)

75 “memiliki” kini menjadi sifat “dimiliki”, dari subjek menjadi objek. Karena itu jika

seorang perempuan sudah ada dalam hubungan keluarga maka secara otomatis

perempuan itu telah dibeli dengan sejumlah mahar dan menjadi milik suaminya.

Hukum perbapakan adalah hukum yang menindas dan merampok serta

memperlakukan perempuan sebagai benda dan sebagai ternak. Bagi Soekarno, hukum

perbapakan harus dikoreksi dan harus diganti dengan hukum perbapakan yang lebih

adil dan baik.37

Dengan demikian kita digiring pada kesimpulan bahwa pada dasarnya antara

hukum peribuan dan hukum perbapakan memiliki kekuatan dan kelemahannya

masing-masing. Kelemahan yang ada dalam kedua hukum tersebut sangat

mengabaikan harkat dan martabat manusia bahkan lalai dalam mengutamakan

sifat-sifat kemanusiaan. Berkaitan dengan pemikiran-pemikiran yang telah dituangkan oleh

Soekarno tentang matriarki dan patriarki maka dalam kerangka memperjuangkan

kemerdekaan Indonesia, ia tidak serta-merta mengacu pada sistem garis keturunan

bapak yang menegaskan bahwa hanya kaum laki-laki saja yang diperbolehkan berada

di depan dan secara leluasa bergerak dalam dunia publik. Ia mewajibkan kaum

perempuan turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Artinya

perempuan tidak hanya berdiam di rumah dan melaksanakan tugas pada wilayah

domestik. Sebaliknya perempuan diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk

berkecimpung pada wilayah publik dalam rangka menuangkan aspirasi serta bertindak

tegas untuk kemerdekaan Indonesia. Karena pada dasarnya perjuangan kemerdekaan

adalah solusi yang harus diupayakan untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil

dan makmur.

D.Kemerdekaan dalam Pandangan Soekarno

(28)

76 Soekarno mengatakan bahwa ketika suatu bangsa telah sanggup

mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada

saat yang sama bangsa itu telah masuk dalam kemerdekaan. Secara lanjut di dalam

pidatonya, Soekarno menjelaskan bahwa: 38

“Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekan hatinya bangsa kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya dan menyusun rakyat Indonesia yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.”

Dengan kata lain, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang memberikan

kesejahteraan bagi setiap rakyatnya. Bangsa yang benar-benar merdeka dapat

tercermin melalui keadaan rakyatnya yang memperoleh kesenangan secara lahir batin,

memperoleh kesehatan secara fisik dan psikis serta bangsa yang bebas dari

ketidakadilan serta diskriminasi.

Di dalam bukunya yang berjudul Indonesia Menggugat, ia mengatakan bahwa

kemerdekaan adalah syarat yang amat penting untuk dapat melawan dan

memberhentikan imperialisme. Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting

bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan,

suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasional serta penting bagi

kesempurnaan rumah tangga tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik bangsa kulit

berwarna maupun bangsa kulit putih.39

Kemerdekaan adalah dambaan setiap orang. Karena itu dalam mengemukakan

pandangannya tentang kemerdekaan, Soekarno menetapkan fokus berpikirnya pada

38 Disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya pada rapat besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung pada tanggal 01 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In dengan agenda pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia. Lihat, Saafroedin bahar & Nannie Hudawati,

Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)- Panitia Persiapan Kemrdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1998), 89.

(29)

77 kemerdekaan secara umum yakni kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia dari tangan

penjajah. Kemerdekaan sejati yang dimaksudkan oleh Soekarno ialah ketika semua

orang dapat menikmati kehidupan yang sejahtera, dan terbebas dari ketidakadilan

serta penindasan. Kemerdekaan yang mampu menyehatkan rakyat baik secara fisik

maupun psikis dan membebaskan setiap hati dari belenggu ketertindasan yang

bertujuan untuk kesejahteraan kepentingan orang lain dan mendapatkan penghargaan

yang selayaknya sebagai manusia. Itulah kemerdekaan yang memerdekakan.

E.Kelebihan dan Kekurangan dari Pandangan Soekarno Dibandingkan dengan

Susan OKin

E.1. Kelebihan

Yang menarik dari pemikiran Soekarno adalah jauh sebelum kemerdekaan

Indonesia, ia sudah hadir dengan sebuah konsep yang cemerlang yaitu konsep tentang

kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di mana kaum perempuan pun

tidak luput dari konsep tersebut. Ia berhasil menggerakan massa (laki-laki dan

perempuan) untuk melawan penjajah dalam merebut kemerdekaan RI dan berhasil

mempersatukan semua lapisan masyarakat yang pada awalnya belum terbingkai

dalam kesatuan RI sehingga menjadi satu kesatuan yang bersama-sama memiliki rasa

cinta Tanah Air. Melalui pandangan-pandangannya yang menyemangati, rakyat tidak

hanya dibatasi pada rasa cinta Tanah Air dan semangat kebangsaan, tetapi ia

membawa Indonesia pada gerbang kemerdekaan.

E.2. Kekurangan

Dalam pandangan Soekarno, partisipasi perempuan dalam kaitannya dengan

perjuangan kemerdekaan Indonesia merupakan suatu hal yang mutlak dan tidak bisa

dinegosiasi dengan pihak manapun. Disamping itu perjuangan kesetaraan,

(30)

78 keharusan tetapi merupakan sebuah kebutuhan untuk mewujudkan kehidupan yang

lebih bermartabat, beradab serta berkemanusiaan. Karena itu, membahas tentang

perempuan merupakan suatu hal yang teramat penting. Selebihnya, keberpihakan

kepada kaum perempuan merupakan nilai tambahan baginya. Sayangnya, terdapat

perbedaan antara teori dan praktek yang dilakukan oleh Soekarno. Di satu sisi, ia

menegaskan bahwa persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan merupakan

persoalan bersama yang harus dibahas dan dicari jalan keluarnya. Namun, di sisi lain

ia menyeberang bahkan mengingkari pokok utama yang menjadi tujuan dari

keberpihakannya terhadap posisi kaum perempuan. Nilai-nilai keadilan yang ia

serukan berkaitan dengan keberadaan kaum perempuan dalam hubungan rumah

tangga menjadi sesuatu yang hambar manakala ia mempraktekkan poligami pada

kehidupan perkawinannya. Tindakan ini merupakan sebuah bentuk dukungan yang

ditunjukkan oleh Soekarno bahwa kaum laki-laki berkuasa atas perempuan. Laki-laki

yang dapat menentukan segala sesuatu dan kaum perempuan hanya dapat menerima

setiap keputusan yang diambil oleh kaum laki-laki. Dapat juga dikatakan bahwa ini

merupakan sebuah bentuk imajinasi keunggulan kaum laki-laki sekaligus merupakan

simbol yang menegaskan bahwa patriaki merupakan sistem sosial yang sepenuhnya

diterima oleh masyarakat. Hal ini menjadi sebuah pukulan keras bagi kaum

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Media sosial juga memiliki beberapa keunggulan yang dapat mendukung kegiatan cyber PR yang dijalankan oleh organisasi atau komunitas nonprofit, diantaranya

Pada tahun 1978, Blue Band margarin diperkaya dengan Vitamin B1 dan B2, sebagai bagian dari misi Blue Band dalam membantu anak-anak untuk selalu aktif dalam masa pertumbuhannya..

Pendeskripsian kualitas relasi lebih detail setelah dilakukan uji beda, maka dikatakan bahwa kualitas relasi antara yang dihasilkan menunjukkan perbedaan yang dianggap

Ÿ Secara visual sangat dekoratif karena pengolahan dengan menggunakan simulasi pola serat pada kayu ini menghasilkan efek permukaan aluminum yang lebih baik dari kayu

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian yang lebih maksimal dengan menggunakan media yang lebih baik seperti memutar video dan alat peraga ataupun dikombinasikan

d0k*er )pe)iali) penaki* dalam ind0ne)ia.. N0rmalna3 9airan mema)(ki r(ang ple(ra dari kapiler ke dalam ple(ra parie*ali) dan dipindahkan Fia )i)*em lim'a*ik ang ada di dalam