• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin Di Jepang Dewasa Ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin Di Jepang Dewasa Ini"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI MASYARAKAT BURAKUMIN 2.1 Sejarah Burakumin

Kata sejarah menunjukkan perkembangan sesuatu dalam proses waktu.

Oleh karena itu sejarah adalah sebuah metode (Situmorang Hamzon 2011:5).

Sejarah burakumin artinya adalah burakumin dalam proses waktu

perkembangannya. Masyarakat Buraku sendiri merupakan perkembangan dari

kaum terbuang Eta (orang-orang kotor) dan Hinin (bukan manusia). Yang mana

kaum Eta merupakan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang dianggap kotor

seperti menguliti hewan, penjagal hewan serta pengurus jenazah. Sementara Hinin

adalah orang-orang yang berstatus rendah karena merupakan gelandangan atau

mantan narapidana. Orang-orang tersebut terkucilkan oleh masyarakat luas.

Istilah Eta sendiri muncul pertama kali pada Zaman Kamakura

(1185-1382). Pada masa itu kaum Eta adalah orang-orang yang bekerja pada pekerjaan

yang dianggap kotor oleh masyarakat Jepang pada umumnya. Mereka hidup di

bawah garis kemiskinan. Jenis pekerjaan yang dilakukan adalah pembantaian

binatang dan pembuangan bangkai, Kitaguchi dan Mclauchlan (1990:80).

Onhuki dan Tierney (1986: 86) mengatakan, dalam jaman pertengahan

istilah Hinin juga digunakan untuk mereka yang dengan sengaja memisahkan diri

dari kehidupan sosial masyarakat. Yaitu para kriminalitas yang dikeluarkan dari

kehidupan sosial, pengemis yang mengemis untuk kebutuhan ekonomi bukannya

untuk agama, serta para biksu yang benar-benar meninggalakan kehidupan

(2)

Adanya istilah burakumin tentu memiliki sejarah yang cukup panjang.

Munculnya istilah ini didasari oleh kepercayaan Shinto dan Buddha yang

berkembang di masyarakat Jepang. Jika merunut kembali sejarah munculnya

kaum Buraku, maka kita akan kembali ke masa Prasejarah di Jepang.

Setelah melewati Zaman Jomon, Jepang memasuki sebuah era dimana

diduga adanya lompatan budaya, yaitu Zaman Yayoi. Hal ini dikarenakan mulai

masuknya berbagai teknologi dari daratan China pada abad ke 3 masehi

(Situmorang Hamzon 2011:8). Tak hanya berbagai jenis kebutuhan pertanian,

aliran kepercayaan di Jepang pun mulai masuk di zaman ini.

Di bawah Pemerintahan Yamato, pada abad ke 6 Jepang sudah membuka

hubungan dengan pemerintahan Korea dan China. Pada masa itu masuklah agama

Buddha dan Konfuchu serta ilmu pengetahuan lainnya yang menjadi dasar imu

pengetahuan bagi Jepang ( Situmurang Hamzon 2011:11).

Agama Buddha yang masuk bercampur dengan kepercayaan asli bangsa

Jepang, yaitu Shinto. Baik Buddha maupun Shinto percaya bahwa menghilangkan

nyawa makhluk hidup, memakan daging, dan melakukan kontak langsung dengan

darah dan kematian adalah kegiatan yang tidak suci atau kotor.

Menurut Donoghue (1977:9-10) ketika agama Buddha masuk ke Jepang,

masyarakat didominasi oleh kehidupan pertanian. Yang mana pekerjaan seperti

penghibur dan pengrajin berada di kelas sosial terendah. Lalu dengan adanya

ajaran Buddha, orang yang berhubungan dengan penyamakan hewan mulai

dianggap tabu dan dipandang rendah.

Pada tahun 701 terjadilah reformasi Taika yang mana pemerintahan

(3)

masyarakat Jepang terbagi dalam dua kelas. Yaitu Ryomin (orang-orang baik dan

bebas) dan Senmin (orang-orang miskin dan kelas rendah). Orang-orang Senmin

inilah yang pada umumnya menjadi leluhur masyarakat buraku.

Senmin terbagi lagi dalam lima golongan masyarakat berdasarkan

pekerjaan, yaitu Ryoto (penjaga makam) , Kanko (petani kerajaan), Kunuhi

(pelayan kerajaan), Shinuhi (pelayan pribadi), dan Gunin (pelayan kuil dan

pribadi) (Shimahara 1971:15). Selain itu ada juga kelompok masyarakat Zakko

yang merupakan semi- Senmin. Yaitu sekelompok masyarakat yang memiliki

status sosial yang lebih tinggi. Zakko memiliki keahlian dalam bidang membuat

pakaian dari kulit, membuat sepatu kulit, memproduksi senjata dan lain-lain.

Selain Zakko, adapula kelompok masyarakat yang disebut dengan Etori.

Kelompok masyarakat ini mengumpulkan elang dan anjing untuk keluarga

kerajaan yang akan digunakan untuk berburu di Departemen of Falconry atau

disebut dengan Takatsukasa yaitu olahraga berburu burung menggunakan elang.

Inoue (1964:17) mengatakan jejak etimologi kaum Eta berasal dari kaum

Etori. Dari Etori menjadi Eto lalu menjadi Eta. Pada tahun 860 Takatsuka

dihapuskan yang juga di pengaruhi kepercayaan Buddha. Kaum Eta tidak lagi

bekerja untuk megumpulkan elang dan anjing melainkan berganti menjadi penjual

daging yang mana kegiatan utamanya adalah menjagal hewan. Ketika menjagal

hewan menjadi hal yang ilegal para penjual daging ini menjadi dibenci dan

dipandang rendah. Beberapa kaum Etori kehilangan pekerjaan dan pindah ke

pemukiman yang sepi dan daerah pinggiran sungai. Dan beberapa yang ekstrim

memilih untuk menjadi pengembara, pemburu, nelayan dan gelandangan. Selain

(4)

dengan bernyanyi, menari dan melawak dari rumah ke rumah. Mereka semua

tinggal di sekitaran sungai, desa yang kosong di sekitar kota. Masyarakat berkasta

tinggi melarang kaum Eta untuk masuk ke daerah mareka.

Pada Zaman Chusei (1192-1603) kelompok masyarakat senmin menjadi

penting karena senmin menjadi pemasok peralatan perang bagi para Shogun yang

merupakan penguasa pada masa ini. Orang-orang Senmin diperbolehkan masuk ke

daerah keshogunan dan dibebaskan dari pajak sampai hampir setengah dari

Zaman Chusei. Setelah perang kekuasaan yang menjadi tanda akhirnya jaman ini,

banyak samurai yang kalah perang mengganti pekerjaan menjadi Senmin. Hal ini

menyebabkan peningkatan yang tinggi pada jumlah Senmin. Ketika dalam masa

perang, mereka ikut bertarung untuk pemerintahan feodal, ketika perang telah usai

mereka menjadi pekerja rendah yang berhubungan dengan pengrajin tembikar,

penyamak, membuat pakaian dari kulit, menggali lubang, dan bekerja di

peternakan hewan. Maka bisa dikatakan bahwa buraku merupakan keturunan dari

sebagian besar Senmin pada masa ini.

2.2 Burakumin Pada Masa Tokugawa dan Restorasi Meiji

2.2.1 Burakumin Pada Masa Tokugawa (1603-1868)

Tokugawa Ieyasu adalah daimyo dari Mikawa. Yaitu sebuah daimyo kecil

yang mampu mengalahkan Toyotami Hideyoshi pada perang Sekigahara pada

tahun 1600. Kemudian menjadi Seiitaishogun pada tahun 1603 dengan pusat

pemerintahan Bakufu di Edo (Situmorang Hamzon 2011: 19)

Pada masa ini menganut sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan

(5)

pemerintah pusat yang memiliki daerah sendiri. Sementara Han sebagai daerah

administrasi yang diperintah oleh daimyo yang bebas dari campur tangan shogun.

Dalam banyak hal, Era Tokugawa yang berlangsung lama ini adalah salah satu

era yang paling menonjol dalam sejarah bangsa Jepang. Tokugawa berhasil

mempertahankan perdamaian bersenjata di Jepang sampai dengan generasi

terakhir yang berkuasa, dan Tokugawa juga menjalankan suatu pemerintahan

yang terpusat yang secara mengagumkan dapat melaksanakan tujuan-tujuannya.

Benedict Ruth (1979: 66-67) menerangkan bahwa Tokugawa memiliki strategi

menjaga keutuhan pemerintahannya untuk mencegah para daimyo mengumpulkan

kekuatan untuk menentangnya. Tokugawa membiarkan pola feodal yang ada

bahkan mencoba memperkuatnya dan membuatnya menjadi kaku.

Masyarakat Jepang terdiri dari banyak tingkatan dan kedudukan setiap orang

ditetapkan berdasarkan keturunannya. Keluarga Tokugawa memantapkan sistem

ini dan mengatur tingkah laku sehari-hari dari setiap kasta sampai segi terkecil.

Setiap kepala keluarga harus mencantumkan kelasnya serta fakta-fakta yang

diperlukan mengenai status keturunannya. Mulai dari pakaian yang dikenakannya,

makanan yang boleh dibelinya, dan rumah yang secara sah boleh didiaminya

semua diatur berdasarkan pangkat yang diwarisi.

Pada masa ini kelas masyarakat dibagi menjadi empat kasta. Yang urutan

hirarkinya adalah Serdadu, Petani, Tukang, Pedagang. Di bawah tukang dan

(6)

Dalam bukunya, Benedict Ruth (1979: 68) menuliskan bahwa Eta merupakan

kaum buangan yang jumlahnya terbanyak dan paling terkenal. Mereka adalah

“sampah masyarakat” Jepang, atau lebih tepatnya “yang tidak masuk hitungan”,

sebab panjangnya jalan-jalan yang melalui desa mereka pun tidak dihitung.

Seakan-akan daerah tersebut beserta penduduknya sama sekali tidak ada. Mereka

luar biasa miskinnya, meskipun lapangan pekerjaan mereka terjamin (tukang

membersihkan segala macam kotoran, pengubur mayat dan penyamak), mereka

tetap berada di luar struktur resmi.

Begitu juga dengan kaum Hinin yang merupakan kaum senmin dari era

sebelumnya. Menurut Takagi (1991: 285) orang-orang yang melakukan tindak

kriminal, orang yang melakukan tindak asusila serta yang selamat dari bunuh diri

masuk ke dalam kategori kaum Hinin.

Pekerjaan Eta dan Hinin dibatasi pada jenis pekerjaan yang kotor seperti

tukang daging, pekerjaan yang berhubungan dengan kulit, dan juga pekerjaan

yang berhubungan dengan bambu yaitu membuat kocokan untuk acaran minum

teh yang terbuat dari bambu. Dan juga pekerjaan yang berhubungan dengan

(7)

tukang sepatu, tukang sapu, penghibur, pengemis serta orang-orang yang memiliki

penyakit menjijiknan digolongkan dalam kaum Eta dan Hinin, Hane (2003: 140).

Secara rinci Hane (2003: 142-143) menjelaskan perlakuan yang diterima

kaum Eta dan Hinin selama masa Tokugawa. Kehidupan kaum ini dibatasi mulai

dari tempat tinggal yang mereka diami adalah daerah khusus yang tidak ingin

ditinggali oleh masyarakat lain pada umumnya, kualitas rumah, mobilitas untuk

keluar masuk daerah, serta bagaimana rambut, bahkan sepatu mereka diatur dan

dijabarkan sebagai berikut:

a. Pada saat bepergian mereka tidak diperbolehkan untuk mengenakan alas

kaki apapun melainkan bepergian dengan telanjang kaki.

b. Mereka tidak diizinkan keluar dari daerah mereka sejak matahari terbenam

hingga matahari terbit. Kecuali pada tahun baru mereka hanya bisa keluar

hingga sekitar jam sembilan malam.

c. Tidak boleh bersosialisasi dengan orang lain yang kelasnya lebih tinggi

kecuali karena ada urusan bisnis. Saat berurusan mereka harus bersikap

sangat sopan.

d. Dilarang memasuki kuil-kuil selain kuil yang didatangi oleh orang-orang

yang bukan Eta dan Hinin. Mereka disediakan kuil tersendiri untuk

menghindari terkena kekotoran yang dibawa kaum Eta dan Hinin.

e. Tidak boleh menikah dengan kaum lain selain kaum Eta dan Hinin.

f. Nyawa mereka hanya dihargai sepertujuh dari nyawa masyarakat lain.

g. Mereka harus berjalan di tepi jalan.

(8)

i. Tidak boleh menggunakan payung atau tutup kepala lainnya kecuali saat

hujan.

j. Tidak diperbolehkan makan dan minum di kota

k. Eta dianggap kotor, berbau, vulgar, tidak dapat dipercaya, berbahaya,

makhluk yang bukan manusia dan dianggap sebagai binatang.

Tentang tempat yang ditinggali oleh kaum Eta dan Hinin: “ Eta dan Hinin

banyak tinggal di tempat yang telah ditentukan yaitu dengan kondisinya buruk

seperti yang dijelaskan berikut. Tempat di dekat sungai yang selalu terkena banjir

dan luapan air sungai. Di lereng gunung yang curam dan di dataran tinggi yang

sering terkena resiko tanah longsor dan dengan pengairan yang buruk. Di gunung

yang tinggi di sebelah selatan dan timur yaitu tempat yang hampir tidak mendapat

sinar matahari saat musim dingin.

Serta dalam hal berpakaian pembatasan tersebut meliputi, saat keluar dari

desa, mereka dilarang memakai geta (sejenis sendal) dan zouri (sendal jerami).

Pada musim panas dan dingin pun mereka dibatasi memakai dua warna di kerah

dengan kain katun yaitu warna hijau dan hitam.

Maka bisa dikatakan, Zaman Tokugawa memiliki andil yang besar (selain

pengaruh Shinto dan Buddha) terhadap awal mula pendiskriminasian kaum Eta

dan Hinin. Hal ini juga yang ada pada pikiran masyarakat Jepang yang disurvey

oleh Management and Coordination Agency Policy Office of Regional

Improvement pada tahun 1993. Survey ini dilakukan dengan melakukan interview

pada 60.000 orang buraku dan sebanyak 20.000 orang non buraku. Survey ini

untuk melihat pengaruh dari Dowa Project (project pemerintah untuk membangun

(9)

Pertanyaan dari survey ini adalah “Apakah asal usul dari distrik Dowa?

pilih satu dari enam pilihan. Mayoritas responden baik kaum buraku maupun

non-buraku memilih “politik” yaitu merujuk pada sistem feodal dibawah pemerintahan

Tokugawa. Dibawah pemerintahan Tokugawa, buraku yang dalam sejarah dikenal

sebagai kaum Eta dan Hinin diposisikan sebagai kelas terendah dibawah yang

terendah, dan menghadapi dikriminasi dari berbagai aspek dalam kehidupan.

Tabel 1. Origin Claims of the Buraku People

Ras Agama Pekerjaan Kemiskinan Politik Lainnya

Buraku 1.3% 1.1% 3.8% 14.5% 70.3% 9.1%

Nasional 9.9 1.5 12.6 9.7 55.1 11.3

2.2.2 Burakumin Pada Masa Restorasi Meiji (1868- 1945)

1868 merupakan tahun besar bagi sejarah perkembangan bangsa Jepang.

Kekuasaan pemerintahan diserahkan kembali dari tangan Tokugawa kepada

Kaisar. Meiji Tenno mengutarakan janji gokajonogoseimon. Tenno meningkatkan

kehidupan ekonomi dan politik dengan cara mencari ilmu ke seluruh dunia.

Kemudian ibukota Edo diubah menjadi Tokyo, dan Kaisar pindah dari Kyoto ke

Tokyo (Situmorang Hamzon 2011: 21).

Dalam bukunya, Ruth Benedict (1979: 83) menganalisa bagaimana

Restorasi Meiji ini mulai berjalan. Pemerintahan memulai restorasi dengan

mencabut hak atas pajak yang didapatkan oleh daimyo dari petani dan pemilik

tanah, 40 persen pajak yang tadinya untuk daimyo diserahkan ke pemerintahan.

(10)

dihapuskan tanpa prosedur, lambang keluarga dan pakaian khusus yang

menunjukan kasta dan kelas dilarang, bahkan kuncir harus dipotong. Begitu juga

dengan orang buangan diberi persamaan hak, hukum yang melarang pemindahan

atas hak tanah dihapuskan, penghalang-penghalang yang memisahkan satu

wilayah dengan wilayah lainnya ditiadakan serta peniadaan Bhudisme.

Kebijakan-kebijakan pada restorasi Meiji ini tidak diterima begitu saja.

Dalam rentang tahun 1868 hingga 1878 telah terjadi setidaknya 190

pemberontakan agraris. Para petani menentang pendirian sekolah-sekolah, wajib

militer, pengukuran tanah, pemotongan kuncir, pemberian persamaan hak pada

kaum terbuang dan banyak aturan lain yang mengubah cara hidup mereka yang

lama.

Di tahun 1871, pemerintahan Meiji mengeluarkan Emancipation Edict

yang menyatakan bahwa status Eta dan Hinin harus dihapuskan dan selanjutnya

orang-orang ini harus diperlakukan sama baik dalam pekerjaan dan kehidupan

sosial sebagain orang biasa yang baru (Shin Heimin).

Kebebasan pada Restorasi Meiji ini tidak serta merta menghilangkan

hirarki yang ada dalam budaya Jepang. Perubahan-perubahan ini tidaklah

mengacaukan kebiasaan-kebiasaan hirarkis. Kebiasaan itu mendapat tempat dan

kedudukan baru (Ruth Benedict, 1979: 87).

Maka muncullah sistem pembagian kelas masyarakat yang baru yaitu

Shimin Byoudou mengenai empat strata sosial. Keempat kelas tersebut bermaksud

membedakan masyarakat berdasarkan kelas sosial. Dimana kelas teratas diisi oleh

keluarga Kaisar (Kouzoku), bangsawan (Kazoku), samurai (Shizouku) serta kelas

(11)

telah dimasukkan ke dalam kelas heimin, dan disebut sebagai shin heimin atau

orang biasa baru.

Penyamarataan status ini ditolah oleh kaum petani, pedagang dan tukang.

Mereka menolak untuk menjadi satu kelas dengan kaum eta dan hinin sehingga

sering terjadi permusuhan. Meski telah berada dalam satu kelas yang diakui dalam

pemerintahan, kaum eta dan hinin tetap tersisih dan tinggal di desa yang terpencil

(buraku).

2.3 Kepercayaan dan Konsep Kesucian di Jepang

Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan

supranatural, kekuasaan, dan kekuatannya. Supranatural disini biasa disebut

dengan nama dewa, Tuhan, atau yang gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu

sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral

yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang.

Agama muncul karena orang-orang berusaha untuk memahami keadaaan

dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada pengalaman sehari-

hari mereka. Mimpi waktu tidur pada masyarakat primitif dianggap mempunyai

makna dan itu harus diterjemahkan. Usaha ke arah menjelaskan mimpi itu

membuat mereka sadar bahwa ada diri yang lain dalam tubuh mereka. Diri yang

lain itu hadir ketika orang sedang tidur. Ketika diri yang lain waktu tidur dan diri

yang ada waktu sadar itu meninggalkan tubuh, maka orang yang bersangkutan

meninggal dunia. Kepercayaan seperti ini yang melahirkan ide tentang animisme.

Animisme adalah agama primitif yang kemudian bisa berkembang menjadi

(12)

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17140/8/Chapter%20I.pdf.txt).

Menurut Keiichi Yanagawa (1992 : 7) agama didasarkan pada tiga unsur

utama, yaitu:

1. Doktrin yang mengidentifikasi obyek dan sifat keagamaan. Ajaran sentral dari

agama adalah percaya pada Tuhan atau dewa atau roh-roh yang keberadaannya

tidak bisa dilihat manusia.

2. Perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang yang berkepercayaan sama.

Perkumpulan ini bisa berbentuk organisasi agama, gereja, atau jemaah.

3. Ibadah keagamaan dan ajaran keagamaan. Oleh karena itu suatu agama terdiri

atas doktrin, yang pengikutnya harus percaya; organisasi para penganut agama

itu, dan kode ajaran yang memuat tingkah laku yang dikehendaki dari para

pengikutnya.

Masyarakat Jepang kuno telah mempunyai kebiasaan menyembah alam

dan roh leluhur sepanjang sejarah bangsanya. Penyembahan-penyembahan seperti

ini disebut dengan shizenshukyo (agama alam), Shomin shinko (kepercayaan

rakyat), Minkan Shinkou (kepercayaan penduduk). Kepercayaan yang tidak

melembaga namun hidup di tengah-tengah masyarakat Jepang ini dimasuki oleh

sebuah kepercayaan yang telah melembaga dari luar seperti Bukyo (Budha),

Douyou/jukyou (konfuisus). Agama alam, rakyat dan agama yang telah

melembaga ini akhirnya disebut dengan Shinto yaitu sebuah cara untuk bertuhan

(Situmorang Hamzon 2011: 24).

Anezaki Masaharu dalam Situmorang Hamzon mengatakan bahwa

(13)

sampai kepada melaksanakan acara-acara saja atau ritus-ritus saja sebagai

kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini juga bisa terlihat pada status keanggotaan masyarakat Jepang

dalam tiap-tiap kepercayaan. Menurut Badan Urusan Kebudayaan di tahun 1997

jumlah masyarakat Jepang yang mendaftar dalam berbagai kelompok keagamaan

adalah 207.758.774 jiwa. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari kelompok

Shinto sebanyak 102.213.787 (49,2%), Budha 91.583.843 (44,1%), Kristen

3,168.596 (1,5%) dan lain-lain 10.792.548 (5.2%). Berdasarkan angka-angka ini,

hampir dua pertiga dari orang Jepang memilki dua kelompok agama karena

jumlah penduduk Jepang hanya 125.760.000 (1996).

Sebagai kepercayaan asli Jepang yang dianut oleh sebagian besar

masyarakatnya, Shinto berpengaruh besar dalam terciptanya stigma burakumin.

Baik Shinto maupun Budha di dalamnya terkandung konsep kesucian dan

kekotoran. Shinto menekankan kesucian yang harus dijaga dalam jiwa dan tubuh

manusia baik ketika melaksanakan ritual keagamaan maupun dalam kehidupan

sehari-hari. Sementara hal yang termasuk dalam kekotoran adalah hal yang terkait

dengan darah, kotoran, dan kematian. Keyakinan ini juga dianut oleh para

penguasa yang turut menciptakan adanya kelas sosial dalam tatanan kehidupan

bermasyarakat di Jepang. Kaum Eta dan Hinin yang merupakan para pekerja yang

berhubungan langsung dengan darah, daging dan kematian dianggap kotor dan

tercemar.

Keyakinan di atas juga dipengaruhi oleh Buddhisme yang masuk pada

(14)

kelas masyarakat yang berdasarkan hal yang mulia dan tidak mulia. Dari zaman

kuno hingga ke periode Chusei (1192-1603) sistem kemuliaan adalah hal yang

dominan (Kan,1995:13). Sejak periode Chusei ke awal Tokugawa (1603-1867)

pandangan mulia dan tidak mulia bercampur dengan pandangan suci dan tidak

suci. Hingga Budha mampu menggeser pandangan mulia dan tidak mulia tersebut

menjadi pandangan suci dan tidak suci ketika masuk ke masa Tokugawa (Noma

dan Nakaura, 1983: 210). Dibawah sistem Tokugawa orang yang najis atau tidak

suci dihapuskan dalam anggota kelas sosial dan terisolasi dan dianggap di luar

sistem (Kuroda, 1996).

2.4 Perkembangan Pembebasan Burakumin

Zaman Meiji adalah salah satu gerbang awal bagi burakumin untuk keluar

dari diskriminasi. Pembebasan ini tidak terwujud dalam waktu yang singkat dan

menyeluruh. Perubahan pandangan terhadap burakumin harus diikuti oleh semua

unsur masyarakat baik pemerintah, pelaku diskriminasi dan korban diskriminasi.

Seperti yang dikatakan Douglas (1966: 110) jika seseorang tidak memiliki tempat

di sistem sosial maka mereka adalah makhluk marjinal. Semua tindakan

pencegahan terhadap bahaya dan pembebasan harus datang dari orang lain. Dia

tidak bisa membantu dirinya sendiri dari pandangan bahwa mereka adalah hal

yang tidak normal. Meskipun usaha pembebasan tidak sepenuhnya berhasil,

usaha-usaha tersebut dilakukan sejak restorasi Meiji.

2.4.1 Proklamasi Emansipasi Pada Restorasi Meiji (1871)

Jatuhnya masa kejayaan keshogunan 1868 yang mengembalikan masa

(15)

Gebrakan untuk meninggalkan sistem feodal menuju era yang lebih modern

melahirkan sebuah istilah yang disebut dengan Kaihorei atau proklamasi

emansipasi. Dalam bukunya, Uesegi mengatakan bahwa sebenarnya istilah Kaiho

atau kebebasan tidak pernah muncul sekalipun dalam catatan dokumen sejarah

Jepang. Istilah yang digunakan untuk memaknai keadaan saat restorasi Meiji

adalah Senmin Haishirei yaitu menghilangkan sistem manusia tercela atau

bermakna menghapus sistem dan kelas masyarakat yang tidak didasari pada

konsep hak asasi manusia dan keadilan.

Dikatakan juga bahwa diskriminasi yang terjadi pada zaman Edo merupakan

kehendak penguasa di jaman tersebut dan telah dihapuskan pada masa Kekaisaran

Meiji. Pada masa ini kelas sosial burakumin diangkat menjadi sejajar dengan

heimin, namun mereka diberi julukan Shin-heimin atau rakyat jelata baru.

Meskipun pemerintah menetapkan kesamarataan hak dan status masyarakat,

pandangan masyarakat lainnya terhadap burakumin tidak ikut berubah. Berbagai

penolakan kerap terjadi terutama pada golongan petani yang tidak mau berstatus

sosial sejajar dengan rakyat jelata baru.

Dalam sepuluh tahun pertama di restorasi Meiji, telah terjadi banyak

kerusuhan dalam masyarakat. Atas kerusuhuan tersebut burakumin dijadikan

kambing hitam. Banyak penduduk yang mengalami kesulitan keuangan yang

parah, terutama para petani. Para petani khawatir bahwa pembebasan Eta akan

berarti persaingan untuk tanah dan dalam proses itu mereka akan berakhir dengan

nasib yang sama seperti kaum buraku (Totten, George, dan Wagatsuma, 1972:

(16)

masih menerima serangan bahkan menganggap penderitaan semakin parah dengan

adanya banyak ancaman dari kelas masyarakat yang lain.

Restorasi Meiji digunakan oleh beberapa burakumin untuk melarikan diri dari

kemiskinan dan diskriminasi dengan menjadi imigran dan bekerja di luar negeri.

Dari akhir 1800 hingga 1930-an ribuan imigran Jepang menetap di di

negara-negara seperti Amerika, Brasil dan Peru.

2.4.2 Penghapusan Kelas Sosial Dalam Sistem Koseki

Koseki (戸籍) adalah sebuah catatan registrasi keluarga Jepang. Hukum di

Jepang mengharuskan semua rumah tangga Jepang (Ie) melaporkan kelahiran,

pengakuan dari ayah, adopsi, kematian, perceraian, perpindahan, hingga kelas

sosial. Koseki pertama kali dibuat pada tahun 670, penggunaannya hanya dalam

skala lokal. Sementara untuk pencatatan keluarga yang digunakan dalam skala

nasional baru ada pada tahun 1871 yang dikenal dengan Jinsin Koseki. Saat itu

yang menggunakan registrasi keluarga hanya terbatas pada kaum bangsawan,

keluarga samurai, dan orang-orang umum yang terdaftar. Pada tahun 1872

pemerintah membuat undang-undang yang melarang mengubah nama keluarga

dan pada tahun 1875 semua orang harus memiliki nama keluarga.

Masami Degawa dalam tesisnya menjelaskan tujuan utama dari koseki bukan

untuk mengidentifikasi orang dan melegalkan hubungan keluarga. Tapi untuk

mengaktifkan fungsi pemerintah dalam mengontrol keluarga Jepang. Koseki

mencatat data tentang tempat tinggal dan kelas yang asli seperti bangsawan, atau

kelas samurai. Meskipun Eta dan Hinin telah masuk dalam kelas masyarakat jelata

(17)

Sulitnya mengubah pandangan masyarakat terhadap burakumin menjadikan

kelompok masyarakat ini menyembunyikan identitas atau melindungi identitas

mereka agar terhindar dari diskriminasi. Upaya melindungi diri dari diskriminasi

dan agar dapat diterima di masyarakat luas Pada tahun 1923, salah satu organisasi

terbesar bagi orang-orang buraku, Zenkoku-Suiheisha meminta pemerintah untuk

menghapus keterangan asal kelas sosial dalam koseki kaum eta dan hinin. Sebagai

respon terhadap itu pada tahun 1924, pemerintah memutuskan untuk melarang

penggunaan "Eta" dan "Hinin". Namun, penghapusan asal kelas hanya berlaku

pada kaum buraku sehingga asal usul yang berusaha untuk disembunyikan tetap

terlihat dengan adanya kekosongan dalam kolom kelas sosial. Masyarakat umum

berasumsi bahwa jika kolom asal kelas sosial di koseki nya kosong berarti berasal

dari kelas eta dan hinin. Barulah pada tahun 1938 pemerintah benar-benar

menghapus kolom asal kelas sosial pada seluruh koseki.

Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, General Headquarters (GHQ)

meminta pemerintah Jepang untuk menghapuskan sistem Koseki dan membuat

sistem register baru yang hanya mengisi tentang perseorang tanpa merunut asal

usul keluarga. Pemerintah menjawab permintaan tersebut dengan mengatakan

bahwa akan membutuhkan banyak biaya dan sulit untuk mengubah koseki.

Namun, pemerintah akan tetap mencoba mengubahnya saat keadaan

perekonomian negara kembali pulih (Ninomiya 1995: 41).

Tidak sampai 1966 Koseki pun mengalami perubahan. Bukan perubahan yang

sesuai permintaan (koseki individu). Melainkan dari pencatatan keluarga secara

luas menjadi pencatatan keluarga inti saja. Pada sistem ini, setiap warga Jepang

(18)

harus meregistrasikan kosekinya, sehingga dalam koseki bukan hanya terlihat

tempat tinggal terbaru namun juga tempat tinggal sebelum-sebelumnya. Dengan

biaya yang murah, semua orang bisa melihat koseki orang lain.

Saat ini fungsi koseki adalah untuk membuktikan status pribadi secara resmi.

Ada beberapa aturan untuk koseki. Pertama. hanya orang yang memiliki nama

keluarga sama yang dapat mendaftar di satu koseki. Kedua, hanya dua generasi

seperti orang tua dan anak yang bisa mendaftar di satu koseki yang sama. Oleh

karena itu, ketika orang-orang menikah, mereka harus menghapus nama mereka

dari koseki keluarga lama dan mendaftar yang baru. Ketiga, alamat yang diberikan

di koseki dapat berubah kapan saja dan sejak tahun 1887. Namun, koseki juga

memiliki lampiran yang menunjukkan rincian riwayat hidup sebelumnya.

2.4.3 Pembangunan Distrik Dowa

Dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat buraku, pemerintah

dibantu oleh organisasi buraku menciptakan sebuah proyek pemulihan wilayah

Dowa. Pada tahun 1958, pasca-perang pemerintah menerima tanggung jawab

mereka untuk membantu meningkatkan kesejahteraan hidup buraku. Dowa sendiri

adalah kata yang diciptakan oleh pemerintah yang wilayah ditinggali oleh

komunitas buraku.

Sejak tahun 1969, pemerintah telah menghabiskan lebih dari 100 miliar yen

untuk memperbaiki lingkungan masyarakat mulai dari perumahan pendidikan.

peluang kerja, pertanian, dan usaha kecil.

Pada tahun 1965, organisasi buraku dalam sebuah laporan yang disebut

(19)

dihadapi oleh orang-orang dalam kawasan ini selama puluhan tahun kepada

pemerintah.

Dalam laporan tersebut mengatakan bahwa masalah Dowa adalah masalah

sosial yang sangat serius dan menjadi kuburan bagi beberapa kelompok warga

Jepang yang ditempatkan pada kelas sosial terendah baik secara ekonomi, sosial,

dan budaya dalam struktur status sosial yang dimiliki Jepang. Dalam

perkembangan masyarakatnya hal ini menciptakan diskriminasi di masyarakat

Jepang. Hal ini berarti adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat

kotemporer. Mereka untuk memiliki hak-hak sipil yang mana hak dan kebebasan

tersebut harusnya dilindungi dan dijamin bagi semua masyarakat dalam sebuah

negara modern, Amos (2011: 160).

2.4.4 Lahirnya Organisasi Buraku

Masa pembebasan telah lahir, budaya barat masuk ke Jepang dan orang

Jepang pergi menuntut ilmu ke berbagai belahan dunia. Paham-paham mulai

masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Jepang dan mempengaruhi cara

berpikirnya.

Totten dan Wagatsuma, (1972: 43) menyebutkan bahwa intelektual muda

buraku terinspirasi oleh ide-ide Marx dan teori sosialis. Mereka menerima

bantuan dari pemimpin komunis yang aktif dalam penelitian, pertanian dan

pergerakan politik untuk menambah wawasan mereka. Selain itu mereka juga

terpngaruh oleh artikel Sano Manabu yang terbit pada tahun 1921 tentang

(20)

Burakumin untuk mendapatkan kebebasan sejati adalah dengan bekerjasama

dengan buruh, yang juga menderita oleh sistem kapitalis.

Artikel ini sangat berpengaruh pada aktivis buraku sehingga terbentuklah

sebuah gerakan independen. Tanggal 3 Maret 1922, mereka memulai konferensi

tingkat nasional pertama yang disebut dengan Zenkoku Suiheisha. Konferensi ini

diikuti sekitar 2.000 perwakilan buraku dari seluruh Jepang, Totten dan

Wagatsuma (1972:43)

Dalam konferensi ini ada tiga deklarasi yang dibahas dan disetujui di dalam

forum yaitu:

1. Bahwa Tokushu Burakumin akan memperoleh kebebasan dengan cara

mereka sendiri.

2. Tokushu Burakumin menuntut kebebasan dalam meningkatkan

perekonomian dan pekerjaan seperti mayoritas masyarakat lainnya.

3. Tokushu Burakumin akan peduli terhadap martabat manusia dan mereka

akan merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan (Totten dan Wagatsuma, 1972:

43).

Deklarasi Suisheisha tersebut didedikasikan untuk semua kaum buraku yang

sudah merindukan sebuah kebebasan. Tujuan utama dari Suiheisha adalah untuk

mengecam siapa pun yang menghina burakumin dengan kata-kata dan perbuatan

ofensif. Ini berarti bahwa jika ada orang yang mendiskriminasikan burakumin,

para anggota Suiheisha akan menuntutnya untuk meminta maaf secara terbuka

dalam bentuk pernyataan yang diterbitkan di koran atau dalam sebuah pernyataan

yang dicetak lalu akan didistribusikan oleh Suiheisha.

(21)

Dilaporkan (1972: 45)” terdapat pelaku diskriminasi yang menolak untuk

meminta maaf.

Salah satu contoh adalah ketika cabang Suiheisha di Nara mencoba untuk

menghapuskan diskriminasi di sebuah sekolah dasar, di mana anak-anak buraku

tidak diperbolehkan untuk duduk di samping anak-anak non-buraku dan tidak

diperbolehkan untuk menggunakan toilet yang sama. Selain itu tugas untuk

membersihkan sekolah diberikan oleh anak-anak buraku sementara yang

non-buraku dibebaskan dari tugas membersihkan sekolah sepulang jam belajar.

Pembersihan. Bahkan beberapa anak buraku tidak diperbolehkan untuk naik ke

sekolah tingkat atas, meskipun nilai mereka sangat baik.

Namun, upaya penghapusan diskriminasi yang telah mendapatkan dukungan

dari seratus anggota buraku ini ditolak oleh kepala sekolah SD tersebut. Hal ini

mengakibatkan perkelahian fisik antara burakumin dan petugas kecamatan. Dalam

bentrokan tersebut mengakibatkan luka-luka pada petugas kecamatan dan pakaian

kepala sekolah yang berusaha untuk melerai telah robek.

Pada akhirnya, sejumlah burakumin mendapat panggilan ke kantor polisi

sementara guru yang mendiskriminasikan anak-anak buraku ditugaskan ke

sekolah lain.

Meskipun perjuangan dengan diskriminator seperti contoh di atas umumnya

hanya mendapatkan kemenangna yang kecil, hal tersebut menjadi sebuah motivasi

untuk melakukan gerakan baru.

Dengan tetap menjaga tindakan radikalnya, maka non-burakumin dan

organisasi lainnya mengubah bahkan menghilangkan pandangan lama mereka

(22)

Organisasi-organisasi yang lebih dekat dengan pemerintah seperti gerakan

Yuwa bahkan mengulurkan tangan untuk membantu Suiheisha dengan memaksa

pemerintah agar memberi dana lebih untuk proyek-proyek yang akan

meningkatkan fasilitas umum di daerah buraku.

Pemerintah juga dipaksa membuka peluang ekonomi yang selama ini hanya

terlihat sebagai mimpi oleh kaum buraku paling terdidik sekalipun. Serta

meningkatkan cakupan keamanan ekonomi untuk burakumin, Totten dan

Wagatsuma (1972: 62).

Pada tahun 1940 karena kekhawatiran akan Perang Dunia II, Suiheisha

dibubarkan. Namun, para pemimpinnya tidak pernah berhenti berjuang untuk

rencana mereka di masa depan dan pada saat negara-negara sekutu memenangkan

perang.

Hingga pada tahun 1946, bebuah konstitusi baru dikeluarkan di Jepang yang

menyatakan bahwa "semua warga negara adalah sama di bawah hukum dalam

hubungan politik, ekonomi, dan sosial, dan bahwa mereka tidak akan

didiskriminasi karena alasan ras, keyakinan, jenis kelamin, status sosial, atau latar

belakang keluarga, Totten dan Wagatsuma (1972: 69). Yang berarti bahwa dengan

hukum yang baru ini, orang buangan sosial seperti burakumin akan bebas dari

prasangka-prasangka buruk. Di tahun yang sama, para pemimpin tua dari

Suiheisha mereformasi ulang organisasi mereka. Tapi kali ini mereka mengubah

nama menjadi National Commite for Buraku Liberation (Buraku Kaiho Zenkoku

Iinkai) atau disingkat NCBL.

Dalam naungan nama baru, NCBL fokus pada aksi untuk melepaskan

(23)

keadaan finansial serta memperbaiki kemiskinan yang dihadapi kaum buraku.

serta mengubah lingkungan kumuh yang ditempati oleh buraku agar menjadi

layak paling tidak seperti perumahan murah yang ada di kota-kota pada

umumnya. NCBL juga meminta agar limbah dan pasokan air harus dibersihkan

secara menyeluruh dan berharap untuk pembangunan yang lebih luas dalam hal

pembibitan, klinik, pusat-pusat kerja dan program kesejahteraan lainnya. Terakhir

mereka mendesak pemerintah untuk memperbaikan fasilitas pendidikan dan

kemungkinan kerja bagi anak muda buraku serta memberikan pinjaman kepada

industri kecil miliki masyarakat buraku, Totten dan Wagatsuma (1972:74).

Melalui publikasi tentang anti diskriminasi, NCBL semakin kuat dan berjuang

untuk menuntut pemeritah lokal agar memperbaiki kualitas hidup mereka. Untuk

memperluas organisasinya NCBL mengubah nama menjadi Buraku Kaiho Domei

atau Buraku Liberation League (BLL) di tahun 1955 (Asada. 1969: 269).

Namun cara BLL untuk menuntut pernyataan maaf secara terbuka pada pelaku

diskriminasi menimbulkan beberapa kritik, diantaranya Karel Van Wolferen,

seorang jurnalis Belanda yang telah lama tinggal di Jepang. Dia mengatakan, BLL

tidak menempuh jalur hukum untuk penyelesaian diskriminasi (1989: 74).

Ancaman untuk tidak menyudutkan kaum burakumin ini cukup kuat termasuk

saat menghadapi penerbit, penulis, wartawan, editor dan guru. Semua yang

menyinggung burakumin yang bertentang dengan ideologi BLL akan menerima

resiko dipaksa untuk meminta maaf, mereka akan ditahan terlebih dahulu sampai

permintaan maaf itu keluar.

Pada titik ini. BLL menegaskan bahwa permintaan maaf secara terbuka ini

(24)

terhadap orang-orang buraku. namun beberapa oknum menggunakan kekerasan

saat menuntut permintaan maaf pada elaku diskriminasi. Hal inilah yang membuat

pemerintah memperingati buraku jika tetap menjalankan tuntutan permintaan

maaf terbuka maka kebebasan brbicara organisasi ini akan dicabut, Karel Van

Wolferen (1989: 342).

Takagi (1991:284) berpendapat bahwa permintaan maaf terbuka ini justru

menjadikan burakumin sebagai pembahasan yang tabu dan takut untuk

dibicarakan sehingga penyelesaian diskriminasinya berjalan lama. Karena siapa

pun yang berani mengkritik cara BLL ini menjadi target untuk 'pengaduan'.

Berdasarkan hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa media mencoba untuk

menekan isu kontroversial ini.

Hal ini juga yang dikomentari oleh Ian Neary yang tidak menerima bahwa

masalah buraku hanya sisa-sisa feodalisme yang akan hilang dengan

perkembangan kapitalisme. Ia menolak pandangan bahwa solusi terbaik adalah

mengabaikan masalah buraku dengan tidak membahasnya atau melakukan

tindakan khusus, Neary (2009: 71).

Pada tahun 1980 pemerintah menegaskan bahwa permintaan maaf secara

terbuka legal untuk dilakukan, namun tidak untuk tindakan kekerasan yang kerap

dilakukan oleh preman yang berpura-pura menjadi buraku. diikuti dengan adanya

tindakan pemerintah untuk memperbaiki perekonomian buraku pada tahun 1986.

Pemerintah berjanji akan bekerjasama dengan kementerian dan pengacara untuk

menyelesaikan perkara kaum buraku dan wilayah Dowa. Ada juga biaya

tunjangan yang diberikan bagi masyarakat buraku. masyarakat (Manajemen dan

(25)

BLL memainkan peran yang sangat penting dalam memperbaiki

kehidupan buraku. Mereka mempercepat dan mempromosikan proyek pemulihan

wilayan Dowa. Dibawah tekanan BLL yang cukup besar pemerintah terpaksa

berpikir serius tentang diskriminasi masyarakat buraku.

Di samping itu. tindakan radikal mereka mungkin telah berkontribusi terhadap

kelanjutan dari masalah buraku sehingga terjadi penghidaran terhadap

pembahasan topik burakumin di dalam masyarakat Jepang yang berlanjut hingga

Referensi

Dokumen terkait

Kami selaku Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia Mengucapkan terima kasih kepada para anggota Fakultas Ekonomi/Ekonomi dan Bisnis/Ekonomi Islam

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaikbaiknya. BUDIYANI

Dengan diumumkannya PEMENANG kepada peserta lelang diberikan kesempatan untuk mengajukan sanggahan, apabila masih terdapat kesalahan di dalam penetapan pemenang

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaikbaiknya. BUDIYANI

Selain itu, untuk mendukung kegiatan operasional Perguruan Tinggi dan kebutuhan layanan perbankan baik bagi para Dosen, Pekerja dan Mahasiswa, terdapat beberapa layanan BRI yang.

Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan elektroda yang tepat digunakan untuk proses pengelasan kaki pulsator agar hasil lasan tersebut dapat memberikan

Fitur Region of Interest (ROI) pada metode kompresi JPEG 2000 ini memungkinkan dilakukannya kompresi secara berbeda pada area tertentu dari citra dijital, sehingga area yang

[r]