• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin Di Jepang Dewasa Ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin Di Jepang Dewasa Ini"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos

Wacana Ilmu.

Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra : Beberapa Prinsip dan Model

Pengembangannya. Malang : Yayasan Asah Asuh Malang

Benedict, Ruth. 1979. Pedang Samurai dan Bunga Seruni . Jakarta: Penerbit Sinar

Harapan

Buraku Liberation Research Institute. 1983-1993. Buraku Liberation News.

Osaka: Buraku Liberation Research Institute.

Dayakisni Tri, Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : UMM Press

Donoghue. John D. 1957. "An Eta Community in Japan: The Social Persistence of

Outcaste Groups" American Anthropologist.

Douglas. Mary. 1966. Purity-Danger –An analy sis of Concepts of pollution and Taboo. Middlesex and Baltimore: Penguin Books.

Inou Kiyoshi. 1964. The Studyof Buraku Problems: History and Theory of

Emancipation. Kyoto: Buraku Mondai Kenkyusho

Koentjaraningrat. 2002. Ilmu Sosial ( Antropologi dan Kebudayaan).

Jakarta : Rineka Cipta.

Kitaguchi, Suehiro. Tran. Alastair McLauchlan. An Introduction to the Buraku

Issue: Questions and Answers. Surrey: Japan Library, 1999.

(5)

Modern Japan. New York: Rowman & Littlefield Publishers

Miyazaki. Shigeki. 1999. Kokusaika Jidai no dinken to Dowa Mondai. Tokyo:

Akashi shoten.

Neary, Ian. 2009. Burakumin in contemporary Japan“. Japan‘s Minorites: the

Illusion of Homogeneity. Ed. Michael Weiner. New York: Routledge

Totten, George O. and Hiroshi Wagatsuma. 1972. Emancipation: Growth and

Transformation of a Political Movement“. Japan‘s Invisible Race: Caste

in Culture andPersonality. Los Angeles: University of California Press

Shimahara, Nobuo. 1971. Burakumin: A Japanese Edication. Hargue: Martinus

Hijhoff

Situmorang, Hamzon. 2011: Telaah Budaya dan Masyarakat Jepang.

Medan: Usu Press

Situmorang, Hamzon. 2013: Minzoku Gaku(Ethnologi) Jepang. Medan: Usu Press

Stet, JE and Burke, Peter J. 2000. Identity Theory and Social Identity Theory.

Social Psychological Quarterly

Yanagawa, Keiichi. 1992: Religion and Society in Contemporary Japan. Nanzan

Institute for Religion and Culture

http://www.bll.gr.jp/eng.html.

http://www.tofugu.com/2011/11/18/the-burakumin-japans-invisible-race/

(6)

https://id.wikipedia.org/wiki/Burakumin

http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20157966.pdf

http://www.academia.edu/10357376/_FENOMENA_BURAKUMIN_PENYAKIT

_SOSIAL_DARI_POLA_PIKIR_HOMOGEN_MASYARAKAT_JEPANG_

http://belajar-nihongo.blogspot.co.id/2011/06/kaum-eta-sisi-gelap-negeri-jepang.html

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-02-00355-JP%20Bab%202.pdf

(7)

BAB III

PENDISKRIMINASIAN MASYARAKAT BURAKUMIN DI JEPANG

DEWASA INI

3.1 Pendiskriminasian Bidang Hubungan Sosial Masyarakat

Tercatat pada Oktober 2015, jumlah penduduk Jepang adalah sebanyak

126,890,000 jiwa. Jumlah ini bertambah sekitar 1 juta jiwa sejak 1996 dimana

dalam Hokkaido Minseibu (1993:2) mengatakan bahwa jumlah penduduk Jepang

saat itu adalah 125.760.000 termasuk didalamnya tiga kelompok minoritas.

Jepang adalah sebuah negara yang homogen terdengar hanya sebagai sebuah

mitos karena faktanya terdapat 4% (5.000.000 orang) kelompok masyarakat yang

merupakan kaum minoritas termasuk buraku.

Burakumin merupakan kelompok minoritas terbesar yang ada di Jepang.

Perbedaan mereka tidak terlihat secara fisik. Menurut survey yang diadakan oleh

pemerintah di tahun1955 jumlah kaum buraku sebanyak 892.551 atau sekitar

298.385 kepala keluarga. Terdapat sekitar 4.442 diantaranya tinggal di wilayah

Dowa ( Badan Koordinasi dan Manajemen 1995:419).

Hal ini berbeda dengan data yang dimilki oleh Buraku Liberation

Research Institute yang mengatakan bahwa jumlah buraku terdiri dari 1.000.000

sampai 3.000.000 orang yang tinggal di 6.000 wilayah Dowa (De Vos 1983: 3).

Burakumin tersebar hampir di seluruh Jepang. Namun sebagian besar

menempati wilayah Nishi Nihon atau bagian barat wilayah Jepang terutama ada

di daerah Kansai. Lebih dari 10% dari penduduk Osaka, Hyogo, dan Fukuoka

(8)
[image:8.595.130.508.137.581.2]

Table 2. Penyebaran Burakumin berdasarkan wilayah tempat tinggal (1987)

Buraku Liberation League dalam Civil Society Report on the

Implementation of the ICCPR di tahun 2014 mengungkapkan banyak burakumin

yang memilih pindah keluar dari komunitasnya untuk menghindari adanya

diskriminasi. Namun, citra dan pandangan negatif terhadap buraku belum hilang

(9)

khusus untuk menghapusnya sejak 1969-2002. Hingga sekarang pemerintah juga

masih aktif melakukan penyadaran terhadap kesamaan hak dan anti diskriminasi

terhadap orang-orang buraku.

Menurut Teraki (1997:99), dari sejak munculnya dekrit pembebasan di

jaman Meiji hingga hampir tahun 2000 burakumin masih mengalamai

diskriminasi meski tidak separah masa lalu. Menurut survey oleh Agen

Manajemen dan Koordinasi tahun 1993, dari daerah buraku di 36 prefektur

menunjukkan bahwa 33,2% responden mengalami perlakuan tidak menyenangkan

hanya karena mereka tinggal di daerah yang dulu didiami oleh burakumin.

Dalam Buraku List Scandal yang tercatat pada tahun 1975

mengungkapkan bahwa citra negatif dari buraku sangat kaku dan sangat tertanam

dalam pikiran masyarakat dan muncul juga dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Pada tahun 2010 Pemerintah Prefektur Osaka melakukan survei untuk

mengetahui sikap warga terhadap masalah Buraku. Pertanyaannya adalah,

"Apakah Anda menghindari sebuah rumah yang terletak di distrik Dowa ketika

Anda membeli atau menyewa rumah? "55,0% responden menjawab" ya. "Mereka

ingin menghindari buraku, beberapa orang calon pembeli rumah akan memastikan

ke balai kota yang relevan untuk menanyakan apakah alamat rumah yang akan

mereka beli merupakan bagian dari bekas wilayah buraku, atau secara pribadi

menggunakan investigator untuk mengetahui apakah rumah yang akan dibeli

adalah bagian dari atau dekat dengan buraku. Agen real estate, pengembang

perumahan atau pembeli tanah lelang juga akan mencari tahu apakah

(10)

wilayah buraku sehingga mereka dapat menghindari buraku dalam transaksi

bisnis mereka.

BLL juga mengungkapkan skandal yang terjadi pada tahun 2014 yang

terdapat dalam sebuah artikel di majalah. Majalah tersebut mengangkat latar

belakang pribadi seorang pemimpin politik terkemuka, skandal diskriminasi

terjadi satu demi satu. Ini dilakukan oleh orang-orang yang mencoba untuk

memberikan kerusakan pada tokoh tertentu atau untuk memperoleh lebih banyak

keuntungan bisnis dengan mengambil keuntungan dari citra negatif buraku.

3.2 Pendiskriminasian Bidang Pekerjaan

Di bidang pekerjaan, diskriminasi terjadi pada pembatasan-pembatasan

bidang pekerjaan. Burakumin pada umumnya dibatasi untuk melakukan

perkerjaan seperti yang dilakukannya pada masa lalu. Meskipun mereka telah

dibebaskan pada 1871 lalu, diskriminasi masih meluas di jaman modern ini

(Weiner, 2004:109).

Menurut Hane (2003:155) selain melakukan pekerjaan di bidang yang

sama di masa lalu, ada juga burakumin yang bekerja sebagai guru. Guru adalah

salah satu jenis pekerjaan yang diperbolehkan secara tertulis pada Jaman Meiji.

Burakumin tidak diizinkan untuk menggeluti pekerjaan dalam bidang

pemerintahan atau polisi.

Keterbatasan itu harusnya telah berakhir sejak tahun 1965. Setelahnya

burakumin bisa menentukan sendiri jenis pekerjaan mereka sesuai dengan

kemampuannya. Yang menjadi masalah slanjutnya adalah tentang kehidupan

(11)

mendapatkan posisi jabatan teratas. Banyak perusahaan yang juga memiliki koseki

karyawannya secara ilegal. Koseki yang harusnya bukan jadi konsumsi publik

digunakan secara tidak baik oleh berbagai oknum hingga dikenal dengan buraku

list scandal.

Dari situs Buraku Liberation dan Hak Asasi Manusia Research Institute

menjelaskan apa yang disebut "Buraku Daftar Skandal" yang terungkap pada

bulan November 1975. Melalui Liberation League Buraku dan Badan Otoritas

Publik, ditemukan bahwa: (a) sedikitnya delapan jenis Daftar Buraku, yang berisi

informasi tentang nama dan lokasi, jumlah rumah tangga dan pekerjaan utama

masyarakat Buraku, telah diterbitkan; (B) mereka siap dan didistribusikan oleh

lembaga investigasi dan detektif swasta, dan; (C) telah terjadi sebanyak 220

pembeli, sebagian besar yang perusahaan swasta yang tujuan utamanya adalah

untuk melakukan skrining diskriminatif pelamar kerja.

Akibatnya, Prefektur Osaka dan beberapa kota lainnya memberlakukan

peraturan daerah untuk mengatur investigasi latar belakang pribadi yang

dilakukan oleh lembaga swasta, yang menyebabkan diskriminasi terhadap orang

Buraku. Namun, tidak ada langkah-langkah legislatif yang telah diambil di tingkat

nasional dalam hal ini . (http://blhrri.org/blhrri_e/other/008_e.html).

Diskriminasi oleh perusahaan besar tetap terjadi karena mereka lebih

memilih karyawan yang berasal dari mayoritas Jepang. Sebagian besar perusahaan

masih memerlukan calon karyawan untuk mengirimkan Koseki mereka yang

menunjukkan di mana mereka tinggal, tempat kelahiran. dan informasi lain

tentang anggota keluarga. Daftar yang mengkompilasi alamat masyarakat buraku

(12)

sembilan daftar substansial diproduksi dan dijual dengan harga yang tinggi untuk

perusahaan, termasuk perusahaan terkenal dan Bank-Bank besar.

Seperti yang dijelaskan William Wetherall, beberapa daftar yang

diterbitkan pada 1930-an oleh pemerintah bersama-sama dengan laporan resmi

masalah Buraku. Daftar tersebut telah digunakan untuk menyaring alamat

sekarang dan masa lalu dari pelamar dan keluarga mereka untuk mengidentifikasi

hubungan mereka dengan buraku, latar belakang dan menggagalkan impian

mereka melarikan diri dari belenggu diskriminasi yang secara hukum statusnya

telah dihapuskan (1984:36).

Ada tekanan oleh Buraku Liberation League (BLL) untuk membuat

daftar ini ilegal. Daftar ini dibeli tidak hanya oleh perusahaan tetapi juga oleh

individu yang ingin memastikan bahwa anak-anak mereka tidak sengaja menikahi

orang-orang buraku. sekarang membeli dan mencari latar belakang seseorang

merupakan tindakan yang ilegal.

Pada tahun 1980, menurut Statistik Tenaga Kerja tingkat pengangguran

rata-rata di Jepang adalah 2,2% tetapi di wilayah buraku itu jauh lebih tinggi:

misalnya. di Nagasaki 50%, di Osaka 29%, dan di Kochi 26% (Miyazaki. 1999).

Namun, situasi kerja telah membaik pada tahun 1993. Lebih dari 50% dari

orang-orang buraku dipekerjakan dan sekitar 80% dari pemuda memiliki

(13)
(14)

Menurut Buraku Liberation Research Institute laporan (Oktober 1993)

dibandingkan dengan populasi umum ada lebih sedikit pekerja kerah putih dan

lebih pekerja kerah biru di antara buraku di setiap prefektur, dan rasio pekerja di

bidang manufaktur lebih tinggi di antara buraku. Sebagai contoh. di Kyoto 12,9%

dari orang-orang Buraku terlibat dalam administrasi pekerjaan, dari 21,9% dari

populasi di Kyoto. Sebaliknya 43,5% dari orang buraku bekerja di bidang

manufaktur, merupakan 35,9% dari populasi di Kyoto (Buraku Liberation

Research Institute 1993:6).

Pekerjaan pemerintah tidak tertutup untuk Buraku seperti dulu. Buraku

yang berpendidikan memegang posisi penting dan menjadi aktif dalam politik.

Pada tahun 1993, 9,4% dari orang buraku bekrja pada pemerintah dan

pekerjaan kota seperti tabel di atas.

Pendapatan tahunan dari orang-orang buraku masih tetap sangat rendah

dibandingkan dengan rata-rata nasional. Menurut survei yang dilakukan oleh

Buraku Liberation Research Institute (1993), di Osaka 15% dari Buraku

orang berpenghasilan kurang dari 1 juta yen per tahun. Merupakan 1% dari

populasi umum.

3.3 Pendiskriminasian Dalam Pernikahan

Diskriminasi yang umumnya terjadi dalam dunia pernikahan kaum

burakumin adalah penolakan. Penolakan mungkin tidak akan terjadi jika

keturunan burakumin menikah dengan sesama burakumin. Namun, yang menjadi

(15)

Ishikawa Hane (2003:148) mengatakan bahwa pada tahun 1993

berdasarkan survey yang dilakukannya didapatkan bahwa 60% orang tua di

Jepang tidak ingin anaknya menikah dengan keturunan burakumin, mereka akan

menentangnya. Sementara dari responden berusia muda terdapat 20% responden

yang akan membatalkan pernikahan mereka jika diketahui calon istri atau

suaminya adalah keturunan burakumin.

Hal ini dapat dilihat bahwa pandangan negatif terhadap burakumin

sebagian besar melekat pada golongan orang tua di Jepang. Anak muda pada

umumnya tidak peduli dengan sejarah kelam tersebut.

Mucks (2010:38) mengatakan saat ini burakumin banyak yang

menyembunyikan status mereka pada masyarakat non-buakumin, keluarga bahkan

pada anak-anaknya.

Saat ini mungkin mudah untuk menemukan orang Jepang dan mengajukan

pertanyaan dari apakah ada diskriminasi terhadap Burakumin dalam masyarakat

modern, ia akan menginformasikan Anda bahwa masyarakat saat ini tidak ada niat

buruk terhadap mereka. Tapi begitu ia ditanya tentang bagaiman jika ia memiliki

seseorang buraku dalam keluarga, ia cenderung untuk langsung mengubah klaim

sebelumnya. Seperti satu ibu rumah tangga berpendidikan di salah satu universitas

di Tokyo benar-benar menolak menikahi putrinya dengan seorang pria buraku,

alasannya adalah bahwa "mereka" kotor dan mereka tidak benar-benar Jepang

(Kristof, 1995).

Oposisi dengan perkawinan antara burakumin dan non-burakumin adalah

salah satu sikap negatif utama saat ini. Ada banyak contoh dari mertua menentang

(16)

investigasi. Generasi muda pada umumnya mengabaikan itu tapi tidak dengan

keluarga lainnya. Sebagai hasilnya, awalnya hanya ketidaksetujuan perlahan bisa

berubah menjadi diskriminasi parah.

Seperti sebuah contoh pada kehidupan ibu rumah tangga yang berusia 34

tahun dan telah menikah dengan seorang pria non-buraku. Ia tidak pernah

menginjakkan kaki di dalam rumah mertuanya selama 16 tahun. Suaminya jadi

tidak diakui oleh orang tuanya dan pernikahan mereka tidak terdaftar dalam koseki

keluarga mertuanya. Hal yang sama ketika mereka memiliki anak, kelahiran

anak-anak tersebut juga tidak dicatat dalam koseki. Namun, saat anak-anak-anak-anaknya ingin

sekolah, berdasarkan diskusi keluarga si mertua menyerah dan terdaftar anak-anak

sebagai cucu mereka. Hal ini bukan berarti berakhirnya penolakan terhadapnya

bahkan setelah kematian ayah mertuanya itu.

Diskriminasi berlanjut pada kakak suaminya, Kakaknya bahkan

terang-terangan mengucapkan hal-hal seperti "Saya tidak pernah bisa menikah

karena Anda dan Anda adalah penyebab kekotoran di keluarga ini”. Makian

biasanya berlanjut dengan kata-kata sampah dan larangan untuk datang ke rumah

keluarga itu lagi (Kitaguchi, 1999: 50).

Hal-hal seperti inilah yang membuat buraku harus menyembunyikan

latar belakang dari teman-teman mereka, untuk menghindari prasangka lebih

lanjut terhadap mereka dan anak mereka. Contoh ini jelas menunjukkan rasa

frustrasi dari kaum burakumin pada umumnya.

Peneliti lainnya mengklaim bahwa sebagian besar orang Jepang tidak tahu

mengapa mereka melakukan diskriminasi terhadap Burakumin. Ito Takuya

(17)

diskriminatif mereka adalah karena mereka memproyeksikan mereka sendiri

sebagai “bayangan” ke burakumin. Dalam istilah psikologi Jung, “bayangan”

mengacu pada kompleks ketidaksadaran atau ego. Ada sesuatu dalam diri

seseorang yang tidak ingin mengakui hal apapun tentang burakumin (Ito, 2005).

Selama Periode Meiji ketika Emansipasi Edict disahkan, ketika para petani

frustrasi oleh kesulitan keuangan, pecahlah kerusuhan dan mereka menjadikan

burakumin sebagai sarana dari menghilangkan frustrasi mereka.

Dalam bukunya, Kadooka Nobuhiko membuat sketsa sampel konflik

antara ayah dan anak, konflik tersebut mengenai pernikahan anaknya dengan

wanita dari masyarakat buraku. Keluarga menghadapi dilema antara cinta dan

citra masyarakat. Buku yang berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan

sebuah dialog sebagai berikut:

Anak : Ayah, saya ingin menikah .

Ayah : Oh, ya! Ini adalah kabar baik! Dengan Hanako bukan? Dia adalah gadis

yang baik

Anak : Ya

Ayah : Dia adalah seorang wanita yang baik! Anda beruntung!

Anak : Ayah, dan ... saya harus memberitahu Anda, tentang ..."

Ayah : Apa:

Anak : Tentang asalnya.

Ayah : Apa itu?

Anak : Dia dari masyarakat Buraku.

Ayah : Oh, tidak, anakku!

(18)

Ayah : Tidak, itu tidak mungkin!

Anak : Kenapa tidak mungkin?

Ayah : Ini akan merusak reputasi keluarga kita! Benar-benar, tidak ada !!

Anak : Mengapa merusak keluarga kita?

Ayah : Karena, darah keluarga kami tidak dapat dicampur dengan mereka!

Anak : Ini adalah cara kuno pemikiran. Salah keyakinan!

Ayah : Meskipun saya akan mengatakan OK, saudara-saudara kita pasti marah!

Ini dapat merusak reputasi mereka,juga. Apa kau mau

menyebabkan kerugian apapun pada pernikahan dan pekerjaan saudara Anda?

Anak : Anda tidak bisa memprediksi itu!

Ayah : Tidak ada, masyarakat tidak mudah. Saya tahu orang-orang Buraku

melakukan gerakan hak asasi manusia yang kuat, dan saya mendengar

beberapa dari mereka yang sangat menantang. Saya tidak ingin keluarga kita

untuk terlibat dalam hal-hal yang rumit seperti!

Anak : Yah, beri kami kesempatan, Kami tidak berpikir Anda akan menjadi

marah.

Ayah : Siapa orang di bumi ini yang tetap menjaga diskriminasi konyol seperti

ini ? saya kesal.

Ayah : Ayah, itu Anda!

Dalam dialog di atas juga terlihat bagaimana terkadang pelaku

diskriminasi sendiri tidak sadar bahwa mereka telah melakukannya.maslah dalam

rumah tangga bukan hanya berdasarkan penolakan-peolakan pada awal

(19)

Dalam (http://blhrri.org/blhrri_e/other/008_e.html) menyebutkan ketika

seorang wanita buraku mencari nasihat atau rehabilitasi layanan untuk

diskriminasi mungkin telah menderita pada saat perkawinan karena kekerasan

dalam rumah tangga terutama dalam kaitannya dengan asal buraku. Dia tidak

bisa mengharapkan untuk diberikan saran atau rehabilitasi oleh spesialis yang

mungkin terlatih khusus untuk masalah buraku. Data statistik pada korban

pelanggaran hak asasi manusia yang dipublikasikan oleh Departemen Kehakiman

tidak termasuk data khusus untuk perempuan korban buraku.

Survei dilakukan pada 11.265 wanita Buraku oleh Buraku Liberation

League (BLL) di Saitama, Prefektur Kyoto, Osaka, Hyogo dan Nara prefektur

(untuk periode 2006-2010) mengungkapkan bahwa 20,4% dari perempuan itu

merupakan korban dari kekerasan dalam rumah tangga.

Survei lain yang dilakukan oleh BLL Osaka pada 2012 untuk mengetahui

kondisi kehidupan keluarga single parent buraku mengungkapkan bahwa 321 dari

472, yaitu sebanyak 68,0%, telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Beberapa dari mereka babak belur oleh suami non-buraku mereka meskipun fakta

(20)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas maka kita dapat

mengambil beberapa kesimpulan yaitu :

1. Burakumin adalah sebutan untuk kaum Eta dan Hinin yang merupakan

salah satu kelompok masyarakat yang mendiami sebuah daerah

tertentu yang letaknya jauh dan terasingkan bahkan di lokasi-lokasi

berbahaya.

2. Penyebab kaum ini terasingkan adalah adanya konsep kesucian dan

kekotoran yang dibawa oleh ajaran Budha dan Shinto dalam

masyarakat Jepang. Kaum Eta dan Hinin pada umumnya adalah

orang-orang yang bekerja sebagai tukang daging, pemburu binatang, pembuat

bahan-bahan dari kulit binatang, pengurus jenazah, pelaku kriminal

serta gelandangan. Dalam kedua ajaran agama di atas, barang siapa

yang berhubungan dengan kematian, darah dan perilaku kotor adalah

sebuah kenajisan yang tidak baik untuk kehidupan. Kekotoran yang

melekat pada orang-orang ini dikatakan dapat menular dan membawa

dampak buruk bagi orang-orang disekitarnya. Karena alasan inilah

kaum Burakumin mendapatkan perlakuan buruk atau

didiskriminasikan.

3. Pendiskriminasian secara terang-terangan terhadap burakumin mulai

(21)

burakumin ditentukan oleh pemerintah. Mulai dari jenis pakaian,

tempat tinggal, makanan serta perilaku mereka. Dalam pembagian

kelas masyarakat, burakumin tidak masuk dalam kelas manapun.

Bukan hanya berada dalam kelas sosial terendah namun berada di luar

kelas sosial masyarakat Jepang pada saat itu.

4. Secara resmi status burakumin dibebaskan pada saat Restorasi Meiji

(1868- 1945). Dalam menghadapi era modern burakumin harusnya

telah mendapatkan kebebasannya. Namun, hal itu mendapatkan

banyak penolakan sehingga secara tidak resmi burakumin tetap

menerima perlakuan diskriminasi oelah masyarakat.

5. Dalam rangka pembebasan kaum burakumin kaum intelektual muda

nya membentuk sebuah organisasi yang disebut dengan Suiheisha.

Organisasi ini terus berkembang dan sedikit demi sedikit berhasil

mendapat bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup

kaum burakumin. Organisasi ini juga berkembang mulai dari

pergantian nama, asimilasi bersama partai politik dan kembali menjadi

indipenden hingga terakhir menjadi Buraku Liberation League (BLL)

yang hingga sekarang aktif memberikan penyuluhan tentang hak asasi

manusia, memantau kesejahteraan dan menerima laporan terhadap

masyarakat burakumin yang telah membaur dalam masyarakat biasa.

6. Meski telah melewati berbagai usaha penghilangan diskriminasi secara

kasat mata, usaha penghilangan pandangan masyarakat tentang masa

burakumin belum menghilang. Hal ini karena masyarakat Jepang

(22)

7. Meski bisa bekerja di berbagai perusahaan, burakumin yang terlacak

asal-usulnya akan sulit mendapatkan posisi yang tinggi atau pemimpin

meskipun ia memiliki kemampuan tersebut.

8. Beberapa perusahaan dan orang tua yang masih kolot kerap menyewa

detektif, serta penyalahgunaan Koseki untuk memastikan asal usul

seseorang.

9. Dalam hal pernikahan, calon menantu yang mengaku atau ketahuan

burakumin banyak menerima penolakan dari keluarga pasangannya.

Beberapa kasus bahkan, wanita yang ketahuan burakumin menerima

perlakuan kasar dari pasangannya.

10.Saat ini, burakumin dianggap sebagai grup yang tidak terlihat

keberadaannya dikarenakan masyarakat ataupun media tidak ingin

membahasnya karena tidak ingin mendapat cekal dari BLL.

11.Pandangan negatif terhadap burakumin sebagian besar melekat pada

golongan orang tua di Jepang. Anak muda pada umumnya tidak peduli

(23)

4.2 Saran

Pemahaman bahwa manusia memilki hak dan kedudukan yang sama adalah

hal dasar yang harus sudah mendasar dalam pikiran masyarakat jika ingin

menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang terjadi pada kaum burakumin.

Peran pemerintah tidak bisa berhenti karena diskriminasi terhadap

burakumin bukan lagi dalam hal fisik namun menjadi doktrin. NGO juga harus

tetap aktif dalam hal mengubah doktrin yang telah lama tumbuh bersamaan

dengan tumbuhnya kepercayaan yang ada di Jepang.

Saat ini burakumin menjadi kaum yang keberadaannya tidak terlihat. Ada

dalam sejarah namun tak bisa dilihat dalam masyarakat secara jelas. Hal ini

dikarenakan usaha komunitas yang takut tidak diakui, serta masyarakat luas yang

tak berani membahasnya karen khawatir akan dipermaslahkan oleh BLL.

Seharusnya isu ini bukanlah hal yang tidak boleh diangkat dan didiskusikan

bersama-sama. Burakumin harusnya tidak dihilangkan, melainkan diluruskan

sejarahnya.

Skripsi ini mempunyai banyak kekurangan, baik dari segi isi, pemahaman

konsep, penulisan dan analisis data. Bagi rekan-rekan yang ingin melanjutkan

pembahasan tentang burakumin dapat melanjutkan pembahasan dengan melihat

perubahan pola pikir masyarakat dalam memandang burakumin untuk

(24)

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI MASYARAKAT BURAKUMIN

2.1 Sejarah Burakumin

Kata sejarah menunjukkan perkembangan sesuatu dalam proses waktu.

Oleh karena itu sejarah adalah sebuah metode (Situmorang Hamzon 2011:5).

Sejarah burakumin artinya adalah burakumin dalam proses waktu

perkembangannya. Masyarakat Buraku sendiri merupakan perkembangan dari

kaum terbuang Eta (orang-orang kotor) dan Hinin (bukan manusia). Yang mana

kaum Eta merupakan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang dianggap kotor

seperti menguliti hewan, penjagal hewan serta pengurus jenazah. Sementara Hinin

adalah orang-orang yang berstatus rendah karena merupakan gelandangan atau

mantan narapidana. Orang-orang tersebut terkucilkan oleh masyarakat luas.

Istilah Eta sendiri muncul pertama kali pada Zaman Kamakura

(1185-1382). Pada masa itu kaum Eta adalah orang-orang yang bekerja pada pekerjaan

yang dianggap kotor oleh masyarakat Jepang pada umumnya. Mereka hidup di

bawah garis kemiskinan. Jenis pekerjaan yang dilakukan adalah pembantaian

binatang dan pembuangan bangkai, Kitaguchi dan Mclauchlan (1990:80).

Onhuki dan Tierney (1986: 86) mengatakan, dalam jaman pertengahan

istilah Hinin juga digunakan untuk mereka yang dengan sengaja memisahkan diri

dari kehidupan sosial masyarakat. Yaitu para kriminalitas yang dikeluarkan dari

kehidupan sosial, pengemis yang mengemis untuk kebutuhan ekonomi bukannya

untuk agama, serta para biksu yang benar-benar meninggalakan kehidupan

(25)

Adanya istilah burakumin tentu memiliki sejarah yang cukup panjang.

Munculnya istilah ini didasari oleh kepercayaan Shinto dan Buddha yang

berkembang di masyarakat Jepang. Jika merunut kembali sejarah munculnya

kaum Buraku, maka kita akan kembali ke masa Prasejarah di Jepang.

Setelah melewati Zaman Jomon, Jepang memasuki sebuah era dimana

diduga adanya lompatan budaya, yaitu Zaman Yayoi. Hal ini dikarenakan mulai

masuknya berbagai teknologi dari daratan China pada abad ke 3 masehi

(Situmorang Hamzon 2011:8). Tak hanya berbagai jenis kebutuhan pertanian,

aliran kepercayaan di Jepang pun mulai masuk di zaman ini.

Di bawah Pemerintahan Yamato, pada abad ke 6 Jepang sudah membuka

hubungan dengan pemerintahan Korea dan China. Pada masa itu masuklah agama

Buddha dan Konfuchu serta ilmu pengetahuan lainnya yang menjadi dasar imu

pengetahuan bagi Jepang ( Situmurang Hamzon 2011:11).

Agama Buddha yang masuk bercampur dengan kepercayaan asli bangsa

Jepang, yaitu Shinto. Baik Buddha maupun Shinto percaya bahwa menghilangkan

nyawa makhluk hidup, memakan daging, dan melakukan kontak langsung dengan

darah dan kematian adalah kegiatan yang tidak suci atau kotor.

Menurut Donoghue (1977:9-10) ketika agama Buddha masuk ke Jepang,

masyarakat didominasi oleh kehidupan pertanian. Yang mana pekerjaan seperti

penghibur dan pengrajin berada di kelas sosial terendah. Lalu dengan adanya

ajaran Buddha, orang yang berhubungan dengan penyamakan hewan mulai

dianggap tabu dan dipandang rendah.

Pada tahun 701 terjadilah reformasi Taika yang mana pemerintahan

(26)

masyarakat Jepang terbagi dalam dua kelas. Yaitu Ryomin (orang-orang baik dan

bebas) dan Senmin (orang-orang miskin dan kelas rendah). Orang-orang Senmin

inilah yang pada umumnya menjadi leluhur masyarakat buraku.

Senmin terbagi lagi dalam lima golongan masyarakat berdasarkan

pekerjaan, yaitu Ryoto (penjaga makam) , Kanko (petani kerajaan), Kunuhi

(pelayan kerajaan), Shinuhi (pelayan pribadi), dan Gunin (pelayan kuil dan

pribadi) (Shimahara 1971:15). Selain itu ada juga kelompok masyarakat Zakko

yang merupakan semi- Senmin. Yaitu sekelompok masyarakat yang memiliki

status sosial yang lebih tinggi. Zakko memiliki keahlian dalam bidang membuat

pakaian dari kulit, membuat sepatu kulit, memproduksi senjata dan lain-lain.

Selain Zakko, adapula kelompok masyarakat yang disebut dengan Etori.

Kelompok masyarakat ini mengumpulkan elang dan anjing untuk keluarga

kerajaan yang akan digunakan untuk berburu di Departemen of Falconry atau

disebut dengan Takatsukasa yaitu olahraga berburu burung menggunakan elang.

Inoue (1964:17) mengatakan jejak etimologi kaum Eta berasal dari kaum

Etori. Dari Etori menjadi Eto lalu menjadi Eta. Pada tahun 860 Takatsuka

dihapuskan yang juga di pengaruhi kepercayaan Buddha. Kaum Eta tidak lagi

bekerja untuk megumpulkan elang dan anjing melainkan berganti menjadi penjual

daging yang mana kegiatan utamanya adalah menjagal hewan. Ketika menjagal

hewan menjadi hal yang ilegal para penjual daging ini menjadi dibenci dan

dipandang rendah. Beberapa kaum Etori kehilangan pekerjaan dan pindah ke

pemukiman yang sepi dan daerah pinggiran sungai. Dan beberapa yang ekstrim

memilih untuk menjadi pengembara, pemburu, nelayan dan gelandangan. Selain

(27)

dengan bernyanyi, menari dan melawak dari rumah ke rumah. Mereka semua

tinggal di sekitaran sungai, desa yang kosong di sekitar kota. Masyarakat berkasta

tinggi melarang kaum Eta untuk masuk ke daerah mareka.

Pada Zaman Chusei (1192-1603) kelompok masyarakat senmin menjadi

penting karena senmin menjadi pemasok peralatan perang bagi para Shogun yang

merupakan penguasa pada masa ini. Orang-orang Senmin diperbolehkan masuk ke

daerah keshogunan dan dibebaskan dari pajak sampai hampir setengah dari

Zaman Chusei. Setelah perang kekuasaan yang menjadi tanda akhirnya jaman ini,

banyak samurai yang kalah perang mengganti pekerjaan menjadi Senmin. Hal ini

menyebabkan peningkatan yang tinggi pada jumlah Senmin. Ketika dalam masa

perang, mereka ikut bertarung untuk pemerintahan feodal, ketika perang telah usai

mereka menjadi pekerja rendah yang berhubungan dengan pengrajin tembikar,

penyamak, membuat pakaian dari kulit, menggali lubang, dan bekerja di

peternakan hewan. Maka bisa dikatakan bahwa buraku merupakan keturunan dari

sebagian besar Senmin pada masa ini.

2.2 Burakumin Pada Masa Tokugawa dan Restorasi Meiji

2.2.1 Burakumin Pada Masa Tokugawa (1603-1868)

Tokugawa Ieyasu adalah daimyo dari Mikawa. Yaitu sebuah daimyo kecil

yang mampu mengalahkan Toyotami Hideyoshi pada perang Sekigahara pada

tahun 1600. Kemudian menjadi Seiitaishogun pada tahun 1603 dengan pusat

pemerintahan Bakufu di Edo (Situmorang Hamzon 2011: 19)

Pada masa ini menganut sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan

(28)

pemerintah pusat yang memiliki daerah sendiri. Sementara Han sebagai daerah

administrasi yang diperintah oleh daimyo yang bebas dari campur tangan shogun.

Dalam banyak hal, Era Tokugawa yang berlangsung lama ini adalah salah satu

era yang paling menonjol dalam sejarah bangsa Jepang. Tokugawa berhasil

mempertahankan perdamaian bersenjata di Jepang sampai dengan generasi

terakhir yang berkuasa, dan Tokugawa juga menjalankan suatu pemerintahan

yang terpusat yang secara mengagumkan dapat melaksanakan tujuan-tujuannya.

Benedict Ruth (1979: 66-67) menerangkan bahwa Tokugawa memiliki strategi

menjaga keutuhan pemerintahannya untuk mencegah para daimyo mengumpulkan

kekuatan untuk menentangnya. Tokugawa membiarkan pola feodal yang ada

bahkan mencoba memperkuatnya dan membuatnya menjadi kaku.

Masyarakat Jepang terdiri dari banyak tingkatan dan kedudukan setiap orang

ditetapkan berdasarkan keturunannya. Keluarga Tokugawa memantapkan sistem

ini dan mengatur tingkah laku sehari-hari dari setiap kasta sampai segi terkecil.

Setiap kepala keluarga harus mencantumkan kelasnya serta fakta-fakta yang

diperlukan mengenai status keturunannya. Mulai dari pakaian yang dikenakannya,

makanan yang boleh dibelinya, dan rumah yang secara sah boleh didiaminya

semua diatur berdasarkan pangkat yang diwarisi.

Pada masa ini kelas masyarakat dibagi menjadi empat kasta. Yang urutan

hirarkinya adalah Serdadu, Petani, Tukang, Pedagang. Di bawah tukang dan

(29)

Dalam bukunya, Benedict Ruth (1979: 68) menuliskan bahwa Eta merupakan

kaum buangan yang jumlahnya terbanyak dan paling terkenal. Mereka adalah

“sampah masyarakat” Jepang, atau lebih tepatnya “yang tidak masuk hitungan”,

sebab panjangnya jalan-jalan yang melalui desa mereka pun tidak dihitung.

Seakan-akan daerah tersebut beserta penduduknya sama sekali tidak ada. Mereka

luar biasa miskinnya, meskipun lapangan pekerjaan mereka terjamin (tukang

membersihkan segala macam kotoran, pengubur mayat dan penyamak), mereka

tetap berada di luar struktur resmi.

Begitu juga dengan kaum Hinin yang merupakan kaum senmin dari era

sebelumnya. Menurut Takagi (1991: 285) orang-orang yang melakukan tindak

kriminal, orang yang melakukan tindak asusila serta yang selamat dari bunuh diri

masuk ke dalam kategori kaum Hinin.

Pekerjaan Eta dan Hinin dibatasi pada jenis pekerjaan yang kotor seperti

tukang daging, pekerjaan yang berhubungan dengan kulit, dan juga pekerjaan

yang berhubungan dengan bambu yaitu membuat kocokan untuk acaran minum

teh yang terbuat dari bambu. Dan juga pekerjaan yang berhubungan dengan

(30)

tukang sepatu, tukang sapu, penghibur, pengemis serta orang-orang yang memiliki

penyakit menjijiknan digolongkan dalam kaum Eta dan Hinin, Hane (2003: 140).

Secara rinci Hane (2003: 142-143) menjelaskan perlakuan yang diterima

kaum Eta dan Hinin selama masa Tokugawa. Kehidupan kaum ini dibatasi mulai

dari tempat tinggal yang mereka diami adalah daerah khusus yang tidak ingin

ditinggali oleh masyarakat lain pada umumnya, kualitas rumah, mobilitas untuk

keluar masuk daerah, serta bagaimana rambut, bahkan sepatu mereka diatur dan

dijabarkan sebagai berikut:

a. Pada saat bepergian mereka tidak diperbolehkan untuk mengenakan alas

kaki apapun melainkan bepergian dengan telanjang kaki.

b. Mereka tidak diizinkan keluar dari daerah mereka sejak matahari terbenam

hingga matahari terbit. Kecuali pada tahun baru mereka hanya bisa keluar

hingga sekitar jam sembilan malam.

c. Tidak boleh bersosialisasi dengan orang lain yang kelasnya lebih tinggi

kecuali karena ada urusan bisnis. Saat berurusan mereka harus bersikap

sangat sopan.

d. Dilarang memasuki kuil-kuil selain kuil yang didatangi oleh orang-orang

yang bukan Eta dan Hinin. Mereka disediakan kuil tersendiri untuk

menghindari terkena kekotoran yang dibawa kaum Eta dan Hinin.

e. Tidak boleh menikah dengan kaum lain selain kaum Eta dan Hinin.

f. Nyawa mereka hanya dihargai sepertujuh dari nyawa masyarakat lain.

g. Mereka harus berjalan di tepi jalan.

(31)

i. Tidak boleh menggunakan payung atau tutup kepala lainnya kecuali saat

hujan.

j. Tidak diperbolehkan makan dan minum di kota

k. Eta dianggap kotor, berbau, vulgar, tidak dapat dipercaya, berbahaya,

makhluk yang bukan manusia dan dianggap sebagai binatang.

Tentang tempat yang ditinggali oleh kaum Eta dan Hinin: “ Eta dan Hinin

banyak tinggal di tempat yang telah ditentukan yaitu dengan kondisinya buruk

seperti yang dijelaskan berikut. Tempat di dekat sungai yang selalu terkena banjir

dan luapan air sungai. Di lereng gunung yang curam dan di dataran tinggi yang

sering terkena resiko tanah longsor dan dengan pengairan yang buruk. Di gunung

yang tinggi di sebelah selatan dan timur yaitu tempat yang hampir tidak mendapat

sinar matahari saat musim dingin.

Serta dalam hal berpakaian pembatasan tersebut meliputi, saat keluar dari

desa, mereka dilarang memakai geta (sejenis sendal) dan zouri (sendal jerami).

Pada musim panas dan dingin pun mereka dibatasi memakai dua warna di kerah

dengan kain katun yaitu warna hijau dan hitam.

Maka bisa dikatakan, Zaman Tokugawa memiliki andil yang besar (selain

pengaruh Shinto dan Buddha) terhadap awal mula pendiskriminasian kaum Eta

dan Hinin. Hal ini juga yang ada pada pikiran masyarakat Jepang yang disurvey

oleh Management and Coordination Agency Policy Office of Regional

Improvement pada tahun 1993. Survey ini dilakukan dengan melakukan interview

pada 60.000 orang buraku dan sebanyak 20.000 orang non buraku. Survey ini

untuk melihat pengaruh dari Dowa Project (project pemerintah untuk membangun

(32)

Pertanyaan dari survey ini adalah “Apakah asal usul dari distrik Dowa?

pilih satu dari enam pilihan. Mayoritas responden baik kaum buraku maupun

non-buraku memilih “politik” yaitu merujuk pada sistem feodal dibawah pemerintahan

Tokugawa. Dibawah pemerintahan Tokugawa, buraku yang dalam sejarah dikenal

sebagai kaum Eta dan Hinin diposisikan sebagai kelas terendah dibawah yang

[image:32.595.112.490.279.365.2]

terendah, dan menghadapi dikriminasi dari berbagai aspek dalam kehidupan.

Tabel 1. Origin Claims of the Buraku People

Ras Agama Pekerjaan Kemiskinan Politik Lainnya

Buraku 1.3% 1.1% 3.8% 14.5% 70.3% 9.1%

Nasional 9.9 1.5 12.6 9.7 55.1 11.3

2.2.2 Burakumin Pada Masa Restorasi Meiji (1868- 1945)

1868 merupakan tahun besar bagi sejarah perkembangan bangsa Jepang.

Kekuasaan pemerintahan diserahkan kembali dari tangan Tokugawa kepada

Kaisar. Meiji Tenno mengutarakan janji gokajonogoseimon. Tenno meningkatkan

kehidupan ekonomi dan politik dengan cara mencari ilmu ke seluruh dunia.

Kemudian ibukota Edo diubah menjadi Tokyo, dan Kaisar pindah dari Kyoto ke

Tokyo (Situmorang Hamzon 2011: 21).

Dalam bukunya, Ruth Benedict (1979: 83) menganalisa bagaimana

Restorasi Meiji ini mulai berjalan. Pemerintahan memulai restorasi dengan

mencabut hak atas pajak yang didapatkan oleh daimyo dari petani dan pemilik

tanah, 40 persen pajak yang tadinya untuk daimyo diserahkan ke pemerintahan.

(33)

dihapuskan tanpa prosedur, lambang keluarga dan pakaian khusus yang

menunjukan kasta dan kelas dilarang, bahkan kuncir harus dipotong. Begitu juga

dengan orang buangan diberi persamaan hak, hukum yang melarang pemindahan

atas hak tanah dihapuskan, penghalang-penghalang yang memisahkan satu

wilayah dengan wilayah lainnya ditiadakan serta peniadaan Bhudisme.

Kebijakan-kebijakan pada restorasi Meiji ini tidak diterima begitu saja.

Dalam rentang tahun 1868 hingga 1878 telah terjadi setidaknya 190

pemberontakan agraris. Para petani menentang pendirian sekolah-sekolah, wajib

militer, pengukuran tanah, pemotongan kuncir, pemberian persamaan hak pada

kaum terbuang dan banyak aturan lain yang mengubah cara hidup mereka yang

lama.

Di tahun 1871, pemerintahan Meiji mengeluarkan Emancipation Edict

yang menyatakan bahwa status Eta dan Hinin harus dihapuskan dan selanjutnya

orang-orang ini harus diperlakukan sama baik dalam pekerjaan dan kehidupan

sosial sebagain orang biasa yang baru (Shin Heimin).

Kebebasan pada Restorasi Meiji ini tidak serta merta menghilangkan

hirarki yang ada dalam budaya Jepang. Perubahan-perubahan ini tidaklah

mengacaukan kebiasaan-kebiasaan hirarkis. Kebiasaan itu mendapat tempat dan

kedudukan baru (Ruth Benedict, 1979: 87).

Maka muncullah sistem pembagian kelas masyarakat yang baru yaitu

Shimin Byoudou mengenai empat strata sosial. Keempat kelas tersebut bermaksud

membedakan masyarakat berdasarkan kelas sosial. Dimana kelas teratas diisi oleh

keluarga Kaisar (Kouzoku), bangsawan (Kazoku), samurai (Shizouku) serta kelas

(34)

telah dimasukkan ke dalam kelas heimin, dan disebut sebagai shin heimin atau

orang biasa baru.

Penyamarataan status ini ditolah oleh kaum petani, pedagang dan tukang.

Mereka menolak untuk menjadi satu kelas dengan kaum eta dan hinin sehingga

sering terjadi permusuhan. Meski telah berada dalam satu kelas yang diakui dalam

pemerintahan, kaum eta dan hinin tetap tersisih dan tinggal di desa yang terpencil

(buraku).

2.3 Kepercayaan dan Konsep Kesucian di Jepang

Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan

supranatural, kekuasaan, dan kekuatannya. Supranatural disini biasa disebut

dengan nama dewa, Tuhan, atau yang gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu

sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral

yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang.

Agama muncul karena orang-orang berusaha untuk memahami keadaaan

dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada pengalaman sehari-

hari mereka. Mimpi waktu tidur pada masyarakat primitif dianggap mempunyai

makna dan itu harus diterjemahkan. Usaha ke arah menjelaskan mimpi itu

membuat mereka sadar bahwa ada diri yang lain dalam tubuh mereka. Diri yang

lain itu hadir ketika orang sedang tidur. Ketika diri yang lain waktu tidur dan diri

yang ada waktu sadar itu meninggalkan tubuh, maka orang yang bersangkutan

meninggal dunia. Kepercayaan seperti ini yang melahirkan ide tentang animisme.

Animisme adalah agama primitif yang kemudian bisa berkembang menjadi

(35)

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17140/8/Chapter%20I.pdf.txt).

Menurut Keiichi Yanagawa (1992 : 7) agama didasarkan pada tiga unsur

utama, yaitu:

1. Doktrin yang mengidentifikasi obyek dan sifat keagamaan. Ajaran sentral dari

agama adalah percaya pada Tuhan atau dewa atau roh-roh yang keberadaannya

tidak bisa dilihat manusia.

2. Perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang yang berkepercayaan sama.

Perkumpulan ini bisa berbentuk organisasi agama, gereja, atau jemaah.

3. Ibadah keagamaan dan ajaran keagamaan. Oleh karena itu suatu agama terdiri

atas doktrin, yang pengikutnya harus percaya; organisasi para penganut agama

itu, dan kode ajaran yang memuat tingkah laku yang dikehendaki dari para

pengikutnya.

Masyarakat Jepang kuno telah mempunyai kebiasaan menyembah alam

dan roh leluhur sepanjang sejarah bangsanya. Penyembahan-penyembahan seperti

ini disebut dengan shizenshukyo (agama alam), Shomin shinko (kepercayaan

rakyat), Minkan Shinkou (kepercayaan penduduk). Kepercayaan yang tidak

melembaga namun hidup di tengah-tengah masyarakat Jepang ini dimasuki oleh

sebuah kepercayaan yang telah melembaga dari luar seperti Bukyo (Budha),

Douyou/jukyou (konfuisus). Agama alam, rakyat dan agama yang telah

melembaga ini akhirnya disebut dengan Shinto yaitu sebuah cara untuk bertuhan

(Situmorang Hamzon 2011: 24).

Anezaki Masaharu dalam Situmorang Hamzon mengatakan bahwa

(36)

sampai kepada melaksanakan acara-acara saja atau ritus-ritus saja sebagai

kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini juga bisa terlihat pada status keanggotaan masyarakat Jepang

dalam tiap-tiap kepercayaan. Menurut Badan Urusan Kebudayaan di tahun 1997

jumlah masyarakat Jepang yang mendaftar dalam berbagai kelompok keagamaan

adalah 207.758.774 jiwa. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari kelompok

Shinto sebanyak 102.213.787 (49,2%), Budha 91.583.843 (44,1%), Kristen

3,168.596 (1,5%) dan lain-lain 10.792.548 (5.2%). Berdasarkan angka-angka ini,

hampir dua pertiga dari orang Jepang memilki dua kelompok agama karena

jumlah penduduk Jepang hanya 125.760.000 (1996).

Sebagai kepercayaan asli Jepang yang dianut oleh sebagian besar

masyarakatnya, Shinto berpengaruh besar dalam terciptanya stigma burakumin.

Baik Shinto maupun Budha di dalamnya terkandung konsep kesucian dan

kekotoran. Shinto menekankan kesucian yang harus dijaga dalam jiwa dan tubuh

manusia baik ketika melaksanakan ritual keagamaan maupun dalam kehidupan

sehari-hari. Sementara hal yang termasuk dalam kekotoran adalah hal yang terkait

dengan darah, kotoran, dan kematian. Keyakinan ini juga dianut oleh para

penguasa yang turut menciptakan adanya kelas sosial dalam tatanan kehidupan

bermasyarakat di Jepang. Kaum Eta dan Hinin yang merupakan para pekerja yang

berhubungan langsung dengan darah, daging dan kematian dianggap kotor dan

tercemar.

Keyakinan di atas juga dipengaruhi oleh Buddhisme yang masuk pada

(37)

kelas masyarakat yang berdasarkan hal yang mulia dan tidak mulia. Dari zaman

kuno hingga ke periode Chusei (1192-1603) sistem kemuliaan adalah hal yang

dominan (Kan,1995:13). Sejak periode Chusei ke awal Tokugawa (1603-1867)

pandangan mulia dan tidak mulia bercampur dengan pandangan suci dan tidak

suci. Hingga Budha mampu menggeser pandangan mulia dan tidak mulia tersebut

menjadi pandangan suci dan tidak suci ketika masuk ke masa Tokugawa (Noma

dan Nakaura, 1983: 210). Dibawah sistem Tokugawa orang yang najis atau tidak

suci dihapuskan dalam anggota kelas sosial dan terisolasi dan dianggap di luar

sistem (Kuroda, 1996).

2.4 Perkembangan Pembebasan Burakumin

Zaman Meiji adalah salah satu gerbang awal bagi burakumin untuk keluar

dari diskriminasi. Pembebasan ini tidak terwujud dalam waktu yang singkat dan

menyeluruh. Perubahan pandangan terhadap burakumin harus diikuti oleh semua

unsur masyarakat baik pemerintah, pelaku diskriminasi dan korban diskriminasi.

Seperti yang dikatakan Douglas (1966: 110) jika seseorang tidak memiliki tempat

di sistem sosial maka mereka adalah makhluk marjinal. Semua tindakan

pencegahan terhadap bahaya dan pembebasan harus datang dari orang lain. Dia

tidak bisa membantu dirinya sendiri dari pandangan bahwa mereka adalah hal

yang tidak normal. Meskipun usaha pembebasan tidak sepenuhnya berhasil,

usaha-usaha tersebut dilakukan sejak restorasi Meiji.

2.4.1 Proklamasi Emansipasi Pada Restorasi Meiji (1871)

(38)

Gebrakan untuk meninggalkan sistem feodal menuju era yang lebih modern

melahirkan sebuah istilah yang disebut dengan Kaihorei atau proklamasi

emansipasi. Dalam bukunya, Uesegi mengatakan bahwa sebenarnya istilah Kaiho

atau kebebasan tidak pernah muncul sekalipun dalam catatan dokumen sejarah

Jepang. Istilah yang digunakan untuk memaknai keadaan saat restorasi Meiji

adalah Senmin Haishirei yaitu menghilangkan sistem manusia tercela atau

bermakna menghapus sistem dan kelas masyarakat yang tidak didasari pada

konsep hak asasi manusia dan keadilan.

Dikatakan juga bahwa diskriminasi yang terjadi pada zaman Edo merupakan

kehendak penguasa di jaman tersebut dan telah dihapuskan pada masa Kekaisaran

Meiji. Pada masa ini kelas sosial burakumin diangkat menjadi sejajar dengan

heimin, namun mereka diberi julukan Shin-heimin atau rakyat jelata baru.

Meskipun pemerintah menetapkan kesamarataan hak dan status masyarakat,

pandangan masyarakat lainnya terhadap burakumin tidak ikut berubah. Berbagai

penolakan kerap terjadi terutama pada golongan petani yang tidak mau berstatus

sosial sejajar dengan rakyat jelata baru.

Dalam sepuluh tahun pertama di restorasi Meiji, telah terjadi banyak

kerusuhan dalam masyarakat. Atas kerusuhuan tersebut burakumin dijadikan

kambing hitam. Banyak penduduk yang mengalami kesulitan keuangan yang

parah, terutama para petani. Para petani khawatir bahwa pembebasan Eta akan

berarti persaingan untuk tanah dan dalam proses itu mereka akan berakhir dengan

nasib yang sama seperti kaum buraku (Totten, George, dan Wagatsuma, 1972:

(39)

masih menerima serangan bahkan menganggap penderitaan semakin parah dengan

adanya banyak ancaman dari kelas masyarakat yang lain.

Restorasi Meiji digunakan oleh beberapa burakumin untuk melarikan diri dari

kemiskinan dan diskriminasi dengan menjadi imigran dan bekerja di luar negeri.

Dari akhir 1800 hingga 1930-an ribuan imigran Jepang menetap di di

negara-negara seperti Amerika, Brasil dan Peru.

2.4.2 Penghapusan Kelas Sosial Dalam Sistem Koseki

Koseki (戸籍) adalah sebuah catatan registrasi keluarga Jepang. Hukum di

Jepang mengharuskan semua rumah tangga Jepang (Ie) melaporkan kelahiran,

pengakuan dari ayah, adopsi, kematian, perceraian, perpindahan, hingga kelas

sosial. Koseki pertama kali dibuat pada tahun 670, penggunaannya hanya dalam

skala lokal. Sementara untuk pencatatan keluarga yang digunakan dalam skala

nasional baru ada pada tahun 1871 yang dikenal dengan Jinsin Koseki. Saat itu

yang menggunakan registrasi keluarga hanya terbatas pada kaum bangsawan,

keluarga samurai, dan orang-orang umum yang terdaftar. Pada tahun 1872

pemerintah membuat undang-undang yang melarang mengubah nama keluarga

dan pada tahun 1875 semua orang harus memiliki nama keluarga.

Masami Degawa dalam tesisnya menjelaskan tujuan utama dari koseki bukan

untuk mengidentifikasi orang dan melegalkan hubungan keluarga. Tapi untuk

mengaktifkan fungsi pemerintah dalam mengontrol keluarga Jepang. Koseki

mencatat data tentang tempat tinggal dan kelas yang asli seperti bangsawan, atau

kelas samurai. Meskipun Eta dan Hinin telah masuk dalam kelas masyarakat jelata

(40)

Sulitnya mengubah pandangan masyarakat terhadap burakumin menjadikan

kelompok masyarakat ini menyembunyikan identitas atau melindungi identitas

mereka agar terhindar dari diskriminasi. Upaya melindungi diri dari diskriminasi

dan agar dapat diterima di masyarakat luas Pada tahun 1923, salah satu organisasi

terbesar bagi orang-orang buraku, Zenkoku-Suiheisha meminta pemerintah untuk

menghapus keterangan asal kelas sosial dalam koseki kaum eta dan hinin. Sebagai

respon terhadap itu pada tahun 1924, pemerintah memutuskan untuk melarang

penggunaan "Eta" dan "Hinin". Namun, penghapusan asal kelas hanya berlaku

pada kaum buraku sehingga asal usul yang berusaha untuk disembunyikan tetap

terlihat dengan adanya kekosongan dalam kolom kelas sosial. Masyarakat umum

berasumsi bahwa jika kolom asal kelas sosial di koseki nya kosong berarti berasal

dari kelas eta dan hinin. Barulah pada tahun 1938 pemerintah benar-benar

menghapus kolom asal kelas sosial pada seluruh koseki.

Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, General Headquarters (GHQ)

meminta pemerintah Jepang untuk menghapuskan sistem Koseki dan membuat

sistem register baru yang hanya mengisi tentang perseorang tanpa merunut asal

usul keluarga. Pemerintah menjawab permintaan tersebut dengan mengatakan

bahwa akan membutuhkan banyak biaya dan sulit untuk mengubah koseki.

Namun, pemerintah akan tetap mencoba mengubahnya saat keadaan

perekonomian negara kembali pulih (Ninomiya 1995: 41).

Tidak sampai 1966 Koseki pun mengalami perubahan. Bukan perubahan yang

sesuai permintaan (koseki individu). Melainkan dari pencatatan keluarga secara

luas menjadi pencatatan keluarga inti saja. Pada sistem ini, setiap warga Jepang

(41)

harus meregistrasikan kosekinya, sehingga dalam koseki bukan hanya terlihat

tempat tinggal terbaru namun juga tempat tinggal sebelum-sebelumnya. Dengan

biaya yang murah, semua orang bisa melihat koseki orang lain.

Saat ini fungsi koseki adalah untuk membuktikan status pribadi secara resmi.

Ada beberapa aturan untuk koseki. Pertama. hanya orang yang memiliki nama

keluarga sama yang dapat mendaftar di satu koseki. Kedua, hanya dua generasi

seperti orang tua dan anak yang bisa mendaftar di satu koseki yang sama. Oleh

karena itu, ketika orang-orang menikah, mereka harus menghapus nama mereka

dari koseki keluarga lama dan mendaftar yang baru. Ketiga, alamat yang diberikan

di koseki dapat berubah kapan saja dan sejak tahun 1887. Namun, koseki juga

memiliki lampiran yang menunjukkan rincian riwayat hidup sebelumnya.

2.4.3 Pembangunan Distrik Dowa

Dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat buraku, pemerintah

dibantu oleh organisasi buraku menciptakan sebuah proyek pemulihan wilayah

Dowa. Pada tahun 1958, pasca-perang pemerintah menerima tanggung jawab

mereka untuk membantu meningkatkan kesejahteraan hidup buraku. Dowa sendiri

adalah kata yang diciptakan oleh pemerintah yang wilayah ditinggali oleh

komunitas buraku.

Sejak tahun 1969, pemerintah telah menghabiskan lebih dari 100 miliar yen

untuk memperbaiki lingkungan masyarakat mulai dari perumahan pendidikan.

peluang kerja, pertanian, dan usaha kecil.

Pada tahun 1965, organisasi buraku dalam sebuah laporan yang disebut

(42)

dihadapi oleh orang-orang dalam kawasan ini selama puluhan tahun kepada

pemerintah.

Dalam laporan tersebut mengatakan bahwa masalah Dowa adalah masalah

sosial yang sangat serius dan menjadi kuburan bagi beberapa kelompok warga

Jepang yang ditempatkan pada kelas sosial terendah baik secara ekonomi, sosial,

dan budaya dalam struktur status sosial yang dimiliki Jepang. Dalam

perkembangan masyarakatnya hal ini menciptakan diskriminasi di masyarakat

Jepang. Hal ini berarti adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat

kotemporer. Mereka untuk memiliki hak-hak sipil yang mana hak dan kebebasan

tersebut harusnya dilindungi dan dijamin bagi semua masyarakat dalam sebuah

negara modern, Amos (2011: 160).

2.4.4 Lahirnya Organisasi Buraku

Masa pembebasan telah lahir, budaya barat masuk ke Jepang dan orang

Jepang pergi menuntut ilmu ke berbagai belahan dunia. Paham-paham mulai

masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Jepang dan mempengaruhi cara

berpikirnya.

Totten dan Wagatsuma, (1972: 43) menyebutkan bahwa intelektual muda

buraku terinspirasi oleh ide-ide Marx dan teori sosialis. Mereka menerima

bantuan dari pemimpin komunis yang aktif dalam penelitian, pertanian dan

pergerakan politik untuk menambah wawasan mereka. Selain itu mereka juga

terpngaruh oleh artikel Sano Manabu yang terbit pada tahun 1921 tentang

(43)

Burakumin untuk mendapatkan kebebasan sejati adalah dengan bekerjasama

dengan buruh, yang juga menderita oleh sistem kapitalis.

Artikel ini sangat berpengaruh pada aktivis buraku sehingga terbentuklah

sebuah gerakan independen. Tanggal 3 Maret 1922, mereka memulai konferensi

tingkat nasional pertama yang disebut dengan Zenkoku Suiheisha. Konferensi ini

diikuti sekitar 2.000 perwakilan buraku dari seluruh Jepang, Totten dan

Wagatsuma (1972:43)

Dalam konferensi ini ada tiga deklarasi yang dibahas dan disetujui di dalam

forum yaitu:

1. Bahwa Tokushu Burakumin akan memperoleh kebebasan dengan cara

mereka sendiri.

2. Tokushu Burakumin menuntut kebebasan dalam meningkatkan

perekonomian dan pekerjaan seperti mayoritas masyarakat lainnya.

3. Tokushu Burakumin akan peduli terhadap martabat manusia dan mereka

akan merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan (Totten dan Wagatsuma, 1972:

43).

Deklarasi Suisheisha tersebut didedikasikan untuk semua kaum buraku yang

sudah merindukan sebuah kebebasan. Tujuan utama dari Suiheisha adalah untuk

mengecam siapa pun yang menghina burakumin dengan kata-kata dan perbuatan

ofensif. Ini berarti bahwa jika ada orang yang mendiskriminasikan burakumin,

para anggota Suiheisha akan menuntutnya untuk meminta maaf secara terbuka

dalam bentuk pernyataan yang diterbitkan di koran atau dalam sebuah pernyataan

yang dicetak lalu akan didistribusikan oleh Suiheisha.

(44)

Dilaporkan (1972: 45)” terdapat pelaku diskriminasi yang menolak untuk

meminta maaf.

Salah satu contoh adalah ketika cabang Suiheisha di Nara mencoba untuk

menghapuskan diskriminasi di sebuah sekolah dasar, di mana anak-anak buraku

tidak diperbolehkan untuk duduk di samping anak-anak non-buraku dan tidak

diperbolehkan untuk menggunakan toilet yang sama. Selain itu tugas untuk

membersihkan sekolah diberikan oleh anak-anak buraku sementara yang

non-buraku dibebaskan dari tugas membersihkan sekolah sepulang jam belajar.

Pembersihan. Bahkan beberapa anak buraku tidak diperbolehkan untuk naik ke

sekolah tingkat atas, meskipun nilai mereka sangat baik.

Namun, upaya penghapusan diskriminasi yang telah mendapatkan dukungan

dari seratus anggota buraku ini ditolak oleh kepala sekolah SD tersebut. Hal ini

mengakibatkan perkelahian fisik antara burakumin dan petugas kecamatan. Dalam

bentrokan tersebut mengakibatkan luka-luka pada petugas kecamatan dan pakaian

kepala sekolah yang berusaha untuk melerai telah robek.

Pada akhirnya, sejumlah burakumin mendapat panggilan ke kantor polisi

sementara guru yang mendiskriminasikan anak-anak buraku ditugaskan ke

sekolah lain.

Meskipun perjuangan dengan diskriminator seperti contoh di atas umumnya

hanya mendapatkan kemenangna yang kecil, hal tersebut menjadi sebuah motivasi

untuk melakukan gerakan baru.

Dengan tetap menjaga tindakan radikalnya, maka non-burakumin dan

organisasi lainnya mengubah bahkan menghilangkan pandangan lama mereka

(45)

Organisasi-organisasi yang lebih dekat dengan pemerintah seperti gerakan

Yuwa bahkan mengulurkan tangan untuk membantu Suiheisha dengan memaksa

pemerintah agar memberi dana lebih untuk proyek-proyek yang akan

meningkatkan fasilitas umum di daerah buraku.

Pemerintah juga dipaksa membuka peluang ekonomi yang selama ini hanya

terlihat sebagai mimpi oleh kaum buraku paling terdidik sekalipun. Serta

meningkatkan cakupan keamanan ekonomi untuk burakumin, Totten dan

Wagatsuma (1972: 62).

Pada tahun 1940 karena kekhawatiran akan Perang Dunia II, Suiheisha

dibubarkan. Namun, para pemimpinnya tidak pernah berhenti berjuang untuk

rencana mereka di masa depan dan pada saat negara-negara sekutu memenangkan

perang.

Hingga pada tahun 1946, bebuah konstitusi baru dikeluarkan di Jepang yang

menyatakan bahwa "semua warga negara adalah sama di bawah hukum dalam

hubungan politik, ekonomi, dan sosial, dan bahwa mereka tidak akan

didiskriminasi karena alasan ras, keyakinan, jenis kelamin, status sosial, atau latar

belakang keluarga, Totten dan Wagatsuma (1972: 69). Yang berarti bahwa dengan

hukum yang baru ini, orang buangan sosial seperti burakumin akan bebas dari

prasangka-prasangka buruk. Di tahun yang sama, para pemimpin tua dari

Suiheisha mereformasi ulang organisasi mereka. Tapi kali ini mereka mengubah

nama menjadi National Commite for Buraku Liberation (Buraku Kaiho Zenkoku

Iinkai) atau disingkat NCBL.

Dalam naungan nama baru, NCBL fokus pada aksi untuk melepaskan

(46)

keadaan finansial serta memperbaiki kemiskinan yang dihadapi kaum buraku.

serta mengubah lingkungan kumuh yang ditempati oleh buraku agar menjadi

layak paling tidak seperti perumahan murah yang ada di kota-kota pada

umumnya. NCBL juga meminta agar limbah dan pasokan air harus dibersihkan

secara menyeluruh dan berharap untuk pembangunan yang lebih luas dalam hal

pembibitan, klinik, pusat-pusat kerja dan program kesejahteraan lainnya. Terakhir

mereka mendesak pemerintah untuk memperbaikan fasilitas pendidikan dan

kemungkinan kerja bagi anak muda buraku serta memberikan pinjaman kepada

industri kecil miliki masyarakat buraku, Totten dan Wagatsuma (1972:74).

Melalui publikasi tentang anti diskriminasi, NCBL semakin kuat dan berjuang

untuk menuntut pemeritah lokal agar memperbaiki kualitas hidup mereka. Untuk

memperluas organisasinya NCBL mengubah nama menjadi Buraku Kaiho Domei

atau Buraku Liberation League (BLL) di tahun 1955 (Asada. 1969: 269).

Namun cara BLL untuk menuntut pernyataan maaf secara terbuka pada pelaku

diskriminasi menimbulkan beberapa kritik, diantaranya Karel Van Wolferen,

seorang jurnalis Belanda yang telah lama tinggal di Jepang. Dia mengatakan, BLL

tidak menempuh jalur hukum untuk penyelesaian diskriminasi (1989: 74).

Ancaman untuk tidak menyudutkan kaum burakumin ini cukup kuat termasuk

saat menghadapi penerbit, penulis, wartawan, editor dan guru. Semua yang

menyinggung burakumin yang bertentang dengan ideologi BLL akan menerima

resiko dipaksa untuk meminta maaf, mereka akan ditahan terlebih dahulu sampai

permintaan maaf itu keluar.

Pada titik ini. BLL menegaskan bahwa permintaan maaf secara terbuka ini

(47)

terhadap orang-orang buraku. namun beberapa oknum menggunakan kekerasan

saat menuntut permintaan maaf pada elaku diskriminasi. Hal inilah yang membuat

pemerintah memperingati buraku jika tetap menjalankan tuntutan permintaan

maaf terbuka maka kebebasan brbicara organisasi ini akan dicabut, Karel Van

Wolferen (1989: 342).

Takagi (1991:284) berpendapat bahwa permintaan maaf terbuka ini justru

menjadikan burakumin sebagai pembahasan yang tabu dan takut untuk

dibicarakan sehingga penyelesaian diskriminasinya berjalan lama. Karena siapa

pun yang berani mengkritik cara BLL ini menjadi target untuk 'pengaduan'.

Berdasarkan hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa media mencoba untuk

menekan isu kontroversial ini.

Hal ini juga yang dikomentari oleh Ian Neary yang tidak menerima bahwa

masalah buraku hanya sisa-sisa feodalisme yang akan hilang dengan

perkembangan kapitalisme. Ia menolak pandangan bahwa solusi terbaik adalah

mengabaikan masalah buraku dengan tidak membahasnya atau melakukan

tindakan khusus, Neary (2009: 71).

Pada tahun 1980 pemerintah menegaskan bahwa permintaan maaf secara

terbuka legal untuk dilakukan, namun tidak untuk tindakan kekerasan yang kerap

dilakukan oleh preman yang berpura-pura menjadi buraku. diikuti dengan adanya

tindakan pemerintah untuk memperbaiki perekonomian buraku pada tahun 1986.

Pemerintah berjanji akan bekerjasama dengan kementerian dan pengacara untuk

menyelesaikan perkara kaum buraku dan wilayah Dowa. Ada juga biaya

tunjangan yang diberikan bagi masyarakat buraku. masyarakat (Manajemen dan

(48)

BLL memainkan peran yang sangat penting dalam memperbaiki

kehidupan buraku. Mereka mempercepat dan mempromosikan proyek pemulihan

wilayan Dowa. Dibawah tekanan BLL yang cukup besar pemerintah terpaksa

berpikir serius tentang diskriminasi masyarakat buraku.

Di samping itu. tindakan radikal mereka mungkin telah berkontribusi terhadap

kelanjutan dari masalah buraku sehingga terjadi penghidaran terhadap

pembahasan topik burakumin di dalam masyarakat Jepang yang berlanjut hingga

(49)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Satu hal yang dunia sadari saat berbicara tentang kehidupan sosial

masyarakat Jepang adalah tentang homogenitas. Menurut hasil penelitian

Columbia University, bahwa konsep sosial-kultural homogen ini telah dicitrakan

oleh publik figur Jepang sendiri. Masyarakat Jepang pada umumnya pun sepakat

dengan pemikiran bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat homogen yang

memilki identitas nasional yang kuat, bahkan hanya sedikit memilki perbedaan

etnis atau ras. Pada umumnya dikatakan tidak memiliki keragaman etnis atau ras.

Pengakuan atas rasa homogen ini tentu menutup kemungkinan adanya

etnis-etnis lain yang hidup dalam masyarakat Jepang. Meskipun sedikit, Jepang

bukannya tidak memiliki perbedaan etnis dalam masyarakatnya. Ada beberapa

etnis seperti ketururnan Korea di Jepang, Ainu di Hokkaido, serta Burakumin yang

tersebar di seluruh Jepang. Sehingga bisa dikatakan beberapa etnis tersebut

merupakan masyarakat minoritas.

Namun, homogenitas yang terkandung dalam masyarakat Jepang

menjadikannya alasan utama atas terjadinya penghindaran terhadap pembahasan

tentang diskriminasi terhadap kaum minoritas di Jepang.

Dari ketiga etnis yang berbeda yang telah disebutkan tadi, peneliti hanya

akan membahas satu diantaranya yaitu kaum Burakumin. Burakumin merupakan

kelompok minoritas yang jumlahnya cukup besar dibanding etnis berbeda lainnya.

Burakumin (部落民) berasal dari kata buraku (desa) dan min (penduduk). Secara

(50)

Yang mana penduduk desa ini merupakan gabungan dari orang-orang terbuang

terutama Eta dan Hinin. Dimana kaum ini memiliki pemuki

Gambar

Table 2. Penyebaran Burakumin berdasarkan wilayah tempat tinggal (1987)
Tabel 1. Origin Claims of the Buraku People

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian kaum muda Jepang lebih memilih menjadi freeter karena tidak memiliki keterikatan dengan perusahaan tempat mereka bekerja, seperti yang dialami para

Robot merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi yang mempunyai banyak ragam dan fungsi.Hampir tidak ada orang yang tidak mengenal robot.Namun, setiap orang memiliki

Generasi tersebut dikenal dengan sebutan generasi baby boom, yaitu orang- orang yang lahir setelah Perang Dunia II.Generasi tersebut memiliki jumlah yang luar biasa banyak,

Robot merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi yang mempunyai banyak ragam dan fungsi.Hampir tidak ada orang yang tidak mengenal robot.Namun, setiap orang memiliki

Sebagian kaum muda Jepang lebih memilih menjadi freeter karena tidak memiliki keterikatan dengan perusahaan tempat mereka bekerja, seperti yang dialami para

setiap orang Jepang untuk dapat bekerja dalam sebuah perusahaan besar dengan merujuk pada skill dan kinerja yang dimiliki oleh seorang pegawai itu sendiri.

hal-hal yang berhubungan dengan masalah sosial dalam

Meski hubungan seks bebas semakin menjadi hal yang umum di Jepang, survei yang dilakukan pada 2011 lalu menunjukkan bahwa dari 60 persen pria yang tidak