Daftar Pustaka
Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu.
Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra : Beberapa Prinsip dan Model
Pengembangannya. Malang : Yayasan Asah Asuh Malang
Benedict, Ruth. 1979. Pedang Samurai dan Bunga Seruni . Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan
Buraku Liberation Research Institute. 1983-1993. Buraku Liberation News.
Osaka: Buraku Liberation Research Institute.
Dayakisni Tri, Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : UMM Press
Donoghue. John D. 1957. "An Eta Community in Japan: The Social Persistence of
Outcaste Groups" American Anthropologist.
Douglas. Mary. 1966. Purity-Danger –An analy sis of Concepts of pollution and Taboo. Middlesex and Baltimore: Penguin Books.
Inou Kiyoshi. 1964. The Studyof Buraku Problems: History and Theory of
Emancipation. Kyoto: Buraku Mondai Kenkyusho
Koentjaraningrat. 2002. Ilmu Sosial ( Antropologi dan Kebudayaan).
Jakarta : Rineka Cipta.
Kitaguchi, Suehiro. Tran. Alastair McLauchlan. An Introduction to the Buraku
Issue: Questions and Answers. Surrey: Japan Library, 1999.
Modern Japan. New York: Rowman & Littlefield Publishers
Miyazaki. Shigeki. 1999. Kokusaika Jidai no dinken to Dowa Mondai. Tokyo:
Akashi shoten.
Neary, Ian. 2009. Burakumin in contemporary Japan“. Japan‘s Minorites: the
Illusion of Homogeneity. Ed. Michael Weiner. New York: Routledge
Totten, George O. and Hiroshi Wagatsuma. 1972. Emancipation: Growth and
Transformation of a Political Movement“. Japan‘s Invisible Race: Caste
in Culture andPersonality. Los Angeles: University of California Press
Shimahara, Nobuo. 1971. Burakumin: A Japanese Edication. Hargue: Martinus
Hijhoff
Situmorang, Hamzon. 2011: Telaah Budaya dan Masyarakat Jepang.
Medan: Usu Press
Situmorang, Hamzon. 2013: Minzoku Gaku(Ethnologi) Jepang. Medan: Usu Press
Stet, JE and Burke, Peter J. 2000. Identity Theory and Social Identity Theory.
Social Psychological Quarterly
Yanagawa, Keiichi. 1992: Religion and Society in Contemporary Japan. Nanzan
Institute for Religion and Culture
http://www.bll.gr.jp/eng.html.
http://www.tofugu.com/2011/11/18/the-burakumin-japans-invisible-race/
https://id.wikipedia.org/wiki/Burakumin
http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20157966.pdf
http://www.academia.edu/10357376/_FENOMENA_BURAKUMIN_PENYAKIT
_SOSIAL_DARI_POLA_PIKIR_HOMOGEN_MASYARAKAT_JEPANG_
http://belajar-nihongo.blogspot.co.id/2011/06/kaum-eta-sisi-gelap-negeri-jepang.html
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-02-00355-JP%20Bab%202.pdf
BAB III
PENDISKRIMINASIAN MASYARAKAT BURAKUMIN DI JEPANG
DEWASA INI
3.1 Pendiskriminasian Bidang Hubungan Sosial Masyarakat
Tercatat pada Oktober 2015, jumlah penduduk Jepang adalah sebanyak
126,890,000 jiwa. Jumlah ini bertambah sekitar 1 juta jiwa sejak 1996 dimana
dalam Hokkaido Minseibu (1993:2) mengatakan bahwa jumlah penduduk Jepang
saat itu adalah 125.760.000 termasuk didalamnya tiga kelompok minoritas.
Jepang adalah sebuah negara yang homogen terdengar hanya sebagai sebuah
mitos karena faktanya terdapat 4% (5.000.000 orang) kelompok masyarakat yang
merupakan kaum minoritas termasuk buraku.
Burakumin merupakan kelompok minoritas terbesar yang ada di Jepang.
Perbedaan mereka tidak terlihat secara fisik. Menurut survey yang diadakan oleh
pemerintah di tahun1955 jumlah kaum buraku sebanyak 892.551 atau sekitar
298.385 kepala keluarga. Terdapat sekitar 4.442 diantaranya tinggal di wilayah
Dowa ( Badan Koordinasi dan Manajemen 1995:419).
Hal ini berbeda dengan data yang dimilki oleh Buraku Liberation
Research Institute yang mengatakan bahwa jumlah buraku terdiri dari 1.000.000
sampai 3.000.000 orang yang tinggal di 6.000 wilayah Dowa (De Vos 1983: 3).
Burakumin tersebar hampir di seluruh Jepang. Namun sebagian besar
menempati wilayah Nishi Nihon atau bagian barat wilayah Jepang terutama ada
di daerah Kansai. Lebih dari 10% dari penduduk Osaka, Hyogo, dan Fukuoka
Table 2. Penyebaran Burakumin berdasarkan wilayah tempat tinggal (1987)
Buraku Liberation League dalam Civil Society Report on the
Implementation of the ICCPR di tahun 2014 mengungkapkan banyak burakumin
yang memilih pindah keluar dari komunitasnya untuk menghindari adanya
diskriminasi. Namun, citra dan pandangan negatif terhadap buraku belum hilang
khusus untuk menghapusnya sejak 1969-2002. Hingga sekarang pemerintah juga
masih aktif melakukan penyadaran terhadap kesamaan hak dan anti diskriminasi
terhadap orang-orang buraku.
Menurut Teraki (1997:99), dari sejak munculnya dekrit pembebasan di
jaman Meiji hingga hampir tahun 2000 burakumin masih mengalamai
diskriminasi meski tidak separah masa lalu. Menurut survey oleh Agen
Manajemen dan Koordinasi tahun 1993, dari daerah buraku di 36 prefektur
menunjukkan bahwa 33,2% responden mengalami perlakuan tidak menyenangkan
hanya karena mereka tinggal di daerah yang dulu didiami oleh burakumin.
Dalam Buraku List Scandal yang tercatat pada tahun 1975
mengungkapkan bahwa citra negatif dari buraku sangat kaku dan sangat tertanam
dalam pikiran masyarakat dan muncul juga dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Pada tahun 2010 Pemerintah Prefektur Osaka melakukan survei untuk
mengetahui sikap warga terhadap masalah Buraku. Pertanyaannya adalah,
"Apakah Anda menghindari sebuah rumah yang terletak di distrik Dowa ketika
Anda membeli atau menyewa rumah? "55,0% responden menjawab" ya. "Mereka
ingin menghindari buraku, beberapa orang calon pembeli rumah akan memastikan
ke balai kota yang relevan untuk menanyakan apakah alamat rumah yang akan
mereka beli merupakan bagian dari bekas wilayah buraku, atau secara pribadi
menggunakan investigator untuk mengetahui apakah rumah yang akan dibeli
adalah bagian dari atau dekat dengan buraku. Agen real estate, pengembang
perumahan atau pembeli tanah lelang juga akan mencari tahu apakah
wilayah buraku sehingga mereka dapat menghindari buraku dalam transaksi
bisnis mereka.
BLL juga mengungkapkan skandal yang terjadi pada tahun 2014 yang
terdapat dalam sebuah artikel di majalah. Majalah tersebut mengangkat latar
belakang pribadi seorang pemimpin politik terkemuka, skandal diskriminasi
terjadi satu demi satu. Ini dilakukan oleh orang-orang yang mencoba untuk
memberikan kerusakan pada tokoh tertentu atau untuk memperoleh lebih banyak
keuntungan bisnis dengan mengambil keuntungan dari citra negatif buraku.
3.2 Pendiskriminasian Bidang Pekerjaan
Di bidang pekerjaan, diskriminasi terjadi pada pembatasan-pembatasan
bidang pekerjaan. Burakumin pada umumnya dibatasi untuk melakukan
perkerjaan seperti yang dilakukannya pada masa lalu. Meskipun mereka telah
dibebaskan pada 1871 lalu, diskriminasi masih meluas di jaman modern ini
(Weiner, 2004:109).
Menurut Hane (2003:155) selain melakukan pekerjaan di bidang yang
sama di masa lalu, ada juga burakumin yang bekerja sebagai guru. Guru adalah
salah satu jenis pekerjaan yang diperbolehkan secara tertulis pada Jaman Meiji.
Burakumin tidak diizinkan untuk menggeluti pekerjaan dalam bidang
pemerintahan atau polisi.
Keterbatasan itu harusnya telah berakhir sejak tahun 1965. Setelahnya
burakumin bisa menentukan sendiri jenis pekerjaan mereka sesuai dengan
kemampuannya. Yang menjadi masalah slanjutnya adalah tentang kehidupan
mendapatkan posisi jabatan teratas. Banyak perusahaan yang juga memiliki koseki
karyawannya secara ilegal. Koseki yang harusnya bukan jadi konsumsi publik
digunakan secara tidak baik oleh berbagai oknum hingga dikenal dengan buraku
list scandal.
Dari situs Buraku Liberation dan Hak Asasi Manusia Research Institute
menjelaskan apa yang disebut "Buraku Daftar Skandal" yang terungkap pada
bulan November 1975. Melalui Liberation League Buraku dan Badan Otoritas
Publik, ditemukan bahwa: (a) sedikitnya delapan jenis Daftar Buraku, yang berisi
informasi tentang nama dan lokasi, jumlah rumah tangga dan pekerjaan utama
masyarakat Buraku, telah diterbitkan; (B) mereka siap dan didistribusikan oleh
lembaga investigasi dan detektif swasta, dan; (C) telah terjadi sebanyak 220
pembeli, sebagian besar yang perusahaan swasta yang tujuan utamanya adalah
untuk melakukan skrining diskriminatif pelamar kerja.
Akibatnya, Prefektur Osaka dan beberapa kota lainnya memberlakukan
peraturan daerah untuk mengatur investigasi latar belakang pribadi yang
dilakukan oleh lembaga swasta, yang menyebabkan diskriminasi terhadap orang
Buraku. Namun, tidak ada langkah-langkah legislatif yang telah diambil di tingkat
nasional dalam hal ini . (http://blhrri.org/blhrri_e/other/008_e.html).
Diskriminasi oleh perusahaan besar tetap terjadi karena mereka lebih
memilih karyawan yang berasal dari mayoritas Jepang. Sebagian besar perusahaan
masih memerlukan calon karyawan untuk mengirimkan Koseki mereka yang
menunjukkan di mana mereka tinggal, tempat kelahiran. dan informasi lain
tentang anggota keluarga. Daftar yang mengkompilasi alamat masyarakat buraku
sembilan daftar substansial diproduksi dan dijual dengan harga yang tinggi untuk
perusahaan, termasuk perusahaan terkenal dan Bank-Bank besar.
Seperti yang dijelaskan William Wetherall, beberapa daftar yang
diterbitkan pada 1930-an oleh pemerintah bersama-sama dengan laporan resmi
masalah Buraku. Daftar tersebut telah digunakan untuk menyaring alamat
sekarang dan masa lalu dari pelamar dan keluarga mereka untuk mengidentifikasi
hubungan mereka dengan buraku, latar belakang dan menggagalkan impian
mereka melarikan diri dari belenggu diskriminasi yang secara hukum statusnya
telah dihapuskan (1984:36).
Ada tekanan oleh Buraku Liberation League (BLL) untuk membuat
daftar ini ilegal. Daftar ini dibeli tidak hanya oleh perusahaan tetapi juga oleh
individu yang ingin memastikan bahwa anak-anak mereka tidak sengaja menikahi
orang-orang buraku. sekarang membeli dan mencari latar belakang seseorang
merupakan tindakan yang ilegal.
Pada tahun 1980, menurut Statistik Tenaga Kerja tingkat pengangguran
rata-rata di Jepang adalah 2,2% tetapi di wilayah buraku itu jauh lebih tinggi:
misalnya. di Nagasaki 50%, di Osaka 29%, dan di Kochi 26% (Miyazaki. 1999).
Namun, situasi kerja telah membaik pada tahun 1993. Lebih dari 50% dari
orang-orang buraku dipekerjakan dan sekitar 80% dari pemuda memiliki
Menurut Buraku Liberation Research Institute laporan (Oktober 1993)
dibandingkan dengan populasi umum ada lebih sedikit pekerja kerah putih dan
lebih pekerja kerah biru di antara buraku di setiap prefektur, dan rasio pekerja di
bidang manufaktur lebih tinggi di antara buraku. Sebagai contoh. di Kyoto 12,9%
dari orang-orang Buraku terlibat dalam administrasi pekerjaan, dari 21,9% dari
populasi di Kyoto. Sebaliknya 43,5% dari orang buraku bekerja di bidang
manufaktur, merupakan 35,9% dari populasi di Kyoto (Buraku Liberation
Research Institute 1993:6).
Pekerjaan pemerintah tidak tertutup untuk Buraku seperti dulu. Buraku
yang berpendidikan memegang posisi penting dan menjadi aktif dalam politik.
Pada tahun 1993, 9,4% dari orang buraku bekrja pada pemerintah dan
pekerjaan kota seperti tabel di atas.
Pendapatan tahunan dari orang-orang buraku masih tetap sangat rendah
dibandingkan dengan rata-rata nasional. Menurut survei yang dilakukan oleh
Buraku Liberation Research Institute (1993), di Osaka 15% dari Buraku
orang berpenghasilan kurang dari 1 juta yen per tahun. Merupakan 1% dari
populasi umum.
3.3 Pendiskriminasian Dalam Pernikahan
Diskriminasi yang umumnya terjadi dalam dunia pernikahan kaum
burakumin adalah penolakan. Penolakan mungkin tidak akan terjadi jika
keturunan burakumin menikah dengan sesama burakumin. Namun, yang menjadi
Ishikawa Hane (2003:148) mengatakan bahwa pada tahun 1993
berdasarkan survey yang dilakukannya didapatkan bahwa 60% orang tua di
Jepang tidak ingin anaknya menikah dengan keturunan burakumin, mereka akan
menentangnya. Sementara dari responden berusia muda terdapat 20% responden
yang akan membatalkan pernikahan mereka jika diketahui calon istri atau
suaminya adalah keturunan burakumin.
Hal ini dapat dilihat bahwa pandangan negatif terhadap burakumin
sebagian besar melekat pada golongan orang tua di Jepang. Anak muda pada
umumnya tidak peduli dengan sejarah kelam tersebut.
Mucks (2010:38) mengatakan saat ini burakumin banyak yang
menyembunyikan status mereka pada masyarakat non-buakumin, keluarga bahkan
pada anak-anaknya.
Saat ini mungkin mudah untuk menemukan orang Jepang dan mengajukan
pertanyaan dari apakah ada diskriminasi terhadap Burakumin dalam masyarakat
modern, ia akan menginformasikan Anda bahwa masyarakat saat ini tidak ada niat
buruk terhadap mereka. Tapi begitu ia ditanya tentang bagaiman jika ia memiliki
seseorang buraku dalam keluarga, ia cenderung untuk langsung mengubah klaim
sebelumnya. Seperti satu ibu rumah tangga berpendidikan di salah satu universitas
di Tokyo benar-benar menolak menikahi putrinya dengan seorang pria buraku,
alasannya adalah bahwa "mereka" kotor dan mereka tidak benar-benar Jepang
(Kristof, 1995).
Oposisi dengan perkawinan antara burakumin dan non-burakumin adalah
salah satu sikap negatif utama saat ini. Ada banyak contoh dari mertua menentang
investigasi. Generasi muda pada umumnya mengabaikan itu tapi tidak dengan
keluarga lainnya. Sebagai hasilnya, awalnya hanya ketidaksetujuan perlahan bisa
berubah menjadi diskriminasi parah.
Seperti sebuah contoh pada kehidupan ibu rumah tangga yang berusia 34
tahun dan telah menikah dengan seorang pria non-buraku. Ia tidak pernah
menginjakkan kaki di dalam rumah mertuanya selama 16 tahun. Suaminya jadi
tidak diakui oleh orang tuanya dan pernikahan mereka tidak terdaftar dalam koseki
keluarga mertuanya. Hal yang sama ketika mereka memiliki anak, kelahiran
anak-anak tersebut juga tidak dicatat dalam koseki. Namun, saat anak-anak-anak-anaknya ingin
sekolah, berdasarkan diskusi keluarga si mertua menyerah dan terdaftar anak-anak
sebagai cucu mereka. Hal ini bukan berarti berakhirnya penolakan terhadapnya
bahkan setelah kematian ayah mertuanya itu.
Diskriminasi berlanjut pada kakak suaminya, Kakaknya bahkan
terang-terangan mengucapkan hal-hal seperti "Saya tidak pernah bisa menikah
karena Anda dan Anda adalah penyebab kekotoran di keluarga ini”. Makian
biasanya berlanjut dengan kata-kata sampah dan larangan untuk datang ke rumah
keluarga itu lagi (Kitaguchi, 1999: 50).
Hal-hal seperti inilah yang membuat buraku harus menyembunyikan
latar belakang dari teman-teman mereka, untuk menghindari prasangka lebih
lanjut terhadap mereka dan anak mereka. Contoh ini jelas menunjukkan rasa
frustrasi dari kaum burakumin pada umumnya.
Peneliti lainnya mengklaim bahwa sebagian besar orang Jepang tidak tahu
mengapa mereka melakukan diskriminasi terhadap Burakumin. Ito Takuya
diskriminatif mereka adalah karena mereka memproyeksikan mereka sendiri
sebagai “bayangan” ke burakumin. Dalam istilah psikologi Jung, “bayangan”
mengacu pada kompleks ketidaksadaran atau ego. Ada sesuatu dalam diri
seseorang yang tidak ingin mengakui hal apapun tentang burakumin (Ito, 2005).
Selama Periode Meiji ketika Emansipasi Edict disahkan, ketika para petani
frustrasi oleh kesulitan keuangan, pecahlah kerusuhan dan mereka menjadikan
burakumin sebagai sarana dari menghilangkan frustrasi mereka.
Dalam bukunya, Kadooka Nobuhiko membuat sketsa sampel konflik
antara ayah dan anak, konflik tersebut mengenai pernikahan anaknya dengan
wanita dari masyarakat buraku. Keluarga menghadapi dilema antara cinta dan
citra masyarakat. Buku yang berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan
sebuah dialog sebagai berikut:
Anak : Ayah, saya ingin menikah .
Ayah : Oh, ya! Ini adalah kabar baik! Dengan Hanako bukan? Dia adalah gadis
yang baik
Anak : Ya
Ayah : Dia adalah seorang wanita yang baik! Anda beruntung!
Anak : Ayah, dan ... saya harus memberitahu Anda, tentang ..."
Ayah : Apa:
Anak : Tentang asalnya.
Ayah : Apa itu?
Anak : Dia dari masyarakat Buraku.
Ayah : Oh, tidak, anakku!
Ayah : Tidak, itu tidak mungkin!
Anak : Kenapa tidak mungkin?
Ayah : Ini akan merusak reputasi keluarga kita! Benar-benar, tidak ada !!
Anak : Mengapa merusak keluarga kita?
Ayah : Karena, darah keluarga kami tidak dapat dicampur dengan mereka!
Anak : Ini adalah cara kuno pemikiran. Salah keyakinan!
Ayah : Meskipun saya akan mengatakan OK, saudara-saudara kita pasti marah!
Ini dapat merusak reputasi mereka,juga. Apa kau mau
menyebabkan kerugian apapun pada pernikahan dan pekerjaan saudara Anda?
Anak : Anda tidak bisa memprediksi itu!
Ayah : Tidak ada, masyarakat tidak mudah. Saya tahu orang-orang Buraku
melakukan gerakan hak asasi manusia yang kuat, dan saya mendengar
beberapa dari mereka yang sangat menantang. Saya tidak ingin keluarga kita
untuk terlibat dalam hal-hal yang rumit seperti!
Anak : Yah, beri kami kesempatan, Kami tidak berpikir Anda akan menjadi
marah.
Ayah : Siapa orang di bumi ini yang tetap menjaga diskriminasi konyol seperti
ini ? saya kesal.
Ayah : Ayah, itu Anda!
Dalam dialog di atas juga terlihat bagaimana terkadang pelaku
diskriminasi sendiri tidak sadar bahwa mereka telah melakukannya.maslah dalam
rumah tangga bukan hanya berdasarkan penolakan-peolakan pada awal
Dalam (http://blhrri.org/blhrri_e/other/008_e.html) menyebutkan ketika
seorang wanita buraku mencari nasihat atau rehabilitasi layanan untuk
diskriminasi mungkin telah menderita pada saat perkawinan karena kekerasan
dalam rumah tangga terutama dalam kaitannya dengan asal buraku. Dia tidak
bisa mengharapkan untuk diberikan saran atau rehabilitasi oleh spesialis yang
mungkin terlatih khusus untuk masalah buraku. Data statistik pada korban
pelanggaran hak asasi manusia yang dipublikasikan oleh Departemen Kehakiman
tidak termasuk data khusus untuk perempuan korban buraku.
Survei dilakukan pada 11.265 wanita Buraku oleh Buraku Liberation
League (BLL) di Saitama, Prefektur Kyoto, Osaka, Hyogo dan Nara prefektur
(untuk periode 2006-2010) mengungkapkan bahwa 20,4% dari perempuan itu
merupakan korban dari kekerasan dalam rumah tangga.
Survei lain yang dilakukan oleh BLL Osaka pada 2012 untuk mengetahui
kondisi kehidupan keluarga single parent buraku mengungkapkan bahwa 321 dari
472, yaitu sebanyak 68,0%, telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Beberapa dari mereka babak belur oleh suami non-buraku mereka meskipun fakta
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas maka kita dapat
mengambil beberapa kesimpulan yaitu :
1. Burakumin adalah sebutan untuk kaum Eta dan Hinin yang merupakan
salah satu kelompok masyarakat yang mendiami sebuah daerah
tertentu yang letaknya jauh dan terasingkan bahkan di lokasi-lokasi
berbahaya.
2. Penyebab kaum ini terasingkan adalah adanya konsep kesucian dan
kekotoran yang dibawa oleh ajaran Budha dan Shinto dalam
masyarakat Jepang. Kaum Eta dan Hinin pada umumnya adalah
orang-orang yang bekerja sebagai tukang daging, pemburu binatang, pembuat
bahan-bahan dari kulit binatang, pengurus jenazah, pelaku kriminal
serta gelandangan. Dalam kedua ajaran agama di atas, barang siapa
yang berhubungan dengan kematian, darah dan perilaku kotor adalah
sebuah kenajisan yang tidak baik untuk kehidupan. Kekotoran yang
melekat pada orang-orang ini dikatakan dapat menular dan membawa
dampak buruk bagi orang-orang disekitarnya. Karena alasan inilah
kaum Burakumin mendapatkan perlakuan buruk atau
didiskriminasikan.
3. Pendiskriminasian secara terang-terangan terhadap burakumin mulai
burakumin ditentukan oleh pemerintah. Mulai dari jenis pakaian,
tempat tinggal, makanan serta perilaku mereka. Dalam pembagian
kelas masyarakat, burakumin tidak masuk dalam kelas manapun.
Bukan hanya berada dalam kelas sosial terendah namun berada di luar
kelas sosial masyarakat Jepang pada saat itu.
4. Secara resmi status burakumin dibebaskan pada saat Restorasi Meiji
(1868- 1945). Dalam menghadapi era modern burakumin harusnya
telah mendapatkan kebebasannya. Namun, hal itu mendapatkan
banyak penolakan sehingga secara tidak resmi burakumin tetap
menerima perlakuan diskriminasi oelah masyarakat.
5. Dalam rangka pembebasan kaum burakumin kaum intelektual muda
nya membentuk sebuah organisasi yang disebut dengan Suiheisha.
Organisasi ini terus berkembang dan sedikit demi sedikit berhasil
mendapat bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup
kaum burakumin. Organisasi ini juga berkembang mulai dari
pergantian nama, asimilasi bersama partai politik dan kembali menjadi
indipenden hingga terakhir menjadi Buraku Liberation League (BLL)
yang hingga sekarang aktif memberikan penyuluhan tentang hak asasi
manusia, memantau kesejahteraan dan menerima laporan terhadap
masyarakat burakumin yang telah membaur dalam masyarakat biasa.
6. Meski telah melewati berbagai usaha penghilangan diskriminasi secara
kasat mata, usaha penghilangan pandangan masyarakat tentang masa
burakumin belum menghilang. Hal ini karena masyarakat Jepang
7. Meski bisa bekerja di berbagai perusahaan, burakumin yang terlacak
asal-usulnya akan sulit mendapatkan posisi yang tinggi atau pemimpin
meskipun ia memiliki kemampuan tersebut.
8. Beberapa perusahaan dan orang tua yang masih kolot kerap menyewa
detektif, serta penyalahgunaan Koseki untuk memastikan asal usul
seseorang.
9. Dalam hal pernikahan, calon menantu yang mengaku atau ketahuan
burakumin banyak menerima penolakan dari keluarga pasangannya.
Beberapa kasus bahkan, wanita yang ketahuan burakumin menerima
perlakuan kasar dari pasangannya.
10.Saat ini, burakumin dianggap sebagai grup yang tidak terlihat
keberadaannya dikarenakan masyarakat ataupun media tidak ingin
membahasnya karena tidak ingin mendapat cekal dari BLL.
11.Pandangan negatif terhadap burakumin sebagian besar melekat pada
golongan orang tua di Jepang. Anak muda pada umumnya tidak peduli
4.2 Saran
Pemahaman bahwa manusia memilki hak dan kedudukan yang sama adalah
hal dasar yang harus sudah mendasar dalam pikiran masyarakat jika ingin
menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang terjadi pada kaum burakumin.
Peran pemerintah tidak bisa berhenti karena diskriminasi terhadap
burakumin bukan lagi dalam hal fisik namun menjadi doktrin. NGO juga harus
tetap aktif dalam hal mengubah doktrin yang telah lama tumbuh bersamaan
dengan tumbuhnya kepercayaan yang ada di Jepang.
Saat ini burakumin menjadi kaum yang keberadaannya tidak terlihat. Ada
dalam sejarah namun tak bisa dilihat dalam masyarakat secara jelas. Hal ini
dikarenakan usaha komunitas yang takut tidak diakui, serta masyarakat luas yang
tak berani membahasnya karen khawatir akan dipermaslahkan oleh BLL.
Seharusnya isu ini bukanlah hal yang tidak boleh diangkat dan didiskusikan
bersama-sama. Burakumin harusnya tidak dihilangkan, melainkan diluruskan
sejarahnya.
Skripsi ini mempunyai banyak kekurangan, baik dari segi isi, pemahaman
konsep, penulisan dan analisis data. Bagi rekan-rekan yang ingin melanjutkan
pembahasan tentang burakumin dapat melanjutkan pembahasan dengan melihat
perubahan pola pikir masyarakat dalam memandang burakumin untuk
BAB II
GAMBARAN UMUM MENGENAI MASYARAKAT BURAKUMIN
2.1 Sejarah Burakumin
Kata sejarah menunjukkan perkembangan sesuatu dalam proses waktu.
Oleh karena itu sejarah adalah sebuah metode (Situmorang Hamzon 2011:5).
Sejarah burakumin artinya adalah burakumin dalam proses waktu
perkembangannya. Masyarakat Buraku sendiri merupakan perkembangan dari
kaum terbuang Eta (orang-orang kotor) dan Hinin (bukan manusia). Yang mana
kaum Eta merupakan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang dianggap kotor
seperti menguliti hewan, penjagal hewan serta pengurus jenazah. Sementara Hinin
adalah orang-orang yang berstatus rendah karena merupakan gelandangan atau
mantan narapidana. Orang-orang tersebut terkucilkan oleh masyarakat luas.
Istilah Eta sendiri muncul pertama kali pada Zaman Kamakura
(1185-1382). Pada masa itu kaum Eta adalah orang-orang yang bekerja pada pekerjaan
yang dianggap kotor oleh masyarakat Jepang pada umumnya. Mereka hidup di
bawah garis kemiskinan. Jenis pekerjaan yang dilakukan adalah pembantaian
binatang dan pembuangan bangkai, Kitaguchi dan Mclauchlan (1990:80).
Onhuki dan Tierney (1986: 86) mengatakan, dalam jaman pertengahan
istilah Hinin juga digunakan untuk mereka yang dengan sengaja memisahkan diri
dari kehidupan sosial masyarakat. Yaitu para kriminalitas yang dikeluarkan dari
kehidupan sosial, pengemis yang mengemis untuk kebutuhan ekonomi bukannya
untuk agama, serta para biksu yang benar-benar meninggalakan kehidupan
Adanya istilah burakumin tentu memiliki sejarah yang cukup panjang.
Munculnya istilah ini didasari oleh kepercayaan Shinto dan Buddha yang
berkembang di masyarakat Jepang. Jika merunut kembali sejarah munculnya
kaum Buraku, maka kita akan kembali ke masa Prasejarah di Jepang.
Setelah melewati Zaman Jomon, Jepang memasuki sebuah era dimana
diduga adanya lompatan budaya, yaitu Zaman Yayoi. Hal ini dikarenakan mulai
masuknya berbagai teknologi dari daratan China pada abad ke 3 masehi
(Situmorang Hamzon 2011:8). Tak hanya berbagai jenis kebutuhan pertanian,
aliran kepercayaan di Jepang pun mulai masuk di zaman ini.
Di bawah Pemerintahan Yamato, pada abad ke 6 Jepang sudah membuka
hubungan dengan pemerintahan Korea dan China. Pada masa itu masuklah agama
Buddha dan Konfuchu serta ilmu pengetahuan lainnya yang menjadi dasar imu
pengetahuan bagi Jepang ( Situmurang Hamzon 2011:11).
Agama Buddha yang masuk bercampur dengan kepercayaan asli bangsa
Jepang, yaitu Shinto. Baik Buddha maupun Shinto percaya bahwa menghilangkan
nyawa makhluk hidup, memakan daging, dan melakukan kontak langsung dengan
darah dan kematian adalah kegiatan yang tidak suci atau kotor.
Menurut Donoghue (1977:9-10) ketika agama Buddha masuk ke Jepang,
masyarakat didominasi oleh kehidupan pertanian. Yang mana pekerjaan seperti
penghibur dan pengrajin berada di kelas sosial terendah. Lalu dengan adanya
ajaran Buddha, orang yang berhubungan dengan penyamakan hewan mulai
dianggap tabu dan dipandang rendah.
Pada tahun 701 terjadilah reformasi Taika yang mana pemerintahan
masyarakat Jepang terbagi dalam dua kelas. Yaitu Ryomin (orang-orang baik dan
bebas) dan Senmin (orang-orang miskin dan kelas rendah). Orang-orang Senmin
inilah yang pada umumnya menjadi leluhur masyarakat buraku.
Senmin terbagi lagi dalam lima golongan masyarakat berdasarkan
pekerjaan, yaitu Ryoto (penjaga makam) , Kanko (petani kerajaan), Kunuhi
(pelayan kerajaan), Shinuhi (pelayan pribadi), dan Gunin (pelayan kuil dan
pribadi) (Shimahara 1971:15). Selain itu ada juga kelompok masyarakat Zakko
yang merupakan semi- Senmin. Yaitu sekelompok masyarakat yang memiliki
status sosial yang lebih tinggi. Zakko memiliki keahlian dalam bidang membuat
pakaian dari kulit, membuat sepatu kulit, memproduksi senjata dan lain-lain.
Selain Zakko, adapula kelompok masyarakat yang disebut dengan Etori.
Kelompok masyarakat ini mengumpulkan elang dan anjing untuk keluarga
kerajaan yang akan digunakan untuk berburu di Departemen of Falconry atau
disebut dengan Takatsukasa yaitu olahraga berburu burung menggunakan elang.
Inoue (1964:17) mengatakan jejak etimologi kaum Eta berasal dari kaum
Etori. Dari Etori menjadi Eto lalu menjadi Eta. Pada tahun 860 Takatsuka
dihapuskan yang juga di pengaruhi kepercayaan Buddha. Kaum Eta tidak lagi
bekerja untuk megumpulkan elang dan anjing melainkan berganti menjadi penjual
daging yang mana kegiatan utamanya adalah menjagal hewan. Ketika menjagal
hewan menjadi hal yang ilegal para penjual daging ini menjadi dibenci dan
dipandang rendah. Beberapa kaum Etori kehilangan pekerjaan dan pindah ke
pemukiman yang sepi dan daerah pinggiran sungai. Dan beberapa yang ekstrim
memilih untuk menjadi pengembara, pemburu, nelayan dan gelandangan. Selain
dengan bernyanyi, menari dan melawak dari rumah ke rumah. Mereka semua
tinggal di sekitaran sungai, desa yang kosong di sekitar kota. Masyarakat berkasta
tinggi melarang kaum Eta untuk masuk ke daerah mareka.
Pada Zaman Chusei (1192-1603) kelompok masyarakat senmin menjadi
penting karena senmin menjadi pemasok peralatan perang bagi para Shogun yang
merupakan penguasa pada masa ini. Orang-orang Senmin diperbolehkan masuk ke
daerah keshogunan dan dibebaskan dari pajak sampai hampir setengah dari
Zaman Chusei. Setelah perang kekuasaan yang menjadi tanda akhirnya jaman ini,
banyak samurai yang kalah perang mengganti pekerjaan menjadi Senmin. Hal ini
menyebabkan peningkatan yang tinggi pada jumlah Senmin. Ketika dalam masa
perang, mereka ikut bertarung untuk pemerintahan feodal, ketika perang telah usai
mereka menjadi pekerja rendah yang berhubungan dengan pengrajin tembikar,
penyamak, membuat pakaian dari kulit, menggali lubang, dan bekerja di
peternakan hewan. Maka bisa dikatakan bahwa buraku merupakan keturunan dari
sebagian besar Senmin pada masa ini.
2.2 Burakumin Pada Masa Tokugawa dan Restorasi Meiji
2.2.1 Burakumin Pada Masa Tokugawa (1603-1868)
Tokugawa Ieyasu adalah daimyo dari Mikawa. Yaitu sebuah daimyo kecil
yang mampu mengalahkan Toyotami Hideyoshi pada perang Sekigahara pada
tahun 1600. Kemudian menjadi Seiitaishogun pada tahun 1603 dengan pusat
pemerintahan Bakufu di Edo (Situmorang Hamzon 2011: 19)
Pada masa ini menganut sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan
pemerintah pusat yang memiliki daerah sendiri. Sementara Han sebagai daerah
administrasi yang diperintah oleh daimyo yang bebas dari campur tangan shogun.
Dalam banyak hal, Era Tokugawa yang berlangsung lama ini adalah salah satu
era yang paling menonjol dalam sejarah bangsa Jepang. Tokugawa berhasil
mempertahankan perdamaian bersenjata di Jepang sampai dengan generasi
terakhir yang berkuasa, dan Tokugawa juga menjalankan suatu pemerintahan
yang terpusat yang secara mengagumkan dapat melaksanakan tujuan-tujuannya.
Benedict Ruth (1979: 66-67) menerangkan bahwa Tokugawa memiliki strategi
menjaga keutuhan pemerintahannya untuk mencegah para daimyo mengumpulkan
kekuatan untuk menentangnya. Tokugawa membiarkan pola feodal yang ada
bahkan mencoba memperkuatnya dan membuatnya menjadi kaku.
Masyarakat Jepang terdiri dari banyak tingkatan dan kedudukan setiap orang
ditetapkan berdasarkan keturunannya. Keluarga Tokugawa memantapkan sistem
ini dan mengatur tingkah laku sehari-hari dari setiap kasta sampai segi terkecil.
Setiap kepala keluarga harus mencantumkan kelasnya serta fakta-fakta yang
diperlukan mengenai status keturunannya. Mulai dari pakaian yang dikenakannya,
makanan yang boleh dibelinya, dan rumah yang secara sah boleh didiaminya
semua diatur berdasarkan pangkat yang diwarisi.
Pada masa ini kelas masyarakat dibagi menjadi empat kasta. Yang urutan
hirarkinya adalah Serdadu, Petani, Tukang, Pedagang. Di bawah tukang dan
Dalam bukunya, Benedict Ruth (1979: 68) menuliskan bahwa Eta merupakan
kaum buangan yang jumlahnya terbanyak dan paling terkenal. Mereka adalah
“sampah masyarakat” Jepang, atau lebih tepatnya “yang tidak masuk hitungan”,
sebab panjangnya jalan-jalan yang melalui desa mereka pun tidak dihitung.
Seakan-akan daerah tersebut beserta penduduknya sama sekali tidak ada. Mereka
luar biasa miskinnya, meskipun lapangan pekerjaan mereka terjamin (tukang
membersihkan segala macam kotoran, pengubur mayat dan penyamak), mereka
tetap berada di luar struktur resmi.
Begitu juga dengan kaum Hinin yang merupakan kaum senmin dari era
sebelumnya. Menurut Takagi (1991: 285) orang-orang yang melakukan tindak
kriminal, orang yang melakukan tindak asusila serta yang selamat dari bunuh diri
masuk ke dalam kategori kaum Hinin.
Pekerjaan Eta dan Hinin dibatasi pada jenis pekerjaan yang kotor seperti
tukang daging, pekerjaan yang berhubungan dengan kulit, dan juga pekerjaan
yang berhubungan dengan bambu yaitu membuat kocokan untuk acaran minum
teh yang terbuat dari bambu. Dan juga pekerjaan yang berhubungan dengan
tukang sepatu, tukang sapu, penghibur, pengemis serta orang-orang yang memiliki
penyakit menjijiknan digolongkan dalam kaum Eta dan Hinin, Hane (2003: 140).
Secara rinci Hane (2003: 142-143) menjelaskan perlakuan yang diterima
kaum Eta dan Hinin selama masa Tokugawa. Kehidupan kaum ini dibatasi mulai
dari tempat tinggal yang mereka diami adalah daerah khusus yang tidak ingin
ditinggali oleh masyarakat lain pada umumnya, kualitas rumah, mobilitas untuk
keluar masuk daerah, serta bagaimana rambut, bahkan sepatu mereka diatur dan
dijabarkan sebagai berikut:
a. Pada saat bepergian mereka tidak diperbolehkan untuk mengenakan alas
kaki apapun melainkan bepergian dengan telanjang kaki.
b. Mereka tidak diizinkan keluar dari daerah mereka sejak matahari terbenam
hingga matahari terbit. Kecuali pada tahun baru mereka hanya bisa keluar
hingga sekitar jam sembilan malam.
c. Tidak boleh bersosialisasi dengan orang lain yang kelasnya lebih tinggi
kecuali karena ada urusan bisnis. Saat berurusan mereka harus bersikap
sangat sopan.
d. Dilarang memasuki kuil-kuil selain kuil yang didatangi oleh orang-orang
yang bukan Eta dan Hinin. Mereka disediakan kuil tersendiri untuk
menghindari terkena kekotoran yang dibawa kaum Eta dan Hinin.
e. Tidak boleh menikah dengan kaum lain selain kaum Eta dan Hinin.
f. Nyawa mereka hanya dihargai sepertujuh dari nyawa masyarakat lain.
g. Mereka harus berjalan di tepi jalan.
i. Tidak boleh menggunakan payung atau tutup kepala lainnya kecuali saat
hujan.
j. Tidak diperbolehkan makan dan minum di kota
k. Eta dianggap kotor, berbau, vulgar, tidak dapat dipercaya, berbahaya,
makhluk yang bukan manusia dan dianggap sebagai binatang.
Tentang tempat yang ditinggali oleh kaum Eta dan Hinin: “ Eta dan Hinin
banyak tinggal di tempat yang telah ditentukan yaitu dengan kondisinya buruk
seperti yang dijelaskan berikut. Tempat di dekat sungai yang selalu terkena banjir
dan luapan air sungai. Di lereng gunung yang curam dan di dataran tinggi yang
sering terkena resiko tanah longsor dan dengan pengairan yang buruk. Di gunung
yang tinggi di sebelah selatan dan timur yaitu tempat yang hampir tidak mendapat
sinar matahari saat musim dingin.
Serta dalam hal berpakaian pembatasan tersebut meliputi, saat keluar dari
desa, mereka dilarang memakai geta (sejenis sendal) dan zouri (sendal jerami).
Pada musim panas dan dingin pun mereka dibatasi memakai dua warna di kerah
dengan kain katun yaitu warna hijau dan hitam.
Maka bisa dikatakan, Zaman Tokugawa memiliki andil yang besar (selain
pengaruh Shinto dan Buddha) terhadap awal mula pendiskriminasian kaum Eta
dan Hinin. Hal ini juga yang ada pada pikiran masyarakat Jepang yang disurvey
oleh Management and Coordination Agency Policy Office of Regional
Improvement pada tahun 1993. Survey ini dilakukan dengan melakukan interview
pada 60.000 orang buraku dan sebanyak 20.000 orang non buraku. Survey ini
untuk melihat pengaruh dari Dowa Project (project pemerintah untuk membangun
Pertanyaan dari survey ini adalah “Apakah asal usul dari distrik Dowa?”
pilih satu dari enam pilihan. Mayoritas responden baik kaum buraku maupun
non-buraku memilih “politik” yaitu merujuk pada sistem feodal dibawah pemerintahan
Tokugawa. Dibawah pemerintahan Tokugawa, buraku yang dalam sejarah dikenal
sebagai kaum Eta dan Hinin diposisikan sebagai kelas terendah dibawah yang
[image:32.595.112.490.279.365.2]terendah, dan menghadapi dikriminasi dari berbagai aspek dalam kehidupan.
Tabel 1. Origin Claims of the Buraku People
Ras Agama Pekerjaan Kemiskinan Politik Lainnya
Buraku 1.3% 1.1% 3.8% 14.5% 70.3% 9.1%
Nasional 9.9 1.5 12.6 9.7 55.1 11.3
2.2.2 Burakumin Pada Masa Restorasi Meiji (1868- 1945)
1868 merupakan tahun besar bagi sejarah perkembangan bangsa Jepang.
Kekuasaan pemerintahan diserahkan kembali dari tangan Tokugawa kepada
Kaisar. Meiji Tenno mengutarakan janji gokajonogoseimon. Tenno meningkatkan
kehidupan ekonomi dan politik dengan cara mencari ilmu ke seluruh dunia.
Kemudian ibukota Edo diubah menjadi Tokyo, dan Kaisar pindah dari Kyoto ke
Tokyo (Situmorang Hamzon 2011: 21).
Dalam bukunya, Ruth Benedict (1979: 83) menganalisa bagaimana
Restorasi Meiji ini mulai berjalan. Pemerintahan memulai restorasi dengan
mencabut hak atas pajak yang didapatkan oleh daimyo dari petani dan pemilik
tanah, 40 persen pajak yang tadinya untuk daimyo diserahkan ke pemerintahan.
dihapuskan tanpa prosedur, lambang keluarga dan pakaian khusus yang
menunjukan kasta dan kelas dilarang, bahkan kuncir harus dipotong. Begitu juga
dengan orang buangan diberi persamaan hak, hukum yang melarang pemindahan
atas hak tanah dihapuskan, penghalang-penghalang yang memisahkan satu
wilayah dengan wilayah lainnya ditiadakan serta peniadaan Bhudisme.
Kebijakan-kebijakan pada restorasi Meiji ini tidak diterima begitu saja.
Dalam rentang tahun 1868 hingga 1878 telah terjadi setidaknya 190
pemberontakan agraris. Para petani menentang pendirian sekolah-sekolah, wajib
militer, pengukuran tanah, pemotongan kuncir, pemberian persamaan hak pada
kaum terbuang dan banyak aturan lain yang mengubah cara hidup mereka yang
lama.
Di tahun 1871, pemerintahan Meiji mengeluarkan Emancipation Edict
yang menyatakan bahwa status Eta dan Hinin harus dihapuskan dan selanjutnya
orang-orang ini harus diperlakukan sama baik dalam pekerjaan dan kehidupan
sosial sebagain orang biasa yang baru (Shin Heimin).
Kebebasan pada Restorasi Meiji ini tidak serta merta menghilangkan
hirarki yang ada dalam budaya Jepang. Perubahan-perubahan ini tidaklah
mengacaukan kebiasaan-kebiasaan hirarkis. Kebiasaan itu mendapat tempat dan
kedudukan baru (Ruth Benedict, 1979: 87).
Maka muncullah sistem pembagian kelas masyarakat yang baru yaitu
Shimin Byoudou mengenai empat strata sosial. Keempat kelas tersebut bermaksud
membedakan masyarakat berdasarkan kelas sosial. Dimana kelas teratas diisi oleh
keluarga Kaisar (Kouzoku), bangsawan (Kazoku), samurai (Shizouku) serta kelas
telah dimasukkan ke dalam kelas heimin, dan disebut sebagai shin heimin atau
orang biasa baru.
Penyamarataan status ini ditolah oleh kaum petani, pedagang dan tukang.
Mereka menolak untuk menjadi satu kelas dengan kaum eta dan hinin sehingga
sering terjadi permusuhan. Meski telah berada dalam satu kelas yang diakui dalam
pemerintahan, kaum eta dan hinin tetap tersisih dan tinggal di desa yang terpencil
(buraku).
2.3 Kepercayaan dan Konsep Kesucian di Jepang
Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan
supranatural, kekuasaan, dan kekuatannya. Supranatural disini biasa disebut
dengan nama dewa, Tuhan, atau yang gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu
sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral
yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang.
Agama muncul karena orang-orang berusaha untuk memahami keadaaan
dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada pengalaman sehari-
hari mereka. Mimpi waktu tidur pada masyarakat primitif dianggap mempunyai
makna dan itu harus diterjemahkan. Usaha ke arah menjelaskan mimpi itu
membuat mereka sadar bahwa ada diri yang lain dalam tubuh mereka. Diri yang
lain itu hadir ketika orang sedang tidur. Ketika diri yang lain waktu tidur dan diri
yang ada waktu sadar itu meninggalkan tubuh, maka orang yang bersangkutan
meninggal dunia. Kepercayaan seperti ini yang melahirkan ide tentang animisme.
Animisme adalah agama primitif yang kemudian bisa berkembang menjadi
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17140/8/Chapter%20I.pdf.txt).
Menurut Keiichi Yanagawa (1992 : 7) agama didasarkan pada tiga unsur
utama, yaitu:
1. Doktrin yang mengidentifikasi obyek dan sifat keagamaan. Ajaran sentral dari
agama adalah percaya pada Tuhan atau dewa atau roh-roh yang keberadaannya
tidak bisa dilihat manusia.
2. Perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang yang berkepercayaan sama.
Perkumpulan ini bisa berbentuk organisasi agama, gereja, atau jemaah.
3. Ibadah keagamaan dan ajaran keagamaan. Oleh karena itu suatu agama terdiri
atas doktrin, yang pengikutnya harus percaya; organisasi para penganut agama
itu, dan kode ajaran yang memuat tingkah laku yang dikehendaki dari para
pengikutnya.
Masyarakat Jepang kuno telah mempunyai kebiasaan menyembah alam
dan roh leluhur sepanjang sejarah bangsanya. Penyembahan-penyembahan seperti
ini disebut dengan shizenshukyo (agama alam), Shomin shinko (kepercayaan
rakyat), Minkan Shinkou (kepercayaan penduduk). Kepercayaan yang tidak
melembaga namun hidup di tengah-tengah masyarakat Jepang ini dimasuki oleh
sebuah kepercayaan yang telah melembaga dari luar seperti Bukyo (Budha),
Douyou/jukyou (konfuisus). Agama alam, rakyat dan agama yang telah
melembaga ini akhirnya disebut dengan Shinto yaitu sebuah cara untuk bertuhan
(Situmorang Hamzon 2011: 24).
Anezaki Masaharu dalam Situmorang Hamzon mengatakan bahwa
sampai kepada melaksanakan acara-acara saja atau ritus-ritus saja sebagai
kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini juga bisa terlihat pada status keanggotaan masyarakat Jepang
dalam tiap-tiap kepercayaan. Menurut Badan Urusan Kebudayaan di tahun 1997
jumlah masyarakat Jepang yang mendaftar dalam berbagai kelompok keagamaan
adalah 207.758.774 jiwa. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari kelompok
Shinto sebanyak 102.213.787 (49,2%), Budha 91.583.843 (44,1%), Kristen
3,168.596 (1,5%) dan lain-lain 10.792.548 (5.2%). Berdasarkan angka-angka ini,
hampir dua pertiga dari orang Jepang memilki dua kelompok agama karena
jumlah penduduk Jepang hanya 125.760.000 (1996).
Sebagai kepercayaan asli Jepang yang dianut oleh sebagian besar
masyarakatnya, Shinto berpengaruh besar dalam terciptanya stigma burakumin.
Baik Shinto maupun Budha di dalamnya terkandung konsep kesucian dan
kekotoran. Shinto menekankan kesucian yang harus dijaga dalam jiwa dan tubuh
manusia baik ketika melaksanakan ritual keagamaan maupun dalam kehidupan
sehari-hari. Sementara hal yang termasuk dalam kekotoran adalah hal yang terkait
dengan darah, kotoran, dan kematian. Keyakinan ini juga dianut oleh para
penguasa yang turut menciptakan adanya kelas sosial dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat di Jepang. Kaum Eta dan Hinin yang merupakan para pekerja yang
berhubungan langsung dengan darah, daging dan kematian dianggap kotor dan
tercemar.
Keyakinan di atas juga dipengaruhi oleh Buddhisme yang masuk pada
kelas masyarakat yang berdasarkan hal yang mulia dan tidak mulia. Dari zaman
kuno hingga ke periode Chusei (1192-1603) sistem kemuliaan adalah hal yang
dominan (Kan,1995:13). Sejak periode Chusei ke awal Tokugawa (1603-1867)
pandangan mulia dan tidak mulia bercampur dengan pandangan suci dan tidak
suci. Hingga Budha mampu menggeser pandangan mulia dan tidak mulia tersebut
menjadi pandangan suci dan tidak suci ketika masuk ke masa Tokugawa (Noma
dan Nakaura, 1983: 210). Dibawah sistem Tokugawa orang yang najis atau tidak
suci dihapuskan dalam anggota kelas sosial dan terisolasi dan dianggap di luar
sistem (Kuroda, 1996).
2.4 Perkembangan Pembebasan Burakumin
Zaman Meiji adalah salah satu gerbang awal bagi burakumin untuk keluar
dari diskriminasi. Pembebasan ini tidak terwujud dalam waktu yang singkat dan
menyeluruh. Perubahan pandangan terhadap burakumin harus diikuti oleh semua
unsur masyarakat baik pemerintah, pelaku diskriminasi dan korban diskriminasi.
Seperti yang dikatakan Douglas (1966: 110) jika seseorang tidak memiliki tempat
di sistem sosial maka mereka adalah makhluk marjinal. Semua tindakan
pencegahan terhadap bahaya dan pembebasan harus datang dari orang lain. Dia
tidak bisa membantu dirinya sendiri dari pandangan bahwa mereka adalah hal
yang tidak normal. Meskipun usaha pembebasan tidak sepenuhnya berhasil,
usaha-usaha tersebut dilakukan sejak restorasi Meiji.
2.4.1 Proklamasi Emansipasi Pada Restorasi Meiji (1871)
Gebrakan untuk meninggalkan sistem feodal menuju era yang lebih modern
melahirkan sebuah istilah yang disebut dengan Kaihorei atau proklamasi
emansipasi. Dalam bukunya, Uesegi mengatakan bahwa sebenarnya istilah Kaiho
atau kebebasan tidak pernah muncul sekalipun dalam catatan dokumen sejarah
Jepang. Istilah yang digunakan untuk memaknai keadaan saat restorasi Meiji
adalah Senmin Haishirei yaitu menghilangkan sistem manusia tercela atau
bermakna menghapus sistem dan kelas masyarakat yang tidak didasari pada
konsep hak asasi manusia dan keadilan.
Dikatakan juga bahwa diskriminasi yang terjadi pada zaman Edo merupakan
kehendak penguasa di jaman tersebut dan telah dihapuskan pada masa Kekaisaran
Meiji. Pada masa ini kelas sosial burakumin diangkat menjadi sejajar dengan
heimin, namun mereka diberi julukan Shin-heimin atau rakyat jelata baru.
Meskipun pemerintah menetapkan kesamarataan hak dan status masyarakat,
pandangan masyarakat lainnya terhadap burakumin tidak ikut berubah. Berbagai
penolakan kerap terjadi terutama pada golongan petani yang tidak mau berstatus
sosial sejajar dengan rakyat jelata baru.
Dalam sepuluh tahun pertama di restorasi Meiji, telah terjadi banyak
kerusuhan dalam masyarakat. Atas kerusuhuan tersebut burakumin dijadikan
kambing hitam. Banyak penduduk yang mengalami kesulitan keuangan yang
parah, terutama para petani. Para petani khawatir bahwa pembebasan Eta akan
berarti persaingan untuk tanah dan dalam proses itu mereka akan berakhir dengan
nasib yang sama seperti kaum buraku (Totten, George, dan Wagatsuma, 1972:
masih menerima serangan bahkan menganggap penderitaan semakin parah dengan
adanya banyak ancaman dari kelas masyarakat yang lain.
Restorasi Meiji digunakan oleh beberapa burakumin untuk melarikan diri dari
kemiskinan dan diskriminasi dengan menjadi imigran dan bekerja di luar negeri.
Dari akhir 1800 hingga 1930-an ribuan imigran Jepang menetap di di
negara-negara seperti Amerika, Brasil dan Peru.
2.4.2 Penghapusan Kelas Sosial Dalam Sistem Koseki
Koseki (戸籍) adalah sebuah catatan registrasi keluarga Jepang. Hukum di
Jepang mengharuskan semua rumah tangga Jepang (Ie) melaporkan kelahiran,
pengakuan dari ayah, adopsi, kematian, perceraian, perpindahan, hingga kelas
sosial. Koseki pertama kali dibuat pada tahun 670, penggunaannya hanya dalam
skala lokal. Sementara untuk pencatatan keluarga yang digunakan dalam skala
nasional baru ada pada tahun 1871 yang dikenal dengan Jinsin Koseki. Saat itu
yang menggunakan registrasi keluarga hanya terbatas pada kaum bangsawan,
keluarga samurai, dan orang-orang umum yang terdaftar. Pada tahun 1872
pemerintah membuat undang-undang yang melarang mengubah nama keluarga
dan pada tahun 1875 semua orang harus memiliki nama keluarga.
Masami Degawa dalam tesisnya menjelaskan tujuan utama dari koseki bukan
untuk mengidentifikasi orang dan melegalkan hubungan keluarga. Tapi untuk
mengaktifkan fungsi pemerintah dalam mengontrol keluarga Jepang. Koseki
mencatat data tentang tempat tinggal dan kelas yang asli seperti bangsawan, atau
kelas samurai. Meskipun Eta dan Hinin telah masuk dalam kelas masyarakat jelata
Sulitnya mengubah pandangan masyarakat terhadap burakumin menjadikan
kelompok masyarakat ini menyembunyikan identitas atau melindungi identitas
mereka agar terhindar dari diskriminasi. Upaya melindungi diri dari diskriminasi
dan agar dapat diterima di masyarakat luas Pada tahun 1923, salah satu organisasi
terbesar bagi orang-orang buraku, Zenkoku-Suiheisha meminta pemerintah untuk
menghapus keterangan asal kelas sosial dalam koseki kaum eta dan hinin. Sebagai
respon terhadap itu pada tahun 1924, pemerintah memutuskan untuk melarang
penggunaan "Eta" dan "Hinin". Namun, penghapusan asal kelas hanya berlaku
pada kaum buraku sehingga asal usul yang berusaha untuk disembunyikan tetap
terlihat dengan adanya kekosongan dalam kolom kelas sosial. Masyarakat umum
berasumsi bahwa jika kolom asal kelas sosial di koseki nya kosong berarti berasal
dari kelas eta dan hinin. Barulah pada tahun 1938 pemerintah benar-benar
menghapus kolom asal kelas sosial pada seluruh koseki.
Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, General Headquarters (GHQ)
meminta pemerintah Jepang untuk menghapuskan sistem Koseki dan membuat
sistem register baru yang hanya mengisi tentang perseorang tanpa merunut asal
usul keluarga. Pemerintah menjawab permintaan tersebut dengan mengatakan
bahwa akan membutuhkan banyak biaya dan sulit untuk mengubah koseki.
Namun, pemerintah akan tetap mencoba mengubahnya saat keadaan
perekonomian negara kembali pulih (Ninomiya 1995: 41).
Tidak sampai 1966 Koseki pun mengalami perubahan. Bukan perubahan yang
sesuai permintaan (koseki individu). Melainkan dari pencatatan keluarga secara
luas menjadi pencatatan keluarga inti saja. Pada sistem ini, setiap warga Jepang
harus meregistrasikan kosekinya, sehingga dalam koseki bukan hanya terlihat
tempat tinggal terbaru namun juga tempat tinggal sebelum-sebelumnya. Dengan
biaya yang murah, semua orang bisa melihat koseki orang lain.
Saat ini fungsi koseki adalah untuk membuktikan status pribadi secara resmi.
Ada beberapa aturan untuk koseki. Pertama. hanya orang yang memiliki nama
keluarga sama yang dapat mendaftar di satu koseki. Kedua, hanya dua generasi
seperti orang tua dan anak yang bisa mendaftar di satu koseki yang sama. Oleh
karena itu, ketika orang-orang menikah, mereka harus menghapus nama mereka
dari koseki keluarga lama dan mendaftar yang baru. Ketiga, alamat yang diberikan
di koseki dapat berubah kapan saja dan sejak tahun 1887. Namun, koseki juga
memiliki lampiran yang menunjukkan rincian riwayat hidup sebelumnya.
2.4.3 Pembangunan Distrik Dowa
Dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat buraku, pemerintah
dibantu oleh organisasi buraku menciptakan sebuah proyek pemulihan wilayah
Dowa. Pada tahun 1958, pasca-perang pemerintah menerima tanggung jawab
mereka untuk membantu meningkatkan kesejahteraan hidup buraku. Dowa sendiri
adalah kata yang diciptakan oleh pemerintah yang wilayah ditinggali oleh
komunitas buraku.
Sejak tahun 1969, pemerintah telah menghabiskan lebih dari 100 miliar yen
untuk memperbaiki lingkungan masyarakat mulai dari perumahan pendidikan.
peluang kerja, pertanian, dan usaha kecil.
Pada tahun 1965, organisasi buraku dalam sebuah laporan yang disebut
dihadapi oleh orang-orang dalam kawasan ini selama puluhan tahun kepada
pemerintah.
Dalam laporan tersebut mengatakan bahwa masalah Dowa adalah masalah
sosial yang sangat serius dan menjadi kuburan bagi beberapa kelompok warga
Jepang yang ditempatkan pada kelas sosial terendah baik secara ekonomi, sosial,
dan budaya dalam struktur status sosial yang dimiliki Jepang. Dalam
perkembangan masyarakatnya hal ini menciptakan diskriminasi di masyarakat
Jepang. Hal ini berarti adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat
kotemporer. Mereka untuk memiliki hak-hak sipil yang mana hak dan kebebasan
tersebut harusnya dilindungi dan dijamin bagi semua masyarakat dalam sebuah
negara modern, Amos (2011: 160).
2.4.4 Lahirnya Organisasi Buraku
Masa pembebasan telah lahir, budaya barat masuk ke Jepang dan orang
Jepang pergi menuntut ilmu ke berbagai belahan dunia. Paham-paham mulai
masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Jepang dan mempengaruhi cara
berpikirnya.
Totten dan Wagatsuma, (1972: 43) menyebutkan bahwa intelektual muda
buraku terinspirasi oleh ide-ide Marx dan teori sosialis. Mereka menerima
bantuan dari pemimpin komunis yang aktif dalam penelitian, pertanian dan
pergerakan politik untuk menambah wawasan mereka. Selain itu mereka juga
terpngaruh oleh artikel Sano Manabu yang terbit pada tahun 1921 tentang
Burakumin untuk mendapatkan kebebasan sejati adalah dengan bekerjasama
dengan buruh, yang juga menderita oleh sistem kapitalis.
Artikel ini sangat berpengaruh pada aktivis buraku sehingga terbentuklah
sebuah gerakan independen. Tanggal 3 Maret 1922, mereka memulai konferensi
tingkat nasional pertama yang disebut dengan Zenkoku Suiheisha. Konferensi ini
diikuti sekitar 2.000 perwakilan buraku dari seluruh Jepang, Totten dan
Wagatsuma (1972:43)
Dalam konferensi ini ada tiga deklarasi yang dibahas dan disetujui di dalam
forum yaitu:
1. Bahwa Tokushu Burakumin akan memperoleh kebebasan dengan cara
mereka sendiri.
2. Tokushu Burakumin menuntut kebebasan dalam meningkatkan
perekonomian dan pekerjaan seperti mayoritas masyarakat lainnya.
3. Tokushu Burakumin akan peduli terhadap martabat manusia dan mereka
akan merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan (Totten dan Wagatsuma, 1972:
43).
Deklarasi Suisheisha tersebut didedikasikan untuk semua kaum buraku yang
sudah merindukan sebuah kebebasan. Tujuan utama dari Suiheisha adalah untuk
mengecam siapa pun yang menghina burakumin dengan kata-kata dan perbuatan
ofensif. Ini berarti bahwa jika ada orang yang mendiskriminasikan burakumin,
para anggota Suiheisha akan menuntutnya untuk meminta maaf secara terbuka
dalam bentuk pernyataan yang diterbitkan di koran atau dalam sebuah pernyataan
yang dicetak lalu akan didistribusikan oleh Suiheisha.
Dilaporkan (1972: 45)” terdapat pelaku diskriminasi yang menolak untuk
meminta maaf.
Salah satu contoh adalah ketika cabang Suiheisha di Nara mencoba untuk
menghapuskan diskriminasi di sebuah sekolah dasar, di mana anak-anak buraku
tidak diperbolehkan untuk duduk di samping anak-anak non-buraku dan tidak
diperbolehkan untuk menggunakan toilet yang sama. Selain itu tugas untuk
membersihkan sekolah diberikan oleh anak-anak buraku sementara yang
non-buraku dibebaskan dari tugas membersihkan sekolah sepulang jam belajar.
Pembersihan. Bahkan beberapa anak buraku tidak diperbolehkan untuk naik ke
sekolah tingkat atas, meskipun nilai mereka sangat baik.
Namun, upaya penghapusan diskriminasi yang telah mendapatkan dukungan
dari seratus anggota buraku ini ditolak oleh kepala sekolah SD tersebut. Hal ini
mengakibatkan perkelahian fisik antara burakumin dan petugas kecamatan. Dalam
bentrokan tersebut mengakibatkan luka-luka pada petugas kecamatan dan pakaian
kepala sekolah yang berusaha untuk melerai telah robek.
Pada akhirnya, sejumlah burakumin mendapat panggilan ke kantor polisi
sementara guru yang mendiskriminasikan anak-anak buraku ditugaskan ke
sekolah lain.
Meskipun perjuangan dengan diskriminator seperti contoh di atas umumnya
hanya mendapatkan kemenangna yang kecil, hal tersebut menjadi sebuah motivasi
untuk melakukan gerakan baru.
Dengan tetap menjaga tindakan radikalnya, maka non-burakumin dan
organisasi lainnya mengubah bahkan menghilangkan pandangan lama mereka
Organisasi-organisasi yang lebih dekat dengan pemerintah seperti gerakan
Yuwa bahkan mengulurkan tangan untuk membantu Suiheisha dengan memaksa
pemerintah agar memberi dana lebih untuk proyek-proyek yang akan
meningkatkan fasilitas umum di daerah buraku.
Pemerintah juga dipaksa membuka peluang ekonomi yang selama ini hanya
terlihat sebagai mimpi oleh kaum buraku paling terdidik sekalipun. Serta
meningkatkan cakupan keamanan ekonomi untuk burakumin, Totten dan
Wagatsuma (1972: 62).
Pada tahun 1940 karena kekhawatiran akan Perang Dunia II, Suiheisha
dibubarkan. Namun, para pemimpinnya tidak pernah berhenti berjuang untuk
rencana mereka di masa depan dan pada saat negara-negara sekutu memenangkan
perang.
Hingga pada tahun 1946, bebuah konstitusi baru dikeluarkan di Jepang yang
menyatakan bahwa "semua warga negara adalah sama di bawah hukum dalam
hubungan politik, ekonomi, dan sosial, dan bahwa mereka tidak akan
didiskriminasi karena alasan ras, keyakinan, jenis kelamin, status sosial, atau latar
belakang keluarga, Totten dan Wagatsuma (1972: 69). Yang berarti bahwa dengan
hukum yang baru ini, orang buangan sosial seperti burakumin akan bebas dari
prasangka-prasangka buruk. Di tahun yang sama, para pemimpin tua dari
Suiheisha mereformasi ulang organisasi mereka. Tapi kali ini mereka mengubah
nama menjadi National Commite for Buraku Liberation (Buraku Kaiho Zenkoku
Iinkai) atau disingkat NCBL.
Dalam naungan nama baru, NCBL fokus pada aksi untuk melepaskan
keadaan finansial serta memperbaiki kemiskinan yang dihadapi kaum buraku.
serta mengubah lingkungan kumuh yang ditempati oleh buraku agar menjadi
layak paling tidak seperti perumahan murah yang ada di kota-kota pada
umumnya. NCBL juga meminta agar limbah dan pasokan air harus dibersihkan
secara menyeluruh dan berharap untuk pembangunan yang lebih luas dalam hal
pembibitan, klinik, pusat-pusat kerja dan program kesejahteraan lainnya. Terakhir
mereka mendesak pemerintah untuk memperbaikan fasilitas pendidikan dan
kemungkinan kerja bagi anak muda buraku serta memberikan pinjaman kepada
industri kecil miliki masyarakat buraku, Totten dan Wagatsuma (1972:74).
Melalui publikasi tentang anti diskriminasi, NCBL semakin kuat dan berjuang
untuk menuntut pemeritah lokal agar memperbaiki kualitas hidup mereka. Untuk
memperluas organisasinya NCBL mengubah nama menjadi Buraku Kaiho Domei
atau Buraku Liberation League (BLL) di tahun 1955 (Asada. 1969: 269).
Namun cara BLL untuk menuntut pernyataan maaf secara terbuka pada pelaku
diskriminasi menimbulkan beberapa kritik, diantaranya Karel Van Wolferen,
seorang jurnalis Belanda yang telah lama tinggal di Jepang. Dia mengatakan, BLL
tidak menempuh jalur hukum untuk penyelesaian diskriminasi (1989: 74).
Ancaman untuk tidak menyudutkan kaum burakumin ini cukup kuat termasuk
saat menghadapi penerbit, penulis, wartawan, editor dan guru. Semua yang
menyinggung burakumin yang bertentang dengan ideologi BLL akan menerima
resiko dipaksa untuk meminta maaf, mereka akan ditahan terlebih dahulu sampai
permintaan maaf itu keluar.
Pada titik ini. BLL menegaskan bahwa permintaan maaf secara terbuka ini
terhadap orang-orang buraku. namun beberapa oknum menggunakan kekerasan
saat menuntut permintaan maaf pada elaku diskriminasi. Hal inilah yang membuat
pemerintah memperingati buraku jika tetap menjalankan tuntutan permintaan
maaf terbuka maka kebebasan brbicara organisasi ini akan dicabut, Karel Van
Wolferen (1989: 342).
Takagi (1991:284) berpendapat bahwa permintaan maaf terbuka ini justru
menjadikan burakumin sebagai pembahasan yang tabu dan takut untuk
dibicarakan sehingga penyelesaian diskriminasinya berjalan lama. Karena siapa
pun yang berani mengkritik cara BLL ini menjadi target untuk 'pengaduan'.
Berdasarkan hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa media mencoba untuk
menekan isu kontroversial ini.
Hal ini juga yang dikomentari oleh Ian Neary yang tidak menerima bahwa
masalah buraku hanya sisa-sisa feodalisme yang akan hilang dengan
perkembangan kapitalisme. Ia menolak pandangan bahwa solusi terbaik adalah
mengabaikan masalah buraku dengan tidak membahasnya atau melakukan
tindakan khusus, Neary (2009: 71).
Pada tahun 1980 pemerintah menegaskan bahwa permintaan maaf secara
terbuka legal untuk dilakukan, namun tidak untuk tindakan kekerasan yang kerap
dilakukan oleh preman yang berpura-pura menjadi buraku. diikuti dengan adanya
tindakan pemerintah untuk memperbaiki perekonomian buraku pada tahun 1986.
Pemerintah berjanji akan bekerjasama dengan kementerian dan pengacara untuk
menyelesaikan perkara kaum buraku dan wilayah Dowa. Ada juga biaya
tunjangan yang diberikan bagi masyarakat buraku. masyarakat (Manajemen dan
BLL memainkan peran yang sangat penting dalam memperbaiki
kehidupan buraku. Mereka mempercepat dan mempromosikan proyek pemulihan
wilayan Dowa. Dibawah tekanan BLL yang cukup besar pemerintah terpaksa
berpikir serius tentang diskriminasi masyarakat buraku.
Di samping itu. tindakan radikal mereka mungkin telah berkontribusi terhadap
kelanjutan dari masalah buraku sehingga terjadi penghidaran terhadap
pembahasan topik burakumin di dalam masyarakat Jepang yang berlanjut hingga
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Satu hal yang dunia sadari saat berbicara tentang kehidupan sosial
masyarakat Jepang adalah tentang homogenitas. Menurut hasil penelitian
Columbia University, bahwa konsep sosial-kultural homogen ini telah dicitrakan
oleh publik figur Jepang sendiri. Masyarakat Jepang pada umumnya pun sepakat
dengan pemikiran bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat homogen yang
memilki identitas nasional yang kuat, bahkan hanya sedikit memilki perbedaan
etnis atau ras. Pada umumnya dikatakan tidak memiliki keragaman etnis atau ras.
Pengakuan atas rasa homogen ini tentu menutup kemungkinan adanya
etnis-etnis lain yang hidup dalam masyarakat Jepang. Meskipun sedikit, Jepang
bukannya tidak memiliki perbedaan etnis dalam masyarakatnya. Ada beberapa
etnis seperti ketururnan Korea di Jepang, Ainu di Hokkaido, serta Burakumin yang
tersebar di seluruh Jepang. Sehingga bisa dikatakan beberapa etnis tersebut
merupakan masyarakat minoritas.
Namun, homogenitas yang terkandung dalam masyarakat Jepang
menjadikannya alasan utama atas terjadinya penghindaran terhadap pembahasan
tentang diskriminasi terhadap kaum minoritas di Jepang.
Dari ketiga etnis yang berbeda yang telah disebutkan tadi, peneliti hanya
akan membahas satu diantaranya yaitu kaum Burakumin. Burakumin merupakan
kelompok minoritas yang jumlahnya cukup besar dibanding etnis berbeda lainnya.
Burakumin (部落民) berasal dari kata buraku (desa) dan min (penduduk). Secara
Yang mana penduduk desa ini merupakan gabungan dari orang-orang terbuang
terutama Eta dan Hinin. Dimana kaum ini memiliki pemuki