FENOMENA
FREETER
DALAM MASYARAKAT JEPANG
DEWASA INI
GENZAI NO NIHON SHAKAI NI OKERU FURIITAA
GENSHOU
SKRIPSI
Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatra Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana
dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh
MIOCI
NIM : 100722004
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG EKSTENSI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN
FENOMENA
FREETER
DALAM MASYARAKAT JEPANG
DEWASA INI
GENZAI NO NIHON SHAKAI NI OKERU FURIITAA
GENSHOU
Oleh
MIOCI
NIM : 100722004
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum. Drs. Nandi S
NIP. 19600919 1988 031 001 NIP. 19600822 198803 1 002
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG EKSTENSI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN
Disetujui oleh :
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Departemen Sastra Jepang Ketua,
Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaukan skripsi yang berjudul
Fenomena Freeter Dalam Masyarakat Jepang Dewasa ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dari tata bahasa maupun uraiannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
sara yang membangun dari pembaca untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan
dorongan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada :
1. Bapak Dr. Drs. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatra Utara.
2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang
Program S1 Ekstensi Universitas Sumatra Utara, juga selaku dosen
pembimbing 1 yang telah memberikan arahan, bimbingan dan masukan
hingga penulis dapat mengerjakan skripsi ini dengan benar.
3. Bapak Drs. Nandi S, selaku dosen pembimbing 2 yang telah memberikan
arahan, bimbingan dan masukan hingga penulis dapat mengerjakan skripsi
ini menjadi sempurna.
4. Bapak dan Ibu dosen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya : Pak Hamzon
Situmorang, Pak Yuddi, Pak Puji, Pak Amin, Pak Erizal, Narita Sensei,
semua dosen yang tidak tersebutkan satu persatu, terimakasih atas ilmu
dan bimbingannya selama ini.
5. Untuk orang tua penulis, Bapak Shoji Naito (Alm.) dan Ibu Zultiti
Herawati Sinaga yang telah memberikan dukungan, perhatian, semangat
bantuan yang tak terhingga baik dalam bentuk moril dan materi hingga
penulis dapat mengerjakan skripsi ini dengan baik sampai selesai.
6. Kepada teman-teman penulis di Departemen Sastra Jepang Ekstensi 2010,
Kak Lolo, Indah Cantik, Kak Dewi, Kak Elisabeth, Hanum, terima kasih
atas dukungan dan kerjasama kalian selama beberapa tahun menuntut ilmu
di Departemen Sastra Jepang Ekstensi. Semoga pertemanan ini tidak
sebatas pada masa perkuliahan.
7. Kepada teman-teman penulis Dwi Herawati, Anggi Yulia Harmen, Sona,
Heru, Ikbal, Bayu Huzairi, Idham Khaidir, seluruh staf Pegadaian CPP.
Padang Bulan. Terima kasih atas do’a dan motivasi.
Akhir kata penulis berharap kiranya skripsi ini bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya bagi peneliti yang memiliki bahan terkait dengan isi skripsi
ini.
Medan, Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 6
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 8
1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori ... 9
1.5 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 13
1.6 Metode Penelitian ... 14
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT PEKERJA JEPANG ... 15
2.1 Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Pekerjaan ... 15
2.1.1 Karakteristik Pekerja Jepang ... 16
2.1.2 Masyarakat Pekerja Jepang Pasca Resesi Ekonomi .. 18
2.2 Pola Pikir Kaum Muda di Jepang Terhadap Pekerjaan ... 21
2.2.1 Karakteristik Kaum Pekerja Muda Jepang ... 22
2.2.2 Kaum Pekerja Muda Jepang Pasca Resesi Ekonomi . 23 2.3 Pasar Tenaga Kerja di Jepang... 25
2.3.1 Peluang Bekerja di Jepang ... 26
BAB III FENOMENA FREETER PADA MASYARAKAT
JEPANG ... 30
3.1 Awal Mula Kemunculan Freeter ... 30
3.1.1 Pergeseran Pola Pikir Kaum Muda Jepang Terhadap Etos Kerja ... 36
3.1.2 Dampak Freeter Terhadap Lingkungan Pekerjaan ... 39
3.2 Kehidupan Sosial Freeter ... 41
3.2.1 Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Kelompok Freeter ... 44
3.2.2 Dampak Kemunculan Freeter Dalam Lingkungan Sosial... 45
3.3 Sikap Pemerintah Jepang Terhadap Kelompok Freeter ... 47
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 53
4.1 Kesimpulan ... 54
4.2 Saran... 55 DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
1950
年
1970
年 ま
開発
い
国
日本
問題
い
逃
い
1980
年代後半
い う
経済問題
い い い初
経済
い い現
象
う出
現
証 拠
拠
時
日本
経済
い い出
現
日本社会
い過
懸念
経済
い い結果
1990
年代
い
永 久 的
え い うい
時
一
会社
い別
ョ
移動
い う労働者
う うーター
呼
い
ー タ ー
い う 言葉
2
音節
英語
えい
単語
"Free"
無料
う
イ
い
語
"Arbeiter"
労働者
教育
行う
日本全国
市内
全体的
最大実行
後
就
職
情
報
う う う
屋台
い
カ
ョ
呼
雇用
う
サ ービ
関
情
報
う う
中
心
う
使用
い
会社
い
インターン
ム
参加
う
学生
い
奨
励
う い
労 働 力
う う
入
力
う
高校生
う う い
キ
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Jepang dikenal akan budaya kerja keras, disiplin dan loyalitas tinggi terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Sejak berakhirnya masa perang dunia kedua, Jepang yang pada awalnya mengalami kekalahan dan krisis disegala bidang termasuk diantaranya meliputi bidang perekonomian, dapat kembali bangkit secara cepat menjadi sebuah bangsa yang maju dan unggul. Hal ini tidak lepas dari peran masyarakatnya yang memiliki kemauan dan komitmen tinggi untuk kembali membangkitkan Jepang dari jurang keterpurukan. Segala kenikmatan dan keberhasilan Jepang sebagai negara maju tidak didapat dengan mudah, melainkan melalui kerja keras, usaha tidak kenal lelah, disiplin dan loyalitas yang dimiliki dari setiap orang Jepang.
Bangsa Jepang merupakan bangsa yang sulit untuk menerima kekalahan, tidak ada kata menyerah bagi bangsa Jepang. Kekalahan bukan berarti mati, mereka berusaha bangkit kembali dan mencari kemenangan dibidang lain. Mereka tidak menerima kekalahan yang dapat merendahkan harga diri. Masyarakat Jepang tidak dapat menanggung malu jika mengalami kegagalan, mereka lebih memilih mati dari pada harus menanggung malu bila mengalami kegagalan (Ann Wan Seng, 2007:8).
malu, bukan perusahaan atau organisasi tempat mereka bernaung (Ann Wan Seng, 2007:38). Mereka selalu berusaha keras demi perusahaannya, mereka sampai rela meluangkan waktu penuh, hingga meninggalkan keluarga demi memajukan perusahaan.
Pekerja Jepang juga memiliki rasa kesetiaan yang kuat pada perusahaannya. Rasa ini timbul bukan semata-mata dari jumlah upah yang mereka terima, melainkan adanya rasa kebersamaan yang tumbuh dalam sebuah perusahaan atau organisasi. Mereka bekerja sama, saling menutupi kekurangan layaknya sebuah keluarga. Seperti dikutip dari Moer dan Kawanishi dalam buku A Sociology of Work in Japan (2005:58):
Work wa s conceived a s pa rt of a living socia l community which linked the shop floor a nd fa mily life.
Terjemahan :
Pekerjaan dipahami sebagai bagian dari sebuah komunitas sosial yang hidup yang menghubungkan dasar perusahaan dan kehidupan keluarga.
Bagi masyarakat Jepang bekerja penuh totalitas bagi sebuah perusahaan merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka. Maka tidak heran jika muncul ungkapan “work is life” (bekerja adalah kehidupan) bagi kalangan pekerja jepang (Blyton, Blunsdon, Reed, Dastmalchian, 2010:140). Hal ini dilakukan demi memajukan perusahaan, hingga mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran, sampai menyebabkan kematian. Fenomena ini disebut dengan karoshi, yaitu kelebihan bekerja hingga menyebabkan kematian (Pujiastuti 2007:42). Permasalahan ini muncul karena para pekerja tersebut dituntut untuk bekerja semaksimal mungkin bagi perusahaannya, mereka bekerja setiap hari tanpa libur, bahkan mereka bekerja melebihi batas waktu normal bekerja (8 jam) sampai 12 jam dalam sehari. Selain tekanan dalam pekerjaan, mereka juga di gaji rendah. Inilah yang membuat tekanan mental memuncak sampai menyebabkan kematian (Pujiastuti 2007:42).
kian bertambah (http://michaelorstedsatahi. wordpress.com/2011/08/25/resesi-di-jepang/).
Memasuki awal tahun 1990an, Jepang mulai mengalami resesi, yang diakibatkan dari gelembung ekonomi. Berbagai fenomena seputar permasalahan ekonomi bermunculan. Diantaranya pasar tenaka kerja yang mengalami perubahan secara signifikan akibat dari pengurangan jumlah tenaga kerja untuk memotong biaya operasional oleh perusahaan. Seperti yang dikutip dari buku Socia l Cla ss in Contempora ry ja pa n (2010:90) oleh Ishida dan Slater :
Pa rtly beca use of the economic recession of the 1990s a nd pa rtly beca use of pressures to cut la bor costs, the job ma rket for new gra dua tes and young people dra ma tica lly cha nged during the 1990s a nd ea rly 2000s. The number of pa rt-time jobs increa sed, job turnover ra tes increa sed, a nd the lifelong employment system wa s no longer a ssumed to function for young workers.
Terjemahan :
Sebagian karena resesi ekonomi ditahun 1990-an dan sebagian karena tekanan untuk memotong biaya tenaga kerja, pasar kerja bagi lulusan baru dan orang muda secara dramatis berubah selama 1990-an dan awal 2000-an. Jumlah pekerjaan paruh waktu meningkat, tingkat putar balik pekerjaan meningkat, dan sistem seumur hidup bekerja diasumsikan tidak lagi berfungsi bagi para pekerja muda.
freeter. Freeter merupakan sebuah neologisme dari kontraksi kata bahasa Inggris "free" (bebas) dan kata bahasa Jerman "arbeiter" (pekerja), yang kemudian diartikan sebagai karyawan sementara atau pekerja paruh waktu. Dalam pengertian ini, golongan pelajar dan ibu rumahtangga tidak termasuk kedalam golongan freeter (Ishida, Slater, 2010:91).
Istilah freeter digunakan untuk menggambarkan kaum muda Jepang berusia antara 15 hingga 34 tahun yang mengisi waktu luang mereka dengan bekerja paruh waktu (OECD 2009:18), misalnya di restoran cepat saji atau supermarket. Kelompok masyarakat muda Jepang lebih memilih menjadi freeter daripada pekerja tetap dalam suatu perusahaan dengan alasan yang beragam. Satu diantaranya, mereka menghindari rutinitas dan tekanan yang diberikan oleh perusahaan bila menjadi pekerja tetap. Lagipula untuk menjadi freeter tidak diperlukan kemampuan lebih atau keahlian khusus, karena pada umumnya pekerjaan yang disediakan bagi freeter merupakan pekerjaan umum dalam keseharian, misalnya sebagai penjaga toko, pelayan restoran, buruh pengangkut barang, penyebar brosur dan lain sebagainya.
Indikasi statistik menunjukkan jumlah freeter diawal tahun 2000-an sekitar tiga juta jiwa, dan angka ini terus bertambah hingga pada saat ini (Ishida, Slater, 2010:91). Munculnya kaum freeter menimbulkan beberapa dampak dalam kehidupan masyarakat sosial di Jepang, baik dari sisi positif dan negatifnya. Ini sedikitnya bertentangan dengan budaya Jepang yang terkenal akan kegigihan dan keuletannya. Seperti yang diutarakan Slater (2010:162) :
Terjemahan :
Pertama, sementara orang-orang muda tertentu yang berakhir sebagai freeter mungkin tidak memeluk etos Jepang,…
Etos Jepang yang dimaksud merupakan budaya kerja masyarakat Jepang terdahulu yang berkarakter disiplin, kerja keras, rajin dan loyalitas tinggi terhadap pekerjaannya.
Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk membahas masalah freeter. Timbulnya beberapa permasalahan seperti dalam lingkungan sosial, resesi ekonomi Jepang yang berkepanjangan diawal dekade 1990an, dan beberapa lainnya, menyebakan jumlah freeter melonjak cukup tajam. Hal inilah yang mendasari ketertarikan penulis dalam meneliti fenomena freeter. Yang kemudian penulis tuang dalam skripsi ini dengan mengambil judul “Fenomena Freeter Dalam Masyarakat Jepang Dewasa Ini”.
1.2 Perumusan Masalah
namun tidak mendapatkan gaji yang setimpal dari apa yang telah diberikan. Sebagian masyarakat muda Jepang kemudian beralih memilih bekerja sebagai freeter.
Sebagian kaum muda Jepang lebih memilih menjadi freeter karena tidak memiliki keterikatan dengan perusahaan tempat mereka bekerja, seperti yang dialami para pekerja tetap. Disamping itu, waktu bekerja yang singkat (paruh waktu) juga menjadi pilihan sebagai freeter. Karena banyak dari para kaum muda Jepang yang sangat menekuni hobi mereka seperti cosplay, menonton anime, mengoleksi manga , berolah raga, atau hobi-hobi unik lainnya. Ini menjadi alasan sebagian kaum muda Jepang lebih memilih bekerja sebagai freeter.
Dari sudut pandang lingkungan sosial dampak yang paling nyata terlihat pada menurunnya angka regenerasi di Jepang. Menurunnya jumlah kelahiran bayi disebabkan oleh keengganan para freeter untuk menikah. Para wanita Jepang juga memandang kaum pria dari golongan freeter tidak siap untuk melanjutkan hubungan kejenjang yang lebih serius seperti dalam pernikahan. Mereka menilai penghasilan seorang freeter tidak cukup untuk membiayai kebutuhan ekonomi keluarga.
Berbagai dampak dan permasalahan dari kemunculan freeter dianggap dapat mengurangi daya saing (dalam hal ini sumber daya manusia) dalam dunia bekerja merupakan hal serius. Untuk itu pemerintah Jepang pun mengambil langkah-langkah untuk menekan jumlah freeter agar tidak terus bertambah. Salah satu langkah yang diambil yaitu dengan memberikan bimbingan mengenai pekerjaan kepada pemuda diusia sekolah menengah, agar mereka lebih mempersiapkan diri saat memutuskan untuk masuk ke dunia kerja.
Dari permasalahan yang muncul mengenai freeter yang dikemukakan diatas, maka dalam bentuk pertanyaan permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Apa yang menyebabkan munculnya freeter?
2. Bagaimana fenomena freeter yang terjadi dalam masyarakat Jepang dewasa ini?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi masalah hanya mengenai
khususnya pada pemuda Jepang, dari pertama kali munculnya freeter yang
dimulai sejak akhir tahun 1980an dan perkembangannya hingga tahun 2011. Agar
pembahasan lebih jelas dan akurat, maka penulis juga menjelaskan tentang
pandangan masyarakat Jepang terhadap pekerjaan, pola pikir kaum muda di
Jepang terhadap pekerjaan dan bagaimana pasar tenaga kerja di Jepang.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka
Di Jepang makna dari sebuah pekerjaan tidak semata-mata untuk mencari penghasilan dan menafkahi hidup. Pekerjaan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Jepang. Mengambil kutipan dari Edwin O. Reischauer, dalam Blyton (2010:139) :
A job in Ja pan is not merely a contra ctua l a rra ngement for pa y but mea ns identifica tion with a la rger entity – in other words, a sa tisfying sense of being part of something big and significant. … There is little of the feeling, so common in the West, of being a n insignifica nt a nd replaceable cog in a grea t ma chine. Both ma na gers and workers suffer no loss of identity but ra ther ga in pride through their compa ny, pa rticula rly if it is la rge a nd fa mous. Compa ny songs a re sung with enthusia sm, a nd compa ny pins a re proudly displa yed in buttonholes.
Terjemahan :
perusahaan mereka, terutama jika hal itu menjadi besar dan terkenal. Suara perusahaan akan dinyanyikan dengan antusiasme, dan kunci perusahaan dengan bangga ditampilkan terdepan.
Masyarakat Jepang memiliki budaya etos kerja yang sangat baik, penuh disiplin, setia dan pantang menyerah. Budaya etos kerja ini tercermin dari berhasilnya Jepang menjadi salah satu negara maju yang menguasai perekonomian dunia. Etos kerja masyarakat Jepang terbentuk sejak berabad-abad lalu, para pendahulu mereka telah mewariskan nilai etos kerja yang baik. Seorang futurologist Herman Kahn dalam Moer & Hirosuke (2005:3) menungkapkan :
…attached great importance to the Japanese mindset. They alleged that cultura l remna nts or feuda listic va lues – such a s group loya lty, a motiva tion to a chieve ba sed on duty and the fea r of sha me or losing fa ce, a nd Confucia n fruga lity – a nd a specia l sense of community or na tiona l consensus were the wellsprings of Japan’s economic success.
Terjemahan :
…melekat hal yang sangat penting pada pola pikir masyarakat Jepang.
Mereka menduga bahwa sisa-sisa budaya atau nilai-nilai feodal - seperti kesetiaan kelompok, motivasi untuk mencapai berdasarkan tugas dan ketakutan akan malu atau kehilangan muka, dan sikap hemat Konghucu - Dan rasa khusus dari masyarakat atau konsensus nasional yang menjadi sumber dari keberhasilan ekonomi Jepang.
keterikatan dalam pekerjaan pada suatu perusahaan. Seperti yang dikemukakan oleh Gesine Foljanty – Jost (2003:83) :
…“freeter” refers to those people who do not actively seek employment a nd enter society without ta king up fixed employment.
…“freeters” opt for a free-a nd-ea sy lifestyle, supported by ca sua l work with no more tha n 800 Yen income per hour.
Terjemahan :
…"freeter" mengacu kepada orang-orang yang tidak secara aktif mencari
pekerjaan dan masuk kedalam masyarakat tanpa mengambil pekerjaan tetap.
…"freeters" memilih gaya hidup bebas dan mudah, didukung oleh
pekerjaan kasual dengan tidak lebih dari 800 Yen pendapatan per jam.
Penulis melihat adanya perubahan pola pikir dan cara pandang pada masyarakat muda Jepang terhadap pekerjaan. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat pekerja keras, memiliki keuletan dan loyalitas tinggi terhadap perusahaannya. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mendalami dan memahami sejauh mana pergeseran makna pekerjaan yang terjadi pada masyarakat muda Jepang hingga memunculkan istilah freeter.
2. Kerangka Teori
Arbeiter” pertama kali muncul diakhir 1980-an, ketika kaum muda menghadapi
kesempatan kerja yang berlimpah pada saat gelembung ekonomi (OECD, 2009:55). Sejak tahun 1992, ketika gelembung ekonomi meningkat, tiga kata kunci seperti freeter, parasit tinggal, dan kompetensi sosial telah digunakan untuk menggambarkan fenomena sosial yang luar biasa yang diamati pada kalangan kaum muda Jepang (Foljanty-Jost, 2003:83).
Pendekatan fenomenologis penulis gunakan untuk menafsirkan fenomena atau gejala yang terjadi mengenai freeter dalam masyarakat Jepang, khususnya pada masyarakat muda Jepang yang secara langsung mengalami polemik freeter. Ada empat tahapan yang penulis gunakan dalam pendekatan fenomenologis yaitu dengan membaca arti dari keseluruhan, mengidentifikasi unit-unit arti, menilai signifikansi psikologis unit makna, dan menyintesis arti unit dan menyajikan deskripsi secara struktur (Langdrige, 2007:88). Dengan empat tahapan tersebut penulis mencoba membaca dan memahami freeter melalui konsep-konsep freeter yang telah ada sebelumnya dari beberapa buku dan jurnal, kemudian menentukan beberapa pokok permasalahan yang terpapar dalam ulasan mengenai freeter, memilah beberapa hal penting dan pokok dalam permasalahan yang muncul, hingga pada akhirnya menggabungkan keseluruhan permasalahan pokok dan memaparkan secara jelas dan terperinci kedalam satu pokok pembahasan freeter pada skripsi ini.
Dampak dari resesi ekonomi terlihat nyata pada meningkatnya jumlah pengangguran dan beralihnya sistem perekrutan karyawan dengan mengacu pada kinerja, kemampuan dan integritas hingga berubahnya model kerja seumur hidup menjadi bekerja berdasarkan sistem kontrak yang terjadi dibanyak perusahaan Jepang akibat dari kepanikan resesi ekonomi. Hal ini yang kemudian memunculkan freeter yang menjadi opsi lain sebagai pekerja tidak tetap atau paruh waktu yang jumlahnya semakin bertambah dari tahun ketahun.
1.5 Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.Untuk menjelaskan fenomena freeter dalam masyarakat Jepang dewasa ini. 2.Untuk menjelaskan perubahan pola pikir pekerja Jepang, dari pemikiran
awal tentang kesetiaan dan ketekunan dalam bekerja diperusahaan yang kemudian bergeser ke freeter dengan pemikiran penuh kebebasan tanpa tekanan dan menjelaskan segala dampak sosial dari kemunculan freeter.
2. Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi beberapa pihak tertentu, yaitu :
2.Bagi masyarakat luas pada umumnya dan mahasiswa Sastra Jepang pada khususnya, dapat menambah wawasan seputar freeter dan mengetahui bagaimana pola pikir masyarakat Jepang terhadap pekerjaan.
1.6 Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian diperlukan adanya landasan metode penelitian yang digunakan sebagai penunjang dalam pencapaian tujuan penelitian. Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif. Langdrige (2007:2) mengatakan metode kualitatif adalah metode yang bersangkutan dengan deskripsi naturalistik atau penafsiran dari fenomena, dalam hal ini memiliki arti bagi orang-orang mengalaminya. Melalui metode ini penulis mengumpulkan dan mengolah informasi informasi kemudian dikelompokkan dan dilampirkan dalam bentuk penjelasan-penjelasan. Sedangkan tipe analisis dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif fenomenologis. Yaitu merupakan konsep analisis tentang pengalaman manusia dan cara di mana hal-hal yang dirasakan muncul sebagai suatu kesadaran
(Langdrige, 2007:10).
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT PEKERJA JEPANG
2.1 Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Pekerjaan
Pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jepang.
Selain sebagai mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan hidup, pekerjaan juga
dipandang sebagai suatu identitas diri dalam lingkungan sosial mereka. Ini dapat
dilihat dari komunitas ataupun kelompok-kelompok dalam masyarakat Jepang
yang terbentuk dari beberapa golongan jenis pekerjaan. Misalnya dalam suatu
rumah tangga terdapat kepala rumah tangga yang bekerja pada suatu bidang
pekerjaan dalam perusahaan, maka kelompok masyarakat yang terbentuk adalah
kelompok masyarakat pekerja kantoran yang hanya berisi orang-orang dari
perusahaan itu saja.
Makna pekerjaan bagi masyarakat Jepang bukan hanya sekedar mencari
nafkah, dibalik itu ada makna lain yang tersirat. Yaitu pekerjaan sebagai pemberi
makna atau arti hidup dalam diri seseorang. Pandangan ini mengacu pada
bagaimana orang Jepang bekerja. Bekerja lembur hingga larut malam tidak
dijadikan sebagai beban hidup, melainkan dijadikan sebagai hal paling berharga
dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari (Blyton, 2010:139).
Memilih sebuah pekerjaan di Jepang tidaklah mudah, hal ini dilihat dari
sudut pandang orang Jepang yang memiliki pola pikir kesetiaan terhadap sebuah
mencari sebuah pekerjaan, dikarenakan kelak mereka akan menjalani waktu yang
panjang bekerja di perusahaan tersebut.
Ada beberapa jenis pekerjaan yang cukup populer di Jepang, diantaranya
bekerja sebagai pegawai pemerintahan. Pekerjaan ini dianggap cukup bergengsi di
Jepang, maka dari itu banyak kaum muda Jepang yang mempersiapkan diri
dengan memilih sekolah dan universitas unggulan, agar dapat melamar bekerja
sebagai pegawai negeri dengan beberapa departemen favorit didalamnya. Selain
itu pekerjaan yang berdasarkan hobi juga menjadi favorit di Jepang diantaranya,
pembuat manga, pekerja entertainment menjadi aktris/aktor, dan beberapa
pekerjaan lain yang bersangkutan dengan hobi yang mereka geluti.
Orang Jepang sangat menghargai pekerjaan yang mereka jalani, mereka
selalu berusaha bersikap professional dan totalitas dalam setiap tindakan yang
diambil dalam pekerjaan. Tidak hanya itu orang Jepang juga cenderung suka
menghabiskan waktu mereka untuk bekerja. Mereka lebih memilih berlama-lama
di kantor daripada menghabiskan waktu untuk bersantai di rumah. Bahkan dihari
liburpun sebagian pekerja Jepang banyak yang menghabiskan waktu untuk
bekerja di perusahaannya.
Hal lain yang membentuk opini kuat terhadap masyarakat Jepang terhadap
makna sebuah pekerjaan adalah jenis moral dan perasaan yang disadari dalam tiap
individu mereka tentang pentingnya menjadi yang terbaik dalam setiap pekerjaan.
2.1.1 Karakteristik Pekerja Jepang
Masyarakat pekerja Jepang memiliki karakter bekerja yang bersifat umum
yang menjadi pembeda dalam karakteristik pekerja Jepang adalah budaya kerja
yang terbentuk dan sudah mengakar sejak ratusan tahun. Karakteristik tersebut
antara lain tekad kuat, kemauan tinggi, kerja keras, dan memajukan negara Jepang
(Ann Wan Seng, 2007:31).
Bekerja merupakan hal yang paling utama bagi masyarakat Jepang.
Mereka menyadari pentingnya bangsa Jepang untuk ikut berperan dalam
perekonomian dunia. Bangsa Jepang telah menyadari kekurangannya dalam
sumber daya alam yang tidak banyak terkandung di tanah Jepang. Namun hal ini
tidak lantas membuat bangsa Jepang kalah dalam bersaing dengan bangsa lain.
Bangsa Jepang kemudian membentuk suatu kesatuan untuk menyelamatkan
bangsanya. Langkah mendasar yang diambi adalah dengan menempa sumber daya
manusia Jepang untuk lebih maju dalam mengembangkan produk hasil buatan
dalam negeri agar dapat dipasarkan dengan skala internasional.
Di Jepang setiap pekerja mengerjakan segala seuatu sesuai dengan
perannya masing-masing, mereka selalu bekerja dalam sebuah tim. Mereka tidak
bekerja secara individu melainkan dalam sebuah tim atau grup (Ann Wan Seng,
2007:24). Mereka tidak bersaing dalam satu tim, namun bekerja bersama-sama
sesuai perannya, dan saling menghargai teman satu tim lainnya.
Karakter lain dari pekerja Jepang adalah kesetiaan dalam satu pekerjaan.
Kesetiaan ini diukur dari pekerja Jepang yang mau mengabdi bekerja seumur
hidup pada suatu perusahaan. Dari kesetiaan ini mereka tidak mengharapkan
jabatan tinggi, kenaikan gaji ataupun pelayanan ekstra yang diberikan perusahaan
sebagai timbal-balik dari kesetiaan itu. Namun ada sebuah nilai lebih dari hidup
yang melakukannya. Rasa kesetiaan ini mengacu pada semangat Bushido seperti
pada kehidupan samurai terdahulu yang sangat setia pada daimyou atau
majikannya.
Selain itu karakter kuat yang tertanam dalam diri pekerja Jepang adalah
semangat kerja tinggi. Mereka selalu bersemangat dalam melakukan suatu
pekerjaan (Ann Wan Seng, 2007:27). Diawali dari sebuah kreatifitas tinggi dan
merancang setiap urutan bekerja, kemudian dalam suatu tim mereka bekerja
dengan penuh semangat dan percaya diri. Rasa semangat itu datang dengan
sendirinya dalam tiap individu pekerja, dengan harapan setiap pekerjaan yang
mereka lakukan dapat berguna bagi perusahaan ataupun bangsanya. Mereka tidak
mau menyia-nyiakan waktu yang ada, setiap waktu luang selalu digunakan untuk
hal positif dengan memunculkan ide-ide baru. Tidak ada waktu untuk bersantai.
Semangat kerja tinggi seperti ini merupakan suatu potensi lebih dari pekerja
Jepang.
2.1.2 Masyarakat Pekerja Jepang Pasca Resesi Ekonomi
Resesi ekonomi di Jepang berlangsung sejak awal tahun 1990an. Ini
ditandai dari runtuhnya harga asset dan deflasi. Pada tahun ini Jepang mengalami
suatu fase yang disebut sebagai "dekade yang hilang". Hal ini disebabkan keadaan
ekonomi keuangan dan pengembangan potensi yang hilang. Penderitaan ekonomi
dan keuangan ini diimbangi dengan ketidakstabilan politik besar (Thomas F.
Cargill 2008:16).
Sejak munculnya permasalahan ekonomi dan politik Jepang yang
permasalahan sosial dalam masyarakat bermunculan. Dampak yang paling
menonjol adalah sistem ketenaga-kerjaan di Jepang yang kemudian berubah. Dari
pengelolaan penerimaan pegawai sampai pengendalian pensiun untuk pegawai
yang telah lama bekerja.
Resesi pada era 1990an mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat,
hal ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Jepang untuk menekan angka
pengeluaran dari pembiayaan gaji pegawai. Pada dasarnya pemberhentian kerja
atau istilah PHK sangat jarang dilakukan oleh perusahaan di Jepang. Selama
seorang pegawai berkelakuan baik, bekerja sesuai prosedur dan mau membaur
dalam lingkungan sosial, sulit bagi sebuah perusahaan untuk mengambil tindakan
PHK pada pegawai tersebut. Sebelum resesi terjadi banyak upaya yang dilakukan
perusahaan untuk menghindari PHK, diantaranya dengan program transfer
pegawai ke perusahaan lain yang masih bernaung dalam satu kelompok
perusahaan atau pada anak perusahaan subkontraktor (Thomas F. Cargill 2008:41).
Namun resesi ekonomi yang berkepanjangan memaksa perusahaan-perusahaan di
Jepang untuk mengambil langkah PHK.
Akibat dari PHK besar-besaran yang terjadi pada massa resesi ekonomi
meningkatkan jumlah pengangguran dan perekonomian Jepang pun seperti jalan
ditempat. Tidak ada kemajuan dan perubahan yang tampak secara signifikan.
Ditambah lagi masalah perpolitikan yang tidak stabil. Membuat keadaan Jepang
semakin suram. Untuk mengatasi hal ini dilakukan beberapa perubahan dalam
ketenaga-kerjaan oleh perusahaan di Jepang. Sistem bekerja seumur hidup dan
tenaga kerja dengan sistem kontrak dan pekerja paruh waktu. Hal ini juga
didukung oleh perubahan hukum ketenaga-kerjaan di Jepang.
Pasca resesi ekonomi jasa tenaga kerja kontrak dan tenaga kerja paruh
waktu meningkat dari segi jumlah. Hal yang kini diharapkan dari sistem tenaga
kerja ini sangat mengutamakan kualitas dari kinerja pekerja. Sebuah survey pada
tahun 2004 yang dilakukan oleh Japan Management Association menemukan
bahwa 83 persen dari 227 perusahaan yang berpartisipasi telah memperkenalkan
sistem manajemen sumber daya manusia berbasis kinerja yang terjadi pada era
pasca-gelembung ekonomi (Blyton 2010:126).
Permasalahan sosial lain dalam bidang ketenga-kerjaan yang kemudian
muncul pasca resesi ekonomi adalah permaslahan gender. Sebelum permasalahan
ekonomi muncul tampak jelas perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan.
Dimana perempuan lebih cenderung memilih menghabiskan waktu untuk
mengurus rumah tangga dan laki-laki yang berperan sebagai pencari nafkah
tunggal dalam sebuah keluarga. Namun pasca resesi ekonomi terdapat perubahan
yang cukup mencolok. Banyak wanita Jepang yang memilih menjalani karir
sebagai pekerja dan tidak sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Begitu juga
yang dilakukan kaum pria, mereka tidak mempermasalahkan untuk meluangkan
sedikit waktu mereka untuk mengurus anak dan masalah rumah tangga. Seperti
yang dikemukakan oleh Blyton (2010:126) :
While gender roles in Ja pa n rema in quite clea rly differentia ted in compa rison to those in ma ny Western countries, they have gra dua lly begun to blur, with women increa singly choosing (or desiring) to pursue ca reers ra ther than be full-time housewives, a nd men displa ying more openness to being involved a t home and with child-ra ising.
Sementara peran gender di Jepang masih cukup jelas dibedakan
dibandingkan
dengan yang dibanyak negara Barat, mereka secara bertahap mulai kabur,
dengan perempuan semakin memilih (atau mendambakan) untuk mengejar
karir daripada menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, dan laki-laki
menampilkan lebih keterbukaan untuk terlibat di rumah dengan
membesarkan anak.
2.2 Pola Pikir Kaum Muda di Jepang Terhadap Pekerjaan
Setiap orang tua di Jepang selalu mengawasi perkembangan pendidikan
anaknya dengan harapan ketika anak mereka berhasil lulus melalui universitas
unggulan, mereka akan memperoleh pekerjaan yang baik pula. Pola pikir ini
menempa kaum muda Jepang menjadi pemuda yang dinamis, penuh semangat dan
bercita-cita tinggi. Pemikiran dan motivasi yang baik yang diberikan oleh orang
tua terhadap anaknya juga mencerminkan dari keberhasilan orang tua mereka
terdahulu. Orang tua yang mau berusaha keras dan giat bekerja akan mewarisi
sifat dan semangat juang yang sama kepada anak-anaknya dikemudian hari.
Sebagian besar kaum muda di Jepang menilai sebuah pekerjaan sebagai
penentu kesuksesan hidup. Mereka memandang kehidupan sarariman atau kaum
pekerja Jeapang sebagai sebuah impian, dengan pola hidup seorang sarariman
yang eksklusif dan penuh tantangan. Pola hidup sarariman sering tergambar
dalam serial drama televisi di Jepang. Maka untuk mewujudkan impian tersebut.
universitas dengan hasil yang cukup memuaskan yang nantinya dapat
mempermudah mereka dalam mencari sebuah pekerjaan.
Kaum muda Jepang sudah sangat terbiasa dengan dunia kerja. Mereka
ditempa di sekolah maupun dari lingkungan keluarga. Orang tua mereka
mengajarkan dan membiasakan diri untuk berpikir bahwa segala sesuatu didapat
dari hasil kerja keras. Seperti kehidupan yang mereka jalani yang merupakan hasil
dari jerih payah orang tua bekerja hingga mampu menghidupi keluarga dan
membiayai pendidikan anak-anaknya. Anak-anak sekolah di Jepang tidak
mendapatkan uang saku ekstra dari orang tua mereka. Jika mereka menginginkan
sesuatu atau ingin membeli suatu barang yang diidam-idamkan, maka mereka
mencari uang saku dengan bekerja paruh waktu dengan bekerja sebagai penjaga
toko, kasir swalayan, pelayan restaurant dan lainnya yang dapat mereka kerjakan
diluar jam belajar di sekolah. Ditambah lagi pendidikan dan pengalaman yang
mereka dapat dilingkungan sekolah yang mengajarkan mereka untuk hiudup
mandiri. Disiplin terhadap waktu diterapkan disemua sekolah di Jepang. Dari
keselurhan proses ini dengan sendirinya menempa pemuda Jepang sebagai
pemuda yang siap untuk bekerja dalam segala kondisi.
2.2.1 Karakteristik Kaum Pekerja Muda Jepang
Kaum pekerja dari kalangan muda Jepang bekerja dengan antusias tinggi.
Mereka bersaing untuk menjadi yang terbaik dalam lingkungan tempat mereka
bekerja. Kaum muda Jepang banyak diberikan kebebasan untuk berkreatifitas,
walaupun pada akhirnya keputusan diambil oleh atasan mereka yang lebih senior
segar yang muncul dari buah pikir mereka. Tidak adanya batasan untuk
berkreatifitas membuat pemuda Jepang menikmati setiap pekerjaan mereka.
Disatu sisi ada sebagian kecil kaum muda Jepang yang berpikir diluar dari
kebiasaan di Jepang pada umumnya. Pada saat mayoritas kaum muda Jepang
berusaha keras dan berjuang keras dalam pekerjaannya, sedang kaum minoritas
kaum muda Jepang malah memilih sebaliknya dengan bersantai menghabiskan
waktu mereka hanya untuk kepentingan pribadi. Mereka tergolong dalam
kelompok “parasite singles” memiliki pola hidup santai dan tidak mau bersaing.
Pada umumnya mereka tinggal menetap bersama orang tua walaupun dalam usia
produktif. Segala kebutuhan mereka secara finansial masih bergantung pada orang
tua. Diperkirakan saat ini jumlah “parasite singles” mencapai lebih dari 10 juta
jiwa (Foljanty-Jost, 2003:84).
Penyebab munculnya “parasite singles” diyakini berasal dari keluarga itu sendiri.
Ada ketakutan dari orang tua bila anaknya gagal dalam menjalani hidup secara
mandiri. Maka orang tua lebih memilih untuk menjaga dan memanjakan
anak-anaknya walaupun si anak sudah memasuki usia produktif.
Gambaran dari “parasite singles” ini tidak menjadi acuan terhadap
karakteristik awal kaum muda Jepang, melainkan adanya sedikit pergeseran pola
hidup dan pikiran sebagian kecil kaum muda Jepang.
2.2.2 Kaum Pekerja Muda Jepang Pasca Resesi Ekonomi
Resesi ekonomi yang melanda Jepang ditahun 1990an merupakan massa
suram bagi pasar tenaga kerja Jepang. Untuk menekan angka pengeluaran dari
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karayawan lama yang dinilai
tidak produktif. Jumlah penggangguran meningkat tajam. Divisi sumberdaya
manusia dari setiap perusahaan merubah sistem ketenaga-kerjaan dengan hanya
mencari tenaga kerja berdasarkan kinerja. Calon pegawai yang ingin melamar
sebagai pegawai tetap diseleksi dengan ketat. Hal ini semakin mempersulit para
pencari kerja dari kaum muda untuk memperoleh pekerjaan yang mereka inginkan.
Besarnya persaingan dalam bursa tenaga kerja, meruntuhkan keyakinan dan
semangat sebagian kaum muda untuk menjadi pegawai tetap dalam sebuah
perusahaan.
Trend dalam mencari pekerjaanpun berubah seiring dampak krisis
ekonomi dan permasalahan politik yang berkepanjangan. Kesulitan mencari
pekerjaan sebagai pegawai tetap dalam sebuah perusahaan, banyak dari kaum
muda Jepang memilih bekerja sebagai pekerja paruh waktu atau pekerja kontrak.
Kemudian dari sini pasar tenaga kerja untuk pekerja kontrak dan pekerja paruh
waktu meningkat tajam.
Pola kerja kontrak dan bekerja paruh waktu kemudian menjadi gaya hidup
kaum muda Jepang. Perusahaan mengambil nilai keuntungan dari hal ini. Dengan
meminimalisir pengeluaran perusahaan dalam pembiayaan perekrutan pegawai
dan biaya pelahatihan magang untuk pegawai baru. Dari sudut pandang kaum
muda pekerja Jepang cara ini dirasa cukup efektif untuk mencari pekerjaan. Bagi
pekerja paruh waktu, adanya waktu luang yang tersisa setelah bekerja kemudian
dimanfaatkan untuk hal lain. Yang biasa dilakukan adalah dengan menghabiskan
bermain di game center atau sekedar berkumpul dengan teman-teman di bar-bar
yang menyediakan fasilitas karaoke.
2.3 Pasar Tenaga Kerja di Jepang
Sejak krisis ekonomi pada era 1990an berlangsung di Jepang, terdapat
perubahan signifikan dari bidang ekonomi salah satu diantaranya dari sisi
ketenaga kerjaan yaitu tingkat pengangguran meningkat, pergeseran struktur pasar
tenaga kerja dari pekerjaan seumur hidup ke dalam pekerjaan paruh waktu dan
kerja jangka pendek (Ishida & Slater, 2010:7). Perubahan ini didasari oleh
keputusan perusahaan untuk mengurangi jumlah pengeluaran dalam segi
perekrutan, dimana kelompok pekerja tetap lebih banyak menelan biaya dari segi
perekrutan hingga massa pensiun.
Pada umumnya tenaga kerja paruh waktu dan pekerja kontrak berasal dari
kaum muda Jepang dari lulusan sekolah atau universitas diranking menengah
kebawah. Ada sebuah strata sosial dalam masyarakat Jepang yang membedakan
kelas pekerja dari universitas unggulan dan universitas non-unggulan. Setiap
mahasiswa lulusan universitas unggulan biasanya mendapat kemudahan untuk
mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan gaji dan tunjangan kerja yang cukup
memuaskan, sementara mahasiswa lulusan universitas kelas menengah kebawah
dan non-unggulan kalah bersaing dengan mahasiswa lulusan unviversitas
unggulan, kemudian mereka masuk kedalam golongan pekerja kontrak dan paruh
waktu.
Krisis ekonomi berkepanjangan dan ketidak stabilan perekonomian Jepang,
Dengan tujuan mengembalikan perekonomian Jepang dalam massa kejayaan
dalam daya saing industri dan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban
karyawan dalam sebuah perusahaan. Serta pengaturan jasa tenaga kerja pada
perusahaan penyalur tenaga kerja ( Mouer & Kawanishi, 2005:111).
2.3.1 Peluang Bekerja di Jepang
Walau Jepang terpuruk dalam krisis ekonomi yang cukup lama, namun
pasar tenaga kerja di Jepang cukup menjanjikan, sebagian dikarenakan perubahan
sistem perekerutan tenaga kerja perusahaan-perusahaan di Jepang dan beberapa
penyebab lain yang satu diantaranya diakibatkan dari daya saing perusahaan
Jepang dengan beberapa kompetitor dari negara-negara lain.
Sebagian besar orang Jepang memfokuskan diri untuk bersaing
memperoleh pekerjaan yang difavoritkan. Lulusan dari setiap universitas
mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk lulus dengan hasil yang baik
dan mendapat pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan. Menjadi bagian dari
sebuah perusahaan terbaik merupakan gengsi tersendiri bagi orang Jepang.
Persaingan yang cukup tinggi untuk memperoleh pekerjaan dan berusaha
menghindari jatuhnya posisi jabatan dalam perusahaan merupakan gambaran dari
situasi peluang bekerja Jepang saat ini ( Mouer & Kawanishi, 2005:99).
Kompetisi persaingan untuk mendapatkan peluang bekerja di perusahaan
bonafid dimulai sejak sekolah menengah, mempersiapkan diri untuk masuk
universitas ungulan dilakukan dengan cara yang keras, ujian masuk universitas
yang harus dilalui terlebih dahulu merupakan jalan yang cukup sulit dan berat.
untuk dapat lulus ujian. Ada anggapan dari mereka jika berhasil lulus kesebuah
universitas unggulan walaupun dilalui dengan perjuangan keras, namun setelah
masuk kedalam dan menjadi bagian dari universitas tersebut maka dengan
sendirinya ketika lulus dari universitas tersebut mereka akan mendapat pekerjaan
yang baik pula.
Resesi ekonomi yang melanda Jepang merubah sebagian tatanan pola
hidup orang Jepang, tidak terkecuali pada perusahaan Jepang yang merasakan
imbas dari resesi ekonomi secara langsung. Kebiasaan lama tentang pandangan
bekerja dan pekerjaanpun berubah. Gaya hidup sarariiman atau pekerja Jepang
berubah. Perusahaan-perusahaan di Jepang mulai mengurangi jumlah pegawai
tetap. Perusahaan kini lebih menatap pada sisi efektifitas dan kinerja karyawan,
merekapun mempekerjakan karyawan dengan sistem kontrak atau merekrut
beberapa pekerja paruh waktu. Dari sini pasar tenaga kerja sebagai pekerja
kontrak pun meningkat drastis. Peluang untuk bekerja pada sebuah perusahaan
semakin besar. Karena berkurangnya nilai lama etika bekerja perusahaan yang
memandang senioritas dan mengabdi seumur hidup pada perusahaan sudah tidak
dapat dipertahankan lagi. Kini pola baru yang muncul adalah merekrut pegawai
sesuai dengan apa yang dibutuhkan dari tiap divisi dalam sebuah perusahaan.
Hingga banyak peluang pekerjaan tercipta yang tidak menutup kemungkinan bagi
setiap orang Jepang untuk dapat bekerja dalam sebuah perusahaan besar dengan
merujuk pada skill dan kinerja yang dimiliki oleh seorang pegawai itu sendiri.
Dalam hal ini persaingan untuk menempati posisi sebagai pekerja tetap semakin
karena perusahaan hanya memilih orang-orang yang tepat untuk mengisi tempat
sebagai pekerja tetap.
2.3.2 Klasifikasi Gender Dalam Pekerjaan
Bangsa Jepang memiliki pandangan tersendiri terhadap persamaan gender.
Terdapat pembeda yang cukup jauh antara kesamaan hak dan kewajiban didalam
komunitas masyarakat Jepang terhadap kaum laki-laki dan perempuan.
Perempuan Jepang dianggap sebagai kaum yang lemah yang hanya mengurusi
urusan rumah tangga. Perlakuan ini terlihat seperti tidak memperbolehkan
perempuan mengerjakan pekerjaan laki-laki, tidak boleh ikut dalam berperang
atau mengerjakan pekerjaan kasar yang biasa dilakukan kaum pria. Hal ini
tergambar dalam pepatah konfusianisme bahwa perempuan muda harus menuruti
perintah ayahnya, perempuan dewasa menuruti suaminya, perempuan tua merawat
anaknya (Reischauer, 1977:175).
Diskriminasi dalam pekerjaan tampak jelas bagi wanita Jepang. Mereka
hanya diberikan waktu sedikit untuk bekerja diluar rumah. Urusan rumah tangga
mengurus anak dan lainnya merupakan hal yang utama yang dibebankan pada
kaum wanita Jepang. Hal ini membuat wanita Jepang semakin tertekan, hingga
pada saat ini banyak dari wanita Jepang yang memutuskan untuk meniti karir
terlebih dahulu dari pada memilih untuk menikah. Karena jika mereka sudah
menikah, maka mereka tidak dapat menekuni karir dan hanya bergelut dalam
rumah tangga, mengurusi anak dan suami.
Perubahan organisasi industri ditahun 1970-an dan 1980-an, terutama
perluasan industri jasa, memberikan kesempatan lebih banyak pekerjaan bagi
Jepang dimana mereka mulai mendapatkan hak unutuk bekerja dan memulai diri
unutuk meniti karir. Walaupun pandangan awal bangsa Jepang terhadap
perempuan tidak banyak berubah khususnya bagi perempuan yang sudah menikah,
mereka tetap harus memprioritaskan rumah tangga dari pada pekerjaan.
Kebiasaan ini terlihat dari jarangnya ibu rumah tangga Jepang yang menghabiskan
waktu untuk bersantai. Waktu yang tersisa setelah selesai bekerja akan selalu
digunakan untuk kepentingan dalam rumah tangga, seperti mengurus rumah dan
BAB III
FENOMENA F REETER PADA MASYARAKAT JEPANG
3.1 Awal Mula Kemunculan F reeter
Freeter merupakan sebuah fenomena di Jepang yang muncul diera tahun 1980an.
Freeter atau dalam bahasa Jepang biasa disebut furiitaa merupakan penggabungan dari
dua bahasa asing berbeda yaitu “free” dalam bahasa Inggris yang berarti “bebas” dan
kata “arbeiter” dalam bahasa Jerman yang berarti “pekerja’. Freeter menggambarkan
sebuah situasi dimana seseorang dalam usia produktifnya memilih bekerja sebagai
pekerja paruh waktu dan tidak menetap dalam sebuah pekerjaan dalam waktu lama.
Golongan freeter ini diantaranya meliputi mereka yang bekerja sebagai paruh waktu atau
karyawan sementara, mereka yang menganggur dan mencari pekerjaan paruh waktu atau
pekerjaan sementara, dan bagi mereka yang tidak aktif (dengan alasan selain rumah
tangga) dan bersedia untuk menerima bekerja paruh waktu atau bekerja sementara
(OECD, 2009:55).
Istilah freeter muncul pertamakali di era tahun 1980an sejak munculnya
gelembung ekonomi di Jepang. Meningkatnya permintaan tenaga kerja paruh waktu
membuat jumlah freeter semakin bertambah dari waktu ke waktu. Istilah freeter mengacu
pada orang-orang dalam usia produktif antara 15-35 tahun selain ibu rumah tangga, yang
tidak secara aktif mencari pekerjaan dan keinginan tersendiri bagi mereka yang tidak
ingin menjadi pegawai tetap dalam sebuah perusahaan. Freeter tidak hanya datang dari
mereka yang tidak memiliki kemampuan atau keterampilan khusus dalam suatu bidang
namun juga muncul dari lulusan sekolah maupun universitas. Pilihan menjadi freeter
sebagian dianggap sebagai gaya hidup yang bebas dan mudah didukung oleh pekerjaan
kasual dengan pendapatan tidak lebih dari 800 yen perjam (Foljanty-Jost, 2003:83).
di Jepang dan beberapa permasalahan sosial dalam lingkup masyarakat Jepang. Berikut
penulis akan mencoba menguraikan berbagai sumber permasalahan yang menyebabkan
munculnya freeter dari sisi ketenaga kerjaan dan kehidupan sosial dalam masyarakat
Jepang.
Dimulai dari sistem ketenaga kerjaan di Jepang yang disadari sebagai salah satu
penyebab utama munculnya fenomena freeter. Ada beberapa sistem yang pada awalnya
sudah menjadi tradisi ditiap-tiap perusahaan Jepang seperti senioritas dan mengabdi
seumur hidup dalam sebuah perusahaan. Sebagai contoh dari sistem tradisi senioritas dan
mengabdi seumur hidup seperti, reward yang didapatkan oleh setiap karyawan dalam
perusahaan tidak dinilai dari kinerja yang mereka perbuat melainkan dari berapa lama
mereka mengabdi dalam perusahaan tersebut. Seorang karyawan tidak dapat dengan
mudahnya menaiki posisi jabatan lebih tinggi lagi jika masih ada karyawan lain yang
masa pengabdiannya lebih lama. Dari sistem ini disadari mengakibatkan menurunnya
daya saing antar karyawan untuk berkembang lebih baik.
Ketika gelembung ekonomi di Jepang muncul diiringi dengan resesi ekonomi
yang berkepanjangan memaksa perusahaan-perusahaan Jepang untuk merubah sistem
kerja berdasar tradisi senioritas dan mengabdi seumur hidup, yang dianggap sebagai
penghambat dari kemajuan sebuah perusahaan menjadi sistem kerja yang berdasarkan
kinerja dan kemampuan karyawan. Hal ini menyebabkan jumlah pemutusan hubungan
kerja meningkat. Pekerja diusia non-produktif yang dianggap tidak mampu berkontribusi
besar pada perusahaan dikurangi dengan PHK, sementara bagi pekerja muda yang tidak
berkembang akan dipindahkan keperusahaan lain yang merupakan bagian dari perusahaan
korporasi ataupun anak perusahaan. Dari sini angka pengangguran semakin meningkat,
namun dilain pihak permintaan atas tenaga kerja baru meningkat untuk mengisi
kekosongan dari posisi yang ditinggalkan oleh pekerja terdahulu. Kemudian muncul
sebuah sistem baru perekrutan pegawai yang bekerja berdasar kontrak kerja tahunan dan
perusahaan. Para pekerja dengan sistem baru ini kemudian masuk kedalam golongan
freeter, dimana mereka bekerja secara paruh waktu dan tidak menetap dengan
berpindah-pindah pekerjaan setelah masa periode kontrak berkahir.
Sementara dari sudut pandang sosial masyarakat kemunculan freeter dilandasi
dari pemikirna kaum muda Jepang yang seiring berubah. Mereka melihat kebelakang dari
apa yang orang tua mereka peroleh saat bekerja menjadi pegawai tetap dan mengabdi
seumur hidup bagi perusahaan. Orang tua mereka tidak mendapatkan reward seperti
bonus ataupun kemakmuran ekonomi keluarga setelah pensiun, selain pengakuan dan
penghargaan diri sebagai pekerja yang baik dan setia yang diberi oleh perusahaan.
Mereka menilai apa yang dilakukan oleh orang tua mereka terdahulu merupakan hal yang
sia-sia, bekerja meluangkan waktu secara totalitas, lebih mementingkan perusahaan dari
pada keluarga namun tidak mendapatkan hasil yang lebih baik setelahnya. Dari sini
mereka kemudian beralih dengan hanya memilih bekerja sebagai freeter. Mereka
menganggap jika bekerja sebagai freeter mereka memiliki waktu luang lebih untuk diri
mereka, disamping itu pula tidak adanya ikatan kerja yang membebani mereka untuk
bekerja secara totalitas dan bekerja ekstra keras. Pemikiran yang sama kemudian muncul
dari kaum intelektual seperti lulusan dari universitas yang jauh hari mempersiapkan diri
untuk menjadi freeter. Pengamatan ini didukung oleh hasil survei terhadap lulusan
sekolah tinggi Tokyo Metropolitan, yang menunjukkan bahwa 20% dari lulusan mereka
berkeinginan untuk menjadi freeter. Yang disertai oleh pemikiran dan keyakinan pemuda
Jepang, misalnya "saya tidak ingin melakukan pekerjaan yang tidak saya sukai", "saya
bisa hidup tanpa harus pekerjaan yang mapan hari ini" atau "saya ingin memberikan
prioritas kepada apa yang ingin saya lakukan, bukan dari kerja ketika saya masih muda"
(Foljanty-Jost, 2003:83).
Masalah sosial dalam lingkungan kaum muda Jepang turut mempengaruhi pilihan
hidup mandiri jauh dari orang tua, keinginan untuk bebas dan tidak memiliki keterikatan
dalam pekerjaan dan krisis kepercayaan diri untuk mampu bersaing dengan orang lain.
Kaum pekerja tidak tetap terkadang juga dianggap sebagai bagian dari freeter
namun ada perbedaan mendasar antara pekerja tidak tetap dan freeter. Berikut
penggolongan freeter berdasarkan riset yang dilakukan oleh lembaga survey OECD pada
tahun 2006 :
1. Mereka yang menikah bagi wanita berusia 25-34 yang merupakan pekerja tidak
tetap
2. Siswa sekoolah yang bekerja tidak tetap (1,1 juta untuk kelompok usia 15-34
pada tahun 2006)
3. Laki-laki pekerja tidak tetap selain paruh waktu dan temporer (seperti agen
tenaga kerja sementara dan pekerja kontrak, berjumlah sekitar 0,9 juta pada tahun
2006)
4. Orang-orang yang tidak bekerja namun termasuk dalam kategori freeter
Diagram di bawah ini menunjukkan angka pertumbuhan freeter dan pekerja tidak
Gambar diagram 3.1.a (jumlah dalam hitungan -juta)
(Sumber: Ministry of Internal Affairs and Communications (MIC), (badan survey khusus
mengenai ketenaga kerjaan) sampai pada 2001; dan Survei Angkatan Kerja (tabulasi
rinci) sejak 2002, (OECD, 2009:56) ).
Singkatnya, freeter dapat dipertimbangkan untuk masuk dalam kategori pekerja
tidak tetap serta beberapa pemuda yang tidak bekerja yang bersedia untuk bekerja sebagai
pekerja tidak tetap. Dari gambar diagram 3.1.a di atas dapat terlihat peningkatan jumlah
freeter yang sudah menembus angka dua juta ditahun 2002 dan kemudian berangsur
menurun menuju tahun 2006, ini disebabkan dari adanya perubahan dalam sumber data
tahun 2002, hasil dari perbedaan seperti metode survei dan periode referensi.
Sejak awal gelembung ekonomi dimulai hingga masa resesi yang berkepanjangan
menyebabkan meningkatnya jumlah freeter, berikut diagram peningkatan jumlah freeter
berdasarkan studi The Japan Institute of Labor pada tahun 2001 (Mouer & Kawanishi,
2005:124) :
T
abel 3.1.b Jumlah freeter pada bulan Agustus 2000
Kemunculan freeter sudah dirasakan sejak tahun 1982 dengan angka 500.000
jiwa, 790.000 pada tahun 1987 dan meningkat hingga satu juta jiwa lebih pada tahun
1992, hingga tahun 2000 diperkirakan jumlah freeter mencapai 1.930.000 jiwa lebih.
Usia Pria Wanita
(belum menikah)
Total
(x 10.000)
15–24 45 53 98
25–34 38 57 95
Table 3.1.b diatas menunjukkan jumlah dan kategori freeter berdasarkan usia dan gender
juga termsauk pria yang sudah menikah (Mouer & Kawanishi, 2005:123).
3.1.1 Pergeseran Pola Pikir Kaum Muda Jepang Terhadap Etos Kerja
Pasca perang dunia kedua berakhir Jepang dapat kembali bangkit dari
keterpurukan dengan cepat. Hingga pada dekade 1970an Jepang berhasil masuk dalam
persaingan dunia dari segala bidang diantaranya bidang ekonomi. Jepang terlihat begitu
menonjol dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia. Kebangkitan Jepang yang
begitu cepat ini tidak luput dari pemikiran dan semangat orang Jepang yang ingin keluar
dari zona keterpurukan pasca perang dunia kedua. Namun semua keberhasilan yang
mereka peroleh dalam kemajuan bidang ekonomi tidak diraih dengan mudah. Semua
didapat dari hasil perjuangan keras dan giat masyarakat JEpang untuk mengembalikan
harga diri bangsa. Segala kesenangan, kemewahan dan kekayaan negara didapat dari hasil
disiplin ketat, usaha tanpa kenal lelah, dan semangat kerja keras yang telah diwarisi
turun-temurun oleh pendahulu mereka sebelumnya (Ann Wan Seng, 2006:8).
Terdapat banyak pola pikir orang Jepang untuk maju yang diwarisi oleh pola
pikir orang Jepang terdahulu. Seperti terlihat semangat kerja tinggi, disiplin dan loyalitas
tinggi yang merupakan aplikasi dari semangat juang bushido pada era samurai. Walaupun
pada jaman modern ini samurai sudah tidak ditemukan namun semangat juang hidup
mereka masih tertanam dalam masing-masing orang Jepang hingga saat ini. Pola pikir
dan semangat bushido umumnya diterapkan pada setiap pekerja Jepang. Ini terlihat dari
keuletan, disiplin kerja dan loyalitas para pekerja dalam tiap-tiap perusahaan Jepang.
Setiap apa yang menjadi ketentuan dalam dalam perusahaan tidak pernah dilanggar,
bahkan mereka dapat bekerja dengan lebih banyak menghabiskan waktu bagi
perusahaannya dari pada keluarga. Apa yang menjadi permasalahan perusahaan
merupakan permasalahan yang dipikul bersama oleh setiap pekerja. Dalam hidup mereka
dipandang dalam lingkungan mereka. Mereka selalu memberikan yang terbaik untuk
perusahaan dimana mereka bekerja. Mereka bekerja melebihi batas waktu yang
ditentukan dari 8 jam bekerja menjadi 12 jam bekerja dalam satu hari. Mereka rela kerja
lembur walaupun tidak mendapatkan gaji ekstra dari hasil lembur mereka. Semata-mata
hanya untuk memajukan perusahaan. Akibat dari hal ini tidak jarang dari pekerja Jepang
ditemui dalam keadaan stress berat dengan tekanan mental yang memuncak hingga
menyebabkan kematian. Fenomena ini disebut sebagai karoshi, yaitu kematian yang
diakibatkan karena terlalu banyak bekerja. Diantara yang menyebabkan munculnya
ka roshi adalah stress berlebihan karena tuntutan bekerja sepanjang hari dalam satu
minggu, dengan jumlah jam kerja yang banyak namun penghasilan yang mereka peroleh
tidak sebanding dengan apa yang mereka perbuat kemudian menjadi beban mental yang
berat hingga akhirnya jatuh sakit dan mati (Pujiastuti 2007:42). Walaupun tanpa ada
paksaan dari perusahaan namun sebagian dari para pekerja Jepang masih
mengaplikasikan hal ini sebagai kebanggaan dan kepuasan tersendiri apabila berhasil
mengangkat harkat dan martabat perusahaan.
Namun sejak terjadinya gelembung ekonomi yang diikuti dengan resesi
ekonomi di Jepang pada akhir tahun 1980an mengakibatkan struktur kerja di
perusahan-perushaan Jepang bergeser dengan mengikuti pola ekonomi neo-liberal yang terjadi
diseluruh dunia. Perubahan permintaan tenaga kerja diperkuat oleh strategi perusahaan
yang dirancang untuk mempertahankan margin keuntungan selama menghadapi masa
kesulitan ekonomi (Ishida & Slater, 2010:162). Hal ini kemudian memunculkan
kepanikan bagi para pekerja Jepang karena banyak perusahaan beralih merekrut pekerja
paruh waktu. Dengan kemungkinan adanya pemutusan hubungan kerja secara massal atau
transfer pekerja ke perusahaan lain.
Sementara itu banyaknya permintaan bagi pekerja paruh waktu memberikan
tetap bagi fresh graduate dari SMU ataupun Universitas semakin kecil, dikarenakan
keputusan perusahaan-perusahaan Jepang yang memilih mengurangi pengeluaran
perusahaan dalam perekrutan pegawai tetap dan memilih pekerja paruh waktu dengan
alas an pengendalian resesi ekonomi.
Salah satu sudut pandang dari hal ini terfokus pada kaum muda yang kemudian
lebih memilih untuk keluar dari pandangan pekerja tetap dengan beralih menjadi pekerja
paruh waktu. Muncul pemikiran dari kaum muda Jepang untuk tidak mengikuti apa yang
orang tua mereka perbuat bagi perusahaannya. Sebagian kaum muda Jepang memandang
bekerja sebagai pekerja tetap dengan bekerja keras dan loyal terhadap perusahaan dimana
tempat mereka bekerja, hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga. Seperti orang tua
mereka terdahulu saat bekerja keras mengorbankan seluruh waktu dan kesenangan
pribadi untuk memulihkan perekonomian Jepang pasca perang dunia kedua, dengan kerja
mengabdi seumur hidup dan penuh totalitas pada perusahaan, namun tidak mendapatkan
gaji yang setimpal dari apa yang telah diberikan. Beragam spekulasi muncul mengenai
pergeseran pola pikir kaum muda Jepang, sebagian menilai pilihan menjadi pekerja paruh
waktu muncul karena adanya keinginan kuat dari pemuda Jepang untuk hidup bebas
tanpa tekanan dan mencari kesenangan diri sendiri semata-mata dilakukan untuk
mengejar mimpi sendiri dan bukan impian perusahaan. Disaat pemikiran terhadap pekerja
paruh waktu dimunculkan untuk menanggulangi permasalahan resesi ekonomi dan
fleksibilitas dunia ketenaga kerjaan di Jepang, pekerja paruh waktu kemudian berubah
sebagai gaya hidup baru kaum muda Jepang. Dengan anggapan dari pemuda Jepang
bahwa tidak ada pelajaran penting yang dapat diperoleh dari bekerja sebagai pekerja tetap
dengan pengorbanan dan tanggung jawab kolektif (dalam kehidupan berkelompok) yang
diperlukan untuk membuat mereka
bertanggung jawab dalam lingkungan sosial masyarakat Jepang dewasa. Apa yang
dilakukan penuda Jepang saat ini berbeda jauh dengan para pendahulu mereka. Hingga
pekerja paruh waktu dirasakan tidak memeluk etos kerja Jepang (Ishida & Slater,
2010:162).
3.1.2 Dampak F reeter Terhadap Lingkungan Pekerjaan
Seiring bentuk perubahan dalam perekrutan tenaga kerja pada perusahaan
Jepang yang lebih memilih pekerja tidak tetap dalam perusahaannya mengakibatkan
timbulnya berbagai permasalahan sosial dalam lingkungan pekerjaan. Freeter yang juga
termasuk kedalam golongan pekerja tidak tetap juga tidak terlepas dalam mengalami
suatu permasalahan dalam lingkungan kerja. Berbagai permasalahan sosial yang timbul
diantaranya meliputi kesenjangan sosial antara pekerja tetap dan karyawan konrak atau
pekerja tidak tetap. Pekerja tidak tetap mendapatkan upah yang lebih sedikit
dibandingkan pekerja tetap juga kurangnya jaminan kesehetan dan tunjangan setelah
habis masa kontrak. Ketidak samaan penghasilan antara pekerja tetap dengan pekerja
tidak tetap membuat kesenjangan kehidupan dalam pekerjaan semakin terlihat jelas
Gambar 3.1.2.a : Perbedaan gaji pekerja tetap dan pekerja tidak tetap rata-rata
perjam. Sumber : The Labor Market Policy Research Commission (2005) (Cargill
& Sakamoto, 2008:249).
Ditambah lagi dengan pola pikir pekerja tidak tetap yang datang dari golongan
freeter dimana terdapat kurangnya tingkat persaingan dan hanya berpikir untuk
memajukan kehidupannya sendiri daripada memajukan kepentingan perusahaan,
menimbulkan permasalahan tersendiri dalam dunia bekerja. Seperti tidak adanya daya
saing antar pekerja untuk mencapai target yang ditetapkan perusahaan.
Umumnya diperusahaan Jepang saat ini masih mempertahankan pekerja inti
mereka sebagai pekerja seumur hidup dengan mendapatkan tunjangan dan fasilitas yang
sepadan dari perusahaan. Pekerja inti ini meliputi tingkat manajer dan jabatan tinggi
diatas pekerja biasa. Pekerja seumur hidup masih menjadi tolak ukur kesuksesan seorang
pekerja di Jepang. Hal ini terlihat dari kecukupan yang mereka dapatkan secara finansial,
bonus gaji, tunjangan kesehatan dan jaminan sosial (Cargill & Sakamoto, 2008:246).
Walaupun permintaan akan tenaga kerja tidak tetap baik dari golongan freeter
maupun pekerja kontrak meningkat, namun langkah ini semata-mata diambil untuk
menanggulangi permasalahan perusahaan dari segi penghematan biaya pengeluaran.
Tidak dipungkiri jika resesi ekonomi Jepang yang berlangsung lama turut mempengaruhi
perubahan restrukturisasi perusahaan dalam ketenaga kerjaan.
3.2 Kehidupan Sosial F reeter
Freeter merupakan bagian dari masyarakat Jepang yang datang dari golongan
muda berusia 15 hingga 34 tahun. Keputusan sebagian kaum muda Jepang untuk memilih
hidup sebagai freeter dilandasi pemikiran akan kebebasan. Kebebasan dalam menentukan
mengabdi dalam sebuah perusahaan menjadi pandangan hidup baru bagi kaum muda
Jepang.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi pemilihan kaum muda untuk menjadi
freeter diantaranya keluarga, pendidikan dan pasar tenaga kerja (Honda, 2005:12). Dari
segi keluarga faktor pemikiran dan kemampuan finansial orang tua dalam keluarga sangat
mempengaruhi masa depan dari anak mereka. Permasalahan yang sering muncul ketika
orang tua dalam hal ini ayah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga menghadapi
permasalahan PHK, pemotongan gaji, sakit ataupun kematian secara langsung
mempengaruhi finansial keluarga sampai berimbas pada ketidak mampuan mereka untuk
membiayai pendidikan anak. Anak-anak merekapun terpaksa harus putus sekolah dan
membantu perekonomian keluarga dengan bekerja paruh waktu hingga menghadapi
pilihan sebagai freeter.
Disamping itu terdapat pula sebagian pola pikir orang tua di Jepang yang tidak
memberikan motivasi yang baik bagi anak-anak mereka. Orang tua yang pada masa
mudanya juga menghadapi permasalahan yang sama dengan tidak mendapatkan
pekerjaan yang baik berimbas pada anak-anak mereka. Tidak jarang ditemui sebagian
dari orang tua yang menginginkan anaknya untuk berpikir realistis terhadap masa depan
mereka dengan membandingkan kemampuan finansial keluarga hingga anak-anak mereka
terpaksa harus putus sekolah dan beralih mencari pekerjaan.
Permasalahan lain datang dari segi pendidikan. Beberapa contoh seputar
permasalahan pendidikan antara lain kurangnya informasi tentang universitas di kota bagi
siswa sekolah menengah yang berasal dari daerah yang berjarak cukup jauh dari
universitas tujuan. Terkadang jurusan dan spesifikasi kejuruan yang telah diambil tidak
mewakili apa yang mereka inginkan hingga banyak dari mahasiswa yang kemudian tidak
mau melanjutkan studi lebih jauh lahi. Kegagalan dipertengahan jalan ini menggiring
Sebagian permasalahan seputar pendidikan juga datang dari para guru di sekolah
menengah atas. Para guru di sekolah umumnya mengarahkan siswa untuk menggali
potensi akademik agar lebih unggul dan dapat bekerja di sebuah perusahaan sesuai
dengan kemampuan yang mereka miliki. Juga kecendurungan para guru yang
mengarahkan para siswanya untuk masuk ke sebuah universitas tertentu yang
difavoritkan.