• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin Di Jepang Dewasa Ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin Di Jepang Dewasa Ini"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Satu hal yang dunia sadari saat berbicara tentang kehidupan sosial

masyarakat Jepang adalah tentang homogenitas. Menurut hasil penelitian

Columbia University, bahwa konsep sosial-kultural homogen ini telah dicitrakan

oleh publik figur Jepang sendiri. Masyarakat Jepang pada umumnya pun sepakat

dengan pemikiran bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat homogen yang

memilki identitas nasional yang kuat, bahkan hanya sedikit memilki perbedaan

etnis atau ras. Pada umumnya dikatakan tidak memiliki keragaman etnis atau ras.

Pengakuan atas rasa homogen ini tentu menutup kemungkinan adanya

etnis-etnis lain yang hidup dalam masyarakat Jepang. Meskipun sedikit, Jepang

bukannya tidak memiliki perbedaan etnis dalam masyarakatnya. Ada beberapa

etnis seperti ketururnan Korea di Jepang, Ainu di Hokkaido, serta Burakumin yang tersebar di seluruh Jepang. Sehingga bisa dikatakan beberapa etnis tersebut

merupakan masyarakat minoritas.

Namun, homogenitas yang terkandung dalam masyarakat Jepang

menjadikannya alasan utama atas terjadinya penghindaran terhadap pembahasan

tentang diskriminasi terhadap kaum minoritas di Jepang.

Dari ketiga etnis yang berbeda yang telah disebutkan tadi, peneliti hanya

akan membahas satu diantaranya yaitu kaum Burakumin. Burakumin merupakan kelompok minoritas yang jumlahnya cukup besar dibanding etnis berbeda lainnya.

Burakumin (部落民) berasal dari kata buraku (desa) dan min (penduduk). Secara

(2)

Yang mana penduduk desa ini merupakan gabungan dari orang-orang terbuang

terutama Eta dan Hinin. Dimana kaum ini memiliki pemukiman yang terpisah dari kasta lain saat jepang masih menganut sistem feodal.

Kaum burakumin merupakan masyarakat terbuang pada zaman feodal.

Burakumin tidak masuk dalam kasta manapun dari empat kasta yang ada di zaman Tokugawa.Yaitu terdiri dari orang-orang memilki jenis pekerjaan yang dianggap

kotor oleh masyarakat Jepang pada masa itu. Pengkategorian jenis pekerjaan kotor

ini berhubungan dengan kepercayaan asli masyarakat Jepang yaitu ajaran Shinto

dan Budha. Dikatakan bahwa jenis pekerjaan yang berhubungan dengan kematian

dan darah, menguliti hewan, tukang jagal hewan, kremator dan penjaga makam

merupakan pekerjaan kotor dan tidak baik.

Burakumin yang pada dasarnya tidak memiliki perbedaan ras, etnis , dan

linguistik diharuskan menempati wilayah khusus dan memakai pakaian khas yang

berguna sebagai penanda status sosial mereka.

Istilah Burakumin ini telah dihapuskan secara legal saat Jepang masuk di

Era Restorasi Meiji pada 1896. Sejak itu dikeluarkan dekrit bahwa semua kaum di

Jepang harus diperlakukan sama seperti masyarakat pada umumnya. Namun

secara nyata hal ini tidak benar-benar terjadi pada Burakumin.

Steriotif terhadap kaum ini susah dihilangkan. Burakumin tetap bekerja pada bidang pekerjaan yang tidak bersih. Masyarakat Jepang belum sepenuhnya

menerima kaum buangan ini masuk kedalam masyarakat pada umumnya. Meski

(3)

Hal ini ternyata masih berlaku di Jepang hingga dewasa ini. Menurut

Teraki (1997:99), dari sejak munculnya dekrit pembebasan di jaman Meiji hingga

hampir tahun 2000 burakumin masih mengalamai diskriminasi meski tidak separah masa lalu. Menurut survey oleh Agen Manajemen dan Koordinasi tahun

1993, dari daerah buraku di 36 prefektur menunjukkan bahwa 33,2% responden

mengalami perlakuan tidak menyenangkan hanya karena mereka tinggal di daerah

yang dulu didiami oleh burakumin. Diskriminasi di bidang pernikahan mencapai 24,2%, kehidupan masyarakat 23,6 %, pekerjaan 21,2%, dan kehidupan sekolah

16,3%.

Pendiskriminasian terhadap masyarakat burakumin seperti yang telah diuraikan di atas menarik untuk dibahas sehingga penulis membahasnya dalam

bentuk skripsi dengan judul “Diskriminasi Terhadap Masyarakat Burakumin

di Jepang Dewasa Ini”

1.2 Perumusan Masalah

Berbicara tentang kaum yang terdiskriminasikan dalam konsep masyarakat

yang dikenal homogen merupakan suatu topik yang menarik. Masyarakat Jepang

pada umumnya sepakat dengan pemikiran bahwa masyarakat Jepang adalah

masyarakat homogen yang memilki identitas nasional yang kuat, bahkan hanya

sedikit memilki perbedaan etnis atau ras.

Seiring dengan munculnya semangat Era Restorasi Meiji, kaum burakumin

pun dibebaskan dari diskriminasi. Namun, hal ini belum berjalan sepenuhnya.

Salah satu kaum minoritas terbesar di Jepang ini masih disoroti oleh beberapa

(4)

Jepang dewasa ini meliputi beberapa aspek kehidupan seperti jenis pekerjaan,

hubungan sosial dengan masyarakat lain, serta hubungan pernikahan.

Meskipun saat ini keturunan burakumin bisa bekerja dimana saja, namun posisi jabatan yang tinggi tidak bisa mereka duduki. Demikian juga

pendiskriminasian dalam hal pernikahan. Yang paling toleran adalah wilayah

Kansai (kecuali Osaka, Kyoto, Hyogo, dan Hiroshima). Keluarga kolot tidak

memperbolehkan anak mereka menikah dengan keturunan burakumin. Mereka bisa saja menyewa jasa penyelidikan asal-usul untuk mengetahui asal-usul calon

menantu mereka. Di Jepang penyelidikan seperti ini adalah hal biasa, walau

sekarang adalah hal ilegal. Di Kansai saat ini 60%-80% keturunan burakumin

menikah dengan non-burakumin, pada tahun 1960an hanya 10%.

Sementara itu di Osaka, Kyoto, Hyogo dan Hiroshima, stigma masih ada.

Burakumin dianggap biang kemelaratan, pengangguran dan kriminal. Cap ini diperkuat dengan adanya pandangan negatif tentang Yakuza yang ternyata

memiliki hubungan erat dengan masyarakat burakumin. Menurut David E. Kaplan dan Alec Dubro dalam bukunya Yakuza: The Explosive Account of Japan's

Criminal Underworld (Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Co.,

1986 anggota Yamaguchi-gumi atau Yakuza terbesar 70% nya adalah burakumin. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian akan merumuskan masalah

dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana sejarah masyarakat Burakumin di Jepang?

(5)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas sebelumnya, maka

penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan.

Hal ini dilakukan agar masalah tidak menjadi terlalu luas sehingga penulis dapat

lebih terfokus dan terarah dalam pembahasan terhadap masalah.

Pembahasan dalam penelitian ini akan dimulai dengan sejarah munculnya

pembuangan kelompok masyarakat ke dalam suatu pemukiman khusus yang

kemudian dikenal dengan nama Burakumin. Selanjutnya pembahasan akan lebih difokuskan pada pendiskriminasian terhadap masyarakat burakumin dalam kehidupan sehari-hari.

Pembuangan kelompok masyarakat ini memiliki keterkaitan dengan Agama

Shinto yang menimbulkan pembuangan masyarakat berdasarkan jenis

pekerjaan.Burakumin yang merupakan para pekerja yang berhubungan dengan darah dan kematian ini memiliki status rendah yang mengharuskan mereka hidup

dalam diskriminasi oleh masyarakat dari semua kasta yang ada dalam jaman

Tokugawa.

Hal ini ternyata masih berlaku di Jepang hingga dewasa ini. Menurut Teraki

(1997:99), dari sejak munculnya dekrit pembebasan di jaman Meiji hingga

sekarang burakumin masih mengalamai diskriminasi meski tidak separah masa lalu.

Untuk mendukung pembahasan ini, penulis juga akan membahas tentang

(6)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Jika dikatakan diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap seseorang

atau kelompok yang biasanya dikarenakan adanya perbedaan dalam hal ras atau

etnis maka, itulah yang dialami oleh burakumin di masa lalu. Burakumin adalah sebutan untuk orang Jepang yang merupakan keturunan kaum terbuang, terutama

Eta, Hinin dan Kawaramono. Secara harafiah burakumin berarti "Orang-orang pemukiman kecil" dimana hal ini merujuk pada pemukiman kaum Eta yang terpisah dari kasta lain dalam masyarakat feodal.

Istilah Burakumin ini secara de jure (legal) ada hingga dihapuskannya sistem kasta di tahun 1871 seiring semangat persamaan di Era Restorasi Meiji (mulai

1869), namun secara de facto hingga sekarang diskriminasi terhadap Burakumin

masih ada.

Jika diuraikan secara sederhana, beginilah usaha pembebasan diskriminasi

yang terjadi pada burakumin:

- Dalam daftar warga ditulis kyu-eta (mantan eta), lalu diganti shin-heimin

(warga baru) dan terakhir pada 1900an tokushu-buraku (pemukiman khusus).

Sekarang sudah tidak dipakai lagi.

- Diskriminasi dalam pekerjaan. Walau saat ini keturunan burakumin bisa

bekerja dimana saja, namun posisi jabatan yang tinggi tidak bisa mereka

duduki.

- Diskriminasi dalam pernikahan. Yang paling toleran adalah wilayah Kansai

(7)

memperbolehkan anak mereka menikah dengan keturunan burakumin.

Menyewa jasa penyelidikan asal-usul adalah hal biasa di Jepang, walau

sekarang adalah hal ilegal. Di Kansai saat ini 60%-80% keturunan burakumin

menikah dengan non-burakumin. Pada tahun 1960-an hanya 10%.

- Tetapi di Osaka, Kyoto, Hyogo dan Hiroshima, stigma masih ada. Burakumin

dianggap biang kemelaratan, pengangguran dan kriminal.

- Anggota Yakuza, 60% adalah Burakumin menurut pengakuan seorang mantan

anggota intelijen jepang Mitsuhiro Sugnuma. Anggota Yamaguchi-gumi

(Yakuza terbesar) 70% nya adalah Burakumin, menurut David E. Kaplan dan

Alec Dubro dalam bukunya Yakuza: The Explosive Account of Japan's

Criminal Underworld (Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing

Co., 1986).

1.4.2 Kerangka Teori

Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan maka, dibutuhkan

berbagai teori untuk mengupas semua fakta untuk mendapatkan sebuah hasil.

Kerangka teori menurut Koenjtaraningrat (1976:1) berfungsi sebagai pendorong

proses berfikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk yang

nyata. Dalam penelitian suatu kebudayaan masyarakat diperlukan satu atau lebih

teori pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari penelitian ini.

Dalam hal ini, penulis menggunakan pendekatan diskriminatif, pendekatan

(8)

konsep tradisional yang berlaku dalam budaya masyarakat Jepang seperti agama

Shinto dan sistem feodal.

Sebagaimana diutarakan oleh Fulthoni, et.al (2009:8), pada dasarnya

diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Diskriminasi adalah perlakuan yang

tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap

perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal,

atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau

keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan, suatu

tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan

minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu

bersifat tidak bermoral dan tidak demokratis.

Berdasarkan definisi tersebut, maka diskriminasi dapat diartikan sebagai

sebuah ketidakadilan dalam bermasyarakat yang terbentuk oleh prasangka dan

sentimen sosial dan bertujuan lebih jauh untuk menghindari adanya kepemilikan

sumber daya serta akses-akses tertentu. Diskriminasi dapat terjadi dengan

dibentuknya prasangka pada individu atau kelompok tertentu, kemudian berlanjut

dengan terbentuknya cap buruk (stigma/ stereoype).

Diskriminasi terjadi ketika keyakinan atas cap buruk dan prasangka itu sudah

berubah menjadi aksi. Diskriminasi adalah tindakan memperlakukan orang lain

tidak adil hanya karena dia berasal dari kelompok sosial tertentu. Diskriminasi

dalam prakteknya dapatdikategorikan ke dalam diskriminasi berdasarkan jenis dan

diskriminasi menurut tipe. Diskriminasi menurut jenis adalah yang terbagi

(9)

diskriminasipenyandang cacat, (d) diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS,

(e)diskriminasi dikarenakan kasta sosial.

Identitas menurut P.J. Burker (1980:18) adalah sebuah hal yang diberikan

oleh sosial, dipertahankan dandibentuk dan memiliki empat aspek.Aspek pertama

adalah identitas sebagaiatribut diri sebagai objek di situasi sosial atau peran sosial,

kedua adalah identitassebagai hal relasional, ketiga adalah identitas sebagai

sebuah hal yang refleksif, keempat adalah identitas sebagai sumber motivasi.

Teori identitas adalah teori yang berfokus pada pembentukan identitas diri

dari makna-makna yang diasosiasikan dengan pelaksanaan sebuah peran

(role).Diri sendiri adalah sesuatu yang refleksif sehingga dapat dilihat sebagai objek dan dapat dikategorikan, diklasifikasikan, atau dinamakan sedemikian rupa

terkait hubungannya dengankategori atau klasifikasi sosial lainnya di dalam

masyarakat yang terstruktur.

Proses tersebut dikenal dengan self-verification dalam teori identitas, dan dikenaldengan self-categorizations dalam teori identitas sosial. Dalam teori identitas,self-verification berperan penting dalam pembentukan identitas individu dansangat dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang adamenurut J. E. Stets, P. J.

Burke (2000:224).

Menurut Burke, Tully danThoits dalam tulisan Strets dan Burke, inti identitas

dari teori identitas adalahkategorisasi diri akan kepemilikan peran, dan

penyertaan, kedalam dirinya, akanmakna dan ekspektasi yang berasosiasi dengan

peran tersebut dan performanya (J. E. Stets, P. J. Burke, 2000: 225).

Ekspektasi dan makna tersebut membentuk kumpulan ukuran dasar akan

(10)

aktivitas dankepemilikan atau pengontrolan sumber daya, sehingga hal ini juga

dipengaruhistruktur sosial individu tersebut di masyarakat.Dengan demikian, teori

identitaslebih terfokus terhadap struktur dan fungsi identitas individual, yang

berhubungandengan peran perilaku yang dimainkan di masyarakat.

Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, sosiologi adalah

ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat tidak

sebagai individu yang terlepas dari kehidupan masyarakat.Menurut Weber dalam

Dudung Abdurrahman (1999:11) tujuan penelitian ini adalah memahami arti

subjektif dan perilaku sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti objektifnya.

1.5 Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka tujuan penelitian ini, sebagai berikut :

1.5.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembahasan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

untuk:

1. Untuk mengetahui sejarah Burakumin

(11)

1.5.2 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, hasilnya diharapkan memberi manfaat bagi

pihak-pihak tertentu, antara lain :

1. Bagi peneliti sendiri diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan tentang Burakumin.

2. Bagi para pembaca, khususnya para pembelajar bahasa Jepang

diharapkan dapat menambah informasi tentang sejarah Burakumin

3. Bagi para pembaca, penelitian ini juga dapat dijadikan sumber ide dan

tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti

Burakumin lebih jauh.

1.6 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk

menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para

pembaca. Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Untuk

mencapai tujuan dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode

deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976:30), penelitian yang bersifat deskriptif

yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu,

keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh

dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian

diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

Selain itu untuk pengumpulan data penulisan menggunakan metode

(12)

kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis.

Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan

skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam

kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti

meliputi : masalah, teori, konsep, kesimpulan serta saran. Data dihimpun dari

berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian.Survey book

dilakukan diberbagai perpustakaan. Data juga didapat melalui Internet yang

berhubungan mengenai pola hidup yang diterapkan orang Jepang, kebudayaan

yang berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, serta semua yang berkaitan dengan

lansia yang hidup sendirian yang ada di Jepang.

Selanjutnya, penulis juga memanfaatkan berbagai fasilitas yang tersedia di

Perpustakaan Umum Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Program Studi

Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Selain itu

penulis juga memanfaatkan berbagai informasi dari situs-situs internet yang

Referensi

Dokumen terkait

The project is dedicated to development of integrated and modular system of sensors for monitoring of cultural heritage objects by means of processing of

Dengan mengidentifikasikan perilaku di masyarakat, siswa mampu memberikan contoh dan menceritakan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada

In Chinese rural practice cases, the architects fully consider the original architectural materials, forms and other traditional elements to make the construction design

Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2O06 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik. Indonesia Tahun 201I Nomor

There are nine distinguished national parks in Taiwan. Each one has its own wild variety of natural inhabitants and cultural resources. However, due to the

Kami selaku Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia Mengucapkan terima kasih kepada para anggota Fakultas Ekonomi/Ekonomi dan Bisnis/Ekonomi Islam

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaikbaiknya. BUDIYANI

Sources: Pakistan Higher Education Commission, 2006; Asian Development Bank, 2005; IFC staff estimates... Financing of