• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Optimum Budidaya Padi Intensif Dengan Pertimbangan Gas Metan Pada Sawah Irigasi Teknis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Optimum Budidaya Padi Intensif Dengan Pertimbangan Gas Metan Pada Sawah Irigasi Teknis"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sawah dan Budidaya Padi

Lahan sawah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tanah yang

digunakan atau potensial dapat digunakan untuk menanam padi sawah sekali atau

lebih selama setahun. Istilah tanah sawah berkaitan dengan tataguna tanah, bukan

dengan jenis tanah tertentu dalam istilah pedologi. Sawah adalah suatu ekosistem

buatan dan suatu jenis habitat khusus yang mengalami kondisi kering dan basah

tergantung pada ketersediaan air. Karakteristik ekosistem sawah ditentukan oleh

penggenangan, tanaman padi, dan budidayanya. Sawah tergenang biasanya

merupakan lingkungan air sementara yang mempengaruhi oleh keragaman sinar

matahari, suhu, pH, konsentrasi O2

Lahan sawah tidak hanya penting sebagai penghasil barang privat (privat

goods) seperti padi dan palawija yang memberikan keuntungan langsung kepada

petani, tetapi juga penghasil barang dan jasa publik (public goods and service)

sehingga sawah dikenal memiliki multifungsi. Multifungsi lahan sawah antara lain

sebagai penopang ketahanan pangan, penyedia lapangan kerja, penjaga kelestarian

budaya, pembawa suasana nyaman pedesaan, penyumbang jasa lingkungan

(environmental services): seperti pengurangan erosi, mitigasi banjir, dan mendaur

ulang sumberdaya air (Agus, 2006). Sawah adalah suatu ekosistem buatan dan

suatu jenis habitat khusus yang mengalami kondisi kering dan basah tergantung

pada ketersediaan air. Karakteristik ekosistem sawah ditentukan oleh

(2)

merupakan lingkungan air sementara yang dipengaruhi oleh keragaman

sinar matahari, suhu, pH, konsentrasi O2

Sawah merupakan suatu sistem budaya tanaman yang khas dilihat dari

sudut kekhususan pertanaman yaitu padi, pengelolaan air, dan dampaknya atas

lingkungan. Maka sawah perlu diperhatikan secara khusus dalam penatagunaan

lahan. Meskipun di lahan sawah dapat diadakan pergiliran berbagai tanaman,

namun pertanaman pokok selalu padi.

dan status hara (Watanabe dan Roger,

1985).

Penanaman padi sawah secara tradisional sangat berhasil melestarikan

produktivitas lahan. Selama beribu-ribu tahun sistem padi sawah telah berhasil

mempertahankan tingkat hasil padi yang moderat tetapi stabil tanpa menimbulkan

kerusakan lingkungan (Bray, 1986 dalam Agus et al., 2004). Hal ini terjadi karena

penggenangan meningkatkan kesuburan tanah dan produksi padi dengan jalan: (1)

menaikkan pH tanah mendekati netral; (2) meningkatkan ketersediaan hara,

terutama P dan Fe; (3) memperlambat perombakan bahan organik tanah; (4)

menguntungkan penambatan N2; (5) menekan timbulnya penyakit terbawa tanah;

(6) memasok hara melalui air irigasi; (7) menghambat pertumbuhan gulma tipe

C4; dan (8) mencegah perkolasi air dan erosi tanah.Pengolahan tanah, pindah

tanam, dan pengendalian gulma telah merusak stabilitas komunitas, sehingga

terbentuklah fauna dan struktur komunitas khusus sawah. Pada tulisan ini akan

dijelaskan tentang ekosistem lahan sawah berikut flora dan faunanya secara detail

serta pengaruh negatif atau eksternalitas negatif lahan sawah akibat intensifikasi

(eksploitasi) yang terus menerus terutama yang berkenaan dengan emisi gas

(3)

Intensitas Pertanaman merupakan frekuensi pertanaman padi padi dalam

setahun pada luasan baku lahan. Dengan penanaman dua kali padi dalam setahun

pada baku lahan 1 ha, luas tanam menjadi 2 ha dengan intensitas pertanaman 2,

disebut IP 2 atau IP Padi 200, demikian seterusnya, jika kita bertanam empat kali

dalam setahun pada baku lahan 1 ha, luas tanam menjadi 4 ha, dengan intensitas

pertanaman 4 disebut IP 4 atau IP Padi 400. Banyak faktor yang menentukan

tingkat IP yang secara teknis ditentukan oleh ketersediaan air, khususnya pada

musim kemarau (MT II) (Deptan, 2008).

Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400) yang diprogramkan oleh

Departemen Pertanian yang dipelopori oleh Badan Litbang Pertanian dengan

tujuan untuk ketahanan pangan dan surplus produksi tahun 2008 sebesar 2.89 juta

ton beras. Peluang eksport dapat dicapai pada tahun 2009-2020 sebesar 0.09-3.19

juta ton beras menjadi harapan ketahanan pangan kini dan masa depan (Deptan,

2008). IP Padi 400 menjadi harapan teknologi inovasi baru untuk mencapai

ketahan pangan di masa mendatang terutama pada lahan sempit (<0.1 ha) dan

konversi lahan yang setiap tahun meningkat 100 ha /tahun.

IP Padi 400 artinya petani dapat menanam dan memanen padi sebanyak

empat kali secara rotasi dalam satu tahun, secara terus menerus pada hamparan

lahan yang sama dengan konsekuensi penerapan penggunaan bibit padi berumur

genjah dan variatif (komposisi penggunaan bibit unggul padi berumur genjah).

Jadi Indeks Pertanaman padi menuju 400 atau IP Padi 400 tidak hanya merupakan

jumlah frekuensi pertanaman padi dalam satu hamparan atau lahan dalam satu

(4)

2.2. Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400)

Untuk mendukung penerapan IP Padi 400 diperlukan strategi, kebijakan

dan kebijakan. Upaya peningkatan produksi padi perlu memperhitungkan

pertumbuhan produksi yang dapat memberikan kontribusi dan alternatif kebijakan

untuk mengekspoitasi secara wajar sumber pertumbuhan baru yang menjadi

penyumbang peningkatan produksi (Deptan, 2008). Peta jalan peningkatan

produksi padi menuju 2020 akan berhasil karena: pertama, kultur bangsa adalah

bertani, dan kedua adalah falsafah petani ”bila ada air, petani pasti menanam

padi”. Untuk mendukung hal tersebut dua strategi yang perlu diterapkan pada IP

Padi 400 adalah ; (1) rekayasa sosial dan (2) rekayasa teknologi.

Rekayasa Teknologi untuk peningkatan produksi padi dengan penerapan

IP Padi 400 yaitu pemanfaatan sumberdaya lahan dan sumberdaya teknologi.

Rekayasa teknologi pada IP Padi 400 dengan menggunakan varietas unggul yang

berumur sangat genjah (ultra genjah) yaitu berumur 90-104 hari mampu

berproduksi tinggi, teknologi hemat air dengan pengairan berselang (intermittent),

tanam benih langsung, persemaian dapog atau culikan, serta pengembangan

sistem monitoring dini (sebelum tanam, saat ada padi di pertanaman, dan sesudah

panen).

Landasan pengambilan kebijakan dimulai dari beberapa masalah yang

terjadi dan isu yang berkembang saat ini diantaranya seperti lahan pertanian di

muka bumi sangat terbatas, bahkan cenderung terus berkurang sebagai akibat dari

pemakaian atau alih fungsi menjadi lahan non pertanian. Disisi lain ada

penambahan lahan dari proses reklamasi pantai, namun penambahan lahan ini

(5)

karena itu lahan sebagai sumberdaya alam yang paling azasi perlu mendapat

perhatian dan tidak dibiarkanterus-menerus menyusut sehingga betul-betul

memahami ungkapan no earth, no life, and no production.

2.3. Degradasi Lahan Sawah 2.3.1. Pencemaran Tanah Sawah

Secara fisik, tanah sawah dicirikan oleh terbentuknya lapisan oksidatif

atau aerobik di atas lapisan reduktif atau anaerobik di bawahnya sebagai akibat

penggenangan (Patrick dan Reddy, 1978; Ponnamperuma, 1985).

Tanaman memerlukan 16 unsur hara esensial bagi penumbuhan tanaman.

Tiga diantaranya C, H dan O disuplai dari air dan udara (CO2), sementara 13

unsur lainnya dikelompok atas dua bagian yaitu enam unsur sebagai unsur hara

makro dan tujuh unsur sebagai unsur hara mikro. Unsur yang tergolong unsur

hara makro adalah nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca),

magnesium (Mg), belerang (S), sedangkan unsur hara mikro adalah boron (B).

Mangan (Mn), tembaga (Cu), seng (Zn), besi (Fe), molidenum (Mo) khlor (Cl).

Unsur makro adalah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah

besar sedangkan unsur hara mikro adalah unsur yang dibutuhkan oleh tanaman

dalam jumlah kecil.Apabila unsur mikro yang diberikan ke dalam tanah melebihi

kebutuhan tanaman akan mengakibatkan keracunan tanaman, sebaliknya kalau

kekurangan akan menimbulkan kekahatan (Setyorini et al., 2004).

Pada sistem pertanian intensif tanaman padi,pemberian pupuk sebagai

penambah unsur hara yang ada dalam tanah merupakan keharusan agar tanaman

(6)

unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah tidak terkuras habis. Jika pada setiap

musim tanam padi dari dalam tanah “dikuras” sekitar 120, 30 dan 130 kg unsur

hara N, P, dan K per ha (De Datta 1981; Dobermann dan Fairhust 2000; Gani et

al., 2005), disamping unsur hara lainnya. Begitu banyak ketiga unsur hara ini

diserap tanaman, dibanding kemampuan tanah untuk menyediakannya

menyebabkan umumnya tanah pertanian mengalami kekurangan.

Meelu et al. (1986) mengemukakan bahwa, secara umum tanah-tanah di

negara-negara Asia adalah kahat terhadap bahan organik dan juga kandungan

nitrogen yang rendah. Hal ini disebabkan oleh pertanaman yang intensif,

pembakaran atau pengangkutan sisa tanaman dari lahan. Bahan organik tanah

telah mengalami penurunan yang akan menyebabkan penurunan kesuburan tanah

secara berkelanjutan, sehingga penambahan bahan organik ke dalam tanah akan

menjadi solusi yang tepat. Berbagai sumber bahan organik yang

direkomendasikan untuk pensuplai kandungan bahan organik dalam tanah antara

lain adalah kotoran sapi, pupuk kandang ayam, kompos, sisa tanaman, pupuk

kandang, dan pupuk hijau.

Di sisi lain, walaupun diketahui bahwa tanah yang disawahkan

(digenangi) akan mengalami perubahan beberapa sifat termasuk kecenderungan

meningkatnya kandungan P tersedia dalam tanah (Kyuma, 2004), masih sangat

sering ditemukan terjadinya kahat atau kekurangan P dalam tanah untuk

pertumbuhan normal tanaman padi khususnya, sehingga dengan waktu, aplikasi

pupuk P akan mampu meningkatkan respon tanaman per unit penambahan P

karena adsorpsi dari penambahan P akan menurun sejumlah P yang telah

(7)

memperbaiki karbon tanah dan status N melalui peningkatan input karbon dan

nitrogen dari residu tanaman (Kirk et al., 1998).

Penggunaan bahan organik untuk usahatani padi telah ditemukan menjadi

lebih efektif dalam peningkatan kapasitas buffer pH dari tanah dan ketersediaan

hara dan peningkatan retensi hara khususnya pada tanah-tanah berpasir (Wade dan

Ladha, 1995). Strategi pengelolaan hara yang terintegrasi selanjutnya akan

dibutuhkan dalam daerah-daerah marginal untuk memperbaiki kesuburan tanah,

peningkatan hasil, dan pendapatan petani. Bahan organik telah ditemukan mampu

memperbaiki keefektifan penggunaan pupuk anorganik dan peningkatan hasil padi

khususnya pada tanah-tanah berpasir di Thailand Timur Laut (Seng et al., 1999

dalam Agus, 2004).

Pupuk nitrogen, di dalam tanah mengalami proses nitrifikasi atau

denitrifikasi tergantung kondisi tanah, menghasilkan gas N2O yang dilepaskan ke

atmosfer. Gas ini ikut berperan dalam meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK)

dan berdampak terhadap pemanasan global. Emisi N2

Dobermann dan Fairhurst (2000) menyatakan bahwa pada umumnya

petani padi di lahan sawah irigasi hanya dapat mencapai produksi 60% dari

potensi hasil genetis di suatu tempat dengan dengan kondisi iklim tertentu. Faktor O dari tanah ke atmosfer

tidak langsung menyebabkan pencemaran pada lahan pertanian, namun akibat

perubahan iklim global dapat menyebabkan penurunan produktivitas pertanian.

Pupuk P yang digunakan dalam budi daya pertanian dapat menyebabkan

pencemaran tanah, karena pupuk tersebut mengandunglogam berat (Setyorini dan

(8)

unggul di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pada musim kemarau hasil

gabah tercatat sekitar 10 t ha -1, sedangkan pada musim hujan sebesar 7-8 t ha-1

Selanjutnya Dobermann dan Fairhurst (2000) menjelaskan bahwa

meskipun pengelolaan hara dan pengelolaan tanaman telah dilaksanakan dengan

baik, pencapaian produksi gabah aktual di lahan petani 80% dari potensi hasil padi

atau terjadi kehilangan hasil (yield gap) sebesar 20%. Pengeloalaan hara yang

tidak berimbang akan menurunkan hasil padi hingga 40 %, dan apabila disertai

dengan pengeloalaan tanaman yang tidak baik maka kehilangan hasil padi dapat

mencapai 60% dari potensi hasilnya. Oleh karena itu, faktor pengelolaan hara

tanaman harus mendapat perhatian yang seimbang.

. Penurunan produksi ini disebabkan pada musim hujan, radiasi matahari

lebih rendah dan kelembaban tinggi menyebabkan penyakit tanaman meningkat.

Pemupukan P dan K secara terus-menerus pada tiga dasawarsa terakhir ini

menyebabkan sebagian besar lahan sawah di Jawa, Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, Lombok dan Bali berstatus hara P dan K tinggi. Selain itu penggunaan

pupuk P dan K terus-menerus menyebabkan ketidak seimbangan hara tanah.

Ketidakseimbangan hara tanah disinyalir mengakibatkan terjadinya pelandaian

produktivitas (leveling off) padi sawah. Kadar hara P dan K yang tinggi

menyebabkan ketersediaan hara mikro seperti Zn dan Cu tertekan. Selain itu

dilaporkan oleh Kasno et al. (2003) bahwa sebagian besar lahan sawah di

Indonesia berstatus C-organik <2%.

Penggenangan pada sistem usaha tani tanah sawah secara nyata akan

mempengaruhi perilaku unsur hara esensial dan pertumbuhan serta hasil padi.

(9)

mempengaruhi dinamika dan ketersediaan hara padi. Transformasi kimia yang

terjadi berkaitan erat dengan kegiatan mikroba tanah yang menggunakan oksigen

sebagai sumber energinya dalam proses respirasi. Perubahan kimia tanah sawah

ini berkaitan erat dengan proses oksidasi-reduksi (redoks) dan aktivitas mikroba

tanah sangat sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan produktivitas tanah

sawah (Setyorini et al., 2004).

Kimia tanah sawah merupakan sifat tanah sawah yang sangat penting

dalam hubungannya dengan teknologi pemupukan yang efisien. Aplikasi pupuk

baik jenis, takaran, waktu maupun cara pemupukan harus mempertimbangkan

sifat kimia tanah tersebut. Sebagai contoh teknologi nitrogen, dimana jenis, waktu

dan cara pemupukannya harus memperhatikan perubahan perilaku hara N.

Bila tanah digenangi, persediaan oksigen menurun sampai mencapai nol

dalam waktu kurang sehari (Sanchez, 1993; Reddy et al., 1999). Laju difusi

oksigen udara melalui lapisan air 10 ribu kali lebih lambat daripada melalui pori

yang berisi udara. Mikroba aerob dengan cepat akan menghabiskan udara yang

tersisa dan menjadi tidak aktif lagi atau mati. Mikroba fakultatif anaerob dan

obligat aerob kemudian mengambil alih dekomposisi bahan organik tanah dengan

menggunakan komponen tanah teroksida (seperti: nitrat, Mn, Fe-oksida dan

sulfat) atau hasil penguraian bahan organik (fermentasi) sebagai penerima

elektron dalam pernafasan (Sanchez, 1993, Kyuma, 2004).

Parameter yang dapat dipakai untuk mengukur dengan baik derajat

anaerobiosis tanah dan tingkat transformasi biogeokimia yang terjadi adalah

(10)

redoks (Eh) turun dengan tajam dan mencapai minimum dalam beberapa hari, lalu

naik dengan cepat mencapai suatu maksimum dan dan kemudian menurun secara

asimptot (Sanchez, 1993).

Yoshida (1981) menyatakan bahwa proses reduksi merupakan proses yang

mengkonsumsi elektron (sehingga terjadi penurunan Eh) yang menghasilkan ion

OH- (sehingga pH meningkat) dan bentuk besi fero. Kecepatan reduksi dan

macam serta jumlah hasil reduksi ditentukan oleh: (1) macam dan kandungan

bahan organik; (2) macam dan konsentrasi zat anorganik penerima elektron; (3)

pH; dan (4) lamanya penggenangan (Yoshida, 1981). Menurut Sanchez (1993),

kuatnya proses reduksi bergantung pada jumlah bahan organik tanahnya makin

besar kekuatan reduksinya. Pada umumnya, kadar zat yang tereduksi mencapai

puncak pada 2-4 minggu setelah penggenangan kemudian berangsung-angsur

menurun sampai suatu tingkat keseimbangan.

Penggenangan pada tanah meneral masam mengakibatkan nilai pH tanah

akan meningkat dan pada tanah basa akan mengakibatkan nilai pH tanah menurun

mendekati netral. Pada saat penggenangan pH tanah akan menurun selama

beberapa hari pertama, kemudian mencapai minimum dan beberapa minggu

kemudian pH akan meningkat lagi secara asimptot untuk mencapai nilai pH yang

stabil yaitu sekitar 6,7-7,2. Penurunan awal disebabkan akumulasi CO2 dan juga

terbentuknya asam organik. Kenaikan berikutnya bersamaan dengan reduksi tanah

dan ditentukan oleh: (1) pH awal dari tanah; (2) macam dan kandungan komponen

tanah teroksidasi terutama besi dan mangan; serta (3) macam dan kandungan

(11)

Reduksi besi adalah reaksi yang paling penting di dalam tanah masam

tergenang karena dapat menaikkan pH dan ketersediaan fosfor serta menggantikan

kation lain dari empat pertukaran seperti K+. Peningkatan Fe2+ pada tanah masam

dapat menyebabkan keracunan besi pada padi, apabila kadarnya dalam larutan

sebesar 350 ppm. Keadaan ini dapat dihindari dengan cara pencucian tanah atau

menangguhkan waktu tanam sampai melewati puncak reduksi. Puncak kadar

senyawa Fe2+ larutan tanah biasanya terjadi dalam bulan pertama setelah

penggenangan dan diikuti penurunan secara berangsur-angsur (Ponnamperuma,

1985). Peningkatan pH tanah dari 4,5 ke 7,5 konsentrasi besi dalam larutan tanah

Oxisols Sitiung secara nyata menurunkan konsentrasi besi dalam larutan tanah

dari 1.231 ke 221 mg Fe kg-1

Sebagian besar N tanah berupa N organik baik yang terdapat dalam bahan

organik tanah maupun fiksasi N oleh mikroba tanah dan hanya sebagian kecil

(2-5%) berupa N anorganik yaitu NH

(Yusuf et al., 1990). Adanya akumulasi besi yang

berlebih dalam larutan tanah dapat menimbulkan keracunan bagi tanaman padi.

Batas kritis Fe terlarut dalam larutan tanah untuk tanaman padi sekitar 50-100

ppm.

4+ dan NO3- serta sedikit NO2-. Pada tanah

tergenang N merupakan hara yang tidak stabil karena adanya proses mineralisasi

bahan organik (amonifikasi nitrifikasi dan denitrifikasi) oleh mirkroba tanah

tertentu. Pada lapisan atas dimana oksigen masih cukup, proses mineralisasi akan

menghasilkan NO3

-Mineralisasi bahan organik: .

(12)

Sedangkan pada lapisan dibawahnya yang sifatnya reduktif (tanpa

oksigen) maka assimilasi akan berhenti sampai amonifikasi yaitu terbentuknya

NH4+. Nitrat (NO3+) yang terbentuk di lapisan atas (lapisan oksidasi) sebagian

akan berdifusi kelapisan reduksi dan selanjutnya terjadi proses denitrifikasi,

terbentuknya gas N2O atau N2 yang hilang ke udara. Selain melaui proses

denitrifikasi NO3- kehilangan N juga terjadi pada lapisan N juga terjadi pada

lapisan air yang pH nya tinggi melalui proses volatisasi NH3+

Respon tanaman terhadap pemupukan fosfat tidak sama antara padi sawah

dengan tanaman tanah kering. Meskipun masalah kekahatan P tidak umum pada

tanah sawah, namun Diamond (1985) menyatakan bahwa pada tanah Ultisol,

Oxisol, Inceptisol tertentu dan sulfat masam, hal tersebut merupakan masalah

penting untuk tanaman padi. Ketersediaan P yang lebih besar pada kondisi

tergenang dibandingkan dengan kondisi aerob umumnya disebabkan oleh

perubahan redoks dalam tanah dan resultan perubahan status Fe dalam tanah. . Penelitian Wetzelar

(1983) di Sukamandi menunjukkan bahwa kehilangan N melalui kedua proses

tersebut dapat mencapai 70%. Oleh karena itu pemupukan N harus diberikan

kedalam reduksi dengan beberapa kali pemberian untuk mengurangi kehilangan N

sehingga efisiensinya meningkat.

Pada awal penggenangan konsentrasi P dalam larutan tanah meningkat

kemudian menurun untuk semua jenis tanah, tetapi nilai tertinggi dan waktu

terjadinya bervariasi tergantung pada sifat tanah (Yoshida, 1981). Peningkatan

ketersediaan P akibat penggenangan disebabkan oleh pelepasan P yang dihasilkan

(13)

1. Fosfor hanya dilepaskan apabila ferifosfat (Fe3+) tereduksi menjadi ferofosfat (Fe2+

2. Pelepasan occluded P akibat reduksi ferioksida yang menyeliputi P

menjadi ferooksida yang lebih larut selama penggenangan.

Penyelimutan P oleh ferioksida berada dalam liat dan zarah liat

membentuk occluded P (Sanchez, 1993).

) yang lebih mudah larut. Willet (1991) menunjukkan

reduksi feri oksida merupakan sumber yang dominan bagi pelepasan P

selama penggenangan, walaupun sejumlah P yang dilepaskan akan

diserap kembali. Pelepasan P yang berasal dari senyawa feri terjadi

setelah reduksi mangan oksida.

3. Adanya hidrolisis sejumlah fosfat terikat besi dan aluminium dalam

tanah masam, yang menyebabkan dibebaskannya fosfor terjerap pada

pH tanah yang lebih tinggi (Kyuma, 2004). Menurut Willet (1991),

peningkatan pH tanah masam akibat penggenangan ketersediaan P.

Sebaliknya ketika pH pada tanah alkalin menurun dengan adanya

penggenangan, stabilitas mineral kalsium fosfat akan menurun,

akibatnya senyawa kalsium fosfat larut (Willet, 1985).

4. Asam organik yang dilepaskan selama dekomposisi anaerob dari bahan

organik pada kondisi tanah tergenang dapat meningkatkan kelarutan

dari senyawa (Ca, Fe, Al).

5. Difusi yang lebih besar dari ion H2PO4

-Kalium (K) merupakan hara mobil, diserap tanaman dalam bentuk ion K ke larutan tanah melalui

pertukaran dengan anion organik (Sanchez, 1993).

(14)

bentuk keseimbangan dengan K yang diadsorpsi liat. Penurunan Eh akibat

penggenangan akan menghasilkan Fe2+ dan Mn2+

Pemanfaatan lahan untuk padi sawah secara terus menerus sepanjang tahun

tidak ditemukan pengaruh negatif yang nyata sebagaimana yang terjadi pada

usahatani tanaman pangan pada lahan kering (Agus dan Irawan, 2004). Masalah

yang terjadi pada sistem tanam padi yang selama ini dilakukan masih sangat

rendah efisiensi pemupukannya, terutama pemupukan N hanya mencapai 30-50%

(De Datta, 1987).

yang dalam jumlah besar dapat

menggantikan K yang diadsorpsi liat sehingga K dilepaskan ke dalam larutan dan

tersedia bagi tanaman. Oleh sebab itu penggenangan dapat meningkatkan

ketersediaan K tanah. Yoshida (1981) mengemukakan bahwa respon padi sawah

terhadap pemupukan K umumnya rendah karena kebutuhan K dapat dicukupi dari

cadangan mineral K yang berada dalam keseimbangan dengan K dalam larutan

tanah dan air irigasi serta dekomposisi bahan organik. Pada tanah sawah yang

drainasenya buruk sehingga potensial redoksnya sangat rendah, dapat terjadi

kekahatan K. Hal ini karena daya oksidasi akar sekitar rizosfer sangat rendah serta

adanya akumulasi asam-asam organik dalam larutan tanah yang dapat

menghambat serapan K oleh akar.

Rendahnya efisiensi karena tanaman melakuka serapan hara tergantung umur

fisiologi, sebaliknya pelepasan hara tanah berlangsung terus mengikuti dinamika

fisika-kimia tanah. Pada saat stadium generative tanaman tidak banyak

membutuhkan hara, sehiga efisiensi pupuk rendah.

Pada sistem pertanian intensif tanaman padi, pemberian pupuk sebagai

(15)

tanaman dapat mencukupi kebutuhannya. Dengan berkembangnya perhatian

terhadap keberlanjutan usahatani (sustainabilitas), kebutuhan akan pemupukan ini

akan menjadi bertambah agar unsur-unsur hara yang ada didalam tanah tidak

terkuras habis. Dapat dibayangkan kalau pada setiap musim tanam padi dari

dalam tanah “dikuras“ sekitar 120,30 dan 130 kg unsur hara N,P, K per ha (De

Datta 1981: Dobermann dan Fairhust 2000; Gani et al., 2009), disamping unsur

hara lainnya. Begitu banyaknya ketiga unsur hara ini diserap tanaman, dibanding

kemampuan tanah untuk menyediakannya, menyebabkan tanah pertanian terutama

lahan sawah mengalami kekurangan.

Pemberian pupuk secara terus menerus dan tidak rasional menyebabkan hasil

semakin menurun. Hasil padi yang dicapai setelah 20 kali tanam pada perlakuan

NPK berkurang dari awalnya sekitar 30% (dari 5,72 t ha -1 menjadi 4,04 t ha-1 untuk MK 1994-2004 dan sekitar 35% (dari 7,82 t ha -1 menjadi 5,13 t ha-1

Pelandaian produktivitas lahan (stagnasi peningkatan produksi padi)

merupakan salah satu indikasi rendahnya efisiensi pemupukan. Hal ini terkait

dengan satu atau banyak faktor. Terjadi penurunan kandungan bahan oganik

tanah, penambatan N

untuk

MH 1993/94-2003/04 (Abdulrachman, 2008). Meskipun informasi pelandaian

produksi tersebut telah menginspirasi munculnya model PTT pada tanaman padi,

tetapi ternyata informasi tentang hubungan antara efisensi pupuk dengan cara

budidaya tanaman maupun jenis tanaman (varietas) yang ditanam masih

diperlukan sebagai dasar pengelolaan hara yang lebih baik.

2 udara pada tanah sawah, dan penyediaan serta

(16)

tanaman. Kahat hara tertentu dalam tanah sering dilaporkan sebagai penyebab

terjadinya pelandaian produktivitas lahan.

Selain leveling off, perihal penting yang berkaitan dengan pupuk adalah

masalah efisiensi pemupukan. Efisiensi pupuk ditentukan oleh 2 faktor utama

yang saling berkaitan yaitu: 1) Ketersediaan hara dalam tanah, termasuk pasokan

hara melalui irigasi dan sumber lainnya; 2) kebutuhan hara tanaman. Setiap terjadi

perubahan cara budidaya tanaman maupun jenis tanaman yang diusahakan sangat

boleh jadi dapat mempengaruhi efisiensi pemupukan (Susanti et al., 2009).

Suplai hara dari tanah merupakan hara potensial yang belum dimanfaatkan

secara optimal. Pada tanaman padi sawah beririgasi, besar sumbangan hara dari

tanah berkisar 30-70 kg N ha-1, 10-20 kg P2O5 ha-1, dan 50-100 kg K2O ha-1

tergantung pada tingkat kesuburan tanah dan kecocokan musim. Sementara itu,

kebutuhan hara tanaman padi berkisar 44-87,5 kg N ha-1, 7,5-15 kg P2O5 ha-1, dan

42,5-85 kg kg K2O ha-1 tergantung dari hasil gabah yang diperolehnya dengan

kisaran hasil gabah 2,5-5,0 t ha-1

Penggenangan pada sistem usaha tani tanah sawah secara nyata akan

mempengaruhi perilaku unsur hara esensial dan pertumbuhan serta hasil padi.

Perubahan kimia yang disebabkan oleh penggenangan tersebut sangat

mempengaruhi dinamika dan ketersediaan hara padi. Transformasi kimia yang

terjadi berkaitan erat dengan kegiatan mikroba tanah yang menggunakan oksigen

sebagai sumber energinya dalam proses respirasi. Perubahan kimia tanah sawah

ini berkaitan erat dengan proses oksidasi-reduksi (redoks) dan dan aktivitas

mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan produktivitas

tanah sawah (Setyorini et al., 2004).

(17)

2.3.2. Pencemaran Air dan Kualitas Air Sawah

Kebutuhan air untuk irigasi akan bersaing dengan kebutuhan industri,

perumahan dan lainnya yang akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan

penduduk, perkembangan industri dan pembangunan perumahan. Ketersediaan

sumberdaya air secara nasional masih besar. Namun jika ditinjau potensi sumber

daya air yang dapat dimanfaatkan (potentially utilizable water resource, PUWR),

Indonesia telah memasuki status kelangkaan air. Ketersediaan sumberdaya air

tahunan (annual water resources, AWR) memang masih besar, terutama di

wilayah barat, tetapi tidak semuanya dapat dimanfaatkan (utilizable).Sebaliknya,

pada sebagian wilayah di kawasan Timur yang radiasinya melimpah, curah hujan

rendah (< 1500 mm/tahun) yang hanya terdistribusi selama 3-4 bulan.

Sistem pertanian padi sangat rentan terhadap kejadian iklim ekstrim atau

tingkat kemampuan beradaptasi rendah. Sebagai contoh luas areal tanaman padi

terkena kekeringan di Indonesia di beberapa kabupaten di Jawa Barat (Indramayu,

Bandung, Cilacap, Sukabumi, Tangerang, dan Tasikmalaya) konsisten terkena

kekeringan cukup luas apabila terjadi El-Nino. Kehilangan produksi padi pada

tahun El-Nino di kabupaten-kabupaten ini meningkat tajam dari sekitar 5.000 ton

pada tahun normal menjadi lebih dari 50.000 ton pada tahun El-Nino. Kehilangan

produksi padi tahun El-Nino 1982/83 kurang dari 0,5 juta ton, sedangkan pada

tahun El-Nino 1997/98 meningkat sampai diatas 1,50 juta ton. Kondisi ini

menunjukkan behwa tingkat adaptasi sistem produksi padi terhadap kejadian

iklim ekstrim masih rendah. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini antara

(18)

antisipasi atau masih rendahnya tingkat adopsi petani dalam memanfaatkan

teknologi antisipasi atau masih rendahnya tingkat adopsi petani dalam

memanfaatkan teknologi antisipasi (Boer et al., 2003)

Berdasarkan analisis ketersediaan air pada saat ini dapat diprediksi bahwa

kebutuhan air di Indonesia sampai tahun 2020 hanya 18 % dari total air tersedia.

Proyeksi permintaan air pada tahun 2020 hanya 18% dari total air tersedia, 66%

digunakan untuk irigasi, 17% untuk rumah tangga, 7% untuk perkotaan, dan 9 %

untuk industri. Untuk mempertahankan ketersediaan air tanah dan

sumber-sumber air dangkal, penghijauan kembali semua pebukitan dan gunung-gunung

yang sudah gundul dan pelestarian hutan-hutan lindung perlu segera

direalisasikan. Ketersediaan air yang berlimpah tidak mencerminkan kecukupan

air. Rasio antara kebutuhan dan ketersediaan air yang kurang 40% termasuk

kategori aman (Katumi et al., 2002)

Ketersediaan air makin mendapat perhatian yang serius tidak hanya

disebabkan oleh peningkatan kebutuhan dan kurang efisiennya penggunaan air

untuk pertanian, tetapi juga oleh makin meningkatnya kebutuhan air untuk sektor

nonpertanian. Selain itu, pengembangan industri dan pemukiman tidak hanya akan

meningkatkan penggunaan air tetapi juga mempunyai dampak tersendiri terhadap

kualitas air. Padahal sumber daya air makin terbatas dan makin tidak teratur

pasokannya (Pawitan et al., 1997).

Sengketa antar berbagai penggunaan air, termasuk di sektor pertanian

semakin sering terjadi akibat tidak adilnya alokasi pembagian air antara di

wilayah hulu (head) dan hilir (tail end). Petani di wilayah hulu biasanya

(19)

wilayah hilir sering mengalami kekurangan dan keterlambatan pasokan air, yang

umumnya terjadi pada musim kemarau.

Berdasarkan pola curah hujan, daerah pertanian yang rawan kekeringan

dalam arti berpeluang tinggi terjadinya kekeringan umumnya mengalami defisit

air tahunan antara 50-1.000 mm. Artinya jumlah curah hujan kumulatif satu tahun

lebih rendah dibandingkan dengan evapotranspirasi potensial. Kebanyakan daerah

tersebut mempunyai tipe agroklimat C3, D3, D4, dan E yang mempunyai bulan

kering berturut-turut lebih dari empat bulan (Fagi dan Manwan, 1992).

Padi dan palawija di lahan irigasi ditanam dalam pola tanam berorientasi

padi (rice based cropping system). Sebab itu ditempuh dua pendekatan untuk

menanggulangi dampak negatif kemarau panjang. Pertama, pendekatan sistem

produksi. Air yang tersedia dalam satuan waktu dimanfaatkan untuk

meningkatkan atau mempertahankan intensitas tanam dengan memperpendek turn

around time, ini juga akan membuat tanaman musim kemarau terhindar dari

cekaman kekeringan. Kedua, pendekatan komoditas. Air yang tersedia dalam

satuan volume digunakan secara efisien bagi masing-masing komoditas dalam

suatu pola tanam untuk meningkatkan dan mempertahankan areal tanam dan

tingkat produktivitas. Pendekatan komoditas dapat ditempuh: (a) efisiensi sistem

pendistribusian air irigasi, dan (b) efisiensi penggunaan air irigasi. Variabilitas

debit air dari sungai-sungai lokal dijadikan kriteria bagi sistem pendistribusian air

di wilayah pengairan timur PJT II seperti berikut: sistem gilir giring diterapkan

jika debit air sungai < 40% dari debit air normal dan sistem gilir glontor jika debit

(20)

Efisiensi penggunaan air di tingkat petani masih rendah yaitu 30% pada

kondisi pasokan air normal.Di tingkat petani, kehilangan air melalui rembesan dan

perkolasi relative sedikit, tetapi kehilangan air permukaan (surface losses) besar

akibat kurangnya perhatian terhadap pendistribusian air. Drainase permukaan

sering melebihi 50% dari pasokan air total, terutama selama periode curah hujan

tinggi.Kebanyakan sistem irigasi padi sawah di Indonesia menerapkan metode

pendistribusian aliran air secara kontinu dengan pengendalian minimal, sehingga

efisiensi penggunaan air umumnya rendah.

Meskipun budi daya padi sawah dengan sistem penggenangan air (50-150

mm) memberikan beberapa keuntungan seperti menekan pertumbuhan populasi

spesies gulma tertentu, memberikan hasil yang lebih tinggi, dan meningkatkan

ketersediaan hara namun metode ini mengkonsumsi air irigasi relatif banyak,

memacu emisi metan, lingkungan yang cocok bagi berkembangnya hama dan

penyakit, mengakibatkan struktur tanah buruk akibat proses pelumpuran, sehingga

menyebabkan kerebahan tanaman akibat lemahnya batang padi dan menekan

ketersediaan hara mikro seperti seng (Zn).

Adanya tekanan kebutuhan air diluar sektor pertanian yang terus

meningkat dan makin menurunnya ketersediaan air maka diperlukan berbagai opsi

dalam reduksi input air yang dapat memperbaiki produktivitas air dalam budi daya

padi sawah dilahan beririgasi. Untuk meningkatkan ketersediaan sumberdaya air

bagi tanaman padi pada musim kemarau relatif sulit dilaksanakan dalam satu

kawasan yang luas sekalipun usaha ke arah tersebut sudah banyak dilakukan,

misalnya mealui pemberian air secara berselang (intermittent irrigation). Usaha

(21)

melengkapi, merehabilitas, membangun jaringan irigasi yang sumber airnya masih

tersedia pada musim kemarau. Prakiraan iklim yang tepat diperlukan dalam

penentuan waktu dan pola tanam yang tepat, termasuk percepatan tanam.

Dalam upaya pengembangan teknologi hemat air di tingkat petak

usahatani (tersier) dalam budidaya padi sawah perlu tindakan sebagai berikut: (1)

pembuatan jadwal tanam dan pola tanam yang sesuai dengan golongan air; (2)

penggunaan varietas padi yang relatif toleran kekeringan dan berumur genjah,

namun bila ketersediaan air tidak mencukupi tidak perlu dipaksakan menanam

padi, dapat diganti dengan palawija; (3) penyusunan peta dan teknik pergiliran air;

(4) pemberdayaan kelembagaan air yang ada sehingga terjalin koordinasi dengan

instansi terkait; (5) perbaikan saluran dan pintu air serta dilengkapi alat ukur yang

tepat dan akurat; dan (6) perlu sosialisasi penggunaan alat field tube di tingkat

kelompok tani sehingga penghematan air irigasi secara bertahap dapat dicapai

(Setiobudi, 2010).

Rendahnya tingkat efisiensi penggunaan air selama proses pemakaian

diantaranya disebabkan kebiasaan petani yang masih senang menggunakan

genangan yang tinggi sampai 15 cm secara terus-menerus (continous flow)

;beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air (irigasi)

macak-macak dan tidak secara terus-menerus (rotasi) hasilnya tidak berbeda nyata

dengan genangan tinggi secara terus-menerus (Abdurachman et al., 1985).

Pengolahan tanah dengan cara dilumpurkan (puddling) pada sawah bukaan

baru juga telah diteliti meskipun belum dikaitkan dengan produksi tanaman padi.

(22)

kehilangan air melaui perkolasi yang berimplikasi pada peningkatan efisiensi

pemanfaatan air (Subagyono et al., 2001).

Efisiensi penggunaan air merupakan aspek penting berkenaan dengan

upaya peningkatan nilai ekonomi produksi pertanian pada lahan beririgasi.

Berkenaan dengan sawah beririgasi, Abbas et al. (1985) melaporkan bahwa

efisiensi penggunaan air pada lahan yang diirigasi secara macak-macak hampir

2-3 kali lebih tinggi dibanding dengan lahan yang digenangi terus-menerus. Hasil

yang serupa dilaporkan juga oleh Setiobudi (2001), bahwa dengan irigasi

macak-macak dari sejak tanam sampai 7 hari menjelang panen pada musim kemarau

maupun musim hujan dapat menghemat penggunaan air 40% dibanding dengan

penggunaan secara kontinu.

Sistem penggenangan juga berpengaruh terhadap effisiensi penggunaan

air. Genangan dalam (10-15 cm) seperti yang dilakukan petani pada umumnya

dapat menyebabkan tingginya kehilangan air lewat perkolasi sebesar 12.612,8

cu.m ha-1 yang di dalamnya juga terdapat unsur yang bersifat mobile, sehingga tingkat kehilangan hara juga menjadi tinggi dan hasil yang diperoleh sebesar 7,8 t

ha-1. Penurunan genangan menjadi 5-7 cm selain dapat menurunkan tingkat kebutuhan air irigasi sebesar 8.918,4 cu.m ha-1 dan juga dapat meningkatkan hasil tanaman hingga 10,5 t ha-1

Hasil penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa teknik irigasi dengan

sistem rotasi dapat menghemat penggunaan air 20-30% tanpa menyebabkan

terjadinya penurunan hasil. Metode ini juga mendukung lebih baiknya

pertumbuhan tanaman dan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan

(23)

Nueva Ecija, Filipina juga menunjukkan bahwa pemberian air dengan sistem

rotasi tidak menyebabkan terjadinya penurunan hasil, bahkan nampak adanya

kecenderungan peningkatan hasil panen.

Dengan irigasi berselang hasil padi meningkat hampir 7% dibanding

dengan hasil pada lahan yang terus-menerus digenangi, sementara hasil padi

dengan irigasi bergilir meningkat 2%. Kebutuhan air irigasi untuk sistem irigasi

dengan penggenangan terus-menerus adalah sebesar 725 mm, sedangkan untuk

irigasi gilir dan berselang masing-masing adalah 659 mm dan 563 mm. Curah

hujan selama periode irigasi adalah 579 mm (Krishnasamy et al., 2003). Dari hasil

penelitian di Tuanlin, Propinsi Huibei, China, Cagabon et al. (2002) melaporkan

bahwa irigasi dengan penggenangan terus-menerus membutuhkan air yang lebih

banyak, kemudian secara berurutan diikuti dengan pengairan berselang, sistem

penjenuhan pada bedengan, irigasi dengan penggelontoran (flus irrigation) pada

lahan kering (tanah dalam kondisi aerobik), dengan irigasi pada lahan tadah hujan.

Irigasi berselang lebih tinggi kontribusinys dalam peningkatan jumlah anakan

padi, lebar daun (leaf area) dan produksi biomassa (Gani et al., 2002).

Lebih jauh (Krishnasamy et al., 2003) melaporkan bahwa produkstivitas

lahan pada sistem irigasi berselang lebih tinggi 6,73% dibanding penggenangan

dan dengan sistem tersebut penggunaan air irigasi dapat dihemat hingga 21%

lebih tinggi dari sistem penggenangan. Efisiensi irigasi dengan sistem irigasi

berselang mencapai 77% lebih tinggi dibanding pada sistem penggenangan

(24)

Penelitian yang dilakukan IRRI dengan menggunakan varietas IR-8

menunjukkan tidak ada pengaruh nyata terhadap hasil tanaman untuk tingkat

penggenangan 1-15 cm. Sistem genangan dangkal (shallow flooding),

bagaimanapun memberikan hasil per unit penggunaan air yang lebih rendah, salah

satunya disebabkan oleh relatif lebihrendahnya kehilangan air lewat perkolasi.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun pada dasarnya penggenangan

secara terus-menerus tidak menyebabkan peningkatan hasil, penggenangan

sedalam 5-7 cm secara terus menerus kemungkinan merupakan praktek terbaik,

khususnya dalam hubungan pengendalian gulma dan efisiensi pemupukan (De

Datta et al., 1980).

Aktivitas pertanian terutama pertanaman padi, merupakan konsumen air

terbesar dunia. Di Asia, 86% dari total pemakaian air digunakan untuk pertanian

jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Amerika Utara dan Amerika Tengah

(49 %), serta Eropa (38%). Padi sawah beririgasi merupakan konsumen air yang

luar biasa besarnya, karena untuk menghasilkan 1 kg beras, konsumsi air

mencapai 5.000 liter. Bila dibandingkan dengan tanaman lain, padi tergolong

kurang efisien dalam menggunakan air karena dapat mengkonsumsi air sebesar

7.650 m3

Menurut Tejoyuwono, 1992 dengan mengambil hasil panen rerata

Nasional dengan program dengan program intensifikasi pada tahun 1989 sebesar

4,6 ton ha

per hektar (IRRI, 1995).

-1

gabah kering giling, koefisien konversi ke beras 0,7 dan kebutuhan air

satu kali panen 1.842 mm, maka untuk menghasilkan setiap 1 kg beras dengan

sistem sawah diperlukan air secara rerata sebanyak 5.720 liter. Jadi sistem sawah

(25)

Pertanaman padi di sawah merupakan budidaya tanaman yang paling

banyak menggunakan air. Air merupakan unsur sangat penting pada sistem sawah

dan ketersedian air dalam jumlah tinggi merupakan prasyarat persawahan. Air

diperlukan banyak untuk melumpurkan tanah, untuk menggenangi petak

pertanaman, dan untuk dapat dialirkan dari petak ke satu petak yang lain sehingga

sawah memberikan beban paling berat kepada sumberdaya air. Untuk satu musim

tanam diperlukan air sebanyak 1.500 mm, walaupun tidak semua air ini

dimanfaatkan untuk proses pertumbuhan dan evapotranspirasi. Sebagian air

tersebut mengisi cadangan air tanah (ground water), dan sebagian lagi merembes

kembali ke badan air. Dengan semakin kompetitifnya pengadaan air maka tidak

mudah mengadakan air dengan jumlah yang berlimpah tersebut untuk sawah

(Watung et al., 2003).

Pada budidaya padi sawah, ketersediaan air merupakan persyaratan utama.

Sys (1985) memaparkan persyaratan kesesuaian lahan untuk padi sawah dengan

kriteria S1 (sangat sesuai) adalah curah hujan selama periode tumbuh >1.400

mm/periode tumbuh), dan pada daerah dengan curah hujan kurang dari 800

mm/periode tumbuh dikategorikan sebagai lahan tidak sesuai (N). Kondisi

tersebut mengacu pada kebutuhan air pada petak sawah yang mencapai 940.7

mm/periode tumbuh (Arsyad, 1989).

Berdasarkan standar kebutuhan air menurut Departemen Pekerjaan Umum

untuk padi sawah atau dengan kata lain pembekalan baku air kepada lahan sawah

(26)

Sedangkan menurut pengukuran Mukarami (dalam Kalpage, 1976),

kebutuhan air sawah dapat juga dihitung secara rinci dengan menjumlahkan

kebutuhan air tiap tahap kegiatan budidaya. Kebutuhan air pada musim kemarau

lebih tinggi dari pada musim hujan karena laju evapotranspirasi lebih besar.

Untuk pelumpuran tanah, perataan muka tanah dan mempertahankan tanah jenuh

air selama 2 hari sebelum menyemai diperlukan air 170 mm. Evapotranspirasi

selama penyemaian air selama 20 hari menghabiskan air 66 mm pada musim

hujan (MH) atau 130 mm pada musim kemarau (MK). Perkolasi mulai

pembibitan sampai panen dengan laju 7 mm per hari selama 140 hari (20 hari

pembibitan ditambah 120 hari umur masak pertanaman padi) menghabiskan air

980 mm.

Menurut pengukuran di Indonesia, evapotranspirasi pada pertanaman padi

berlangsung dengan laju 4,4 mm pada MH atau 5,5 mm pada MK per hari. Maka

jumlahnya selama 120 hari adalah 528 mm pada MH atau 660 pada MK. Dengan

demikian jumlah kebutuhan air untuk satu kali panen adalah 1.744 mm pada MH

atau 1940 mm pada MK. Jumlah pada MH dapat dipenuhi dengan laju bekalan

1,6 liter detik -1 ha -1 sedang pada MK 1,8 liter detik-1 ha -1. Untuk angka pedoman, bisa diambil puratanya sebesar 1,7 liter detik-1 ha -1 dan jumlah keperluan air untuk satu kali panen sebesar 1.842 mm (Tejoyuwono, 1992). Untuk

meningkatkan intensitas tanam menjadi 3 kali tanam dan panen selama satu tahun

(IP 300) untuk menuju Indeks Pertanaman Padi 400 diperkirakan dibutuhkan air

(27)

Sumber air irigasi harus memenuhi syarat kualitas agar tidak berbahaya bagi

tanaman yang akan diairi, karena dalam jangka panjang dapat berpengaruh

terhadap kualitas hasil atau produk pertanian. Schwab dan Flevert, 1981

mensyaratkan kualitas air irigasi sangat tergantung dari kandungan sedimen atau

lumpur dan kandungan unsur-unsur kimia dalam air tersebut. Sedimen atau

lumpur dalam air pengairan berpengaruh terhadap tekstur tanah, terutama pada

penampang tanah akibat pori-pori tanah terisi atau tersumbat sedimen tersebut,

dan menurunkan kesuburan tanah. Sedimen atau lumpur yang mengendap di

dalam saluran irigasi akan mengurangi kapasitas pengaliran air dan memerlukan

biaya tinggi untuk pembersihannya.

Sifat-sifat kimia air pengairan berpengaruh terhadap kesesuaian air untuk

berbagai penggunaan, sehingga aman untuk setiap pemakaian. Sifat-sifat kimia

pengairan yang sangat penting diketahui dalam kaitannya dengan kegiatan

pertanian diantaranya adalah (1) konsentrasi garam total yang terlarut; (2)

proporsi garam (Na) terhadap kation lainnya (sodium adsorption ratio =SAR); (3)

konsentrasi unsur-unsur racun potensial yang dapat mencemari atau merusak

tanah; dan (d) konsentrasi bikarbonat, yang berkaitan erat dengan Ca dan Mg.

Bila sifat-sifat kimia air tersebut melebihi konsentrasi yang diizinkan,

pertumbuhan tanaman akan terhambat dan akan mengalami penurunan hasi

(Subagyono et al., 2005). Menurut Ramadhi (2002) hasil gabah di persawahan

Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung berkurang sekitar 60-70% dari

produksi normal akibat kualitas air mengandung Na dengan konsentrasi tinggi

(28)

berkualitas, hasil gabah pada persawahan tersebut dapat encapai 8-10 t ha-1 (Kurnia et al., 2003).

Pada umumnya, aspek kualitas air irigasi sering diabaikan karena

perhatian kita selalu tertumpu pada kuantitas. Salinitas dan salinisasi merupakan

masalah yang dapat terjadi pada lahan beririgasi, termasuk lahan sawah beririgasi.

Meskipun di Indonesia jarang terjadi walau pernah terjadi dalam jumlah yang

kecil, namun hal ini harus tetap diwaspadai. Dari hasil penelitian Kitamura et al.

(2003) di Kazakhtan melaporkan bahwa sumber salinitas ini berasal dari sumber

air irigasi yang berkadar garam relatif tinggi atau dapat juga dari air bawah tanah

yang melalui proses aliran air ke atas (upward movement).

Hasil penelitian Hur et al. (2003), dalam kasus kualitas air, pendekatan

baru dan konsep mempertimbangkan penggunaan lahan termasuk lahan sawah

yang meliputi 61% dari tanah garapan diperlukan untuk meningkatkan kualitas air

yang terkontaminasi oleh polutan pertanian di Korea.

Pada penelitian ini standart kualitas air yang digunakan sebagai acuan baik

atau tidaknya kualitas air dan tidak membahayakan lingkungan mengacu pada

Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 Tanggal 14 Desember 2001 tentang

Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran air.

Hal ini dapat dimungkinkan

melalui sistem beban pencemaran evaluasi, klasifikasi DAS dengan karakteristik

topografi dan batuan induk, sub-klasifikasi lahan garapan, penilaian potensi erosi

dan kemungkinan situs-spesifik (Best Management Practice) aplikasi BMP di

(29)

2.4. Gas Rumah Kaca (GRK)

Berdasarkan publikasi UNDP (2007), sampai tahun 2004, Indonesia

berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia

dengan emisi tahunan 378 juta ton (Mt) CO2-e. Namun pada Conference of Paties (COP) ke 12 di Nairobi, Kenya dengan dipresentasikannya makalah

Wetland International (Hooijer et al., 2006) perhatian dunia secara mendadak

tertuju kepada Indonesia, terlebih lagi sesudah Intergovermental Panel on Climate

Change (IPCC) yang terdiri dari 3000 pakar itu menerima laporan dari Wetland

International ini. Menurut tulisan tersebut Indonesia merupakan penghasil gas

rumah kaca tertinggi ketiga di dunia sesudah Amerika Serikat dan China. Emisi

gas rumah kaca Indonesia diperkirakan setinggi 3000 Mt atau 3 Giga ton (Gt)

CO2

COP 13 di Bali tidak menghasilkan resolussi mekanisme Reducing

Emissions from Deforestation and Degradation (REDD), baik untuk lahan

gambut maupun tanah mineral, namum sepakat dengan perlunya dilakukan -e per tahun. Lebih lanjut dikatakan bahwa sekitar 2000 Mt berasal dari lahan

gambut. Pembukaan hutan gambut yang pada umumnya dilakukan dengan tebas

bakar diperkirakan mengasilkan CO2 sebanyak 1400 Mt dan dekomposisi gambut

menyumbangkan sekitar 600 Mt CO2 setiap tahun. Emisi dari pembukaan hutan

dan perubahan penggunaan lahan bukan gambut dengan pembakaran juga sebesar

500 Mt dan yang berhubungan dengan pembakaran juga sebesar 500 Mt CO2-e.

Mungkin angka tersebut lebih disebabkan oleh ekstrakpolasi data saat kebakaran

(30)

Sebagai salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim,

Indonesia sangat berkepentingan dalam usaha penanggulangan pemanasan global

dan perubahan iklim yang menyertainya. Indonesia bertekad untuk meningkatkan

absorpsi karbon atau menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan

kehutanan. Perhatian terhadap pemanasan global terus meningkat sejalan kenaikan

emisi gas rumah kaca utama seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan

nitrogen dioksida (N2O). Menurut Inubushi et al. (2001), kontribusi gas CO2,

CH4, dan N2

Hasil pengukuran atmosfer menunjukkan bahwa kadar gas rumah kaca

(GRK) di udara terus meningkat seiring dengan aktivitas manusia. GRK

menimbulkan fenomena alam yang disebut efek rumah kaca yang berpengaruh

terhadap perubahan iklim global (Taylor dan MacCracken, 1990) yang ditandai

oleh timbulnya cuaca ekstrim yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas

tanaman.

O secara berturut-turut sekitar 60%, 20%, dan 6% terhadap total gas

rumah kaca.

Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan

manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil, proses

alamai, dan kegiatan alih guna lahan. Proses tersebut dapat menghasilkan gas-gas

yang makin lama makin banyak jumlahnya di atmosfer. Diantara gas-gas tersebut

adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan nitrogen dioksida (N2O).

Gas-gas tersebut memiliki sifat seperti rumah kaca yang meneruskan radiasi

gelombang pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan

radiasi gelombang-panjang yang dipancarkan bumi yang bersifat panas sehingga

(31)

Dalam kurun waktu 100 tahun mendatang konsentrasi gas-gas rumah kaca

tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dibanding zaman pra industri.

Pada kondisi demikian, berbagai GCM (global circulation model) memperkirakan

peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi antara 1,7-4,5o

Pemanasan global juga diperkirakan meningkatkan frekuensi dan

intensitas kejadian iklim ekstrim. Menurut Boer (2002) apabila konsentrasi CO C dalam 100 tahun

mendatang. Menurut IPCC (Inter-Governmental Panel on Climate Change) 2007,

peningkatan suhu global sebesar itu akan disertai dengan kenaikan air laut setinggi

15 hingga 95 cm yang disebabkan oleh mencairnya es di kedua kutub bumi. Gupta

(1997) membuat scenario dampak terhadap lingkungan di Indonesia pada tahun

2070 apabila emisi GRK tidak ditekan , yaitu: (i) kenaikan permukaan air laut 60

cm yang akan menyebabkan 3.3 juta penduduk pesisir pantai mengungsi; (ii) di

sektor kesehatan, perubahan iklim global menyebabkan meningkatnya kasus

malaria dari 2.075 pada tahun 1989 menjadi 3.246 pada tahun 2070; (iii) 1.000 km

jalan akan hilang beserta lima pelabuhan laut; (iv) 800.000 ha sawah akan

mengalami salinasi dan produksi padi menurun 2,5%, jagung 20%, kedelai 40%.

Total kerugian di bidang pertanian diperkirakan mencapai Rp 23 trilyun/tahun,

dan (v) 300.000 ha perikanan tepi pantai akan hilang dan 25% hutan bakau akan

rusak. Semua permasalahan ini dapat menyebabkan kerugian sekitar US$ 113

milyar.

2

di atmosfer meningkat dua kali lipat dari konsentrasi CO2 saat ini, maka

diperkirakan frekuensi kejadian ENSO (El-Nino and Southem Oscilation) akan

(32)

2-3 tahun. Selain itu, intensitas ENSO juga diperkirakan meningkat dua sampai

tiga kali lipat.

Mitigasi emisi GRK (gas rumah kaca) adalah upaya untuk menekan laju

emisi GRK dari berbagai kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas manusia.

Untuk menekan laju emisi GRK bukanlah suatu pekerjaan mudah, sebab sumber

pelepasan GRK berhubungan erat dengan berbagai sektor yang berkaitan langsung

dengan kehidupan manusia seperti energi, industry, pertanian, kehutanan, dan

pengelolaan limbah.Konvensi bangsa-bangsa untuk perubahan iklim UNFCCC

(United Nation Framework Convention on Climate Change) sudah membuat

komitmen untuk menekan laju perubahan iklim.Protokol Kyoto adalah salah satu

komitmen yang dihasilkan dalam UNFCCC. Kesepakatan yang dicapai adalah

bahwa selama periode 2008-2012, negara-negara maju wajib mengurangi tingkat

emisi GRK dengan rata-rata 5,2% dari emisi pada tahun 1990. Dalam

implementasinya, beberapa negara maju yang sudah menandatangani protocol

tersebut ternyata mengalami kesulitan, karena penekanan laju GRK akan

memukul sektor industry mereka. Oleh karena itu, terbentuklah suatu pola

kerjasama yang terkenal dengan istilah perdagangan karbon (carbon trade).Ada

beberapa mekanisme perdagangan karbon yang ditawarkan dalam Protokol Kyoto.

Dari beberapa mekanisme tersebut, mekanisme pembangunan bersih (clean

development mechanism,CDM) dianggap yang paling cocok diterapkan di

negara-negara berkembang, karena negara-negara maju dapat menyerahkan komitmennya untuk

menekan laju emisi di negara berkembang dengan memberikan dana kompensasi

(33)

menyerap emisi GRK. Indonesia sebagai negara berkembang sangat berpotensi

dalam upaya menyerap emisi karbon karena luasnya lahan hutan dan pertanian.

Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi konvensi perubahan

iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 dan juga telah meratifikasi

Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 yang dikeluarkan pada

tanggal 28 Juli 2004. Dengan ikutnya Indonesia dalam konvensi perubahan iklim,

maka Indonesia akan dikenakan kewajiban untuk melaporkan inventarisasi GRK

dan juga dapat memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh konvensi, seperti

dana mitigasi gas rumah kaca, dana adaptasi terhadap perubahan iklim dan

lain-lain.

Walau tulisan Hooijer et al. (2006) merupakan analisis terlengkap yang

ada saat ini dalam pendugaan emisi karbon lahan gambut di Indonesia, namun

tingkat ketidakpastian pendugaan (seperti diakui penulisnya dalam tulisan

tersebut) sangat besar (sekitar 60-70%). Perkiraan emisi tahunan CO2 yang nilai

tengahnya sekirat 3.000 Mt tersebut, berkisar 14.000 sampai 45.000 Mt.

Pemanasan global menyebabkan permukaan air laut naik dengan

konsekuensi risiko tenggelamnya wilayah pantai, perubahan pola curah hujan dan

iklim secara regional maupun global dan berpotensi merubah sistem vegetasi dan

pertanian. Secara umum masalah pemanasan global merupakan ancaman serius

bagi kelestarian kehidupan organisme dan menjadi isu lingkungan hidup global

sejak tahun 1990 (Soemarwoto, 1991; Duxbury dan Mosier, 1997; Greene dan

Salt, 1997; Murdiyarso, 2003). Perjalanan panjang mencapai suatu komitmen

(34)

terkini yang mengatur peran masing-masing negara dan sektor kehidupan terhadap

emisi GRK adalah Protokol Kyoto. Dalam dokumen tersebut sektor pertanian juga

mendapat porsi tugas mengatur besarnya emisi GRK. Proses produksi pertanian

on farm berkontribusi terhadap emisi CO2, CH4 dan N2O, sedangkan kegiatan

pertanian off farm misalnya pengawetan hasil pertanian secara pendinginan

berpotensi mengemisikan CFC. Pada kegiatan budidaya padi sawah GRK CO2

dihasilkan dari dekomposisi bahan organik secara aerobik, emisi CH4 dihasilkan

dari dekomposisi bahan organik secara anaerob dan emisi N2

Gas rumah kaca yang dihasilkan dalam tanah akan ditransportasikan ke

atmosfer melalui lintasan difusi gas dan sebagian lain gas terlarut dalam air dan

bergerak ke atmosfer melalui evapotranspirasi. Produksi dan transportasi GRK

tersebut berkaitan erat dengan potensial redoks, pH, porositas serta aerasi yang

secara praktikal dapat didekati dengan pengelolaan air. Pemanasan global (global

warming) yang disebabkan oleh menumpuknya gas-gas rumah kaca (GRK) seperti

karbon dioksida (CO

O dari dari tanah

melalui peristiwa denitrifikasi, nitrifikasi (Ishizuka et al., 2002; Inubushi et al.,

2003) dan emisi yang dimediasi oleh tanaman (Chen et al., 1999; Hou et al.,

2000).

2), metan (CH4), dan nitrogen dioksida (N2O), sering

dikaitkan dengan budi daya pertanian. Lahan pertanian merupakan sumber

penyumbang metan yang cukup ignifikan karena kondisi tanah yang tergenang

memudahkan terjadinya pembentukan metan. Luasnya areal pertanian khususnya

di negara-negara berkembang, diidentifikasi sebagai sumber dan penyumbang

utama peningkatan konsentrasi metan di atmosfer. Emisi metan dari lahan

(35)

al., 1984). Indonesia dengan luas lahan pertanian 6,8% dari luas lahan pertanian

dunia diduga memberi kontribusi sebesar 3,4-4,5 Tg CH4/tahun (1 Tg = 1012 g).

Berdasarkan data tersebut, tanah sawah bukan merupakan penyebab utama

peningkatan emisi metan secara global. Namun pada skala nasional, kontribusi

tanah sawah terhadap total emisi GRK masih cukup tinggi. Oleh karena itu upaya

penurunan emisi metan dari tanah sawah harus tetap dilakukan. Cara mitigasi

yang dipilih hendaknya tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan

bersifat spesifik lokasi. Selain itu, prioritas upaya mitigasi perlu diarahkan pada

ekosistem tanah sawah yang memiliki potensi emisi metan yang tinggi, yaitu pada

tanah sawah beririgasi.

2.4.1. Gas Metan (CH4

Gas yang dikatagorikan dalam GRK adalah karbon dioksida (CO

)

2), metan

(CH4), nitrogen dioksida (NO2), chlorofluorocarbon (CFC), hydrofluorocarbon

(HFC), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (N2O), dan gas-gas organik

nonmetan yang mudah menguap. Diantara GRK tersebut, CH4 dan N2

Secara global, suhu bumi mengalami peningkatan 0,8°C sejak satu abad

yang lalu. Peningkatan suhu tersebut disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas

rumah kaca seperti metan dan karbon dioksida di atmosfer akibat kegiatan

manusia yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas dan

batu bara), alih fungsi lahan serta aktivitas pertanian. Sektor pertanian disinyalir

sebagai salah satu sumber emisi gas rumah kaca, terutama metan. Luas sawah di

Indonesia yang lebih dari 10,9 juta hektar diduga memberi kontribusi sekitar 1% O

(36)

produksi padi maka setiap usaha peningkatan produksi padi harus dibayar dengan

kerusakan lingkungan berupa meningkatnya emisi metan. Kontribusi metan pada

pemanasan global berlipat ganda dibandingkan gas-gas rumah kaca lainnya.

Metan mempunyai kapasitas pemanasan gobal 21 sampai 25 kali lebih besar dari

karbon dioksida dan 206 kali lebih besar dari N2

Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menuntut kebutuhan bahan

pangan terutama beras juga meningkat. Selama musim basah, padi sawah

cenderung untuk memproduksi lebih banyak metan namun produksi cenderung

menurun. Usaha untuk menekan emisi metan dapat diupayakan dengan beberapa

mekanisme yang telah dikembangkan antara lain dengan pengelolaan air, seleksi

cultrivar dan penambahan bahan aditif pada tanah untuk menjaga kualitas tanah

(Epule, 2011)

O. Jadi upaya untuk menekan

peningkatan emisi metan merupakan salah satu cara yang paling ampuh dalam

mengantisipasi terjadinya pemanasan global.

Metan dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik.

Kondisi tergenang merupakan kondisi ideal bagi berlangsungnya dekomposisi

bahan organik di lahan sawah. Strategi utama dalam mengurangi kapasitas laju

produksi dan emisi metan dari lahan sawah adalah dengan memilih varietas dan

teknik budi daya yang tepat. Tanaman padi berperan aktif sebagai media

pengangkut metan dari lahan sawah ke atmosfer. Lebih dari 90% metan

diemisikan melalui jaringan aerenkima dan ruang interseluler tanaman padi,

sedangkan kurang dari 10% sisanya dari gelembung air.

Gas metan dihasilkan oleh sekelompok bakteri anaerobik obligat yang

(37)

metabolisme pertama selulose dirombak oleh bakteri acetogenik menjadi hasil

sekunder seperti asam formiat, asetat, CO2 dan H2. Bakteri metanogen dapat

mengubah CO2, CO dan H2, asam formiat, asetat, methanol dan metilamin

menjadi metan (Cicerone dan Oremland, 1988). Menurut Takai dalam Neue dan

Scharpenseel (1990), kebanyakan bakteri penghasil metan adalah mesofilik

dengan suhu optimum 30-400C dan hanya berfungsi pada potensi redoks (Eh) tanah di bawah 200 mV dengan pH optimum 6,4-7,8. Dengan demikian bakteri ini

hanya berkembang pesat pada tanah dengan kondisi anaerob, seperti banyak

dijumpai pada tanah-tanah tergenang. Secara umum sifat tanah yang tidak sesuai

bagi terbentuknya metan adalah : (1) Konduktivitas tanah < 4 mS/cm saat

tergenang; (2) pH <6,5 ; (3) mempunyai mineral feritik, gibsitik, feroginus atau

oksidik; (4) mengandung liat kaolinit atau haloisit <40%; (5) kandungan liat

>18% pada regim kelembaban epiaquik. Kondisi demikian biasanya ditemukan

pada jenis tanah Oksisol, Ultisol dan beberapa jenis tanah Aridisol, Entisol dan

Inceptisol. Sedangkan jenis tanah yang diduga sesuai bagi pembentukan metan

adalah ordo Entisol, Histosol, Alfisol, Inceptisol, Vertisol, dan Mollisol (Neue et

al., 1990). Jenis, sifat dan ciri tanah berpengaruh terhadap besarnya emisi metan.

Emisi metan dari tanah Latosol dengan inkubasi macak-macak adalah lebih tinggi

87,9% dibandingkan dengan tanah Inceptisol (Hidayat et al.,2000). Dalam kondisi

tergenang gas CH4 terlepas ke atmosfir dari tanah Latosol adalah lebih tinggi

69,9% dibandingkan dengan dari tanah Inceptisol. Potensi emisi metan pada tanah

Inceptisol di Jawa berkisar antara 0,2-201,5 CH4 kg-1 tanah, sedangkan untuk gas

(38)

Metan merupakan GRK kedua setelah CO2 dalam kaitannya dengan

pemanasan global atau efek rumah kaca. Daya pemanasan global satu molekul

metan (CH4) di troposfer sekitar 21 sampai 25 kali daya pemanasan satu molekul

CO2. Metan akan bertahan di lapisan troposfer sekitar 7-10 tahun. Metan

Metan dihasilkan oleh sekelompok bakteri yang menguraikan bahan

organik dalam keadaan anaerobik, misalnya pada lahan sawah dan rawa. Lahan

rawa dan sawah dipercaya merupakan sumber utama metan karena di dalamnya

terkandung banyak unsur karbon tanah dan suasananya anaerobik.

juga

merupakan salah satu GRK yang dihasilkan melalui dekomposisi anaerobik bahan

organik. Pemasukan intensif bahan organik berupa jerami pada keadaan tergenang

sangat ideal bagi berlangsungnya dekomposisi anaerobik di lahan sawah (Gambar

2.1).

Gambar 2.1. Dinamika produksi dan emisi metan (CH4 Sumber

) dari lahan sawah

(39)

Pada skala global, konsentrasi metan

Produksi (emisi) dan oksidasi metan pada lahan sawah dipengaruhi oleh

berbagai mikroorganisme yang aktivitasnya juga dipengaruhi oleh faktor biologi,

fisika, dan kimia tanah sawah. Rizosfer tanaman padi mempengaruhi produksi dan

oksidasi metan. Selama masa pertumbuhan tanaman, fluktuasi air sawah juga

mempengaruhi produksi dan oksidasi metan.

meningkat sekitar 1% setiap tahun.

Konsentrasi metan dewasa ini di udara telah mencapai 1,72 ppm (volume) lebih

dua kali lipat konsentrasi sebelum pra industri yang hanya 0,8 ppm (volume).

Lahan basah, termasuk lahan sawah, menyumbang 15-45% terhadap kadar metan

di atmosfer, sedangkan sumbangan lahan kering 3-10% (Segers and Kenger,

1997).

Padi sawah merupakan andalan utama dalam memproduksi padi di

negara-negara penghasil beras, termasuk Indonesia. Total emisi metan dari berbagai

ekosistem diperkirakan sekitar 600 tg/tahun-1 dan dari ekosistem padi sawah sekitar 25 s/d 50 tg tahun-1. Potensi emisi metan dari lahan sawah di Indonesia relatif besar. Luas sawah berbasis ekosistem tergenang diperkirakan sekitar 6 juta

s/d 7 juta ha. Hasil penelitian Adachi et al. (2001) menyatakan bahwa metan

dihasilkan dari hasil perombakan bahan organik secara anaerobik oleh peranan

bakteri metanogen. Emisi gas rumah kaca dari ekosistem padi sawah sekitar 7 %

CH4, 16% CO2, dan 6% N2

Metan dikenal sebagai gas rawa yang memiliki waktu tinggal di atmosfer

selama 12 tahun. Upaya untuk mengurangi atau mengendalikan emisi metan atau

(40)

aerob, proses reduksi CO2 menjadi metan dapat dihindari. Reduksi CO2

Sejak awal tahun 2007, tim peneliti dari Fakultas Pertanian Unpad kerja

bekerjasama mengembangkan dan mempercepat difusi metode intensifikasi padi

aerob terkendali berbasis organik ini dengan Kementerian Ristek. Pendekatan

holistik yang dilakukan metode ini tampaknya dengan memaduserasikan

manajemen kekuatan biologis tanah dan tanaman secara terpadu. Sistem produksi

yang diterapkan ternyata hemat air, bibit, dan pupuk anorganik dengan

menitikberatkan pemanfaatan kekuatan biologis tanah (pupuk dan agen hayati,

sistem perakaran), manajemen tanaman (seleksi benih, jarak tanam, teknik

penanaman dan pemeliharaan), pemupukan (pupuk organik, pupuk bio, anorganik,

dan teknik pemupukan) dan tata air secara terpadu dan terencana. Semuanya itu

dilakukan untuk mendukung dan memaksimalkan pertumbuhan dan

perkembangan tanaman padi secara optimal dalam kondisi aerob.

menjadi

metan hanya terjadi dalam kondisi anaerob.

Laju produksi dan emisi metan akibat proses dekomposisi bahan organik

di lahan sawah dapat diukur dengan peralatan gas kromatografi dan boks

penangkap gas yang beroperasi secara otomatik. Selama periode 1998-2004, Loka

Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian (Lolingtan) di Jakenan

menginventarisasikan emisi metan di sentra-sentra produksi padi di Jawa Tengah

(Tabel 2.1) menemukan bahwa emisi metan di beberapa daerah bervariasi,

tertinggi 798 kg CH4 ha-1 musim-1 dan terendah 107 kg CH4 ha-1musim-1. Variasi

emisi metan tersebut tidak hanya dipengaruhi secara signifikan oleh jenis tanah,

tetapi cara pengelolaan tanah dan tanaman yang kesemuanya ternyata mempunyai

(41)

sawah dapat ditekan. Penelitian di Jakenan menunjukkan bahwa laju produksi dan

emisi metan

Intensifikasi padi sawah dengan sistem tergenang (anaerob) selain

meningkatkan emisi gas rumah kaca, juga menyebabkan tidak berfungsinya

kekuatan biologis tanah (soil biological power) dan menghambat perkembangan

sistem perakaran tanaman padi. Dalam kondisi anaerob, keanekaragaman hayati

tanah sangat terbatas. Biota tanah yang aerob tidak dapat berkembang dan

diperkirakan hanya sekitar 25% perakaran tanaman padi yang berkembang dengan

baik.Konsekuensinya, potensi hasil dari berbagai varietas tanaman padi yang

diperoleh saat ini (4-5 ton ha

dapat ditekan antara lain melalui pemilihan varietas padi,

penggunaan pupuk anorganik, pengaturan air irigasi serta pemakaian herbisida.

-1

) diperkirakan hasil dari 25% sistem perakaran

saja.Pertanaman dengan sistem aerob (lembab) menghasilkan sistem perakaran

paling tidak sekitar 3-4 kali lebih besar bila dibandingkan dengan sistem

tergenang.Perkembangan sistem perakaran yang optimal dan didukung oleh

keanekaragaman hayati dalam tanah dapat meningkatkan potensi hasil padi

menjadi 3-4 kali lipat (15-20 ton ha-1

Tabel 2.1. Emisi metan

). Besarnya tingkat produktivitas yang

mampu dicapai sangat ditentukan kondisi agroekosistem dan tingkat penerapan

teknologinya.

Kabupaten

dari sentra produksi padi di Jawa Tengah

Klasifikasi tanah

(42)

Purworejo Eutrudepts, Undorthents IR 64 331,1 Cilacap Udipsamments,Endoaquepts IR 64 323,0

Pekalongan Endoaquepts IR 64/Way

Seputih

300,5

Pati Haplustents, Haplustalfs IR 64 155,2

Pemalang Hapludu lts IR 64 147,6

Temanggung Hapludu lts IR 64 107,1

Sumber: Setyanto et al. (2004)

Berdasarkan data tersebut, tanah sawah bukan merupakan penyebab utama

peningkatan emisi metan secara global.Namun, pada skala nasional, kontribusi

tanah sawah terhadap total emisi GRK masih cukup tinggi. Oleh karena itu, upaya

penurunan emisi metan dari tanah sawah harus tetap dilakukan. Cara mitigasi

yang dipilih hendaknya tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan

bersifat spesifik lokasi. Selain itu, prioritas upaya mitigasi perlu diarahkan pada

ekosistem tanah sawah yang memiliki potensi emisi metan yang tinggi, yaitu pada

tanah sawah beririgasi.

Suatu cara peningkatan produktivitas padi telah dirintis melalui

pendekatan Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu (PTT). PTT merupakan alternatif

pengelolaan padi secara intensif pada lahan sawah irigasi. Komponen PTT

meliputi pengelolaan hama terpadu, hara terpadu, air terpadu, dan gulma terpadu

telah dipraktekkan dan terbukti mampu meningkatkan hasil padi sawah sampai 1

tha-1. Di Tamil Nadu, India, PTT yang di terapkan selama MT 2002-2004 meningkatkan hasil panen 1,5 tha-1 (Balasubramanian et al., 2006). Hasil padi gogo yang dibudidayakan dengan pendekatan PTT mencapai 4.3 tha-1 Toha, 2005. Di Pinrang, Sulawesi Selatan, intensifikasi pertanian dengan PTT meningkatkan

pendapatan petani sebesar Rp 1.066.504/ha, atau 20,7% lebih tinggi dibandingkan

tanpa PTT (Arafah, 2005). Bila penerapan PTT ternyata dapat menekan emisi

Gambar

Tabel 2.1.  Emisi metan dari sentra produksi padi di Jawa Tengah
Tabel 2.2.   Perbandingan emisi CH4 (Mt/tahun) di Cina, India, Indonesia, Filipina  dan Thailand berdasarkan beberapa hasil penelitian
Tabel 2.3.  Emisi metan dan rasio kg hasil padi/kg emisi CH4 dari varietas padi utama di Indonesia
Tabel 2.4.   Emisi gas rumah kaca dalam satuan CO2 ekivalen (CO2-eq) dari lahan  sawah di Indonesia selama periode 2003-2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

The simulator enables us to test the place where we must carry out the TMM relief and identify the best configuration for the instruments at our disposal, the most

Saat ini, sistem jaringan LAN benar-benar menjadi sebuah komoditas yang tidak terbatas hanya pada perusahaan-perusahaan besar saja, tetapi juga dinikmati oleh para pengusaha

Dalam penelitian terdahulu bergerak pada studi industry sedangan penelitian ini bergerak pada lembaga pendidikan Tempat atau objek penelitian terdahulu juga berbeda dengan

Pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan material Wajib Pajak PPh Badan setelah dilakukan analisis menggunakan software SPSS version 17.0 diperoleh hasil

Pertimbangan mengenai eksepsi yang menyatakan kurang lengkapnya pihak, bahwa dalam eksepsinya Tergugat I dan Tergugat II menyatakan bahwa orang yang menjual tanah hak

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul ” Modifikasi proses

menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh Pola Makan terhadap Kejadian Anemia pada Remaja Putri di SMA Dharma Pancasila Medan Tahun 2013”..

dengan baik, udara yang masuk pada rumah atau bangunan tersebut dapat menjadikan ruangan. menjadi nyaman agar sirkulasi udara dari luar bangunan juga dapat masuk