LAJU EMISI GAS METAN (CH4) DAN SUHU UDARA PADA LAHAN PADI SAWAH AKIBAT TEKNIK
BUDIDAYA PEMBERIAN JERAMI
SKRIPSI
OLEH DAVID SIAGIAN
060303017 ILMU TANAH
PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LAJU EMISI GAS METAN (CH4) DAN SUHU UDARA PADA LAHAN PADI SAWAH AKIBAT TEKNIK
BUDIDAYA PEMBERIAN JERAMI
SKRIPSI
OLEH DAVID SIAGIAN
060303017 ILMU TANAH
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
Disetujui oleh
Dosen Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Ir. Posma Marbun, MP ) (Ir. Alida Lubis, MS) NIP. 19670712 199303 2 002 NIP. 19540721 197903 201
PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju emisi gas metan (CH4) dan suhu udara pada lahan padi sawah. Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan yang terletak di Jl. Pertambangan Medan Baru. Penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah (RPT) dengan petak utama adalah teknik budidaya (metode konvensional dan metode SRI), dan anak petak adalah pemberian jerami (kontrol, jerami segar dan kompos jerami).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik budidaya padi sawah sangat nyata meningkatkan emisi gas metan (CH4) dan juga sangat nyata meningkatkan suhu udara lahan padi sawah pada 60 HST, 90 HST dan 120 HST. Pemberian jerami tidak nyata meningkatkan suhu udara pada lahan padi sawah tetapi sangat nyata meningkatkan emisi gas metan (CH4).
Interaksi antara teknik budidaya dengan jerami tidak nyata meningkatkan suhu uadara pada lahan padi sawah tetapi sangat nyata meningkatkan emisi gas metan (CH4).
Teknik budidaya metode SRI dapat menurunkan emisi gas metan (CH4) sebesar 28,55 % - 51,04 % dibandingkan metode konvensional; kompos jerami mampu menurunkan emisi gas metan sebesar 3,42 % - 8,41 % dibandingkan jerami segar; dan interaksi antara teknik budidaya metode SRI dengan kompos jerami mampu menurunkan emisi gas metan (CH4) sebesar 33,42 % - 57,57 % dibandingkan teknik budidaya metode konvensional dengan jerami.
ABSTRACT
This study aims to determine the rate of emissions of methane (CH4) and air temperature in the paddy fields. The research was conducted in paddy fields are located on St Pertambangan Medan Baru. This study uses a design Separate plots (RPT) with the main plot is the cultivation techniques (conventional methods and SRI method), and the subplot is the gift of straw (control, fresh hay and straw compost).
The results showed that rice cultivation techniques are very real increase emissions of methane (CH4) and also the very real increase paddy land air temperature at 60 HST, HST 90 and HST 120. Provision of straw did not significantly improve the air temperature in the paddy fields but very real increase emissions of methane(CH4).
The interaction between cultivation techniques with straw did not significantly improve the temperature uadara on paddy land but very real increase emissions of methane (CH4).
SRI method of cultivation techniques to reduce emissions of methane (CH4) amounting to 28.55% - 51.04% compared to conventional methods; straw compost can reduce methane emissions by 3.42% - 8.41% compared with fresh straw, and the interaction between SRI method of cultivation techniques with straw compost can reduce emissions of methane (CH4) amounting to 33.42% - 57.57% compared to conventional methods of cultivation techniques with a straw. Key words:emission of methane (CH4), air temperature, rice paddies, cultivation
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan skipsi ini dengan
baik. Adapun judul skripsi ini adalah “ Laju Emisi Gas Metan (CH4) dan Suhu
Udara Pada Lahan Padi Sawah Akibat Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami ”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada
Ibu Ir. Posma Marbun, MP selaku ketua komisi pembimbing dan kepada
Ibu Ir. Alida Lubis, MS Ir. Alida selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan yang sangat berharga
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Ungkapan terima kasih yang besar juga penulis sampaikan kepada ayahanda dan ibunda, abang Roy Siagian SHut, kakak saya Imelda Siagian, SPd, dan adik Simon Siagian yang banyak memberi suntikan semangat, doa, dan
inspirasi selama penyelesaian skripsi ini. Kepada teman-teman satu tim penelitian, Sudung, Daud, Hotma, dan Anto dan teman yang membantu dalam penelitian
Orly, Celine dan Prius, atas kerjasama yang baik sehingga penelitian dapat terlaksana maksimal dari awal hingga akhir. Terima kasih kepada seluruh teman dan sahabat khususnya angkatan 2006 jurusan Ilmu Tanah atas segala dukungan
doa dan perhatiannya serta bantuan materil maupun moril yang telah diberikan. Semoga skripsi ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah ... 7
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Emisi Metan... 8
Teknik Budidaya ... 11
Pertanian Konvensional ... 11
Budidaya SRI (System of Rice Intensification) ... 14
Pengaruh Pemberian Jerami Terhadap Emisi Metan (CH4) ... 17
Tanah Sawah... 20
Pengukuran Fluks Emisi CH4 di Lapangan ... 22
BAHAN DAN METODE ... 24
Tempat dan Waktu ... 24
Bahan dan Alat ... 24
Metode Penelitian ... 25
Pelaksanaan Penelitian ... 27
Parameter yang Diamati ... 35
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
Hasil ... 36
Pembahasan ... 48
KESIMPULAN DAN SARAN ... 55
Kesimpulan ... 55
Saran ... 55
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju emisi gas metan (CH4) dan suhu udara pada lahan padi sawah. Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan yang terletak di Jl. Pertambangan Medan Baru. Penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah (RPT) dengan petak utama adalah teknik budidaya (metode konvensional dan metode SRI), dan anak petak adalah pemberian jerami (kontrol, jerami segar dan kompos jerami).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik budidaya padi sawah sangat nyata meningkatkan emisi gas metan (CH4) dan juga sangat nyata meningkatkan suhu udara lahan padi sawah pada 60 HST, 90 HST dan 120 HST. Pemberian jerami tidak nyata meningkatkan suhu udara pada lahan padi sawah tetapi sangat nyata meningkatkan emisi gas metan (CH4).
Interaksi antara teknik budidaya dengan jerami tidak nyata meningkatkan suhu uadara pada lahan padi sawah tetapi sangat nyata meningkatkan emisi gas metan (CH4).
Teknik budidaya metode SRI dapat menurunkan emisi gas metan (CH4) sebesar 28,55 % - 51,04 % dibandingkan metode konvensional; kompos jerami mampu menurunkan emisi gas metan sebesar 3,42 % - 8,41 % dibandingkan jerami segar; dan interaksi antara teknik budidaya metode SRI dengan kompos jerami mampu menurunkan emisi gas metan (CH4) sebesar 33,42 % - 57,57 % dibandingkan teknik budidaya metode konvensional dengan jerami.
ABSTRACT
This study aims to determine the rate of emissions of methane (CH4) and air temperature in the paddy fields. The research was conducted in paddy fields are located on St Pertambangan Medan Baru. This study uses a design Separate plots (RPT) with the main plot is the cultivation techniques (conventional methods and SRI method), and the subplot is the gift of straw (control, fresh hay and straw compost).
The results showed that rice cultivation techniques are very real increase emissions of methane (CH4) and also the very real increase paddy land air temperature at 60 HST, HST 90 and HST 120. Provision of straw did not significantly improve the air temperature in the paddy fields but very real increase emissions of methane(CH4).
The interaction between cultivation techniques with straw did not significantly improve the temperature uadara on paddy land but very real increase emissions of methane (CH4).
SRI method of cultivation techniques to reduce emissions of methane (CH4) amounting to 28.55% - 51.04% compared to conventional methods; straw compost can reduce methane emissions by 3.42% - 8.41% compared with fresh straw, and the interaction between SRI method of cultivation techniques with straw compost can reduce emissions of methane (CH4) amounting to 33.42% - 57.57% compared to conventional methods of cultivation techniques with a straw. Key words:emission of methane (CH4), air temperature, rice paddies, cultivation
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 2880K (150C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi
di atmosfer bumi. Sejumlah gas tersebut berperan seperti atap dan dinding kaca pada rumah kaca (green house) sehingga disebut gas rumah kaca (GRK). Gas-gas
penyusun efek rumah kaca adalah karbon dioksida (CO2), nitrous oksida (N2O), metan (CH4), nitrogen oksida (NO), sulfur hexaflorida(SF6), chlore flour carbon (CFC), dan hydro flour carbon (HFC). Dengan adanya GRK ini memungkinkan
cahaya matahari menembus “kaca” dan menghangatkan suhu bumi, inilah yang disebut dengan efek gas rumah kaca (efek GRK).
Tanpa efek GRK suhu bumi akan sangat rendah sehingga tidak mampu mendukung kehidupan organisme secara normal. Pada beberapa dekade terakhir ini emisi/pancaran GRK dari bumi terus meningkat sehingga kepekatannya di
atmosfer juga meningkat yang berdampak pada peningkatan suhu permukaan bumi. Gejala ini disebut dengan pemanasan global (global warming) yang
merupakan isu dunia yang menjadi bahan pembicaraan utama selama satu dekade terakhir ini. Bagian atmosfer yang paling peka terhadap pemanasan global adalah lapisan troposfer yaitu lapisan atmosfer yang paling dekat dengan permukaan
bumi.
Peningkatan suhu akibat pemanasan global diprediksi mencapai satu
iklim sebagai dampak nyata dari efek pemanasan global (global warming) sangat
merugikan sektor pertanian yang sangat bergantung pada iklim. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola hujan yang tidak menentu menyebabkan turunnya produksi akibat rusaknya tanaman (Setyanto, 2004).
Hasil penelitian PPLH-IPB pada tahun 2009 menyatakan bahwa sektor kehutanan (deforestri) penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia yaitu 42,5%
disusul energi dan transportasi sebesar 40,9%; sedangkan sektor pertanian menyumbangkan 13,4% emisi GRK. Pertanian padi terutama yang selalu tergenang merupakan sumber dari tiga macam GRK yaitu : karbon dioksida
(CO2), metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O), kontribusi masing-masing GRK tersebut terhadap pemanasan global dari tanah sawah adalah berturut-turut
sebesar 55%, 24% dan 15%.
Walaupun emisi CO2 sangat tinggi di pertanian padi tetapi gas ini akan kembali digunakan tanaman padi saat berlangsungnya proses fotosintesis dan akan
dikonversikan ke bentuk biomassa tanaman. Gas metana (CH4) yang dikenal sebagai gas rawa memiliki waktu tinggal di atmosfir 12 tahun, CH4 memiliki
kemampuan memancarkan panas 21 kali lebih tinggi dari CO2. Dengan berat molekulnya yang ringan, gas CH4 juga mampu menembus sampai lapisan ionosfer dimana terdapat senyawa radikal O3 yang berfungsi melindungi bumi dari
serangan radiasi gelombang pendek ultra violet. Kehadiran gas CH4 pada lapisan ionosfer menyebabkan penipisan lapisan O3 (ozon) bumi. Oleh karena itu, GRK
Laju emisi CH4 dari lahan sawah berkisar antara 26-21 Tg/tahun (terra
gram = 1012 gram; IPCC, 2002), atau sebanding dengan 6-29% total emisi CH4 per tahun (Inubushi et al., 2001 ; Prather et al., 2001). Laju produksi dan emisi CH4 di lahan sawah untuk tiap wilayah besarnya bervariasi. Variasi emisi CH4
tersebut di pengaruhi oleh jenis tanah, pengelolaan tanah dan tanaman (Setyanto, 2004).
Ekosistem dengan kondisi anaerob dominan, terutama akibat penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya merupakan sumber utama emisi CH4. Pada lahan sawah dengan sistem penggenangan
kontinyu maka suplai oksigen dari atmosfir ke tanah akan terputus, akibatnya terjadi fermentasi bahan organik tanah secara anaerob, yang akan menghasilkan
gas metan sebagai akhir prosesnya (Neue, 1993). Cara budidaya padi di Indonesia, terutama pengelolaan air irigasi dan rotasi tanaman, banyak melepaskan CH4 (metan), dan CO2 (karbon dioksida) ke atmosfer. Emisi CH4 sebagian besar
disebabkan oleh kegiatan-kegiatan yang tidak efisien, seperti pengairan yang terus menerus dan berlebihan, cara pemupukan atau penggunaan pupuk yang tidak
tepat.
Pengurangan emisi GRK (mitigasi) adalah suatu usaha untuk menekan laju emisi GRK dari berbagai kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas manusia
(Setyanto, 2004). Mitigasi selalu menjadi isu di dalam sidang-sidang tahunan konvensi kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim
mengurangi laju perubahan iklim, yaitu rata-rata sebesar 5,2% pada tahun 1990
(Setyanto, 2004).
Di bidang pertanian terutama pada budidaya padi sawah, upaya mitigasi yang dapat dilakukan melalui pengaturan kegitan pengelolaan lahan yang mampu
menekan laju emisi GRK adalah dengan pemilihan varietas, pengelolaan air irigasi dan penggunaan pupuk yang ramah lingkungan. Upaya pemecahan
persoalan produksi dan peningkatan produktivitas tanah sawah harus diimbangi dengan upaya pelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian upaya untuk menurunkan tingkat emisi CH4 dari tanah sawah harus
diarahkan dan dilakukan tanpa mengorbankan produksi beras (Setyanto, 2004).
Usaha gerakan hemat air terus dicanangkan mengingat sumber daya air
sangat terbatas. Berbagai metode budidaya padi telah diterapkan di Indonesia, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi beririgasi dengan perubahan pola pengelolaan tanaman, tanah, air, dan nutrisi. Pola pengelolaan air
dengan cara pemberian air irigasi secara terputus (intermitten) terbukti mampu menghemat air irigasi hingga 50%, tanpa mengurangi produktivitas tanaman.
Selain itu, pola ini juga dapat menurunkan laju emisi CH4 (Li, et al., 2002; Setyanto, 2004; Setyanto dan Abu Bakar, 2005).
Salah satu alternatif budidaya padi ramah lingkungan yang sekarang ini
mulai berkembang di Indonesia sejak tahun 1999 adalah System of Rice intensification (SRI). Ciri umum dari metode SRI yaitu pemberian air irigasi
penanaman 1 bibit perlubang tanam. Hasil di lapangan menunjukkan bahwa
dengan budidaya metode SRI, tingkat produktifitas tanaman padi dapat mencapai 8-10 ton/ha dengan penghematan air sekitar 50% (Setyanto, 2004).
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas tanah sawah serta produksi
tanaman padi adalah dengan pemberian jerami padi yang dapat dilakukan sebagai pupuk organik atau kompos. Namun dari hasil penelitian Schutz et al. (1989)
diperoleh bahwa pemberian jerami segar 12 ton/ha menghasilkan emisi CH4 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan tanpa pemberian jerami sedangkan pemberian jerami yang sudah dikomposkan ternyata tidak menghasilkan emisi CH4 yang
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui laju emisi gas CH4 dan suhu udara pada lahan padi sawah akibat perlakuan teknik budidaya dan pemberian jerami.
Hipotesis Penelitian
1. Teknik budidaya padi sawah akan mempengaruhi laju emisi gas CH4, suhu
udara pada lahan padi sawah.
2. Pemberian jerami akan mempengaruhi laju emisi gas CH4, suhu udara pada lahan padi sawah serta.
3. Interaksi antara teknik budidaya padi sawah dan jerami akan mempengaruhi laju emisi gas CH4, suhu udara pada lahan padi.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi petani padi sawah untuk mendapatkan teknik budidaya dan cara pemberian jerami yang
TINJAUAN PUSTAKA
Produksi dan Emisi Metan Dari Lahan Sawah
Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktifitas manusia (Sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik
dan sisanya (Sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Mudiyarso and Husin,1994). Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam proses produksi
gas metan (Li et al., 2005).
Konsentrasi metan (CH4) sebagai salah satu komponen gas rumah kaca di atmosfir ditentukan olah keseimbangan tanah sebagai sumber (source) dan rosot
(sink). Ekosistem dengan kondisi anaerob dominan, terutama akibat penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan
sumber utama emisi metan. Emisi metan dari lingkungan akuatik seperti tanah sawah pada dasarnya dipengaruhi oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Rudd dan Taylor, 1980).
Pengenangan adalah kerakteristik dari sistem irigasi tanah sawah. Pada kondisi tergenang, kebutuhan oksigen yang tinggi dibandingkan laju
penyediannya yang rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan yang oksidatif atau aerobik dimana tersedia oksigen dan lapisan reduktif atau enaerobik di bawahnya dimana tidak
tersedia oksigen bebas (Patrick and Reddy, 1978).
Metan diproduksi sebagai hasil akhir dari proses mikrobial melalui proses
(Zehnder dan Stumm, 1988; Neue, 1993; Murdiyarso and Husin 1994 ). Bakteri
ini hanya aktif bila kondisi tanah dalam keadaan tergenang.
Sebagian dari metan yang diproduksi akan dioksidasi oleh bakteri metanotrof yang bersifat aerobik di lapisan permukaan tanah dan di zona
perakaran. Bakteri ini menggunakan metan sebagai sumber energi untuk metabolisme. Sisa metan yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari
lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui air genangan ; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan melalui mekanisme ebulisi ; (3) gas metan yang terbentuk masuk ke
dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusi dalam
pembuluh aerenkimia untuk selanjutnya terlepas ke atmosfir
(Rennenberg et al., 1992).
Teknik Budidaya Tanaman Padi Sawah Pertanian Konvensional
Penerapan pertanian konvensional di Indonesia dimulai sejak digulirkannya sebuah program untuk meningkatkan produktivitas pertanian
dimulai dengan Padi Sentra pada tahun 1959-1962. Kemudian dilanjutkan dengan Program Demonstrasi Massal (Demas) tahun 1963-1964 dengan Swasembada Bahan Makanan (SSBM). Program ini dimulai dengan mengenalkan “Panca
Usaha Tani” yang meliputi penggunaan bibit unggul, perbaikan cara bercocok tanam, pemupukan yang baik, perbaikan pengairan, dan pengendalian hama dan
untuk pertanian di dalamnya. Program Intensifikasi Massal (Inmas) menyusul
dikenalkan sejak tahun 1969, merupakan program Bimas tetapi tidak ada kredit. Intensifikasi Khusus (Insus) sejak tahun 1980 dilakukan secara berkelompok dalam suatu kelompok hamparan. Pada tahun 1987 Insus dilanjutkan dengan
Supra Insus yang merupakan penyempurnaan Insus dengan penggunaan zat perangsang tumbuh serta kerjasama antar kelompok hamparan (Isnaini, 2006).
Dipicu oleh kemampuan pupuk kimia meningkatkan produktivitas tanaman dan dapat mengakhiri kerawanan pangan dalam waktu relatif pendek, maka penggunaan pupuk N, P dan K mengalami kenaikan yang sangat tajam.
Seperti dikemukakan oleh Wolf (1986) dalam Suhartini (2006) bahwa kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan penggunaan bahan kimia.
Selama 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan produksi, produktivitas, dan luas panen padi terus meningkat walaupun relatif kecil. Peningkatan produktivitas padi dicapai antara lain karena pemakaian pupuk kimia dengan dosis yang
semakin besar. Misalnya, rekomendasi pemakaian pupuk urea pada tahun 1970 sebesar 100-150 kg/ha, meningkat menjadi 200-250 kg/ha, dan pada tahun 1990
menjadi 300-350 kg/ha (Mulyadi, 2000).
Pencemaran atas tanah dan air tanah yang bersumber dari suatu kegiatan yang terencana misalnya kegiatan pertanian,yaitu penggunanaan pupuk, pestisida,
air irigasi yang berlebih dan mengandung pupuk, akan merembes ke dalam tanah dan mencemari tanah. Sumber lain dari kegiatan peternakan dimana pencemar
Sistem pertanian konvensional merupakan suatu sistem budidaya pertanian
yang mempraktikan kegiatan dan prosedur pertaniannya berdasarkan penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi yang dilakukan secara berkala. Sistem pertanian konvensional dengan praktik revolusi hijaunya telah diakui banyak membawa
kerugian bagi lingkungan hidup, maupun sosial ekonomi petani sendiri (Anonimous, 2003).
Ketergantungan petani akan keberadaan benih, pupuk anorganik serta pestisida kimiawi menyebabkan kehidupan petani sebagai produsen utama bahan makanan pokok tidak pernah bertambah baik. Sementara itu harga pupuk
anorganik semakin lama semakin mahal, sedangkan harga hasil panen dari petani tidak pernah bertambah baik (Anonimous, 2003).
Di sisi lain kondisi lahan pertanian menjadi rusak akibat penerapan secara terus menerus berbagai pupuk anorganik ditambah dengan berbagai pestisida kimia telah merusak kondisi tanah baik secara fisik, kimia ataupun biologinya,
yang akhirnya kondisi ini menyebabkan biaya produksi semakin tinggi (Anonimus, 2003).
Teknik Budidaya SRI (The System of Rice Intensification)
Tujuan dalam produksi tanaman budidaya moderen adalah memaksimalkan laju pertumbuhan dan hasil panen melalui manipulasi genetik dan
lingkungan. Genotipe dapat diubah melalui pemuliaan dan seleksi tanaman. Iklim mikro dapat diubah dengan banyak cara, antara lain pemilihan tempat, irigasi, drainase, pemupukan, pengendalian gulma, dan hama (Gardner, Pearce,
Upaya meningkatkan hasil padi sudah banyak dilakukan, salah satunya
dengan metodeThe System of Rice Intensification (SRI). SRI dapat meningkatkan hasil sampai 2 kali lipat bahkan lebih. SRI pertama kali dicobakan di Madagaskar tahun 1980 oleh Fr. Hendri de Laudanie. Kemudian berkembang ke Negara
Myanmar, Kamboja, Laos, India, Thailand, Philipina, bahkan ke Indonesia. Penelitian Norman Uphoff di Sukamandi pada musim tanam 1999-2000
menghasilkan 9,5 ton/ha sedangkan hasil padi pada tingkat petani sekitar 5,9 – 6,9 ton/ha, hasil padi pada musim tanam yang sama di Cianjur 6,3 ton/ha dan 6,8 ton/ha pada petani sekitar 4,1 ton/ha dan 5,4 ton/ha, terdapat peningkatan hasil
sekitar 1,4 sampai 2,3 ton/ha. Di Kamboja peningkatan hasil padi 150% dari konvensional dan di Thailand sekitar 20% dari konvensional (Uphoff, et al, 2002).
Meotode SRI adalah sistem intensifikasi padi yang membuat sinergis tiga faktor pertumbuhan padi untuk mencapai produktivitas maksimal. Ketiga faktor tersebut adalah maksimalisasi jumlah anakan, maksimalisasi pertumbuhan akar,
dan maksimalisasi pertumbuhan dengan pemberian suplai makanan, air, dan oksigen yang cukup pada tanaman padi (Armansyah, dkk, 2009).
Dengan metode SRI pengelolaan tanaman, tanah, air, pengaturan hara, kanopi dan sistem perakaran padi menjadi lebih luas. Hal ini memungkinkan menghasilkan lebih banyak eksudates dan peningkatan deposit akar. Hasil-hasil
penelitian selama ini, sebagian besar padi ditanam pada kondisi tergenang. Di dalam tanah anaerobik, banyak dari proses pertumbuhan padi dihambat atau
tempat yang menjanjikan untuk penelitian dan perbaikan kegiatan produksi
(Uphoff, 2003).
Keuntungan penerapan metode SRI : (a) hasil panen yang lebih tinggi peningkatan 50-200% dengan hasil 4-8 ton/ha bahkan ada sampai 10 ton/ha. (b)
lebih hemat air, penghematan air sampai dengan 50% dengan produktivitas yang lebih tinggi per volume air. (c) perbaikan mutu tanah dan pemakaian pupuk yang
lebih efisien baik organik maupun an organik. (d) kebutuhan benih yang lebih sedikit, 5-10 kg/ha benih yang dipakai atau 5-10 kali lipat lebih sedikit dari jumlah yang biasa dipakai ini membuat pemakaian benih unggul dan benih hibrida
jauh lebih murah dari para petani. (e) kebutuhan atas input yang di beri lebih sedikit air, pupuk, benih dan pestisida. (f) mutu benih yang lebih bagus
memungkinkan peningkatan hasil jenis padi tradisional yang dibudidayakan tanpa masukan pupuk kimia dan hasilnya dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, ketersediaan benih unggul dari pembiakan lebih cepat karena jauh lebih banyak
benih dapat dihasilkan oleh satu tanaman saja. (g) keuntungan bagi lingkungan hidup sebagai dampak berkurangnya kebutuhan atas air dan berkurangnya
pemakaian pupuk kimia atau pestisida atau tidak menggunakannya sama sekali (Uphoff and Erick, 2003).
Tanah sawah yang tidak tergenang (lembab) menyebabkan sistem
perakaran dapat berkembang secara maksimal karena tanah sawah pada kondisi tersebut mampu menyediakan oksigen dalam jumlah yang cukup untuk proses
meningkatkan produksi tanaman padi Pada sawah yang tergenang, tanaman padi
membutuhkan sejumlah besar energi untuk pembentukan dan aktivitas sel aerenchym untuk memasok oksigen, akibatnya energi berkurang untuk pertumbuhan anakan tanaman, sehingga jumlah anakan menjadi sedikit bila
dibandingkan dengan kondisi air yang tidak tergenang (Sunadi, 2008). Hasil penelitian menunjukkan jumlah anakan dengan metode SRI lebih banyak
dibandingkan dengan cara konvensional. Anakan yang terbentuk antara 60 – 125 batang.
Tabel 1. Perbedaan Sistem Konvensional dan Sistem SRI
Komponen Konvensional Metode SRI
1. Kebutuhan benih
Pengaruh Pemberian Jerami Terhadap Emisi Metan (CH4)
Bahan organik berupa jerami merupakan bahan amelioran penting dalam
menunjang kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut Soepardi
(1983), setengah dari kapasitas tukar kation tanah berasal dari bahan organik. Bahan
energi dari sebagian mikroorganisme tanah. Dalam memainkan peran tersebut, bahan
organik sangat tergantung dari sumber bahan penyusunnya.
Sumber dan susunan unsur hara bahan organik dari jerami segar dapat
dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 2. Sumber dan Susunan Unsur Hara Jerami Segar.
Unsur Hara Jerami Sumber : Dinas Pertanian (2008) dalam Perdana (2008)
Kompos jerami padi merupakan sisa panen tanaman padi sawah yang telah
didekomposisi oleh mikrobia perombak. Hasil penelitian Nuraini (2009) menunjukkan
bahwa kompos jerami memiliki kandungan N-organik 0,91%;
N-NH4 0,06%; N-total 1,03%; P2O5 0,69%; C-organik 19,09% dan air 9,22%. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kandungan yang nyata
antara kompos yang dibuat dengan menggunakan dekomposer dengan kompos tanpa
dekomposer, namun pembuatan kompos yang menggunakan dekomposer lebih cepat
dibandingkan dengan tanpa dekomposer.
Jerami yang mudah terdekomposisi merupakan bahan baku utama bagi bakteri
metanogenik dalam membentuk CH4di lahan sawah. Neue (1993), menghitung total emisi
CH4dari lahan sawah dari total biomassa kalau dikembalikan ke dalam tanah. Dengan
asumsi rata-rata 15% jerami, 50% gulma tanah dan seluruh akar tanaman ditambah
biomassa aquatik (algae dan gulma); jumlah yang dikembalikan itu setiap tahun (kurang
dikembalikan tersebut diubah menjadi CH4, maka sekitar 62,4 Tg (terra gram = 10
12
g)
CH4 akan dihasilkan dari lahan sawah setiap tahunnya di seluruh dunia.
Schutz et al. (1989) melaporkan bahwa penambahan jerami kering 3 ton/ha
menghasilkan emisi CH40,5 kali lebih tinggi dibanding dengan tanpa pemberian jerami,
dua kali lebih tinggi pada penambahan 5 ton/ha, dan 2,4 kali lebih tinggi pada
penambahan 12 ton/ha. Sedangkan penambahan 60 ton/ha jerami memberikan emisi yang
sama dengan pemberian 12 ton/ ha. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan pula bahwa
lahan sawah dengan penambahan jerami, urea dan amonium sulfat memberi emisi yang
lebih tinggi dibanding lahan yang hanya sekedar diberi jerami (tanpa pemupukan). Yagi
and Minami (1990) menemukan bahwa penambahan jerami 6 ton/ha dapat meningkatkan
emisi CH4 1,8 - 3,3 kali lebih besar dibanding hanya pemberian pupuk anorganik. Pada
penambahan 9 ton/ha emisi CH4yang dihasilkan 3,5 kali lebih besar. Hal yang menarik
dari penelitian ini adalah bahwa penambahan jerami yang sudah menjadi kompos
(terhumifikasi) tidak memberi emisi yang tinggi.
Penelitian Wihardjaka (2001) juga dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi metan terbesar didapat dari pemberian pupuk kandang, pemberian jerami segar, kompos jerami
dan tanpa bahan organik
Tabel 3. Emisi CH4 dan Hasil Gabah dari Beberapa Pemberian Pupuk Kandang
dan Jerami Padi yang Ditanam di Indonesia Per Musim Tanam
*Hanya Dilakukan Satu Musim Tanam
Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah
Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktifitas manusia (Sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik dan sisanya (Sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Mudiyarso and
Husin,1994). Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam proses produksi gas metan (Li, et al., 2005).
Konsentrasi metan (CH4) sebagai salah satu komponen gas rumah kaca di atmosfir ditentukan olah keseimbangan tanah sebagai sumber (source) dan rosot (sink). Ekosistem dengan kondisi anaerob dominan, terutama akibat
penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan sumber utama emisi metan. Emisi metan dari lingkungan akuatik seperti tanah
sawah pada dasarnya dipengaruhi oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Rudd and Taylor, 1980).
Pengenangan adalah kerakteristik dari sistem irigasi tanah sawah. Pada kondisi tergenang, kebutuhan oksigen yang tinggi dibandingkan laju
penyediannya yang rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan yang oksidatif atau aerobik dimana
tersedia oksigen dan lapisan reduktif atau enaerobik di bawahnya dimana tidak tersedia oksigen bebas (Patrick and Reddy, 1978).
Metan diproduksi sebagai hasil akhir dari proses mikrobial melalui proses
dekomposisi bahan organik secara anaerobik oleh bakteri metanogen (Zehnder and Stumm, 1988; Neue, 1993; Murdiyarso dan Husin 1994; Ohta., 2006). Bakteri
Sebagian dari metan yang diproduksi akan dioksidasi oleh bakteri
metanotrof yang bersifat aerobik di lapisan permukaan tanah dan di zona perakaran. Bakteri ini menggunakan metan sebagai sumber energi untuk metabolisme. Sisa metan yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari
lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui air genangan ; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air
genangan melalui mekanisme ebulisi ; (3) gas metan yang terbentuk masuk ke dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusi dalam
pembuluh aerenkimia untuk selanjutnya terlepas ke atmosfir
(Rennenberg, et al., 1992).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Metan (CH4)
1. Potensi reduksi-oksidasi (redoks) tanah
Potensi redoks (Eh) tanah merupakan faktor penting dalam produksi
metan. Potensial redoks (Eh) menunjukkan status reaksi oksidasi dan reduksi oksidan-oksidan tanah sebagai penyedia oksigen dalam tanah. Aktifitas bakteri
metanogen dan metanotrof sangat tergantung dengan ketersediaan oksigen dalam kondisi tanah jenuh air.
Berkaitan dengan kondisi reduktif, produksi CH4 terjadi pada kisaran nilai
Eh -150 mV (Hou et al., 2000) dan bergerak sampai di bawah -300 mV (Minamikawa et al., 2006) karena bekteri metanogen sebagai penghasil CH4
menurut Husin (1994) laju emisi CH4 tertinggi pada nilai Eh tersebut untuk
berbagai perlakuan pengelolaan air berbeda-beda. Kisaran laju emisi CH4 maksimum dan macak-macak berturut-turut 45, 20 dan 30 mg/m2/jam. Pada perubahan kadar air tanah dari kondisi jenuh dan tidak jenuh Eh bergerak antara
+600 dan -300 mV (Li, et al., 2005).
2. pH tanah
Sifat reaksi tanah yang dinyatakan dengan pH didasarkan pada jumlah ion H+ atau OH- dalam larutan tanah. Sebagian besar bakteri metanogen bersifat netrofilik, yaitu hidup pada kisaran pH antar 6 sampai 8 (Setyanto, 2004).
Pembentukan CH4 maksimum terjadi pada pH 6,9 hingga 7,1 (Wang, 1993), sedangkan waktu yang dibutuhkan pada tiap jenis tanah berbeda. Pada tanah
sawah di daerah tropis dimana suhu tanah berkisar 25-30oC, pembentukan CH4 dan NO terjadi paling cepat pada tanah alkali dan berkapur, yaitu beberapa jam hingga beberapa hari setelah penggenangan. Pada tenah netral setelah 2-3 minggu
setelah penggenangan, sedangkan tanah masam setelah 5 minggu atau lebih (Nue, 1993).
3. Suhu Tanah
Suhu tanah berkaitan erat dengan aktifitas mikroba di dalam tanah. Sebagian besar bakteri metanogen bersifat mesofolik yang beraktifitas optimal
pada suhu 30-40oC (Vogels, et al., 1988). Suhu tanah pada lapisan atas yaitu pada kedalaman antara 1 dan 10 cm berkaitan erat dengan laju emisi metan (Holzapfel
Perubahan suhu akan mempengaruhi produksi metan pada tanah sawah.
Pada kondisi tersedia cukup substrat, peningkatan suhu dari 170C ke 300C menyebabkan peningkatan produksi metan 2,5 sampai 3,5 kali lipat.
4. Varietas Padi
Tanaman padi bertindak sebagai media bagi pelepasan CH4 yang dihasilkan dari dalam tanah ke atmosfir, melalui pembuluh aerenkimia daun,
batang dan akar padi. Selanjutnya CH4 akan dilepas melalui pori-pori mikro pada pelepah daun bagian bawah. Varietass padi mempunyai bentuk, kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkimia yang berbeda. Perbedaan ini akan mempengaruhi
kemampuan tanaman padi meneruskan metan.
Biomass akar dan tanaman juga berpengaruh terhadap emisi metan
terutama pada stadium awal. Pada fase awal pertumbuhan tanaman padi banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolisme karbon oleh tanaman (Setyanto, 2004). Semakin banyak eksudat akar emisi metan makin
tinggi. Jumlah biomass akar juga mempengaruhi emisi metan. Makin banyak biomass akar yang terbentuk maka emisi metan makin tinggi pula.
Jumlah anakan juga merupakan faktor penentu besarnya pelepasan metan. Semakin banyak anakan maka kerapatan dan jumlah pembuluh aremkimia meningkat (Wihardjaka,2001).
5. Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah memberikan sumbangan terhadap kesuburan
substrat organik mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam tanah karena
bertindak sebagai sumber energi. Secara fisik berperan dalam memperbaiki struktur tanah.
Sumber bahan organik yang ditambahkan sangat menentukan
pembentukan metan di lahan sawah. Penelitian Wihardjaka (2001) dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik memberikan hasil bahwa emisi metan
terbesar didapat dari penambahan pupuk kandang, diikuti berturut-turut jerami segar, kompos dan tanpa bahan organik. Menurut Hadi (2001), pengomposan jerami padi dapat mereduksi emisi metan sampai separuhnya.
Berkaitan dengan bahan organik tanah, potensial redoks (Eh) tanah akan rendah jika tersedia karbon organik tanah dalam jumlah yang cukup dan
memungkinkan terbentuknya CH4 (Hou et al, 2000).
Pengukuran Fluks Emisi CH4 di Lapangan
Pengukuran fluks emisi CH4 di lapangan dilaksanakan dengan metode
sungkup statik yang terbuat dari polycarbonat yang berukukuran 50 cm x 50 cm x 100 cm yan dilengkapi dengan termometer untuk mengukur suhu di dalam
sungkup, serta fan kecil untuk mempertahankan agar udara di dalam sungkup homogen. Jarum suntik digunakan untuk mengambil sampel gas dari dalam sungkup.
Sampel gas CH4 diambil pada 40, 60, 90 dan 120 HST, masing-masing gas CH4diambil setelah tanaman padi disungkupi selama 10 menit untuk setiap
emisi pada pukul 07.00 – 09.00 wib merupakan fluks rata-rata. Saat pengukuran
fluks emisi CH4, sungkup diletakkan di atas alas aluminium dengan hati-hati. Saat petak dalam kondisi ada genangan, bagian bawah sungkup yang diletakkan pada alas aluminium berada di bawah permukaan air. Saat pengukuran dalam
kondisi tanpa genangan, alas aluminium diberi air sebelum sungkup dipasangkan di atasnya. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi udara dalam sungkup terhadap
pengaruh udara dari luar.
Pengambilan sampel gas CH4 dari dalam sungkup dilakukan dengan jarum suntik ukuran 10 ml. Untuk menghindari kebocoran, segera setelah pengambilan
sampel gas, jarum suntik ditutup dengan sumbat karet dan kemudian dibungkus dengan kertas aluminium foil yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi
matahari selama pengambilan contoh gas CH4. Jarum suntik tersebut selanjutnya disimpan di dalam wadah tertutup yang berisi es batu agar tidak terpengaruh udara luar dan untuk mempertahankan suhu tetap di bawah 50C karena gas CH4 akan
menguap pada suhu di atas 50C. Penetapan konsentrasi gas CH4 dilakukan dengan menggunakan peralatan Gas Chromatography, dengan mengirimkan sampel gas
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lahan sawah yang terletak di
Jl. Pertambangan, Kecamatan Medan Baru, Medan dengan letak koordinat 3o 13’ 17.8’’ LU dan 98o 24’ 2.7’’ LS, analisis gas dilakukan di Laboratorium
Balai K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) Medan Belawan, dan analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian USU
Medan dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl (di atas permukaan laut) yang
dilaksanakan mulai Desember 2010 sampai dengan April 2011.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu benih padi varietas Pandan Wangi sebagai objek percobaan, pupuk dasar (urea, SP-36, dan KCl), pupuk kandang ayam,
jerami padi, larutan EM4 untuk pengomposan, urine kambing sebagai bahan pestisida, dan aluminium foil untuk membungkus jarum suntik dari pengaruh
udara luar.
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sungkup plastik yang berukukuran 50 x 50 x 100 cm yang di dalamnya terdapat gabus
sebagai penutup bagian atas sungkup, termometer untuk mengukur suhu di dalam sungkup, fan (kipas) untuk menghomogenkan suhu dalam sungkup, jarum suntik
dalam pengolahan lahan dan pembersihan gulma, label nama untuk penanda
perlakuan, meteran untuk pembuatan plot.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terbagi dengan petak utama
(main treatment) adalah teknik budidaya konvensional (B1) dan teknik budidaya SRI (B2) dengan anak petak (sub-treatment) masing-masing adalah perlakuan
bahan organik jerami yaitu tanpa jerami (kontrol) (J0), jerami segar (J1), dan kompos jerami (J2). Dengan perlakuan anak petak sebanyak 3 ulangan, sehingga
diperoleh unit percobaan 2 x 3 x 3 = 18 unit percobaan.
Faktor perlakuan jerami : J0 = tanpa jerami (kontrol)
J1 = jerami segar (10 ton/ha atau 4 kg/plot) J2 = kompos jerami (10 ton/ha atau 4 kg/plot)
Bagan petak percobaan sebagai berikut :
B1 B2
Jumlah kombinasi perlakuan : 6
Jumlah ulangan : 3
Jumlah plot penelitian : 18 Jarak antar plot : 30 cm
J0 J1 J2 J1 J2 J0 J2 J0 J1
Luas plot : 4 m2
Jarak antar perlakuan : 1 m
Jarak tanam : 30 x 30 cm
Jumlah anakan per lubang tanam : 5 (konvensional), 2 (SRI)
Jumlah tanaman per plot : 180 (konvensional), 72 (SRI)
Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, metode analisis data yang akan digunakan untuk menarik kesimpulan adalah:
Yijk = µ + Bk + Bi + єik + Jj + (TV)ij + σijk
i = (1;2); j = (1;2;3); k = (1;2;3) dimana :
Yijk = Nilai pengamatan karena pengaruh faktor teknik budidaya (B) taraf ke-i dan faktor pemberian jerami (J) taraf ke-j pada ulangan ke-k
µ = Nilai tengah umum
Bk = Pengaruh ulangan ke-k
Bi = Pengaruh faktor teknik budidaya ke-i
Єik = Pengaruh sisa untuk petak utama atau pengaruh sisa karena pengaruh
faktor teknik budidaya (B) taraf ke-i pada kelompok ke-k Jj = Pengaruh faktor pemberian jerami yang ke-j
(BJ)ij = Pengaruh interaksi faktor faktor teknik budidaya (B) yang ke-i dan faktor pemberian jerami (J) yang ke-j
σijk = Pengaruh sisa untuk anak petak atau pengaruh sisa karena pengaruh
Pada faktor yang berpengaruh nyata dalam analisis sidik ragam selanjutnya
dilakukan uji rataan perlakuan dengan menggunakan uji jarak Duncan/DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5% dan 1%.
Pelaksanaan Penelitian
Pembuatan Kompos Jerami
- Jerami segar dipotong-potong sepanjang ± 3 cm dan direndam selama 1 malam.
Perendaman ini bertujuan agar jerami tetap lembab.
- Bahan aktif (urea, SP-36, kapur, pupuk kandang ayam, EM4) dicampur dan diaduk sampai rata dan dibagi atas 4 bagian.
- Jerami ditumpuk di atas lembaran plastik dimana jerami tersebut dibuat menjadi 4 lapisan.
- Pada lapisan jerami pertama (¼ bagian jerami) ditaburkan bahan aktif ¼ bagian dan dipercikkan air untuk menjaga kelembabannya.
- Setelah itu, tumpukkan kembali lapisan jerami kedua (¼ bagian jerami) dan
taburkan kembali bahan aktifnya ¼ bagian. Demikian seterusnya hingga jerami habis. Tinggi tumpukan jerami dibuat kurang dari 1,5 m agar memudahkan
dalam pembalikannya.
- Tumpukan ditutup rapat dengan plastik agar terlindung dari hujan dan panas dan diletakkan di tempat yang terlindung dari cahaya matahari secara langsung.
- Suhu tumpukan dipertahankan antara 40 – 50oC, bila suhu naik >50oC dilakukan pembalikan dan didiamkan sebentar agar suhu turun lalu ditutup kembali.
- Kompos jerami siap digunakan setelah 3 - 4 minggu.
Persemaian
Persemaian dilakukan 25 hari sebelum masa tanam, persemaian dilakukan pada lahan yang sama atau berdekatan dengan petakan sawah yang akan ditanami, hal ini dilakukan agar bibit yang sudah siap dipindah, waktu dicabut dan akan
ditanam mudah diangkut dan tetap segar. Bila lokasi jauh maka bibit yang diangkut dapat stres bahkan jika terlalu lama menunggu akan mati
Benih yang dibutuhkan untuk ditanam pada lahan seluas 1 ha sebanyak 20 kg. Benih yang hendak disemai sebelumnya harus direndam terlebih dahulu secara sempurna sekitar 2 x 24 jam, dalam ember atau wadah lainnya. Hal ini
dilakukan agar benih dapat mengisap air yang dibutuhkan untuk perkecambahannya.
Bedengan persemaian dibuat seluas 2 m². Lahan untuk persemaian ini sebelumnya harus diolah terlebih dahulu, pengolahan lahan untuk persemaian ini dilakukan dengan cara pencangkulan hingga tanah menjadi lumpur dan tidak lagi
terdapat bongkahan tanah. Lahan yang sudah halus lumpurnya ini kemudian dipetak-petak dan antara petak-petak tersebut dibuat parit untuk mempermudah
pengaturan air.
Benih yang sudah direndam selama 2 x 24 jam dan sudah berkecambah ditebar di persemaian secara hati-hati dan merata, hal ini dimaksudkan agar benih
yang tumbuh tidak saling bertumpukan. Selain itu benih juga tidak harus terbenam ke dalam tanah karena dapat menyebabkan kecambah terinfeksi patogen
Persiapan dan Pengolahan Lahan
Satu minggu sebelum mengolah tanah, petakan sawah diberi air sampai cukup untuk melunakkan tanah. Keadaan tanah sebaiknya sedikit basah. Petakan lahan dicangkul berkeliling dari bagian luar (tepi) menuju ke bagian tengah
petakan dan diratakan sehingga kondisi tanah dalam keadaan baik untuk media tumbuh bibit padi.
Pada pengolahan tanah sawah dilakukan perbaikan dan pengaturan pematang sawah serta selokan. Pematang sawah diupayakan agar tetap baik untuk mempermudah pengaturan irigasi dan mempermudah perawatan tanaman.
Pemupukan
Pada teknik konvensional ini pemberian pupuk organik jerami diberikan
sesuai taraf perlakuan empat minggu sebelum tanam. Penggunaan dosis pupuk untuk padi sawah untuk lahan satu hektar adalah Urea 200 kg, SP-36 200 kg, dan KCl 100 kg. Pemupukan SP-36 dan KCl diberikan satu kali yaitu satu hari
sebelum tanam. Pemupukan Urea dilakukan dua kali yaitu pemupukan pertama pada saat tanaman berumur 12 hari dengan dosis pupuk dua per tiga dari
kebutuhan pupuk keseluruhan, sedangkan sisa pupuk diberikan pada tahap kedua yaitu kira-kira pada 40 HST (hari setelah tanam). Pemupukan SP-36 dan KCl diberikan satu kali yaitu satu hari sebelum tanam. Pemberian jerami segar dan
kompos jerami dilakukan pada umur 2 minggu sebelum tanam dengan dosis sesuai dengan taraf perlakuan (4 kg/plot).
Bibit dipindah saat umur 20 – 25 hari. Ciri bibit yang siap dipindah ialah
berdaun 5 – 6 helai, tinggi 22 – 25 cm, batang bawah besar dan keras, bebas dari hama dan penyakit sehingga pertumbuhannya seragam.
Bibit ditanam dengan cara dipindah dari bedengan persemaian ke petakan
sawah, dengan cara bibit dicabut dari bedengan persemaian dengan menjaga agar bagian akarnya terbawa semua dan tidak rusak. Setelah itu bibit dikumpulkan
dalam ikatan-ikatan lalu ditaruh disawah dengan sebagian akar terbenam ke air. Bibit ditanam dengan posisi tegak dan dalam satu lubang ditanam 2 – 3 bibit, dengan kedalaman tanam cukup 2 cm, karena jika kurang dari 2 cm bibit akan
gampang tercabut. Jarak tanam padi dibuat 30 x 30 cm.
Penyulaman
Penyulaman dilakukan apabila ada tanaman yang mati atau terserang OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan menggunakan varietas dan umur yang sama (tanaman cadangan).
Pengairan
Pemberian air dilakukan dengan penggenangan secara terus-menerus
setinggi 5 cm dari permukaan tanah sampai pada masa berbulir padi.
Pemeliharaan
Pemeliharaan dari gulma dilakukan dengan mencabut gulma yang tumbuh
air dengan perbandingan 1 : 4. Penyemprotan dilakukan dua kali seminggu pada
sore hari. Volume semprot per tanaman ditentukan dengan cara kalibrasi.
B. Teknik Budidaya SRI
Persemaian
Sebelum disemai benih diuji terlebih dahulu di dalam larutan air garam. Larutan air garam tersebut adalah larutan yang apabila dimasukan telur maka telur
tersebut akan terapung. Masukan benih ke dalam larutan garam tersebut dan benih yang baik adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut dan benih yang terapung sebaiknya dibuang saja. Benih yang telah diuji dalam larutan air garam
tadi diambil dan dan di rendam dalam air. Setelah selesai, benih kemudian ditiriskan dan diperam selama 2 hari. Air rendaman benih tersebut jangan dibuang
karena dapat disemprotkan pada tanah lahan semai sebelum benih disemai. Penyemaian padi dapat dilakukan di lahan sawah yang telah disediakan atau dapat juga pada media tanah dan pupuk organik di dalam wadah segi empat ukuran
20 x 20 cm selama 7 hari. Setelah umur 7 – 10 hari benih sudah siap ditanam.
Persiapan dan Pengolahan Lahan
Satu minggu sebelum mengolah tanah, petakan sawah diberi air sampai cukup untuk melunakkan tanah. Keadaan tanah sebaiknya sedikit basah. Petakan lahan dicangkul berkeliling dari bagian luar (tepi) menuju ke bagian tengah
Pada pengolahan tanah sawah dilakukan perbaikan dan pengaturan
pematang sawah serta selokan. Pematang sawah diupayakan agar tetap baik untuk mempermudah pengaturan irigasi dan mempermudah perawatan tanaman.
Pemupukan
Pemberian pupuk kandang ayam diberikan satu minggu sebelum tanam dengan dosis 5,3 ton/ha. Pemberian jerami segar dan kompos jerami dilakukan
pada umur 2 minggu sebelum tanam dengan dosis sesuai dengan taraf perlakuan (4 kg/plot).
Penanaman
Benih yang telah disemai lebih kurang berumur 7 – 10 hari dipindahkan ke lahan yang telah dilakukan pengolahan tanah, dengan jumlah bibit satu batang per
lubang tanam.
Penyulaman
Penyulaman dilakukan apabila ada tanaman yang mati atau terserang OPT
dengan menggunakan varietas dan umur yang sama (tanaman cadangan).
Pengairan
Pemberian air dilakukan adalah secara intermittent atau terputus. Batas atas irigasi adalah macak-macak dengan ketinggian air 2 cm (pada fase vegetatif). Batas bawah irigasi adalah saat kondisi lahan terlihat retak halus dan bila ini
terjadi maka dilakukan pengairan kembali. Pembuangan kelebihan air (karena hujan) perlu dilakukan dengan memperhatikan kondisi ketersediaan air.
Pemeliharaan
Pemeliharaan dari gulma adalah dengan mencabut gulma yang tumbuh pada lahan. Pemeliharaan dari hama dilakukan dengan pemberian pestisida organik. Pestisida yang digunakan adalah urine kambing yang dicampur dengan
air dengan perbandingan 1 : 4. Penyemprotan dilakukan dua kali seminggu pada sore hari. Volume semprot per tanaman ditentukan dengan cara kalibrasi.
Pengambilan Sampel Gas Metan ( CH4)di Lapangan
Pengambilan sampel gas dilakukan pada waktu umur tanaman 40 HST, 60 HST, 90 HST dan 120 HST dengan menggunakan sungkup statik, sungkup
diletakkan pada plot percobaan dimana posisi kaki sungkup ditekan masuk kedalam tanah sampai bagian bawah sungkup berada di atas permukaan tanah
dengan kondisi bawah sungkup rapat dengan permukaan tanah yang bertujuan agar udara dari luar tidak masuk ke dalam sungkup, dan apabila kondisi lahan tergenang air maka posisi bawah sungkup diletakkan di bawah permukaan air atau
tepat diletakkan di permukaan tanah.
Setelah posisi sungkup sudah tepat dihidupkan fan atau kipas yang
terdapat di dalam sungkup yang bertujuan untuk menghomogenkan udara atau suhu di dalam sungkup dan biarkan selama 45 menit dan sampel diambil pada menit ke-15, menit ke-30 dan menit ke-45 pada setiap perlakuan. Setelah itu
sampel gas diambil dengan menggunakan jarum suntik yang berukuran 10 ml yang telah dipersiapkan sebanyak yang di perlukan dan diberi label nama untuk
Cara pengambilan sampel dengan jarum suntik dilakukan di bagian atas
sungkup, bagian atas sungkup terbuat dari gabus yang memiliki ketebalan 2 cm. Gabus berfungsi agar pada saat jarum disuntikkan dan dicabut menembus atas sungkup atau bagian gabus, udara yang berada di luar tidak masuk kedalam
sungkup atau sebaliknya udara yang berada di dalam sungkup tidak keluar. Untuk menghindari kebocoran, segera setelah pengambilan sampel gas maka jarum
suntik ditutup dengan sumbat karet kemudian dibungkus dengan kertas aluminium foil yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi matahari selama pengambilan contoh gas, dan kemudian dimasukkan ke dalam wadah termos tertutup berisi es
batu sehingga tidak terpengaruh udara luar dan suhu dipertahankan tetap dibawah 50C karena gas CH4 akan menguap pada suhu di atas 50C. Kemudian sampel gas
dianalisis di laboratorium dengan menggunakan alat gas kromatografi yang dilengkapi dengan electron capture detector ( ECD).
Parameter yang Diamati
1. Emisi Gas CH4 (mg/m2/jam) pada saat tanaman padi berumur 40 HST dengan metode GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectra)
2. Emisi Gas CH4 (mg/m2/jam) pada saat tanaman padi berumur 60 HST dengan metode GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectra)
3. Emisi Gas CH4 (mg/m2/jam) pada saat tanaman padi berumur 90 HST dengan metode GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectra)
4. Emisi Gas CH4 (mg/m2/jam) pada saat tanaman padi berumur 120 HST dengan metode GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectra)
5. Suhu udara di dalam sungkup saat tanaman padi berumur 40 HST dengan menggunakan termometer udara
6. Suhu udara di dalam sungkup saat tanaman padi berumur 60 HST dengan menggunakan termometer udara
dengan menggunakan termometer udara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Emisi Gas Metan (CH4) (mg/m3/jam)
Data emisi gas metan (CH4) akibat pengaruh teknik budidaya dan
pemberian jerami pada 40 HST, 60 HST, 90 HST dan 120 HST tanaman padi sawah dapat dilihat masing-masing pada Lampiran 5, 7, 9 dan 11, sedangkan sidik
ragam masing-masing pada Lampiran 6, 8, 10, dan 12 . Dari hasil sidik ragam diperoleh bahwa akibat perlakuan teknik budidaya, perlakuan pemberian jerami maupun interaksi antara teknik budidaya dan jerami berpengaruh sangat nyata
terhadap emisi gas metan (CH4).
Rataan emisi gas metan (CH4) pada tanaman padi sawah akibat pengaruh
perlakuan teknik budidaya dan pemberian jerami dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Rataan Emisi Gas Metan (CH4) (mg/m3/jam) pada Tanaman Padi Padi Sawah Akibat Perlakuan Teknik Budidaya dan Pemberian Jerami
Perlakuan Laju Emisi Gas Metan (CH4) (mg/m3/jam)
Dari Tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa pada saat tanaman padi sawah
berumur 40 HST interaksi antara teknik budidaya dan jerami pada perlakuan B1J1 menghasilkan emisi gas metan (CH4) tertinggi (1630,67 mg/m3/jam) yang sangat berbeda dengan semua perlakuan interaksi lainnya, sedangkan perlakuan
B2J0 menghasilkan emisi gas metan (CH4) terendah yaitu : 495,56 mg/m3/jam dan sangat berbeda juga dengan semua perlakuan interaksi lainnya.
Pada umur 60 HST emisi gas metan (CH4) tertinggi pada tanaman padi sawah dihasilkan oleh interaksi antara teknik budidaya dan pemberian jerami pada perlakuan B1J2 (2100,00 mg/m3/jam) yang tidak berbeda dengan perlakuan B1J1
(2025,78 mg/m3/jam) tetapi sangat berbeda dengan perlakuan interaksi lainnya. Perlakuan B2J0 menghasilkan emisi gas metan (CH4) terendah (494,22
mg/m3/jam) yang sangat berbeda dengan semua perlakuan interaksi lainnya. Perlakuan interaksi B2J1 dan B2J2 tidak berbeda dalam menghasilkan emisi gas metan (CH4) yaitu masing-masing sebesar : 1239,56 mg/m3/jam dan 1186,67
mg/m3/jam, tetapi sangat berbeda dengan semua perlakuan interaksi lainnya.
Pada saat tanaman padi sawah berumur 90 HST interaksi antara teknik
budidaya dan jerami pada perlakuan B1J1 menghasilkan emisi gas metan (CH4) tertinggi (1262,22 mg/m3/jam) yang sangat berbeda dengan semua perlakuan interaksi lainnya, sedangkan perlakuan B2J0 menghasilkan emisi gas metan (CH4)
terendah yaitu : 434,67 mg/m3/jam. Perlakuan interaksi B2J1 tidak berbeda dengan perlakuan B2J2 yaitu : 536,00 mg/m3/jam dan 535,56 mg/m3/jam, tetapi
sangat berbeda dengan semua perlakuan interaksi lainnya.
tertinggi (1630,67 mg/m3/jam) yang sangat berbeda dengan semua perlakuan
interaksi lainnya, sedangkan perlakuan B2J0 menghasilkan emisi gas metan (CH4) terendah yaitu : 495,56 mg/m3/jam yang juga sangat berbeda dengan semua perlakuan interaksi lainnya.
Pengaruh interaksi antara teknik budidaya dan jerami terhadap emisi gas metan (CH4) pada umur 40 HST, 60 HST, 90 HST dan 120 HST tanaman padi
sawah dapat dilihat pada Gambar 1-4, sedangkan grafik laju emisi gas metan (CH4) pada umur 40 HST, 60 HST, 90 HST dan 120 HST dapat dilihat pada Gambar .
Gambar 2. Pengaruh Interaksi Antara Teknik Budidaya dan Jerami Terhadap Emisi Gas Metan (CH4) pada Umur 60 HST.
Gambar 4. Pengaruh Interaksi Antara Teknik Budidaya dan Jerami Terhadap Emisi Gas Metan (CH4) pada Umur 120 HST.
Teknik Budidaya dengan Jerami pada Tanaman Padi Sawah Umur 40 HST, 60 HST, 90 HST dan 120 HST
Dari Gambar 5 terlihat bahwa emisi gas metan (CH4) semakin meningkat dari umur 40 HST menuju umur 60 HST dan menurun pada umur 90 HST dan
120 HST, interaksi antara teknik budidaya konvensional dengan jerami menghasilkan emisi gas metan (CH4) yang lebih tinggi dibandingkan dengan
interaksi antara teknik budidaya metode SRI dan jerami. Dari gambar di atas juga terlihat interaksi antara kompos jerami dengan teknik budidaya menghasilkan emisi gas metan (CH4) yang lebih rendah dibandingkan interaksi antara jerami
segar dengan teknik budidaya.
Suhu Udara (oC)
Data suhu udara (oC) pada lahan padi sawah akibat pengaruh teknik budidaya dan pemberian jerami pada umur 40 HST, 60 HST, 90 HST dan 120 HST dapat dilihat masing-masing pada Lampiran 13, 15, 17 dan 19, sedangkan
sidik ragam masing-masing pada Lampiran 14, 16, 18 dan 20. Dari hasil sidik ragam diperoleh bahwa akibat perlakuan teknik budidaya pada 40 HST, 60 HST,
90 HST berpengaruh nyata terhadap suhu udara (oC) pada lahan padi sawah dan berpengaruh sangat nyata pada umur 120 HST. Perlakuan pemberian jerami maupun interaksi antara teknik budidaya dengan pemberian jerami tidak
berpengaruh nyata terhadap suhu udara (oC) pada lahan padi sawah.
Rataan suhu udara (oC) pada lahan padi sawah akibat pengaruh teknik
Tabel 5. Rataan Suhu Udara (oC) pada Lahan Padi Sawah Akibat Perlakuan
Dari Tabel 5 di atas terlihat bahwa suhu udara (oC) pada lahan padi sawah
umur 40 HST, 60 HST, dan 90 HST tertinggi adalah akibat pengaruh teknik budidaya konvensional (26,28oC) yang berbeda dengan metode SRI. Pada umur 120 HST suhu udara (oC) pada lahan padi sawah tertinggi juga akibat teknik
budidaya konvensional 25,06oC yang sangat berbeda dibandingkan dengan metode SRI.
Pengaruh teknik budidaya terhadap suhu udara (oC) pada lahan padi sawah pada umur 40 HST, 60 HST, 90 HST dan 120 HST dapat dilihat pada Gambar 6-9 , sedangkan grafik laju suhu udara di lahan padi sawah pada umur 40
Gambar 6. Pengaruh Teknik Budidaya terhadap Suhu Udara (oC) pada Lahan Padi Sawah Pada Umur 40 HST
Gambar 8. Pengaruh Teknik Budidaya terhadap Suhu Udara (OC) di Lahan Padi Sawah Pada Umur 90 HST
Gambar 9. Pengaruh Teknik Budidaya terhadap Suhu Udara (oC) Pada Lahan Padi Sawah Pada Umur 120 HST
Gambar 10. Suhu Udara (oC) pada Lahan Padi Sawah Akibat Perlakuan Teknik Budidaya pada Umur 40 HST, 60 HST, 90 HST dan 120 HST
Dari Gambar 10 di atas terlihat bahwa suhu udara (oC) pada lahan padi sawah meningkat dari 40 HST hingga 90 HST kemudian menurun pada umur 120
HST, dan teknik budidaya konvensional menghasilkan suhu udara yang lebih tinggi daripada metode SRI.
Pembahasan
Emisi Gas Metan (CH4) (mg/m3/jam)
Dari hasil sidik ragam diperoleh bahwa akibat perlakuan teknik budidaya,
perlakuan pemberian jerami maupun interaksi antara teknik budidaya dan jerami berpengaruh sangat nyata terhadap emisi gas metan (CH4).
sedangkan perlakuan B2J0 menghasilkan emisi gas metan (CH4) terendah pada 40
HST, 60 HST, 90 HST dan 120 HST.
Jerami sebagai bahan organik merupakan sumber energi untuk meningkatkan aktivitas bakteri metanogen yang dalam proses perombakannya
menghasilkan gas metan (CH4). Sesuai dengan hasil penelitian Wihardjaka (2001) dalam penggunaan jerami pada tanah sawah diperoleh bahwa emisi metan (CH4)
terbesar diperoleh dari penambahan jerami segar, kompos jerami dan tanpa jerami. Hal ini terjadi akibat proses dekomposisi jerami segar yang lebih lama dibandingkan kompos jerami meningkatkan aktivitas bakteri metanogen untuk
menghasilkan gas metan (CH4).
Pada teknik budidaya SRI dilakukan pola pengairan intermitten dengan
tinggi genangan yang dangkal (1-2 cm) atau kondisi tanah dibiarkan macak-macak sampai tanah kering (tanah retak-retak) kemudian diairi kembali dengan tinggi genangan 1-2 cm. Kondisi ini akan menghambat keberadaan bakteri
metanogen di dalam tanah, dimana bakteri ini hanya dapat hidup pada kondisi tanah tergenang (anaeraob) sehingga metode SRI menurunkan laju emisi gas
metan (CH4) dibandingkan dengan metode konvensional.
Menurut Wihardjaka (2001), semakin banyak jumlah anakan maka jumlah pembuluh aerenkimia daun, batang dan akar padi akan semakin banyak yang
menjadi media bagi pelepasan gas metan (CH4) yang dihasilkan dari dalam tanah ke atmosfir. Tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun
Hal ini dapat terjadi karena kondisi pengairan yang intermitten pada metode SRI
menghambat keberadaan bakteri metanogen untuk memanfaatkan kompos jerami tersebut sehingga sumber emisi metan (CH4) hanya berasal dari jumlah anakan per rumpun sedangkan pada perlakuan teknik budidaya konvensional emisi metan
(CH4) berasal dari keduanya sehingga menghasilkan emisi gas metan (CH4) yang lebih tinggi.
Emisi gas metan (CH4) semakin meningkat dari umur 40 HST menuju umur 60 HST dan menurun pada umur 90 HST dan 120 HST. Hal ini dapat terjadi akibat pertumbuhan vegetatif yang terus meningkat, pengairan yang maksimal dan
masih tersedianya jerami padi yang kemudian mengalami penurunan pada fase generatif, pengeringan pada masa pematangan dan juga karena semakin sedikitnya
jerami di dalam tanah.
Suhu Udara (oC)
Dari hasil sidik ragam diperoleh bahwa akibat perlakuan teknik budidaya
pada 40 HST, 60 HST, dan 90 HST berpengaruh nyata terhadap suhu udara (oC) pada lahan padi sawah dan berpengaruh sangat nyata pada umur dan 120 HST.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu udara dalam sungkup adalah akibat terjadinya peningkatan gas metan (CH4), dimana yang lebih berpengaruh dalam peningkatan gas metan (CH4) ini adalah perlakuan teknik
budidayanya.
Suhu udara (oC) meningkat dari 40 HST hingga 90 HST kemudian
dengan laju emisi gas metan (CH4) sebagai GRK penghasil panas sehingga
meningkatkan suhu udara; yang ternyata meningkat jumlahnya pada fase vegetatif dan mulai menurun pada fase generatif, diperoleh juga teknik budidaya konvensional menghasilkan gas metan (CH4) yang lebih tinggi dari pada metode
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Perlakuan teknik budidaya berpengaruh sangat nyata terhadap laju emisi metan (CH4) pada umur 40, 60, 90, dan 120 HST sedangkan pada suhu udara
teknik budidaya berpengaruh sangat nyata pada umur 90 dan 120 HST dan berpengaruh nyata pada umur 40 HST dan tidak nyata pada umur 60 HST.
2. Perlakuan jerami berpengaruh sangat nyata meningkatkan laju emisi metan (CH4) pada umur 40, 60, 90, dan 120 HST, dan tidak berpengaruh nyata meningkatkan suhu udara di dalam sungkup.
3. Interaksi antara perlakuan teknik budidaya dan pemberian jerami berpengaruh sangat nyata meningkatkan laju emisi metan (CH4)40, 60, 90, dan 120 HST
tetapi tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan suhu udara.
4. Laju emisi metan (CH4) yang tertinggi adalah pada interaksi antara teknik budidaya konvensional dan pemberian jerami segar yaitu sebesar 2025.78
mg/m3/jam pada umur 60 HST, sedangkan laju emisi metan (CH4) yang terendah adalah pada interaksi antara teknik budidaya SRI dan tanpa
pemberian jerami yaitu 383,11 mg/m3/jam pada umur 120 HST.
5. Suhu udara tertinggi terdapat pada Teknik Budidaya Konvensional yaitu pada umur 60 HST dan 90 HST sebesar 26 oC, sedangkan suhu udara yang terendah
Saran
Untuk mengurangi emisi metan (CH4) dari lahan sawah, maka budidaya SRI merupakan teknik pengelolaan yang disarankan karena selain untuk menekan laju emisi metan juga sebagai tindakan dalam penggunaan sumberdaya air yang
jauh lebih hemat. Pemberian kompos jerami pada lahan sawah lebih baik dari pada jerami segar untuk menekan laju emisi (CH4)
Emisi (CH4) tetap dan selalu dihasilkan dari lahan padi sawah, namun jumlah gas yang diemisikan jauh lebih kecil dari pada yang dihasilkan dari kegiatan lainnya seperti industri atau pemakaian mesin-mesin berbahan bakar
minyak bahkan dari pengolahan hutan atau kegiatan peternakan. Oleh sebab itu kegiatan budidaya sawah tidak dapat dicegah atau dihalangi sedemikian rupa
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous.2003. Program Pertanian Ekologis. http://www.pplh.or.id/selo/ pertanian.php. [12 November 2010].
Armansyah, Sutoyo, N. Rozen dan R. Angraini. 2009. Pengaruh Periode Pengenangan Air terhadap Pembentukan Jumlah Anakan Tanaman Padi (Oryza sativa) dengan Metode SRI (the System of Rice Intensification). Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang.
Berkelaar, D. 2001. Sistim Intensifikasi Padi (The System of Rice Intensification-SRI) : Sedikit dapat memberi lebih banyak. Buletin ECHO Development Note, Januari 2001. ECHO Inc. 17391 Durrance Rd. North FtMyers FI.33917 USA. pp.1-6.
DeDatta, S.K., A.C dan C.P. Magnaye. 1969. A Survey of Forms and Sources of Fertilizer Nitogen for Flooded Rice. Soil and Fertilizer, 32:103-109.
Gardner, F.P, R.B.Pearce, dan R.L.Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia, Jakarta
Hadi, A. 2001. Makalah pada Seminar On-Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21. 1-14 Februari 2001.Sinergy Forum – PPI Tokyo Institute of Technology.
Hasibuan, B.E., 2004. Pupuk dan Pemupukan. Universitas Sumatera Utara, Fakultas Petanian, Medan.
Hou, A,X., G.X. Chen, Z.P.Wang, O. Van Cleemput, W.H. Patrick, Jr. 2000. Methane and Nitr ous Oxide Emissions from a Rice Field in Relation to Soil Redox and Microbial and Microbiological Process. Soil Sci. Soc. Am. J. 64 : 2180-2186.
Husin, Y .A. 1994. Metane Flux from Indonesia Wetland Rice: The Effects of Water Management and Rice Variety [dissertasion]. Bogor: Post Graduet Program, Bogor Agricultural University.
Isnaini, M., 2006. Pertanian Organik untuk Keuntungan Ekonomi dan Kelestarian Bumi. Kreasi Wacana, Yogyakarta
Kusumanto, 2009. Memahami Konsep Kesuburan Tanah. http//dian-kusumanto.blogspot.com. Diaskes 1 April 2010.
Li, Changseng, J. Qiu, S. Frolking, X. Xiao, W . Sallas and R. Sass. 2002. Reduced Methane Emissions from Large-Scale Chenges in Water Manegement of China’ Rice Paddies During 1980-2000.
Li,C,S. Frolking, X.Xiao, B. Moore III, S. Boles, J. Qiu, Y. Huang, W. Sallas, and R. Sass. 2005. Modeling Impact of Farming Management Alternatives on CO2, CH4 and N2O Emission : A Case Study for Water Management of Rice Agriculture of China. Global Biogeochemical Cycles Vol.19, GB3010, doi : 10.1029/2004GB002341.
Minamikawa, Kazunori and Naoki Sakai. 2006. Mitigation and Measurement of Methane Emission from Paddy Field. Final Report of International Symposium (Food and Environmental Preservation in Asian Agriculture). Murdiyarso D. Dan Y.A. Husin. 1994. Modelling and meausuring soil organic
matter dynamics and greenhouse gas emissions after forest conversion. Report of Workshop/ training course. Bogor. ASB_Indonesia report 1.
Mulyadi, 2000. Price Policies in Central Java,Ind.Impact on Demand for Urea Fertilizer in Paddy Production and The Resulting Nitrate Contamination, Ph.D Dissertation. University Putra Malaysia, Malaysia.
Mutakin, J. 2005. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System of Rice Intensification) Tesis. Pascasarjana. Unpad, Bandung.
Murbandono, L. 2000. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Edisi Revisi, Jakarta. Notodarmojo, S. 2005. Pencemaran Tanah dan Air Tanah. ITB, Bandung.
Nue, H. 1993. Methane Emission from Rice Field : Wetland Rice Fields May Make a Major Contribution to Global Warming. Boi Science 43 (7) : 446-73.
Nuraini, 2009. Pembuatan Kompos Jerami Menggunakan Mikroba Perombak Bahan Organik. Buletin Teknik Pertanian Vol. 14. No. 1, 2009 : 23 – 26. Ohta, Hiroyuki, 2006. Overview of Greenhouse Effect Gas Emission from
Agriculture Soil through Microbial Activities. Final Report of International Symposium : Food and Environtmental Preservation in Asian Agriculture.
Patrick W.M. Jr., and Reddy C.N. 1978. Chemical Change in Rice Soils. In IRRI, Soil and Rice. IRRI, Los Banos, Phillipines. Pp.361-379.
Rennenberg H,Wassman R., Papen H., and Seiler W. 1992. Trace Gases Exchange in Rice Cultivation. Acol. Bull. (Copenhagen) 42 : 164-173. Rudd J.W.N and Taylor C.D. 1980. Methane Cycling in Aquatic Emvironments.
Adv. Aq. Microbial. 2 : 77-150.
Purnomo, E. 2006. Peranan Bahan Organik untuk Menyuburkan Tanah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (Info Teknologi Pertanian No. 7)
Sanchez, P. A., 1993. Sifat dan Pengolahan Tanah Tropika, Jilid 2. Penerbit ITB, Bandung.
Suhartini, 2006.Kajian Keberlanjutan Sistem Usahatani Padi Semi Organik di Kabupaten Sragen. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tidak Dipublikasikan.
Sunadi. 2008. Modifikasi Paket Teknologi SRI (the System or Rice Intensification) untuk meningkatkan hasil padi (Oryza sativa (L) sawah. Disertasi Doktor Ilmu Pertanian pada Program Pascasarjanan Unand. Padang.
Sutanto, R. 1998. Inventarisasi Teknologi Alternatif Dalam Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Fakultas Pertanian UGM. Yogayakarta.
Setyanto, P., and R. Abu Bakar. 2005. Methane Emission from Paddy Fields as Influenced by Different Water Regimes in Central Java. Indonesian Journal of Agricultural Science 6 (1) : 1-9.
Uphoff, N, K.S.Yang, P. Gypmantasiri, K. Prinz, dan H. Kabir. 2002. The System of Rice Intensification (SRI) and Its Relevance for Food Security and Natural Resource Management In Southeast Asia. International Symposium Sustaining Food Security and Managing Natural Resource in Southeast Asia-Challenges for the 21st Century. January 8-11, 2002 at Chiang Mai, Thailand. (klaus.prinz@gmx.net); Advisor, Metta Development Foundation, Yangoon, Myanmar (h-kabir3@yahoo.com). 13 p.
Uphoff. 2003. Initial Report on China National SRI Workshop. Hongzou, 2-3 Maret 2003.
Vogels, G.D., J.T. Keltjens, and C. Van der Drift. 1988. Biochemistry of Methane Production Biology of an Aerobic Microorganism. Nature 350 : 406-409.
Wididana, G., N. 1998. Bokasi dan Fermentasi. Seri Informasi Teknologi EM. Institut Pengembangan Sumberdaya Alam ( ISPA), Jakarta.
Wihardjaka, A. 2001 . Emisi Gas Metan di Tanah Sawah Irigasi dengan Pemberian Beberapa Bahan Organik. Agrivita 23(1):43-51.