• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Optimum Budidaya Padi Intensif Dengan Pertimbangan Gas Metan Pada Sawah Irigasi Teknis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Optimum Budidaya Padi Intensif Dengan Pertimbangan Gas Metan Pada Sawah Irigasi Teknis"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia

dewasa ini memerlukan kerja keras dengan melibatkan puluhan juta orang yang

berhadapan dengan berbagai faktor alam dan pasar yang tidak selalu bersahabat

dan mendukung. Penyediaan pangan terutama beras dalam jumlah yang cukup dan

harga terjangkau tetap menjadi prioritas utama pembangunan nasional. Selain

merupakan makanan pokok lebih dari 95% rakyat Indonesia, bercocok tanam padi

juga telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 36,1 juta rumah tangga

petani di pedesaan, sehingga dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya

menjadi sangat penting dan strategis karena turut mempengaruhi tatanan politik

dan stabilitas nasional (Deptan, 2008).

Pertumbuhan jumlah penduduk dan dan tingkat konsumsi beras yang

masih tinggi menyebabkan kebutuhan beras terus meningkat. Hal ini berarti

pertumbuhan produksi tidak mampu mengimbangi peningkatan jumlah penduduk

(Hilman et al., 2010). Pada tahun 2011 jumlah penduduk 241,1 juta orang dengan

tingkat konsumsi 139,15 kg beras perkapita pertahun (BPS, 2011). Upaya

peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan pangan yang semakin

meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dapat ditempuh

dengan strategi pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, dan pemanfaatan

sumberdaya teknologi.

Salah satu indikator penting kinerja pemerintah terutama untuk sektor

(2)

berkualitas serta harga yang terjangkau bagi masyarakat. Ditengah krisis pangan

dunia yang dipicu oleh perubahan iklim, Pemerintah melalui Kementerian

Pertanian tetap menargetkan surplus 10 juta ton beras sampai tahun 2014, dan

pada akhirnya dijadikan agenda penting Kementerian Pertanian yang harus

didukung oleh seluruh Provinsi di Indonesia termasuk Sumatera Utara. Program

tersebut juga membutuhkan pengawalan dan kerjakeras secara terintegrasi dan

komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah.

Pencapaian surplus ini dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu menurunkan

konsumsi beras dan meningkatkan produksi beras. Penurunan konsumsi beras

dapat dicapai melalui diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan budaya

lokal. Penurunan ini menjadi bermakna karena diharapkan mampu berkontribusi

dalam menurunkan angka kerawanan pangan dunia yang mencapai 1,02 miliar

orang atau 15,8 persen dari jumlah total penduduk dunia (Renstra Kementan,

2009).

Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan

swasembada beras. Diantara tingginya pertumbuhan populasi penduduk, konversi

lahan sawah subur ke tanaman lainnya yang lebih bernilai jual tinggi,

pembangunan kawasan perumahan, perkantoran dan kawasan industri,

meningkatnya kompetisi antar-usahatani, keterbatasan sumberdaya air serta

terjadinya banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim (climate change) karena

pemanasan global (global warming), (Suyamto dan Zaini, 2010 ).

Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya

produksi di Indonesia antara lain juga disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman

(3)

penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan

pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor tersebut

memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus

menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut

perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan

khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional untuk pencapaian

swasembada dan swasembada berkelanjutan.

Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan

nasional, karena : 1) akses terhadap pangan dan gizi yang cukup menjadi hak

paling azasi bagi manusia, 2) kecukupan pangan berperan penting dalam

pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas, dan 3) ketahanan pangan

menjadi pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional

yang berkelanjutan (Las et al., 2006). Sehingga Upaya mempertahankan

ketahanan pangan nasional perlu dilaksanakan secara simultan melalui : 1)

pengendalian konversi lahan pertanian; 2) mencetak lahan pertanian baru; dan (3)

intensifikasi sistem pertanian dengan menerapkan teknologi yang dapat

meningkatkan produktivitas (peningkatan intensitas tanam) dan sekaligus

mempertahankan kualitas lingkungan. Namun menurut Agus dan Mulyani

(2006), peningkatan produktivitas dapat mengalami berbagai kendala diantaranya;

1) degradasi dan konversi lahan pertanian; 2) infrastruktur pertanian; 3)

ketersediaan sarana produksi; 4) adopsi teknologi tepat guna; 5) luas kepemilikan

lahan; 6) kelembagaan pertanian; 7) akses permodalan petani; 8) jaminan harga

hasil panen dan 9) perubahan iklim global. Berbagai penelitian dan permodelan

(4)

iklim memiliki dampak negatif terhadap produksi pertanian. Bahkan Warren et al.

(2006) memprediksi peningkatan suhu sebesar 30

Penelitian Wahyuni dan Wihardjaka (2007) serta Susandi (2008)

menyimpulkan dampak pemanasan global terhadap usaha pertanian adalah; 1)

penyusutan luas lahan sawah dan makin luasnya areal sawah yang terintrusi air

laut di daerah pantai akibat naiknya permukaan air laut ; 2) Makin sering terjadi

banjir dan kekeringan pada lahan sawah; 3) Kenaikan suhu yang berpengaruh

terhadap pola pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi; 4) Variabilitas

intensitas dan distribusi hujan akan mengubah awal musim tanam dan jadwal

musim tanam yang kemudian berdampak terhadap penurunan produksi pertanian;

5) Menstimulasi perkembangan organisme penggangu tanaman (OPT).

C akan menimbulkan kelaparan

bagi 600 juta jiwa, terutama dinegara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Lahan sawah, yang luasnya mencapai 7,7 juta ha, ternyata belum mampu

memenuhi kebutuhan pangan terutama beras, sehingga perlu ditambah dengan

impor. Produksi dan kebutuhan beras pada tahun 2010 mencapai 32,65 juta ton,

sedangkan kebutuhan mencapai 36,77 juta ton beras, sehingga terjadi defisit

sekitar 4,12 juta ton beras. Pada tahun 2015 diprediksi di Indonesia terjadi

kekurangan beras sebanyak 5,8 juta ton dan meningkat menjadi 7,49 ton beras

pada tahun 2020. Untuk menghasilkan padi sebanyak itu diperlukan luas panen

sekitar 13.500-15.000 ha lahan sawah atau luas baku sawah sekitar 9.000-10.000

ha dengan asumsi IP 150%. Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi

beras yang relatif tinggi menuntut peningkatan produksi yang sinambung,

(5)

Peningkatan Indeks Pertanaman (IP) merupakan salah satu skenario yang dapat

ditempuh untuk meningkatkan produksi padi (DEPTAN, 2008).

Menurut Pusat Sosial-Ekonomi dan kebijakan Pertanian (2010),

kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2050 diperkirakan 48,2 juta ton setara

dengan 80,3 juta ton gabah kering giling (GKG). Pada saat ini tingkat produksi

beras baru mencapai 36 juta ton atau setara 60 juta ton GKG. Kekurangan 12,2

juta ton beras pada tahun 2050 atau setara 20,3 juta ton GKG sebagian dapat

dipenuhi melalui peningkatan produktivitas. Dengan kapasitas produksi gabah

maksimal pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan yang dewasa ini 60,2 juta ton,

maka defisit sekitar 20 juta ton hanya dapat dicukupi melalui pemanfaatan lahan

rawa, lahan kering, dan peningkatan intensitas pertanaman (Suyamto dan Zaini,

2010).

Target Pemerintah melalui Kementerian Pertanian yaitu 70,6 juta ton GKG

dan 10 juta ton beras pada 2014 (Inpres No 5 Tahun 2011). Jumlah kebutuhan

beras yang sangat tinggi tersebut dapat dipenuhi dengan berbagai skenario antara

lain dengan peningkatan intensitas Pertanaman atau meningkatkan IP. Luas lahan

potensial untuk penerapan IP padi 400 di 17 provinsi mencapai 231.000 hektar

(BB Penelitian Padi, 2009), terutama pada lahan sawah beririgasi teknis di sekitar

waduk di Jawa dan luar pulau Jawa. Namun demikian, upaya peningkatan

intensitas tanam padi yang selama ini dipraktekkan akan mengurangi luas areal

pertanaman palawija, sayuran, tebu, dan tembakau pada lahan sawah. Dari segi

ekonomi usahatani, petani akan memilih pola tanam setahun yang paling

(6)

setahun upaya pencapaian swasembada dan swasembada pangan berkelanjutan

dapat diwujudkan.

Lembaga-lembaga penelitian seperti Badan Litbang Pertanian melalui

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) di Sukamandi telah menghasilkan

varietas padi umur pendek (Super genjah dan Ultra genjah) dengan tingkat

produktivitas yang tinggi, demikian juga teknologi pendukungnya sehingga dalam

waktu satu tahun melalui pengelolaan dan pola tanam yang baik dapat dilakukan

peningkatan produksi minimal 20 t ha-1 tahun-1

Konsep IP Padi 400 juga ditujukan untuk optimalisasi ruang dan waktu

sehingga indeks pertanaman dapat dimaksimalkan. Sumarno dan Kartasasmita

(2009) menyatakan bahwa budidaya kerja petani padi sawah pada saat ini belum

sepenuhnya mendukung diterapkannya program padi sawah IP 300 apalagi IP

400, walaupun sebenarnya dengan peningkatan intensitas tanam dari IP Padi 200

ke IP Padi 300 bahkan jika sampai ke IP Padi 400 dapat meningkatkan perluasan

dan kesempatan kerja yang semakin tinggi. Upaya peningkatan produksi padi

melalui intensitas tanam juga tidak bisa terlepas dari peran kelembagaan petani

dan kelompok tani, kelembagaan permodalan, kelembagaan pemasaran dan

kelembagaan penyuluhan pertanian. Menurut Mangkuprawira (2008), revitalisasi

kelembagaan pertanian melalaui peningkatan sumberdaya manusia.

melalui peningkatan IP sampai

400 khususnya pada lahan-lahan sawah beririgasi teknis.

Pengembangan indeks pertanaman padi menuju 400 (IP Padi 400) melalui

peningkatan intensitas tanam merupakan pilihan menjanjikan guna meningkatkan

produksi padi di Propinsi Sumatera Utara khususnya dan Nasional secara umum

(7)

dapat menanam dan memanen padi sebanyak empat kali secara rotasi dalam satu

tahun, secara terus menerus pada hamparan lahan yang sama. Pengembangan IP

Padi 400 memerlukan empat pilar pendukung. Pertama, produksi benih super

genjah dengan umur kurang 85 hari; kedua, dukungan pengendalian hama terpadu

(PHT), ketiga pengelolaan hara terpadu dan spesifik lokasi; dan keempat,

manajemen tanam dan panen yang efisien. Peningkatan intensitas tanam perlu

didukung dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang meliputi penerapan

komponen teknologi dasar dan komponen teknologi penunjang. Komponen

teknologi dasar meliputi ;1) penggunaan varietas unggul baru; 2) benih bermutu

dan berlabel; 3) peningkatan populasi tanaman dengan sistem jajar legowo 4:1

atau 2:1; 4) pemupukan berimbang spesifik lokasi (berdasarkan analisa tanah),

Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), Permentan NO. 40/OT.140/4/2007,

penggunaan BWD (Bagan Warna Daun) ;5) pengendalian organisme pengganggu

tanaman (OPT) melaui pengendalian hama terpadu (PHT); dan 6) pemberian

pupuk organik. Komponen teknologi penunjang meliputi; 1) pengolahan tanah

secara tepat; 2) tanam bibit muda 15 hari; 3) tanam bibit 1 bibit per lubang tanam;

4) pengairan berselang (intermittent), dan 5) panen tepat waktu (Irianto, 2008).

Peningkatan Indek Pertanaman (IP) merupakan langkah yang lebih

operasional dan lebih realistis dalam meningkatkan luas tanam dan panen menuju

produksi padi berkelanjutan, karena relatif tidak memerlukan biaya yang besar

namun dapat meningkatkan pendapatan petani walaupun dengan berbagai

permasalahan yang berkaitan dengan perubahan kualitas lingkungan baik kualitas

tanah, air, emisi gas rumah kaca (GRK) terutama metan (CH4) dan

(8)

merupakan sumber penyumbang metan yang cukup signifikan karena kondisi

tanah yang tergenang memudahkan terjadinya pembentukan metan. Luasnya areal

tanah pertanian khususnya di negara-negara berkembang, diidentifikasi sebagai

sumber dan penyumbang utama peningkatan konsentrasi metan di atmosfer.

Emisi metan tahunan secara global diduga sebesar 420-620 Tg tahun-1 dan

konsentrasinya meningkat 1% tiap tahunnya. Konsentrasi metan di atmosfer saat

ini diperkirakan mencapai 1.7 ppmV (IPCC 1992). Emisi metan dari lahan

pertanian diperkirakan sebesar 100 Tg tahun-1 (Yagi dan Minami 1990; Seiler et

al., 1984). Indonesia dengan luas lahan pertanian sebesar 6,8% dari luas lahan pertanian di dunia, diduga memberi kontribusi sebesar 3.4-4.5 Tg CH4

Pada skala nasional kontribusi lahan sawah terhadap total emisi GRK

masih cukup tinggi. Peningkatan intensitas pertanaman dengan sistem budidaya

padi sepanjang tahun merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produksi

namun disatu sisi dapat memicu emisi metan dari lahan sawah. Salah satu upaya

penurunan emisi metan dari lahan sawah dapat dilakukan dengan cara mitigasi

yang tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan bersifat spesifik lokasi

yaitu dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT).

tahun.

Penelitian tentang perubahan kualitas lingkungan terutama kualitas

tannah, kialitas air dan emisi metan di sentra produksi padi akibat peningkatan

intensitas tanam menjadi Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400) dilakukan

untuk mendukung produksi dan produktivitas padi berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Upaya pendukung swasembada dan swasembada berkelanjutan,

(9)

melalui pembukaan lahan baru (ekstensifikasi) dan intensitas budidaya

(intensifikasi). Intensitas budidaya melalui usaha peningkatan indeks pertanaman

yang diarahkan hingga indeks pertanaman (IP 400). IP 400 dicirikan antara lain :

benih berumur pendek, pupuk NPK sesuai dosis anjuran, pengendalian hama

penyakit tanaman, dan pengaturan air. Sehingga IP 400 diarahkan dan hanya

dimungkinkan pada lahan sawah berigasi teknis.

Penggunaan varietas unggul baru (VUB) dan intensitas penanaman

menyebabkan pemanfaatan unsur hara tanah meningkat sehingga ketersediaan

unsur hara secara alamiah berkurang. Untuk mengoptimalisasi produksi padi

diperlukan input pupuk anorganik secara komulatif tinggi sesuai kebutuhan

tanaman. Disisi lain, penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus

menyebabkan penurunan kualitas tanah, air dan peningkatan emisi Gas Rumah

Kaca (GRK) terutama metan.

Perubahan iklim dan tekanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan

hidup menyebabkan dampak terhadap komponen fisik, kimia, biologi, ekonomi,

sosial dan kesehatan lingkungan, baik dampak positif maupun dampak negatif.

Penanaman padi dengan Intensitas Pertanaman (IP) Padi 400 akan menimbulkan

dampak terhadap kualitas lingkungan karena adanya pengaruh pemakaian pupuk,

pestisida dan herbisida, Penjelasannya adalah residu bahan kimia tersebut

mengakibatkan berubahnya kualitas lingkungan karena pemakaiannya dalam

jumlah besar dan terus-menerus sepanjang tahun. Pada kondisi anaerob lahan

sawah yang terus ditanami merupakan sumber penghasil metan (CH4), nitrogen

dioksida (N2O) dan karbon dioksida (CO2), yang berarti menambah emisi

(10)

istirahat akan menghasilkan metan (CH4) dan nitrogen dioksida (N2

Perubahan kualitas lingkungan di sentra produksi padi akibat peningkatan

intensitas tanam Padi (IP Padi 400) meliputi perubahan kualitas tanah, kualitas

dan ketersediaan air untuk kelangsungan 4 musim tanam, peningkatan emisi gas

rumah kaca (terutama metan), perubahan hama penyakit utama padi lahan sawah

yang akan meningkat dan dominannya di tiap-tiap musim tanam selama 4 musim

tanam.

O) yang

tinggi. Hal-hal tersebut adalah dampak negative. Sejauh mana hal-hal tersebut

berdampak terhadap lingkungan perlu penelitian lebih mendalam. Pemakaian air

yang terus menerus sepanjang tahun juga akan mengakibatkan perubahan fungsi

lingkungan seperti daya dukung dan daya tampung, sumber daya air untuk

kelangsungan pertumbuhan tanaman padi dan kualitas air akibat penggunaan

pupuk dan pestisida yang terus-menerus.

Disamping dampak negatif tentunya ada dampak positif dari Indeks

Pertanaman (IP Padi 400), yaitu peningkatan frekuensi panen menjadi 4 kali dan

hasil produksi gabah menjadi lebih besar dibandingkan hanya 2-3 kali panen.

Pendapatan petani akan meningkat dan penggunaan tenaga kerja juga tinggi,

sehingga mampu menampung penyerapan tenaga kerja secara berkesinambungan.

Oleh sebab itu, pola perubahan kualitas lingkungan di sentra produksi padi akibat

peningkatan intensitas pertanaman padi 400 menuju Produksi Padi Berkelanjutan

perlu diteliti secara komprehensif.

Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut maka rumusan masalah

(11)

1. Kebutuhan pangan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk,

sementara lahan untuk produksi cenderung berkurang. Perubahan iklim global

sering mengakibatkan kekeringan dan banjir serta peningkatan kelembaban

sehingga terjadi break OPT yang semuanya menyebabkan terjadinya gagal

panen.

2. Akibat Intensitas Pertanaman yang tinggi dapat berdampak negatif terhadap

perubahan kualitas lingkungan (kualitas tanah, kualitas air, dan emisi metan di

sentra produksi padi.

3. Peningkatan produksi secara komulatif melalui peningkatan intensitas

pertanaman dapat meningkatkan pendapatan dan nilai tambah petani, tetapi

dapat juga menurunkan kualitas lingkungan. Berusaha tani pada kondisi

demikian memerlukan biaya produksi yang lebih tinggi sehingga marjin

keuntungan secara ekonomi berkurang.

1.3. Kerangka Pemikiran

Peningkatan indeks pertanaman akan menyebabkan perubahan kualitas

fungsi lingkungan seperti daya dukung dan daya tampung sumberdaya lahan dan

lingkungan. Kondisi pertanaman padi yang terus menerus sepanjang tahun tanpa

jeda menuntut penggunaan pupuk anorganik khususnya urea meningkat,

menyisakan residu yang dapat merusak lingkungan.

Hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi gas rumah kaca, terutama

metan. Selanjutnya metan dan residu pupuk (N2

kehidupan sosial ekonomi petani. Manfaat positif dari penanaman padi

secara terus menerus pada satu hamparan yang sama dan tetap yaitu produksi padi ) dapat menyebabkan perubahan

(12)

meningkat, pendapatan meningkat akan menghasilkan sistem input output yang

saling mempengaruhi. Gambar 1.1 menunjukkan alur berfikir logis (logical frame

work) dari permasalahan, hubungan antar faktor dan upaya pengelolaannya.

Gambar 1.1. Rumusan masalah model optimum budidaya padi intensif, rendah emisi metan dan berkelanjutan pada sawah irigasi teknis.

Lahan Sawah Irigasi Teknis

VUB

Intensitas Pertanaman (IP 400)

Pupuk

Ekonomi (Analisi Usaha Tani)

(13)

Fokus dalam penelitian ini lebih kepada analisis perubahan kualitas

lingkungan pada sawah meliputi perubahan kualitas tanah (sifat kimia dan

dinamika unsur hara, perubahan kualitas air (sifat fisik dan kimia), analisis emisi

metan (CH4

1.4. Tujuan Penelitian

) serta mitigasi dan antisipasi dalam penekanan emisi metan akibat

peningkatan intensitas tanam menjadi Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400)

sehingga pada akhirnya akan dihasilkan model optimum budidaya padi intensif

berkelanjutan pada sawah irigasi teknis dengan beberapa skenario sehinga

sehingga prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan.

1. Menganalisis pola perubahan kualitas tanah, kualitas air dan emisi metan

(CH4

2. Menganalisis produktivitas dan ekonomi akibat peningkatan intensitas

pertanaman padi pada lahan sawah irigasi teknis. ) akibat peningkatan intensitas pertanaman.

3. Menyusun model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis

dengan pendekatan PTT yang rendah emisi metan secara berkelanjutan.

4. Menganalisis indeks keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif

dengan peningkatan intensitas pertanaman pada sawah irigasi teknis

5. Menyusun strategi kebijakan dalam penerapan model optimum budidaya padi

intensif pada sawah irigasi teknis dengan pendekatan PTT yang rendah emisi

metan secara berkelanjutan.

1.5. Hipotesis

1. Budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman

(14)

besar akibat peningkatan intensitas pertanaman kecuali dikelola dengan

pendekatan PTT.

2. Budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman dapat

meningkatkan produksi dan produktivitas serta pendapatan petani jika dikelola

dengan pendekatan PTT.

3. Model optimum budidaya padi intensif dapat mempertahankan produksi dan

produktivitas padi yang tinggi dan berkelanjutan.

1.6. Manfaat Penelitian

1. Penelitian model optimum budidaya padi intensif berkelanjutan melalui

peningkatan intensitas pertanaman pada sawah irigasi teknis diharapkan

mampu meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan petani

khususnya dalam mendukung Program Peningkatan Produksi Beras

Nasional (P2BN).

2. Pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian sawah irigasi secara Optimum

akan memberikan margin keuntungan ekonomi terbesar, kualitas lingkungan

tetap terjaga sehingga dapat menjamin keberlanjutan usahatani dalam

menentukan swasembada berkelanjutan.

3. Diperolehnya rekomendasi kebijakan model optimum budidaya padi intensif

berkelanjutan pada sawah irigasi teknis.

1.7. Novelty Penelitian

Membangun model optimum budidaya padi intensif melalui peningkatan

Gambar

Gambar 1.1.  Rumusan masalah model optimum budidaya padi intensif, rendah                       emisi metan dan  berkelanjutan pada sawah irigasi teknis

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Jum’at tanggal Dua Puluh Empat bulan Pebruari tahun Dua Ribu Tujuh Belas, kami Pokja Pelelangan Konsultansi Pengawasan Pembangunan Gedung Kuliah Kampus II

Dengan adanya pendidikan pancasila saya menyadari bahwa ini sangat penting untuk menunjang kehidupan saya untuk lebih memperhatikan norma-norma yang berlaku pada

Berdasarkan data dari pra penelitian tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana pola komunikasi pasutri yang istrinya bekerja dan suami tidak bekerja

Pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan material Wajib Pajak PPh Badan setelah dilakukan analisis menggunakan software SPSS version 17.0 diperoleh hasil

pengalaman siswa setelah mengikuti pembelajaran. Guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur interaksi dan lingkungan belajar, guru

Resital yang telah penulis lakukan diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa instrumen mayor cello dan piano sebagai bahan pembelajaran dan menambah wawasan terhadap

The simulator enables us to test the place where we must carry out the TMM relief and identify the best configuration for the instruments at our disposal, the most