• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Propolis Secara Topikal Terhadap Proses Reepitelisasi Epidermis pada Luka Bakar Mencit (Mus musculus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Propolis Secara Topikal Terhadap Proses Reepitelisasi Epidermis pada Luka Bakar Mencit (Mus musculus)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini

disebabkan karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar,

khususnya pada negara dengan pendapatan rendah-menengah, dimana lebih dari

95% angka kejadian luka bakar menyebabkan kematian (mortalitas).

Bagaimanapun juga, kematian bukanlah satu-satunya akibat dari luka bakar.

Banyak penderita luka bakar yang akhirnya mengalami kecacatan (morbiditas),

hal ini tak jarang menimbulkan stigma dan penolakan masyarakat (Gowri, et al.,

2012).

Pada tahun 2014, World Health Organization (WHO) memperkirakan

bahwa terdapat 265.000 kematian yang terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia

akibat luka bakar. Di India, lebih dari satu juta orang menderita luka bakar

sedang-berat per tahun. Di Bangladesh, Columbia, Mesir, dan Pakistan, 17% anak

dengan luka bakar menderita kecacatan sementara dan 18% menderita kecacatan

permanen. Sedangkan di Nepal, luka bakar merupakan penyebab kedua cedera

tertinggi, dengan 5% kecacatan.

Menurut data American Burn Association (2015), di Amerika Serikat

terdapat 486.000 kasus luka bakar yang menerima penanganan medis, 40.000

diantaranya harus dirawat di rumah sakit. Selain itu, sebanyak 3.240 kematian

terjadi setiap tahunnya akibat luka bakar. Penyebab terbanyak terjadinya luka

bakar adalah karena trauma akibat kecelakaan kebakaran, kecelakaan kendaraan,

terhirup asap, kontak dengan listrik, zat kimia, dan benda panas.

Di Indonesia, prevalensi luka bakar pada tahun 2013 adalah sebesar 0.7%

dan telah mengalami penurunan sebesar 1.5% dibandingkan pada tahun 2008

(2.2%). Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Papua (2.0%) dan Bangka

Belitung (1.4%) (Depkes, 2013). Berdasarkan data rekam medis RSUP Haji

(2)

penyebab terbanyak adalah flame burn injury (174 kasus, 50,4%) (Maulana,

2014).

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap paparan

yang berasal dari sumber panas, listrik, zat kimia, dan radiasi. Hal ini akan

menimbulkan gejala berupa nyeri, pembengkakan, dan terbentuknya lepuhan

(Grace dan Borley, 2006). Semua luka bakar (kecuali luka bakar ringan atau luka

bakar derajat I) dapat menimbulkan komplikasi berupa shock, dehidrasi dan

ketidakseimbangan elektrolit, infeksi sekunder, dan lain-lain (Rismana, et al.,

2013).

Permasalahan yang dialami oleh penderita luka bakar, selain komplikasi,

adalah proses penyembuhan luka bakar yang lama. Proses penyembuhan luka

dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi.

Pertama, fase inflamasi yang berlangsung sejak terjadinya luka hingga 3-4 hari.

Pada fase ini terjadi perubahan vaskuler dan proliferasi seluler. Daerah luka

mengalami agregasi trombosit dan mengeluarkan serotonin, serta mulai timbul

epitelisasi. Kedua, fase proliferasi yang berlangsung sejak berakhirnya fase

inflamasi hingga hari ke-21. Pada fase inflamasi, terjadi proliferasi fibroblas,

angiogenesis, dan proses epitelisasi. Ketiga, fase maturasi, terjadi sejak hari ke-21

hingga 1-2 tahun dimana terjadi proses pematangan kolagen, penurunan aktivitas

seluler dan vaskuler. Bentuk akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang

berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau gatal (Pradipta, 2010).

Epitelisasi merupakan proses yang penting pada saat penyembuhan luka

bakar karena epitel melindungi tubuh dari paparan lingkungan. Selain itu, epitel

juga berguna dalam melindungi tubuh dari invasi bakteri, trauma, dan kehilangan

cairan. Semakin cepat proses reepitelisasi epidermis, maka semakin cepat proses

penyembuhan luka. Oleh karena itu, diperlukan suatu terapi yang dapat digunakan

untuk mempercepat proses reepitelisasi epidermis pada luka bakar (Ahliadi,

2014).

Salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai terapi biologis

alternatif untuk penanganan luka bakar adalah propolis. Propolis adalah sejenis

(3)

dicampur dengan saliva dan berbagai enzim dalam lebah sehingga menghasilkan

resin baru yang berbeda dengan resin asalnya. Senyawa ini juga digunakan lebah

untuk membangun sarangnya (Ningsih, 2009).

Propolis telah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai obat tradisional,

karena propolis memiliki kandungan yang berfungsi dalam proses penyembuhan

luka, yaitu flavonoid. Flavonoid memiliki banyak manfaat antara lain sebagai

sebagai antiinflamasi, antimikroba, dan antioksidan (Martos, et al., 2008).

Efek antioksidan propolis ditunjukkan oleh kandungan yang terdapat dalam

flavonoid, yaitu caffeic acid phenetyl ester (CAPE) yang merupakan antioksidan

tingkat tinggi. CAPE menghambat reaksi oksidatif yang berlebihan akibat adanya

proses inflamasi maupun metabolisme sel pada luka. CAPE menghambat

pelepasan asam arakhidonat dari membran sel serta menghambat aktivitas COX-1

dan COX-2 sehingga tidak terbentuk mediator-mediator inflamasi (Murtaza, et al.,

2014).

Efek antimikroba propolis penting untuk mencegah terjadinya infeksi

sekunder yang rentan terjadi saat luka. Infeksi sekunder sering disebabkan oleh

bakteri patogen, seperti Staphylococcus, Streptococcus, dan pneumococcus.

Bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh melalui jaringan yang rusak akibat luka

bakar. Infeksi yang terjadi tidak hanya menyebabkan efek lokal, namun juga

sistemik (Pradipta, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Meresta dan Meresta

(1985) menunjukkan bahwa ekstrak propolis dapat menghambat pertumbuhan

bakteri Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. Hal ini disebabkan karena

adanya senyawa galangin, pinocembrin, dan pinostrobin yang terkandung dalam

flavonoid propolis memiliki efek terkuat dalam melawan bakteri tersebut

(Marcucci, 1995). Selain itu, terdapat kandungan caffeolylguinic acid dan

cinnamon acid yang keduanya juga memiliki efek antimikroba (Marwanti, 2012).

Penelitian Olczyk, et al. (2012) menunjukkan bahwa propolis juga terbukti

dalam menstimulasi pembentukan dan aktivitas glikoprotein seperti vitronectin,

laminin, dan glikosaminoglikan, yaitu heparin sulfate/heparin. Vitronectin dan

laminin menstimulasi proliferasi dan migrasi keratinosit dan sel epidermal.

(4)

dan proses penutupan luka. Oleh karena itu, propolis dapat mempercepat

penyembuhan luka bakar dan proses reepitelisasi epidermis.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti

tentang pengaruh pemberian propolis secara topikal terhadap proses reepitelisasi

epidermis pada luka bakar mencit (Mus musculus).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka penulis

merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Bagaimana pengaruh pemberian propolis secara topikal terhadap proses

reepitelisasi epidermis pada luka bakar mencit (Mus musculus).

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian propolis secara topikal terhadap

proses reepitelisasi epidermis pada luka bakar mencit (Mus musculus).

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui ketebalan epitel (epidermis) yang terbentuk pada luka

bakar mencit dengan pemberian propolis topikal pada hari ke-1, 4, dan

21.

2. Mengetahui ketebalan epitel (epidermis) yang terbentuk pada luka

bakar mencit tanpa pemberian propolis pada hari ke-1, 4, dan 21.

3. Membandingkan ketebalan epitel (epidermis) yang terbentuk pada luka

(5)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Menambah pengetahuan tentang propolis sebagai terapi alternatif luka

bakar.

2. Dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang manfaat

propolis sebagai terapi alternatif luka bakar.

3. Memberikan informasi serta sebagai tambahan kepustakaan yang dapat

digunakan untuk penelitian selanjutnya sesuai dengan perkembangan

Referensi

Dokumen terkait

Tidak lupa saya juga berterima kasih pada pihak –––– pihak pihak pihak pihak yang telah membantu saya dalam menyelasaikan tugas akhir saya ini antara yang telah membantu

Meskipun ia sudah tidak anak-anak dan tidak remaja lagi, bahkan ia sudah sangat berumur, tetapi ia ingin dilepas kedua orang tuanya layaknya seorang anak

Anak mampu menyebutkan 5 alat dan bahan yang digunakan pada kegiatan eksperimen tenggelam melayang dan terapung dengan media telur (toples, air, telur, garam, sendok). Anak

Slameto (2010: 61) mengatakan orang tua yang kurang/tidak memperhatikan pendidikan anaknya, misalnya mereka acuh tak acuh terhadap belajar anknya, tidak

Pola permintaan ikan lele ( clarias sp ) oleh pedagang pecel lele di Kota Bandar lampung dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, frekuensi permintaan ikan lele

Seorang anggota pusat informasi konseling harus mempunyai kompetensi komunikasi yang baik dalam melakukan sosialisasi materi program penyiapan kehidupan berkeluarga

Setelah itu dalam Bab IV akan dibahas Pendelegasian Kewenangan Dokter Spesialis kepada Perawat di Bidang Anestesi dan Asas Profesionalitas, dimulai dengan Subbab A yang

Menjelaskan pencegahan terjadinya penyakit gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi yang baik dan benar, pemilihan sikat gigi, waktu menyikat gigi, penggunakan alat-alat