BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Jalan Lahir 2.1.1. Pelvis
Pelvis adalah bagian tubuh yang terletak di bawah abdomen. Pelvis terdiri dari empat tulang, yaitu sakrum, koksigeus, dan dua tulang inominata (Gambar 2.1.). Masing-masing tulang inominata ini dibentuk oleh penyatuan ilium, iskium, dan pubis. Tulang-tulang inominata disatukan ke sacrum pada sinkondrosis sakroiliaka dan pada simfisis pubis (Cunningham, et al., 2013).
Gambar 2.1. Anatomi pelvis (Paulsen & Waschke, 2013)
terdapat pelvis major atau false pelvis yang membentuk sebagian cavitas abdominalis, sedangkan yang di bawah apertura pelvis superior terdapat pelvis minor atau true pelvis yang terdapat pada gambar 2.2. Pelvis major melindungi isi abdomen dan setelah kehamilan bulan ketiga, membantu menyokong uterus gravidarum. Selama stadium awal persalinan, pelvis major membantu menuntun janin masuk ke pelvis minor (Snell, 2006; Cunningham, et al., 2013).
Gambar 2.2. Gambaran true pelvis dan false pelvis wanita dewasa (Cunningham, et al., 2013)
Caldwell-Molloy mengklasifikasikan pelvis berdasarkan pada pengukuran diameter transversal terbesar di pintu atas pelvis dan pembagiannya menjadi segmen anterior dan posterior (gambar 2.3.), sehingga pelvis diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu:
1. Jenis ginekoid
2. Jenis android
Merupakan bentuk pintu atas pelvis yang hampir menyerupai segi tiga. Panjang diameter antero-posterior hampir sama dengan diameter transversa, akan tetapi jauh lebih mendekati sakrum.
3. Jenis antropoid
Pintu atas pelvis yang agak lonjong , seperti telur. Panjang diameter antero-posterior lebih besar daripada diameter transversa.
4. Jenis platipelloid
Merupakan jenis ginekoid yang menyepit pada arah muka belakang. Ukuran melintang jauh lebih besar daripada ukuran muka belakang (Prawirohardjo, 2012).
Dan ada juga yang disebut dengan bidang Hodge, yaitu bidang yang digunakan untuk menentukan seberapa jauh bagian depan janin turun ke dalam rongga pelvis (gambar 2.4.). Bidang Hodge terdiri dari 4 bagian, yaitu:
1. Hodge I, merupakan bidang datar yang melalui bagian atas simfisis dan promontorium. Bidang ini sama dengan pintu atas pelvis.
2. Hodge II, yaitu bidang yang sejajar dengan Hodge I dan terletak setinggi bagian bawah simpisis pubis.
3. Hodge III , yaitu bidang yang sejajar dengan Hodge II dan terletak setinggi spina ischiadicae.
4. Hodge IV, yaitu bidang yang sejajar dengan Hodge III melalui ujung os coccygeus (Prawirohardjo, 2012).
2.1.2. Uterus
Uterus yang tidak hamil terletak di rongga pelvis di antara kandung kemih di anterior dan rektum di posterior. Uterus digambarkan berbentuk piriformis atau berbentuk buah pir. Berat uterus adalah 70 g dan kapasitas 10 ml atau kurang. Uterus terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian segitiga atas yang disebut corpus atau badan, dan bagian silindris bawah yang disebut serviks yang masuk ke dalam vagina yang terlihat pada gambar 2.5. Hampir seluruh dinding posterior uterus ditutupi oleh serosa (peritoneum viserale). Bagian bawah peritoneum ini membentuk batas anterior cul-de-sac rektouterina atau kavum douglasi. Peritoneum di daerah ini juga mengarah ke depan kandung kemih membentuk kavum vesikouterinum. Bagian bawah dinding uterus anterior disatukan ke dinding posterior kandung kemih oleh jaringan ikat longgar yang berbatas tegas, spatium vesikouterinum (Prawirohardjo, 2012; Cunningham, et al., 2013).
2.1.3. Serviks uteri
Serviks uteri atau biasa disebut serviks terdapat di setengah hingga sepertiga bawah uterus, berbentuk silindris atau fusiformis, dan menghubungkan uterus dengan vagina melalui kanal endoservikal. Serviks uteri terdiri dari portio vaginalis, yaitu bagian yang menonjol ke arah vagina dan bagian supravaginal. Panjang serviks uteri kira-kira 2,5 – 3cm dan memiliki diameter 2 - 2,5cm. Pada bagian anterior serviks berbatasan dengan kantung kemih dan batas atasnya adalah ostium internum. Pada bagian posterior, serviks ditutupi oleh peritoneum yang membentuk garis cul-de-sac (Snell, 2006; Cunningham, et al., 2013).
2.1.4. Vagina
Struktur muskolomembranosa ini memanjang dari uterus ke vulva dan bagian anterior berbatasan dengan kandung kemih, sedangkan bagian posterior berbatasan dengan rektum. Batas anterior dipisahkan oleh jaringan ikat, yaitu septum vesikovaginal, dan batas posterior dipisahkan oleh jaringan ikat, yaitu septum rektovaginal. Umumnya panjang dinding vagina anterior kira-kira 6 - 8 cm dan panjang posterior kira-kira 7 - 10 cm (Cunningham, et al., 2013).
2.2. Perubahan Anatomi dan Fisiologi Ibu Hamil a. Uterus
Selama kehamilan, uterus akan berubah menjadi suatu organ yang mampu menampung janin, plasenta, dan cairan amnion rata-rata pada akhir kehamilan volume totalnya mencapai 5 l bahkan dapat mencapai 20 l atau lebih dengan berat rata-rata 1100 g. Pada saat akhir kehamilan, daerah fundus dan korpus akan membulat dan akan menjadi bentuk sferis dan panjang uterus akan bertambah lebih cepat dibandingkan lebarnya sehingga akan berbentuk oval (Prawirohardjo, 2012).
implantasi plasenta akan bertambah besar lebih cepat dibandingkan bagian lainnya sehingga akan menyebabkan uterus tidak rata. Fenomena ini dikenal dengan tanda Piscaseck (Prawirohardjo, 2012).
b. Serviks
Saat telah terjadi konsepsi selama satu bulan, serviks akan berubah menjadi lebih lunak dan berwarna kebiruan. Hal tersebut terjadi karena banyaknya penambahan vaskularisasi dan terjadinya edema pada seluruh serviks, hipertrofi, dan hiperplasia pada kelenjar-kelenjar serviks (Prawirohardjo, 2012).
c. Vagina
Selama kehamilan peningkatan vaskularisasi dan hiperemia terlihat jelas pada kulit dan otot-otot di perineum sehingga pada vagina akan terlihat berwarna keunguan yang dikenal sebagai tanda Chadwick. Perubahan ini meliputi penipisan mukosa dan hilangnya sejumlah jaringan ikat dan hipertrofi dari sel-sel otot polos (Prawirohardjo, 2012).
2.3. Persalinan Pervaginam 2.3.1. Definisi
Pelahiran bayi adalah proses fisiologis dimulai dari periode kontraksi uterus secara reguler hingga keluarnya plasenta. Definisi persalinan yang tepat adalah kontraksi uterus yang memperlihatkan pendataran dan dilatasi serviks (Cunningham, et al., 2013).
2.3.2. Karakteristik
Kriteria ini pada kehamilan aterm mengharuskan adanya kontraksi uterus yang nyeri disertai salah satu dari tanda berikut ini: (1) ruptur membran, (2) bercak darah (bloody show) atau (3) pembukaan serviks komplet (Cunningham, et al., 2013).
2.3.3. Fisiologi
Menjelang terjadinya persalinan, otot polos uterus mulai menunjukkan aktivitas kontraksi secara terkoordinasi, diselingi dengan suatu periode relaksasi, dan mencapai puncaknya menjelang persalinan, serta secara berangsur menghilang pada periode postpartum (Prawirohardjo, 2012).
2.3.4. Faktor yang mempengaruhi
Menurut Perry dkk (2014) keberhasilan proses persalinan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sedikitnya ada lima faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut dapat diingat dengan mudah dengan singkatan Ps. Kepanjangan singkatan tersebut adalah passenger (fetus dan plasenta), passageway (jalan lahir), powers (kontraksi atau HIS), posisi ibu, dan psychologic response.
a. Faktor passenger yang mempengaruhi proses persalinan, antara lain: i. ukuran kepala bayi
ii. presentasi bayi iii. letak bayi iv. postur bayi v. posisi bayi
b. Faktor jalan lahir yang mempengaruhi proses persalinan, antara lain: i. tulang pelvis ibu
ii. jaringan lunak dari serviks, dasar pelvis, vagina dan introitus
c. Faktor his atau powers yang mempengaruhi proses persalinan, antara lain: i. primary powers, yaitu tanda awal persalinan yang diawali oleh tanda
ii. Secondary powers, yaitu ketika serviks telah berdilatasi dan ibu berusaha meningkatkan kekuatan kontraksi primer secara volunter
d. Faktor posisi ibu dalam mempengaruhi proses persalinan.
Salah satunya adalah posisi tegak lurus yaitu posisi berjalan, duduk, berlutut, dan berjongkok. Posisi ini bermanfaat untuk curah jantung ibu yang biasanya pada saat persalinan akan meningkat yang ditunjukan pada gambar 2.6. e. Faktor psikologis ibu (Perry, et al., 2014).
Gambar 2.6. Posisi Ibu yang Mempengaruhi Proses Persalinan (Perry, et al., 2014)
2.3.5. Kala persalinan
Kala satu persalinan dimulai ketika telah tercapai kontraksi uterus dengan frekuensi, intensitas, dan durasi yang cukup untuk menghasilkan pendataran dan dilatasi serviks yang progresif. Kala satu persalinan selesai ketika serviks telah membuka lengkap (sekitar 10 cm) sehingga memungkinkan kepala janin lewat. Oleh karena itu, kala satu persalinan disebut juga stadium pendataran dan dilatasi serviks. Kala dua persalinan dimulai ketika dilatasi serviks telah lengkap, dan berakhir ketika janin sudah lahir. Kala dua persalinan disebut juga sebagai stadium ekspulsi janin. Kala tiga persalinan dimulai saat bayi telah lahir dan berakhir ketika lahirnya plasenta dan selaput ketuban janin. Kala tiga persalinan disebut juga sebagai stadium pemisahan dan ekspulsi plasenta. Sedangkan kala empat hanya melakukan pemantauan dan pemeriksaan plasenta, selaput ketuban, dan tali pusat telah lengkap atau tidak dan ditemukan ada tidaknya anomali. (Prawirohardjo, 2012; Cunningham, et al., 2013).
2.4. Sesar 2.4.1. Definisi
Sesar adalah suatu prosedur operatif/bedah yang dilakukan di bawah pengaruh anestesi untuk melahirkan janin, plasenta, dan membran melalui sebuah insisi di dinding abdomen dan uterus (Fraser dan Cooper, 2012).
2.4.2. Epidemiologi
2.4.3. Indikasi
Indikasi untuk dilakukannya sesar bisa indikasi absolut ataupun indikasi relatif. Setiap keadaan yang membuat kelahiran lewat jalan lahir tidak mungkin terlaksana merupakan indikasi absolut untuk sesar abdominal. Di antaranya adalah kesempitan pelvis yang sangat berat dan neoplasma yang menyumbat jalan lahir. Pada indikasi relatif, kelahiran lewat vagina bisa terlaksana tetapi keadaan adalah sedemikian rupa sehingga kelahiran lewat sesar akan lebih aman bagi ibu, anak atau pun keduanya (Oxorn dan Forte, 2010).
Persalinan tidak dapat dilakukan secara pervaginam atau normal, bisa dikarenakan faktor-faktor Ps terganggu, yaitu kontraksi yang tidak adekuat, jalan lahir yang sempit, presentasi bayi yang tidak normal, dll.
Sedangkan menurut Rasjidi (2009), indikasi sesar dibagi atas 3, yaitu: 1. Indikasi mutlak:
a. Indikasi ibu:
i. pelvis sempit absolut
ii. Kegagalan maelahirkan secara normal karena kurang adekuatnya stimulasi
iii. Tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi iv. Stenosis serviks atau vagina
2. Indikasi relatif
i. Riwayat sesar sebelumnya ii. Presentasi bokong
iii. Distosia iv. Distress janin
v. Preeklamsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes vi. Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu
vii. Gemeli, menurut Eastman, sesar dianjurkan:
a. Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu
b. Bila terjadi posisi bayi yang saling mengunci atau interlock c. Kematian janin dalam rahim
3. Indikasi sosial
i. Wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman sebelumnya
ii. Wanita yang ingin sesar elektif karena takut bayinya mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan atau mengurangi risiko kerusakan dasar pelvis
iii. Wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau sexuality image setelah melahirkan
2.4.4. Kontraindikasi
Menurut Rasjidi (2009), kontraindikasi dilakukannya sesar adalah sebagai berikut ini:
1. Infeksi piogenik pada dinding abdomen 2. Janin mati
3. Syok
4. Anemia berat
2.4.5. Klasifikasi menurut Jenis Anestesi yang Digunakan
Pemilihan anestesi untuk melakukan sesar dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: indikasi dilakukannya bedah sesar, kegawatdaruratan, preferensi pasien atau dokter, dan skil yang dimiliki oleh ahli anestesi (Morgan dan Mikhail, 2006).
Pilihan anestesi yang tersedia untuk dilakukannya sesar dibagi atas 2, yaitu: a. Anestesi regional
Anestesi regional yang dipakai saat dilakukannya sesar dibagi atas 3 teknik, yaitu:
1. Anestesi spinal.
Anestesi spinal adalah pilihan utama untuk kebanyakan pasien sesar berencana dan emergensi. Dengan cara memasukan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid untuk memberikan efek analgesia yang telah lama digunakan untuk pelahiran. Keuntungan digunakannya anestesi spinal untuk sesar adalah mudah, blok yang mantap, dan kinerja yang cepat.
2. Anestesi epidural.
Pemasukan atau injeksi agen anestetik lokal ke dalam ruang epidural atau peridural dan biasanya dilakukan melalui ruang intravertebral lumbal.
3. Anestesi kombinasi spinal-epidural.
Setelah meletakan jarum epidural dengan tepat, jarum spinal ukuran kecil dimasukan melalui jarum epidural ke dalam ruang subaraknoid dan menginjeksi agen anestetik lokal.
b. Anestesi umum
antasida non partikel (natrium sitrat) dan lakukan sekuen induksi secara cepat (rapid-sequence induction). Biasanya anestesi umum digunakan untuk sectio caesarea dalam keadaan gawat darurat karena dapat meningkat risiko kematian. Jenis anestesi ini tidak dianjurkan untuk dilakukan tanpa adanya indikasi yang jelas yang mengharuskan melakukan dengan teknik ini (Morgan dan Mikhail, 2006; Prawirohardjo, 2012; Cunningham, et al., 2013).
2.4.6. Kelebihan menurut Jenis Anestesi yang Digunakan
Secara internasional, pedoman anestesi obstetrik (Obstetric Anaesthesia Guidelines) merekomendasikan teknik anestesia spinal ataupun epidural dibandingkan dengan anestesia umum untuk sebagian besar seksio sesarea. Kelebihan penggunaan anestesi regional adalah: rendahnya terpajannya neonatus pada obat depresan, rendahnya risiko aspirasi pulmonari pada ibu, dan ibu dalam keadaan sadar saat persalinan. Anestesi epidural lebih dipilih daripada spinal karena penurunan tekanan darah secara bertahap dan mengontrol level sensorik lebih baik. Sedangkan anestesi spinal lebih mudah dilakukan, lebih cepat, onset yang dapat diprediksi, dan idak memiliki potensi dalam keracunan obat sistemik yang serius. Sedangkan kelebihan dalam menggunakan anestesi umum adalah: onset yang cepat dan reliabel, mengontrol jalan nafas dan ventilasi, risiko hipotensi yang rendah (Morgan dan Mikhail, 2006; Flora, et al., 2014).
2.4.7. Komplikasi
Komplikasi utama persalinan sesar adalah kerusakan organ-organ seperti vesika urinaria dan uterus saat dialngsungkannya operasi, komplikasi anestesi, perdarahan, infeksi dan tromboemboli (Rasjidi, 2009).
Sedangkan, anestesi umum dapat menyebabkan aspirasi pulmonari, berpotensi tidak dapat dilakukannya untuk mengintubasi pasien, dan obat yang sebabkan depresi janin (drug-induced fetal depression) (Morgan dan Mikhail, 2006).
Arah dari komplikasi dan efek yang ditimbulkan dalam persalinan sesar, akan tetapi tidak menggambarkan besarnya efek dan komplikasi dirangkumkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Rangkuman Efek sesar Dibandingkan dengan Persalinan Pervaginam pada Ibu dan Bayinya (Rasjidi, 2009)
Meningkat pada sesar Tidak berbeda setelah sesar
2.5. Anestesi Teknik Spinal pada Sectio Caesarea 2.5.1. Mekanisme
adalah serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali pulih kembali (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007; Gwinnutt, 2008).
Jarum suntik spinal hanya dapat diinsersikan dibawah L₂ dan diatas S .₁ Ukuran jarum suntik yang digunakan adalah 22-29 gauge, dengan bentuk ‘pencil point’. Diameter jarum suntik yang kecil dan bentuknya bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya postdural puncture headache (Gwinnutt, 2008).
2.5.2. Kelebihan
Anestesi spinal lebih mudah dilakukan, lebih cepat, onset yang dapat diprediksi, dan idak memiliki potensi dalam keracunan obat sistemik yang serius (Morgan dan Mikhail, 2006).
2.5.3. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi dilakukannya sesar teknik spinal, yaitu mendapat persetujuan pasien atau preferensi dokter dan pasien, kontraindikasi untuk dilakukan jenis teknik spinal regional yang lain. Sedangkan kontraindikasinya untuk dilakukan sesar teknik spinal adalah pasien menolak, infeksi kulit di lokasi yang akan dilakukan pungsi lumbal, syok hipovolemik berat, koagulopati, dan meningkatnya tekanan intrakranial, alergi terhadap obat anestesi lokal jenis amide, pasien yang tidak kooperatif, anatomi spinal yang abnormal (Morgan dan Mikhail, 2006; Gwinnutt, 2008).
2.5.4. Komplikasi
2.6. Klasifikasi Status Fisik Menurut American Society of Anesthesiologists Menurut Malamed (2000), klasifikasi status fisik yang diklasifikasikan oleh organisasi anestesi Amerika adalah sebagai berikut:
ASA I : Pasien yang tidak ada tanda penyakit sistemik ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik yang berat dan aktivitas yang terbatas
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik yang berat dan tidak mampu beraktivitas sehingga perlu pengobatan secara konstan untuk hidup
ASA V : Pasien yang kemungkinan hidupnya kurang dari 24 jam dengan atau tanpa perawatan
2.7. Skor APGAR 2.7.1. Definisi
Merupakan suatu metode praktis atau sistem pengukuran yang sistematis dan sederhana untuk menilai bayi baru lahir segera sesudah lahir, untuk membantu mengidentifikasi bayi yang memerlukan resusitasi akibat stress intrapartum atau asidosis hipoksik dan menilai efektivitas setiap tindakan resusitasi. Metode ini ditemukan oleh Virginia APGAR, dan kepanjangan dari APGAR adalah warna kulit (appearance), frekuensi denyut jantung (pulse), kepekaan refleks (grimace), tonus otot (activity) dan upaya bernafas (respiration) (Rudolph, et al., 2006; Behrman, et al., 2013; Cunningham, et al., 2013).
2.7.2. Sistem penilaian
kelahiran, akan tetapi secara keseluruhan dilakukan setiap 5 menit, sampai skor mencapai nilai 7 (Behrman, et al., 2013).
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (2010), bahwa skor APGAR pada menit kelima setelah kelahiran berhubungan dengan status neurologi bayi. Menurut Sittidech dkk (2015), derajat keparahan asfiksia menurut skor APGAR adalah sebagai berikut:
1. Normal : skor APGAR 7 – 10 2. Sedang : skor APGAR 4 – 6 3. Berat : skor APGAR < 4
Tabel 2.2. Sistem skor APGAR (Cunningham, et al, 2013)
Skor 0 1 2
Appearance (Warna kulit)
Biru, pucat Tubuh merah muda, ekstremitas biru
Tidak ada Kurang dari 100 kali per menit
Lebih dari 100 kali per menit
Grimace (Kepekaan refleks)
2.7.3. Faktor yang Mempengaruhi
Beberapa elemen skor APGAR bergantung sebagian pada kematangan fisiologis bayi baru lahir, bayi kurang bulan yang sehat dapat menerima skor rendah. Skor APGAR mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk, tidak terbatas pada, malformasi janin, obat-obatan ibu, infeksi, jenis persalinan dan teknik anestesi yang digunakan saat persalinan sesar (Cunningham, et al., 2013; Rahmanina, et al., 2014).
2.8. Asfiksia pada Bayi Baru Lahir 2.8.1. Definisi
Asfiksia neonaturum merupakan suatu kondisi di mana bayi tidak dapat bernapas secara spontan setelah lahir. Keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, sampai asidosis (Hidayat, 2008).
2.8.2. Karakteristik
Asfiksia pada BBL ditandai dengan keadaan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis. Menurut American Academy of Pediatrics dan American College of Obstetricians and Gynecologists (2004) dalam Kosim dkk (2010) dan Leuthner dan Das (2004), asfiksia perinatal pada seorang bayi menunjukan karakteristik berikut:
1. umbilical cord arterial pH : < 7
2. Skor APGAR : 0 – 3 selama lebih dari 5 menit 3. Manifestasi neurologi : ditemukan
4. Disfungsi multisistemik organ : ditemukan
2.8.3. Faktor risiko
infeksi ibu, ibu dengan penyakit jantung, polihidramnion, oligohidramnion, ketuban pecah dini, hidrops fetalis, kehamilan lewat waktu, kehamilan ganda, berat janin tidak sesuai masa kehamilan, ibu pengguna obat bius, dll. Sedangkan faktor risiko intrapartum, yaitu seksio sesaria darurat, kelahiran dengan ekstraksi forsep atau vakum, presentasi abnormal, preterm, makrosomia, solusio plasenta, plasenta previa, dll (Kosim, et al., 2010).
2.8.4. Diagnosis
Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk menentukan asfiksia atau tidak pada bayi baru lahir. Untuk mendiagnosis asfiksia tidak perlu menunggu nilai skor APGAR. Anemnesis yang ditanyakan adalah gangguan atau kesulitan waktu lahir (lilitan tali pusat, sungsang, dll), lahir tidak bernafas/ menangis, dan apakah air ketuban bercampur mekonium atau tidak. Serta pemeriksaan fisis, yaitu: bayi tidak bernapas atau megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 kali per menit, kulit sianosis, pucat dan tonus otos menurun (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).
Asfiksia pada periode perinatal dini berkaitan dengan skor APGAR kurang dari 6 pada 1 dan 5 menit setelah kelahiran. Denyut jantung mungkin berkurang; kulit pucat; dan sianosis tampak jelas; respirasi tertekan atau bahkan terhenti; dan tonus serta aktivitas refleks akan berkurang atau menghilang. PCO darah arteri₂ meningkat, PO menurun, dan terjadi asidosis metabolik atau respiratorik₂ (Rudolph, et al., 2007).
2.9. Resusitasi pada Bayi Asfiksia 2.9.1. Pendahuluan
kematian neonatal tersebut adalah asfiksia bayi baru lahir, prematuritas/bayi berat lahir rendah, dan infeksi (WHO, 2009).
Untuk beberapa bayi kebutuhan akan resusitasi dapat diantisipasi dengan melihat faktor risiko, antara lain: bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mengalami kematian janin atau neonatal, ibu dengan penyakit kronik, kehamilan multipara, kelainan letak, pre-eklampsia, persalinan lama, prolaps tali pusat, kelahiran prematur, ketuban pecah dini, cairan amnion tidak bening. Walaupun demikian, pada sebagian bayi baru lahir, kebutuhan akan resusitasi neonatal tidak dapat diantisipasi sebelum dilahirkan, oleh karena itu penolong harus selalu siap untuk melakukan resusitasi pada setiap kelahiran. Apabila memungkinkan lakukan penilaian APGAR (WHO, 2009).
2.9.2. Penilaian
Penilaian pada bayi yang terkait dengan penatalaksanaan resusitasi, dibuat berdasarkan keadaan klinis. Penilaian awal harus dilakukan pada semua BBL. Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan menurut hasil penilaian tersebut. Penilaian berkala setelah setiap langkah resusitasi harus dilakukan setiap 30 detik. Penatalaksanaan dilakukan terus menerus berkesinambungan menurut siklus menilai, menentukan tindakan, melakukan tindakan, kemudian menilai kembali (Kosim, et al., 2010).
2.9.3. Tujuan
Tujuan resusitasi BBL untuk memperbaiki fungsi pernafasan dan jantung bayi yang tidak bernafas (Kosim, et al., 2010).
2.9.4. Langkah-langkah