• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam Chapter III V"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PENYIMPANGAN TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG MEWAJIBKAN AYAH MEMBERIKAN NAFKAH

ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN

A. Hak - Hak Anak Setelah Perceraian l. Hak Hadhanah (Pemeliharaan Anak)

a. Pengertian Hadhanah

Pemeliharaan merupakan tanggung jawab orang-orang berikut ini : Menurut

para ulama, seorang ibu berhak menjadi pemeliharaan atas seorang anak lelaki

sampai usia tujuh tahun dan anak perempuan sampai usia puber. Dalam hal ini

Mazhab "Syiah" berpendapat, anak laki-laki sampai usia dua tahun sementara anak

perempuan sampai usia tujuh tahun. Setelah umur yang ditentukan ini, ayah adalah

satu-satunya wali yang menjamin kesejahteraan anak-anaknya. Setelah ayah

meninggal maka penggantinya menjadi wali yang sah. Sekalipun anak-anak dalam

perawatan ibu, namun ayah tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya dan tetap

mengawasi mereka.109

Kemudian di dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan hadhanah.

Secara etimologi, hadhanah ini berarti disamping atau berada di bawah ketiak,

sedangkan secara terminologisnya, hadhanah merawat dan mendidik seseorang yang

109

(2)

belum mumayyiz atau kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bias memenuhi

keperluannya sendiri.110

Hadhanah yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan

ini mencakup masalah ekonomi, penidikan dan segala sesuatu yang menjadi

kebutuhan pokok anak.'111

Kamal Muchtar memberi pengertian hadhanah, menurut bahasa, hadhanah

berasal dari perkataan "al hidlnu" yang berarti "rusuk". Kemudian perkataan

hadhanah dipakai sebagai istilah dengan arti "pendidikan anak" karena seorang ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya, sering meletakkannya pada sebelah

rusuknya.112

Secara etimologi kata hadhanah berarti "al-jamb" yang berarti disamping atau

berada di bawah ketiak, 113atau biasa juga berarti meletakkan sesuatu dekat tulang

rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan.114

110

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), hal.415

111

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1998) hal. 235 112

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang), hal. 129

113

Ibnu Manzhur, Lisan al-Araby, (Mesir : Dar al-Ma'arif, tth), hal. 911, dan Abu Yahya Zakaria Anshari. Fathul Wahab. (Beirut: Dar al-Kutub, 1987), Juz II, hal. 212

114

Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta ; Kencana, 2004), hal. 166

Maksudnya

adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan

(3)

Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang

yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal (kecerdasan

berpikir)-nya. Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya disebabkan oleh

perceraian atau karena meninggal dunia dimana anak belum dewasa dan tidak mampu

lagi mengurus diri mereka, karenanya diperlukan adanya orang-orang yang

bertanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak tersebut.115

"Menurut istilah ahli flqh, hadhanah berarti memelihara anak dari segala

macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan

rohaninya, menjaga makanan dan keberaniannya, mengusahakan pendidikannya

hingga anak tersebut sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupannya

sebagai seorang muslim.

Disebutkan juga

sebagai berikut:

116

Sehingga dimaksud dengan hadhanah adalah membekali anak secara material

maupun secara spiritual, mental maupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam

menghadapi hidup dan kehidupannya nanti bila ia dewasa.

Pengertian-pengertian hadhanah tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa

hadhanah itu mencakup aspek - aspek :

a. Pendidikan

b. Pencukupannya kebutuhan

c. Usia (yaitu bahwa hadhanah itu diberikan kepada anak sampai usia tertentu).

115

Andi Syamsul Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Kamal Muchtar, Loc. Cit

116

(4)

Adapun kaitannya putusan perceraian dari berbagai gugatan yang pernah

terjadi tentang hadhanah di pengadilan agama medan melalui putusan perkara

No.l91/Pdt.G/2012/PA.Mdn, dan juga berdasarkan putusan

No.206/Pdt.G/2012/PA.Mdn, juga terhadap putusan No.207/Pdt.G/2012/PA.Mdn,

dan putusan No.220/Pdt.G/2012/PA.M.dn, serta putusan

No.230/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Beberapa nomor perkara di atas merupakan bukti

bahwa banyaknya perceraian yang mengakibatkan hak anak sebagai tanggung jawab

orang tua terhadap hadhanah hal ini dapat diketahui bahwa kelima putusan perceraian

tersebut hak hadhanah di dalam putusan ditetapkan kepada ibu dan merawat dan

mendidik anaknya dikarenakan ayah (orang tua laki-laki) tidak bertanggungjawab

terhadap kebutuhan hidup, dan berprilaku kasar setiap terjadi pertengkaran. Sehingga

dapat diketahui bahwa setelah terjadi perceraian ayah tidak boleh mengabaikan

nafkah anak dan tetap mengawasi mereka.

UUP No.l Tahun 1974 tidak disebutkan pengertian pemeliharaan anak

(hadhanah) secara definitif, melainkan hanya disebutkan tentang kewajiban orang tua untuk memelihara anaknya. Pasal 45 ayat (1) UUP No.l Tahun 1974 ini disebutkan

bahwa, "Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya".

b. Orang yang melaksanakan hadhanah

Pada dasarnya pelaksana hadhanah dalam keluarga adalah suami istri sedang

sebagai penerima hadhanah adalah anak-anaknya. Apabila karena adanya sesuatu hal

(5)

terhadap anaknya itu diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga yang

sekiranya mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan hadhanah tersebut.

Demikian pula dalam hal si penerima hadhanah yaitu anak, apabila di dalam keluarga

terdapat beberapa anak, maka hadhanah akan diberikan oleh kedua orang tua kepada

anak-anaknya secara bergantian sesuai dengan keadaan anak dan batasan pelaksanaan

hadhanah.

Para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak

melakukan hadhanah. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal terutama

tentang lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak setelah ibu dan

juga tentang syarat-syarat yang menjadi ibu pengasuh. Selama tidak ada hal yang

menghalangi untuk memelihara anak-anak, maka ibulah yang harus melaksanakan

hadhanah kecuali ada sesuatu halangan yang mencegahnya untuk melaksanakan hadhanah .117

bermaksud membawa anak mereka bersamanya setelah menceraikannya.

Sesuai dengan hadist Abdullah bin Umar bin Al - Ash menceritakan, seorang

wanita mengadu kepada Rasulullah tentang anak kecilnya, dimana mantan suaminya

118

117

Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Mam No. 49 Thn XI 2000 Mi - Agustus, (Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam), hal. 67

118

Satria Effendi, M. Zein : Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, (Jakarta, Kencana, 2004). Hal. 170

Lalu

Rasulullah bersabda : "Kamu (Wanita itu) lebih berhak terhadap anak itu selama

(6)

Masalah hadhanah merupakan masalah hal yang sangat penting untuk

dilaksanakan, oleh karena itu orang yang melaksanakan hadhanah itu haruslah

mempunyai kecakapan dan kecukupan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang

harus dipenuhi, diantaranya:

a) Berakal sehat, karena orang yang akalnya tidak sehat tidak diperkenankan

merawat anak.

b) Sudah dewasa, karena anak kecil tidak diperkenankan melaksanakan hadhanah

sebab ia sendiri masih membutuhkan perwatan orang lain.

c) Mempunyai kemampuan dan keahlian, oleh karena itu, orang yang tuna netra,

memiliki penyakit menular, usia lanjut dan memiliki tabiat suka marah kepada anak-anak meskipun kerabat anak-anak itu sendiri, dilarang menjadi orang yang

melaksanakan hadhanah.

d) Amanah dan berbudi luhur, karena orang yang curang tidak aman bagi anak

yang diasuhnya, karena itu jarang seorang anak akan meniru kelakuan curang orang yang mengasuhnya.

e) Beragama Islam, para ulama madzab berbeda pendapat tentang ini, madzab

Imamiyah dan Syafi'i tidak memperkenankan seorang kafir mengasuh anak-anak yang beragama Islam, sedangkan mazhab lainnya tidak mensyaratkan hal yang demikian itu.

f) Ibunya belum kawin lagi, jika si ibu anak yang diasuh itu kawin dengan laki-laki

lain maka hak hadhanah yang ada padanya menjadi gugur.

g) Merdeka atau bukan budak, seorang budah biasanya sangat sibuk dengan

urusan-urusan majikannya yang sulit ditinggalkannya.119

c. Cara melakukan hadhanah

Berhubungan dengan UUP No.l Tahun 1974 Pasal 42-54 mengenai

kedudukan anak sampai dengan perwalian, dijelaskan dalam Pasal 47 bahwa orang

tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai usia 18

tahun dengan cara baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban

ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena

119

(7)

perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak

mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Kewajiban orang

tua memelihara meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani),

pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelanjaan dalam arti

luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial

ekonomi orang tua. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam hukum

Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara

anak-anaknya semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.

Pengawasan terhadap anak dimaksudkan adalah menjaga keselamatan jasmani

dan rohani anak, dan untuk ini dapat ditempuh berbagai macam cara, antara lain :

1) Menjaga dan menghindarkan anak dari lingkungan atau hal-hal yang

membahayakan jasmani anak, yaitu dengan mengasuh atau merawat anak secara hati-hati dan sebaik-baiknya.

2) Menghindarkan anak dari pengaruh sosial yang tidak baik yaitu menghindarkan

anak dari pengaruh kenakalan remaja, yang dapat merusak jasmani dan rohani

anak.120

Pelayanan terhadap anak dimaksudkan adalah memberikan dan menanamkan

rasa kasih sayang terhadap anak. Untuk tercapainya pelayanan yang baik dapat

ditempuh dengan :

(1) Orang tua hendaknya menyediakan waktunya yang cukup untuk menjalin dan

menanamkan kasih sayang dengan / kepada anak.

(2) Sebaiknya orang tua bersikap lemah lembut kepada anaknya dan tidak bersikap

keras.121

120

(8)

Memberi pembelanjaan kepada anak, dimaksudkan adalah mencukupi

kebutuhan anak yang meliputi tempat tinggal, makanan, pakaian, permainan dan

sebagainya yang ditempuh dengan :

(1) Memenuhi segala sesuatu yang dibutuhkan anak (tentunya dengan mengingat

kebaikan bagi anak dan kemampuan yang dimiliki orang tua).

(2) Dalam memberikan biaya kebutuhan tersebut harus dilampiri kasih sayang demi

kebaikan bagi anak dan bukan untuk memanjakannya.122

Memberikan pendidikan kepada anak dimaksudkan adalah mempersipakan

atau membekali anak agar ia dapat menjadi manusia yang mempunyai kemampuan

fisik, mental dan intelektual dalam menjalani kehidupan dengan tidak mengabaikan

bakat-bakat yang dibawa dan dimiliki anak. Untuk mencapai pendidikan anak yang

baik dapat ditempu dengan cara - cara antara lain :

(1) Menyekolahkan anak dan lebih lanjut memilih sekolah yang cocok bagi anak

sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki anak.

(2) Melatih anak dengan ketrampilan praktek-praktek kerja sesuai dengan

kemampuan dan bakat anak.123

Segala pendidikan, pemeliharaan dan usaha apapun dapat diberikan atau

dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya asalkan berguna bagi anak dan orang tua,

serta berguna bagi umat lainnya dan memungkinkan untuk menjadi dasar berpijak

(9)

anak dalam menempuh kehidupannya kelak apabila ia sudah lepas dari pemeliharaan

orang tua.

Selain hal tersebut diatas dalam Pasal 106 Kompilasi Hukuni Islam

dikemukakan bahwa:

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengenbangkan harta anaknya yang

belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suaru kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditumbulkan karena

kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan

seseorang bayi disusui kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana yang

dikemukakan dalam Pasal 104 KHI yaitu :

(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada ayahnya. Apabila

ayahnya setelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.

(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan

penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.

Dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz (

belum berumur 12 tahun )124

124

Adi Bahari, Prosedur Gugatan Cerai+Pembagian Harta Gono-Gini+Hak Asuh Anak, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2012), hal. 160

dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya

pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya sebagaimana diatur dalam

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun

mereka telah bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 34 ayat (1) UUP No.l

(10)

dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah

tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang

kebetulan diberi beban untuk melaksanakan hadhanah kepada anak-anaknya dapat

menuntut biaya hadhanah tersebut kepada pengadilan agama setempat agar

menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang

dianggap patut jumlahnya oleh pengadilan agama. Jadi pembayaran itu dapat

dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan pengadilan agama.

Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak

mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka

kekuasaan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alasan

pencabutan tersebut karena:

1. Orang tua sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.

2. Orang tua berkelakuan buruk sekali.

Menurut M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa : "Orang tua yang melalaikan

kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya meliputi ketidak becusan si

orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya, boleh jadi

disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu yang tidak

uzur atau gila dan bepergian dalam jangka waktu yang tidak diketahui

(11)

senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan

contoh baik".125

Menurut Hukum Islam belum ada ketentuan mengenai batas waktu

berakhirnya hadhanah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Hadhanah

berhenti apabila anak sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa dan dapat

berdiri sendiri, serta mampu untuk mengurus kebutuhan pokoknya sendiri, seperti

makan, minum, mandi dan berpakaian sendiri. Dalam hal ini tidak ada batasan

tertentu mengenai waktu berakhirnya. Hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz

Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas,

maka terhentilah kekuasaan orang tua itu untuk melaksanakan penguasaan kepada

anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka

ayah tidak berhak lagi mengurusi urasan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik

anaknya, tidak berhak lagi mewakili anak di dalam maupun di luar pengadilan.

Dengan demikian ibulah yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut,

ibu yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut.

Berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UUP No.l Tahun 1974, meskipun kekuasaan

pemeliharaan orang tua (ayah) kepada anaknya dicabut, kewajiban orang tua (ayah)

memberikan pemeliharaan anak disuruh memilih terhadap anaknya tetap.

d. Berakhirnya Hadhanah

125

(12)

dan kemampuan untuk berdiri sendiri. Jika anak telah dapat memenuhi semua

ketentuan tersebut, maka masa hadhanah telah habis.126

"Fatwa pada madzhab Hanafi dan lain-lainnya yaitu masa hadhanah berakhir

bilamana anak telah berumur tujuh tahun kalau laki-laki, dan sembilan tahun kalau ia

perempuan."127 Sebagian mereka berpendapat juga bahwa mengasuh anak itu habis

waktunya apabila anak itu sudah tidak membutuhkan asuhan waktunya apabila anak

itu sudah tidak membutuhkan asuhan (pemeliharaan) dan anak tersebut sudah

dapat/sanggup melaksanakan apa-apa yang menjadi keperluannya.128

Menurut ulama hak ibu mengasuh anak berakhir apabila anak telah mencapai

umur 7(tujuh) tahun. Pada umur ini anak akan disuruh memilih apakah akan terus

ikut ibu atau ikut ayahnya.129

126

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, diterjemahkan oleh Moh. Thalib, (Bandung : PT. Al-Ma'arif), hal. 173

127 Ibid 128

Khadijah Nasution, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, hal. 61 129

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kawin Mam, (Yogyakarta : UII Press, 2007).

Apabila anak telah dapat membedakan antara ayah dan

ibunya untuk menentukan pilihan akan ikut salah satunya, anak disuruh memilih,

kemudian diserahkan kepada siapa yang dipilihnya. Anak dipandang telah mampu

menentukan pilihan apabila telah mencapai masa tamyiz, kira-kira umur 7 (tujuh)

tahun. Dalam hal menentukan pilihan mengutamakan tetap ikut ibu, nafkah hidupnya

menjadi tanggungan ayah, termasuk biaya pendidikannya.

Mengenai batas waktu pemeliharaan anak menurut Pasal 45 UUP No.l Tahun

(13)

"Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai

anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun

perkawinan antara kedua orang tua putus".

2.Hak Nafkah

Nafkah berarti belanja, kebutuhan pokok yang dimaksudkan adalah kebutuhan

pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya130

Mengingat banyaknya kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga tersebut

maka dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kebutuhan pokok minimal adalah

pangan

Sebagian ahli fiqh

berpendapat bahwa yang termasuk daJam kebutuhan pokok itu adalah pangan,

sandang, tempat tinggal sementara ahli fiqh yang lain berpendapat bahwa kebutuhan

pokok itu hanyalah pangan.

131

, sedangkan kebutuhan yang lain tergantung kemampuan orang yang

berkewajiban membayar atau menyediakannya dan memenuhinya.132

Menurut pandangan beberapa ulama telah memberikan perincian hal-hal

penting yang harus diberikan sebagai nafkah.133

130

Imam Jauhari (1), Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa Pers, 2003), hal. 84

Untuk kelengkapan, Lihat Mukhtasar Sidi Khalil yang memberikan rincian tentang kewajiban suami terhadap istrinya.

Hal-hal ini dapat disesuaikan dengan

kebutuhan masa kini agar selaras dengan keadaan negeri dan standar kehidupan

mereka. Merupakan tanggung jawab seorang ayah menafkahi puteri-puterinya sampai

mereka menikah. Dan putera-puteranya sampai mereka usia puber. Begitu pula

(14)

dia mampu melakukan hal itu. Bila memungkinkan dan memiliki harta, maka dia

sepatutnya memperhatikan kebutuhan kerabat-kerabatnya yang miskin. Menurut

Mazhab Hanafi, setiap keluarga, sampai pada derajat tertentu, berhak untuk

dinafkahi. Bila dia masih kanak-kanak dan miskin, lemah atau buta dan melarat, atau

dia seorang perempuan yang miskin, juga harus dinafkahi.

Apabila si istri belum dewasa dia harus dinafkahi oleh ayah atau walinya.

Rasulullah SAW menikahi Aisyah dua tahun sebelum ia mencapai masa pubernya

dan beliau tidak memberinya nafkah. Tetapi bila istri belum puber namun telah

berkumpul dengan suaminya menurut Mazhab Maliki dan Syafii suami tak wajib

memberinya nafkah. Menurut Hakim Abu Yusuf, seorang ulama Hanafi, kalau si istri

masih kecil dan suami menerimanya tinggal di rumahnya, maka si suami wajib

menafkahi, tetapi bila tidak demikian, maka suami tidak wajib melakukannya. Imam

Abu Hanifah dan muridnya Imam Muhammad, sepakat dengan pendapat Mazhab

Maliki dan Syafii.

Seorang suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya untuk hal-hal

berikut:

a. Bila dia keluar rumah dan pergi ke tempat lain tanpa persetujuan suami atau

tanpa alasan yang dibenarkan agama.

b. Bila ia bepergian tanpa izin suami

c. Bila dia ihram tanpa persetujuan suami. Dan nafkah tetap diberikan bila disertai

dan atas persetujuan suami

(15)

e. Bila dia dipenj ara karena tindak pidana

f. Bila suami meninggal dan dia menjadi janda. Dan dia berhak mewarisi harta

peninggalan suaminya sesuai dengan haknya. Inilah merupakan alas an yang

utama mengapa si janda tak berhak memperoleh nafkah selama masa iddah

karena kematian suami.

Menurut Mazhab Maliki dan Syafii, jika suami menolak atau mengabaikan

pemberian nafkah selama dua tahun, si istri berhak menuntut cerai. Tetapi berbeda

dengan Mazhab Hanafi, ketidak mampuan ataupun pengabaian nafkah ini bukan

merupakan alasan yang cukup untuk bercerai. Seorang istri berhak menuntut

suaminya agar mengajaknya bepergian atau memberi nafkah selama seorang istri

ditinggalkan, sejumlah uang belanja sebelum seorang suami pergi atau memberi

kuasa kepada seseorang untuk menafkahi isterinya. Biaya hidup itu diberikan dalam

jangka waktu yang sama seperti kebiasaan suami membayarkannya.

3. Nafkah Setelah Perceraian

Al-Quranulkarim menjelaskan perihal keharusan nafkah dalam kasus

perceraian pada surat At-Thalaaq ayat 6, yang berbunyi:

"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut

kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk

(16)

Keharusan nafkah dari seorang suami tak hanya sewaktu dia masih menjadi

istri sahnya dan terhadap anak-anak dari isteri itu, suami wajib menafkahinya bahkan

pada saat perceraian. Ada beberapa orang yang mungkin salah memperlakukan istri

dan membuatnya mereka sengsara setelah ta/a&pertama dan ketika ia menjalani masa

iddah. Hal ini tidak dibolehkan, dia harus diberi nafkah yang seimbang, sesuai dengan

standar hidup si suami. Dalam situasi ini masih ada harapan hidup untuk berdamai

dan bila tidak maka perceraian itu harus dilakukan secara terhormat. Al-Qur'an

membebankan tanggung jawab tambahan, bila istri sedang hamil. Perceraian sama

sekali tidak diperkenankan sampai anak yang dikandungnya lahir, dia harus dinafkahi

sepatutnya.

Perawatan terhadap anak dan kesejahteraan ibu merupakan tanggung jawab

seorang ayah. Seandainya si ibu tak dapat menyusui atau timbul keadaan yang

menghalanginya untuk menyusui anak, juga merupakan tanggung jawab ayah untuk

menyerahkan pada orang lain agar dirawat dengan biaya sendiri. Hal ini jangan

sampai mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu sesuai dengan keadaannya. Al-Quran

lebih lanjut menjelaskan :

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan car a yang ma^ruf'.(Al-Baqarah (2) : 233)

Dalam ayat diatas kata "rizcf meliputi kecukupan pangan, pakaian yang

(17)

nafkah pemeliharaan anak, sehingga orang-orang yang egois tak mungkin

menggunakan tanggung jawab terhadap anak sebagai alasan untuk menekan aspek

lain, baik dari ibu atau pun ayah. Al-Qur'an lebih lanjut menjelaskan : "Janganlah

seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan \varispun berkewajiban demikian pula".( al-Baqarah (2) 233).

Ayah dan ibu haras memutuskan semua kesepakatan untuk memelihara si

anak dengan cara musyawarah. Mereka haras memperlakukannya secara wajar dan

benar selama waktu itu maksimal dua tahun, bila si anak haras disusukan oleh orang

lain (bukan ibunya) atau disusui dengan susu buatan. Petunjuk yang lebih jelas

tentang masalah ini disebutkan dalam ayat berikut:

"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Al-Thalaaq (65) : 7)

Sebagai agama yang praktis, Islam tidak memaksakan beban yang berlebihan

kepada salah satu pihak. Tetapi mereka haras melakukan yang terbaik untuk

kepentingan anak sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila mereka bertindak

dengan tulus, niscaya Allah akan memberikan solusi untuk mengatasi sebuah

masalah.

Kewajiban memberi nafkah ini ditekankan oleh Nabi SAW pada saat Haji

(18)

"Berhati-hatilah kamu sekalian dalam memperlakukan wanita. Kalian telah menerimanya dengan nama Allah, dan halal berhubungan layaknya suami istri. Oleh karenanya kalian wajib memberi nafkah hidup dan pakaian yang wajar".134

"Ya Rasulullah, Abu Sofyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberi nafkah untukku dan anakku kecuali aku mengambil sendiri secara sembunyi tanpa sepengetahuannya. Maka SAWbersabda : "Ambillah secukupnya yang kauperlukan untukmu dan anakmu secara wajar".

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh "Aisyah, suatu ketika Hindah

binti Utbah berkata kepada Nabi SAW :

135

Menurut ulama Maliki, suami berkewajiban menyediakan akomodasi bagi

istri yang diceraikannya, bila dia telah bercampur dengannya. Meskipun demikian,

sang suami tak wajib memberikan nafkah kepada istri yang dicerai talak tiga. Kecuali

perempuan yang hamil, masih berhak memperoleh nafkahnya, baik talak satu mapun

talak tiga. Sedangkan perempuan pisah dari suaminya dengan talak Khulu" tak berhak memperoleh nafkah kecuali kalau dia sedang mengandung. Dan setiap wanita

yang bercerai karena li'an, tak dapat menuntut nafkah dari suaminya, sekalipun

sedang hamil.

(H.R. Bukhari dan Muslim)

136

Berdasarkan Mazhab Mailiki seorang istri yang menjalankan ilddah' karena

kematian suami, tidak berhak atas nafkah. Tetapi dia berhak memperoleh akomodasi

kalau dia menempati rumah yang dimiliki mendiang suaminya, atau bila almarhum

134

Sayyid Sabiq, Fiah al-Sunnah, Op.Cit, hal. 86 135

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim 136

(19)

rela membayar sewanya di muka.137

berikut harus dipenuhi.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa dia juga

berhak memperoleh nafkah. Seorang istri tak boleh meninggalkan rumahnya, karena

cerai atau ditinggal mati suaminya sampai habis masa iddah yang telah ditetapkan.

Bagi Mazhab Hanafi, sebagaimana diuraikan dalam "Durr al-Mukhtar", istri

diperlakukan sebagai pangkal (ashl) sedangkan anak sebagai cabang (furu) dalam

menetapkan prioritas nafkah meskipun keduanya tidak serumah, dan menurut semua

ulama mazhab wajib hukumnya menafkahi mereka.

Istri tak berhak menuntut nafkah yang lalu kecuali dalam Mazhab Syafi'i,

Syiah sependapat dengan Syafi'i. Dalam menentukan jumlah nafkah yang layak,

semua mazhab menjelaskan bahwa hakim dalam menetapkan keputusannya harus

mempertimbangkan kedudukan dan keadaan kedua pasangan itu. Tetapi syarat-syarat

138

1. Ikatan perkawinan yang sah.

2. Istri taat dan patuh kepada suami.

3. Istri memberi pelayanan sepanjang waktu yang diperbolehkan.

4. Istri tidak menolah menyertai suami ketika bepergian, kecuali jika si istri yakin

bahwa perjalanan itu tidak aman bagi diri dan hartanya.

5. Bila kedua belah pihak saling membantu satu sama lain.

Jika persyaratan di atas tak terpenuhi maka dia tak berhak memperoleh

nafkah. Kewajiban suami untuk memberi nafkah dimulai sejak istrinya mencapai usia

puber, dan bukan sebelumnya.

137

Al-Qayrawani, Risalah, op. cit, Bab 33. Bab Fil 'Iddah WalNafaqoh, hal. 98-101 138

(20)

B. Penyimpangan Terhadap Putusan Hakim yang Mewajibkan Orang Tua Laki-Laki (Ayah) Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian. 1. Rendahnya Tingkat Perekonomian139

Persoalan biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian merupakan masalah

yang sangat penting untuk menjamin sebab anak-anak yang dilahirkan dalam

perkawinan tidak tahu menahu dan tidak bersalah atas perceraian orang tuanya. Jika

diperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maupun

hukum Islam serta beberapa ketentuan tradisi adat di Indonesia maupun hukum Islam

serta beberapa ketentuan tradisi adat di Indonesia mengatur bahwa tanggung jawab

tentang biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian pada prinsipnya

membebankan kepada orang tua laki. Dan apabila dikaitkan dengan keadaan dan

kondisi masyarakat Indonesia, lazimnya orang tua laki-laki (ayah) yang bertanda

tangan dalam memberikan biaya nafkah kepada keluarga karena pada umumnya

kaum lelakilah yang bekerja. Seandainya dijumpai istri atau ibu yang bekerja, hal

tersebut tidak lain adalah untuk menunjang kehidupan ekonomi keluarga, bukan

merupakan tanggung jawab. Dalam hal ini terjadi perceraian, mengingat bahwa orang

tua laki-laki (ayah) yang lazimnya mencari nafkah, maka biaya anak setelah terjadi

perceraian adalah merupakan tanggung jawab orang tua laki-laki (ayah). Dari data

diatas, jelas menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua laki-laki (ayah), tidak

139

(21)

mematuhi isi putusan pengadilan agama. Hal ini dibenarkan oleh Hakim pengadilan

agama Medan yang menjadi informan dalam penelitian ini.140

1. Dikarenakan orang tua laki-laki (ayah) tidak mempunyai pekerjaan tetap.

Adapun yang menjadi penyebab tidak dilaksanakannya isi putusan pengadilan

agama yang menghukum untuk memberikan biaya nafkah anak oleh orang tua

laki-laki (ayah), sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Nafkah anak sebagaimana yang

diputus oleh pengadilan agama, putusan pengadilan agama ada menghukum biaya

nafkah anak akan tetapi orang tua laki-laki (ayah) tidak mematuhinya menyatakan

bahwa penyebab tidak dilaksanakan putusan pengadilan agama tersebut adalah :

2. Dikarenakan orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya nafkah anak

3. Dikarenakan orang tua perempuan tidak mengizinkan anak untuk bertemu dengan

orang tua laki-laki (ayah)nya sehingga orang tua laki-laki (ayah) tersebut tidak

mau memberikan biaya nafkah anak.

4. Dikarenakan sebab-sebab lain yang akan diuraikan lebih lanjut.

Dari uraian di atas jelas menunjukkan bahwa salah satu penyimpangan tidak

dipatuhinya isi putusan pengadilan agama oleh orang tua laki-laki (ayah) dalam

membiayai nafkah anak adalah disebabkan oleh rendahnya tingkat perekonomian

dimana orang tua laki-laki (ayah) yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dengan

pengasilah yang kecil apalagi tidak mempunyai pekerjaan tetap, dapatlah dipahami

jika orang tua laki-laki (ayah) tidak mematuhi isi putusan pengadilan agama yang

140

(22)

menghukumnya. Dan juga menjelaskan bahwa tingkat kepatuhan orang tua laki-laki

(ayah) terhadap putusan pengadilan agama yang menghukuni untuk memberi nafkah

anak sangat rendah, dan rasa tanggung jawab orang tua laki-laki (ayah) sama sekali

tidak memberikan biaya nafkah anak, terlepas dari tidak adanya putusan pengadilan

agama yang menghukumnya, juga cukup rendah sekali.

2.Adanya Indikasi Orang Tua Menikah Lagi.141

Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap keadaan finansial orang

tua laki-laki (ayah) tersebut dimana ia harus membiayai keluarganya yang baru.

Keadaan ini akan sangat berpengaruh pula terhadap perhatian orang tua laki-laki

(ayah) dalam memberikan biaya nafkah anak yang dilahirkan dalam perkawinan

terdahulu. Karena orang tua laki-laki (ayah) harus membiayai keluarganya yang baru. Setelah terjadi perceraian, baik pihak orang tua laki-laki (ayah) maupun orang

tua perempuan berhak untuk menikah lagi. Jika pihak-pihak telah menikah lagi,

persoalan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan sebelumnya menjadi sangat

penting untuk menjamin terutama mengenai biaya nafkah. Meskipun biaya nafkah

anak misalnya telah dijamin dalam putusan pengadilan agama yang memutus

perceraian kedua orang tuanya, akan tetapi dalam hal orang tua laki-laki (ayah) telah

menikah lagi, maka akan sangat sulit bagi orang tua laki-laki (ayah) tersebut untuk

tetap memberikan biaya nafkah anak, kecuali orang tua laki-laki (ayah) tersebut

seorang Pegawai Negeri Sipil.

141

(23)

Orang tua laki-laki (ayah) menjadi kurang atau tidak mampu lagi untuk memberikan

biaya nafkah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang terdahulu.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu penyimpangan

tidak dipatuhinya isi putusan pengadilan agama yang menghukum orang tua laki-laki

(ayah) untuk memberi nafkah anak adalah disebabkan orang tua laki-laki (ayah) telah

menikah lagi dan mempunyai keluarga yang baru dan membutuhkan biaya nafkah

pula untuk membiayai keluarga yang baru. Dalam hal ini, orang tua laki - laki (ayah)

sangat sulit untuk menyisihkan penghasilannya untuk guna memberikan biaya nafkah

anak dari perkawinan sebelumnya.

3. Dampak Psikologis 142

142

Rosmiarti Makmur (Hakim Pengadilan Agama Medan), wawancara pada tanggal 18 Juni 2013. Hal ini juga didukung oleh Husin Ritonga (Hakim Pengadilan Agama Medan), wawancara pada tanggal 18 Juni 2013.

Terjadinya perceraian antara suarni istri memang disebabkan berbagai alasan,

dan kadang-kadang alasan yang menjadi penyebab perceraian tersebut sangat prinsip

bagi pihak-pihak yang mengakibatkan hubungan suami istri tidak dapat

dipertahankan lagi dan harus bercerai. Ironisnya setelah terjadi perceraian, hubungan

antara mereka tetap dalam keadaan retak. Kejadian tersebut jelas akan mempengaruhi

psikologis anak untuk keberlangsungan kehidupannya, ada beberapa kebutuhan

utama anak yang penting untuk dipenuhi yaitu :

a. Kebutuhan akan adanya kasih sayang.

b. Kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok. c. Kebutuhan untuk diri sendiri.

(24)

e. Kebutuhan akan pengakuan dari orang lain. f. Kebutuhan untuk dihargai.

g. Kebutuhan untuk memperoleh palsafah hidup yang utuh.143

Hak pemeliharaan bagi anak yang belum mumayyiz sebagaimana ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan, diberikan kepada orang tua perempuan.

Karena alasan-alasan tertentu, orang tua perempuan kadang-kadang tidak

memperbolehkan bekas suaminya untuk bertemu dengan anak-anaknya. Biasanya hal

tersebut berkaitan dengan aspek psikologis orang tua perempuan. Maksudnya adalah

berkaitan dengan perasaan, sakit hati dan perasaan tertekan yang dialami akibat

tindakan yang tidak layak dalam perkawinan. Perasaan tertekan dan sakit hati yang

dirasakan misalnya, selama dalam masa perkawinan suanii melakukan tindakan

kekerasan, perselingkuhan dan menikah lagi dan lain sebagainya. Faktor-faktor

psikologis ini dapat menyebabkan orang tua perempuan sebagai pemegang hak

pemeliharaan tidak mengijinkan bekas suaminya untuk bertemu dengan anak mereka.

Keadaan ini akan dapat mengakibatkan orang tua laki-laki (ayah) tersebut tidak mau

memberikan biaya nafkah anak.

Hal ini kadang-kadang sangat berpengaruh terhadap hubungan anak dengan

orang tua, dimana salah satu pihak yang biasanya sebagai pihak yang memegang hak

pemeliharaan tidak mengizinkan pihak lain untuk menemui anak-anak.

144

Disamping itu, orang tua laki-laki (ayah) juga tidak mau memberikan biaya

nafkah akan berkaitan dengan aspek psikologis orang tua laki-laki (ayah) yang

143

Mohammad Ali, Psikologi Remaja, (Jakarta : Media Grafika, 2008), hal. 161 144

(25)

menganggap bahwa biaya nafkah anak tersebut tidak lain adalah akan dipergunakan

dan dimanfaatkan oleh bekas istrinya. Akibatnya orang tua laki-laki (ayah) menjadi

tidak mau untuk memberikan biaya nafkah kepada anaknya.

Selain itu, alasan orang tua laki-laki (ayah) tidak memberikan biaya nafkah

anak berkaitan dengan aspek psikologis si anak yang tidak dapat menerima perceraian

kedua orang tuanya, apalagi alasan perceraian itu disebabkan oleh tindakan orang tua

laki-laki (ayah) yang tidak pantas dalam pandangan anak tersebut, misalnya alasan

perceraian karena perselingkuhan orang tua laki-laki (ayah), orang tua laki-laki (ayah)

menikah lagi dengan perempuan lain atau alasan tindakan kekerasan yang pernah

dilakukan orang tua laki-laki (ayah) terhadap orang tua perempuannya atau terhadap

anak itu sendiri. Sehingga anak tidak mau menerima Juni 2013 biaya nafkah dari

orang tua laki-laki (ayah) nya disebabkan dalam masa perkawinan tindakan orang

tua laki-laki (ayah) yang melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain

sehingga terjadi pertengkaran orang tuanya yang juga diiringi tindakan kekerasan

kepada orang tua perempuannya.

4. Orang Tua Perempuan Mampu Untuk Memberikan Biaya Nafkah Anak. Orang tua perempuan mampu untuk memberikan nafkah anak setelah

terjadinya perceraian, bukan hal yang baru dimana perempuan juga mempunyai

penghasilan sendiri dengan bekerja, sehingga secara ekonomi ia tidak bergantung

pada orang tua atau tergantung pada suaminya jika telah menikah. Dengan demikian,

bagi perempuan yang mempunyai penghasilan sendiri apabila terjadi perceraian,

(26)

masa perkawinan pihak istrilah yang secara fmansial lebih menghasilkan dibanding

suaminya.145

145

Rosmiarti Makmur ( Hakim Pengadilan Agama Medan ), wawancara pada tanggal 18 Juni 2013. Hal ini juga didukung oleh Husin Ritonga ( Hakim Pengadilan Agama Medan), wawancara pada tanggal 18 Juni 2013.

Disamping itu, alasan orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya

nafkah anak adalah misalnya orang tua perempuan berasal dari keluarga yang

berkecukupan secara ekonomi sehingga dengan bantuan orang tua nya, persoalan

(27)

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PECERAIAN PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN

A. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Undang - Undang

Struktur Hukum Nasional mengalami perubahan signifikan terkait kedudukan

Peradilan Agama. Jika sebelumnya Peradilan Agama berada di bawah Departemen

Agama sebagai Departemen Teknisi, setelah adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, seluruh Pengadilan ditempatkan pada suatu atap

dibawah Mahkamah Agung termasuk Peradilan Agama.146

Kata "kekuasaan" sering disebut juga dengan "kompetensi" yang berasal dari

bahasa Belanda Competentie, yang diterjemahkan dengan kewenangan atau

kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu.147 Adapun Kompetensi

Peradilan Agama dapat dirumuskan sebagai : kekuasaan Negara dan menerima,

memeriksa, mengadili dan memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu

antara orang-orang yang beragama islam untuk menegakan hukum dan keadilan.148

146

Faqihuddin Abdul Kadir dan Ummu Azizah Mukamawati, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga; (Jakarta : UNFPA, 2013), hal. 163

147

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), hal. 516

148

Dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa : Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam.

Yang dimaksud kekuasan Negara adalah kekuasaan kehakiman. Sedangkan yang

dimaksud dengan perkara-perkara tertentu adalah perkara-perkara yang disebutkan

(28)

adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan agama.149 Hal itu

menunjukkan bahwa pengadilan agama (PA) adalah satuan (unit) penyelenggara

peradilan agama. Adapun satuan penyelenggara peradilan pada tingkat kedua

(banding) adalah pengadilan tinggi agama (PTA), sedangkan pengadilan pada tingkat

kasasi adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan kata lain, bahwa pengadilan adalah

badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum

dan keadilan.150 Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) di Indonesia

dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan Militer serta Peradilan Tata Usaha

Negara, yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara

Tertinggi.151

1. Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan

daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.

Pengadilan pada keempat lingkungan peradilan tersebut memiliki

cakupan dan batasan pemberian kekuasaan untuk mengadili (attribute van

rechtsmacht) itu, ditentukan oleh bidang yuridiksi yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Pasal 4 Undang - Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 berbunyi:

2. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota Propinsi, dan daerah

hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Berkenaan dengan hal itu, terdapat atribusi cakupan dan batasan kekuasaan

peradilan agama. Pengadilan agama merupakan pengadilan yang berkedudukan di

kota atau kabupaten dan memiliki kewenangan hukum untuk mengadili perkara yang

149

Baca juga UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 1. 150

Ibid

151

(29)

ada di wilayah kota atau kabupaten dimana pengadilan itu berada. Sedangkan

pengadilan tinggi agama adalah pengadilan yang berkedudukan di wilayah ibu kota

propinsi yang memiliki kewenangan sebagai pengadilan tingkat banding yang

membawahi pengadilan agama - pengadilan agama yang berada di wilayah Propinsi

tersebut untuk memeriksa perkara banding dari pengadilan agama yang ada di

bawahnya.

Kekuasaan pengadilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas kekuasaan

relative (relative competentie) dan kekuasaan mutlak (absolut competentie).

Kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik

pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya cakupan dan

batasan kekuasaan relatif pengadilan adalah meliputi daerah hukumnya berdasarkan

peraturan perundang-undangan .152

a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat

terakhir oleh Pengadilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung.

Peradilan dalam struktur Departemen Agama menjadi bagian dari kekuasaan

Kehakiman Mahkamah Agung ini juga menyangkut seluruh Organisasi, Administrasi

dan Finansial masing-masing lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung.

Kewenangan Mahkamah Agung seperi disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

b. Mengikuti peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap

undang-undang.

c. Kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan undang-undang.

152

(30)

Akibat adanya perubahan tersebut, maka semua perkara di peradilan agama

dapat diproses dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding hingga tingkat kasasi

di Mahkamah Agung dalam satu kesatuan sistem hukum nasional.

Kewenangan peradilan agama juga mengalami perubahan dalam hal perkara

yang ditanganinya. Kewenangan pengadilan agama terdiri dari atas wewenang

relative dan wewenang absolut. Kewenangan relative atau kewenangan nisbi hakim, mengatur tentang wewenang pengadilan jenis tertentu yang dapat memeriksa sebuah

perceraian yang menyangkut tentang pembagian kekuasaan untuk mengadili perkara

perceraian, antara pengadilan yang semacam, dan tergantung pada tempat domisili

tergugat.153

a. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan

permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan

ikrar talak.

Hal ini tersurat dalam Pasal 66 Undang - Undang Peradilan Agama No. 7

Tahun 1989 :

b. Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

c. Dalam hal termohon bertempat kediaman diluar negeri, permohonan diajukan

kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

d. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka

permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

e. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama

suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Jadi tiap-tiap pengadilan agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau

dikatakan mempnyai "yurisdiksi relatif' tertentu, yurisdiksi relatif ini mempunyai arti

153

(31)

penting sehubungan dengan pengadilan agama mana orang akan mengajukan

perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat.154

Kewenangan absolut menurut Soedikno Mertokusumo, di dalam bukunya :

Hukum Acara Perdata Indonesia, menjelaskan kompetensi absolut atau kewenangan

mutlak pengadilan yaitu wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara

tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam

lingkungan pengadilan lain. Kompetensi absolut atau wewenangan mutlak ini

memberi jawaban atas pertanyaan : apakah peradilan tertentu itu pada umumnya

berwenang memeriksa jenis perkara tertentu yang diajukan kepadanya dan bukan

wewenang pengadilan yang lain. Kompetensi absolut I wewenang mutlak disebut

juga artibusi kekuasaan kehakiman.155

Sesuai dari uraian di atas yang dimaksud dengan kompetensi absolute adalah

kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan

atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis

pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya :pengadilan agama berkuasa

atas perkara perkawinan bagi mereka yang bergama Islam sedangkan bagi yang selain

Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.156

154

Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 26

155

Soedikno Mertokusumo, sebagaimana dikutip oleh Muchinum, Kompetensi Peradilan Agama Relatifdan Absolut dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penerapannya, (Bogor ; Pusdiklat Teknis Balitbang Diklat Kumdil MARI, 2008), hal. 127.

156

Roihan A Rasyid, Op.cit, hal. 27

Batas-batas kewenangan mengadili

antar lingkungan peradilan tersebutlah yang dimaksud dengan "kompetensi absolute".

(32)

"mutlak" menjadi kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perkaranya.

Lingkungan peradilan lain secara mutlak tidak berwenang untuk mengadilinya.157

157

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta ; Sinar Grafika, 2007), hal. 138

Kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama diatur

dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dimana dibangun atas azas Personalitas

Keislaman, yang mana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakan

salah satu perdata tertentu yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006,

yaitu bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq shadawah dan

ekonomi syari 'ah.

B. Hukum In Konkrito Dalam Putusan Pengadilan Agama Terhadap Sengketa Perceraian

Putusan perceraian pada pengadilan agama Medan tidak selalu dapat diketahui

bahwa biaya nafkah anak juga ikut diputus. Penyebabnya karena tuntutan biaya

nafkah tidak dimohonkan di samping tidak dikabulkan oleh Majelis Hakim meskipun

telah dimohonkan. Sehingga dapat diketahui penyebabnya bahwa terdapat adanya

perbedaan amar putusan pengadilan agama Medan dalam memeriksa dan mengadili

perkara yang karakteristiknya sama (disparitas). Untuk lebih lanjut mengenai

disparitas putusan pengadilan agama Medan ini, maka perlu pula diteliti sejumlah

putusan pengadilan agama Medan yang memutuskan sengketa perceraian yang

(33)

1. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register Nomor : 191/Pdt.G/2012/PA.Mdn

Dalam perkara ini seorang istri (Emilda no vita sari ) mengajukan

permohonan cerai terhadap suaminya (Ricky kurniawan) yang ditujukan kepada

Pengadilan Agama Medan. Adapun kasus posisinya adalah dalam gugatan penggugat

pada pokoknya penggugat bermohon agar dinyatakan jatuh talak satu ba'in sughra

tergugat atas diri penggugat dengan alasan antara penggugat dan tergugat terjadi

perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus. Penggugat juga memohon agar

ditetapkan sebagai pihak yang berhak atas pemeliharaan 1 (satu) orang anak (5

Tahun) dan tergugat dihukum untuk membayar biaya nafkah anak sebesar Rp.

500.000,- perbulan.

Selanjutnya jawaban yang diajukan tergugat, pada pokoknya tergugat

menyetujui bercerai dengan penggugat, kemudian Hakim Pengadilan Agama Medan

atas kasus di atas memutuskan perkara dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara a

quo dalam Konpensi menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih belum

mumayyiz (belum berusia 12 tahun) sudah seharusnya diberikan hak tersebut kepada ibunya. Sedangkan biaya nafkah anak tetap melekat pada ayah, oleh karenanya sangat

beralasan jika memohon biaya anak tersebut dikabulkan. Adapun besar nafkah anak

yang dituntut oleh Penggugat adalah sebesar Rp. 500.000,- perbulan sampai anak

tersebut dewasa, Majelis Hakim memandang bahwa besarnya nafkah anak tersebut

(34)

Penggugat dan Tergugat tersebut adalah sebesar Rp. 500.000,- perbulan sampai anak

tersebut dewasa.

Dalam pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Medan

mencantumkan kaedah-kaedah seperti hukum ketentuan Kompilasi Hukum Islam

Pasal 156 huruf (a) yang menyatakan "anak yang belum mumayyiz berhak mendapat

hadhanah dari ibunya...", jo Pasal 105 huruf c jo. Pasal 156 huruf (d). Selain itu hakim menggunakan kaidah hukum lainnya yaitu Fiqhiyah sebagaimana tersebut

dalam Kitab Al-Asybah waal-Nadhoir berbunyi:

Artinya : Menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan (kebaikan). Selanjutnya putusan Hakim dalam Konpensi:

1. Mengabulkan permohonan Penggugat d.k untuk seluruhnya ;

2. Menjatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat atas diri Penggugat

3. Menetapkan Penggugat sebagai yang berhak atas pemeliharaan anak

4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah anak sebesar Rp. 500.000

perbulan sampai anak tersebut dewasa ; dan seterusnya.

Jika diperhatikan perkara ini, meskipun yang mengajukan cerai adalah istri

akan tetapi biaya anak tetap dibebankan kepada orang tua laki-laki (ayah) selaku

ayah, sesuai dengan isi UUP No.l Tahun 1974 Pasal 41 dan KHI Pasal 105 huruf (c).

Berdasarkan Putusan dalam perkara ini dapat diketahui bahwa pertimbangan Majelis

Hakim dalam memutuskan mengenai biaya nafkah anak adalah berdasarkan

pertimbangan kemampuan ekonomi orang tua laki-laki (ayah), sebagaimana

(35)

2. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register Nomor 206/Pdt.G/2012/PA.Mdn

Dalam perkara ini seorang istri (Dewi asweni) mengajukan permohonan cerai

terhadap suaminya (T. Hermansyah) yang ditujukan kepada Pengadilan Agama

Medan. Selanjutnya mengenai kasus posisinya adalah dalam gugatan penggugat pada

pokoknya bermohon agar dinyatakan jatuh talak satu ba 'in sughra tergugat atas diri

penggugat dengan alasan antara penggugat dan tergugat terjadi perselisihan dan

pertengkaran terus menerus. Penggugat juga memohon agar ditetapkan sebagai pihak

yang berhak atas pemeliharaan satu orang anak (10 tahun) dan tergugat dihukum

untuk membayar biaya nafkah anak sebesar Rp. 1.000.000 perbulan.

Kemudian dalam jawaban yang diajukan Tergugat, pada pokoknya Tergugat

menyetujui bercerai dengan Penggugat. Jelas bahwa pertimbangan hukum Majelis

Hakim Pengadilan Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara a quo

dalam konpensi menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih belum

mumayyiz (berusia 12 tahun) sudah seharusnya diberikan hak tersebut kepada ibunya, oleh karena sangat beralasan jika memohon biaya anak tersebut dikabulkan. Adapun

besar nafkah anak yang dituntut oleh Penggugat adalah sebesar Rp. 1.000.000

perbulan sampai anak tersebut dewasa, Majelis hakim memandang bahwa besarnya

nafkah anak tersebut sudah memenuhi kepatutan karenanya Majelis Hakim dapat

menetapkan nafkah anak Penggugat dan Tergugat tersebut adalah sebesar Rp.

1.000.000 perbulan sampai anak tersebut dewasa. Mengenai hal demikian, merujuk

(36)

ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 156 Huruf (a) yang menyatakan "anak yang

belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya...". Selain itu hakim

menggunakan kaidah hukum lainnya yaitu Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam

Kitab Al-Asybah waal-Nadhoir berbunyi:

Artinya : Menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan (kebaikan)

Selanjutnya dalam Konpensi mengabulkan permohonan penggugat untuk

seluruhnya menjatuhkan talak satu ba'in sughra tergugat atas diri penggugat

menetapkan penggugat sebagai yang berhak atas hadhanah. Menghukum tergugat

untuk membayar biaya nafkah, anak sebesar Rp. 1.000.000 perbulan sampai anak

tersebut dewasa dan seterusnya.

Berdasarkan putusan dalam perkara ini dapat diketahui bahwa pertimbangan

Majelis Hakim dalam memutuskan mengenai nafkah anak adalah berdasarkan

pertimbangan ekonomi orang tua laki-laki (ayah), sesuai dengan KHI Pasal 156 huruf

(d).

3. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register No.207/Pdt.G/2012/PA.Mdn

Dalam perkara ini seorang istri (Nura Fitria) mengajukan permohonan cerai

terhadap suaminya (Dian Mukhlis) yang ditujukan kepada Pengadilan Agama Medan.

Adapun kasus posisinya adalah dalam gugatan penggugat pada pokoknya penggugat

bermohon agar dinyatakan jatuh talak satu ba'in sughra tergugat atas diri penggugat

(37)

yang terus menerus. Penggugat juga memohon agar ditetapkan sebagai pihak yang

berhak atas pemeliharaan 3 (tiga) orang anak yang masih belum mumayyiz, karena

selama ini anak tesebut dirawat dan diasuh oleh penggugat sementara tergugat tidak

bertanggung jawab terhadap biaya rumah tangga. Dalam jawaban yang diajukan

tergugat pada pokoknya tergugat menyetujui bercerai dengan penggugat.

Selanjutnya Hakim Pengadilan Agama Medan atas kasus di atas memutuskan

perkara dengan pertimbangan hukum sebagai berikut : Majelis Hukum Pengadilan

Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dalam konpensi

menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih belum mumayyiz (berusia 12

tahun) sudah seharusnya diberikan hak tersebut kepada ibunya.

Dalam Pertimbangan hukum Hakim mencantumkan kaedah hukum seperti

ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf (a) yang menyatakan "anak yang

belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya...". Selain itu hakim

menggunakan kaidah hukum lainnya yaitu Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam

Kitab Al-Asybah waal-Nadhoir berbunyi:

Artinya : Menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan (kebaikan). Kemudian putusan Hakim dalam Konpensi:

1. Mengabulkan permohonan Penggugat untuk seluruhnya

2. Menjatuhkan talak satu ba 'in sughra Tergugat atas diri Penggugat

3. Menetapkan Penggugat sebagai yang berhak atas pemeliharaan anak

Jika diperhatikan perkara ini, sejak awal dalam gugatan, istri selaku pihak

(38)

memberikan biaya nafkah anak. Berdasarkan putusan dalam perkara ini, dapat

diketahui bahwa apabila tuntutan biaya nafkah anak tidak dimohon maka biaya

nafkah anak tidak akan ikut diputus oleh putusan pengadilan yang memutus perkara

perceraian tersebut. Hal ini sesuai dengan asas hukum acara perdata yang berlaku

juga bagi Pengadilan Agama yakni asas "ultrapetitapartium ".158

Selanjutnya jawaban yang diajukan tergugat d.k (suami), pada pokoknya

tergugat d.k menyetujui bercerai dengan penggugat d.k dalam jawaban tersebut, 4. Putusan Pengadilan Agama Medan dengan Register Nomor

: 220/Pdt.G/2012/PA.Mdn

Dalam perkara ini seorang istri (Megalia) mengajukan permohonan cerai

terhadap suaminya (M.Herry) yang ditujukan kepada Pengadilan Agama Medan.

Adapun kasus posisinya adalah dalam gugatan penggugat d.k (istri) pada pokoknya

penggugat d.k (istri) bermohon agar dinyatanya jatuh talak satu ba'in sughra tergugat

d.k (suami) atas diri penggugat d.k (istri) dengan alasan antara penggugat d.k dan

tergugat d.k terjadi perselisihan dan pertengkatan yang terus menerus. Penggugat d.k

juga memohon agar ditetapkan sebagai pihak yang berhak atas pemeliharaan anak (2

tahun 4 bulan) karena selama ini anak tersebut dirawat dan diasuh oleh pengugat d.k

sementara tergugat d.k tidak menerima keadaan penggugat dalam menjalankan

aktivitas dalam bekerja.

158

(39)

tergugat d.k sekaligus mengajukan rekonpensi yang pada pokoknya bermohon agar

tergugat d.k/penggugat d.r ditetapkan sebagai yang berhak atas hak pemeliharaan

anak. Kemudian Hakim Pengadilan Agama Medan atas kasus di atas memutuskan

perkara dengan pertimbangan hukum sebagai berikut : Majelis Hakim Pengadilan

Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dalam Konpensi

menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih belum mumayyiz (berusia 12

tahun) sudah seharusnya diberikan hak tersebut kepada ibunya.

Dalam pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Medan

mencantumkan kaedah - kaedah hukum seperti ketentuan Kompilasi Hukum Islam

Pasal 156 huruf a yang menyatakan "anak yang belum mumayyiz berhak mendapat

hadhanah dari ibunya ....". Selain itu hakim menggunakan kaidah hukum lainnya

yaitu Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam Kitab Al-Asybah waal-Nadhoir berbunyi:

Artinya : Menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan (kebaikan). Selanjutnya putusan Hakim dalam Konpensi:

1. Mengabulkan permohonan Penggugat d.k untuk seluruhnya

2. Menjatuhkan talak satu ba 'in sughra Tergugat d.k atas diri Penggugat d.k

3. Menetapkan Penggugat d.k sebagai yang berhak atas pemeliharaan anak.

Kemudian putusan Hakim dalam Rekonpensi: Menolak gugatan penggugat d.k

untuk seluruhnya, dan seterusnya.

Jika diperhatikan perkara ini, dalam gugatan ini istri selaku pihak mengajukan

cerai tidak memohon dalam gugatan agar suami dihukum untuk memberikan biaya

(40)

tuntutan biaya nafkah anak seperti putusan No. 207/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Hal ini

sesuai dengan asas hukum acara perdata yang berlaku juga bagi Pengadilan Agama

yakni asas : "Ultra Petita Partium "

5. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register No. 230/PdtG/2012/PA.Mdn

Dalam perkara ini seorang istri (Tuti) mengajukan permohonan cerai terhadap

suaminya (Hizbul) yang ditujukan kepada Pengadilan Agama Medan. Adapun kasus

posisinya adalah dalam gugatan penggugat, pada pokoknya penggugat bermohon agar

dinyatakan jatuh talak satu ba 'in sughra tergugat atas diri penggugat dinyatakan

alasan antara penggugat dan tergugat terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus

menerus. Penggugat juga memohon agar ditetapkan sebagai pihak yang berhak atas

pemeliharaan 2 orang anak yang masih di bawah umur dan tergugat dihukum untuk

membayar biaya nafkah anak sebesar Rp. 2.000.000,-perbulan hingga anak-anak

tersebut dewasa.

Selanjutnya jawaban yang diajukan tergugat, pada pokoknya tergugat

menyetujui bercerai dengan penggugat. Kemudian, Hakim Pengadilan Agama Medan

atas kasus di atas memutuskan perkara dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara a

quo dalam Konpensi menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih belum

mumayyiz (berusia 12 tahun) sudah seharusnya diberikan hak tersebut kepada ibunya. Sedangkan biaya nafkah anak tetap melekat pada ayah, oleh karenanya sangat

(41)

jumlah Rp. 2.000.000 perbulan dipandang terlalu besar dan tidak sesuai dengan

kemampuan Tergugat, maka majelis mempertimbangkan akan menetapkan sendiri

jumlah biaya nafkah anak tersebut sebesar Rp. 600.000 perbulan.

Dalam pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Medan

mencantumkan kaedah - kaedah hukum seperti, ketentuan Kompilasi Hukum Islam

Pasal 156 huruf (a) jo Pasal 105 huruf (c) jo. Pasal 156 huruf (d). Selain itu Hakim

menggunakan kaidah hukum lainnya yaitu Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam

Kitab Al-Asybah waal-Nadhoir berbunyi:

Artinya : Menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan (kebaikan). Selanjutnya putusan Hakim dalam Konpensi:

1. Mengabulkan permohonan Penggugat d.k untuk seluruhnya

2. Menjatuhkan talak satu ba 'in sughra Tergugat atas diri Penggugat

3. Menetapkan Penggugat sebagai yang berhak atas pemeliharaan anak

4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah anak sebesar Rp.600.000

perbulan sampai anak-anak tersebut dewasa, dan seterusnya.

Berdasarkan perkara ini, juga dapat diketahui bahwa meskipun yang

mengajukan gugatan cerai adalah istri akan tetapi biaya nafkah anak tetap dibebankan

pada orang tua laki-laki (ayah) selaku ayah, akan tetapi mengenai jumlah yang

dimohonkan, majelis hakim tetap memperhatikan kemampuan ekonomi orang tua

laki-laki (ayah), sesuai dengan isi UUP No.l Tahun 1974 Pasal 41 dan KHI Pasal 105

(42)

Jika diperhatikan putusan - putusan yang dijadikan sampel dalam penelitian

ini, Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan dalam menentukan biaya nafkah anak

adalah terjadinya perceraian pada umumnya adalah berdasarkan pertimbangan

kemampuan ekonomi berdasarkan UUP No.l Tahun 1974 Pasal 41 dan KHI Pasal 105

(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Tanggung jawab orang tua yang telah bercerai terhadap anak (hadhanah) bagi

WNI yang beragama Islam, dapat merujuk pada Undang-Undang No.l Tahun

1974 tentang perkawinan dalam Pasal 41 huruf (b), dalam Al-Qur'an pada Surat

Luqman ayat 12-19 dan surat Al-Thalaaq ayat 6 . Kemudian dalam KHI, maka

akibat hukumnya dengan tegas menyatakan bahwa semua biaya hadhanah dan

nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah dapat dilihat dalam Pasal 105 KHI

menurut kemampuannya, sekurang - kurangnya sampai anak tersebut

dewasa/dapat mengurus dirinya sendiri, dasar yuridisnya Pasal 98 ayat (1) KHI.

2. Faktor penyimpangan terhadap putusan hakim yang mewajibkan orang tua

laki-laki (ayah) terhadap nafkah anak penyebabnya adalah yang pertama : rendahnya

tingkat perekonomian, kedua : adanya indikasi orang tua menikah lagi, ketiga :

dampak psikologis, keempat : orang tua perempuan mampu memberikan biaya

nafkah anak.

3. Jika melihat hukum in konkrito yang terdapat pada 5 (lima) putusan Pengadilan

Agama (PA) Medan mengenai tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak

pasca perceraian, menerapkan Pasal 105 huruf (c), 156 (a) KHI, dan kaedah

(44)

menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih

kemaslahatan (kebaikan)" .

B. Saran

1. Mengenai tanggungjawab orang tua setelah terjadi perceraian, kedua orang tua

hendaknya menyadari bahwa betapa penting arti tanggung jawab orang tua

terhadap anaknya, hal tersebut secara moral, secara adat dan agama merupakan

kewajiban orang tua untuk biaya nafkah anak. Oleh karenanya, orang tua laki-laki

(ayah) secara moral dalam hal ini sudah seharusnya rneniberikan biaya nafkah

anak meskipun tidak ada putusan pengadilan yang menghukumnya.

2. Bahwa apabila dalam proses persidangan perceraian terdapat penyimpangan

terhadap putusan Hakim, maka orang tua perempuan (ibu ) agar menuntut biaya

nafkah anak. Oleh karenanya biaya nafkah anak setelah terjadi perceraian harus

dapat tetap terjamin karena masa depan anak masih sangat panjang.

3. Pengadilan Agama sebaiknya menjamin hak seseorang terhadap hukum in

konkrito maupun hukum materil, tidak ada artinya jika tidak direalisasikan,

bahkan di masa yang akan datang pembentuk Undang-Undang perlu membentuk

suatu ketentuan tentang prosedur khusus yang diartikan sebagai proses

penyelesaian perkara langsung pada pelaksanaan eksekusi terhadap pelaksanaan

putusan pengadilan agama tentang betapa pentingnya perlindungan terhadap

hak-hak istri dan anak-anaknya setelah adanya perceraian tentang pemberian nafkah

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penilaian kelayakan buku saku digital oleh pakar dengan persentase rata-rata yaitu 95, 2 3% dinilai “Sangat layak” untuk digunakan sebagai media pembelajaran

Berilah kami ilmu yang bermanfaat, kefahaman yang luas dan amalan yang engkau terima selama kami mengikuti Diklat ini dan berilah kami kemampuan untuk dapat melaksanakannya di tempat

Selain itu diperlukan kajian ekonomi dan studi kelayakkan proyek untuk menghitung berapa lama pengembalian investasi awal dan layak atau tidak pembangunan

Penangkaran bibit lada di polibag untuk dijual/disalurkan kepada petani/pengguna bibit lada dilakukan menggunakan stek lada satu ruas berdaun tunggal varietas Natar 1, sumber

Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang – Undang PPh

Dari grafik terlihat bahwa tingkat kebenaran tertinggi yang dapat dicapai adalah 96,36%, lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem neural network tanpa

Jual beli dalam Islam juga telah menetapkan aturan-aturan hukumnya seperti yang telah di contohkan oleh Rasulullah baik mengenai rukun syarat maupun bentuk jual beli

Muara dari semua itu yang merupakan harapan kita semua adalah terciptanya “Indonesia berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi