BAB III
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PENYIMPANGAN TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG MEWAJIBKAN AYAH MEMBERIKAN NAFKAH
ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN
A. Hak - Hak Anak Setelah Perceraian l. Hak Hadhanah (Pemeliharaan Anak)
a. Pengertian Hadhanah
Pemeliharaan merupakan tanggung jawab orang-orang berikut ini : Menurut
para ulama, seorang ibu berhak menjadi pemeliharaan atas seorang anak lelaki
sampai usia tujuh tahun dan anak perempuan sampai usia puber. Dalam hal ini
Mazhab "Syiah" berpendapat, anak laki-laki sampai usia dua tahun sementara anak
perempuan sampai usia tujuh tahun. Setelah umur yang ditentukan ini, ayah adalah
satu-satunya wali yang menjamin kesejahteraan anak-anaknya. Setelah ayah
meninggal maka penggantinya menjadi wali yang sah. Sekalipun anak-anak dalam
perawatan ibu, namun ayah tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya dan tetap
mengawasi mereka.109
Kemudian di dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan hadhanah.
Secara etimologi, hadhanah ini berarti disamping atau berada di bawah ketiak,
sedangkan secara terminologisnya, hadhanah merawat dan mendidik seseorang yang
109
belum mumayyiz atau kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bias memenuhi
keperluannya sendiri.110
Hadhanah yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan
ini mencakup masalah ekonomi, penidikan dan segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan pokok anak.'111
Kamal Muchtar memberi pengertian hadhanah, menurut bahasa, hadhanah
berasal dari perkataan "al hidlnu" yang berarti "rusuk". Kemudian perkataan
hadhanah dipakai sebagai istilah dengan arti "pendidikan anak" karena seorang ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya, sering meletakkannya pada sebelah
rusuknya.112
Secara etimologi kata hadhanah berarti "al-jamb" yang berarti disamping atau
berada di bawah ketiak, 113atau biasa juga berarti meletakkan sesuatu dekat tulang
rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan.114
110
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999), hal.415
111
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1998) hal. 235 112
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang), hal. 129
113
Ibnu Manzhur, Lisan al-Araby, (Mesir : Dar al-Ma'arif, tth), hal. 911, dan Abu Yahya Zakaria Anshari. Fathul Wahab. (Beirut: Dar al-Kutub, 1987), Juz II, hal. 212
114
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta ; Kencana, 2004), hal. 166
Maksudnya
adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan
Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang
yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal (kecerdasan
berpikir)-nya. Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya disebabkan oleh
perceraian atau karena meninggal dunia dimana anak belum dewasa dan tidak mampu
lagi mengurus diri mereka, karenanya diperlukan adanya orang-orang yang
bertanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak tersebut.115
"Menurut istilah ahli flqh, hadhanah berarti memelihara anak dari segala
macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan
rohaninya, menjaga makanan dan keberaniannya, mengusahakan pendidikannya
hingga anak tersebut sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupannya
sebagai seorang muslim.
Disebutkan juga
sebagai berikut:
116
Sehingga dimaksud dengan hadhanah adalah membekali anak secara material
maupun secara spiritual, mental maupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam
menghadapi hidup dan kehidupannya nanti bila ia dewasa.
Pengertian-pengertian hadhanah tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
hadhanah itu mencakup aspek - aspek :
a. Pendidikan
b. Pencukupannya kebutuhan
c. Usia (yaitu bahwa hadhanah itu diberikan kepada anak sampai usia tertentu).
115
Andi Syamsul Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Kamal Muchtar, Loc. Cit
116
Adapun kaitannya putusan perceraian dari berbagai gugatan yang pernah
terjadi tentang hadhanah di pengadilan agama medan melalui putusan perkara
No.l91/Pdt.G/2012/PA.Mdn, dan juga berdasarkan putusan
No.206/Pdt.G/2012/PA.Mdn, juga terhadap putusan No.207/Pdt.G/2012/PA.Mdn,
dan putusan No.220/Pdt.G/2012/PA.M.dn, serta putusan
No.230/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Beberapa nomor perkara di atas merupakan bukti
bahwa banyaknya perceraian yang mengakibatkan hak anak sebagai tanggung jawab
orang tua terhadap hadhanah hal ini dapat diketahui bahwa kelima putusan perceraian
tersebut hak hadhanah di dalam putusan ditetapkan kepada ibu dan merawat dan
mendidik anaknya dikarenakan ayah (orang tua laki-laki) tidak bertanggungjawab
terhadap kebutuhan hidup, dan berprilaku kasar setiap terjadi pertengkaran. Sehingga
dapat diketahui bahwa setelah terjadi perceraian ayah tidak boleh mengabaikan
nafkah anak dan tetap mengawasi mereka.
UUP No.l Tahun 1974 tidak disebutkan pengertian pemeliharaan anak
(hadhanah) secara definitif, melainkan hanya disebutkan tentang kewajiban orang tua untuk memelihara anaknya. Pasal 45 ayat (1) UUP No.l Tahun 1974 ini disebutkan
bahwa, "Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya".
b. Orang yang melaksanakan hadhanah
Pada dasarnya pelaksana hadhanah dalam keluarga adalah suami istri sedang
sebagai penerima hadhanah adalah anak-anaknya. Apabila karena adanya sesuatu hal
terhadap anaknya itu diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga yang
sekiranya mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan hadhanah tersebut.
Demikian pula dalam hal si penerima hadhanah yaitu anak, apabila di dalam keluarga
terdapat beberapa anak, maka hadhanah akan diberikan oleh kedua orang tua kepada
anak-anaknya secara bergantian sesuai dengan keadaan anak dan batasan pelaksanaan
hadhanah.
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak
melakukan hadhanah. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal terutama
tentang lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak setelah ibu dan
juga tentang syarat-syarat yang menjadi ibu pengasuh. Selama tidak ada hal yang
menghalangi untuk memelihara anak-anak, maka ibulah yang harus melaksanakan
hadhanah kecuali ada sesuatu halangan yang mencegahnya untuk melaksanakan hadhanah .117
bermaksud membawa anak mereka bersamanya setelah menceraikannya.
Sesuai dengan hadist Abdullah bin Umar bin Al - Ash menceritakan, seorang
wanita mengadu kepada Rasulullah tentang anak kecilnya, dimana mantan suaminya
118
117
Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Mam No. 49 Thn XI 2000 Mi - Agustus, (Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam), hal. 67
118
Satria Effendi, M. Zein : Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, (Jakarta, Kencana, 2004). Hal. 170
Lalu
Rasulullah bersabda : "Kamu (Wanita itu) lebih berhak terhadap anak itu selama
Masalah hadhanah merupakan masalah hal yang sangat penting untuk
dilaksanakan, oleh karena itu orang yang melaksanakan hadhanah itu haruslah
mempunyai kecakapan dan kecukupan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang
harus dipenuhi, diantaranya:
a) Berakal sehat, karena orang yang akalnya tidak sehat tidak diperkenankan
merawat anak.
b) Sudah dewasa, karena anak kecil tidak diperkenankan melaksanakan hadhanah
sebab ia sendiri masih membutuhkan perwatan orang lain.
c) Mempunyai kemampuan dan keahlian, oleh karena itu, orang yang tuna netra,
memiliki penyakit menular, usia lanjut dan memiliki tabiat suka marah kepada anak-anak meskipun kerabat anak-anak itu sendiri, dilarang menjadi orang yang
melaksanakan hadhanah.
d) Amanah dan berbudi luhur, karena orang yang curang tidak aman bagi anak
yang diasuhnya, karena itu jarang seorang anak akan meniru kelakuan curang orang yang mengasuhnya.
e) Beragama Islam, para ulama madzab berbeda pendapat tentang ini, madzab
Imamiyah dan Syafi'i tidak memperkenankan seorang kafir mengasuh anak-anak yang beragama Islam, sedangkan mazhab lainnya tidak mensyaratkan hal yang demikian itu.
f) Ibunya belum kawin lagi, jika si ibu anak yang diasuh itu kawin dengan laki-laki
lain maka hak hadhanah yang ada padanya menjadi gugur.
g) Merdeka atau bukan budak, seorang budah biasanya sangat sibuk dengan
urusan-urusan majikannya yang sulit ditinggalkannya.119
c. Cara melakukan hadhanah
Berhubungan dengan UUP No.l Tahun 1974 Pasal 42-54 mengenai
kedudukan anak sampai dengan perwalian, dijelaskan dalam Pasal 47 bahwa orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai usia 18
tahun dengan cara baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban
ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena
119
perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Kewajiban orang
tua memelihara meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani),
pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelanjaan dalam arti
luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial
ekonomi orang tua. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam hukum
Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara
anak-anaknya semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.
Pengawasan terhadap anak dimaksudkan adalah menjaga keselamatan jasmani
dan rohani anak, dan untuk ini dapat ditempuh berbagai macam cara, antara lain :
1) Menjaga dan menghindarkan anak dari lingkungan atau hal-hal yang
membahayakan jasmani anak, yaitu dengan mengasuh atau merawat anak secara hati-hati dan sebaik-baiknya.
2) Menghindarkan anak dari pengaruh sosial yang tidak baik yaitu menghindarkan
anak dari pengaruh kenakalan remaja, yang dapat merusak jasmani dan rohani
anak.120
Pelayanan terhadap anak dimaksudkan adalah memberikan dan menanamkan
rasa kasih sayang terhadap anak. Untuk tercapainya pelayanan yang baik dapat
ditempuh dengan :
(1) Orang tua hendaknya menyediakan waktunya yang cukup untuk menjalin dan
menanamkan kasih sayang dengan / kepada anak.
(2) Sebaiknya orang tua bersikap lemah lembut kepada anaknya dan tidak bersikap
keras.121
120
Memberi pembelanjaan kepada anak, dimaksudkan adalah mencukupi
kebutuhan anak yang meliputi tempat tinggal, makanan, pakaian, permainan dan
sebagainya yang ditempuh dengan :
(1) Memenuhi segala sesuatu yang dibutuhkan anak (tentunya dengan mengingat
kebaikan bagi anak dan kemampuan yang dimiliki orang tua).
(2) Dalam memberikan biaya kebutuhan tersebut harus dilampiri kasih sayang demi
kebaikan bagi anak dan bukan untuk memanjakannya.122
Memberikan pendidikan kepada anak dimaksudkan adalah mempersipakan
atau membekali anak agar ia dapat menjadi manusia yang mempunyai kemampuan
fisik, mental dan intelektual dalam menjalani kehidupan dengan tidak mengabaikan
bakat-bakat yang dibawa dan dimiliki anak. Untuk mencapai pendidikan anak yang
baik dapat ditempu dengan cara - cara antara lain :
(1) Menyekolahkan anak dan lebih lanjut memilih sekolah yang cocok bagi anak
sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki anak.
(2) Melatih anak dengan ketrampilan praktek-praktek kerja sesuai dengan
kemampuan dan bakat anak.123
Segala pendidikan, pemeliharaan dan usaha apapun dapat diberikan atau
dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya asalkan berguna bagi anak dan orang tua,
serta berguna bagi umat lainnya dan memungkinkan untuk menjadi dasar berpijak
anak dalam menempuh kehidupannya kelak apabila ia sudah lepas dari pemeliharaan
orang tua.
Selain hal tersebut diatas dalam Pasal 106 Kompilasi Hukuni Islam
dikemukakan bahwa:
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengenbangkan harta anaknya yang
belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suaru kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditumbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan
seseorang bayi disusui kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana yang
dikemukakan dalam Pasal 104 KHI yaitu :
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada ayahnya. Apabila
ayahnya setelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
Dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz (
belum berumur 12 tahun )124
124
Adi Bahari, Prosedur Gugatan Cerai+Pembagian Harta Gono-Gini+Hak Asuh Anak, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2012), hal. 160
dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya
pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun
mereka telah bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 34 ayat (1) UUP No.l
dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah
tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang
kebetulan diberi beban untuk melaksanakan hadhanah kepada anak-anaknya dapat
menuntut biaya hadhanah tersebut kepada pengadilan agama setempat agar
menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang
dianggap patut jumlahnya oleh pengadilan agama. Jadi pembayaran itu dapat
dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan pengadilan agama.
Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak
mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka
kekuasaan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alasan
pencabutan tersebut karena:
1. Orang tua sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
2. Orang tua berkelakuan buruk sekali.
Menurut M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa : "Orang tua yang melalaikan
kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya meliputi ketidak becusan si
orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya, boleh jadi
disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu yang tidak
uzur atau gila dan bepergian dalam jangka waktu yang tidak diketahui
senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan
contoh baik".125
Menurut Hukum Islam belum ada ketentuan mengenai batas waktu
berakhirnya hadhanah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Hadhanah
berhenti apabila anak sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa dan dapat
berdiri sendiri, serta mampu untuk mengurus kebutuhan pokoknya sendiri, seperti
makan, minum, mandi dan berpakaian sendiri. Dalam hal ini tidak ada batasan
tertentu mengenai waktu berakhirnya. Hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz
Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas,
maka terhentilah kekuasaan orang tua itu untuk melaksanakan penguasaan kepada
anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka
ayah tidak berhak lagi mengurusi urasan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik
anaknya, tidak berhak lagi mewakili anak di dalam maupun di luar pengadilan.
Dengan demikian ibulah yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut,
ibu yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut.
Berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UUP No.l Tahun 1974, meskipun kekuasaan
pemeliharaan orang tua (ayah) kepada anaknya dicabut, kewajiban orang tua (ayah)
memberikan pemeliharaan anak disuruh memilih terhadap anaknya tetap.
d. Berakhirnya Hadhanah
125
dan kemampuan untuk berdiri sendiri. Jika anak telah dapat memenuhi semua
ketentuan tersebut, maka masa hadhanah telah habis.126
"Fatwa pada madzhab Hanafi dan lain-lainnya yaitu masa hadhanah berakhir
bilamana anak telah berumur tujuh tahun kalau laki-laki, dan sembilan tahun kalau ia
perempuan."127 Sebagian mereka berpendapat juga bahwa mengasuh anak itu habis
waktunya apabila anak itu sudah tidak membutuhkan asuhan waktunya apabila anak
itu sudah tidak membutuhkan asuhan (pemeliharaan) dan anak tersebut sudah
dapat/sanggup melaksanakan apa-apa yang menjadi keperluannya.128
Menurut ulama hak ibu mengasuh anak berakhir apabila anak telah mencapai
umur 7(tujuh) tahun. Pada umur ini anak akan disuruh memilih apakah akan terus
ikut ibu atau ikut ayahnya.129
126
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, diterjemahkan oleh Moh. Thalib, (Bandung : PT. Al-Ma'arif), hal. 173
127 Ibid 128
Khadijah Nasution, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, hal. 61 129
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kawin Mam, (Yogyakarta : UII Press, 2007).
Apabila anak telah dapat membedakan antara ayah dan
ibunya untuk menentukan pilihan akan ikut salah satunya, anak disuruh memilih,
kemudian diserahkan kepada siapa yang dipilihnya. Anak dipandang telah mampu
menentukan pilihan apabila telah mencapai masa tamyiz, kira-kira umur 7 (tujuh)
tahun. Dalam hal menentukan pilihan mengutamakan tetap ikut ibu, nafkah hidupnya
menjadi tanggungan ayah, termasuk biaya pendidikannya.
Mengenai batas waktu pemeliharaan anak menurut Pasal 45 UUP No.l Tahun
"Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus".
2.Hak Nafkah
Nafkah berarti belanja, kebutuhan pokok yang dimaksudkan adalah kebutuhan
pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya130
Mengingat banyaknya kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga tersebut
maka dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kebutuhan pokok minimal adalah
pangan
Sebagian ahli fiqh
berpendapat bahwa yang termasuk daJam kebutuhan pokok itu adalah pangan,
sandang, tempat tinggal sementara ahli fiqh yang lain berpendapat bahwa kebutuhan
pokok itu hanyalah pangan.
131
, sedangkan kebutuhan yang lain tergantung kemampuan orang yang
berkewajiban membayar atau menyediakannya dan memenuhinya.132
Menurut pandangan beberapa ulama telah memberikan perincian hal-hal
penting yang harus diberikan sebagai nafkah.133
130
Imam Jauhari (1), Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa Pers, 2003), hal. 84
Untuk kelengkapan, Lihat Mukhtasar Sidi Khalil yang memberikan rincian tentang kewajiban suami terhadap istrinya.
Hal-hal ini dapat disesuaikan dengan
kebutuhan masa kini agar selaras dengan keadaan negeri dan standar kehidupan
mereka. Merupakan tanggung jawab seorang ayah menafkahi puteri-puterinya sampai
mereka menikah. Dan putera-puteranya sampai mereka usia puber. Begitu pula
dia mampu melakukan hal itu. Bila memungkinkan dan memiliki harta, maka dia
sepatutnya memperhatikan kebutuhan kerabat-kerabatnya yang miskin. Menurut
Mazhab Hanafi, setiap keluarga, sampai pada derajat tertentu, berhak untuk
dinafkahi. Bila dia masih kanak-kanak dan miskin, lemah atau buta dan melarat, atau
dia seorang perempuan yang miskin, juga harus dinafkahi.
Apabila si istri belum dewasa dia harus dinafkahi oleh ayah atau walinya.
Rasulullah SAW menikahi Aisyah dua tahun sebelum ia mencapai masa pubernya
dan beliau tidak memberinya nafkah. Tetapi bila istri belum puber namun telah
berkumpul dengan suaminya menurut Mazhab Maliki dan Syafii suami tak wajib
memberinya nafkah. Menurut Hakim Abu Yusuf, seorang ulama Hanafi, kalau si istri
masih kecil dan suami menerimanya tinggal di rumahnya, maka si suami wajib
menafkahi, tetapi bila tidak demikian, maka suami tidak wajib melakukannya. Imam
Abu Hanifah dan muridnya Imam Muhammad, sepakat dengan pendapat Mazhab
Maliki dan Syafii.
Seorang suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya untuk hal-hal
berikut:
a. Bila dia keluar rumah dan pergi ke tempat lain tanpa persetujuan suami atau
tanpa alasan yang dibenarkan agama.
b. Bila ia bepergian tanpa izin suami
c. Bila dia ihram tanpa persetujuan suami. Dan nafkah tetap diberikan bila disertai
dan atas persetujuan suami
e. Bila dia dipenj ara karena tindak pidana
f. Bila suami meninggal dan dia menjadi janda. Dan dia berhak mewarisi harta
peninggalan suaminya sesuai dengan haknya. Inilah merupakan alas an yang
utama mengapa si janda tak berhak memperoleh nafkah selama masa iddah
karena kematian suami.
Menurut Mazhab Maliki dan Syafii, jika suami menolak atau mengabaikan
pemberian nafkah selama dua tahun, si istri berhak menuntut cerai. Tetapi berbeda
dengan Mazhab Hanafi, ketidak mampuan ataupun pengabaian nafkah ini bukan
merupakan alasan yang cukup untuk bercerai. Seorang istri berhak menuntut
suaminya agar mengajaknya bepergian atau memberi nafkah selama seorang istri
ditinggalkan, sejumlah uang belanja sebelum seorang suami pergi atau memberi
kuasa kepada seseorang untuk menafkahi isterinya. Biaya hidup itu diberikan dalam
jangka waktu yang sama seperti kebiasaan suami membayarkannya.
3. Nafkah Setelah Perceraian
Al-Quranulkarim menjelaskan perihal keharusan nafkah dalam kasus
perceraian pada surat At-Thalaaq ayat 6, yang berbunyi:
"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
Keharusan nafkah dari seorang suami tak hanya sewaktu dia masih menjadi
istri sahnya dan terhadap anak-anak dari isteri itu, suami wajib menafkahinya bahkan
pada saat perceraian. Ada beberapa orang yang mungkin salah memperlakukan istri
dan membuatnya mereka sengsara setelah ta/a&pertama dan ketika ia menjalani masa
iddah. Hal ini tidak dibolehkan, dia harus diberi nafkah yang seimbang, sesuai dengan
standar hidup si suami. Dalam situasi ini masih ada harapan hidup untuk berdamai
dan bila tidak maka perceraian itu harus dilakukan secara terhormat. Al-Qur'an
membebankan tanggung jawab tambahan, bila istri sedang hamil. Perceraian sama
sekali tidak diperkenankan sampai anak yang dikandungnya lahir, dia harus dinafkahi
sepatutnya.
Perawatan terhadap anak dan kesejahteraan ibu merupakan tanggung jawab
seorang ayah. Seandainya si ibu tak dapat menyusui atau timbul keadaan yang
menghalanginya untuk menyusui anak, juga merupakan tanggung jawab ayah untuk
menyerahkan pada orang lain agar dirawat dengan biaya sendiri. Hal ini jangan
sampai mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu sesuai dengan keadaannya. Al-Quran
lebih lanjut menjelaskan :
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan car a yang ma^ruf'.(Al-Baqarah (2) : 233)
Dalam ayat diatas kata "rizcf meliputi kecukupan pangan, pakaian yang
nafkah pemeliharaan anak, sehingga orang-orang yang egois tak mungkin
menggunakan tanggung jawab terhadap anak sebagai alasan untuk menekan aspek
lain, baik dari ibu atau pun ayah. Al-Qur'an lebih lanjut menjelaskan : "Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan \varispun berkewajiban demikian pula".( al-Baqarah (2) 233).
Ayah dan ibu haras memutuskan semua kesepakatan untuk memelihara si
anak dengan cara musyawarah. Mereka haras memperlakukannya secara wajar dan
benar selama waktu itu maksimal dua tahun, bila si anak haras disusukan oleh orang
lain (bukan ibunya) atau disusui dengan susu buatan. Petunjuk yang lebih jelas
tentang masalah ini disebutkan dalam ayat berikut:
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Al-Thalaaq (65) : 7)
Sebagai agama yang praktis, Islam tidak memaksakan beban yang berlebihan
kepada salah satu pihak. Tetapi mereka haras melakukan yang terbaik untuk
kepentingan anak sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila mereka bertindak
dengan tulus, niscaya Allah akan memberikan solusi untuk mengatasi sebuah
masalah.
Kewajiban memberi nafkah ini ditekankan oleh Nabi SAW pada saat Haji
"Berhati-hatilah kamu sekalian dalam memperlakukan wanita. Kalian telah menerimanya dengan nama Allah, dan halal berhubungan layaknya suami istri. Oleh karenanya kalian wajib memberi nafkah hidup dan pakaian yang wajar".134
"Ya Rasulullah, Abu Sofyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberi nafkah untukku dan anakku kecuali aku mengambil sendiri secara sembunyi tanpa sepengetahuannya. Maka SAWbersabda : "Ambillah secukupnya yang kauperlukan untukmu dan anakmu secara wajar".
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh "Aisyah, suatu ketika Hindah
binti Utbah berkata kepada Nabi SAW :
135
Menurut ulama Maliki, suami berkewajiban menyediakan akomodasi bagi
istri yang diceraikannya, bila dia telah bercampur dengannya. Meskipun demikian,
sang suami tak wajib memberikan nafkah kepada istri yang dicerai talak tiga. Kecuali
perempuan yang hamil, masih berhak memperoleh nafkahnya, baik talak satu mapun
talak tiga. Sedangkan perempuan pisah dari suaminya dengan talak Khulu" tak berhak memperoleh nafkah kecuali kalau dia sedang mengandung. Dan setiap wanita
yang bercerai karena li'an, tak dapat menuntut nafkah dari suaminya, sekalipun
sedang hamil.
(H.R. Bukhari dan Muslim)
136
Berdasarkan Mazhab Mailiki seorang istri yang menjalankan ilddah' karena
kematian suami, tidak berhak atas nafkah. Tetapi dia berhak memperoleh akomodasi
kalau dia menempati rumah yang dimiliki mendiang suaminya, atau bila almarhum
134
Sayyid Sabiq, Fiah al-Sunnah, Op.Cit, hal. 86 135
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim 136
rela membayar sewanya di muka.137
berikut harus dipenuhi.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa dia juga
berhak memperoleh nafkah. Seorang istri tak boleh meninggalkan rumahnya, karena
cerai atau ditinggal mati suaminya sampai habis masa iddah yang telah ditetapkan.
Bagi Mazhab Hanafi, sebagaimana diuraikan dalam "Durr al-Mukhtar", istri
diperlakukan sebagai pangkal (ashl) sedangkan anak sebagai cabang (furu) dalam
menetapkan prioritas nafkah meskipun keduanya tidak serumah, dan menurut semua
ulama mazhab wajib hukumnya menafkahi mereka.
Istri tak berhak menuntut nafkah yang lalu kecuali dalam Mazhab Syafi'i,
Syiah sependapat dengan Syafi'i. Dalam menentukan jumlah nafkah yang layak,
semua mazhab menjelaskan bahwa hakim dalam menetapkan keputusannya harus
mempertimbangkan kedudukan dan keadaan kedua pasangan itu. Tetapi syarat-syarat
138
1. Ikatan perkawinan yang sah.
2. Istri taat dan patuh kepada suami.
3. Istri memberi pelayanan sepanjang waktu yang diperbolehkan.
4. Istri tidak menolah menyertai suami ketika bepergian, kecuali jika si istri yakin
bahwa perjalanan itu tidak aman bagi diri dan hartanya.
5. Bila kedua belah pihak saling membantu satu sama lain.
Jika persyaratan di atas tak terpenuhi maka dia tak berhak memperoleh
nafkah. Kewajiban suami untuk memberi nafkah dimulai sejak istrinya mencapai usia
puber, dan bukan sebelumnya.
137
Al-Qayrawani, Risalah, op. cit, Bab 33. Bab Fil 'Iddah WalNafaqoh, hal. 98-101 138
B. Penyimpangan Terhadap Putusan Hakim yang Mewajibkan Orang Tua Laki-Laki (Ayah) Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian. 1. Rendahnya Tingkat Perekonomian139
Persoalan biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian merupakan masalah
yang sangat penting untuk menjamin sebab anak-anak yang dilahirkan dalam
perkawinan tidak tahu menahu dan tidak bersalah atas perceraian orang tuanya. Jika
diperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maupun
hukum Islam serta beberapa ketentuan tradisi adat di Indonesia maupun hukum Islam
serta beberapa ketentuan tradisi adat di Indonesia mengatur bahwa tanggung jawab
tentang biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian pada prinsipnya
membebankan kepada orang tua laki. Dan apabila dikaitkan dengan keadaan dan
kondisi masyarakat Indonesia, lazimnya orang tua laki-laki (ayah) yang bertanda
tangan dalam memberikan biaya nafkah kepada keluarga karena pada umumnya
kaum lelakilah yang bekerja. Seandainya dijumpai istri atau ibu yang bekerja, hal
tersebut tidak lain adalah untuk menunjang kehidupan ekonomi keluarga, bukan
merupakan tanggung jawab. Dalam hal ini terjadi perceraian, mengingat bahwa orang
tua laki-laki (ayah) yang lazimnya mencari nafkah, maka biaya anak setelah terjadi
perceraian adalah merupakan tanggung jawab orang tua laki-laki (ayah). Dari data
diatas, jelas menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua laki-laki (ayah), tidak
139
mematuhi isi putusan pengadilan agama. Hal ini dibenarkan oleh Hakim pengadilan
agama Medan yang menjadi informan dalam penelitian ini.140
1. Dikarenakan orang tua laki-laki (ayah) tidak mempunyai pekerjaan tetap.
Adapun yang menjadi penyebab tidak dilaksanakannya isi putusan pengadilan
agama yang menghukum untuk memberikan biaya nafkah anak oleh orang tua
laki-laki (ayah), sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Nafkah anak sebagaimana yang
diputus oleh pengadilan agama, putusan pengadilan agama ada menghukum biaya
nafkah anak akan tetapi orang tua laki-laki (ayah) tidak mematuhinya menyatakan
bahwa penyebab tidak dilaksanakan putusan pengadilan agama tersebut adalah :
2. Dikarenakan orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya nafkah anak
3. Dikarenakan orang tua perempuan tidak mengizinkan anak untuk bertemu dengan
orang tua laki-laki (ayah)nya sehingga orang tua laki-laki (ayah) tersebut tidak
mau memberikan biaya nafkah anak.
4. Dikarenakan sebab-sebab lain yang akan diuraikan lebih lanjut.
Dari uraian di atas jelas menunjukkan bahwa salah satu penyimpangan tidak
dipatuhinya isi putusan pengadilan agama oleh orang tua laki-laki (ayah) dalam
membiayai nafkah anak adalah disebabkan oleh rendahnya tingkat perekonomian
dimana orang tua laki-laki (ayah) yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dengan
pengasilah yang kecil apalagi tidak mempunyai pekerjaan tetap, dapatlah dipahami
jika orang tua laki-laki (ayah) tidak mematuhi isi putusan pengadilan agama yang
140
menghukumnya. Dan juga menjelaskan bahwa tingkat kepatuhan orang tua laki-laki
(ayah) terhadap putusan pengadilan agama yang menghukuni untuk memberi nafkah
anak sangat rendah, dan rasa tanggung jawab orang tua laki-laki (ayah) sama sekali
tidak memberikan biaya nafkah anak, terlepas dari tidak adanya putusan pengadilan
agama yang menghukumnya, juga cukup rendah sekali.
2.Adanya Indikasi Orang Tua Menikah Lagi.141
Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap keadaan finansial orang
tua laki-laki (ayah) tersebut dimana ia harus membiayai keluarganya yang baru.
Keadaan ini akan sangat berpengaruh pula terhadap perhatian orang tua laki-laki
(ayah) dalam memberikan biaya nafkah anak yang dilahirkan dalam perkawinan
terdahulu. Karena orang tua laki-laki (ayah) harus membiayai keluarganya yang baru. Setelah terjadi perceraian, baik pihak orang tua laki-laki (ayah) maupun orang
tua perempuan berhak untuk menikah lagi. Jika pihak-pihak telah menikah lagi,
persoalan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan sebelumnya menjadi sangat
penting untuk menjamin terutama mengenai biaya nafkah. Meskipun biaya nafkah
anak misalnya telah dijamin dalam putusan pengadilan agama yang memutus
perceraian kedua orang tuanya, akan tetapi dalam hal orang tua laki-laki (ayah) telah
menikah lagi, maka akan sangat sulit bagi orang tua laki-laki (ayah) tersebut untuk
tetap memberikan biaya nafkah anak, kecuali orang tua laki-laki (ayah) tersebut
seorang Pegawai Negeri Sipil.
141
Orang tua laki-laki (ayah) menjadi kurang atau tidak mampu lagi untuk memberikan
biaya nafkah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang terdahulu.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu penyimpangan
tidak dipatuhinya isi putusan pengadilan agama yang menghukum orang tua laki-laki
(ayah) untuk memberi nafkah anak adalah disebabkan orang tua laki-laki (ayah) telah
menikah lagi dan mempunyai keluarga yang baru dan membutuhkan biaya nafkah
pula untuk membiayai keluarga yang baru. Dalam hal ini, orang tua laki - laki (ayah)
sangat sulit untuk menyisihkan penghasilannya untuk guna memberikan biaya nafkah
anak dari perkawinan sebelumnya.
3. Dampak Psikologis 142
142
Rosmiarti Makmur (Hakim Pengadilan Agama Medan), wawancara pada tanggal 18 Juni 2013. Hal ini juga didukung oleh Husin Ritonga (Hakim Pengadilan Agama Medan), wawancara pada tanggal 18 Juni 2013.
Terjadinya perceraian antara suarni istri memang disebabkan berbagai alasan,
dan kadang-kadang alasan yang menjadi penyebab perceraian tersebut sangat prinsip
bagi pihak-pihak yang mengakibatkan hubungan suami istri tidak dapat
dipertahankan lagi dan harus bercerai. Ironisnya setelah terjadi perceraian, hubungan
antara mereka tetap dalam keadaan retak. Kejadian tersebut jelas akan mempengaruhi
psikologis anak untuk keberlangsungan kehidupannya, ada beberapa kebutuhan
utama anak yang penting untuk dipenuhi yaitu :
a. Kebutuhan akan adanya kasih sayang.
b. Kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok. c. Kebutuhan untuk diri sendiri.
e. Kebutuhan akan pengakuan dari orang lain. f. Kebutuhan untuk dihargai.
g. Kebutuhan untuk memperoleh palsafah hidup yang utuh.143
Hak pemeliharaan bagi anak yang belum mumayyiz sebagaimana ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan, diberikan kepada orang tua perempuan.
Karena alasan-alasan tertentu, orang tua perempuan kadang-kadang tidak
memperbolehkan bekas suaminya untuk bertemu dengan anak-anaknya. Biasanya hal
tersebut berkaitan dengan aspek psikologis orang tua perempuan. Maksudnya adalah
berkaitan dengan perasaan, sakit hati dan perasaan tertekan yang dialami akibat
tindakan yang tidak layak dalam perkawinan. Perasaan tertekan dan sakit hati yang
dirasakan misalnya, selama dalam masa perkawinan suanii melakukan tindakan
kekerasan, perselingkuhan dan menikah lagi dan lain sebagainya. Faktor-faktor
psikologis ini dapat menyebabkan orang tua perempuan sebagai pemegang hak
pemeliharaan tidak mengijinkan bekas suaminya untuk bertemu dengan anak mereka.
Keadaan ini akan dapat mengakibatkan orang tua laki-laki (ayah) tersebut tidak mau
memberikan biaya nafkah anak.
Hal ini kadang-kadang sangat berpengaruh terhadap hubungan anak dengan
orang tua, dimana salah satu pihak yang biasanya sebagai pihak yang memegang hak
pemeliharaan tidak mengizinkan pihak lain untuk menemui anak-anak.
144
Disamping itu, orang tua laki-laki (ayah) juga tidak mau memberikan biaya
nafkah akan berkaitan dengan aspek psikologis orang tua laki-laki (ayah) yang
143
Mohammad Ali, Psikologi Remaja, (Jakarta : Media Grafika, 2008), hal. 161 144
menganggap bahwa biaya nafkah anak tersebut tidak lain adalah akan dipergunakan
dan dimanfaatkan oleh bekas istrinya. Akibatnya orang tua laki-laki (ayah) menjadi
tidak mau untuk memberikan biaya nafkah kepada anaknya.
Selain itu, alasan orang tua laki-laki (ayah) tidak memberikan biaya nafkah
anak berkaitan dengan aspek psikologis si anak yang tidak dapat menerima perceraian
kedua orang tuanya, apalagi alasan perceraian itu disebabkan oleh tindakan orang tua
laki-laki (ayah) yang tidak pantas dalam pandangan anak tersebut, misalnya alasan
perceraian karena perselingkuhan orang tua laki-laki (ayah), orang tua laki-laki (ayah)
menikah lagi dengan perempuan lain atau alasan tindakan kekerasan yang pernah
dilakukan orang tua laki-laki (ayah) terhadap orang tua perempuannya atau terhadap
anak itu sendiri. Sehingga anak tidak mau menerima Juni 2013 biaya nafkah dari
orang tua laki-laki (ayah) nya disebabkan dalam masa perkawinan tindakan orang
tua laki-laki (ayah) yang melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain
sehingga terjadi pertengkaran orang tuanya yang juga diiringi tindakan kekerasan
kepada orang tua perempuannya.
4. Orang Tua Perempuan Mampu Untuk Memberikan Biaya Nafkah Anak. Orang tua perempuan mampu untuk memberikan nafkah anak setelah
terjadinya perceraian, bukan hal yang baru dimana perempuan juga mempunyai
penghasilan sendiri dengan bekerja, sehingga secara ekonomi ia tidak bergantung
pada orang tua atau tergantung pada suaminya jika telah menikah. Dengan demikian,
bagi perempuan yang mempunyai penghasilan sendiri apabila terjadi perceraian,
masa perkawinan pihak istrilah yang secara fmansial lebih menghasilkan dibanding
suaminya.145
145
Rosmiarti Makmur ( Hakim Pengadilan Agama Medan ), wawancara pada tanggal 18 Juni 2013. Hal ini juga didukung oleh Husin Ritonga ( Hakim Pengadilan Agama Medan), wawancara pada tanggal 18 Juni 2013.
Disamping itu, alasan orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya
nafkah anak adalah misalnya orang tua perempuan berasal dari keluarga yang
berkecukupan secara ekonomi sehingga dengan bantuan orang tua nya, persoalan
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PECERAIAN PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN
A. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Undang - Undang
Struktur Hukum Nasional mengalami perubahan signifikan terkait kedudukan
Peradilan Agama. Jika sebelumnya Peradilan Agama berada di bawah Departemen
Agama sebagai Departemen Teknisi, setelah adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, seluruh Pengadilan ditempatkan pada suatu atap
dibawah Mahkamah Agung termasuk Peradilan Agama.146
Kata "kekuasaan" sering disebut juga dengan "kompetensi" yang berasal dari
bahasa Belanda Competentie, yang diterjemahkan dengan kewenangan atau
kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu.147 Adapun Kompetensi
Peradilan Agama dapat dirumuskan sebagai : kekuasaan Negara dan menerima,
memeriksa, mengadili dan memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu
antara orang-orang yang beragama islam untuk menegakan hukum dan keadilan.148
146
Faqihuddin Abdul Kadir dan Ummu Azizah Mukamawati, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga; (Jakarta : UNFPA, 2013), hal. 163
147
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), hal. 516
148
Dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa : Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam.
Yang dimaksud kekuasan Negara adalah kekuasaan kehakiman. Sedangkan yang
dimaksud dengan perkara-perkara tertentu adalah perkara-perkara yang disebutkan
adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan agama.149 Hal itu
menunjukkan bahwa pengadilan agama (PA) adalah satuan (unit) penyelenggara
peradilan agama. Adapun satuan penyelenggara peradilan pada tingkat kedua
(banding) adalah pengadilan tinggi agama (PTA), sedangkan pengadilan pada tingkat
kasasi adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan kata lain, bahwa pengadilan adalah
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum
dan keadilan.150 Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) di Indonesia
dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan Militer serta Peradilan Tata Usaha
Negara, yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi.151
1. Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
Pengadilan pada keempat lingkungan peradilan tersebut memiliki
cakupan dan batasan pemberian kekuasaan untuk mengadili (attribute van
rechtsmacht) itu, ditentukan oleh bidang yuridiksi yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Pasal 4 Undang - Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 berbunyi:
2. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota Propinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Berkenaan dengan hal itu, terdapat atribusi cakupan dan batasan kekuasaan
peradilan agama. Pengadilan agama merupakan pengadilan yang berkedudukan di
kota atau kabupaten dan memiliki kewenangan hukum untuk mengadili perkara yang
149
Baca juga UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 1. 150
Ibid
151
ada di wilayah kota atau kabupaten dimana pengadilan itu berada. Sedangkan
pengadilan tinggi agama adalah pengadilan yang berkedudukan di wilayah ibu kota
propinsi yang memiliki kewenangan sebagai pengadilan tingkat banding yang
membawahi pengadilan agama - pengadilan agama yang berada di wilayah Propinsi
tersebut untuk memeriksa perkara banding dari pengadilan agama yang ada di
bawahnya.
Kekuasaan pengadilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas kekuasaan
relative (relative competentie) dan kekuasaan mutlak (absolut competentie).
Kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik
pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya cakupan dan
batasan kekuasaan relatif pengadilan adalah meliputi daerah hukumnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan .152
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh Pengadilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung.
Peradilan dalam struktur Departemen Agama menjadi bagian dari kekuasaan
Kehakiman Mahkamah Agung ini juga menyangkut seluruh Organisasi, Administrasi
dan Finansial masing-masing lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung.
Kewenangan Mahkamah Agung seperi disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
b. Mengikuti peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang.
c. Kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan undang-undang.
152
Akibat adanya perubahan tersebut, maka semua perkara di peradilan agama
dapat diproses dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding hingga tingkat kasasi
di Mahkamah Agung dalam satu kesatuan sistem hukum nasional.
Kewenangan peradilan agama juga mengalami perubahan dalam hal perkara
yang ditanganinya. Kewenangan pengadilan agama terdiri dari atas wewenang
relative dan wewenang absolut. Kewenangan relative atau kewenangan nisbi hakim, mengatur tentang wewenang pengadilan jenis tertentu yang dapat memeriksa sebuah
perceraian yang menyangkut tentang pembagian kekuasaan untuk mengadili perkara
perceraian, antara pengadilan yang semacam, dan tergantung pada tempat domisili
tergugat.153
a. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan
ikrar talak.
Hal ini tersurat dalam Pasal 66 Undang - Undang Peradilan Agama No. 7
Tahun 1989 :
b. Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
c. Dalam hal termohon bertempat kediaman diluar negeri, permohonan diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
d. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
e. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama
suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Jadi tiap-tiap pengadilan agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau
dikatakan mempnyai "yurisdiksi relatif' tertentu, yurisdiksi relatif ini mempunyai arti
153
penting sehubungan dengan pengadilan agama mana orang akan mengajukan
perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat.154
Kewenangan absolut menurut Soedikno Mertokusumo, di dalam bukunya :
Hukum Acara Perdata Indonesia, menjelaskan kompetensi absolut atau kewenangan
mutlak pengadilan yaitu wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam
lingkungan pengadilan lain. Kompetensi absolut atau wewenangan mutlak ini
memberi jawaban atas pertanyaan : apakah peradilan tertentu itu pada umumnya
berwenang memeriksa jenis perkara tertentu yang diajukan kepadanya dan bukan
wewenang pengadilan yang lain. Kompetensi absolut I wewenang mutlak disebut
juga artibusi kekuasaan kehakiman.155
Sesuai dari uraian di atas yang dimaksud dengan kompetensi absolute adalah
kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan
atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya :pengadilan agama berkuasa
atas perkara perkawinan bagi mereka yang bergama Islam sedangkan bagi yang selain
Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.156
154
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 26
155
Soedikno Mertokusumo, sebagaimana dikutip oleh Muchinum, Kompetensi Peradilan Agama Relatifdan Absolut dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penerapannya, (Bogor ; Pusdiklat Teknis Balitbang Diklat Kumdil MARI, 2008), hal. 127.
156
Roihan A Rasyid, Op.cit, hal. 27
Batas-batas kewenangan mengadili
antar lingkungan peradilan tersebutlah yang dimaksud dengan "kompetensi absolute".
"mutlak" menjadi kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perkaranya.
Lingkungan peradilan lain secara mutlak tidak berwenang untuk mengadilinya.157
157
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta ; Sinar Grafika, 2007), hal. 138
Kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama diatur
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dimana dibangun atas azas Personalitas
Keislaman, yang mana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakan
salah satu perdata tertentu yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006,
yaitu bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq shadawah dan
ekonomi syari 'ah.
B. Hukum In Konkrito Dalam Putusan Pengadilan Agama Terhadap Sengketa Perceraian
Putusan perceraian pada pengadilan agama Medan tidak selalu dapat diketahui
bahwa biaya nafkah anak juga ikut diputus. Penyebabnya karena tuntutan biaya
nafkah tidak dimohonkan di samping tidak dikabulkan oleh Majelis Hakim meskipun
telah dimohonkan. Sehingga dapat diketahui penyebabnya bahwa terdapat adanya
perbedaan amar putusan pengadilan agama Medan dalam memeriksa dan mengadili
perkara yang karakteristiknya sama (disparitas). Untuk lebih lanjut mengenai
disparitas putusan pengadilan agama Medan ini, maka perlu pula diteliti sejumlah
putusan pengadilan agama Medan yang memutuskan sengketa perceraian yang
1. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register Nomor : 191/Pdt.G/2012/PA.Mdn
Dalam perkara ini seorang istri (Emilda no vita sari ) mengajukan
permohonan cerai terhadap suaminya (Ricky kurniawan) yang ditujukan kepada
Pengadilan Agama Medan. Adapun kasus posisinya adalah dalam gugatan penggugat
pada pokoknya penggugat bermohon agar dinyatakan jatuh talak satu ba'in sughra
tergugat atas diri penggugat dengan alasan antara penggugat dan tergugat terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus. Penggugat juga memohon agar
ditetapkan sebagai pihak yang berhak atas pemeliharaan 1 (satu) orang anak (5
Tahun) dan tergugat dihukum untuk membayar biaya nafkah anak sebesar Rp.
500.000,- perbulan.
Selanjutnya jawaban yang diajukan tergugat, pada pokoknya tergugat
menyetujui bercerai dengan penggugat, kemudian Hakim Pengadilan Agama Medan
atas kasus di atas memutuskan perkara dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara a
quo dalam Konpensi menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih belum
mumayyiz (belum berusia 12 tahun) sudah seharusnya diberikan hak tersebut kepada ibunya. Sedangkan biaya nafkah anak tetap melekat pada ayah, oleh karenanya sangat
beralasan jika memohon biaya anak tersebut dikabulkan. Adapun besar nafkah anak
yang dituntut oleh Penggugat adalah sebesar Rp. 500.000,- perbulan sampai anak
tersebut dewasa, Majelis Hakim memandang bahwa besarnya nafkah anak tersebut
Penggugat dan Tergugat tersebut adalah sebesar Rp. 500.000,- perbulan sampai anak
tersebut dewasa.
Dalam pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Medan
mencantumkan kaedah-kaedah seperti hukum ketentuan Kompilasi Hukum Islam
Pasal 156 huruf (a) yang menyatakan "anak yang belum mumayyiz berhak mendapat
hadhanah dari ibunya...", jo Pasal 105 huruf c jo. Pasal 156 huruf (d). Selain itu hakim menggunakan kaidah hukum lainnya yaitu Fiqhiyah sebagaimana tersebut
dalam Kitab Al-Asybah waal-Nadhoir berbunyi:
Artinya : Menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan (kebaikan). Selanjutnya putusan Hakim dalam Konpensi:
1. Mengabulkan permohonan Penggugat d.k untuk seluruhnya ;
2. Menjatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat atas diri Penggugat
3. Menetapkan Penggugat sebagai yang berhak atas pemeliharaan anak
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah anak sebesar Rp. 500.000
perbulan sampai anak tersebut dewasa ; dan seterusnya.
Jika diperhatikan perkara ini, meskipun yang mengajukan cerai adalah istri
akan tetapi biaya anak tetap dibebankan kepada orang tua laki-laki (ayah) selaku
ayah, sesuai dengan isi UUP No.l Tahun 1974 Pasal 41 dan KHI Pasal 105 huruf (c).
Berdasarkan Putusan dalam perkara ini dapat diketahui bahwa pertimbangan Majelis
Hakim dalam memutuskan mengenai biaya nafkah anak adalah berdasarkan
pertimbangan kemampuan ekonomi orang tua laki-laki (ayah), sebagaimana
2. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register Nomor 206/Pdt.G/2012/PA.Mdn
Dalam perkara ini seorang istri (Dewi asweni) mengajukan permohonan cerai
terhadap suaminya (T. Hermansyah) yang ditujukan kepada Pengadilan Agama
Medan. Selanjutnya mengenai kasus posisinya adalah dalam gugatan penggugat pada
pokoknya bermohon agar dinyatakan jatuh talak satu ba 'in sughra tergugat atas diri
penggugat dengan alasan antara penggugat dan tergugat terjadi perselisihan dan
pertengkaran terus menerus. Penggugat juga memohon agar ditetapkan sebagai pihak
yang berhak atas pemeliharaan satu orang anak (10 tahun) dan tergugat dihukum
untuk membayar biaya nafkah anak sebesar Rp. 1.000.000 perbulan.
Kemudian dalam jawaban yang diajukan Tergugat, pada pokoknya Tergugat
menyetujui bercerai dengan Penggugat. Jelas bahwa pertimbangan hukum Majelis
Hakim Pengadilan Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara a quo
dalam konpensi menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih belum
mumayyiz (berusia 12 tahun) sudah seharusnya diberikan hak tersebut kepada ibunya, oleh karena sangat beralasan jika memohon biaya anak tersebut dikabulkan. Adapun
besar nafkah anak yang dituntut oleh Penggugat adalah sebesar Rp. 1.000.000
perbulan sampai anak tersebut dewasa, Majelis hakim memandang bahwa besarnya
nafkah anak tersebut sudah memenuhi kepatutan karenanya Majelis Hakim dapat
menetapkan nafkah anak Penggugat dan Tergugat tersebut adalah sebesar Rp.
1.000.000 perbulan sampai anak tersebut dewasa. Mengenai hal demikian, merujuk
ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 156 Huruf (a) yang menyatakan "anak yang
belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya...". Selain itu hakim
menggunakan kaidah hukum lainnya yaitu Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam
Kitab Al-Asybah waal-Nadhoir berbunyi:
Artinya : Menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan (kebaikan)
Selanjutnya dalam Konpensi mengabulkan permohonan penggugat untuk
seluruhnya menjatuhkan talak satu ba'in sughra tergugat atas diri penggugat
menetapkan penggugat sebagai yang berhak atas hadhanah. Menghukum tergugat
untuk membayar biaya nafkah, anak sebesar Rp. 1.000.000 perbulan sampai anak
tersebut dewasa dan seterusnya.
Berdasarkan putusan dalam perkara ini dapat diketahui bahwa pertimbangan
Majelis Hakim dalam memutuskan mengenai nafkah anak adalah berdasarkan
pertimbangan ekonomi orang tua laki-laki (ayah), sesuai dengan KHI Pasal 156 huruf
(d).
3. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register No.207/Pdt.G/2012/PA.Mdn
Dalam perkara ini seorang istri (Nura Fitria) mengajukan permohonan cerai
terhadap suaminya (Dian Mukhlis) yang ditujukan kepada Pengadilan Agama Medan.
Adapun kasus posisinya adalah dalam gugatan penggugat pada pokoknya penggugat
bermohon agar dinyatakan jatuh talak satu ba'in sughra tergugat atas diri penggugat
yang terus menerus. Penggugat juga memohon agar ditetapkan sebagai pihak yang
berhak atas pemeliharaan 3 (tiga) orang anak yang masih belum mumayyiz, karena
selama ini anak tesebut dirawat dan diasuh oleh penggugat sementara tergugat tidak
bertanggung jawab terhadap biaya rumah tangga. Dalam jawaban yang diajukan
tergugat pada pokoknya tergugat menyetujui bercerai dengan penggugat.
Selanjutnya Hakim Pengadilan Agama Medan atas kasus di atas memutuskan
perkara dengan pertimbangan hukum sebagai berikut : Majelis Hukum Pengadilan
Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dalam konpensi
menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih belum mumayyiz (berusia 12
tahun) sudah seharusnya diberikan hak tersebut kepada ibunya.
Dalam Pertimbangan hukum Hakim mencantumkan kaedah hukum seperti
ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf (a) yang menyatakan "anak yang
belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya...". Selain itu hakim
menggunakan kaidah hukum lainnya yaitu Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam
Kitab Al-Asybah waal-Nadhoir berbunyi:
Artinya : Menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan (kebaikan). Kemudian putusan Hakim dalam Konpensi:
1. Mengabulkan permohonan Penggugat untuk seluruhnya
2. Menjatuhkan talak satu ba 'in sughra Tergugat atas diri Penggugat
3. Menetapkan Penggugat sebagai yang berhak atas pemeliharaan anak
Jika diperhatikan perkara ini, sejak awal dalam gugatan, istri selaku pihak
memberikan biaya nafkah anak. Berdasarkan putusan dalam perkara ini, dapat
diketahui bahwa apabila tuntutan biaya nafkah anak tidak dimohon maka biaya
nafkah anak tidak akan ikut diputus oleh putusan pengadilan yang memutus perkara
perceraian tersebut. Hal ini sesuai dengan asas hukum acara perdata yang berlaku
juga bagi Pengadilan Agama yakni asas "ultrapetitapartium ".158
Selanjutnya jawaban yang diajukan tergugat d.k (suami), pada pokoknya
tergugat d.k menyetujui bercerai dengan penggugat d.k dalam jawaban tersebut, 4. Putusan Pengadilan Agama Medan dengan Register Nomor
: 220/Pdt.G/2012/PA.Mdn
Dalam perkara ini seorang istri (Megalia) mengajukan permohonan cerai
terhadap suaminya (M.Herry) yang ditujukan kepada Pengadilan Agama Medan.
Adapun kasus posisinya adalah dalam gugatan penggugat d.k (istri) pada pokoknya
penggugat d.k (istri) bermohon agar dinyatanya jatuh talak satu ba'in sughra tergugat
d.k (suami) atas diri penggugat d.k (istri) dengan alasan antara penggugat d.k dan
tergugat d.k terjadi perselisihan dan pertengkatan yang terus menerus. Penggugat d.k
juga memohon agar ditetapkan sebagai pihak yang berhak atas pemeliharaan anak (2
tahun 4 bulan) karena selama ini anak tersebut dirawat dan diasuh oleh pengugat d.k
sementara tergugat d.k tidak menerima keadaan penggugat dalam menjalankan
aktivitas dalam bekerja.
158
tergugat d.k sekaligus mengajukan rekonpensi yang pada pokoknya bermohon agar
tergugat d.k/penggugat d.r ditetapkan sebagai yang berhak atas hak pemeliharaan
anak. Kemudian Hakim Pengadilan Agama Medan atas kasus di atas memutuskan
perkara dengan pertimbangan hukum sebagai berikut : Majelis Hakim Pengadilan
Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dalam Konpensi
menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih belum mumayyiz (berusia 12
tahun) sudah seharusnya diberikan hak tersebut kepada ibunya.
Dalam pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Medan
mencantumkan kaedah - kaedah hukum seperti ketentuan Kompilasi Hukum Islam
Pasal 156 huruf a yang menyatakan "anak yang belum mumayyiz berhak mendapat
hadhanah dari ibunya ....". Selain itu hakim menggunakan kaidah hukum lainnya
yaitu Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam Kitab Al-Asybah waal-Nadhoir berbunyi:
Artinya : Menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan (kebaikan). Selanjutnya putusan Hakim dalam Konpensi:
1. Mengabulkan permohonan Penggugat d.k untuk seluruhnya
2. Menjatuhkan talak satu ba 'in sughra Tergugat d.k atas diri Penggugat d.k
3. Menetapkan Penggugat d.k sebagai yang berhak atas pemeliharaan anak.
Kemudian putusan Hakim dalam Rekonpensi: Menolak gugatan penggugat d.k
untuk seluruhnya, dan seterusnya.
Jika diperhatikan perkara ini, dalam gugatan ini istri selaku pihak mengajukan
cerai tidak memohon dalam gugatan agar suami dihukum untuk memberikan biaya
tuntutan biaya nafkah anak seperti putusan No. 207/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Hal ini
sesuai dengan asas hukum acara perdata yang berlaku juga bagi Pengadilan Agama
yakni asas : "Ultra Petita Partium "
5. Putusan Pengadilan Agama Medan Dengan Register No. 230/PdtG/2012/PA.Mdn
Dalam perkara ini seorang istri (Tuti) mengajukan permohonan cerai terhadap
suaminya (Hizbul) yang ditujukan kepada Pengadilan Agama Medan. Adapun kasus
posisinya adalah dalam gugatan penggugat, pada pokoknya penggugat bermohon agar
dinyatakan jatuh talak satu ba 'in sughra tergugat atas diri penggugat dinyatakan
alasan antara penggugat dan tergugat terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus. Penggugat juga memohon agar ditetapkan sebagai pihak yang berhak atas
pemeliharaan 2 orang anak yang masih di bawah umur dan tergugat dihukum untuk
membayar biaya nafkah anak sebesar Rp. 2.000.000,-perbulan hingga anak-anak
tersebut dewasa.
Selanjutnya jawaban yang diajukan tergugat, pada pokoknya tergugat
menyetujui bercerai dengan penggugat. Kemudian, Hakim Pengadilan Agama Medan
atas kasus di atas memutuskan perkara dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara a
quo dalam Konpensi menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih belum
mumayyiz (berusia 12 tahun) sudah seharusnya diberikan hak tersebut kepada ibunya. Sedangkan biaya nafkah anak tetap melekat pada ayah, oleh karenanya sangat
jumlah Rp. 2.000.000 perbulan dipandang terlalu besar dan tidak sesuai dengan
kemampuan Tergugat, maka majelis mempertimbangkan akan menetapkan sendiri
jumlah biaya nafkah anak tersebut sebesar Rp. 600.000 perbulan.
Dalam pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Medan
mencantumkan kaedah - kaedah hukum seperti, ketentuan Kompilasi Hukum Islam
Pasal 156 huruf (a) jo Pasal 105 huruf (c) jo. Pasal 156 huruf (d). Selain itu Hakim
menggunakan kaidah hukum lainnya yaitu Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam
Kitab Al-Asybah waal-Nadhoir berbunyi:
Artinya : Menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan (kebaikan). Selanjutnya putusan Hakim dalam Konpensi:
1. Mengabulkan permohonan Penggugat d.k untuk seluruhnya
2. Menjatuhkan talak satu ba 'in sughra Tergugat atas diri Penggugat
3. Menetapkan Penggugat sebagai yang berhak atas pemeliharaan anak
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah anak sebesar Rp.600.000
perbulan sampai anak-anak tersebut dewasa, dan seterusnya.
Berdasarkan perkara ini, juga dapat diketahui bahwa meskipun yang
mengajukan gugatan cerai adalah istri akan tetapi biaya nafkah anak tetap dibebankan
pada orang tua laki-laki (ayah) selaku ayah, akan tetapi mengenai jumlah yang
dimohonkan, majelis hakim tetap memperhatikan kemampuan ekonomi orang tua
laki-laki (ayah), sesuai dengan isi UUP No.l Tahun 1974 Pasal 41 dan KHI Pasal 105
Jika diperhatikan putusan - putusan yang dijadikan sampel dalam penelitian
ini, Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan dalam menentukan biaya nafkah anak
adalah terjadinya perceraian pada umumnya adalah berdasarkan pertimbangan
kemampuan ekonomi berdasarkan UUP No.l Tahun 1974 Pasal 41 dan KHI Pasal 105
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Tanggung jawab orang tua yang telah bercerai terhadap anak (hadhanah) bagi
WNI yang beragama Islam, dapat merujuk pada Undang-Undang No.l Tahun
1974 tentang perkawinan dalam Pasal 41 huruf (b), dalam Al-Qur'an pada Surat
Luqman ayat 12-19 dan surat Al-Thalaaq ayat 6 . Kemudian dalam KHI, maka
akibat hukumnya dengan tegas menyatakan bahwa semua biaya hadhanah dan
nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah dapat dilihat dalam Pasal 105 KHI
menurut kemampuannya, sekurang - kurangnya sampai anak tersebut
dewasa/dapat mengurus dirinya sendiri, dasar yuridisnya Pasal 98 ayat (1) KHI.
2. Faktor penyimpangan terhadap putusan hakim yang mewajibkan orang tua
laki-laki (ayah) terhadap nafkah anak penyebabnya adalah yang pertama : rendahnya
tingkat perekonomian, kedua : adanya indikasi orang tua menikah lagi, ketiga :
dampak psikologis, keempat : orang tua perempuan mampu memberikan biaya
nafkah anak.
3. Jika melihat hukum in konkrito yang terdapat pada 5 (lima) putusan Pengadilan
Agama (PA) Medan mengenai tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak
pasca perceraian, menerapkan Pasal 105 huruf (c), 156 (a) KHI, dan kaedah
menolak kemudharatan (keburukan) lebih diutamakan dari pada meraih
kemaslahatan (kebaikan)" .
B. Saran
1. Mengenai tanggungjawab orang tua setelah terjadi perceraian, kedua orang tua
hendaknya menyadari bahwa betapa penting arti tanggung jawab orang tua
terhadap anaknya, hal tersebut secara moral, secara adat dan agama merupakan
kewajiban orang tua untuk biaya nafkah anak. Oleh karenanya, orang tua laki-laki
(ayah) secara moral dalam hal ini sudah seharusnya rneniberikan biaya nafkah
anak meskipun tidak ada putusan pengadilan yang menghukumnya.
2. Bahwa apabila dalam proses persidangan perceraian terdapat penyimpangan
terhadap putusan Hakim, maka orang tua perempuan (ibu ) agar menuntut biaya
nafkah anak. Oleh karenanya biaya nafkah anak setelah terjadi perceraian harus
dapat tetap terjamin karena masa depan anak masih sangat panjang.
3. Pengadilan Agama sebaiknya menjamin hak seseorang terhadap hukum in
konkrito maupun hukum materil, tidak ada artinya jika tidak direalisasikan,
bahkan di masa yang akan datang pembentuk Undang-Undang perlu membentuk
suatu ketentuan tentang prosedur khusus yang diartikan sebagai proses
penyelesaian perkara langsung pada pelaksanaan eksekusi terhadap pelaksanaan
putusan pengadilan agama tentang betapa pentingnya perlindungan terhadap
hak-hak istri dan anak-anaknya setelah adanya perceraian tentang pemberian nafkah