BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pesta Pada Masyarakat Batak Toba
Bagi masyarakat suku Batak Toba kegiatan peradatan sering disebut dengan
pesta. Kegiatan peradatan itu akan dilaksanakan disetiap proses hidup mereka mulai
dari sejak kandungan hingga dikubur. Namun dari seluruh acara adat tersebut,ada
beberapa yang dianggap penting yaitu pernikahan dan kematian.
2.1.1 Pernikahan
Secara garis besar dalam adat Batak Toba (ulaon na gok) pernikahan
dilaksanakan dalam beberapa tahap (Sibarani, 2014) yaitu :
1. Marhori-hori dinding (perkenalan dan berbincang antar kedua keluarga).
2. Marhusip (perencanaan pelaksanaan upacara adat).
3. Martupol (acara gereja pranikah).
4. Marhata Sinamot (acara adat pranikah).
5. Pamasu-masuon dan marunjuk (hari H pelaksanaan acara adat).
Pada hari pelaksanaannya diawali dengan acara sibuha-buhai, yaitu acara
dimana rombongan pengantin laki-laki datang ke rumah pengantin perempuan
pengantin perempuan untuk bersama-sama berangkat ke acara pemberkatan di gereja
(Gambar 2.1).
Setelah selesai makan dan adat saat itu telah terlaksana, pengantin laki-laki dan
pengantin perempuan dengan pakaian adat lengkap beserta dengan ikat kepala yang
dimasa sekarang menjadi jas dan kebaya (Gambar 2.2) diiringi keluarga kedua belah
pihak menuju gereja untuk melaksanakan acara perkawinan berdasarkan agama
Kristen, apabila pengantin itu beragama Islam, tuan khadi sudah bersedia memimpin
akad nikah dirumah tersebut.
Gambar 2.1 Acara Marsibuah-buahi (Production, 2013)
Acara pemberkatan di gereja biasanya dilakukan pada pukul 10.00-12.00.
Setelah selesai acara peresmian berdasarkan agama, kedua belah pihak dengan
undangannya masing-masing kembali kerumah pihak parboru atau tempat yang sudah
ditentukan untuk melaksanakan upacara adat.
Ketika memasuki tempat acara (rumah atau wisma), didahului dengan
menyalami keluarga pengantin pria yang berdiri secara berbaris/marudur dimana
pengantin wanita sudah dalam barisan keluarga pengantin pria. Barisan undangan
yang menyalami dimulai dari boru,dongan tubu dan tamu-tamu umum lainnya dari
pihak laki-laki. Setelah itu dilanjut pihak hula-hula yang datang dengan membawa
beras di dalam sebuah tandok ‘sumpit pandan’dan dijunjung oleh kaum ibu-ibu .
Acara penyambutan para tamu ini disebut dengan panomu-nomuan.
Seluruh undangan duduk pada tempat yang telah tersedia dan juga telah
ditentukan tempatnya berdasarkan unsur Dahlian Na Tolu nya. Dalam pesta adat
Batak Toba tata duduk/parhudullon menjadi bagian penting, sebab hal tersebut
menjadi penanda yang sangat jelas bagi masyrakat Batak Toba.
Adapun parhudullon/tata posisi duduk dalam pesta pernikahan yaitu pihak
pengantin pria dan pihak pengantin wanita akan duduk saling berhadap-hadapan dan
pada bagian belakangnya isi oleh unsur Dahlian Na Tolunya yaitu hula-hula, boru dan
Setelah seluruh tamu duduk pada posisinya masing-masing maka akan
dilanjutkan dengan makan bersama. Pada saat makan bersama tersebut orang tua
pengantin perempuan mangelehon dekke yaitu memberikan makanan berupa ikan
adat kepada kedua pengantin sesuai dengan simbol adat.
Kemudian pihak paranak memberikan tudu-tudu ni sipanganon, maksudnya
bagian tertentu dari hewan acara adat kepada pihak parboru (Gambar 2.4). Para
Keterangan :
1. Hula-hula ni Paranak 2. Suhut ni Paranak 3. Boru ni Paranak 4. Dongan sahuta
Paranak
5. Boru ni Parboru 6. Suhut ni Parboru 7. Hula-hula ni Parboru 8. Dongan sahuta
petugas yang merupakan parboru dari pihak pengantin laki-laki melaksanakannya
sesuai dengan seruan pihak paranak.
Pada waktu makan bersama tersebut, pinggan panganan juga diberikan pihak
paranak kepada pihak parboru. Pinggan adalah piring berisi juhut atau daging dari
hewan acara adat yang dipersiapkan pihak paranak dan kemudian dibagikan pihak
parboru seusai dengan sistem kekerabatan pihak parboru. Demikian pula pinggan
panganan yang dipersiapkan pihak parboru akan dibagikan pihak paranak adalah
berisi dekke atau ikan yang diberikan sesuai degan sistem kekerabatan pula dari
pihak paranak.
Masing-masing orang tua parboru akan mendatangi para undangan nya sambil
berkata, ‘godang allang hamu juhut ni boruntai’, maksudnya agar para undangan nya
senang makan daging secara adat yang dipersiapkan pihak paranak, yang sudah
termasuk anaknya sendiri karena dianggap sudah menjadi keluarga pihak paranak.
Demikian pula orang tua pihak paranak akan menghampiri para undangannya sambil Gambar 2.4 Penyerahan tudu-tudu ni sipanganon
berseru ‘godang-godang allang hamu dekke ni hula-hulantai’, maksudnya adalah
bahwa kedua belah pihak telah ikut menikmati atau mendapat bagian berupa makanan
berkat adanya perkawinan itu, artinya bahwa hatinya telah ikhlas dan senang bahwa
ia turut merestui perkawinan tersebut. Acara makan bersama tersebut akan ditutup
dengan doa.
Kemudian pihak paranak diberi kesempatan untuk manjalo tumpak ‘menerima
sumbangan’. Tumpak yang diterima adalah uang dalam amplop yang diberikan oleh
pihak boru, ale-ale dan mungkin juga dongan tubu nya. Kemudian setelah acara
manumpaki selesai, acara dilanjutkan dengan membagi jambar ‘hak berupa daging’.
Acara ini disebut dengan pembagian panjahuti ( hewan acara adat yang diperuntukan
untuk peresmian perkawinan) yang diterima dari satu sama lain. Maksudnya adalah
jambar yang diterima oleh pihak parboru dari paranak akan dibagi-bagi oleh pihak
parboru ke Dahlian Na Tolu nya dan sebaliknya jambar yang di terima pihak paranak
dari parboru akan dibagi-baginya ke Dahlian Na Tolu nya.
Lalu setelah itu acara dilanjutkan dengan penyampaian sinamot dan
panandaon. Sebagaimana yang telah disebutkkan sebelumnya, patujolo ni sinamot
(uang muka mahar) telah diberikan pada waktu acara sebelumnya(pada waktu acara
marhatasinamot). Pada hari pelaksanaan perkawinan disampaikanlah panggohi ni
sinamot(pemenuhan mahar) oleh pihak pengantin laki-laki kepada pihak pengantin
Setelah menerima sisa mahar tersebut, maka pihak parboru akan
membagi-bagikan panandaion (uang pengenalan) berupa uang kepada pihak-pihak keluarga
pengantin perempuan. Daftar pihak-pihak penerima panandaion telah diserahkan
sebelumnya kepada pihak pengantin laki-laki sehingga mereka dapat mempersiapkan
uang untuk penerima pada daftar tersebut.
Tahapan berikutnya adalah pasahat tintin marangkup kepada tulang ni
pangoli (paman pengantin laki-laki). Tintin Marangkup adalah sebagian dari mahar
yang diterima orang tua pengantin perempuan yang diberikan kepada tulan/paman
pengantin laki-laki. Dalam peradatan Batak Toba mengnggap siapapun dikawini
bere/keponakan, itu tetap putri tulan/paman, oleh karena itu tulang/paman pengantin
laki-laki itu berhak menerima sebagian dari mahar yang diterima orang tua pengantin
perempuan. Orang tua pengantin perempuan bersama rombongannya menjumpai
tulang/paman pengantin laki-laki untuk memberikan sebagian dari mahar yang
diterimanya dari orang tua pengantin laki-laki.
Kemudian acara dilanjutkan dengan acara mangulosi. Mangulosi ialah
menyampaikan kain tradisional Batak Toba berupa ulos kepada pihak pengantin
laki-laki. Sebagaimna disinggung sebelumnya, pemberian ulos dalam masyarakat Batak
Toba dilakukan oleh pihak hula-hula kepada pihak boru. Dalam hal acara
perkawinan, pihak orang tua pengantin perempuan adalah pihak pemberi istri
laki-laki adalah penerima istri sehingga berperan sebagai boru. Dengan demikian,
pihak pengantin perempuanlah yang memberikan ulos kepada pengantin laki-laki.
Dalam pemberian ulos dari setiap kelompok akan didahului dengan
memberikan sepatah dua patah kata dan diiringi tortor/tarian pada waktu
menyampaikan ulos kepada pengantin. Cara penyampaian ulos diletakkan dia atas
pundak kedua pengantin.
Tahapan terakhir pelaksanaan acara perkawinan dalam masyarakat Batak
Toba adalah menyerukan tanda persetujuan dengan acara singkat yang disebut
dengan olop-olop. Tanda persetujuan ini diperankan oleh dongan sahuta/teman
sekampung kedua belah pihak, tetapi yang mendeklarasikan persetujuan itu adalah
dongan sahuta pihak yang melaksankan acara pesta perkawianan. Apabila pesta
perkawinan dilaksanakan di pihak pengantin laki-laki, maka teman sekampung pihak
pengantin laki-lakilah yang mendeklarasikan olop-olop itu.
Dengan berakhirnya acara olop-olop atau panggabei dalam acara pesta
pernikahan, pada hakikatnya telah selesai dan sudah lengkaplah acara adat
perkawinan itu. Setelah upacara adat peresmian perkawinan selasai, paranak dengan
pengantin bersama dengan rombongan pulang ke kampung atau rumah nya dengan
barang bawaan pengantin perempuan sesuai dengan kesepakatan waktu marhata
sinamot. Keseluruhan rangkaian peradatan perkawinan dirangkumkan dalam tabel
Tabel 2.1 Prosesi/ritual pernikahan suku Batak Toba
JENIS RITUAL KEGIATAN LOKASI/TEMPAT
Marhusip/marhori-hori dinding Perkenalan kedua belah pihak keluarga pengantin wanita Rumah calon
Marhata Sinamot Diskusi mempersiapkan hal-hal yang diperlukan pada saat pelaksanaan pernikahan
Rumah calon pengantin wanita
Marsibuah-buahi Sarapan/makan bersama sebelum pelaksanaan acara pemberkatan Rumah calon pengantin wanita/pria
Pamasu-masuhon Pemberkatan pernikahan menurut agama ibadah/gereja/tuan Di rumah kadi
Panomu-nomuan Menyambut hula-hula dan tamu Halaman
Mangalehon dekke to
boru Memberikan ikan kepada pengantin halaman
Pasahat tudu-tudu ni
sipanganon Memberikan makan yang di bawa oleh kedua belah pihak Halaman
makan Makan bersama halaman
manumpakki sahuta memberikan batuan uang Pihak boru, ale-ale dan dongan
kepada keluarga pengantin pria. halaman
Mambagi jambar hewan yang diterima pihak parboru Membagi jambar/potongan bagian
ke Dahlian Na Tolunya halaman
Pasahat sinsamot dohot panandion
Memberi uang sisa sinamot dan pembagian uang tersebut sebagai
perkenalan kedua belah keluarga halaman
Pasahat Tintin marangkup
Pemberian sebagian uang sinamot y ng i terima pihak parboru kepada
tulang dari paranak
mangulosi Memberi dan menerima ulos halaman
Tikir tangga makanan( ikan/daging) di dalam Saling memberikan beras dan
tadduk (kantungan) halaman
2.1.2 Kematian
Bagi masyarakat Batak Toba, kematian mempunyai arti tersendiri yang tidak
terlepas dari pelaksanaan upacara adat. Dalam masyarakat Batak Toba, tidak pada
semua kematian dilakukan upacara adat. Pembagian tingkat kematian pada
masyarakat Batak Toba didasarkan pada seberapa umur dan adanya keturunan dari
yang meninggal (Sibarani, 2014), yaitu :
1. Mate di Bortian (mati di kandungan)
2. Mate Poso-Poso ( mati ketika bayi )
3. Mate Dakdanak/Mate Bulung (kematian anak-anak)
4. Mate Mangkar ( kematian bagi yang sudah menikah namun belum punya
anak yang sudah menikah )
5. Mate Sari Matua
Mate Sari Matua adalah meninggalnya seorang yang sudah mempunyai
anak laki-laki maupun perempuan yang telah berumah tangga, serta sudah
memperoleh cucu dari salah satu anaknya, akan tetapi masih mempunyai
anak yang belum berumah tangga (mencari jodoh/masari) sebagai beban
yang ditinggalkannya. Anak yang belum menikah itulah yang merupakan
‘beban’ yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal sehingga belum
mencapai kesempurnaan.
Mate Saur Matua adalah matinya seseorang yang semua anaknya baik
laki-laki maupun perempuan sudah berumah tangga dan sudah memperoleh
cucu dari sebagian atau semua anaknya. Warga yang meninggal Saur
Matua dianggap telah mengalami kehidupan yang sempurna sehingga
keluarga dan pelayat tidak mencerminkan kesedihan, bahkan sudah
memperlihatkan kebahagiaan dan rasa syukur.
7. Mate Mauli Bulung
Mate mauli Bulung atau mati baik sempurna adalah matinya seseorang
yang seluruh anaknya sudah menikah, yang sudah mempunyai cicit (nini
dan nono), dan yang anak-anaknya hidup sejahtera. Mate Mauli Bulung
merupakan kematian yang sangat sempurna dan langka pada generasi
sekarang. Apabila dicapai tingkat kematian seperti ini, maka yang
meninggal akan memperoleh kehormatan adat yang amat tinggi, dimana
seluruh keluarga yang meninggal dan para pelayat mencerminkan rasa
syukur dengan penuh suka cita.
Dari pembagian jenis-jenis kematian tadi jelas bahwa pelaksanaan upacara
adat pada masyarakat Batak Toba hanya dilakukan pada mate sari matua, mate saur
matua dan mate Mauli Bulung. Pelaksanan upacara adat pada kematian mate saur
matua dan mate mauli bulung relatif sama, sedangkan pelaksanan upacara adat
Dalam mempersiapkan upacara adat, internal keluarga dekat akan melakukan
pertemuan pasada tahi/ penyatuan rencana untuk merembukan di antara
hasuhuton/tuan rumah yang kemalangan untuk menyusun rencana pelaksanaan acara
adat yang akan diajukan pada marria raja/acara rapat adat. Yang termasuk dalam
hasuhuton disini adalah saudara laki-laki semarga seperti adik,abang dan anak-anak
yang meninggal dunia dan saudara perempuan atau putri yang meningggal dunia.
Merek lebih dahulu menyatukan pendapat mereka mengenai rencana adat yang akan
dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan mereka.
Satu atau dua hari setelah meninggal dunia dilakukan acara marria raja/rapat
tokoh adat. Marria raja yang diadakan sekitar pukul 21.00 di sampai selesai di
kediaman yang berduka adalah pertemuan anara unsur Dahlian Na Tolu. Marrria raja
ini merupakan rapat adat untuk menetapkan rangkaian pelaksanaan upacara adat atas
kematian seseorang yang sari matua atau saur matua termasuk trangkaian upacara,
boan/parjuhut/hewan yang dipotong, pasahat ulos/pemberian ulos, waktu
pemakaman, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan adat itu. Kehadiran
para unsur Dahlian Na Tolu dan donggan sahuta tersebut adalah untuk bersam-sama
memutuskan rangkaian pelaksanaan upacara adat tersebut sekaligus untuk
mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam upacara adat nanti.
Tahapan berikutnya adalah mompo, yakni acara memasukkan jenazah ke peti
mayat. Dalam bahasa adat Batak Toba peti mati disebut dengan jabu-jabu na
mompo ini dilakukan dirumah skitar 1-2 hari setelah marria raja. Acara mompo ini
biasanya dilakukan pada sore hari sekitar pukul 15.00 yang dihadiri unsur DahlianNa
Tolu, donggan sahuta dan pemuka agama.
Acara mompo ini dibuka oleh pemuka agama dengan nyanyian dan doa
dilanjutkan dengan mangulosi/penyampaian ulos. Setiap pemberian ulos didahului
dengan penyampaian hata sigabe-gabe/kata-kata berkat dari unsur Dahlian Na Tolu,
dongan sahuta, dan diakhiri dengan nyanyian rohani dan doa dari pemuka agama.
Tahapan berikutnya adalah mangarapot/merekatkan,yakni upacara merekatkan
peti mati mayat dengan sejenis lem yang dahulu terbuat dari bahan ubi kayu atau
bahan lain yang disebut rapot serta mengikat peti jenazah dengan jalinan rotan yang
disebut rompu hulan-hulang.
Upacara ini dihadiri secara lengkap oleh semua unsur Dahlian Na Tolu
dengan menghadirkan raja tinonggo/tokoh-tokoh adat. Para tokoh-tokoh tersebut
mengadakan acara marhata sigabe-gabe/menyampaikan kata-kata berkat dan menari
sebagai ungkapan rasa syukur atas usia panjang dan kesejahteraan yang diterima oleh
orang yang sarimatua atau saurmatua. Acara selanjutnya makan siang bersama yang
kemudian dilanjutkan dengan pembagian jambar pada unsur Dahlian Na Tolu,
dongan sahuta dan tamu-tamu undangan lainnya. Pada acara kematian ini pada
umumnya telah diundang gondang Batak sehingga para unsur Dahlian Na Tolu dan
tumpak/menerima sumbangan dari para tamu terutama dari boru dan dari dongan
tubu.
Satu hari setelah mangarapot dilakukan acara partuatna/penguburan yang
dilakukan dengan cara adat maralaman/berhalaman atau tuat tu alaman/turun ke
halaman. Jenazah yang berada di dalam peti mayat di bawa ke halaman rumah dan
di halaman rumalah dilakukan acara adat. Jenazah diletakkan sedemikian rupa dan
semua yang kemalangan /suhut/keluarga dekat seperti anak dan saudara kandung
beserta keturunannya duduk mengelilingi jenazah. Apabila kondisi halaman tidak
memungkinkan seperti di kota, biasanya tidak dibuat maralaman.
Acara adat partuatna dilakukan dengan mandok hata/berbicara dari
unsur-unsur Dahlian Na Tolu termasuk dongan sahuta/ teman sekampung dan ale-ale/teman
atau kolega yang dimulai sekitar pukul 10.00. Seringkali ketika giliran setiap unsur
atau rombongan yang mandok hata mereka menari dengan manjalo gondang/meminta
jenis gendang mereka masing-masing.
Apabila waktu menunjukkan pukul 13.00, biasanya acara diberhentikan untuk
makan siang dengan makan daging kerbau serta pembagian jambar sesuai dengan
aturan yang berlaku. Setelah selesai makan, dilakukanlah manjalo tumpak terutama
dari pihak boru, dongan tubu, ale-ale dan tamu lainnya. Pihak hula-hula termasuk
tulang beserta rombongan mamboan sipir ni tondi yang dijunjung oleh ibu-ibu pada
Tabel 2.2 Ritual acara kematian(saormatua) suku Batak Toba
Setelah acara mandok hata selesai, acara berikutnya diserahkan kepada pemuka
agama, untuk selanjutnya memimpin dan melakukan upacara keagamaan sampai pada
penguburan di kuburan yang telah disediakan. Prosesi peradatan kematian suku Batak
Toba dapat diringkas dalam tabel berikut (Tabel 2.2).
JENIS RITUAL KEGIATAN LOKASI/TEMPAT
Pasada tahi Rapat keluarga inti rumah
Maria raja kepada umum tentang rencana Rapat dan Pemberitahuan
adat yang akan dilaksanakan rumah
Mompo/pamasukkon to
jabu-jabu Memasukan jenazah ke peti rumah
Acara keluarga/mandok
hata perpisahan dari sanak keluarga Penyampaian ucapan rumah
mangarupat Menutup peti rumah
Mambagi jambar Membagi-bagikan jambar rumah
Manjalo tupak Para tamu menyalami dan memberi santunan rumah
Marhata sigabe-gabe hula/tulang pan pemberian Kata sambutan dari
hula-sipirni tondi sambil manortor halaman
Makan siang Makan siang halaman
Mambagi jambar Membagi-bagikan jambar halaman
Manjalo tumpak Para tamu menyalami dan memberi santunan halaman
Mangapu sian suhut kepada hula-hula dan tamu Ucapan dari keluarga inti
yang hadir halaman
2.1.3 Perkumpulan Marga
Masyarakat Batak adalah salah satu masyarakat yang secara kontiniu
mempertahankan kelestariannya dengan cara mengikuti garis keturunan laki-laki
(patrilineal). Semua turunan marga-marga tersebut dihubungkan menurut garis
laki-laki. Lelaki itulah yang membentuk kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan
menciptakan besan karena ia harus kawin dengan lelaki dari kelompok patrilineal
lain.
Marga terdiri atas sejumlah orang-orang yang mengaku dirinya bersaudara
satu sama lain sebab kesamaan marga, sedangkan garis keturunannya ditentukan oleh
orang tuannya masing-masing. Marga menentukan nama dari mana asal seseorang
sesuai dengan letak genealogis dalam susunan masyarakatnya (Silaban, 1992). Inilah
yang menentukan sejarah keturunan setiap generasi dan sekaligus menggambarkan
jenjang silsilah yang turun-temurun. Marga memiliki daerah tertentu atau daerah
marga yang dikusai secara turun-temurun oleh para anggotanya.
Marga juga merupakan warga paguyuban yang bersifat religius, yang secara
kolektif melaksanakan upacara-upacara adat yang berhubungan dengan leluhur
mereka. Dengan demikian ‘marga’ dalam bentuk aslinya mencakup tiga sapek
genealogis, teritorial, dan religius (Silaban,1992)
Setiap orang yang semarga tetap terikat satu sama lain. Hal ini pula yang
mendorong semangat solidaritas di antara mereka, sehingga dimanapun mereka
orang Batak untuk “martutur”, yaitu menelusuri mata rantai silsilah jika ia berjumpa
dengan seorang Batak lainnya. Kemudian mereka akan menarik tutur sapa untuk
mengetahui kedudukannya dalam Dahlian Na Tolu. Tutur itu akan mengikat jiwa
sosial yang telah dirumuskan dalam falsafah Dahlian Na Tolu.
Perkumpulan marga atau yang di dalam bahasa Batak Toba disebut ‘Pungguan
Marga’ adalah kumpulan orang-orang yang semarga dan merupakan suatu wadah
untuk menjamin kepentingan mereka, terutama dalam hal adat istiadat. Melalui
perkumpulan ini, sistem kekerabtan Dahlian Na Tolu tetap dapat dipertahankan dan
dipelihara, karena memungkinkan anggotanya untuk saling bertemu dan mengerti
satu sama lain.
Tujuan utama mengikuti perkumpulan marga ialah memelihara nilai-nilai
yang terkandung dalam DALIHAN NA TOLU. Urusan marga terpenting ialah
upacara perkawian. Marga disini seolah-olah masih turunan satu ayah karena sebagai
turunan satu leluhur tidak boleh saling mengawini. Sesuai dengan prinsip itu pulalah,
apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga, yang diresmikan perkawinan
nya menurut adat DNT, maka patut pulalah dicampuri oleh para pengetua adat dalam
marga itu untuk mencegah sedapat mungkin perceraian. Urusan kedua dari
perkumpulan marga diperantauan ialah jika ada kematian, tidak menjadi soal apakah
orang meninggal itu sarimatua atau tidak. Hal ini tidak seperti di bona pasogit yang
membedakannya. Di daerah perantauan peristiwa kematian menjadi kesempatan bagi
Pungguan marga mempunyai kegiatan rutin berupa pertemuan yang
dilaksankan setiap bulannya berupa acara ‘ partameangan’, yaitu berkumpul bersama
yang diisi dengan kegaiatan rohani berupa kebaktian singkat yang dipimpin oleh
salah satu anggota yang dituakan dan dilanjutkan dengan makan bersama. Kegiatan
bulanan ini diadakan berpindah-pindah dari satu anggota ke anggota lain secara
bergilirian yang sudah terjadwal yang disusun oleh pengurus perkumpulan.
Biasanya setiap tahun perkumpulan marga mengadakan pesta tahunan yang
dihadiri oleh seluruh anggotanya. Pesta tahunan ini biasanya diadakan pada bulan
pertama atau kedua tahun baru ( Januari atau Februari) atau yang sering disebut
“Pesta bona Tahun”. Selain pesta bona tahun, pungguan marga juga mempunyai hari
besar yang wajib dirayakan secara besar yaitu acara hari ulang tahun pungguan yang
diadakan sekali setahun. Kedua pesta ini merupakan pesta besar selain perayan Natal
marga yang disponsori dan diorganisir oleh perkumpulan dengan sumbangan biaya
dari angota-anggotanya. Ini merupakan acara silahturahmi yang diadakan di salah
satu tempat anggotanya yang mempunyai halaman luas. Apabila tidak
memungkinkan dilaksankan di rumah salah satu anggotanya maka pertemuan
diadakan di balai pertemuan umum.
2. 2 Arsitektur Tradisional Batak Toba
Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki arsitektur tradisionalnya
pada suku Batak Toba, yang menjadi karakter dari arsitektur tradisionalnya seperti
huta, jabu/rumah dan gorga/ornamen.
2.2.1 Huta
Rumah adat tradisional Batak Toba selalu berkelompok dalam perkampungan
adat yang disebut huta. Dalam menentukan huta, orang Batak selalu memilih
tempat yang tinggi yang ditujukan bukan hanya demi keamanan dari gangguan
binatang liar atau hal lain tetapi lebih kepada sebuah cita-cita orang Batak yang selalu
mengaharapkan masa depan yang lebih tinggi dan lebih baik pada masa depan
mereka.
Kelompok bangunan dalam satu kampung umumnya dua baris, yaitu barisan
Utara dan Selatan (Rajamarpondang, 1992). Pada barisan Utara terdiri atas lumbung
/sopo yaitu tempat menyimpan padi. Barisan selatan terdiri atas rumah adat atau jabu
dalam bahasa Batak Toba. Kedua barisan bangunan ini dipisahkan oleh halaman
yang lebar sebagai ruang bersama warga huta, tempat anak-anak bermain, tempat
acara suka dan duka, dan tempat menjemur sesuatu. Di belakang rumah atau lumbung
ada tempat kosong yang biasanya dijadikan kebun. Sekeliling kampung dipagari
dengan tumbuhan bambu yang tujuannya selain menjadi benteng untuk
mempertahankan diri dari serbuan musuh namun juga sebagai buffer dari terpaan
angin yang berhembus.
depan gerbang selalu ditanami pohon-pohon yang dianggap bertuah, yaitu: pohon
Hariara, Bintatar dan Beringin. Pohon Hariara merupakan lambang kehidupan,
tujuannya ditanam di muka gerbang untuk menjaga ketertiban kosmos terhadap
kampung. Di bawah dan sekitar pohon itu sering dipakai untuk tempat mengadakan
musyawarah atau rapat kampung tentang kehidupan adat atau hal-hal yang dianggap
penting, tempat ini dinamai partungkoan. Adapun pola Huta seperti dibawah ini
(Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Pola Huta (Rajamarpondang, 1992)
1. Ruma Bolon 6. Parik Ni Huta dari pohon bambu
2. SOPO 7. Harbarangan, yaitu gerbang pintu
keluar masuk dengan tangga
3. Partungkoan dari Pohon Beringin 8. Harbarangan Pudi, yaitu gerbang keluar masuk dengan tangga untuk seisi kampung saja.
4. Bona Ni Pinasa yaitu pohon nangka 9. Porlak, yaitu perkarangan masing-masing penghuni.
2.2.2 Jabu
Rumah bagi orang Batak Toba adalah wujud dan gambaran dari keyakinan,
cita-cita, pengharapan dan pandangan hidup. Rumah itu sebagai (1) gambaran
kosmologi; (2) sebagai tempat keluarga; dan (3) sebagai sumber berkah (Simamora,
1997). Jadi, rumah bagi orang Batak Toba bukan hanya bangunan fisik belaka, tetapi
juga tempat keluarga berada, tempat dimana orang berlindung, bersatu, mendapat
berkat, dan merasa kerasan (Gambar 2.6).
Tipologi rumah adat tradisional Batak Toba adalah jenis rumah panggung atau
berkolong yang terdiri dari bagian-bagian tiang rumah, badan rumah dan bagian atap
rumah yang melambangkan makrokosmos dan mikrokosmos dengan adanya “tri
tunggal banua”, yaitu: banua ginjang (dunia atas) dilambangkan dengan atap rumah
sebagai tempat dewa, banua tonga (dunia tengah) dilambangkan dengan lantai dan
dinding sebagai wadah yang melingkupi aktivitas manusia di dalam rumah, dan Gambar 2.6 Tipologi Jabu
banua toru (dunia bawah) dilambangkan dengan kolong sebagai tempat kematian
(Napitupulu, 1997). Hal-hal itu dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Bagian Bawah (Tombara).
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu, dll .
Bagian ini terdiri dari :
a. Batu pondasi/ojahan / batu parsuhi
Pondasi rumah Batak Toba menggunakan jenis pondasi cincin, di mana
batu sebagai tumpuan dari kolom kayu yang berdiri di atasnya.
b. Pasak/tiang parsuhi
Tiang-tiang berdiameter 42 - 50 cm, berdiri di atas batu ojahan struktur
yang fleksibel, sehingga tahan terhadap gempa. Tiang yang berjumlah
18 mengandung filosofi kebersamaan dan kekokohan. Pada setiap sudut
dibuat tiang yang lebih besar yang disebut tiang parsuhi.
c. Ransang
Bilah-bilah papan tebal merusuk dan menghubungkan tiang-tiang
pasak/parsuhi.
d. Tutup Ransang
Bagian atas ransang yang menjadi tempat papan lantai.
e. Siompa/Tutup Tiang
Ujung dari tiang-tiang. Diantara tiang-tiang bulat tadi ada yang beujung
f. Sititik
Titik tengah dari tiang-tiang yang bertemu dengan tutup tiang. Besarnya
sititik ini pas benar dengan lubang empat persegi atau pada lubang yang
dibuat pada tutup tiang, sehingga tutup tiang ompa( cocok) pada tiang.
g. Tangga (balatuk).
Tangga digunakan untuk akses pintu utama yang menjorok ke dalam
dengan lebar 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran,
lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
2. Bagian Tengah (Tonga)
Bagian tengah adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian yang terdiri
dari :
a. Dinding samping, muka dan belakang.
Dinding rumah muka belakang terdiri dari bilah papan yang tebal dan
berseni ukir atau gorga. Dibuat miring agar angin mudah masuk.
b. Pandindingan
Dinding samping bagian bawah dekat tiang penyangga yang terdiri dari
sebilah papan tebal yang menjadi kekuatan utama dari dinding.
Pandindingan ini disamping menutup ujung papan lantai adalah
merupakan inti kekuatan badan rumah. Bagian ujung muka dan
belakang pandindingan yang lebih besar dan tebal dibuat berbentuk
c. Tombonan.
Dinding bagian atas badan rumah terdiri dari bilah papan tebal.
Disamping sebagai dinding dari tutup tiang juga berfungsi sebagai
tempat mengikat rusuk (urur) penyanggah (alo angin) penahan
bungkulan. Dinding bagian tengah antara pandindingan dan tombonan
terdiri dari papan-papan biasa yang lebih keras.
d. Panghombari
Bagian bawah dinding muka belakang yang bertemu dengan
pandindingan dan bagian atas bertemu dengan tombonan. Pada
panghombari bagian muka sering didapati relief berhias gorga seperti
cicak (boraspati), huah dada wanita (tarus).
e. Panggalangan
Bagian dalam rumah di kiri dan kanan, sejajar atau melekat pada tutup
tiang. Terdiri dari bilah papan tebal dan lebar yang melekat pada tutup
tiang baru diikat dengan golang pada sititik yang berfungsi menjadi
tempat sesajen dan koper-koper atau barang-barang rumah tangga.
f. Para-para
Setentang dengan panggalangan dan sejajar dengan panghombari. Di
bagian depan seperti pantar atau emperan yang berfungsi untuk tempat
memalu/memainkan gondang (jiak ada acara adat) sedangkan bagian
g. Tali ret-ret
Tali-tali pengikat dinding yang miring, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali
pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala
saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai
penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan
semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling
menghormati.
3. Bagian Atas (Ginjang)
Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda keramat
(ugasan homitan). Adapun bagian atas ini yang terdiri dari :
a. Lais/minggor
Dua bagian muka belakang berbentuk segitiga sama kaki.
b. Bungkulan
Sepotong kayu lengkung yang menghubungkan lais depan dan belakang.
c. Batahan
Tempat tumpuan kayu urur (usuk) pada kiri dan kanan rumah yang
sejajar tombohan dan tutup tiang dan menjadi tempat pengikat alo angin.
d. Urur
Kayu penghubung bungkulan dengan batahan. Dan diatas urur inilah
dilekatkan atap baik dari alang-alang, ijuk, seng, kayu butar dan genteng
Atap bagian depan lebih rendah dibandingkan dengan bagian belakang yang
mengandung makna filosofi bahwa generasi selanjutnya harus lebih baik. Untuk
masuk ke arah pintu rumah harus melalui tangga dengan anak tangga berjumlah
ganjil, yaitu: 5, 7 atau 9. Bagian muka dari rumah dihiasi dengan gorga, relief dan
patung yang bermacam-macam dengan mengandung arti masing-masing. Rumah adat
dengan beragam hiasan yang indah yang rumit dinamakan disebut ruma
gorgasarimunggu atau jabu. Sementara rumah adat yang tidak memiliki ukiran
dinamakan jabu ereng. Kesemua bagian dari rumah adat ini dapat dilihat pada bagian
1. Batu Ojahan 16. Song-song Rak 2. Baba ni bara (siapasahi) 17. Sumban (buaton) 3. Basiha Pandak (untul-untul) 18. Halang Gordang
4. Rassang-rassang 19. Handang (sibong-bong halogo) 5. Baba ni Jabu 20. Ranggo (sibong-bong ari) 6. Balatuk 21. Baraspati ni Jabu
7. Tustus Parbarakt (rassang) 22. Loting-loting Ginjang 8. Basiha Rea 23. Pamoltohi
9. Tustus Ganjang (rassang rea) 24. Santung 10. Sihararti (ture-ture) 25. Urur 11. Parhokkom 26. Lais-lais
12. Sande-sande 27. Salassap (song-song boltok) 13. Dorpi Jolo 28. Rame-Rame
14. Tombonan (adop-adop) 29. Tarup Ijuk 15. Lotinh-loting 30. Ulu Paung
Pada bagian denah rumah Batak Toba terbagi atas empat bagian tempat
tinggal rumah tangga sesuai dengan fungsi kekerabatan (Rajamarpondang, 1992),
yaitu :
a. Jabubona.
Bagian belakang sudut sebelah kanan dari pintu masuk. Disebut jabubona
atau rumah induk karena yang berhak menghuninya adalah induk seisi
rumah. Pada jabu bona ini yang menjadi inti kebijakan terdapat
panggalangan yang menjadi tempat khusus sesajen kepada yang
dipercayainya. Diatasnya terdapat mombang yang dihias tergantung pada
urur berbentuk pntar bujur sangkar menjadi tempat sesaji bagi Mulajadi Na
Bolon. Pada ruang ini terdapat hombung berbentuk peti empat persegi
panjang dapat dijadikan menjadi tempat tidur. Hombung ini dikhususkan
menjadi tempat barang homitan yang bersifat ritual termasuk penyimpanan
benda-benda warisan.
b. Jabu Suhut
Bagian muka sudut sebelah kiri dari pintu masuk. Yang berhak
menempatinya adalah rumah tangga anak sulung atau rumah tangga anak
bungsu. Artinya jika anak sulung mau manjae atau berdiri sendiri dengan
mendirikan rumah baru atau kampung baru maka jabu suhut itu berhak
ditempati anak bungsu. Jabu suhut ini sering disebut jabu suhat karena
kekerabatan. Panggalangan diatasnya berfungsi menjadi tempat
barang-barang rumah tangga.
c. Jabu Soding
Bagian muka sudut sebelah kanan dari pintu masuk. Yang berhak
menempatinya adalah rumah tangga anak kedua dan anak seterusnya. Jika
rumah tangga untuk itu tidak ada maka jabu soding itu menjadi tempat
tidur anak laki-laki yang belum akil balik. Anak laki-laki yang sudah
akli-balik tidurnya adalah di sopo. Jabu soding ini boleh pula ditempati rumah
tangga semarga.
d. Jabu Tampar piring
Bagian belakang sudut sebelah kiri dari pintu masuk. Yang berhak
menempatinya adalah rumah tangga atau keluarga baru. Boleh juga
ditempati rumah tangga boru yang semarga. Apabila belum ada boru yang
belum berumah tangga untuk menempatinya maka dimanfaatkan menjadi
tempat atau tempat tidur anak-anak perempuan yang belum akil balik.
Tempat tidur anak-anak perempuan yang sudah akil balik adalah rumah
dagang yang sengaja dibangun oleh seisi kampung. Diantara jabu bona dan
jabu tampar piring terdapat rak piring tempat alat-alat dapur dan tempat
air. Diatasnya terdapat geang-geang berbentuk empat persegi tergantung
pada tali yang diikat pada usuk yang menjadi tempat lauk pauk yang sudah
Di tengah-tengah rumah Batak Toba itu terdapat dapur berbentuk empat
persegi panjang untuk memasak. Tempat untuk makan adalah ruang antara jabu bona
dan jabu soding. Rumah Batak tidak dibagi berkamar-kamar tetapi terbuka polos.
Walaupun terbuka polos namun tidak akan terjadi pelanggaran moral. Adapun denah
rumah adat Batak Toba berupa persigi panjang (Gambar 2.8).
Gambar 2.8 Denah Jabu (Rajamarpondang, 1992).
1. Jabu Bona 7. Parapara muka dan belakang 2. Jabu Suhut/Jabu Suhat 8. Pintu dan Tangga
3. Jabu Soding 9. Jendela
4. Jabu Tampar Piring 10. Rak Piring tempat alat dapur 5. Tataring/dapur 11. Hombung
2.2.3 Gorga
Gorga adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di
dinding rumah bagian luar dan bagian depan rumah-rumah adat atau disebut juga
dengan ornamen yang mengandung unsur mistis penolak bala. Gorga berupa dekorasi
atau hiasan yang dibuat dengan cara memahat kayu atau papan dan kemudian
mencatnya dengan tiga macam warna yaitu : merah, hitam, putih. Warna yang tiga
macam ini disebut tiga bolit ‘ tiga warna ‘yang merupakan pengharapan masyarakat
Batak Toba terhadap Mula jadi Nabolon yang menjadi sumber kebijakan, kesucian
dan kekuatan. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, warna hitam
melambangkan raja yang adil dan bijaksana. Warna merah melambangkan
terpeliharanya kemakmuran negeri dan masyarakat. Warna putih sebagai pengisi
garis ukir, melambangkan pekerja yang baik.
Pada zaman dahulu nenek moyang suku Batak Toba menciptakan catnya
sendiri secara alamiah misalnya, cat warna merah diambil dari batu hula, sejenis batu
alam yang berwarna merah yang tidak dapat ditemukan disemua daerah. Cara untuk
mencarinya pun mempunyai keahlian khusus. Batu inilah ditumbuk menjadi halus
seperti tepung dan dicampur dengan sedikit air. Cat warna putih diambil dari tanah
yang berwarna putih, tanah yang halus dan lunak dalam bahasa Batak disebut tano
buro. Tano buro ini digiling sampai halus serta dicampur dengan sedikit air, sehingga
tampak seperti cat tembok pada masa kini. Cat warna hitam dibuat dari sejenis
atau kuali. Abu itu dikikis dari periuk atau belanga dan dimasukkan ke daun-daunan
yang ditumbuk tadi, kemudian digongseng terus menerus sampai menghasilkan
seperti cat tembok hitam pada zaman sekarang.
Bahan-bahan untuk Gorga ini biasanya kayu lunak yaitu yang mudah
dikorek/dipahat. Biasanya nenek moyang suku Batak memilih kayu ungil atau ada
juga orang menyebutnya kayu ungil. Kayu Ungil ini mempunyai sifat tertentu yaitu
antara lain tahan terhadap sinar matahari, begitu juga terhadap terpaan air hujan, yang
berarti tidak cepat rusak/lapuk akibat kena sengatan terik matahari dan terpaan air
hujan. Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk pembuatan bahan bahan solu ‘ perahu
‘ di Danau Toba. Ada berbagai jenis gorga dengan makna nya masing-masing yaitu :
1. Gorga Patung Ulu ni Horbo Martanduk
Makna: Menggambarkan pengharapan habaoaon yaitu harajaon dengan
pengertian tanggung jawab.
2. Gorga Adop-Adop
Makna: Payudara yang melambangkan kesuburan dan kekayaan.
3. Gorga Boras Pati
Makna: Menggambarkan pengharapan hadumaon yaitu sejahtera seisi
rumah aman dan damai.
4. Gorga Ulupaung
Makna: Pelindung agar seisi rumah sehat-sehat jasmani dan pengharapan
penghambat aji-ajian yaitu penangkal kejahatan agar seisi rumah
tetap sehat walafiat.
Gambar 2.12 Gorga ulupaung (Sianipar, 2014) Gambar 2.11 Gorga boras pati
5. Gorga Tompi
Makna: Menggambarkan pengharapan manompi anak dohot boru
agar anak-anak turunan penghuni rumah tidak sakit-sakitan
dan jangan ada yang meninggal sampai saur matua.
6. Gorga Liat
Makna: Menggambarkan pengharapan agar seisi rumah marsangap
dohot matua yaitu mulai dan beranak
7. Gorga Ture-ture
Makna: Menggambarkan pengharapan pantun yaitu agar semua
seisi rumah tekun penuh sopan santun.
8. Gorga Sitindangi
Makna: Menggambarkan pengharapan kejujuran yaitu berpegang
pada adat dan hukum.
9. Gorga Pandindingan
Makna: Menggambarkan pengharapan sae soada mara yaitu tidak
ada mara bahaya.
10. Gorga Jolo
Makna: Menggambarkan pengharapan hasadaon yaitu agar seisi
rumah tetap bersatu dan damai.
11. Gorga Ngingi
Makna : Menggambarkan pengharapan mangalo na so hasea yaitu
menentang segal yang tidak bermanfaat.
12. Gorga Siopat suhi
Makna : Menggambarkan pengharapan adat suhi ni ampang na
opat yaitu adat kekerabatan yaitu bahwa dengan suhi ni
ampang na opat dalam fungsi kekerabatan adalah tiang
utama Dahlian Na Tolu.
13. Gorga Bintang
Makna : Menggambarkan pengharapan sinta-sinta yaitu agar
sejahtera anak dan boru.
14. Gorga Gaja Dompak
Makna : Menggambarkan pengharapan margogo mandopang musu
15. Gorga Silindu Ni Pahu
Makna : Menggambarkan pengharapan hadumaon na so mansohot
yaitu kesejahteraan yang terus menerus.
16. Gorga Manuk
Makna : Menggambarkan pengharapan panungguli yaitu agar
anak-anak dikejauhan tetap ingat akan keluarga bona
pasongit.
17. Gorga Hujur
Makna : Menggambarkan pengharapan hamonanggon yaitu
monang maralo musu talumaralohon dongan yang
dimaksud agar semua penghuninya menang terhadap
segala kejaliman dan kejahatin. Gambar 2.14 : Gorga gaja dompak
18. Gorga Ipon-Ipon
Makna : keharmonisan, berarti setiap keluarga yang menempati
rumah tersebut adalah keluarga yang harmonis dan jika
ada masalah dalam keluarga itu akan diselesaikan
dengan damai dan musyawarah.
19. Gorga Simataniari
Makna : sebagai sumber kekuatan hidup dan penentu jalan
kehidupan dunia tanpa matahari manusia tidak akan
hidup.
Gambar 2.15 Gorga ipon-ipon (Sianipar, 2014)
20. Gorga Desa Naualu
Makna : sebagai arah mata angin, menunjukkan sikap dan perilaku
seseorang didalam menjalankan kehidupan mereka
sehari-hari.
21. Gorga Singa-Singa
Makna: kekuatan, kekokohan, dan kewibaawaan, jadi setiap
orang yang menempati rumah itu adalah orang yang
berkuasa dan bijaksana dalam mengambil keputusan
dalam sebuah masalah. Gambar 2.17 Gorga desa naualu
22. Gorga Iran-Iran
Makna: simbol kecantikan. Setiap orang yang menempati rumah
itu adalah orang yang cantik dari wajah maupun perilaku
dalam kehidupan sehari-harinya. Gambar 2.18 Gorga singa singa
(Sianipar, 2014)
23. Gorga Simarogung Ogung “Gong”
Makna: Gong dianggap sebagai simbol pesta yang merupakan
ungkapan kegembiraan melambangkan kejayaan dan
kemakmuran sebagai pertanda bahwa keluarga tersebut
merupakan keluarga terpandang.
24. Gorga Silintong
Makna: Pusaran air yang berarti kesaktian untuk melindungi
manusia dari segala bala. Artinya yang menempati
rumah itu adalah orang-orang yang sakti dan biasanya
terdapat di rumah orang-orang yang dianggap berilmu
tinggi seperti: datu, raja, guru, dan sebagainya. Oleh
sebab itu tidak sembarangan orang mengukir Gorga ini. Gambar 2.20 Gorga simarogung ogung
25. Gorga Manuk
Makna: maknanya adalah Panungguli “ pengingat “untuk anaknya
yang jauh merantau di perantauan tetap ingat akan bona
pasogit/kampung halaman , supaya rezeki dia melimpah. Gambar 2.21 Gorga silintong
(Sianipar, 2014)
26. Gorga Sitagan
Makna: bermakna nasihat agar tidak sombong kepada orang yang
datang bertamu. Berbentuk simetris seperti tutup kotak
dan berada di atas Gorga Gaja dompak.
27. Gorga Simeol Eol
Makna: Melambangkan kegembiraaan. Berbentuk sulur yang
terjalin dengan kesan melenggak-lenggok yang
menghasilkan keindahan dan terletak di setiap sisi
papan rumah adat Batak Toba. Jadi, setiap orang yang
menempati rumah itu adalah orang yang patuh dalam
adat dan seni Batak Toba dan menjalankannya di
kehidupan sehari-hari. Gambar 2.23 Gorga sitagan
28. Gorga Jorngom atau Jenggar
Makna: merupakan simbol penjaga keamanan. Gorga ini di buat
supaya segala jenis roh-roh ataupun setan tidak dapat
masuk ke dalam rumah. Berbentuk raksasa yang biasa
terdapat pada bagian tengah tomboman Gorga Adop-adop
Gambar 2.25 Gorga jomgom atau jenggar (Sianipar, 2014)
2. 3 Arsitektur Neo Vernakular
Didalam arsitektur banyak terdapat tema-tema perancangan. Dimana setiap
tema-tema itu mempunyai ciri dan cara untuk mendesain suatu bagunan salah satunya
Neo Vernakular.
2.3.1 Pengertian Arsitektur Neo Vernakular
Berasal dari dua kata yaitu kata “neo” sebagai fonim yang berarti baru dan kata
“ vernaculus “ dari bahasa latin yang berarti asli . Jadi, Neo Vernakular berarti bahasa
setempat yang diucapkan dengan cara baru. Arsitektur Neo Vernakular adalah suatu
penerapan elemen arsitektur yang telah ada, baik fisik maupun non-fisik dengan
tujuan melestarikan unsur-unsur lokal yang telah terbentuk secara empiris oleh
sebuah tradisi yang kemudian sedikit atau banyaknya mangalami pembaruan menuju
suatu karya yang lebih modern atau maju tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi
setempat (Nauw & Rengkung, 2013). Arsitektur Neo Vernakular merupakan suatu
paham dari aliran Arsitektur Post-Modern yang lahir sebagai respon dan kritik atas
modernisme yang mengutamakan nilai rasionalisme dan fungsionalisme yang
dipengaruhi perkembangan teknologi industri.
Arsitektur Neo Vernakular merupakan arsitektur yang pada konsepnya
memiliki prinsip mempertimbangkan kaidah-kaidah normatif, kosmologis, peran
serta budaya lokal dalam kehidupan masyarakat serta keselarasan antara bangunan,
alam, dan lingkungan. Dalam proses menerapkan pendekatan dalam arsitektur Neo
dan peninggalan arsitektur setempat yang dimasukkan kedalam proses perancangan
yang terstruktur yang diwujudkan dalam bentuk termodifikasi sesuai dengan zaman
sekarang, ragam dan corak desain yang digunakan dengan pendekatan simbolisme,
aturan dan tipologi.
Arsitektur Neo Vernakular banyak ditemukan bentuk-bentuk yang sangat
modern namun dalam penerapannya masih menggunakan konsep lama daerah
setempat yang dikemas dalam bentuk yang modern. Arsitektur Neo Vernakular ini
menunjukkan suatu bentuk yang modern tapi masih memiliki ciri daerah setempat
walaupun material yang digunakan adalah bahan modern seperti kaca dan logam.
Dalam arsitektur Neo Vernakular, ide bentuk-bentuk diambil dari vernakular aslinya
yang dikembangkan dalam bentuk modern.
2.3.2 Ciri-Ciri Arsitektur Neo Vernakular
Menurut Charles Jencks (1984) ciri-ciri Arsitektur Neo-Vernakular sebagai
berikut :
a. Selalu menggunakan atap bumbungan.
Atap bumbungan menutupi tingkat bagian tembok sampai hampir ke tanah
sehingga lebih banyak atap yang di ibaratkan sebagai elemen pelidung dan
penyambut dari pada tembok yang digambarkan sebagai elemen pertahanan
b. Batu bata (dalam hal ini merupakan elemen konstruksi lokal). Bangunan
didominasi penggunaan batu bata abad 19 gaya Victorian yang merupakan
budaya dari arsitektur barat.
c. Mengembalikan bentuk-bentuk tradisional yang ramah lingkungan dengan
proporsi yang lebih vertikal.
d. Kesatuan antara interior yang terbuka melalui elemen yang modern dengan
ruang terbuka di luar bangunan.
e. Warna-warna yang kuat dan kontras.
Dari ciri-ciri di atas dapat dilihat bahwa Arsitektur Neo-Vernacular tidak
ditujukan pada arsitektur modern atau arsitektur tradisional tetapi lebih pada
keduanya. Hubungan antara kedua bentuk arsitektur diatas ditunjukkan dengan jelas
dan tepat oleh Neo-Vernacular melalui trend akan rehabilitasi dan pemakaian
kembali.
a. Pemakaian atap miring.
b. Batu bata sebagai eleman lokal.
c. Susunan masa yang indah.
Mendapatkan unsur-unsur baru dapat dicapai dengan pencampuran antara
unsur setempat dengan teknologi modern, tapi masih mempertimbangkan unsur
a. Bentuk-bentuk menerapkan unsur budaya, lingkungan termasuk iklim
setempat diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak denah,
detail, struktur dan ornamen).
b. Tidak hanya elemen fisik yang diterapkan dalam bentuk modern, tetapi juga
elemen non-fisik yaitu budaya , pola pikir, kepercayaan, tata letak yang
mengacu pada makro kosmos, religi dan lainnya menjadi konsep dan kriteria
perancangan.
c. Produk pada bangunan ini tidak murni menerapkan prinsip-prinsip bangunan
vernakular melainkan karya baru (mengutamakan penampilan visualnya).
2.3.3 Prinsip-Prinsip Desain Arsitektur Neo Vernakular
Ada beberapa prinsip-prinsip desain arsitektur Neo-Vernakular secara terperinci
adalah sebagai berikut ( Jencks,1984):
a. Hubungan Langsung, merupakan pembangunan yang kreatif dan adaptif
terhadap arsitektur setempat disesuaikan dengan nilai-nilai/fungsi dari
bangunan sekarang.
b. Hubungan Abstrak, meliputi interprestasi ke dalam bentuk bangunan yang
dapat dipakai melalui analisa tradisi budaya dan peninggalan arsitektur.
c. Hubungan Lansekap, mencerminkan dan menginterprestasikan lingkungan
Tabel 2.3 Perbandingan Tradisional,Vernakular dan Neo Vernakular.
d. Hubungan Kontemporer, meliputi pemilihan penggunaan teknologi, bentuk
ide yang relevan dengan program konsep arsitektur.
e. Hubungan Masa Depan, merupakan pertimbangan mengantisipasi kondisi
yang akan datang.
Dari pengertian, ciri-ciri dan prinsip diatas, dengan jelas membedakan antara
arsitektur tradisional, vernakular dan neo vernakular (Tabel 2.3).
Perbandingan Tradisional Vernakular Neo Vernakular
Tabel 2.3 (lanjutan)
Perbandingan Tradisional Vernakular Neo Vernakular
Ide Desain
2.3.4 Studi Banding Arsitektur Neo Vernakular
Untuk mempelajari bagaimana penerapan arsitektur neo vernakular dapat
dilakukan dengan melihat langsung penerpannya pada bangunan yang telah ada
seperti berikut.
a. Rumah Nias Yu Sing
Rumah yang terletak di daerah Cimanggis Jakarta ini merupakan hasil karya
arsitek Yu Sing untuk pemilik rumah yang adalah suku Nias. Dalam
mendesain rumah ini sang arsitek mengadaptasi dan menginterpretasi rumah
tradisional Nias atau yang disebut Omohada kedalam bentuk rumah tinggal
modern dengan tetap mempertahankan filosofi arsitektur tradisonal Nias itu
. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal seperti berikut.
1. Konsep Rumah Panggung
Bentukan asli rumah tradisional Nias yang berupa rumah panggung
berbentuk persegi panjang dipertahankan dalam bangunan hunian ini
walaupun bentuknya hanya berupa semi panggung. Pada rumah
Omohada terdapat tiang-tiang penyangga berjumlah delapan, menopang
bangunan dari tanah sampai rangka atap. Di bagian kolong tiang-tiang
ini terdapat penguat dengan truss berbentuk huruf ’V’. Kolong ini tidak
difungsikan sebagai ruang dalam beraktifitas tetapi digunakan sebagai
tempat penyimpanan barang-barang atau kandang ternak si pemilik
rumah.
Jika dilihat dari depan rumah ini berkesan seperti rumah panggung, hal
itu disebabkan adanya lantai 2 yang menjorok kedepan dan ditopang
dengan tiang-tiang penyangga ditambah dengan kisi-kisi yang tersusun
dari kayu seakan memberi kesan bahwa itu adalah rumah panggung.
Inspirasi desain terlahir dari rumah adat Nias yang berkonsep panggung
namun tetap disesuaikan dengan kondisi terkini, yakni dengan
menggunakan beton dan kaca sebagai pembentuk elemen ruangan (Sing,
2011). Kolom-kolom kayu diganti dengan kolom-kolom beton yang
memberi kesan massa terlihat melayang (Gambar 2.28).
Lantai dasar pada bangunan semi panggung ini difungsikan sebagai ruang
publik yang menyatukan taman, kolam, teras, ruang keluarga yang besar
yang menjadi area serba guna untuk tempat berkumpul dan berpesta
sedangkan lantai 2 di fungsikan sebagai area private pemilik rumah
(Gambar 2.29).
Dinding rumah ini menggunakan dinding beton yang dilapisi dengan
semen dan diekspos pada beberapa bagian ruang dan sebagian difinishing
dengan cat putih. Penggunaan beton ekspos sangat netral oleh karena
mudah dikombinasikan dengan elemen interior lain seperti kayu. Hal
tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesan alami natural seperti pada
rumah adat Nias.
2. Bentukan Atap
Bentukan atap pada rumah ini diadopsi dari rumah tradisional Nias itu
sendiri namun mengalami penyederhanaan bentuk dengan menghilangkan Gambar 2.29 Taman, kolam,teras dan area serba guna pada rumah Nias Yu Sing
beberapa bentuk dasar untuk menghasilkan bentukan atap yang lebih
masa kini (Gambar 2.30).
3. Deretan Rumah
Tata letak pemukiman masyarakat Nias Selatan adalah linear atau garis
lurus yang bertemu saling tegak lurus. Pola tersebut membentuk ruang
luar memanjang yang diapit deretan rumah-rumah adat dalam susunan
yang berderet rapat tersebut (Gambar 2.31).
Gambar 2.30 Pola Perubahan Bentukan Atap pada rumah Nias Yu Sing (Sing, 2011)
Desain rumah itu diambil dari perkampungan adat Nias selatan
dengan pola rumah berderet, tidak terpisah-pisah dimana
penerapannya dengan massa tidak tunggal ini terdiri dari dua
massa 2 lantai yang digabungkan (Gambar 2.32)
b. Mesjid Raya Padang
Masjid Raya Sumatera Barat atau juga dikenal dengan sebutan Masjid
Mahligai Minang ini merupakan masjid terbesar di Sumatera Barat. Gambar 2.32 Desain rumah Nias Yu Sing yang tidak tunggal
(Sing, 2011)
Masjid ini merupakan hasil rancangan dari arsitek Rizal Muslimin,
pemenang sayembara desain Masjid Raya Sumatera Barat yang diikuti oleh
323 peserta arsitek dari berbagai negara pada tahun 2007.
Dibangun dengan struktur dan desain konstruksi yang kuat, anti
guncangan sehingga diharapkan aman dari guncangan gempa hingga 10
skala richter. Selain untuk beribadah, Masjid Raya Padang yang memiliki
kapasitas 20.000 jamaah ini juga dirancang sebagai shelter lokasi evakuasi
korban tsunami yang ada di lantai 2 dan 3. Sedangkan lantai dasar memiliki
daya tampung 15.000 jamaah, dan lantai 2 dan 3 berkapasitas 5000 jamaah
(https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Raya_Sumatera_Barat).
Arsitektur masjid ini mengikuti tipologi arsitektur Minangkabau
dengan ciri bangunan berbentuk gonjong, jika dilihat dari atas, masjid ini
memiliki 4 sudut lancip yang mirip dengan desain atap rumah gadang,
hingga ukiran Minang dan kaligrafi pada dinding bagian eksterior masjid.
Penerapan arsitektur Neo Vernakular pada masjid ini dapat kita lihat sebagai
berikut :
1. Desain kawasan
Penatan area tapak pada masjid ini ditujukan untuk mengoptimalkan
potensi lahan dimana bangunan masjid sebagai sumbu dari bangunan
Masjid menjadi sumbu utma tersebut bertujuan agar masyarakat tidak
terlalu sungkan memasuki kawasan masjid. Hal ini sesuai dengan
karakter masyarakat Minangkabau yang egaliter sekaligus sebagai bentuk
antisipasi akan kepadatan Kota Padang yang terus berkembang (Gambar
2.35).
Gambar 2.35 Master plan mesjid raya sumbar (Nuzul. 2013)
2. Bentukan massa
Bentukan masjid ini diambil dari bentukan rumah tradisional
Minagkabau yang terlihat dari atap berbentuk gonjong atau yang biasa
dipakai dalam rumah tradisional adat Padang dengan ciri khas atap
runcing (Gambar 2.36).
Mesjid ini menjadi tidak sematamata sebuah masjid, tetapi sebuah
identitas, perpaduan antara Islam dan Minangkabau dimana atap gonjong
menyelimuti bentukan atap kubah yang menjadi ciri utama dari arsitektur
mesjid (Gambar 2.37).
Gambar 2.36 Konsep bentukan masjid raya sumbar (Couto, 2011)
3. Ornamen
Bangunan masjid ini dipenuhi dengan ukiran-ukiran yang diadopsi dari
pola songket khas Minagkabau. Ukiran-ukiran yang terbuat dari plat baja
tersebut diambil dari seluruh corak songket asli Sumatera Barat (
Minangkabau) sebagai langgam dari budaya Minangkabau dan menjadi
identitas dari masyarakat Minangkabau yang secara tidak langsung turut
memperkenalkan kearifan lokal dan budaya setempat dalam bentuk
ornamentasi dinding masjid dan menjadi ciri khas dari masjid itu sendiri.
Selain berfungsi sebagai estetika, ornamaen dan motif kaligarafi yang
memiliki rongga sehingga memudahkan udara serta cahaya untuk masuk
yang berguna sebagai pengganti dari jendela pada umumnya atau sebagai
/ventilasi dari dalam dan luar masjid (Gambar 2.38).
c. Istana Budaya Kuala Lumpur, Malaysia
Istana budaya kuala lumpur ini merupakan gedung teater utama di Malaysia.
Bangunan yang di dirikan pada bulan September 1999 ini sering
menyelenggarakan acara-acara yang bertaraf lokal maupun internasional.
Bangunan yang di desain oleh Muhammad kamar Ya'akub ini memiliki luas
21.000 m² yang berada di dalam kompleks 54.400 m² yang dapat
menampung hingga 1.412 penonton (Gambar 2.39).
Penerapan arsitektur Neo Vernakular pada masjid ini dapat kita lihat sebagai
berikut :
1. Bentukan massa
Bentukan dasar dari bangunan ini berasal dari rumah adat Melayu
Malaysia. Bentukan atap yang berupa lipatan-lipatan atap yang bertingkat
di inspirasi dari bentukan junjungan sirih yang bagi masyarakat melayu
setempat digunakan sebagai hadiah dalam suatu acara adat. Intepretasi Gambar 2.39 Istana Budaya Kuala Lumpur
terhadap keduanya membentuk undakan atap-atap yang diolah sehingga
memberikan kesan modern dengan pemakaian bahan-bahan modern
(Gambar 2.40).
2. Interior
Bangunan ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu lobby, auditorium dan
ruang-ruang untuk latihan. Ruang auditorium yang terletak di lantai 3
diambil dari bentuk gendang tradisional yang memiliki kapasitas 1.412
kursi (Gambar 2.41).
d. Kesimpulan Studi Banding Tema Sejenis
- Dari ketiga bangunan tersebut penerapan intepretasi budaya mencakup
faktor fisik(rumah tradisional) dan juga elemen non-fisik baik berupa
tata letak denah , pola pikir, kepercayaan dan ornamen
- Massa Bangunan tidak murni menerapkan prinsip-prinsip bangunan
vernakular melainkan karya baru yang mengutamakan penampilan visual
dan disesuaikan dengan fungsi dari bangunan sekarang.
- Adanya koneksitas antara interior yang terbuka melalui elemen yang
modern dengan ruang terbuka di luar bangunan dengan memperhatikan
kondisi fisik lingkungan sekitar.
- Desain modern yang mempertimbangan serta mengantisipasi kondisi
dimasa yang akan datang dengan pemilihan penggunaan teknologi. Gambar 2.41 Interior auditorium Istana Budaya Kuala Lumpur