• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggung Jawaban Notaris Akibat Adanya Pemalsuan Identitas Diri Debitor Dalam Akta Perjanjian Kredit Pada Bank Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggung Jawaban Notaris Akibat Adanya Pemalsuan Identitas Diri Debitor Dalam Akta Perjanjian Kredit Pada Bank Chapter III V"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TANGGUNG JAWAB NOTARIS AKIBAT ADANYA PEMALSUAN IDENTITAS DIRI DEBITOR DALAM AKTA PERJANJIAN

KREDIT PADA BANK

A. Tanggung Jawab Notaris Yang Melanggar Pasal 16 Angka (1) Huruf a UUJN Sebagai Pejabat Umum Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat Oleh Atau Dihadapannya Akibat Adanya Pemalsuan Identitas Diri Debitor

1. Akta Otentik Yang Dibuat Oleh Atau Dihadapan Notaris Akibat Adanya Pemalsuan Identitas Diri Debitor

Notaris adalah Pejabat Umum khusus (satu-satunya), yang berwenang untuk

membuat akta-akta otentik tentang semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang

diharuskan oleh peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk

dinyatakan dalam suatu akta otentik. Penggunaan kata satu-satunya dimaksudkan

untuk memberikan penegasan bahwa Notaris adalah satu-satunya pejabat yang

mempunyai wewenang tertentu, artinya wewenang mereka hanya meliputi pembuatan

akta otentik yang secara tegas sudah ditugaskan kepada mereka oleh

Undang-Undang. Adapun pejabat lain yang dimaksud antara lain adalah Notaris/PPAT,

Pegawai Catatan Sipil dan Ketua Pengadilan Negeri.

Suatu akta otentik adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh

Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk

itu, ditempat dimana akta itu dibuat. Jadi pada dasarnya tugas pokok Notaris

membuat akta-akta otentik, yaitu suatu akta yang menurut Pasal 1870 KUH Perdata

akan memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang

(2)

Hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan dalam akta itu,

sungguh-sungguh telah terjadi sehingga Hakim itu tidak boleh memerintahkan

penambahan pembuktian lagi.

Mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, yang bunyinya sama

dengan Pasal 285 Rbg, yang berbunyi :

“Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dari mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu.”

Keotentikan akta Notaris bukan pada kertasnya akan tetapi akta yang

dimaksud dibuat dihadapan Notaris sebagai Pejabat Umum dengan segala

kewenangannya atau dengan perkataan lain akta yang dibuat Notaris mempunyai sifat

otentik, bukan karena Undang-Undang menetapkan sedemikian akan tetapi oleh

karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum, seperti yang dimaksud

dalam Pasal 1868 KUHPerdata.44Perlunya akta otentik dalam suatu peristiwa hukum adalah sebagai jaminan hukum, untuk melindungi para pihak, baik secara langsung

yaitu para pihak yang berkepentingan langsung dengan akta tersebut, misalkan dalam

akta perjanjian kredit maka posisi akta tersebut merupakan alat bukti yang kuat dan

sempurna jika terjadi dalam hal debitor mempermasalahkan keabsahan atau

kebenaran akta perjanjian kredit yang telah dibuat, misalnya dengan tidak mengakui

adanya perjanjian kredit tersebut.

44

(3)

Mengenai tanggung jawab terhadap akta yang dibuat dihadapan Notaris, perlu

ditegaskan bahwa dengan kewenangan Notaris dalam pembuatan akta Notaris bukan

berarti Notaris secara bebas sesuai kehendaknya untuk membuat akta otentik tanpa

adanya para pihak yang diminta untuk dibuatkan akta.45

Substansi Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.46memuat tiga syarat suatu akta otentik adalah :

1. Dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa (pejabat

publik yang berwenang) dimana hal yang dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang yang dimaksud tersebut haruslah dipercaya dan diakui telah sesuai

hukum (rechtmatig), misalnya akta yang dibuat oleh Notaris, Pejabat Lelang,

Pejabat Pembuat Akta Catatan Sipil, dan sebagainya.

2. Format atau bentuk akta tersebut telah ditentukan oleh Undang-Undang.

3. Akta tersebut ditempat pejabat publik itu berwenang atau ditempat kedudukan

hukum pejabat publik tersebut.

Ketiga syarat tersebut harus dipenuhi secara kumulatif. Apabila salah satu

syarat tersebut tidak terpenuhi, kekuatan pembuktian akta tersebut tidaklah otentik

dan hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Ketiga syarat

ini sangatlah penting dikarenakan suatu akta otentik memiliki kekuatan pembuktian

yang penuh dan sempurna (probatio plena), dimana pembuktian terhadap akta otentik

45 Ismantoro Dwi Yuwono, Memahami Berbagai Etika Profesi dan Pekerjaan, Pustaka

Yustisia, Yogyakarta,2011, hal. 193

46Pasal 1868 mengatakan “suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang

(4)

itu tidak lagi memerlukan alat bukti lain selain akta otentik itu sendiri dan akta

otentik tersebut haruslah tetap dianggap benar selama belum ada pembuktian yang

dapat membuktikan keotentikan akta tersebut.

Adapun syarat keotentikan dari akta Notaris adalah sebagai berikut ;

a. Para penghadap menghadap Notaris;

b. Para penghadap mengutarakan maksudnya;

c. Notaris mengkonstantir maksud dari para penghadap dalam sebuah akta;

d. Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para

penghadap;

e. Para penghadap membubuhkan tanda tangannya, yang berarti

membenarkan hal-hal yang termuat dalam akta tersebut dan

penandatangan tesebut harus dilakukan pada saat itu juga;

f. Dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali ditentukan lain

oleh Undang-Undang.

Apabila akta yang bersangkutan tidak memenuhi syarat-syarat keotentikan

tersebut, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

dibawah tangan. Surat yang ditanda tangani oleh pihak-pihak secara dibawah tangan

itu, sekalipun merupakan salah satu bukti surat secara tertulis, namun kekuatan

hukumnya agak lemah, karena jika ada pihak yang meragukannya maka surat

dibawah tangan ini tidak dapat menjamin tentang tanggal yang pasti saat pembuatan

suratnya. Surat dibawah tangan ini tidak dapat mempunyai kekuatan eksekusi dan

(5)

sekali pihak-pihak yang yang telah menanda tangani surat itu untuk membuktikan

bahwa antara mereka telah ada suatu ikatan perjanjian atau ada suatu perbuatan

hukum yang saling mengikat.

Pemalsuan/ kesalahan identitas diri debitor dalam akta perjanjian kredit tidak

mutlak menjadikan perjanjian itu batal, asalkan memang klausula dalam perjanjian itu

tetap disepakati dan sah menurut hukum. Dengan suatu anggapan bahwa para pihak

tetap sah dan cakap dalam melakukan tindakan hukum sesuai isi perjanjian.

Notaris merupakan suatu jabatan yang memiliki keahlian khusus yang

menuntut pengetahuan yang luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani

kepentingan umum dan inti dari tugas seorang Notaris yaitu mengatur secara tertulis

dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat

mempergunakan jasa Notaris.47 Sehingga menurut Ismail Saleh, Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur

yaitu48:

1) Mempunyai integritas moral yang mantap;

Segala pertimbangan moral haruslah melandasi pelaksanaan tugas

profesinya, dengan kata lain walaupun akan memperoleh imbalan jasa

yang tinggi namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik

harus dihindarkan.

2) Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual);

47Supriadi, SH, Mhum, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, 2006, hal.50.

(6)

Kadar kejujuran intelektual seorang Notaris tidak hanya sebatas terhadap

kliennya saja namun terhadap dirinya sendiri. Notaris harus mengetahui

batas kemampuannya sehingga tidak hanya menebar janji-janji pada

kliennya agar mau memakai jasanya.

3) Sadar akan batas-batas kewenangannya;

Seorang Notaris dilarang untuk menjalankan jabatannya diluar daerah

jabatannya dan bersifat profesional

4) Tidak semata-mata berdasarkan uang;

Seorang Notaris haruslah berpegang teguh pada rasa keasliannya yang

hakiki, tidak terpengaruh akan jumlah uang dan semata-mata tidak hanya

menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, namun

mengabaikan rasa keadilan.

Adapun yang merupakan etika Notaris dalam menjalankan jabatannya yang

merupakan prinsip umum etika Notaris Indonesia adalah sebagai berikut49:

1) Notaris dalam melakukan tugas jabatannya menyadari kewajibannya,

bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak dan bekerja dengan penuh rasa

tanggung jawab

2) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya menggunakan 1 (satu)

kantornya yang telah ditetapkannya sesuai dengan Undang-Undang.

49Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris,

(7)

Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum yang

berwenang membuat akta otentik dibebani dengan tanggung jawab atas perbuatannya

sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta terkait. Berdasarkan

wawancara dengan Notaris/PPAT Andre Yusak Pardamaian SH, MKn di Kota Medan

didapatkan data “bahwa Notaris tidak bertanggung jawab atas isi akta bila ada

penghadap yang menggunakan identitas diri palsu, karena Notaris hanya menuangkan

keterangan dan keinginan penghadap dalam akta. Tentang identitas diri atau KTP

penghadap yang palsu bukan kewenangan Notaris untuk menilai keaslian tanda

pengenal penghadap melainkan oknum yang mengeluarkan identitas diri /KTP

penghadap tersebut seperti Lurah, Camat dan Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil

atau pihak yang berwenang50”

Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT Alfina SH, di Kabupaten Aceh Besar

“Keterangan palsu atau dokumen palsu yang diberikan oleh para pihak adalah

menjadi tanggung jawab para pihak, dengan kata lain yang dapat dimintai

pertanggung jawaban dari Notaris adalah apabila penipuan atau tipu muslihat itu

bersumber dari Notaris sendiri”51.

Notaris pada saat membuat akta bertanggung jawab terhadap apa yang ada

dihadapannya dari melihat, mendengar, menerima dan menyesuaikan bukti-bukti

yang diserahkan penghadap kepadanya. Karena Notaris bertanggung jawab terhadap

50 Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT Andre Yusak Pardamaian SH, MKn, di Kota

Medan pada tanggal 21-23 Maret 2016

51Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT Alfina, SH, di Kabupaten Aceh Besar pada tanggal

(8)

tugas dan jabatannya yang tidak luput dari kesalahan baik itu secara Perdata maupun

secara Pidana. Meskipun demikian Notaris harus berhati-hati dalam menjalankan

tugasnya untuk mencegah terjadinya perbuatan melawan hukum yang akan

merugikan pihak yang beritikad baik dan Notaris sendiri.

2. Kedudukan Dan Fungsi Notaris Terhadap Akta Otentik Yang

Dikeluarkannya

Kedudukan dan fungsi Notaris dalam dunia usaha sangat startegis, karena

untuk membuat akta otentik bila tidak ada pejabat lain yang ditunjuk oleh

undang-undang, maka hanya Notaris yang berwenang membuat akta otentik. Menurut Pohan

(1996) bahwa52:

“Notaris Indonesia tergolong pada Notaris Latin. Menurut Blacks yang lain

adalah melaksanakan tugas melayani kebutuhan masyarakat dalam ruang

lingkup privat atau Perdata, dan karena Notaris adalah amaneunsis, hanya

mengkonstantir apa yang dikatakan Notarius In Roman Law adalah

Draughtsman, an amaneunsis yaitu orang yang mencatat apa yang dilakukan

oleh orang lain atau mengakui apa yang telah ditulis oleh orang lain. Ciri

Notaris Latin, orang atau pihak mana sikap dan kedudukan Notaris adalah

Netral dan Tegas.”

Notaris tidak boleh membuat akta kalau tidak diminta. Akta Notaris harus

ditulis dan dapat dibaca serta harus memenuhi ketentuan dan Undang-Undang yang

52Partomuan A. Pohan, Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan Dan Peluang,

(9)

berlaku. Bahkan untuk melindungi agar akta Notaris tidak mudah dipalsukan dalam

rangka untuk menjamin kepastian hukum, tersebar dalam beberapa Pasal

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris yaitu diantaranya dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal

56 yang berisikan peraturan-peraturan yang mengatur perihal bentuk dari akta

Notaris.

Pengertian Notaris menurut Sarman Hadi secara tegas diungkapkan bahwa53: “Notaris bukanlah pihak dalam akta yang dibuat dihadapannya, karena tidak

memihak. Notaris tidak mempunyai pihak, namun dapat memberikan jalan

dalam jalur hukum yang berlaku, agar maksud para pihak yang meminta bukti

tertulis akan terjadinya hubungan hukum diantara para pihak, dapat dibantu

melalui jalan hukum yang benar. Dengan demikian maksud para pihak

tercapai sesuai dengan kehendak para pihak, disinilah dituntut pengetahuan

hukum yang luas dari seorang Notaris untuk dapat meletakkan hak dan

kewajiban para pihak secara proporsional.”

Kesimpulannya, kedudukan dan fungsi Notaris berdasarkan sifat akta yang

dibuatnya adalah :

a. Memberikan bukti otentik adanya keterangan yang telah diberikan para

pihak, kepada Notaris dan dituangkan dalam akta-akta tersebut. Didalam

partij akta ini Notaris memastikan bahwa benar para pihak telah

53Koesbiono Sarman Hadi,Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang,

(10)

memberikan keterangan-keterangan tersebut yang telah dituangkan dalam

akta yang bersangkutan.

b. Memberikan bukti otentik, yaitu bukan tentang apa yang diterangkan

kepada Notaris, namun bukti otentik tentang perbuatan atau kenyataan

yang terjadi dihadapan Notaris sewaktu pembuatan akta dilakukan.

B. Tinjauan Umum Tentang Akta Perjanjian Kredit

1. Peranan Perjanjian Kredit Dengan Akta Notaris

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 Kitab

Undang-Undang HukumPerdata para pihak dalam membuat kontrak bebas untuk membuat

suatu perjanjian, apapun isi dan bagaimana bentuknya. Pasal 1338 Kitab

Undang-Undang Hukum perdata berbunyi :

“Semua persetujuan yang dibuat dengan Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan ditentukan oleh Undang-Undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Meskipun demikian dengan adanya kebebasan berkontrak tetap tidak boleh

melanggar syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.

Defenisi akta Notaris dimuat dalam Pasal 1 angka 7 UUJN yang mengatakan

bahwa :

(11)

Dan tersirat dalam Pasal 58 ayat 2 Undang-Undang jabatan Notaris disebutkan

bahwa Notaris wajib membuat daftar akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh

atau dihadapan notaris. Menurut Sudikno Mertokusumo54, akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tandatangan yang menurut peristiwa menjadi dasar suatu hak

atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.

Akta Notaris lahir dan tercipta karena :

1. Atas dasar permintaan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan agar

perbuatan hukum mereka itu dinyatakan atau dituangkan dalam bentuk

akta otentik

2. Atas dasar Undang-Undang yang menentukan agar untuk perbuatan

hukum tertentu mutlak harus dibuat dalam bentuk akta otentik dengan

diancam kebatalan jika tidak, misalnya dalam mendirikan suatu Perseroan

Terbatas, harus dengan akta otentik55.

Ada 2 (dua) macam golongan akta Notaris yakni akta yang dibuat oleh (door)

Notaris dalam praktek Notaris disebutAkta Relaasatau Akta Berita Acara yang berisi

berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan

para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan

kedalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris,

dalam praktek Notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan,

54

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, liberty, yogyakarta, 1981 hal.149

(12)

pernyataan para pihak yang diberikan atau diceritakan dihadapan Notaris. Para pihak

berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan kedalam bentuk akta Notaris.56 Akta otentik merupkan alat bukti bagi para pihak dalam suatu perjanjian yang

berisi hak dan kewajiban para pihak tersebut berkaitan dengan hal-hal yang telah

disepakati. Oleh karena itu akta otentik berguna bagi para pihak untuk memastikan hak

dan kewajiban masing-masing demi kepastian hukum, ketertiban, dan perlindungan

hukum bagi para pihak yang berkepentingan dan sekaligus juga bagi masyarakat

secara keseluruhan. Keotentikan akta tersebut tetap bertahan walaupun Notaris yang

membuatnya meninggal dunia. Tandatangan Notaris yang bersangkutan tetap memiliki

kekuatan meskipun ia tidak dapat lagi menyampaikan keterangan mengenai

kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta itu.57

Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka

membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi,

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah mengatur tentang syarat

sahnya suatu perjanjian yakni syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan

subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian yang terdiri dari kata sepakat dan

cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu

syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang

dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak yang terdiri dari suatu hal tertentu dan

sebab yang tidak dilarang.58

56G.H.S.L.Tobing, Op.cit, hal.51

57Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung 2009, hal.43

58Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu

(13)

Menurut A. Pitlo, akta merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk

dipakai sebagai alat bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa

surat itu dibuat.59Dalam menilai sebuah akta Notaris harus didasarkan pada 3 (tiga) nilai pembuktian, yaitu :60

a. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)

Kemampuan akta lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu

sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta

publica probant sese ipsa). Artinya kata itu sendiri mempunyai kekuatan

untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik karena

kehadirannya, kelahirannya sesuai atau ditentukan dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku. Penyangkalan atau pengingkaran

bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik , penilaian

pembuktiannya harus didasarkan pada syarat-syarat akta Notaris sebagai

akta otentik. Dimana pembuktiannya harus melalui gugatan ke Pengadilan

dan Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang

menjadi objek gugatan bukan akta Notaris.

b. Formal (Formale Bewijskracht)

Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab yang lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 KUHPerdata). (Habib Adjie, hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), (Bandung : PT. Refika Aditama,2009),hal.82).

59A. Pitlo, Pembuktian Dan Daluwarsa(Alih Bahasa M. Isa Arief), Intermasa, Jakarta 1986,

hal.52.

(14)

Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta

tersebut dalam akta benar-benar dilakukan oleh Notaris atau diterangkan

oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta

sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuktian akta.

Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari,

tanggal, bulan, tahun, pukul atau waktu menghadap dan identitas dari

pihak yang menghadap, paraf dan tandatangan para pihak/ penghadap,

saksi dan Notaris. Demikian juga tempat dimana akta itu dibuat, serta

membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris pada

akta pejabat/ berita acara dan mencatatkan keterangan atau peryataan para

pihak/penghadap pada akta pihak.

c. Materiil (Materiele Bewijskracht)

Akta Notaris memberikan kepastian tentang materi suatu akta bahwa apa

yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap

pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku

untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Jika akan

membuktikan aspek materil dalam akta, yang bersangkutan harus dapat

membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang

sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak yang telah benar

berkata (dihadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus

dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materiil dari akta

(15)

Arti penting peranan akta otentik dalam pemberian kredit di bank karena

sebagai jaminan hukum pembuktian yang kuat dan legal kepada para pihak yang

membuat perjanjian, yang tidak dipunyai oleh akta dibawah tangan sedangkan akta

dibawah tangan mempunyai kelemahan yang sangat nyata yaitu orang yang tanda

tangannya tertera dalam akta itu dapat mengingkari keaslian tandatangan tersebut.

Kuantitas Notaris sangatlah tinggi, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan

terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap pembuatan akta. Setiap perbuatan

melanggar hukum tentunya haruslah mengalami proses penyelidikan, penyidikan dan

persidangan serta proses hukum lainnya, baik secara Perdata maupun Pidana.

2. Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Kredit Yang Dilakukan oleh Bank Dan Kaitannya Dengan Pemalsuan Identitas Diri Debitor

Secara etimologis istilah “kredit” berasal dari Bahasa latin “cedere”, berarti

kepercayaan (Belanda :vertrouwen, Inggris :believe, trust or convidence). Dalam hal

ini misalnya, seorang penerima kredit atau debitor yang memperoleh fasilitas kredit

dari bank adalah tentu saja orang yang telah memperoleh kepercayaan dari bank, yang

mana hal ini merupakan kreditor pada hubungan perkreditan dengan debitor (nasabah

penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitor pada waktu dan syarat-syarat

yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit yang

bersangkutan.

Secara umum kredit dapat diartikan sebagai “the ability to borrow on the opinion

conceived by the lender that he will be repaid”61. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran

61 Pendapat Buvier’s 1991, Law Dictionary, dalam Buku Mariam Darus Badrulzaman

(16)

pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang

diizinkan oleh bank dan atau badan lain. Selain itu pengertian kredit juga tertuang dalam

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang

menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam

meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan peminjam untuk

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, sehingga

dapatlah dijelaskan bahwa kredit atau pembiayaan berupa uang atau tagihan yang

nilainya diukur dengan uang, misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian

rumah atau mobil.

Dalam pelaksanaan kredit, kreditor harus memperhatikan asas-asas

perkreditan yang benar, seperti :

1. Prinsip kehati-hatian dalam perkereditan

2. Organisasi dan manajemen perkreditan

3. Kebijaksanaan persetujuan pemberian kredit

4. Dokumentasi dan administrasi kredit

5. Pengawasan kredit

6. Penyelesaian kredit bermasalah

Menurut Hermansyah untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah

dikemudian hari, penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu

(17)

merupakan pedoman dalam menjalankan prinsip kehati-hatian dalam perkreditan,

yang terdiri dari62:

1. Character (watak), dilihat dari data tentang kepribadian calon debitor seperti

sifat-sifat pribadi, keadaan dan latar belakang keluarganya untuk mengetahui

apakah nantinya calon debitor ini jujur berusaha untuk memenuhi

kewajibannya.

2. Capacity (kemampuan), dilihat dari pengalamannya mengelola usaha seperti

pernah mengalami masa sulit apa tidak dan bagaimana cara mengatasi

kesulitan gunanya untuk mengukur kemampuan calon debitor dalam

mengembalikan utangnya.

3. Capital (modal), dilihat dari kondisi kekayaan yang dimiliki oleh calon

debitor.

4. Condition (kondisi ekonomi), dilihat dari situasi dan keadaan ekonomi calon

debitor.

5. Colateral (jaminan), dilihat dari jaminan yang mungkin bisa disita apabila

ternyata calon debitor benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya.

Kredit yang diberikan oleh bank mempunyai resiko berupa kegagalan dan

kemacetan dalam penulisannya “In good times both borrowers and renders are over

confident about inversment project and their ability to repay and the recoupt thier

loans and the corresponding feesand interest rates”63yang dalam Bahasa Indonesia

(18)

diterjemahkan menjadi “pada kondisi baik, baik peminjam maupun pemberi pinjaman

yang terlalu percaya tentang proyek-proyek investasi dan kemampuan mereka untuk

membayar dan atau untuk menutup pinjaman mereka dan biaya yang sesuai dengan

tingkat suku bunga.”

Kemudian adanya kesepakatan antara bank (kreditor) dengan nasabah

penerima kredit (debitor), bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah

dibuat. Mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu

serta bunga yang telah ditetapkan dan masalah sanksi apabila seorang debitor ingkar

janji terhadap perjanjian kredit yang telah dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah

pihak.

Mr. J.A Levy seorang ahli hukum kebangsaan Inggris yang dikutip Edy Putra

Tje’ Aman merumuskan arti hukum dari kredit adalah menyerahkan secara sukarela

sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit, debitor berhak

mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban

mengembalikan sejumlah pinjaman itu dibelakang hari.64

Kemudian M. Jakile yang dikutip Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan

4 (empat) element penting dari pengertian kredit sebagai suatu ukuran kemampuan

dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari

janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu, yang terdiri dari :

64Edy Putra Tje’Aman, 1989, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta,

(19)

1. Tidak seperti hibah, transaksi kredit mensyaratkan peminjaman dan

pemberian kredit untuk saling tukar menukar sesuatu yang bernilai ekonomis

2. Tidak seperti pembelian secara kontan, transaksi kredit mensyaratkan

dibelakang hari

3. Tidak seperti hibah maupun pembelian secara kontan, transaksi kredit akan

terjadi sampai pemberi kredit bersedia mengambil resiko bahwa pinjamannya

mungkin tidak akan dibayar

4. Sebegitu jauh ia menanggung resiko, bila kreditor menaruh kepercayaan

terhadap debitor. Resiko dapat dikurangi dengan meminta kepada debitor

untuk menjaminkan pinjaman yang diinginkan meskipun sama sekali tidak

dapat dicegah semua resiko kredit.65

Perjanjian berdasarkan defenisi yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH

Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sebenarnya batasan dari Pasal 1313 KUH

Perdata tentang perjanjian tersebut, menurut para Sarjana Hukum perdata kurang

lengkap dan terlalu luas, sehingga banyak mengandung kelemahan-kelemahan,

adapun kelemahan-kelemahan tersebut dapat diperinci :

1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

Dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Jadi, jelas nampak tanpa adanya

(20)

konsensus atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat

perjanjian, karena yang aktif hanya dari satu pihak saja.

2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa konsensus/ kesepakatan

Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan :

a. Melaksanakan tugas tanpa kuasa

b. Perbuatan melawan hukum

Berdasarkan kedua hal tersebut diatas, merupakan tindakan/ perbuatan

yang tidak mengandung adanya konsensus, juga perbuatan itu sendiri

pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada

dalam rumusan tersebut adalah perbuatan hukum.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas

Untuk pengertian perjanjian ini, dapat diartikan pengertian perjanjian yang

mencakup melangsungkan perkawinan, janji kawin. Padahal perkawinan

sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang menyangkut hubungan

lahir batin. Sedang yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah

hubungan antara kreditor dan debitor, dimana hubungan tersebut terletak

dalam lapangan harta kekayaan saja selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud

perjanjian kebendaan saja bukan perjanjian personal.

4. Tanpa menyebut tujuan

Dalam rumusan Pasal ini, tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan

perjanjian pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya

(21)

Atas dasar alasan-alasan tersebut, maka perlu dirumuskan kembali apa yang

dimaksud dengan perjanjian, yaitu “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau

lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam harta kekayaan”.

R. Subekti yang menyatakan, bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa

dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji

untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.66 Sedangkan Abdul Kadir Muhammad merumuskan defenisi Pasal 1313 KUH

Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan

dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal

dalam lapangan harta kekayaan.67

1) Asas-Asas Dalam Perjanjian

Dari berbagai asas hukum perjanjian, akan dikemukakan beberapa asas

penting yang berkaitan erat dengan pokok bahasan. Beberapa asas yang dimaksudkan

antara lain:68

a. Asas kebebasan berkontrak

Berbeda halnya dengan buku III KUH Perdata yang menganut suatu sistem

tertutup, sebaliknya Buku II KUH Perdata menganut sistem terbuka,

maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa

66 R. Subekti,Hukum Perjanjian, 1987, Intermasa, Jakarta, hal.1

67 Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perikatan, 1992, Bandung:Citra Aditya Bakti, hal. 78 68 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kesatu,

(22)

apa saja, baik bentuknya, isi dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Asas ini

dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang

bagi mereka yang membuatnya.”

b. Asas konsensualisme

Adalah suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat

perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian

yang bersifat formal.69 c. Asas itikad baik

Bahwa orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.

Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran

seseorang yaitu apa yang terletak pada seorang pada waktu diadakan

perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian objektif adalah

bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hukum harus didasarkan pada norma

kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam

masyarakat.

d. Asas Pacta Sun Servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat suatu perjanjian dan diatur dalam Pasal

1338 ayat (1) dan (2) KUH Perdata. Asas tersebut dapat disimpulkan dari kata

“...berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”, dengan

69 A. Qiram Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta

(23)

adanya asas Pacta Sun Servanda berarti para pihak harus mentaati perjanjian

yang telah mereka buat seperti halnya mentaati Undang-Undang, maksudnya

yaitu apabila diantara para pihak tersebut melanggar perjanjian yang dibuat,

maka akan ada sanksi hukumnya sebagaimana ia melanggar Undang-Undang.

Oleh karena itu akibat dari asas Pacta Sun Servanda adalah perjanjian itu tidak

dapat ditarik kembali tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini disebutkan dalam

Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yaitu “suatu perjanjian tidak dapat ditarik

kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan

yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu”.

e. Asas berlakunya suatu perjanjian

Pada dasarnya semua perjanjian itu berlaku bagi mereka yang membuatnya

tak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga kecuali yang telah diatur dalam

Undang-Undang, misalnya perjanjian untuk pihak ketiga.70Asas berlakunya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi “pada

umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau

meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”.

2) Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Agar perjanjian itu sah dan mempunyai kekuatan hukum, maka terlebih

dahulu harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu perjanjian yang ditentukan

Undang-Undang. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat yang

ada dalam Undang-Undang diakui oleh hukum, sebaliknya perjanjian yang tidak

(24)

memenuhi syarat tak diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak yang

bersangkutan. Karena itu selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang

mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat-syarat perjanjian itu berlaku diantara

mereka. Apabila suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka Hakim

akan membatalkan atau perjanjian itu batal.

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian para

pihak harus memenuhi syarat-syarat :71

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Ad.1) Kesepakatan atau persetujuan kehendak para pihak

Kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat mengenai

hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak

yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang

sama secara timbal balik. Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus

mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan yang bebas

untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.pernyataan dapat

dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Kemauan yang bebas sebagai syarat

71 R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab undang-Undang Hukum Perdata, 1989,

(25)

pertama untuk suatu perjanjian yang sah, dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah

terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog).

Ad.2) Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Artinya

orang yang membuat perjanjian akan terikat oleh perjanjian itu sehingga harus

mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari tanggung jawab yang dipikul atas

perbuatannya. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena orang yang membuat

perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah

sungguh-sungguh berhak berbuat terhadap harta kekayaannya.

Ad.3) Suatu hal tertentu

Bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang

diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu

perselisihan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian,

prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya

dapat ditentukan.

Ad.4) Suatu sebab atau causa yang halal

Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud/

alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk

melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang

membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku,

(26)

mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertetangan

dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Mengenai batalnya perjanjian yaitu

suatu perjanjian dibuat dengan tidak memenuhi syarat Pasal 1320 KUH Perdata, bias

berakibat kepada batalnya perjanjian.

Pembatalan biasa dibedakan kedalam 2 (dua) terminology yang memiliki

konsekuensi yuridis, yaitu :

a. Null and void, dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak

pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian itu batal

demi hukum, dari semula tidak pernah ada dilahirkan atau suatu perjanjian

dan tidak pernah ada suatu perikatan

b. Voidable, bila salah satu syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjiannya

bukannya batal demi hukum, tetapi salah satu pihak dapat memintakan

pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak,

selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak

meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang

memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Pasal 1266 KUH Perdata mengenai “syarat batal dianggap selalu dicantumkan

dalam persetujuan yang timbal balik, andai kata salah satu pihak tidak memenuhi

kewajibannya”.

Syarat batal merupakan suatu batasan, dimana jika salah satu pihak tidak

melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian (wanprestasi), maka pihak yang lain

(27)

pihak yang wanprestasi). Klausul semacam ini dianggap selalu ada dalam setiap

perjanjian, sehingga meskipun suatu perjanjian tidak menentukannya dalam bunyi

pasal-pasalnya, prinsip ini tetap berlaku. Meskipun syarat batal dianggap selalu

berlaku pada semua perjanjian, namun batalnya perjanjian itu tidak dapat terjadi

begitu saja melainkan harus dimintakan pembatalannya kepada pengadilan. Pihak

yang menuduh pihak lainnya wanprestasi, harus mengajukan pembatalan itu ke

Pengadilan. Tanpa adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa salah satu

pihak telah wanprestasi dan karenanya perjanjian dibatalkan, maka bias dikatakan

tidak ada perjanjian yang batal.

3) Pengertian Perjanjian Kredit

Atas suatu pelepasan kredit oleh bank kepada nasabahnya, pertama-tama akan

selalu dimulai dengan permohonan kredit oleh nasabah yang bersangkutan. Apabila

bank menganggap permohonan tersebut layak untuk diberikan, maka untuk dapat

terlaksana pelepasan kredit tersebut, terlebih dahulu haruslah dengan diadakannya

suatu persetujuan atau kesepakatan dalam bentuk perjanjian kredit atau pengakuan

hutang. Salah satu dasar yang cukup jelas bagi bank mengenai keharusan adanya

suatu perjanjian kredit, selain berdasarkan Pasal 1 angka 11 juga berdasarkan Pasal 1

angka 12 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dimana disebutkan

bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam

(28)

Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam

didalam defenisi atau pengertian kredit sebagaimana Pasal 1 angka 12 tersebut diatas,

dapat mempunyai beberapa maksud sebagai berikut :

1. Bahwa pembentuk Undang-Undang bermaksud untuk menegaskan bahwa

hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan

nasabah debitor yang berbentuk pinjam-meminjam. Dengan demikian bagi

hubungan kredit bank berlaku Buku ke III (tentang Perikatan) pada

umumnya dan Bab Ke tigabelas (tentang pinjam-meminjam) KUH

Perdata.

2. Bahwa pembentuk Undang-Undang bermaksud untuk mengharuskan

hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Kalau

semata-mata hanya dari bunyi ketentuan Pasal 1 angka 12

Undang-Undang Perbankan 1998 tersebut, maka sulit kiranya untuk menafsirkan

bahwa ketentuan tersebut memang menghendaki agar pemberian kredit

bank harus diberikan berdasarkan perjanjian tertulis.

Namun ketentuan Undang-Undang tersebut harus dikaitkan dengan Instruksi

yang ditujukan kepada kalangan perbankan yang menyatakan bahwa, untuk

pemberian kredit, Bank wajib menggunakan akad perjanjian, Instruksi ini terdapat

didalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/E/In/1996, tanggal 3 Oktober 1996.

Surat Edaran Bank Indonesia Unit 1 Nomor 2/649/UPK/Pem.b, tanggal 20 Oktober

1996 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 10/E/In/1996, tanggal 6

(29)

Menurut Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa perjanjian kredit adalah

suatu hubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, satu pihak

berjanji ataupun dianggap untuk melakukan sesuatu hal yang sedang pihak lain

berhak menuntut pelaksanaan janji itu.72

Sedangkan menurut Mgs. Edy Putra The’Aman, tenggang waktu antara

pemberian dan penerimaan kembali prestasi merupakan sesuatu hal yang abstrak,

yang sukar diraba. Karena masa antara pemberian dan penerimaan prestasi tersebut

dapat berjalan untuk beberapa bulan, tapi dapat juga berjalan beberapa tahun.73 Dimana banyak ditemui dilapangan debitor yang tidak menepati waktu yang

diperjanjikan mengembalikan pinjamnnya dengan berbagai alasan sehingga terjadi

kredit macet. Sehingga dalam perumusan pengertian kredit ditegaskan kewajiban

debitor untuk melunasi hutangnya sesuai dengan jangka waktu dan disertai dengan

kewajibannya yang lain yaitu berupa bunga, imbalan atau pembagian hasil

keuntungan.

Menurut Windscheid yang dikutip Mariam Darus Badrulzaman dalam literatur

mengenai sifat perjanjian kredit mengemukakan bahwa perjanjian kredit adalah

perjanjian dengan syarat tangguh (condition prestative), yang pemenuhannya

bergantung pada peminjam yakni kalau debitor menerima dan mengambil pinjaman

itu (Pasal 1253 KUH Perdata).74

72Prodjodikoro Wirjono,Asas-asas Hukum Perbankan, 1982 Bandung : Sumur, hal.9. 73Gatot Supramono,Perbankan Dan masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, 1995 Jakarta :

Djambatan, hal.29.

(30)

Menurut Goudeket yang dikutip Mariam Darus Badrulzaman perjanjian kredit

yang didalamnya terdapat perjanjian pinjam uang adalah perjanjian yang bersofat

konsensual (factum de contanendo) dan obligatoir, dimana perjanjian ini mempunyai

kekuatan mengikat sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata.75Dan Goudeket menolak sifat riil perjanjian pinjam uang karena menurutnya apabila seseorang mengikatkan

diri untuk menyerahkan kepada pihak lain, maka yang diperlukan adalah suatu

perjanjian untuk mencapai tujuan perjanjian itu dan menyerahkan uang adalah

pelaksanaannya dari perjanjian tersebut dan bukan merupakan perjanjian tersendiri,

terlepas dari perjanjian kredit dan pada saat perjanjian itu diserahkan maka berlakulah

ketentuan-ketentuan Bab XIII Buku III KUH Perdata.

Perjanjian kredit adalah penawaran yang mengikat kreditor untuk mengadakan

suatu perjanjian yang timbal balik (een bindende offerte tot een wederkerige

overeenkomst). Sifat timbal balik perjanjian ini terjadi pada saat debitor menyatakan

kesediaanya menerima pinjaman itu, sebagaimana termuat pada Pasal 8

Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan :

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syaria’ah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah/ Debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Setiap hal yang diperjanjikan tertuang pada sebuah Akta Perjanjian Kredit,

baik yang dibuat dalam bentuk akta otentik maupun dibawah tangan yang akan

(31)

ditandatangani antara para pihak, baik pihak kreditor maupun pihak debitor sebelum

pencairan dana dilakukan atau dilaksanakan.

Dalam prakteknya dilapangan sering sekali dijumpai bahwa debitor sering

mengalami kredit macet, dimana seorang debitor tidak mampu membayar kredit bank

tepat pada waktunya. Kredit macet tersebut terjadi bukan karena analisis bank yang

tidak baik, akan tetapi akibat perubahan perekonomian dalam suatu dunia usaha yang

mengalami kelesuan yang mengakibatkan usaha debitor jatuh, sehingga pada

akhirnya terjadi kredit macet.76Keadaan demikian dalam hukum perdata dinamakan wanprestasi (ingkar janji). Suatu keadaan dapat digolongkan wanprestasi apabila

memiliki kriteria sebagai berikut :77

1. Debitor tidak melaksanakan sama sekali apa yang telah diperjanjikan

2. Debitor melaksankan sebagian apa yang telah dijanjikan

3. Debitor terlambat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan

4. Debitor menyerahkan sesuatu yang tidak diperjanjikan

5. Debitor melakukan perbuatan yang dilarang oleh perjanjian yang telah

dibuatnya atau menyalahgunakan isi perjanjian

Apabila dihubungkan dengan kredit macet, maka ada 3 (tiga) macam yang

tergolong dalam wanprestasi yaitu :

1. Debitor sama sekali tidak membayar angsuran kredit

76Hasil wawancara dengan ibu Notaris/PPAT Ika Susilawaty, SH, Mkn, di Kabupaten Aceh

Besar, pada tanggal 04 – 07 Maret 2016.

77 Gatot Suparmono, Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit, Media Ilmu, Jakarta,2006,

(32)

2. Debitor membayar sebagian angsuran kredit (beserta bunganya), akan

tetapi yang digolongkan dalam kredit macet dalam hal ini adalah jika

debitor kurang membayar satu kali angsuran

3. Debitor membayar lunas kredit setelah jangka waktu perjanjian lewat

waktu

Wanprestasi diatur didalam Pasal 1243 KUH Perdata yang menjelaskan

unsur-unsur dari wanprestasi (cidera janji) yaitu :

a. Lalai memenuhi perjanjian

b. Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan

c. Tidak berbuat sesuai yang dijanjikan dalam tenggang waktu yang

ditentukan

Pengertian wanprestasi diperjelas dalam Pasal 1763 KUH Perdata yang

menyebutkan wanprestasi adalah tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan

jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan.78

Wanprestasi atau ingkar janji didalam perjanjian kredit lebih dikenal dengan

sebutanevent of default. Aneka sebab dapat menjadikanevent of defaultadalah tidak

melakukan pembayaran kembali pokok pinjaman, debitor melanggar salah satu Pasal

dalam perjanjian kredit dan sebagainya. Dalam suatu perjanjian yang telah disepakati

oleh para pihak yang terkait, akan melahirkan suatu hak dan kewajiban dari para

pihak tersebut. Kewajiban dari suatu hak akan menjadi hak bagi pihak lainnya.

Kewajiban yang timbul dalam suatu perjanjian harus dipenuhi oleh pihak yang

(33)

bersangkutan, apabila kewajiban itu tidak sesuai dengan isi peranjian maka dapat

dikatakan telah melakukan wanprestasi.

Ada 2 (dua) kemungkinan kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yaitu :

1. Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian

2. Karena keadaan memaksa (force Majeure) yakni keadaan diluar

kemampuan debitor

Karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh pihak yang wajib memenuhi

prestasinya, maka kemungkinan hal ini akan dapat menimbulkan kerugian bagi pihak

yang berhak menerima prestasi tersebut. Sebagai akibatnya, maka pihak yang karena

perbuatannya atau kealaiannya yang dapat menimbulkan kerugian tersebut

kewajibannya untuk membayar ganti kerugian. Untuk mengetahui sejak saat kapan

debitor itu dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perjanjian itu

dipandang perlu untuk memperingatkan debitor guna memenuhi prestasinya itu.

Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi itu ditentukan

bahwa debitor yang dianggap lalai dengan lewat waktu yang ditentukan. Cara

memperingatkan debitor supaya ia memenuhi prestasinya seperti yang dijanjikannya

perlu diperingatkan (somasi) secara tertulis, berupa surat tertulis dari kreditor kepada

debitor yang wanprestasi. Sebagaimana diketahui bahwa seorang debitor dapat

diminta pertanggung jawabannya untuk memenuhi prestasi yang telah dijanjikannya

yaitu untuk membayar hutang-hutangnya. Dalam hal ini kreditor dapat memilih

(34)

a. Kreditor dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan itu

sudah terlambat

b. Kreditor dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang

dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau

dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya

c. Kreditor dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan

penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya

pelaksanaan perjanjian

d. Dalam hal suatu perjanjian, yang meletakkan kewajiban timbal balik,

kelalaian suatu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk

meminta kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan

permintaan penggantian kerugian

Dalam akta otentik memberikan kepastian mengenai penanggalan dari pada

aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut akta yang bersangkutan pukul,

tanggal, bulan dan tahun pada waktu akta tersebut dibuat. Mengenai akta perjanjian

kredit yang dibuat dengan akta otentik, terdapat beberapa hal yang perlu diketahui :79 a. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa

yang tertulis didalam akta

b. Membuktikan antara para pihak bahwa peristiwa yang disebutkan dalam

akta sungguh-sungguh terjadi

79Budi Untung, Perjanjian Kredit Dalam Bentuk Akta Notaris, Pradnya Pramita, Bandung,

(35)

c. Membuktikan tidak hanya para pihak ketiga juga telah menghadap

dimuka Notaris dan menerangkan apa yang tertulis didalam akta tersebut

Secara umum isi perjanjian kredit yang dibuat oleh Notaris, berdasarkan order

surat persetujuan kredit dari bank sebagai berikut :

1. Pihak pemberi kredit (bank)

2. Pihak penerima kredit (debitor)

3. Tujuan pemberian kredit, tergantung pada jenis proyek/bisnis debitor

4. Besarnya nilai kredit yang diberikan

5. Tingkat suku bunga kredit pertahun

6. Biaya-biaya yang harus dibayar oleh debitor seperti : appraisal fee,

commitment fee, supervision fee, provisi kredit, biaya administrasi, biaya

akta Notaris

7. Jangka waktu pemberian kredit dan jatuh tempo fasilitas kredit

8. Jadwal pembayaran angsuran pokok kredit dan bunga yang dikenakan,

dinyatakan secara terperinci dalam bentuk lampiran jadwal angsuran

kredit secara bulanan

9. Jaminan yang diberikan oleh debitor atas fasilitas kredit, meliputi jenis

jaminan, pemiliknya, jumlah dan nilainya serta cara pengikatnya secara

hukum yang dirinci dalam perjanjian kredit dan dituangkan dalam bentuk

perjanjian jaminan kredit yang dibuat terpisah dari perjanjian pokoknya

(36)

11. Kewajiban-kewajiban yang harus di penuhi debitor selama kredit tersebut

berlangsung (belum lunas)

12. Menyampaikan laporan produksi, laporan penjualan, laporan keuangan,

laporan hutang piutang debitor

13. Kewajiban mengasuransikan seluruh aktiva (kekayaan yang telah dibiayai

oleh bank) berikut asuransi atas jaminan fasilitas kredit

14. Hak-hak yang dimiliki oleh bank sebelum kredit lunas, antara lain

memeriksa sewaktu-waktu fisik keadaan proyek yang dibiayai bank,

memeriksa pembukuan dan laporan keuangan debitor

15. Dalam hal terjadi penambahan dan atau perubahan atas fasilitas kredit

yang diterima oleh debitor maka biasanya dibuatkan perjanjian

tambahan/pembaharuan akta (novasi akta)

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok. Perjanjian kredit (akad kredit)

dipersiapkan oleh seorang Notaris yang ditunjuk oleh bank atau dipilih/ ditentukan

oleh calon debitor (atas kesepakatan bersama antara bank dan calon debitornya).

Bank akan mengirim ahli hukumnya (lawyer atau legal officer) untuk mendampingi

account officer/ wira kredit dalam membahas berbagai ketentuan yang harus dimuat

dalam perjanjian kredit. Ketentuan-ketentuan tersebut diambil dari hasil analisa kredit

yang dituangkan dalam Surat Persetujuan Kredit (SPK) termasuk revisi atau

(37)

BAB IV

SANKSI HUKUM DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NOTARIS AKIBAT ADANYA PEMALSUAN IDENTITAS DIRI DEBITOR TERHADAP

AKTA OTENTIK YANG DIBUAT OLEH ATAU DIHADAPANNYA

A. Sanksi Hukum Notaris Yang Melanggar Pasal 16 Angka (1) Huruf a UUJN Akibat Adanya Pemalsuan Identitas Diri Debitor Dalam Akta Perjanjian Kredit Pada Bank

1. Tugas Dan Kewajiban Notaris Sebagai Pejabat Umum

Kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum, dalam arti kewenangan yang ada

pada Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, sepanjang

kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lainnya maka

kewenangan tersebut menjadi kewenangan Notaris.80Istilah Notaris berasal dari bahasa Latin, yaitu Notarius, yang artinya adalah orang yang membuat catatan.81Namun ada juga yang mengatakan bahwa istilahNotariusitu bearasal dari kataNota Literaria, yang

artinya tanda (letter mark atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan.82

lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya

Verenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia.83Pada tanggal 27 Agustus 1620, yaitu beberapa bulan setelah dijadikannya Jacatra sebagai ibukota 84 ,

80

Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia, (Tafsir Tematik terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), op,cit., hal.40.

81R. Soesanto,Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris (Sementara), Pradnya

Pramita, Jakarta, 1982, hal.34.

82R. Soegondo Notodisoerjo,Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, CV. Rajawali,

Jakarta, 1982, hal. 13.

83G.H.S.L. Tobing,op,cit., hal.15

(38)

mengangkat Melchoir kerchem, sebagai sekretaris College van Schepenen (Urusan

Perkapalan Kota) di Jacatra.

Produk penting dari peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan dalam

era reformasi adalah Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang Peraturan

Jabatan Notaris (PJN) yang telah berlaku sejak tanggal diundangkannya yakni tanggal

6 Oktober 2004. Pembentukan PJN ini disebabkan karena Peraturan Jabatan Notaris

1860 Nomor 3 tentang Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia yang mengatur

mengenai Jabatan Notaris tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan

kebutuhan masyarakat sekarang ini. Adapun ketentuan dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan

perubahan melalui pembentukan Undang tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris sehingga

dikeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Undang-Undang Jabatan

Notaris (UUJN).85

Pada pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah “Pejabat

Umum yang berwenang membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-Undang

lainnya.” Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca

sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat publik yang berwenang untuk

membuat akta otentik (Pasal 15 angka (1) UUJN) dan kewenangan lainnya

(39)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 angka (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani

kepentingan masyarakat. Produk yang dihasilkan Notaris sebagai Pejabat Publik ialah

akta yang memiliki jaminan hukum dan nilai pembuktian yang sempurna bagi para

pihak dan siapapun, sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya, bahwa akta tersebut tidak

sah dengan menggunakan asas praduga sah secara terbatas. Namun Notaris sebagai

Pejabat Publik mempunyai batasan pertanggung jawaban, yaitu sampai yang

bersangkutan masih mempunyai kewenangan sebagai Notaris, maka ketika seorang

Notaris pensiun atau berhenti dengan alasan apapun sudah tidak mempunyai

pertanggung jawaban lagi.86

Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan

wewenang Notaris, Menurut Wawan Setiawan, Pejabat Umum adalah organ negara

yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebahagian

dari kekuasaan negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang

hukum perdata.87Soegondo Notodisoerjo mengatakan bahwa :

“Pejabat Umum adalah seorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan (gezag), dari pemerintah. Dalam jabatannya tersimpul suatu sifat dan ciri khas yang membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat.88”

86

Habib Adjie,op.,cit, hal.51.

87Wawan Setiawan,Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum Serta PPAT Dibandingkan

Dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut Sistem Hukum Nasional, Pengurus Pusat Pejabat Pembuat Akta Tanah, jakarta, 2 Juli 2001, hal.8.

(40)

Pejabat yang menjalankan sebahagian kekuasaan negara yang bersifat

mengikuti publiekrechtelijk disebut Pejabat Umum dan dalam menjalankan

jabatannya Pejabat Umum tersebut mempunyai ciri khusus yaitu :

a. Suatu kedudukan yang mandiri (anafhankelijkheid-independency)

b. Tidak memihak (onpartijdigheid-importially) guna menjamin keabsahan

dari akta otentik tersebut baik didalam hal kekuatan pembuktian lahiriah,

kekuatan pembuktian formal dan kekuatan pembuktian material.

Dalam menjalankan jabatannya Notaris berada dalam kedudukan yang netral

dan tidak memihak artinya Notaris berada diluar para pihak yang melakukan

hubungan hukum tersebut dan bukan sebagai salah satu pihak dalam hubungan

hukum itu. Notaris menjalankan jabatannya dalam posisi netral diantara para

penghadap yang meminta jasanya, untuk menjamin kenetralan tersebut, maka Notaris

harus bersikap mandiri dan tidak memihak serta tidak terpengaruh terhadap keinginan

pihak-pihak tertentu, terutama jika keinginan tersebut melanggar ketentuan hukum

yang berlaku atau merugikan pihak lain.

Notaris dalam menjalankan tugas kewenangannya selaku Pejabat Umum

hanyalah merekam, mengkonstantir atau marelateer secara tertulis dan otentik dari

perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan, Notaris tidak berada didalamnya,

artinya yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang membuat serta

yang terkait dalam dan oleh isi perjanjian, adalah mereka pihak-pihak yang

berkepentingan dalam hal terjadinya pembuatan akta Notaris atau akta otentik yang

(41)

1) Tugas/ Kewenangan Notaris

Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan

kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

mengatur jabatan yang tersebut. Wewenang Notaris memiliki batasan sebagaimana

diatur dalam perundang-undangan yang mengatur jabatan pejabat yang bersangkutan.

Setiap perbuatan Pemerintah disyaratkan harus bertumpu pada kewenangan

yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah seorang Pejabat ataupun Badan Tata

Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena

itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap Pejabat ataupun bagi setiap

Badan.89

Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yakni atribusi, delegasi

dan mandat.90Kewenangan yang diperoleh dengan cara atribusi, apabila terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan

perundang-undangan dan perundang-undanganlah yang menciptakan suatu wewenang

pemerintahan yang baru. Kewenangan secara delegasi merupakan pemindahan/

pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan

atau aturan hukum. Kewenangan mandat sebenarnya bukan pengalihan atau

pemindahan wewenang tapi karena yang berkompeten berhalangan.

89 Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing,

Malang,2004,hal.77.

90Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the

(42)

Berdasarkan UUJN tersebut ternyata Notaris sebagai Pejabat Umum

memperoleh kewenangan secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan

diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal

dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.91Jadi Notaris memiliki legalitas untuk melakukan tindakan hukum dalam membuat akta

otentik.

Ketentuan mengenai kewenangan Notaris tercantum dalam Pasal 15 UUJN,

dimana kewenangan Notaris dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu :

a. Kewenangan Umum Notaris

Kewenangan Umum Notaris tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang

menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris adalah membuat akta secara

umum, namun dengan batasan sepanjang tidak dikecualikan kepada Pejabat lain yang

ditetapkan oleh undang-undang, menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang

diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan, mengenai

subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta dibuat atau

dikehendaki oleh yang berkepentingan.

b. Kewenangan Khusus Notaris

Kewenangan Khusus Notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu

tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, seperti :

(43)

a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat

dibawah tangan dengan mendaftarkan ke dalam buku khusus;

b) Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftarkan kedalam buku

khusus;

c) Membuat copy dan asli surat dibawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan kedalam surat yang

bersangkutan;

d) Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;

e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau membuat akta

risalah lelang;

Adapun kewenangan khusus Notaris lainnya, yaitu membuat akta dalam

bentuk In Original, yaitu :

1. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;

2. Penawaran pembayaran tunai;

3. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

4. Akta kuasa;

5. Keterangan kepemilikan; atau

6. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti yang tersebut

dalam Pasal 51 UUJN, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalahan tulisan atau

(44)

cara membuat Berita Acara Pembetulan dan Salinan atas Berita Acara Pembetulan

tersebut Notaris wajib menyampaikannya kepada para pihak.

c. Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian

Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tercantum dalam Pasal

15 ayat (3) UUJN. Dimana kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian

merupakan kewenangan yang akan muncul dan akan ditentukan berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Dalam artian bahwa jika Notaris melakukan tindakan

diluar wewenang yang telah ditentukan, maka Notaris telah melakukan tindakan

diluar wewenang, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak mengikat secara

hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable), dan pihak atau mereka yang

merasa dirugikan oleh tindakan Notaris diluar wewenang tersebut, maka Notaris

dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.92 2) Kewajiban Notaris

Notaris dalam menjalankan kewajibannya menganut beberapa asas yang

dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas Jabatan Notaris. Asas atau prinsip

merupakan sesuatu yang dapat dijadikan alas, dasar, tumpuan, tempat untuk

menyadarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan.93

92Setiap orang yang datang menghadap Notaris sudah tentu berkeinginan agar perbuatan atau

tindakan hukumnya yang diterangkan dihadapan atau oleh Notaris dibuat dalam bentuk akta Notaris tapi dengan alasan yang diketahui oleh Notaris sendiri, kepada mereka, dibuatkan akta dibawah tangan yang kemudian dilegalisasi atau dibukukan oleh Notaris sendiri. Tindakan Notaris tersebut sebenarnya tidak dapat dibenarkan, untuk membuatkan surat semacam itu,tapi yang dibenarkan adalah melegalisasi atau membukukan surat tersebut, agar sesuai dengan kewenangan Notaris, tindakan tersebut tidak perlu dilakukan oleh Notaris, kalau ingin dibuat dengan akta dibawah tangan dapat dibuat sendiri oleh yang bersangkutan saja, bukan dibuat oleh Notaris. (habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.82).

(45)

Asas-asas dalam pelaksanaan tugas Jabatan Notaris yang baik adalah sebagai

berikut :

a. Asas Persamaan

Sesuai dengan perkembangan zaman, institusi Notaris telah menjadi bagian

dari masyarakat Indonesia dan dengan lahirnya UUJN semakin meneguhkan Institusi

Notaris, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Notaris tidak boleh

membeda-bedakan satu dengan lainnya berdasarkan keadaan sosial ekonomi atau

alasan lainnya hanya alasan hukum yang dapat dijadikan dasar bahwa Notaris tidak

dapat memberikan jasa kepada pihak yang menghadap.

b. Asas Kepercayaan

Salah satu bentuk dari Notaris sebagai jabatan kepercayaan, yaitu Notaris

mempunyai kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang

dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan

sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1)

huruf f UUJN) (Pasal 4 ayat (2) UUJN).

c. Asas Kepastian Hukum

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara

normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan

diambil untuk kemudian dituangkan dalam akta. Akta yang dibuat oleh Notaris harus

sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, yang apabila terjadi permasalahan, akta

Notaris dapat dijadikan pedoman bagi para pihak.

(46)

Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan

keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai bahan dasar untuk

dituangkan dalam akta. Notaris dalam kecermatannya wajib melakukan pengenalan

terhadap penghadap, berdasarkan identitas penghadap. Menanyakan, mendengarkan

serta mencermati keinginan pihak yang menghadap, memeriksa setiap bukti surat

yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak, memberikan saran

kepada para penghadap, memenuhi teknik dalam pembuatan akta serta memenuhi

kewajiban lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatannya sebagai

Notaris.

e. Asas Pemberian Alasan

Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus sesuai dengan

alasan serta fakta yang mendukung.

f. Asas Larangan Penyalahgunaan Wewenang

Batas kewenangan Notaris dituangkan dalam Pasal 15 UUJN, apabila Notaris

melakukan tindakan diluar kewenangannya maka tindakan tersebut dapat disebut

sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang.

g. Asas Larangan Bertindak Sewenang-wenang

Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang

diperlihatkan kepadanya, dalam hal ini Notaris mempunyai peranan untuk

menentukan suatu tindakan apakah dapat dituangkan dalam bentuk akta atau tidak,

dan keputusan yang diambil harus didasarkan pada alasan hukum yang harus

(47)

h. Asas Proporsionalitas

Berdasarkan Pasal 16 angka (1) huruf a UUJN, Notaris wajib menjaga

kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum atau dalam menjalankan

tugas jabatannya, wajib mengutamakan adanya keseimbangan antara hak dan

kewajiban para penghadap.

i. Asas Profesionalitas

Dalam menjalankan tugas jabatannya mengutamakan keahlian (keilmuan)

berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris. Hal tersebut diwujudkan dalam melayani

masyarakat dan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris.

Notaris selaku pejabat umum yang memiliki kewenangan dalam membuat

akta otentik, dalam menjalankan tugasnya melekat pula kewajiban yang harus

dipatuhi, karena kewajiban tersebut merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Hal

ini diatur dalam ketentuan Pasal 16 angka (1) huruf a UUJN, yang menyatakan bahwa

dalam menjalankan jabatannya Notaris memiliki kewajiban :

1) Bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga

kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum

2) Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai

bagian dari Protokol Notaris

3) Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta

Akta

4) Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan

Referensi

Dokumen terkait

perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu

[r]

Semua data yang saya sajikan dalam Profil ini benar adanya, saya bersedia menerima sangsinya seandainya data yang saya isikan

Seperti yang dikatakan oleh informan yaitu Ibu Siswati yang merupakan Kader Kampung Keluarga Berencana Desa Sumberkarang yaitu : “ Nama program KB Desa Sumberkarang

Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh model pembelajaran Numbered Head Together (NHT) terhadap hasil belajar fisika siswa

Berdasarkan pengamatan respon ikan gabus ( C. striata ) terhadap pakan uji menunjukkan bahwa ikan gabus lebih menyukai pakan uji yang ditambahkan dengan bahan atraktan cumi

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ukuran koomite audit, likuiditas, ukuran dewan komisaris, dan degree of operation leverage terhadap pengungkapan risiko

21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan: ”Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua