• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Fungsi Ginjal Janin dan Neonatus Pada Pertumbuhan Janin Terhambat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gangguan Fungsi Ginjal Janin dan Neonatus Pada Pertumbuhan Janin Terhambat"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Pertumbuhan Janin Terhambat

PJT merupakan salah satu penyebab kematian perinatal tersering,yaitu 26 % atau lebih. Jika ditemukan, maka angka kematian akan meningkat 7 kali lipat. Alat Bantu yang paling baik dalam menentukan PJT adalah ultrasonografi, karena dengan alat ini PJT dapat ditetapkan dengan akurat. Disamping itu dapatjuga digunakan untuk membedakan jenis-jenis PJT yang simetris atau asimetris (Manning, 2003).

2.1.1 Definisi

PJT adalah berat janin kurang dari persentil ke 10 atau janin yang tidak dapat mencapai pertumbuhan potensial sesuai dengan usia gestasinya, yang disebabkan oleh satu atau banyak faktor (Bianchi, Crombleholme dan D’Alton, 2000).

(2)

alkohol syndrome, dll (Resnik, Creasy, 2014; Cuningham, 2006; RCOG 2002; Sohn, 2004; Thureen, 2001; Harper 2005).

Arbuckle (1993) membuat normogram berat janin persentil ke 10 berdasarkan jenis kelamin laki dan perempuan dengan janin laki-laki lebih berat dari janin perempuan. Penelitian ini berdasarkan dari hasil pengamatan 2 juta janin tunggal dan 10.000 janin kembar di Kanada pada tahun 1986 - 1988 dengan normogram berat janin yang lebih besar dibanding data tahun 1970, sehingga dianjurkan grafik pertumbuhan janin diperbaharui tiap 5 – 10 tahun.

(3)
(4)

Organ Penyakit Sistem Kardiovaskuler Hipertensi

Peny. Jantung coroner Stroke

Ateroskerosis

Gangguan koagulasi darah Preeklamsia

Sistem Metabolik Gangguan toleransi glukosa Resistensi insulin

Dislipidemia Diabetes tipe 2

Sistem reproduksi Sindroma ovarium polikistik Menarke dini

Menopause dini

Sistem respirasi Peny. Paru obstruksi kronik Asma

Sistem endokrin Hiperkortisolism Hipertiroid

Sistem saraf Kelainan neurologi

Skizofrenia Dimensia

(5)

Gambar 2.1.Fetal Programming penyebab dan konsekuensinya (Fowden, Giussani dan Forhead, 2006).

2.1.2 Insiden

Insiden PJT sangat tergantung pada populasi yang diteliti, geografi, standar kurva pertumbuhan yang dipergunakan, serta persentil yang dipilih antara lain 3, 5, 10 atau 15. Umumnya digunakan persentil 10. Lebih kurang 1/3 atau 1/4 bayi-bayi yang dilahirkan, berat badannya < 2500 gr. Diperkirakan angka PJT di negara maju 6 – 8% dari seluruh kelahiran dan di negara berkembang 4 – 30% (Resnik dan Creasy, 2014).

(6)

berlawanan yaitu dari 1364 janin PJT, 20% adalah PJT asimetris dan 80% PJT simetris. PJT asimetris berisiko lebih besar terhadap terjadinya fetal distress, tindakan operasi dan skore Apgar lebih rendah dibanding PJT

simetris (Resnik dan Carera, 2014; Lin, 1998; Brodsky, 2004; Dashe, 2000).

2.1.3. Angka kesakitan dan kematian

Secara umum terjadi peningkatan angka kematian janin 6 – 10 kali lipat dibanding dengan janin normal. Hal ini disebabkan oleh fetal distress, asfiksia, hipoglikemia, hipokalsemia, aspirasi mekonium dan lahir mati (Dogra et al.,.,2006; Meyer dan Joseph, 2013).

Angka kematian bayi PJT meningkat seiring dengan semakin tuanya kehamilan. Begitu juga bila berat badan lahirnya semakin kecil. Bayi yang dilahirkan dengan berat badan < 1500 gr mempunyai angka kematian 70 – 100 kali lipat janin normal. Sedangkan berat badan lahir 1500 – 2500 gr angka kematiannya 5 – 30 kali janin normal (Resnik dan Creasy, 2014).

(7)

2.1.4. Etiologi

PJT dapat disebabkan oleh faktor maternal, janin atau plasenta. Sebagian dapat diketahui intrauterine dan sebagian lagi baru diketahui setelah dilakukan otopsi (Resnik dan Creasy, 2014; Brodsky dan Christou, 2004).

2.1.4.1. Faktor maternal

Faktor maternal sebesar 25 – 30% a. Hipertensi.

b. Diabetes mellitus. c. Penyakit ginjal. d. Penyakit kollagen. e. Thrombophilia.

f. Sindroma antifosfolipid.

g. Hipoksia persisten (High altitude, penyakit paru, penyakit jantung, anemia).

h. Kelainan bentuk uterus. i. Malnutrisi.

j. Toksin ( merokok, alkohol, obat-obatan dll).

2.1.4.2. Faktor plasenta

(8)

d. Plasenta circumvallate. e. Chorioangioma.

f. Insersi velamentosa.

g. Anomali vaskular umbilikal-plasenta.

2.1.4.3. Faktor janin(Resnik dan Creasy, 2014; Doubilet, 1995; Brodsky, 2004; Harper, 2005 ).

a. Genetik (20%). (kelainan kromosom, kelainan kongenital) b. Kehamilan ganda (5%).

c. Infeksi intrauterine (sitomegalovirus, malaria, parvovirus, rubella, toxoplasmosis, hespes virus, HIV )

Meskipun ukuran plasenta tidak harus sesuai dengan fungsinya, namun fungsi plasenta tidak dapat diketahui secara rinci bila hanya melakukan pemeriksaan klinis, dalam hubungan antara ukuran dan morfologi dengan luaran janin. Umumnya bayi-bayi besar mempunyai ukuran plasenta yang besar juga. Berdasarkan penelitian pada hewan dan manusia, janin dengan PJT tanpa anomali umumnya mempunya ukuran plasenta 24% lebih kecil.

(9)

Rasio berat janin plasenta akan terus meningkat terutama sejak usia kehamilan 20 minggu. Bila rasio janin plasenta lebih dari 10 maka kemungkinan terjadinya PJT dan fetal distress akan meningkat karena kapasitas plasenta untuk menyalurkan nutrisi kurang.

Kemampuan transfer nutrisi dari plasenta bukan hanya tergantung dari beratnya, namun juga kedalaman invasi trophoblast pada decidual bed uterus, yang sangat berperan penting untuk suplai nutrisi yang

adekuat.

Invasi trophoblast pada arteri spiralis di tempat implantasinya menyebabkan remodelling endotel dan otot polos arteri spiralis sehingga resistensi pembuluh darahnya menurun dan perfusi uteroplasenter menjadi besar. Banyak yang melaporkan bahwa PJT early onset disebabkan oleh invasi tropoblast yang dangkal ( Resnik dan Creasy, 2014).

2.1.4.4. Faktor genetik

Lebih kurang 40 % faktor genetik ibu dan janin berpengaruh terhadap variasi berat janin dan 60% merupakan kontribusi dari faktor lingkungan janin termasuk plasenta. Meskipun faktor genetik ayah juga berpengaruh terhadap berat janin namun ternyata faktor genetik ibu lebih berperan ( Resnik dan Creasy, 2014).

(10)

yang dilahirkan adalah kuda dengan berat badan normal. Hal ini membuktikan bahwa, faktor ibu lebih berperan dibandingkan ayah terhadap pengaruh besar kecilnya keturunan (Resnik dan Creasy, 2014)

Ibu – ibu yang terlahir dengan PJT akan cenderung melahirkan bayi dengan PJT juga. Jika seorang wanita dengan berat badan < 50 kg pada awal kehamilan akan berisiko melahirkan bayi PJT dua kali lipat (Suhag dan Berghella, 2013).

ibu yang kurus ( underweight ) sebelum hamil , berisiko melahirkan janin PJT, meskipun terjadi kenaikan berat badan selama hamil lebih dari 9 kg. (Brownet al.,., 2011)

2.1.4.5. Kelainan kongenital

Pada penelitian terhadap13.000 bayi dengan kelainan kongenital didapati 22% disertai dengan PJT. Secara umum semakin berat malformasinya maka semakin mungkin bayi tersebut mengalami PJT. Hal ini jelas terlihat pada janin yang mengalami malformasi kromosom atau malformasi kardiovaskuler yang serius (Puccio, Giuffre dan Piro, 2013).

2.1.4.6. Infeksi

(11)

menyebabkan gangguan pertumbuhan kelenjar adrenal, timus dan otak. Sitomegalovirus akan menyebabkan sitolisis dan nekrosis sel. Jika terjadi pada bayi baru lahir maka banyak organ yang tergangggu pertumbuhannya.Toksoplasma gondii adalah protozoa yang paling sering menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, begitu juga dengan malaria (Resnik dan Craesy, 2014; Cunningham, 2006).

2.1.4.7. Efek Rokok, alkohol dan obat-obatan.

Merokok, alkohol, penggunaan obat-obat selama hamil seperti: steroid, coumadin, hidantoin, kokain dan heroin dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Merokok menyebabkan pengurangan arus darah pada uterus sehingga oksigenisasi terhadap janin terganggu (Resnik dan Creasy, 2004; Cunningham, 2006; Doubilet, 1995; Brodsky danChristou 2004 ).

2.1.4.8. Penyakit vaskuler kronik

Hipertensi, DM, penyakit ginjal dan penyakit kolagen merupakan penyebab utama gangguan pertumbuhan janin yang banyak ditemui di negara - negara maju. Sedang pada negara – negara berkembang PJT umumnya terjadi karena malnutrisi.

Thombophilia dan sindrome antifospolipid juga menyebabkan

(12)

2.2. Patofisiologi

Ada 3 faktor sebagai penyebab PJT antara lain: 1. Gangguan fungsi plasenta.

2. Faktor ibu: asupan makanan dan oksigen tidak adekuat. 3. Faktor janin: kekurangmampuan janin menggunakan asupan.

Gangguan fungsi plasenta bisa berupa pertumbuhan dan perfusi abnormal dan disfungsi dari villi plasenta. Pada preeklampsi terjadi invasi trofoblast yang dangkal, sehingga menyebabkan berkurangnya perfusi dan hipoksia plasenta setempat yang akan mengakibatkan terjadinya PJT. (Bianchi et al.,2010).

Disfungsi villi, yang disebabkan oleh apoptosis pada trofoblast, stress oksidatif, infark dan kerusakan oleh cytokine, akan menyebabkan

terjadi angiogenesis tidak menentu pada plasenta, sehingga menghambat fungsidari plasenta (Bianchiet al.,2010; Baschat, 2012).

(13)

Gambar 2.2: Patofisiologi PJT dan akibat yang ditimbulkannya (Brodsky dan Christou, 2004).

(14)

2.3. Diagnosis

2.3.1. Pengukuran tinggi fundus uteri

Penetapan usia gestasi secara dini, pertambahan berat badan ibu serta pengukuran tinggi fundus uteri dengan cermat selama kehamilan akan banyak menolong identifikasi banyak kasus pertumbuhan janin abnormal pada wanita tanpa resiko (Cunningham, 2006; Bamfo dan Odibo, 2011).

Pengukuran tinggi fundus uteri secara cermat dan serial selama kehamilan merupakan metode yag sederhana, aman dan tidak mahal serta cukup akurat untuk mendeteksi PJT.Pemeriksaan ini rutin dilaksanakan sejak usia gestasi 20 minggu. Bila dijumpai selisih 3 cm atau lebih dari tinggi normal maka harus dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Dengan pengukuran tinggi fundus uteri hanya 26% janin PJT yang dapat didiagnosis (Cuningham, 2006; Resnik dan Creasy, 2014).Bila tinggi fundus uteri disesuaikan dengan tinggi ibu, berat badan, golongan etnis tertentu maka angka deteksi akan meningkatkan dari 29,2 % menjadi 47,9% (Lin dan Sataloya, 1998).

(15)

2.3.2 Ultrasonografi 2.3.2.1. Biometri janin

Parameter yang paling banyak digunakan dalam ultrasonografi untuk menaksir berat janin adalah Biparietal Diameter (BPD), Femur Length (FL) dan AbdominalCircumference (AC). Pengurangan ukuran AC

adalah merupakan cara yang paling baik untuk memprediksi PJT dengan 10%negatif palsu (Doubilet dan Benson, 1995; Dashe, 2000; Talmor et al., 2013).

Pertumbuhan janin adalah proses yang dinamik, maka pemeriksaan secara potong lintang kurang bermanfaat. Sehingga sangat dianjurkan dilakukan pemeriksaan biometri secara serial dalam menetapkan PJT. Bila ditemukan AC < persentil 10, disertai peningkatan rasio S/D arteri umbilikalis > persentil 90, dan dikombinasikan dengan pemeriksaan jumlah cairan amnion, akurasi diagnostik akan meningkat dengan prediksi positif dari 38,1% menjadi 66,7% (Lin dan Sataloya, 1998 ).

Pengukuran diameter biparietal, lingkar abdomen dan panjang femur merupakan formula yang baik digunakan dalam menaksir berat janin dalam menentukan adanya PJT, baik simetris, asimetris ataupun kombinasi (Hadlock, 1984 ).

(16)

dengan nutrisi yang tidak adekuat, akan menimbulkan PJT asimetris (Manning, 2000).

2.3.2.2. Volume amnion

Oligohidramnion adalah komplikasi yang umum terjadi dalam kehamilan, yang selalu berkaitan dengan insufisiensi plasenta dan PJT. Bila tidak ditemui anomali janin, oligohidramnion merupakan tanda dari hipoksemia janin yang disebabkanberkurangnya produksi urin janin. Sedang pada postmaturitas, oligohidramnionyang terjadi bukan disebabkan oleh hipoksemia (Gagnon et al., 2002; Gagnon, Basso dan Bos, 2013).

Percobaan pada kambing, dengan melakukan embolisasi arteri uterina untuk membuat janin PJT, menghasilkan janin PJT dengan air ketuban berkurang. Namun produksi urin janin tidak berkurang bila dibandingkan sebelum dan setelah embolisasi. Dilaporkan bahwa oligohidramnionyang terjadi karena absorbsi intramembranous air ketuban yang berlebihan( Gagnon et al., 2002; Janot et al., 2014).

(17)

Peneliti lain mendapatkan hal yang berlawanan. Dilaporkan bahwa oligohidramnion tidak meningkatkan angka kematian janin, meskipun keadaan oligohidramnion dan lingkar abdomen dibawah persentil ke 10, namun akan meningkatkan akurasi diagnosis PJT dari 38,1% menjadi 66,7% (Lin dan Santaloya, 1998).Lin (1998) melaporkan dari 147 janin PJT yang diamatinya, 29% oligohidramnion terjadi pada trimester III dan tidak ada komplikasi pada janin.

Gagnon (2002) mengatakan bahwa insufisiensi plasenta kronik menyebabkan terjadinya oligohidramnion, namun tidak disebabkan oleh jumlah produksi urin janin yang kurang tetapi karena terjadi absorsi air ketuban yang berlebihan oleh intraamniotik.

2.4. Nefrologi Janin

(18)

2.4.1. Pertumbuhan ginjal

Pertumbuhan ginjal pada janin melalui 3 tahapan.

1. Pronephros. Pada tahapan ini ginjal belum berfungsi. Pasangan–pasangan tubulus terbentuk untuk membentuk pronephros. Dimulai pada usia 3 minggu dan selesai dalam

waktu 2 minggu.

2. Mesonephros. Dimulai dari minggu ke 5 dan selesai pada saat janin berusia 11 – 12 minggu. Terbentuk 20 pasang glomerulus dan terjadi penebalan dari dinding tubulus. Pada tahap ini ginjal sudah dapat memproduksi urin.

3. Metanephros. Pada tahap ini nephrogenesis sangat tergantung dari interaksi antara uretric bud dengan sel mesenchymal

Tubulus telah berfungsi pada waktu janin berusia 9 – 12 minggu sedang loop of henle pada minggu ke 14 (Keijzer-Veen, dan van der Heijden, 2012).

(19)
(20)

Gambar 2.4. Pertumbuhan Ginjal intrauterine pronephros, mesonephros dan metanephros (Shah, Sampogna dan Sakurai, 2004 ).

2.4.2. Fisiologi ginjal

(21)

2.4.3. Dua fungsi ginjal 1. Fungsi ekskresi

a. Ekskresi sisa metabolisme protein

Sisa metabolisme protein yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat organik dan asam urat dikeluarkan melalui ginjal. Sedang sisa metabolisme karbohidrat dan lemak yaitu CO2 dan H2O dikeluarkan

melalui kulit dan paru (Kusnadi, 2002 ).

b. Regulasi volume cairan tubuh

Mekanisme ini diperantarai oleh hormon anti diuretik (ADH). Bila tubuh kelebihan cairan maka terjadi rangsang melalui arteri karotis interna ke osmoreseptor di hipotalamus anterior, kemudian diteruskan ke hipofisis posteroir sehingga produksi ADH berkurang. Begitu juga sebaliknya bila kekurangan cairan maka produksi ADH meningkat (Kusnadi, 2002; Koleganova, 2012).

c. Menjaga keseimbangan asam basa

Keseimbangan asam basa diatur oleh paru dan ginjal. Paru menjaga jumlah H2CO3 dengan mengatur kadar pCO2 dan ginjal

(22)

2. Fungsi endokrin a. Eritropoesis

Pada pembentukan sel darah merah diperlukan eritropoetin yang berasal dari proeritropoetin. Proeritropoetin dibentuk oleh hati dengan perantaraan zat yang dibentuk oleh ginjal yaitu faktor eritropoetik ginjal (Alatas, 2002; Hershkovitz, Burbea dan Skorcki, 2007).

b. Pengatur tekanan darah

Bila terjadi iskemia ginjal karena stenosis arteri renalis maka renin akan mengubah angiotensinogen dalam tubuh menjadi angiotension I, kemudian diubah oleh enzim konvertase di paru menjadi angiotension II, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan merangsang kelenjar adrenal memproduksi aldosteron.

Aldosteron bersifat meretensi air dan natrium sehingga volume darah bertambah. Kombinasi dari keduanya akan menyebabkan hipertensi (Alatas, 2002; Hershkovitz, Burbea dan Skorcki, 2007).

c. Keseimbangan kalsium dan posfor

(23)

metabolit aktif yaitu 1.25 (OH)2 D3 yang dapat menyerap kalsium di usus (Alatas, 2002; Patel 2010).

2.4.4. Filtrasi glomerulus

Dengan mengalirnya darah ke dalam kapiler glomerulus maka plasma akan disaring. Hasil filtrasi yang bebas seltersebut, mengandung semua substansi plasma (elektrolit, glukosa, fosfat, ureum, kreatinin, peptida, protein-protein dengan berat molekul rendah) kecuali protein yang berat molekulnya > 68.000 D seperti albumin dan globulin (Alatas, 2002; Patel 2010).

Jumlah filtrasi glomerulus pada janin meningkat seiring dengan semakin tuanya kehamilan. Namun sebenarnya relatif konstan jika dibandingkan antara berat ginjal dengan berat janinnyayaitu 1,07 ± 0,12 ml/menit/kg berat janin.

Pada percobaan dengan domba, didapatkan jumlah urin yang memasuki cairan amnion melalui urachus lewat uretra adalah 600 – 1200 cc/hari. Sedang produksi urin janin manusia yang memasuki cairan amnion adalah 230 – 660 ml/hari (Smith et al., 2000;Patel 2010).

2.4.5. Urin janin

(24)

jumlahnya adalah 6-10 ml/kg/jam pada umur kehamilan 30-40 minggu (Kusnadi, 2002; Shivalingaiah et al., 2014).

(25)
(26)

Gambar 2.6: Penampang longitudinal dan transversal kandung kencing ( Fagerquist, Fagerquist dan Steykal, 2002).

Pengukuran volume kandung kencing dilakukan melalui penampamg longitudinal dan tranversal, dengan penempatan titik pengukuran pada bagian dalam.

(27)

Kalau dilakukan rotasi pada pemotongan longitudinal maka diameter d adalah sama dengan b dan c sehingga didapat formula:

Volume = 4/3 x η x a/2 x d/2 x d/2 (Fagerquist, Fagerquist dan Oden,

2001; Fagesquist dan Steykal, 2002; Fagerquist danOden, 2003).

Mengukur volume kandung kencing dengan 3 dimensi, jauh lebih akurat dibanding 2 dimensi, karena secara 2 dimensi diasumsikan bahwa kandung kencing berbentuk ellips. Bentuk kandung kencing bisa berubah pada saat urin masuk dari ureter, dimana daerah fundus akan segera jauh lebih lebar dibandingkan daerah di bawahnya, sehingga asumsi bentuk ellips akan meningkatkan angka kesalahan.

Untuk menghitung jumlah sekresi urin dilakukan pengukuran volume serial kandung kencing setiap 5 – 10 menit. Metode yang digunakan adalah Virtual Organ Computer-aided Analysis ( VOCAL) 3 dimensi. Dengan rotasi transduser 30o, batas kandung kencing diukur secara manual sesuai dengan bentuknya pada saat itu (Suwanrath et al., 2009, Embabe, Abdelmoneum dan Galal, 2014). Sekresi urin setiap jam dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Urine (ml/jam)= (Volume kandung kencing 2-Volume kandung kencing 1) x 60/n.

n adalah interval waktu pengukuran pertama dan kedua.

(28)
(29)

UPR percentiles (mL/h) GA=Gestation age, UPR=urine production rate

Setelah lahir, jumlah urin tiap jam menurun secara nyata pada neonatus cukup bulan. Setelah penyesuaian pascanatal, laju aliran urin menurun dan menetap 2-3 ml/kg/jam. Bayi prematur mengeluarkan lebih banyak urin. Pada umur 28-35 minggu bayi prematur menghasilkan urin 1,01 ml/menit/1,73m2, mendekati 2 kali bayi yang lahir cukup bulan dan tetap tinggi dalam 6 minggu pertama setelah lahir (Kusnadi, 2002; Kelly dan Seri, 2008 ).

(30)

ureum dan kreatinin untuk menegakkan diagnosis (Kusnadi, 2002; Fagerquist, 2012).

2.5. Ginjal pada Janin PJT

2.5.1. Periode kritis pertumbuhan ginjal

Nefron janin manusia terbentuk sempurna sampai usia kehamilan 36 minggu dan tidak ada pertumbuhan selanjutnya sampai lahir. Hal ini berbeda dengan tikus yang akan berlanjut sampai 2 minggu setelah lahir.

Konje (1996) melakukan pemeriksaan ultrasonografi ginjal janin pada potongan longitudinal dan tidak menemukan perbedaan antara ginjal janin PJT dengan janin normal. Namun ternyata pertumbuhan diameter antero-posterior, transversal dan sirkumferensial janin PJT lebih rendah, terutama bila PJT terjadi sejak usia 26 minggu. Perbedaan ini paling jelas antara usia 26 – 34 minggu dan menetap sampai lahir, sehingga diduga periode kritis nephrogenesis adalah 26 – 34 minggu. Gangguan pada masa itu akan menyebabkan berkurangnya jumlah nefron.

2.5.2. Jumlah nefron dan ukuran glomerulus

(31)

Metode terbaru penghitungan jumlah nefron adalah unbiased fractionator-sampling/ dissector-counting methodology. Metode ini pertama kali diterapkan pada 37 orang Denmark dewasa dan ditemukan jumlah nefron rata-ratanya adalah 617.000 buah ( 331.000 – 1.424.000 buah). Namun 2/3 dari subjek penelitian berumur > 50 tahun, sehingga kurang menggambarkan jumlah yang sebenarnya. Jumlah nefron akan semakin berkurang dengan semakin tuanya usia seseorang (Nyengaard dan Bendtsen,1992; Hoy, Hughson dan Bertram, 2005).

Jumlah glomerulus sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, ras dan berat badan lahir. Pada pria jumlah nefronnya 17 % lebih banyak dari pada wanita. Diperkirakan terjadi pengurangan sejumlah 4500 nefron/ tahun pada tiap ginjal sejak usia 18 sampai 70 tahun (Nyengaard dan Bendtsen, 1992; Hoy, Hughson dan Bertram, 2005; Hughsonet al.,2003; Sulemanji dan Vakili, 2013). Menurut Nyengaard dan Bendtsen (1992) pengurangan paling nyata terlihat sejak usia > 60 tahun.

(32)

Tabel 2.3 :Karakteristik ginjal kanan dari hasil otopsi orang – orang Amerika dan Australia pada usia > 18 tahun (Hoy, Hughson dan Bertram, 2005).

Disamping besarnya variasi dari jumlah nefron pada beberapa studi, ada 2 hal yang konsisten didapat yaitu: berkurangnya jumlah nefron pada janin PJT dan volume glomerulus yang lebih besar (Hoy, Hughson dan Bertram, 2005).Dari penemuan ini diduga bahwa besarnya glomerulus merupakan kompensasi dari hiperfiltrasi dan hipertopi subyek atas berkurangnya jumlah nefron (Hoy, Hughson dan Bertram, 2005).

(33)

2006;Schmidt,Pesce dan Liu, 1992; Young, Hoy dan Kincaid-smith, 2003).

Pada percobaan dengan tikus dengan PJT spontan dan PJT buatan yang dilakukan ligasi arteri uterina bilateral, terjadi pengurangan jumlah nefron 20%. Namun rata-rata volume glomerulus lebih besar bila dibandingkan dengan yang normal dan juga terdapat peningkatan sekresi proteinuria ( Schreuderet al.,2005).

Pada percobaan binatang yang dibuat PJT dengan pengurangan konsumsi protein, juga terjadi pengurangan jumlah nefron dan juga penurunan jumlah filtrasi ginjal, meskipun telah dilakukan koreksi terhadap berat badan (Schreuder et al.,2005 ).

(34)

Grafik 2.2. Jumlah proteinuria pada PJT spontan, PJT buatan dan kontrol pada tikus( Schreuder, et al.,.,2005)

Studi terhadap 422 orang usia 19 tahun yang lahir preterm (< 32 minggu ) dengan berat badan yang sesuai dengan usianya, tidak ditemui pengurangan jumlah nefron. Artinya tetap terjadi pertambahan nefron setelah lahir sampai nephrogenesis komplit sesuai usia kehamilan 36 minggu (Keijzer-Veen, Schrevel dan Finken, 2005).

(35)

2.5.3. Pemeriksaan USG volume ginjal janin

Pemeriksaan USG 2D ginjal janin, yaitu menggunakan perkalian konstanta 0,5233 dengan anggapan bahwa ginjal berbentuk ellips atau sferis, kurang begitu tepat karena ginjal adalah organ 3 dimensi(El Behery et al., 2012).

Chen-Hsiang (2000) melakukan pemeriksaan volume ginjal dengan menggunakan USG 3 D terhadap 152 janin usia 20 – 40 minggu. Dilakukan visualisasi ginjal dengan penampang longitudinal tepat di bawah tulang belakang dan dibuat normogram volume ginjal berdasarkan usia kehamilan. Pada penelitian ini tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara volume ginjal kanan dan kiri.

(36)

Keterbatasan pengukuran USG 3 D adalah pengukurannya harus dilakukan secara manual dan mengikuti permukaan ginjal dalam keadaan janin diam. Di samping itu tidak dapat dilakukan pengukuran volume ginjal pada usia kehamilan < 20 minggu karena batas permukaan ginjal tidak tampak dengan jelas(Chen-Hsiang et al.,2000 ) .

Tabel 2.4. Volume ginjal kanan berdasarkan usia kehamilan dengan USG 3D (Chen-Hsianget al.,2000) .

RRV

(37)

Tabel 2.5. Volume ginjal kiri berdasarkan usia kehamilan dengan USG 3D

LRV= Left Renal Volume

(38)

2.5.4. Penyebab berkurangnya jumlah nefron

Banyak keadaan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ginjal janin.Secara umum pada binatang percobaan, pengaruh lingkungan merupakan faktor yang paling menentukan.

Pada manusia nephrogenesis dimulai pada usia kehamilan 8 minggu dan berakhir sampai sampai usia 36 minggu. 2/3 pertumbuhan nefron terjadi pada trimester akhir (McMillen dan Robinson, 2005; Zandi-nejad, Luyckx dan Brenner, 2006 ).

Beberapa dugaan etiologi berkurangnya jumlah nefron: 1. Teori Kehidupan.

2. Defisiensi Glial cell line – Derived Neutrophic Factor. 3. Peningkatan apoptosis.

4. Penurunan sistem renin angiotension. 5. Peningkatan glukokortikoid.

1. Teori Kehidupan

(39)

Kekurangan nutrisi asam amino methionine dan glycine akan mengubah metilasi DNA yang akan menyebabkan terganggunya regulasi dari expresi gen pembuat nefron sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah nefron (McMillen danRobinson,2005; Zandi-nejad, Luyckx dan Brenner, 2006 ).

2. Defisiensi Glial cell line – derived neutrophic factor (GDNF)

GDNF merupakan inisiator proses percabangan uretric melalui pengaruhnya terhadap reseptor tirosin kinase ret. Defisiensi homozygote GDNF pada tikus akan menyebabkan renaldisgenesis yang berat dan tikus akan segera meninggal setelah lahir. Sedangkan bila heterozygote akan terjadi pengurangan 30% jumlah nephron, yang segera berlanjut menjadi hipertensi dan glomerulomegali. Menariknya pemberian vitamin A dapat mencegah gangguan nephrogenesis ini, yaitu dengan menstimulasi langsung tirosis kinase ret(Cullen-Mcewen, Kett, Dowling, 2003).

3. Peningkatan Apoptosis

Pertumbuhan organ merupakan keimbangan antara proliferasi dengan apoptosis. Pada PJT karena kekurangan diet protein ataupun insufisiensi uteroplasenter akan menyebabkan peningkatan metanephric apoptosis. Sehingga sel progenitor yang penting untuk proliferasi nefron

berkurang (Cullen-Mcewen et al., 2003; Hershkovitz et al., 2007 ).

(40)

pada p53 mRNA, yang merupakan promoter region, sangat erat kaitannya dengan berkurangnya metilasi pada DNA, yang juga menyebabkan hipometilasi pada exon 5 dan exon 8, sehingga terjadi peningkatan caspase-3 dan berkurangnya jumlah nefron. Peneliti lain menduga insufisiensi uteroplasenter menimbulkan stress oksidatif dan berkurangnya kadar glutathione ginjal, sehingga terjadi apoptosis (Pham, MacLennan dan Chiu, 2003; Welham, Wade dan Woolf, 2002, Welham, Riley dan Wade, 2005).

(41)

4. Penurunan Renin-Angitension Sistem

Seluruh bagian dari RAS sangat berperan dalam nephrogenesis. Pada PJT dengan penurunan RAS pada saat nephrogenesis akan menyebabkan pengurangan jumlah nephron dan hipertensi, karena angiotension II tipe 2 reseptor merupakan stimulus Pax-2 sebagai antiapoptosis. Selain itu peningkatan glokukortikoid pada PJT akan menyebabkan berkurangnya kadar intra renal RAS (Vehaskari, Stewart dan Lafont, 2004; Wood dan Rasch, 1998, Segar, 1995; Zhang,2004).

(42)

Pada tahun 1990 dipublikasikan hubungan antara kadar glokukortikoid dengan terjadinya hipertensi pada orang dewasa (Edward, Benediksson dan Lindsay, 1993).Dalam keadaan normal janin terlindungi dari kortikosteroid dibawah pengaruh 11 B- hydroxysteroid dehydrogenase type 2 (11B-HSD2) plasenta, yang mengubah kortisol menjadi kortison

yang tidak aktif. Hanya sebagian kecil dari kortison yang diteruskan ke janin yaitu< 20%. Pada PJT terjadi penurunan kadar 11B-HSD2 sehingga didapati kadar steroid yang tinggi. Kadar steroid yang tinggi ini akan menghambat nephrogenesis dengan cara mempengaruhi transpor ion dan RAS(Jones et al., 2011).

(43)

Pertumbuhan ginjal dapat terprogram dengan beberapa keadaan intrauterine ataupun pada saat neonatal termasuk faktor ibu berupa malnutrisi, insufisiensi plasenta, penyakit-penyakit ibu seperti hipertensi, diabetes malletus, efek perubahan hormon dan pengaruh obat-obatan, alkohol, toksin dll. Gangguan pertumbuhan janin intrauterine merupakan penyebab paling sering terganggu perkembangan dari ginjal, sedangkan faktor dari ginjal sendiri yang berpengaruh adalah, sistem renin angiotension, ekresi dan resorbsi natium di tubulus nefron serta efek saraf simpatik dari ginjal (Kett dan Denton, 2010 ). Faktor lain yang berpengaruh terhadap program pembentukan ginjal adalah stress oksidatif, infitrasi sel immun serta perubahan reaktivitas pembuluh darah ginjal. Semua faktor - faktor ini bersinergi dalam pembentukan program ginjal.

(44)
(45)

2.5.6. Ekskresi sodium

Pada modelfetal programming, pemberian deksametason akan menyebabkan PJT, ukuran ginjal lebih kecil, kurangnya jumlah nephron, hipertensi, albuminuria, penurunan filtrasi glomerulus, penurunan ekskresi sodium yang menyebabkan penumpukan sodium pada jaringan. Hal yang sama ditemukan pada percobaan binatang, pemberian deksametason menyebabkan PJT, kurangnya jumlah nefron dan terjadi hipertensi pada usia 8 minggu, namun tidak terjadi penumpukan sodium.Hal ini disebabkan karena peningkatan ekspressi sodium cotransforters NA-K-2CL ( BSC1 302% ) dan Na – Cl (TSC 157%) ( Celsi, Kistner dan Eklof

1998; Bauer, Walter dan Klupsch, 2002; Manning, Buetler dan Knepper, 2002 ).

(46)

2.5.7. Proteinuria pada PJT

Kurangnya jumlah nefron pada PJT akan meningkatkan risiko hipertensi dan penyakit ginjal. Hal ini disebabkan karena terjadinya hiperfitrasi dan hipertropi pada glomerulus. Dengan berkurangnya jumlah nefron pada ginjal, maka untuk tetap dapat berfungsi dengan baik, sisa nefron yang ada akan membesar(hipertropi) karena terjadi hiperfiltrasi. Akibat terjadi hiperfitrasi pada nefron akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik intra kapiler glomerulus, yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan dinding kapiler.Kerusakan ini menyebabkan proteinuria dan penurunan filtrasi glomerulus (Brenner, Lawler dan Mackenzie, 1996).

(47)

Gambar 2.14. Mekanisme terjadinya gangguan fungsi ginjal pada PJT (Hershkovitz, Burbea dan Skorecki, 2007).

2.5.8. Arteri renalis

(48)

2.5.9.1.Pemeriksaan doppler arteri renalis

Cara terbaik untuk memeriksa arteri renalis adalah dengan menampilkan lebih dahulu aorta dan hilum ginjal dengan pemotongan koronal, dimana arteri renalis akan tampak berada di sebelah lateral aorta abdominal. Bila janin bergerak atau bernafas akan sangat sulit mendapatkan sinyal yang adekuat. Dengan kesabaran dan pengalaman dari operator, umumnya pemeriksaan doppler arteri renalis dapat dilakukan pada 90% kasus.

Dengan menggunakan color flow mapping pembuluh darah kecil pada janin dapat terlihat dengan baik termasuk arteri renalis. Pengukuran doppler pada arteri renalis telah banyak dilakukan pada keadaan patologis seperti pertumbuhan janin terhambat, kehamilan lewat waktu, polihidramnios, oligohidramnion, dsb (Vyas, Nicolaides dan Cambell, 1989; Arduini dan Rizzo 1991).

Melakukan color mapping berguna untuk membedakan bahwa sinyal yang datang bukan berasal dari aorta. Gambaran khas gelombang doppler arteri renalis adalah puncak sistol yang tinggi disertai gelombang diastol yang rendah namun kontinu. Dengan demikian mudah dibedakan dengan gelombang doppler aorta.

(49)

Gambar 2.15. Arteri renalis berada di lateral kanan dan kiri aorta abdominal (Veille dan Kanaan, 1989).

pada daerah distal sebelum mencapai percabangan di ginjal serta menganjurkan pemeriksaan doppler arteri renalis kiri.

Pemeriksaan doppler juga sangat tergantung dari sudut pengambilan. Bila sudut pengambilan > 30° akan dengan nyata

mempengaruhi doppler shift dan sinyal gelombang doppler. Bila sudut 80°-90° maka tidak akan dijumpai adanya doppler shift sehingga

visualisasi gelombang doppler akan gagal (Veille dan Kanaan, 1989).

2.5.9.2. Pemeriksaaan doppler arteri renalis janin normal

(50)

semakin tuanya kehamilan. Pada lebih dari 54% janin normal didapati absent end diastolic flow. Oleh karena itu Vyas (1989) membuat

normogram gelombang arteri renalis berdasarkan nilai PI.

Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hecher (1989) yang melakukan pemeriksaan doppler arteri renalis pada 19 kasus janin normal dengan usia antara 22 – 40 minggu. Ia mendapatkan lebih dari 20% kasus dengan gelombang absent end diastolic flow, meskipun pertumbuhan janin normal dengan air ketuban yang cukup. Pada penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Veille (1989) terhadap 22 janin normal, didapatkan semuanya gelombang diastolenya absent.

Veille (1989) melakukan penelitian longitudinal doppler arteri renalis terhadap janin normal usia 20 – 40 minggu dan mendapatkan:

(51)

2. Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna rasio sistolik-diastolik (SD) dengan semakin tuanya kehamilan.

3. Time velocity integral (TVI) meningkat secara nyata dengan semakin tuanya kehamilan.

Hougen (2004) mengatakan arteri renalis kanan berada lebih tinggi dan lebih panjang dari arteri renalis kiri. Oleh karena arteri renalis kanan lebih panjang maka variasi morfologi pada saat pengukuran akan sangat tinggi sehingga untuk mendapatkan nilai yang optimal dianjurkan pengukuran arus darah pada arteri renalis kiri. Disamping itu, pengukuran pada daerah proksimal dekat aorta abdominal akan sering terjadi turbulensi, maka sebaiknya dilakukan pada daerah distal dekat percabangan arteri renalis pada ginjal.

Pada janin PJT nilai PI senantiasa lebih tinggi dari janin normal dan ditemui korelasi negatif dengan jumlah air ketuban dimana pada oligohidramnios terjadi kenaikan nilai PI (Sohn, 2004: Mari, 2001).Arus darah Arteri renalis relatif stabil pada PJT dibanding janin normal kecuali bila telah terjadi sentralisasi arus darah ke kepala yang ditandai dengan PI arteri cereberal < 2. (Serralde, Flgueroa-Diesel dan Hernandez-andrade, 2006)

(52)

peningkatan yang nyata pada tekanan sistolik maksimal (V max ), tekanan sistolik rata-rata (V mean ) dan tekanan minimum ( V min). Namun tidak ditemukan perbedaan pada indek resistensi dan pulsatil pada usia kehamilan yang semakin tua (Inoue, Waseda dan Makinodo, 2006, Inoue, Kawahara dan Waseda, 2007).

2.5.9.10. Pengukuran fungsi ginjal secara laboratorium

LFG ( lajufiltrasi glomerulus ) adalah parameter yang penting dalam menilai fungsi ginjal. Ada beberapa pemeriksaan seperti pengukuran klirens kreatinin, klirens ureum, klirens inulin dan kliren Cr-EDTA, namun zat yang sering digunakan dalam menilai gangguan ginjal adalah kreatinin. Kreatinin diproduksi terutama oleh otot polos dan sebagian kecil oleh hati, sehingga bila ada kerusakan pada otot akan sangat mempengaruhi kadarnya di dalam darah. Disamping itu kreatinin juga dipengaruhi oleh usia. Semakin bertambah usia maka kadarnya akan semakin meningkat karena itu pengukuran LFG cystain c lebih menjanjikan dibandingkan kreatinin.

(53)

Sebagai baku emas dalam menilai LFG adalah klirens inulin, karena inulin yang merupakan petanda eksogen difiltrasi bebas di glomerulus dan tidak diresorbsi, tidak disekresi oleh tubulus, namun pemeriksaannya sulit dilaksanakan (Brguljan dan Cimerman, 2007).

Kadar kreatinin dan ureum baru meningkat bila sudah terjadi penurunan LFG < 30% sehingga tidak dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan fungsi ginjal ringan.

Cystasin c dengan berat molekulnya rendah sehingga dapat menembus membran basalis glomerulus dan diproduksi secara konstan oleh sel. Cystatin c tidak dapat melewati sawar plasenta sehingga kadarnya tidak dipengaruhi oleh kadar cystasin c ibu, maka cystasin c merupakan petanda endogen yang sangat penting dalam menilai LFG (Inker, 2012; Brguljan dan Cimerman, 2007;Westhuyzen, 2006).

(54)

2.6.Kerangka Teori dan Konsep 2.6.1. Kerangka teori

Gambar 2.17. Kerangka Teori

BMI Ibu ↓ Intake Nutrisi↓ Sirkulasi uteroplasenter↓

Arus darah A renalis↓

Urine janin↓

Oligohidramnion 3D

(55)
(56)

2.6.2 Kerangka konsep

Gamba 2.17.Kerangka konsep.

Janin tumbuh in utero. Renal programming berlangsung sampai usia kehamilan 36 minggu. Bila pada periode tersebut terjadi PJT, maka akan terjadi gangguan pada renal programming yang menyebabkan gangguan fungsi ginjal saat sudah dilahirkan. Renal programming dilihat dari volume ginjal dan nilai-nilai Doppler sonometri. Volume ginjal dan nilai-nilai Doppler sonometri merupakan variabel bebas. Gangguan fungsi ginjal dilihat dari parameter laboratorium dan merupakan variabel tergantung.

PJT Gangguan Fungsi

Ginjal Renal Programming

sampai usia kehamilan 36 miggu

Pertumbuhan janin

Bayi

Gambar

Gambar 2.1.Fetal Programming penyebab dan konsekuensinya  (Fowden,
Gambar 2.2: Patofisiologi PJT dan akibat yang ditimbulkannya (Brodsky
Gambar 2.3.Renal Banching morphogenesis and nephron formation
Gambar 2.4. Pertumbuhan Ginjal intrauterine pronephros, mesonephros
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pertambangan tanah urug pada topografi yang berbukit memiliki potensi terjadi longsor lahan. Suatu kejadian longsor lahan pada kegiatan pertambangan dapat menimbulkan

Secara keseluruhannya, program perkhemahan ini dapat memantapkan lagi daya mental dan fizikal remaja dan di samping secara tidak langsung mereka diterapkan

This analysis aims to determine the performance of streaming video in the frequency division duplex mode (FDD) in the handover process on the LTE network,

Dalam pembelajaran yang dilakukan pada siswa kelas satu sekolah dasar pemahaman terhadap operasi bilanganapabila di gunakan strategi pembelajaran dengan penjelasan

Saya memohon saudara/i untuk menjawab pernyataan yang telah disediakan dengan melingkari antara angka 1 sampai 5 sesuai dengan jawaban anda terhadap pernyataan tersebut.. Pada

Dampak dampak yang ditemukan dari penerapan program keluarga berencana (KB) terhadap perkawinan dini pada masyarakat Kecamatan Semende Darat Laut Desa Pulau

Hipotesis yang diajukan adalah bahwa luasan tanah berpengaruh negatif terhadap nilai tanah, topografi tanah yang rata mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding

Kebijaksanaan perusahaan dalam memilih produk yang akan dijual atau produk yang akan dibeli (bagi perusahaan dagang) amat berpengaruh pada penentuan harga, strategi,