• Tidak ada hasil yang ditemukan

B1J010005 12.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "B1J010005 12."

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

10

V.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan

Berdasarkan tabel 4.1. dapat diketahui bahwa kelimpahan antara Phytoseius sp. denganT.urticaedapat dikelompokan menjadi 3 rasio yaitu kontrol, rendah, dan tinggi. Tiga rasio kelimpahan tersebut menunjukkan bahwa pengendalian hayati didaerah berkarakter segmental, sehingga kecenderungan berubah menuju satu rasio ke rasio yang lain sangat besar. Menurut Widnyana (2011), pengendalian secara hayati dapat diterapkan dengan berbagai teknik tergantung pada hama sasaran dan daerah yang berkarakter segmental.

Tabel 4.2. menunjukan bahwa kelimpahan Phytoseius sp. sebelum augmentasi inundatif terkelompokan menjadi 3 rasio yaitu kontrol, rendah, dan tinggi, maka diperlukan augmentasi inundatifPhytoseiussp. untuk meningkatkan keberhasilan pengendalian hayati agar tercapai kesimbangan populasi. Menurut Purnomo (2010), salah satu cara untuk mensukseskan teknik pengendalian secara hayati yaitu dengan teknik augmentasi secara inundatif (pelepasan massal), pelepasan massal suatu predator memerlukan musuh alami yang diperbanyak secara massal (augmentasi) sesuai dengan jumlah yang diperlukan untuk membatu mengoptimalkan perannya kembali didalam mengatur populasi hama di lapangan.

Hasil augmentasi inundatifPhytoseius sp. di daerah Cilacap, menunjukkan bahwa adanya kecenderungan keberhasilan augmentasi Phytoseius sp. dalam mengendalikan T.urticae pada pelepasan Phytoseius sp. dengan jumlah rendah (K2) dibandingkan pelepasan Phytoseius sp. kontrol (K1) maupun tinggi (K3)(Tabel 4.3.). Untuk memastikan kecenderungan tersebut, maka dilakukan analisis variansi dan uji lanjut.

(2)

11

tungau hama T. urticae, salah satu familia Phytoseidae yaitu dari jenis Phytoseiussp. yang mampu memakan semua stadia perkembangan T.urticae baik pada stadia telur, larva, nimfa maupun dewasa.

Keberhasilan augmentasi inundatifPhytoseiussp. yang dilepas mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan perkebunan yang masih mendukung perkembangan Phytoseius sp. sehingga mampu menyebar dan melakukan strategi menyeimbangkan kebutuhan dan pengeluaran energi. Bentuk strategi perolehan dan pengeluaran energi dengan menyesuaikan diri pada kondisi lingkungan yang tidak stabil dan cepat berubah. Kondisi seperti itu yang akan berpengaruh terhadap metabolisme tungau predator sehingga meningkatkan kebutuhan energi dan meningkatkan kemampuan predasi dari tungau predator tersebut, meskipun populasi T.urticaemasih diatas ambang pengendalian, akibat laju reproduksiT.aurticaeyang lebih besar dibandingkan dengan laju reproduksiPhytoseius sp. Hal tersebut berpengaruh akibat dari kondisi lingkungan pelepasan yang mendukung bagi perkembangbiakanT.urticae.

(3)

12

karena adanya kejenuhan makan meningkat pada suatu predator di kepadatan hama yang lebih tinggi.

Menurut Syafrina et al., (2013), seleksi mangsa oleh predator dapat dikaitkan dengan salah satu dari dua mekanisme yang berbeda, yaitu pilihan predator aktif atau predator pasif. Pilihan aktif terjadi ketika predator aktif memilih mangsa sesuai dengan nilai gizi, sementara karakteristik fisik (ukuran) atau perilaku (mobilitas) mangsanya tidak mempengaruhi pemilihan. Di sisi lain, seleksi pasif adalah hasil dari peluang predasi berdasarkan karakteristik fisik atau perilaku mangsa (kerentanan), bukan pilihan yang aktif. Misalnya, mobilitas spesies mangsa yang berbeda dapat mempengaruhi pertemuan mereka dengan tingkat predator dan dengan demikian mempengaruhi mereka kerentanan terhadap predasi.

Kemampuan dalam menangani mangsa yang rendah dalam merespon kenaikan jumlah mangsa pada pelepasan Phytoseius sp. dalam jumlah tinggi (K3) menjadi kurang efektif dalam menurunkan kelimpahan T.urticae di lapangan, berbeda halnya pada perlakuan pelepasanPhytoseius sp. dalam jumlah rendah (K2) yang memiliki kemampuan menangani mangsa dengan langsung mempredasi keberadaan hama. Strategi dalam penangan mangsa dalam merespon kenaikan jumlah mangsa pada augmentasi inundatif dengan jumlah tinggi (K3) atau kontrol (K1) juga mungkin belum berjalan maksimal akibat kondisi lingkungan yang kurang mendukung. Keefektifan dan efisiensi predator sebagai musuh alami sangat tergantung kepada kemampuan mencari dan menangani mangsanya pada keadaan kualitas dan kepadatan mangsa. Kepadatan mangsa merupakan hal yang sangat penting, karena kerapatan mangsa akan menggambarkan bagaimana respon predator terhadap ketersedian mangsanya. Muharam et al., (2007) manambahkan bahwa kepadatan mangsa mempengaruhi konsumsi predator, ketersediaan mangsa akan mempengaruhi perilaku penanganan mangsa. Syafrina et al., (2013) juga menyatakan bahwa semakin tinggi mangsa yang ditemui, semakin acak pola pencarian mangsa, demikian pula sebaliknya, sehingga laju pemangsaan pada kepadatan mangsa yang berbeda akan mempengaruhi kinerja predator sebagai agensia pengendalian hayati.

(4)

13

di daerah Cilacap, temperatur dan kelembaban area perkebunan bekisar 27.5°C-28.5°C dengan kelembaban 66-82% (Lampiran 5). Kondisi tersebut mendukung perkembangan Phytoseiussp. untuk mempredasiT.urticae. Priatminingsih (2005) yang menyatakan bahwa temperatur udara 25-28°C merupakan kondisi yang sesuai bagi Phytoseius sp. untuk memangsa hama T.urticae. Sumardi (2006) menjelaskan bahwa pada kelembaban 73-82% merupakan kondisi yang mendukung tungau Phytoseius sp.untuk mempredasi T.urticae secara alami di lapang.

Percobaan augmentasi inundatif ini hanya dilakukan sekali, kondisi ini yang diduga menyebabkan populasi T.urticae pada tanaman singkong masih diatas ambang pengendalian. Prabaningrum et al., (2010) mengemukakan pengendalian secara preventif dilakukan pada saat tanaman belum terserang hama dengan melepas predator dalam jumlah rendah (1-2 ekor) dengan tujuan mengendalikan populasi awal hama, sedangkan pada kondisi tanaman yang sudah terserang hama, pelepasan predator harus diulang dan jumlahnya harus ditingkatkan agar populasi hama dapat cepat menurun.

B. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa augmentasi inundatif Phytoseius sp. efektif dalam mengendalikan kelimpahan T.urticae pada perkebunan singkong di daerah Cilacap. Augmentasi inundatifPhytoseiussp. dengan jumlah rendah (K2) paling efektif menurunkan kelimpahanT.urticae dibandingkan dengan jumlah Phytoseiussp. tinggi (K3) atau kontrol (K1).

Referensi

Dokumen terkait

Pengendalian hama secara hayati dengan memanfaatkan musuh alami hama berpotensi untuk bisa menggantikan metode pengendalian hama yang selama ini banyak bergantung

Metode pengendalian hayati tidak dapat digunakan sebagai suatu cara pengendalian secara langsung yang dapat membunuh hama dalam waktu singkat, seperti halnya

Menurut (Sugiyono, 2010:142) angket merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada

Menurut Purnomo (2010), parasitoid mempunyai ciri-ciri menghabiskan inangnya di dalam perkembangannya, inang parasitoid adalah serangga, ukuran tubuh parasitoid bisa

Pengendalian hama dengan pengelolaan agroekosistem pada dasarnya adalah teknik pengendalian hayati dengan mengoptimalkan peran musuh alami sebagai faktor pembatas

Pengendalian OPT pada tanaman lada dilaksanakan secara serentak dan massal pada kelompok pelaksana pengendalian dengan menerapkan PHT antara lain :.. 1) Penyakit

1) Teknik pembenihan ikan nila GMT yang dilakukan responden memakai sistem pembenihan semi-intensif dengan teknik pemijahannya secara massal dan teknik pemanenannya panen

Dalam kaitannya dengan pengendalian secara hayati, Zadoks dan Schein (1979) mengemukakan bahwa metode pengendalian tersebut sering dibahas bersamaan dengan