• Tidak ada hasil yang ditemukan

LP JIWA 7 Diagnosa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LP JIWA 7 Diagnosa"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH

I. KASUS (MASALAH UTAMA) A. Pengertian

Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negative dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan (Towsend, 1998).

Penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Schult dan Videbeck, 1998).

Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998).

B. Tanda Dan Gejala

Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan gangguan harga diri rendah :

1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)

2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)

3. Gangguan hubungan sosial (menarik diri)

4. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)

5. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya (Keliat, 1999).

Tanda dan Gejala yang lain 1 Mengkritik diri sendiri 2 Perasaan tidak mampu

3 Pandangan hidup yang p esimistis 4 Tidak menerima pujian

5 Penurunan produktivitas

6 Penolakan terhadap kemampuan diri 7 Kurang memperhatikan perawatan diri 8 Berpakaian tidak rapih

(2)

9 Selera makan berkurang

10 Tidak berani menatap lawan bicara 11 Lebih banyak menunuduk

12 Bicara lambat dengan nada suara lemah (Fitria, 2009).

C. Rentang Respon

Respon Respon Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi diri positif rendah identitas

1. Aktualisasi diri : Pernayataan diri tentangkonsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.

2. Konsep diri positif : apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negative dari dirinya

3. Harga diri rendah : Individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan merasa rendah dari orang lain.

4. Kerancuan identitas : Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial kepribadi an pada masa dewasa yang harmonis. 5. Depersonalisasi : Perasaan yang tidak realistis dan asing

terhadap diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain.

D. Faktor Predisposisi

1. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis.

2. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang sesuai dengan jenis kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran yang sesuai dengan kebudayaan

(3)

3. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak percaya pada anak, tekanan teman sebaya dan kultur social yang berubah.

E. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri : harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional maupun kronik.

1. Situasional

Gangguan konsep diri : harga diri rendah yang terjadi secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, mejadi korban perkosaan, atau menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga.

2. Kronik

Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat.

F. Akibat (Effect)

Harga diri rendah kronis dapat beresiko terjadinya isolasi sosial. Isolasi sosial merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Isosial sosial dapat mengakibatkan perubahan persepsi sensori: halusinasi yang pada akhirnya menyebabkan resiko tinggi perilaku kekerasan.

(4)

Tanda dan gejala isolasi sosial: 1 Rasa bersalah

2 Adanya penolakan

3 Marah, sedih dan menangis

4 Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas 5 Mengungkapkan tidak berdaya

6 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul 7 Menghindar dari orang lain (menyendiri)

8 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat

9 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk 10 Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas

11 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap

12 Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari (Keliat, 1999).

G. Teori Para Ahli Mengenai Harga Diri Rendah

Peplau dan Sulivan dalam Keliat (1999) mengatakan bahwa pengalaman interpersonal di masa atau tahap perkembangan dari bayi sampai lanjut usia yang tidak menyenangkan seperti good me, bad me, not me, merasa sering dipersalahkan, atau merasa tertekan kelak, akan menimbulkan perasaan aman yang tidak terpenuhi. Hal ini dapat menimbulkan perasaan ditolak oleh lingkungan dan apabila koping yang digunakan tidak efektif dapat menyebabkan harga diri rendah.

Caplan dalam Keliat (1999) mengatakan bahwa lingkungan sosial, pengalaman individu dan adanya perubahan social seperti perasaan dikucilkan, ditolak serta tidak dihargai akan mempengaruhi individu. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan stress dan menimbulkan penyimpangan perilaku seperti harga diri rendah kronis.

H. Mekanisme Koping

Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek dan jangka panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri yang menyakitkan.

(5)

a. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis identitas (misal : bermain musik, bekerja keras, menonton TV) b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara

(ikut serta dalam aktivitas sosial, agama, klub politik, kelompok/geng)

c. Aktivitas yang secara sementara menguatkan perasaan diri (misal : olahraga yang kompetitif, pencapaian akademik, kontes untuk mendapatkan popularitas)

d. Aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan idividu (misal : penyalahgunaan obat)

2. Pertahanan jangka panjang

a. Penutupan identitas : Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi dan potensi diri individu tersebut

b. Identitas negatif : Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai dan harapan masyarakat.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN A. Gangguan konsep diri : HDR

Data Mayor :

DS : Klien hidup tak bermakna, tidak memiliki kelebihan apapun, merasa jelek

DO : Kontak mata kurang, tidak berinisiatif berinteraksi dengan orang lain

Data Minor :

DS : Klien mengatakan malas, putus asa, ingin mati.

(6)

III. DAFTAR PUSTAKA

Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor

Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, B.A. 1999. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC

Maramis, F, W. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press.

Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari Pocket Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3rd ed. Jakarta : EGC.

Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1. Bandung : RSJP.

Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.

(7)

LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA) A. Pengertian

Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi (higiene), berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK (Toileting).

Kurang perawatan diri : higiene adalah keadaan dimana individu mengalami kegagalan kemampuan untuk melaksanakan atau menyelesaikan aktivitas kebersihan diri (Carpenito, 1977).

B. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Defisit Perawatan Diri 1. Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif dan keterampilan klien kurang.

2. Biologis

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.

3. Sosial

Kurang dukungan dan latihan kemampuan dari lingkungannya.

C. Tanda dan Gejala 1. Mandi/hygiene

Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau mendapatkan sumber air mandi, mengaturan suhu atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.

2. Berpakaian/berhias

Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat

(8)

tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu. 3. Makan

Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.

4. BAB/BAK (toileting)

Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.

Keterbatasan perawatan diri diatas biasanya diakibatkan karena stressor yang cukup berat dan sulit diatangani oleh klien (Klien bisa mengalami harga diri rendah), sehingga dirinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik dalam hal mandi, berpakaian, berhias, makan maupun BAB dan BAK. Bila tidak dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan klien bisa mengalami masalah risiko tinggi isolasi sosial.

D. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri (Solitude) Kesepian Manipulasi Otonomi Menarik diri Impulsive

Kebersamaan Ketergantungan Narcisme

(9)

1. Menyendiri (Solitude) : Respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang dilakukan dilingkungan sosialnya dan juga suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya. 2. Otonomi : Kemampuan individu dalam menentukan

dan menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan social 3. Kebersamaan : Kondisi dalam hubungan sosial

interpersonal dimana individu mampu saling member dan menerima. 4. Saling Ketergantungan : Hubungan saling tergantung antara

individu dengan orang lain dalam rangka membina hubungan interpersonal.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN A. Defisit Perawatan diri

Data Mayor :

DS : Menyatakan malas mandi, tidak tahu cara makan yang baik, tidak tahu cara dandan yang baik, tidak tahu cara eliminasi yang baik.

DO : Badan kotor, dandan tidak rapih, makan berantakan, BAB/BAK sembarang tempat.

Data Minor :

DS : Merasa tidak berguna, merasa tak perlu merubah penampilan, merasa tidak ada yang peduli

DO : Tidak tersedia alat kebersihan, tidak tersedia alat makan, tidak tersedia alat toileting

III. DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, B.A. 1999. Proses Kesehatan Jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC

Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari Pocket Guide to Psychiatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3rd ed. Jakarta : EGC.

(10)

Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed : 1. Bandung : RSJP.

LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

I. KASUS (MASALAH UTAMA) A. Pengertian

1. Hubungan Sosial

Hubungan sosial adalah hubungan untuk menjalin kerjasama dan ketergantungan dengan orang lain (Stuart and Sundeen, 1998). 2. Kerusakkan Interaksi Sosial

Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan hubungan intrapersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Depkes, 2000).

Kerusakan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang berpartisipasi dalam pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif. Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain salah satunya mengarah pada perilaku menarik diri (Townsend, 1998).

Kerusakan interaksi sosial adalah satu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel, tingkah maladaptif, dang mengganggu fungsi individu dalam hubungan sosialnya (Stuart dan Sundeen, 1998) 3. Isolasi Sosial

Suatu sikap di mana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehingan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk

(11)

berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007) .

Merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan maupun komunikasi dengan orang lain (Rawlins, 1993).

Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Balitbang, 2007).

Suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Townsend, 1998).

B. Tanda dan Gejala

Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial. 1 Kurang spontan.

2 Apatis (acuh terhadap lingkungan). 3 Ekspresi wajah kurang berseri.

4 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri. 5 Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.

6 Mengisolasi diri

7 Tidak ada atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya. 8 Asupan makanan dan minuman terganggu.

9 Retensi urine dan feses. 10 Aktivitas menurun. 11 Kurang energi (tenaga). 12 Rendah diri.

13 Poster tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi tidur).

(12)

Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori : halusinasi dan resiko tinggi mencederai diri, orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri. Seseorang yang mempunyai harga diri rendah awalnya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya, sehingga orang tersebut berperilaku tidak normal (koping individu tidak efektif). Peranan keluarga cukup besar dalam mendorong klien agar mampu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, bila sistem pendukungnya tidak baik (koping keluarga tidak efektif) maka akan mendukung seseorang memiliki harga diri rendah.

C. Rentang Respons

Respons Adaptif Respons Maladaptif

Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.

1. Respons adaptif

Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika menelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk respons adaptif.

a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya. b. Otonomi, kemempuan individu untuk menentukan dan

menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial. c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan

satu sama lain. Menyendiri Otononi Bekerja sama Interdependen Merasa sendiri Depedensi Curiga Menarik diri Ketergantungan Manipulasi curiga

(13)

d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.

2. Respons maladaptif

Respons maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respons maladaptif.

a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.

b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga tergantung dengan orang lain.

c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.

d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.

D. Etiologi

Terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadi perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada diri orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri dan kegiatan sendiri terabaikan.

1. Faktor Predisposisi

a. Faktor Tumbuh Kembang

Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.

(14)

Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah.

Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan Interpersonal.

Tahap Perkembangan Tugas

Masa Bayi Menetapkan rasa percaya

Masa Bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri

Masa Prasekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung jawab, dan hati nurani

Masa Sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan berkompromi

Masa Praremaja Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis kelamin.

Masa Remaja

Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau bergantung pada orang tua.

Masa Dewasa Muda

Menjadi saling bergantung antara orangtua dan teman, mencari

pasangan, menikah, dan mempunyai anak.

Masa Tengah Baya Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah dilalui.

Masa Dewasa Tua

Berduka karena kehilangan dan mengembangkan perasaan keterikatan dengan budaya. Sumber : Stuart dan Sundeen (1995) b. Faktor Komunikasi dalam Keluarga

Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan di mana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang

(15)

tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.

c. Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.

d. Faktor Biologis

Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal.

2. Faktor Presipitasi

Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stresorpresipitasi dapat dikelompokkan sebagai berikut.

a. Faktor eksterna

Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.

b. Faktor internal

Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.

(16)

Dibawah ini akan dijelaskan mengenai dampak gangguan interaksi sosial menarik diri terhadap kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan oleh Abraham Maslow.

1. Kebutuhan Fisiologis

Klien dengan interaksi sosial menarik diri kurang memperhatikan diri dan lingkungannya sehingga motivasi untuk makan sendiri tidak ada. Klien kurang memperhatikan kebutuhan istirahat dan tidur, karena asyik dengan pikirannya sendiri sehingga tidak ada minat untuk mengurus diri dan keberhasilannya.

2. Kebutuhan Rasa Aman

Klien dengan gangguan interaksi menarik diri cenderung merasa cemas, gelisah, takut dan bingung sehingga akan menimbulkan rasa tidak aman bagi klien.

3. Kebutuhan Mencintai dan Dicintai

Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri cenderung memisahkan diri dari orang lain.

4. Kebutuhan Harga Diri

Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri akan mengalami perasaan yang tidak berarti dan tidak berguna. Klien akan mengkritik diri sendiri, menurunkan dan mengurangi martabat diri sendiri sehingga klien terganggu.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Klien dengan gangguan interaksi sosial menarik diri akan merasa tidak percaya diri, merasa dirinya tidak pantas menerima pengakuan dan penghargaan dari orang lain dan klien akan merasa rendah diri untuk meminta pengakuan dari orang lain.

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN A. Isolasi sosial

Data Mayor :

DS : Klien mengatakan malas berinteraksi, mengatakan orang lain tidak mau menerima dirinya, merasa orang lain tidak selevel.

DO : Menyendiri, mengurung diri, tidak mau bercakap-cakap dengan orang lain.

(17)

Data Minor :

DS : Curiga dengan orang lain, mendengar suara/melihat bayangan, merasa tak berguna

DO : Mematung, mondar-mandir tanpa arah, tidak berinisiatif berhubungan dengan orang lain

III. DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo.

Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor

Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan

Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

(LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Keliat Budi Ana. 1999.Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC.

Keliat Budi Ana. 1999. Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC.

Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby Year Book.

(18)

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI

I. KASUS (MASALAH UTAMA) A. Pengertian

Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai suatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “terepsesi”. Halusinasi dapat terjadi karena dasarr-dasar organik fungsional, psikotik, maupun histerik (Yosep, 2007).

Menurut Cook dan Fontaine (1987) perubahan persepsi sensori: halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Klien merasakan stimulasi yang sebetulnya tidak ada. Selain itu, perubahan persepsi sensori: halusinasi bisa juga diartikan sebagai persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, atau pengecapan).

Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari lingkungan (Depkes RI, 2000).

Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada pola stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal dan eksternal). Disertai dengan suatu pengurangan berlebih-lebihan atau kelainan berespon terhadap stimulus (Towsend, 1998).

Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pendengaran, penglihatan, taktil, atau penciuman yang ada stimulus eksterna (Antai Otong, 1995).

Gangguan penyerapan/persepsi pancaindra tanpa adanya rangsangan dari luar. Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat kesadaran individu tersebut penuh dan baik.

(19)

Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari individu sendiri. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Wilson, 1983).

B. Teori yang Menjelaskan Halusinasi 1. Teori Biokimia

Terjadi sebagai respon metabolisme terhadap stres yang mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neurotik (buffofenon dan dimethytransaferase).

2. Teori Psikoanalisis

Merupakan respon pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.

C. Jenis – jenis Halusinasi

Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif Halusinasi Dengar

(Klien mendengar suara/bunyi yang tidak ada hubungannya dengan stimulus yang nyata/lingkungan).  Bicara atau tertawa sendiri.  Marah-marah tanpa sebab.  Mendekatkan telinga ke arah tertentu. Menutup telinga.  Mendengar suara-suara atau kegaduhan.  Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.  Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya. Halusinasi Penglihatan

(Klien melihat gambaran yang jelas/samar terhadap adanya stimulus yang nyata dari lingkungan dan orang lain tidak melihatnya).

 Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu.

 Ketakutan pada situasi yang tidak jelas.

Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, kartun, melihat hantu, atau monster.

(20)

Halusinasi Penciuman

(Klien mencium bau yang muncul dari sumber tertentu tanpa stimulus yang nyata).  Mengendus-endus seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.  Menutup hidung. Membauai bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, dan terkadang bau-bau tersebut menyenangkan bagi klien. Halusinasi Pengecapan (Klien merasakan sesuatu yang tidak nyata, biasanya merasakan rasa yang tidak enak).

 Sering meludah.

 Muntah.

Merasakan rasa seperti darah, urin, atau feses.

Halusinasi Perabaan

(Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa ada stimulus yang nyata)  Menggaruk-garuk permukaan kulit.  Mengatakan ada serangga di permukaan kulit.  Merasa seperti tersengat listrik. Halusinasi Kinestetik

(Klien merasa badannya bergerak dalam suatu ruangan/anggota badannya bergerak)  Memegang kakinya yang dianggapnya bergerak sendiri. Mengatakan badannya melayang di udara. Halusinasi Viseral

(Perasaan tertentu timbul dalam tubuhnya)

 Memegang badannya yang dianggap

berubah bentuk dan tidak normal seperti biasanya.

Mengatakan perutnya menjadi mengecil setelah minum softdrink.

(21)

D. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh dari klien atau keluarga. Faktor predisposisi meliputi:

1. Faktor Perkembangan

Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.

2. Faktor Sosiokultural

Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkarkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan yang membesarkannya.

3. Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimethytransferase (DMP).

4. Faktor Psikologis

Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.

5. Faktor Genetik

Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

E. Faktor Presipitasi

Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya

(22)

halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

F. Perilaku

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan individu sebagai makhluk yang dibangun atas unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:

1. Dimensi fisik

Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi ransangan eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti: kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur dalam waktu lama.

2. Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan, sehingga klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap ketakutannya.

3. Dimensi intelektual

Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.

4. Dimensi sosial

Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri. Individu asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri,

(23)

dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang lain. Dengan demikian intervensi keperawatan pada klien yang mengalami halusianasi adalah dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan penngalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak menyendiri. 5. Dimensi spiritual

Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang mengalami halusiansi cenderung menyendiri dan cenderung tidak sadar dengan keberadaanya serta halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut.

G. Sumber Koping

Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.

H. Mekanisme Koping

Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.

I. Tahapan Halusinasi 1. Tahap I ( non-psikotik )

Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien. Karakteristik :

(24)

b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan

c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadaran

Perilaku yang muncul :

a. Tersenyum atau tertawa sendiri b. Menggerakkan bibir tanpa suara c. Pergerakan mata yang cepat

d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi 2. Tahap II ( non-psikotik )

Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan yang berat. Secara umum, halusinasi yang ada dapat menyebabkan antipasti.

Karakteristik :

a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan oleh pengalaman tersebut

b. Mulai merasa kehilangan kontrol c. Menarik diri dari orang lain Perilaku yang muncul :

a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.

b. Perhatian terhadap lingkungan menurun

c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun

d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita

3. Tahap III ( psikotik )

Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Karekteristik :

a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya b. Isi halusinasi menjadi atraktif

c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir Perilaku yang muncul :

a. Klien menuruti perintah halusinasi b. Sulit berhubungan dengan orang lain

(25)

c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata e. Klien tampak tremor dan berkeringat

4. Tahap IV ( psikotik )

Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panic

Perilaku yang muncul : a. Resiko tinggi menciderai b. Agitasi atau kataton

c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada

Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan seseorang yang menarik diri dari lingkungan karena orang tersebut menilai dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya yang menyuruh pada kejelekan maka akan berisiko terhadap perilaku

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN A. Perubahan persepsi sensori : halusinasi

Data Mayor :

DS : Mengatakan mendengar suara, bisikan/melihat bayangan

DO : Bicara sendiri, tertawa sendiri, marah tanpa sebab Data Minor :

DS : Menyatakan kesal, menyatakan senang dengan suara- suara

DO : Menyendiri, melamun III. DAFTAR PUSTAKA

Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor

Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan

Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

(LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, B,A. 1998. Askep Pada Kliean Gangguan Orientasi Realitas. Jakarta.

(26)

Maramis, F, W. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press.

(27)

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

I. KASUS (MASALAH UTAMA) A. Pengertian

Waham adalah keyakinan yang salah dan kuat dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas social (Stuart dan Sundeen, 1998).

Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien. Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya penolakan, kekerasan, tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya (Keliat,1999).

Menurut Depkes (2000), Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan knyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapay diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol.

B. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses piker : waham adalah sebagai berikut.

1. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan

2. Klien tampak tidak mempunyai orang lain 3. Curiga

4. Bermusuhan

5. Merusak (diri, orang lain, lingkungan) 6. Takut, sangat waspada

7. Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas 8. Ekspresi wajah tegang

9. Mudah tersinggung (Azis R dkk, 2003).

(28)

1. Menolak makan

2. Tidak ada perhatian pada perawatan diri 3. Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan 4. Gerakan tidak terkontrol

5. Mudah teresinggung

6. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan

7. Tidak dapat membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan 8. Menghindar dari orang lain

9. Mendominasi pembicaraan 10. Berbicara kasar

11. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan (Fitria, 2009).

C. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

D. Penyebab dari Waham

Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir: waham yaitu harga diri rendah kronis. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, dan merasa gagal mencapai keinginan. Harga diri rendah kronik dapat menyebabkan isolasi sosial dan pada akhirnya menyebabkan perubahan proses pikir: waham.

1. Faktor predisposisi a. Faktor perkemabangan - Pikiran logis - Persepsi akurat - Emosi konsisten dng pengalaman - Perilaku sesuai - Hubungan social harmonis - Kadang proses piker terganggu - Ilusi - Emosi berlebih - Berperilaku yg tidak biasa - Menarik diri - Gg. Isi piker halusinasi - Perubahan proses emosi - Perilaku tidak terorganisasi - Isolasi sosial

(29)

Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini dapat menigkatkan stress dan ansiets yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi yang tidak efektif.

b. Faktor sosial budaya

Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya waham.

c. Faktor psikologis

Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.

d. Faktor biologis

Waham diyakini terjadi karena atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.

e. Genetis

Diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif. f. Neurobiologis

Adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic g. Neurotransmitter

Abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat. h. Virus paparan virus influensa pada trimester III

2. Faktor Presipitasi a. Faktor sosial budaya

Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau diasingkan dari kelompok.

b. Faktor biokimia

Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi penyebab waham pada seseorang.

c. Faktor psikologis

Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang menyenangkan.

(30)

E. Macam – macam Waham

1. Waham agama : keyakinan seseorang bahwa ia dipilih oleh Yang Maha Kuasa atau menjadi utusan Yang Maha Kuasa.

2. Waham somatik : keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya sakit atau terganggu.

3. Waham kebesaran : keyakinan seseorang bahwa ia memiliki kekuatan yang istimewa.

4. Waham paranoid : kecurigaan seseorang yang berlebihan atau tidak rasional dan tidak mempercayai orang lain, ditandai dengan waham yang sistematis bahwa orang lain “ingin menangkap “ atau memata-matainya.

5. Waham depresif : kepercayaan tidak mendasar serta cenderung menyalahkan diri sendiri akibat perbuatan-perbuatannya yang melanggar kesusilaan atau kejahatan, sering dirasakan sebagai waham sakit dan waham bersalah

6. Waham nihilistik : suatu pikiran bahwa dirinya atau orang lain sudah meninggal atau dunia sudah hancur

7. Waham pengaruh : keyakinan bahwa dirinya merupakan subjek pengaruh dari orang lain

8. Siar pikir ; waham tentang pikiran yang disiarkan ke dunia luar.

9. Sisip pikir ; waham tentang pikiran yang ditempatkan ke dalam benak orang lain atau pengaruh luar.

F. Mekanisme Koping

Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :

1. Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas

2. Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi 3. Menarik diri

4. Pada keluarga ; mengingkari

(31)

Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

Tanda dan Gejala :

1. Memperlihatkan permusuhan

2. Mendekati orang lain dengan ancaman

3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai 4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan 5. Mempunyai rencana untuk melukai

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN A. Perubahan proses pikir: waham

Data Mayor :

DS : Merasa curiga, merasa cemburu, merasa diancam/diguna-guna, merasa sebagai orang hebat, merasa memiliki kekuatan luar biasa, merasa sakit/rusak organ tubuh.

DO : Marah –marah tanpa sebab, banyak kata (longorhoe), menyendiri, sirkumtansial, inkoheren.

Data Minor :

DS : Merasa orang lain menjauh, merasa tidak ada yang mau mengerti

(32)

III. DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo.

Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7 Diagnosa Keperawatan Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC.

Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby Year Book.

(33)

LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN

I. KASUS (MASALAH UTAMA) A. Pengertian

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen, 1995).

Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz dalam Harnawati, 1993).

Sementara, menurut (Towsend, 1998) perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang individu mengalamai perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang – barang (Maramis, 1998).

Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan scara verbal dan fisik (Keltner et al, 1995).

B. Tanda dan Gejala

1. Fisik : Muka merah, Pandangan tajam/mata melotot, tangan mengepal, otot tegang, rahang mengatup, serta postur tubuh kaku.

2. Verbal : Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus. 3. Perilaku : Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain,

merusak lingkungan, amuk/agresif

4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa

terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, ngamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.

(34)

5. Intelektual : Mendominasi, cerewet, cenderung suka meremehkan, berdebat, kasar, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme

6. Spiritual : Merasa diri kuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tak bermoral, kreativitas terhambat

7. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran, memperlihatkan permusuhan, mendekati orang lain dengan ancaman, memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai, menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan, mempunyai rencana untuk melukai

C. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan Keterangan :

1. Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa

menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan 2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan

tidak dapat menemukan alternative

3. Pasif : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya

4. Agresif : Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih terkontrol

5. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya control

Perbandingan antara perilaku Asertif, Pasif dan Agresif/Kekerasan

Pasif Asertif Agresif

Isi Pembicaraan Negatif dan merendahkan diri, contohnya perkataan : “Dapatkah saya?” “Dapatkah kamu?” Positif dan menawarkan diri, contohnya perkataan : “Saya dapat…” “Saya akan….” Menyombongkan diri. Merendahkan orang lain, contohnya perkataan : “Kamu selalu…” “Kamu tidak

(35)

pernah…” Tekanan

suara

Cepat lambat, mengeluh

Sedang Keras dan ngotot

Posisi badan Menundukan kepala Tegap dan santai Kaku, condong kedepan Jarak Menjaga jarak dengan

sikap acuh/ mengabaikan

Mempertahankan jarak yang nyaman

Siap dengan jarak akan menyerang orang lain

Penampilan Loyo, tidak dapat tenang

Sikap tenang Mengancam, posisi menyerang

Kontak mata Sedikit/sama sekali tidak

Mempertahankan kontak mata sesuai dengan hubungan

Mata melotot dan dipertahankan

Sumber : Keliat (1999) dalam Fitria (2009)

D. Faktor Predisposisi

Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang factor predisposisi perilaku kekerasan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Teori Biologik

Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut :

a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbic sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif

b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetil kolin dan serotinin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan

(36)

serebrospinal merupakan factor predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.

c. Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan genetic termasuk genetic tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak criminal (narapidana)

d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

2. Teori Psikologik

a. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secra terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.

b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa factor predisposisi biologic.

3. Teori Sosiokultural

Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat ,erupakan factor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan

(37)

E. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan eksternal : 1. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan,

menurunya percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain. 2. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai,

krisis dan lain-lain.

Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut :

1. Kesulitan kondisi social ekonomi

2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu

3. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa

4. Pelaku mungkin mempuanyai riwayat anti sosial seperti penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi

5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

F. Mekanisme Koping

Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.

Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (Harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).

(38)

Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen teurapeutik inefektif).

G. Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara lain sebagai berikut :

1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah 2. Stimulus lingkungan

3. Konflik interpersonal 4. Status mental 5. Putus obat

6. Penyalahgunaan narkoba/alcohol

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN A. Perilaku kekerasan

Data Mayor :

DS : Mengancam, mengumpat, bicara keras dan kasar

DO : Agitasi, meninju, membanting dan melempar Data Minor :

DS : mengatakan ada yang mengejek dan mengancam, mendengar suara yang menjelekkan, merasa orang lain mengancam dirinya

DO : menjau dari orang lain, katatonia III. DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk, 2003 ,Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo,

Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor

Keliat Budi Ana, 1999, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,

(39)

Stuart GW, Sundeen, 1995, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby Year Book,

 Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran,EGC;Jakarta.

(40)

LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO TINGGI BUNUH DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA) A. Pengertian

Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau mernyakiti diri sendiri (Clinton, 1995)

Bunuh diri adalah suatu keadaan di mana individu mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atatu melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai tindakan destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap benSP aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan (Stuart dan sundeen, 1995)

B. Tanda dan Gejala

1. Mempunyai ide untuk bunuh diri 2. Mengungkapkan keinginan untuk mati

3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan 4. Impulsif

5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)

6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri

7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis mematikan)

8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan mengasingkan diri)

9. Kesehatan mental ( secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis dan menyalahgunakan alkohol)

10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal)

(41)

11. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan karier)

12. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun

13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan) 14. Pekerjaan

15. Konflik interpersonal 16. Latar belakang keluarga 17. Orientasi seksual

18. Sumber-sumber personal 19. Sumber-sumber sosial

20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil

C. Rentang Respon

Respons Adaptif Respon Maladaptif

Peningkatan diri Beresiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri tidak langsung

Keterangan :

1. Peningkatan diri : Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri.

2. Beresiko destruktif : Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri.

3. Destruktif diri tidak langsung : Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya unSP mempertahankan diri.

4. Pencenderaan diri : Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencenderaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.

5. Bunuh diri : Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya hilang.

Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya :

(42)

1. Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses kontemplasi dari bunuh diri, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan unSP mati

2. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah

melakukan perencanaan yang konkrit unSP melakukan bunuh diri

3. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya

keinginan dan hasrat yang dalam, bahkan ancaman unSP mengakhiri hidupnya

4. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku

destruktif yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan unSP melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena individu mengalami ambivalen antara mati, hidup dan tidak berencana unSP mati. Individu ini masih memiliki kemauan unSP hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan stres yang tidak mampu di selesaikan

5. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang

mempunyai indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan, walaupun demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.

D. Faktor Predisposisi

1. Faktor genetik dan teori biologi

Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya. Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko buuh diri. 2. Teori sosiologi

Emile Durkheim membagi bunuh diri dalam 3 kategori yaitu : Egoistik (orang yang tidak terintegrasi pada kelompok sosial) , atruistik (Melakukan bunuh diri unSP kebaikan masyarakat) dan anomik (

(43)

Bunuh diri karena kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).

3. Teori psikologi, memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego, trauma interpersonal, dan kecemasam berkepanjangan yang nungkin dapat memicu seseorang unSP mencederai diri. Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.

4. Teori interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai kegagalan dari pertemuan dalam hidup, masa anak-anak mendapat perlakuan kasar serta tidak mendapatkan kepuasan (Stuart dan Sundeen, 1995)

5. Penyebab lain :

a. Adanya harapan yang tidak dapat di capai

b. Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidak-berdayaan

c. Cara untuk meminta bantuan

d. Sebuah tindakan untuk menyelesaikan masalah

E. Faktor Presipitasi

Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.

F. Masalah dan Data yang Perlu dikaji

Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian : 1. Riwayat masa lalu :

a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri

c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia

(44)

e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid, antisosial, gangguan persepsi sensori, gangguan proses pikir, dlsb

f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka 2. Symptom yang menyertainya

a. Apakah klien mengalami : a) Ide bunuh diri

b) Ancaman bunuh diri c) Percobaan bunuh diri

d) Sindrom mencederai diri sendiri yang disengaja

b. Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan anhedonia dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait dengan resiko bunuh diri.

3. Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk membunuh diri mereka sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih mendalam lagi diantaranya :

a.

b. Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau perencanaan untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan rencananya.

c. Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk merencanakan dan mengagas akan bunuh diri

d. Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu diakses oleh klien.

e. Hal – hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan pengkajian tentang riwayat kesehatan mental klien yang mengalami resiko bunuh diri :

f. Menciptakan hubungan saling percaya yang terapeutik g. Memilih tempat yang tenang dan menjaga privasi klien

h. Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam dan mendorong komunikasi terbuka.

i. Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata – kata yang dimengerti klien

j. Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat pengobatannya

(45)

k. Mendaptakan data tentang demografi dan social ekonomi l. Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan

m. Peroleh riwayat penyakit fisik klien

Salah satu Instrumen yang dapat dipekai untuk mengukur bunuh diri : SAD PERSONS

NO SAD PERSONS Keterangan

1 Sex (jenis kelamin) Laki laki lebih komit melakukan suicide 3 kali lebih tinggi dibanding wanita, meskipun wanita lebih sering 3 kali dibanding laki laki melakukan percobaan bunuh diri

2 Age ( umur) Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau lebih muda, 45 tahun atau lebih tua dan khususnya umur 65 tahun lebih.

3 Depression 35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri mengalami sindrome depresi.

4 Previous attempts (Percobaan

sebelumnya)

65- 70% orang yang melakukan bunuh diri sudah pernah melakukan percobaan sebelumnya

5 ETOH ( alkohol) 65 % orang yang suicide adalah orang menyalahnugunakan alkohol

6 Rational thinking Loss ( Kehilangan berpikir rasional)

Orang skizofrenia dan dementia lebih sering melakukan bunuh diri disbanding general populasi

7 Sosial support lacking ( Kurang dukungan social)

Orang yang melakukan bunuh diri biasanya kurannya dukungan dari teman dan saudara, pekerjaan yang bermakna serta dukungan spiritual keagaamaan

8 Organized plan ( perencanaan yang teroranisasi)

Adanya perencanaan yang spesifik terhadap bunuh diri merupakan resiko tinggi

9 No spouse ( Tidak memiliki pasangan)

Orang duda, janda, single adalah lebih rentang dibanding menikah

10 Sickness Orang berpenyakit kronik dan terminal beresiko tinggi melakukan bunuh diri.

(46)

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN A. Risiko bunuh diri

Data Mayor :

DS : Mengatakan hidupnya tak berguna lagi, ingin mati, mengatakan pernah mencoba ingin bunuh diri, mengancam bunuh diri

DO : Ekspresi murung, tak bergairah, ada bekas percobaan bunuh diri Data Minor :

DS : Mengatakan ada yang menyuruh bunuh diri, mengatakan lebih baik mati saja, mengatakan sudah bosan hidup

DO : Perubahan kebiasaan hidup, perubahan perangai III. DAFTAR PUSTAKA

Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor.

Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) unSP 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S-1 Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, B. A. 1998. Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Orientasi Realitas. Jakarta: EGC.

Maramis, F. W. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.

Stuart & Sundeen. 1998. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

(47)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan laporan ini identifikasi masalahnya adalah bagaimana aplikasi asuhan keperawatan pada klien dengan masalah keperawatan utama kerusakan interaksi sosial : Menarik

Tujuan : Untuk memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan isolasi sosial : menarik diri di Ruang Arjuna Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta dengan metode yang

Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali menyalurkan

Klien dapat meningkatkan keterbukaan dan hubungan saling percaya dengan perawat sehingga mempermudah dalam proses interaksi, saat halusinasinya muncul yaitu saat klien sendirian

Jelaskan : Klien hidup bersama dengan kedua orangtua dan satu orang adik perempuan, ayah klien mengatakan interaksi di dalam rumah baik namun klien memang tipe pendiam

 Gangguan hubungan berhubungan dengan menarik diri sendiri dan orang lain yang ditandai dengan isolasi diri (menarik diri) dan perawatan diri yang kurang..

Perilaku biasanya ditunjukkan pada klien dengan harga diri rendah adalah kritik terhadap diri sendiri/orang lain, produktivitas menurun, destruksi pada orang lain,

Setelah diteliti ternyata firman memiliki gangguan dalam interaksi sosial sebanyak dua gejala (Tidak mengambil giliran ketika bermain permainan sederhana dengan orang