• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara nasional terhadap kedaulatan negara) yang telah ditetapkan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara nasional terhadap kedaulatan negara) yang telah ditetapkan dengan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kawasan Danau Toba

Kawasan Danau Toba adalah Kawasan Strategis Nasional (wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara) yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional.

Danau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan berlokasi di Provinsi

Sumatera Utara, secara administrasi pemerintahan merupakan bagian dari 7 wilayah kabupaten, yaitu : Kabupaten Karo; Simalungun; Dairi; Toba Samosir;

Samosir; Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara. Secara geografis, Ekosistem Kawasan Danau Toba terletak pada koordinat 980 31’ 2” – 980 09’ 14” Bujur Timur (BT) dan 20 19’ 15” – 20 54’ 02” Lintang Utara (LU), dengan ketinggian permukaan air Danau Toba yang pernah diamati dan dicatat adalah sekitar 906 meter dpl (di atas permukaan laut) (van Bemmelen, 1994 dalam Tumiar, 2004). Tetapi akhir-akhir ini dari data pengamatan perorangan, ada yang menyebutkan bahwa kedalaman permukaan perairan Danau Toba saat ini sudah mengalami penurunan sehingga ketinggian permukaan air Danau Toba sekitar 903 meter dpl (Tumiar, 2004). Danau ini merupakan danau terluas di Indonesia dengan luas 1.124 Km2, kedalaman maksimum 508 m dan total volume air danau lebih kurang 256,8 x 103 m3 (Ardika, 1999).

(2)

Danau Toba adalah perairan daratan yang memiliki peran multi sektor, baik bagi kepentingan masyarakat lokal maupun nasional bahkan internasional. Wilayah Danau Toba adalah pusat kepariwisataan di Sumatera Utara, dengan daya tarik utamanya panorama hamparan air Danau Toba dan kawasan sekitarnya merupakan objek pariwisata yang sudah dikenal ke mancanegara. Hal ini telah menjadi kebijakan nasional, bahwa kawasan Danau Toba menjadi salah satu andalan dan potensi Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPNAS) (Ardika, 1999). Potensi yang sangat besar dari perairan Danau Toba adalah air yang mengalir melalui outletnya yang telah dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sigura-gura yang memiliki kapasitas yang cukup besar (286 Megawatt) dan telah beroperasi sejak tahuh 1982, bandingkan dengan PLTA Maninjau yang hanya 68 MW (Lukman, 2010).

Danau Toba merupakan sumberdaya air yang mempunyai nilai sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba sebagai habitat berbagai organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitar, sebagai tempat penangkapan dan budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA), kegiatan transportasi air, dan menunjang berbagai jenis industri.

Danau Toba dan daerah tangkapan air (catchment area) nya merupakan bentang alam yang sangat luas. Daerah tangkapan air danau meliputi area 369.854 ha yang terdiri dari 190.314 ha daratan di Pulau Sumatera, 69.280 ha daratan Pulau Samosir dan 110.260 ha luas permukaan danau. Kawasan Danau Toba merupakan hulu dari beberapa wilayah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.

(3)

Kondisi ekosistem kawasan ini berpengaruh langsung dan tidak langsung bagi daerah hilirnya. Ekosistem kawasan danau memiliki nilai ekologi, sosial budaya dan ekonomi bagi kehidupan manusia.

Kawasan Danau Toba, adalah salah satu kawasan andalan wisata yang merupakan aset nasional, dan memiliki nilai strategis bagi Propinsi Sumatera Utara, dengan fungsinya yang beraneka ragam, yaitu sebagai andalan daerah tujuan wisata, sumber air bersih bagi penduduk, kegiatan perikanan, baik secara tradisional maupun budidaya KJA, kegiatan pertanian, kegiatan transportasi air dan pembangkit tenaga listrik.

2.2 Pengelolaan Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup selalu diartikan sebagai gabungan dari semua faktor-faktor eksternal atau kondisi-kondisi eksternal yang mempengaruhi kehidupan mahluk-mahluk yang yang ada di dalamnya. Karena lingkungan hidup mencakup semua mahluk hidup dan benda-benda mati (seperti udara, tanah, air) yang berpengaruh terhadap organisme.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain dan pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.

(4)

Untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia selalu memanfaatkan sumber daya alam bahkan secara berlebihan. Semakin terbatas sumber daya alam untuk mendukung manusia, semakin sulit manusia mempertahankan kualitas hidup yang layak. Hal ini berarti, bahwa banyak masalah lingkungan hidup terjadi karena proses peningkatan kualitas hidup (Soemarwoto, 2004).

Dengan bertambahnya jumlah penduduk, berarti penggunaan sumber daya alam semakin tinggi, akibatnya pelepasan sisi-sisa (limbah) ke lingkungan juga bertambah. Karena lingkungan mempunyai daya dukung terbatas, maka dalam jangka waktu tertentu lingkungan tidak dapat lagi mendukung semua kegiatan dan kebutuhan manusia. Hal ini sangat berbahaya bagi lingkungan, terutama bagi manusia itu sendiri.

Pengelolaan lingkungan dapatlah kita artikan sebagai usaha sadar untuk memelihara atau dan memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Karena persepsi tentang kebutuhan dasar, terutama untuk kelangsungan hidup yang manusiawi, tidak sama untuk semua golongan masyarakat dan berubah-ubah dari waktu ke waktu, pengelolaan lingkungan haruslah bersifat lentur. Dengan kelenturan itu kita berusaha untuk menutup pilihan golongan masyarakat tertentu untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya atau menutup secara dini pilihan kita untuk kemudian hari (Soemarwoto, 2004).

Manusia mempunyai daya adaptasi yang besar, baik secara hayati maupun kultural. Misalnya, manusia dapat menyesuaikan diri pada penggunaan air yang tercemar, Ia membentuk daya tahan terhadap penyakit dalam tubuhnya dan karena

(5)

kebiasaan menekan rasa jijiknya terhadap air yang kotor, air bersih tidak lagi dirasakan sebagai kebutuhan dasar kelompok manusia tersebut.

Pengelolaan lingkungan sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru, sejak manusia ada, ia telah melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan. Manusia pemburu harus mencari dan mengejar hewan buruannya. Hasilnya tidak dapat dipastikan. Kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Jenis hewan yang tertangkap pun tidak dapat dipastikan. Untuk dapat lebih memastikan atau memperbesar kepastian hasilnya, baik dalam jumlah maupun dalam jenis hewan yang dapat ditangkapnya, manusia menjinakkan dan memelihara hewan tertentu sebagai ternak. Ia membuat dan memelihara padang rerumuputan. Ia menjaga pula ternaknya terhadap serangan hewan buas. Dengan perkembangan peternakan itu manfaat lingkungan dapat diperbesar dan resiko lingkungan diperkecil, sehingga kemungkinan terpenuhinya kebutuhan dasarnya dapat lebih terjamin. Hal yang serupa kita dapatkan dalam perikanan, pertanian dan perhutanan. Domestikasi, yaitu penjinakan dan pemeliharaan, ikan, ternak dan tumbuhan merupakan usaha pengelolaan lingkungan yang dimulai sangat awal dalam kebudayaan manusia.

Pembangunan mempunyai tujuan jangka panjang dalam arti kita tidak hanya membangun untuk kita, melainkan juga untuk anak cucu kita, generasi yang akan datang. Dalam hubungan ini patutlah kiranya untuk kita renungkan konsep pembangunan di bumi pada umumnya dan tanah air Indonesia pada khususnya.

Daya dukung berkelanjutan ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor biofisik maupun sosial-budaya-ekonomi. Kedua kelompok faktor ini saling

(6)

mempengaruhi. Faktor biofisik penting yang menentukan daya dukung berkelanjutan ialah proses ekologi yang merupakan sistim pendukung kehidupan dan keanekaan jenis yang merupakan sumberdaya gen. Misalnya, hutan adalah salah satu faktor ekologi dalam sistim pendukung kehidupan. Hutan melakukan proses fotosíntesis yang menghasilkan oksigen yang kita perlukan untuk pernafasan kita. Apabila proses fotosíntesis terhenti atau menurun drastis karena hutan atau tumbuhan pada umumnya habis atau sangat berkurang, kandungan oksigen dalam udara akan menurun dan kehidupan kita akan terganggu. Kerusakan hutan akan mengakibatkan rusaknya tata guna air dan terjadinya erosi tanah. Hutan bakau melindungi pantai dari hempasan ombak. Hutan bakau juga merupakan habitat berbagai macam udang, kepiting dan ikan, dan karena itu merupakan ekosistem yang amat penting dalam perikanan.

Pembangunan pada hakekatnya adalah pengubahan lingkungan, yaitu mengurangi resiko lingkungan atau dan memperbesar manfaat linkungan. Sejak berabad tahun yang lalu nenek moyang kita telah mengubah hutan menjadi daerah permukiman dan pertanian. Pengubahan hutan menjadi sawah merupakan usaha untuk memanfaatkan lahan untuk produksi bahan makanan dalam kondisi curah hujan yang tinggi dan juga untuk mengurangi resiko erosi di daerah yang banyak bergunung. Hingga sekarang pencetakan sawah baru masih terus berjalan. Dengan pengubahan hutan atau tataguna lahan menjadi sawah berubahlah pula keseimbangan lingkungan.

Dalam usaha untuk mengubah keseimbangan lingkungan yang ada pada mutu hidup yang rendah ke keseimbangan lingkungan baru pada tingkat mutu hidup yang lebih tinggi, diusahakan agar lingkungan tetap dapat mendukung mutu

(7)

hidup yang lebih tinggi itu. Dengan demikian jelaslah bahwa yang kita lestarikan bukanlah keserasian dan keseimbangan lingkungan, melainkan kita ingin melestarikan daya dukung lingkungan yang dapat menopang secara berkelanjutan pertumbuhan dan perkembangan yang kita usahakan dalam pembangunan. Walaupun lingkungan berubah, kita usahakan agar tetap ada kondisi yang mampu untuk menopang secara terus-menerus pertumbuhan dan perkembangan, sehingga kelangsungan hidup kita dan anak cucu kita dapat terjamin pada tingkat mutu hidup yang makin baik.

Berkenaan dengan pengelolaan ekosistem kawasan Danau Toba, Panjaitan (2009) menyatakan bahwa para pemangku amanah ekosistem kawasan Danau Toba pada tahun 2004 telah menyepakati bahwa Pengelolaan Ekosistem Danau Toba saat ini adalah mengedepankan pendekatan ekosistem dimana pengelolan Ekosistem Kawasan Danau Toba dilakukan secara bersama-sama dan dengan mendefenisikan dan mengintegrasikan keberatan faktor-faktor ekologi, ekonomi dam sosial di wilayah para Pemangku Amanah secara ekologis, bukan berdasarkan batas-batas administratif, sektor, dan kewilayahan semata.

Mengingat fungsi ekosistem Danau Toba yang sangat beranekaragam, diperlukan suatu strategi pengelolaan yang efisien agar kelestarian ekosistem Danau Toba dapat tetap dipertahankan sejalan dengan pemanfaatan yang dilakukan untuk berbagai kepentingan.

2.3 Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Lingkungan

Secara konseptual, pengertian pembanguan berkelanjutan berasal dari ilmu ekonomi yang terutama dikaitkan dengan persoalan efisiensi dan keadilan (equity)

(8)

untuk menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Pengertian dari segi ekonomi ini juga dilatarbelakangi oleh ilmu biologi yang membahas keberlanjutan dari segi kemampuan dan kesesuaian (capability and surtability) suatu lokasi dengan potensi regenarasi/productivitas lingkungan hidupnya.

Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997).

Konsep ‘berkelanjutan’ (sustainability) sebenarnya telah lama dikenal sebagai bagian dari biologi. Pada konferensi “Analisa dan Manajemen Penggunaan Berkelanjutan Tanah Hutan Tropis” (Forest Land Assessment and Management for Sustainable Uses) perkataan ‘sustainable use’ diartikan sebagai:

continuing national use of land without severe or permanent deterioration in the quality and quantity of one or more component of the integrated ecosystem or landscape unit’.

Dalam pada itu, istilah ‘pembangunan berkelanjutan’ atau sustainable development merupakan konsep muncul belakangan terkait dengan konsep pembagunan. Arti keterkaitan ini dapat dihubungkan dengan masalah efisien dan keadilan. Didalam melakukan efisiensi untuk memperbesar pembangunan dan keadilan (equity) untuk pembagian yang layak dan menjaga keberlanjutan daripada sebuah ekosistem.

(9)

Pengertian pembangunan berkelanjutan dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai perjanjian internasional dan berbagai instrumen lainnya. Laporan Komisi Brundtland pada tahun 1987 merupakan pengertian hukum yang luas dan dianut secara luas yang memberikan pengertian ‘sustainable development’: ‘development that meet the needs of the present generation without compromising the ability of future generation to meet their own needs’

Ada dua konsep tentang membangun konsep sustainable development,

yaitu konsep kebutuhan (needs) terutama kebutuhan dasar generasi saat ini, dan ide keterbatasan yang didasarkan pada pertimbangan kemajuan teknologi dan organisasi sosial untuk menetapkan daya dukung lingkungan yang mampu menopang kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan. Laporan Brundtland mengidentifikasi beberapa masalah kritis yang perlu dijadikan dasar kebijakan lingkungan bagi konsep pembangunan berkelanjutan:

a) Mendorong pertumbuhan dan meningkatkan kualitas (reviving growth

and changing its quality);

b) Memenuhi kebutuhan pokok mengenai pekerjaan, makanan, energi, air dan sanitasi (meeting essestial needs for jobs, food, energy, water, and sanitation);

c) Menjamin tingkat pertumbuhan penduduk yang mendukung keberlanjutan (ensuring asustainable level of population);

(10)

and enhancing the resource base);

e) Orientasi teknologi dan mengelola resiko (reorienting technology

and managing risks) dan

f) Memadukan pertimbangan lingkungan ekonomi dalam proses pengambilan keputusan (merging environment and economics in decision-making).

Arah dan tujuan pembinaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dijabarkan lebih lanjut sebagai:

1. Meningkatkan mutu lingkungan hidup baik fisik, sosial dan ekonomi yang mendukung pembanguan daerah yang berkelanjutan.

2. Meningkatnya pengenalan jumlah dan mutu sumberdaya alam serta jasa lingkungan, pengenalan tingkat kerusakan, penggunaan dan kemungkinan pengembangannya.

3. Terpeliharanya kawasan konservasi, keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem khususnya Daerah Aliran Sungai (DAS).

4. Terbentuknya sistem kelembagaan lingkungan hidup yang lebih efisien dan efektif, mulai dari tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten/kota, baik dalam lingkungan pemerintahan, dunia usaha maupun kegiatan kemasyarakatan.

5. Terkendalinya pencemaran perairan, tanah dan udara yang disebabkan oleh kegiatan pembangunan dan ekonomi, terutama bagi keperluan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin.

(11)

6. Pulihnya potensi/produktivitas lahan kritis untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan serta meningkatkan fungsi lingkungan hidup.

7. Meningkatnya ketersediaan data dan informasi lingkungan hidup yang dipadukan dalam suatu Jaringan Sistem Informasi Lingkungan Hidup Daerah.

Konsep berkelanjutan dalam budidaya ikan menurut Beveridge (1996), ditentukan dari langkah awal dan umumnya dimulai dari dari pemilihan lokasi, karena pemilihan lokasi yang salah akan menyebabkan kegiatan budidaya tidak berlangsung lama.

2.4 Pengelolaan Danau Secara Terpadu

Danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan daratan. Bagi manusia kepentingannya jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya. Untuk memenuhi kepentingan manusia, lingkungan sekitar danau diubah untuk dicocokkan dengan cara hidup dan bermukim manusia. Ruang dan tanah di sekitar kawasan ini dirombak untuk menampung berbagai bentuk kegiatan manusia seperti permukiman, prasarana jalan, saluran limbah rumah tangga, tanah pertanian, rekreasi dan sebagainya (Connell dan Miller, 1995). Sehingga seringkali terjadi pemanfaatan danau dan konservasi danau yang tidak berimbang, dimana pemanfaatan danau lebih mendominasi sumberdaya alam danau dan kawasan daerah aliran sungai (watershed). Mengakibatkan danau berada pada kondisi suksesi, yaitu berubah dari ekosistem perairan ke bentuk ekosistem daratan. Pendangkalan akibat erosi, eutrofikasi merupakan penyebab

(12)

suksesi suatu perairan danau. Hilangnya ekosistem danau mengakibatkan kekurangan cadangan air tanah pada suatu kawasan/wilayah yang bakal mengancam ketersediaan air bersih bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Akibatnya, keberlanjutan suatu lingkungan hidup yang didalamnya terdapat manusia dan alam terancam tak dapat berlanjut. Darmono (2001) menyatakan pengaruh negatif dari eutrofikasi di perairan danau adalah terjadinya perubahan keseimbangan kehidupan antara tanaman air dan hewan air, sehingga beberapa spesies ikan akan musnah dan tanaman air akan menghambat laju arus air.

Beberapa fungsi penting ekosistem ini sebagai berikut:

1. Sebagai sumber plasma nuftah yang berpotensi sebagai penyumbang bahan genetik.

2. Sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna yang penting.

3. Sebagai sumber air yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat sekitarnya (rumah tangga, industri dan pertanian).

4. Sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah. 5. Memelihara iklim mikro, di mana keberadaan ekosistem danau dapat

mempengaruhi kelembaman dan tingkat curah hujan setempat.

6. Sebagai sarana transportasi untuk memindahkan hasil-hasil pertanian dari tempat satu ke tempat lainnya.

7. Sebagai penghasil energi melalui PLTA. 8. Sebagai sarana rekreasi dan objek pariwisata.

(13)

Dua hal lain yang ditawarkan ekosistem danau adalah:

1. Sebagai sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik maupun industri.

2. Sebagai pembuangan yang memadai dan paling murah (Connell dan Miller, 1995).

Sebagai sumber air paling praktis, danau sudah menyediakannya melalui terkumpulnya air secara alami melalui aliran permukaan yang masuk ke danau, aliran sungai-sungai yang menuju ke danau dan melalui aliran di bawah tanah yang secara alami mengisi cekungan dimuka bumi ini. Bentuk fisik danau pun memberikan daya tarik sebagai tempat membuang yang praktis. Jika kita membiarkan semua demikian, maka akan mengakibatkan danau tak akan bertahan lama berada di muka bumi ini. Saat ini kita melihat ekosistem danau tidak dikelola sebagaimana mestinya, sebaliknya untuk memenuhi kepentingan manusia, lingkungan sekitar danau diubah untuk dicocokkan dengan cara hidup dan cara bermukim manusia.

Keadaan ekosistem perairan danau kini cenderung mengalami degradasi karena kurang kepedulian dan kesungguhan dalam pengelolaannya. Banyak diantaranya terancam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas airnya, juga dari segi kelangsungan hidup biotanya. Hal ini disebabkan terutama oleh meningkatnya kegiatan manusia di perairan maupun di daerah tangkapan airnya (Nurjanah, 2011). Sumber pencemaran air danau adalah limbah domestik berupa bahan organik dari permukiman penduduk. Adanya kegiatan lain berupa usaha pertanian, peternakan, industri rumah, usaha budidaya perikanan keramba jaring

(14)

apung dan pariwisata menambah limbah bahan organik yang masuk ke perairan danau.

Eutrofikasi dan pencemaran merupakan permasalahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perairan danau secara umum dimana akibat yang ditimbulkannya akan mempengaruhi kelangsungan hidup. Suryono et al. ( 2010), Eutrofikasi atau sering disebut pengkayaan unsur hara dalam perairan akan mengakibatkan perairan menjadi subur. Proses eutrofikasi sendiri merupakan proses alami yang akan terjadi pada setiap perairan tergenang namun dalam waktu yang lama. Seiring dengan meningkatnya aktifitas masyarakat, maka akan memeberikan masukan berupa unsur hara ke badan air danau dan jika proses pulih diri (self purification) terlampaui maka akan mempercepat proses eutrofikasi.

Kumurur (2002), area danau perlu pengelolaan yang terpadu (integrated) agar fungsi ekologis dan fungsi ekonomis dari sumberdaya alam ini dapat dilestarikan untuk menopang kehidupan generasi pada masa datang. Keberhasilan pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam akan menjadi kunci terpenuhinya harkat hidup seluruh masyarakat. Dalam rangka pengelolaan danau, perlu ditinjau beberapa aspek strategis yang menjadi “focal point” bagi skenario pengelolaan terwujudnya tujuan atau “goal” di dalam suatu konsep “Integrated Lake Management” yang “sustainable”. Beberapa aspek strategis yang mesti dipikirkan tersebut adalah: pemanfaaan perairan danau (lake use), keanekaragaman hayati (biodevirsity), polusi aliran permukaan (run-off pollution).

(15)

Rekomendasi yang perlu mendapat perhatian bagi pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah yang berkaitan dengan:

a. kelebihan kapasitas penangkapan ikan;

b. ketidakseimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam memanfaatkan sumberdaya;

c. kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu; d. degradasi sumberdaya perikanan;

e. peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan yang tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat.

2.5 Keramba Jaring Apung di Danau Toba

Kegiatan budidaya ikan di dalam keramba jaring apung (KJA) akan memberikan nilai tambah bagi sumberdaya perairan. Saat ini Danau Toba telah dimanfaatkan antara lain untuk sebagai lokasi penangkapan dan budidaya keramba jaring apung.

Metoda keramba jaring apung (KJA) semakin marak dilakukan oleh masyarakat dalam membudidayakan ikan, khususnya diperairan air tawar. Perkembangan teknologi ini berkembang pesat. Hal ini terbukti dari banyaknya danau-danau di seluruh nusantara yang dipenuhi oleh kerambah jaring apung milik masyarakat. Dilihat dari efektifitas dan efisiensinya, metoda keramba jaring apung ini sangat baik. Dengan memanfaatkan luasnya perairan di danau dan

(16)

ditambah dengan cocoknya iklim di air danau dengan perkembangan ikan, membuat penggunaan KJA semakin banyak.

Namun dalam perkembangannya, pemakaian metode KJA di perairan danau, telah menimbulkan banyak problema. Mulai dari kematian ikan yang mendadak hingga ke persoalan terganggunya ekosistem di danau. Pengembangan KJA akan bernilai positif selama dalam batas kapasitas daya dukung (DD) perairan. Peningkatan KJA yang berlebihan akan menimbulkan dampak yang buruk pada masa yang akan datang (Lukman et al. 2011).

2.6 Ekosistem Danau

Secara umum ekosistem perairan darat dapat dibagi menjadi dua yaitu perairan lentik dan perairan lotik. Perairan lentik disebut juga perairan tenang karena mempunyai kecepatan arus yang lambat sehingga terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang cukup lama. Yang termasuk perairan lentik adalah danau, kolam rawa, waduk, situ dan telaga. Sementara itu perairan lotik merupakan perairan berarus deras atau memiliki kecepatan arus tinggi yang disertai dengan perpindahan massa air dengan cepat. Yang termasuk kedalam perairan lotik misalnya sungai dan kanal.

Sebagai salah satu bentuk ekosisitem, perairan danau terdiri dari faktor abiotik (fisika dan kimia) dan faktor biotik (produsen, konsumen dan dekomposer), dimana faktor-faktor tersebut membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air tetap, jernih atau beragam

(17)

dengan aliran tertentu dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir saja (Jorgensen dan Vollenweiden, 1989; Barus, 2004).

Menurut Ruttner (1977), danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain, serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi.

Sebagai ekosistem perairan lentik, perairan danau ditandai dengan keadaan arus air yang sangat lambat (0,001-0,01 m/detik) atau bahkan tidak ada arus sama sekali, sehingga waktu tinggal air (residence time) dapat berlangsung dalam waktu sangat lama. Karena kondisi arus air pada danau sangat lambat, maka pengaruhnya tidak begitu besar terhadap kehidupan organisme yang ada di dalamnya. Menurut Wetzel (2001), perairan danau biasanya memiliki stratifikasi vertikal kualitas air yang bergantung pada kedalamaan dan musim. Adanya perbedaan sifat air antar lapisan terutama berkaitan dengan perbedaan intensitas cahaya matahari yang diserap, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan suhu air pada setiap kedalaman.

Berdasarkan adanya perbedaan suhu yang terdapat pada setiap kedalaman air, Effendi (2003) membedakan suatu perairan danau secara vertikal menjadi tiga stratifikasi, yaitu :

1. Epilimnion, merupakan lapisan bagian atas dari perairan danau. Lapisan ini merupakan bagian yang hangat dari kolam air dengan keadaan suhu yang relatif konstan (perubahan suhu secara vertikal sangat kecil). Seluruh massa air pada dibedakan berdasarkan kedalaman penetrasi cahaya matahari kedalam

(18)

badan air lapisan ini dapat bercampur dengan baik akibat dari pengaruh angin dan gelombang.

2. Metalimnion atau yang sering disebut termoklin. Lapisan ini berada di sebelah bawah lapisan epilimnion. Pada lapisan ini perubahan suhu secara vertikal relatif besar, dimana setiap penambahan kedalaman 1 meter, terjadi penurunan suhu air sekitar 10 C.

3. Hipolimnion, adalah lapisan paling dalamdari perairan danau, yang terletak di sebelah bawah lapisan termoklin. Lapisan ini mempunyai suhu yang lebih dingin dan perbedaan suhu vertikal relatif kecil, massa airnya stagnan, tidak mengalami percampuran dan memiliki kekentalan air (densitas) lebih besar. Selain membedakan lapisan air berdasarkan suhu, suatu perairan danau dapat juga menjadi beberapa zona. Dalam hal ini, Odum (1996) membedakan suatu perairan danau menjadi tiga zona, yaitu :

1. Zona litoral, adalah daerah perairan dangkal pada danau, dimana penetrasi cahaya dapat mencapai hingga ke dasar perairan. Organisme utama yang hidup pada zona ini terdiri dari produser yang meliputi tanaman berakar (anggota spermatophyta) dan tanaman yang tidak berakar (fitoplankton, ganggang), sedangkan konsumernya meliputi beberapa larva serangga air, rotifera, moluska, ikan, penyu, zooplankton dan lain sebagainya.

2. Zona limnetik, adalah daerah perairan terbuka sampai pada kedalaman penetrasi cahaya yang efektif, sehingga daerah ini efektif untuk proses foto sintesis. Organisme utama yang hidup pada zona ini terdiri dari produser yang meliputi fitoplankton dan tumbuhan air yang terapung-apung bebas,

(19)

sedangkan organisme konsumernya meliputi zooplankton dari copepoda, rotifera dan beberapa jenis ikan.

3. Zona profundal, adalah daerah dasar dari perairan danau yang dalam, dimana pada daerah ini tidak dapat lagi dicapai oleh penetrasi cahaya efektif. Sebagai organisme utama yang hidup pada zona ini adalah konsumer yang meliputi jenis cacing dan kerang-kerang kecil.

2.6.1 Faktor Fisika dan Kimia Air

Panjaitan (2009) menyatakan bahwa sekarang ini kualitas fisika dan kimia perairan Danau Toba telah mengalami penurunan oleh berbagai kegiatan manusia terutama kegiatan pemeliharaan ikan di Keramba Jaring Apung (KJA) sehingga sasaran manfaat air Danau Toba layak dikonsumsi sebagai air minum tidak akan tercapai di Ekosistem Kawasan Danau Toba.

2.6.1.1 Suhu Air

Suhu air merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap ekosistem perairan danau. Perubahan suhu air mempengaruhi perubahan beberapa sifat fisika maupun kimia air seperti perubahan kelarutan berbagai gas dalam air (O2, CO2, N2 dan CH4), sehingga berdampak terhadap aktifitas fisiologis organisme yang hidup didalamnya. Peningkatan suhu air dapat mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2 dan CH4 (Haslam, 1995). Suhu merupakan faktor pembatas utama kehidupan di air, dimana setiap jenis organisme memilki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu media tempat hidupnya. Ada organisme akuatik yang memiliki kisaran toleransi luas terhadap perubahan suhu lingkungan (euritermal) dan ada organisme akuatik

(20)

mempunyai kisaran toleransi suhu yang sempit (stenotermal). Jadi suhu merupakan faktor pengendali (controlling factor) bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologis serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evans, 1984). Selain itu, menurut Stumn dan Morgan (1981), suhu air juga dapat mempengaruhi proses dan keseimbangan reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam ekosistem perairan.

Parameter kualitas air yang berinteraksi dengan konsentrasi amonia adalah suhu, suhu yang lebih tinggi mengakibatkan peningkatan perpaduan amonia, oksigen terlarut dan kadar garam (Booth, 1999). Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, tutupan awan, dan aliran air serta kedalaman badan air. Pada danau-danau di daerah tropik, air danau mempunyai kisaran suhu yang cukup tinggi yaitu antara 20-300C, dan secara vertikal menunjukkan adanya penurunan suhu air seiiring dengan bertambahnya kedalaman, oleh karena itu dapat terbentuk stratifikasi air yang mantap sepanjang tahun. Sebagai akibatnya, pada danau yang amat dalam massa air cenderung hanya sebagian yang dapat bercampur (Effendi, 2003).

2.6.1.2 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan gambaran dari jumlah atau aktivitas ion hidrogen di dalam air. Secara umum nilai pH air menggambarkan keadaan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 berarti kondisi air bersifat netral, pH < 7 berarti kondisi air bersifat asam, sedangkan pH > 7 berarti kondisi air bersifat basa (Effendi, 2003). Keberadaan senyawa karbonat, bikarbonatdan hidroksida dalam air akan

(21)

menaikkan kebasaan air, sementara keberadaan asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan. Selanjutnya, Pescod (1973) menjelaskan bahwa nilai pH air dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu fotosintesis, respirasi organisme akuatik, suhu dan keberadaan ion-ion di perairan tersebut.

Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitasdari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan yang tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah. Perairan dengan kondisi asam kuat akan menyebabkan unsur logam berat seperti aluminium memilki mobilitas yang meningkatdan karena logam ini bersifat toksik maka dapat mengancam kehidupan biota. Demikian juga bila pH air terlalu basa maka keseimbangan amoniumdan amoniak akan terganggu, dalam hal ini kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat toksik terhadap biota akuatik. Selain itu, pH air juga mempengaruhi parameter BOD5 dan kandungan nutrien dalam air seperti fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya (Dojildo dan Best, 1992). Selain itu Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah buangan industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan.

2.6.2 Faktor Kimia Perairan

2.6.2.1 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Secara spesifik, BOD diartikan sebagai banyaknya oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik untuk dapat mendegradasikan senyawa-senyawa organik yang terdapat pada perairan. Karena oksidasi aerobik yang

(22)

dilakukan mikroorganisme terjadi dengan memanfaatkan oksigen yang terlarut dalam air, maka oksidasi bahan organik berakibat terhadap penurunan konsentrasi oksigen terlarut (DO). Penurunan konsentrasi DO dapat terjadi sampai pada tingkat konsentrasi terendah, tergantung pada banyaknya senayawa organik yang didegradasikan. Berdasarkan hal tersebut, maka nilai BOD merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran bahan organik pada suatu perairan (Lee et al., 1978).

Perairan dengan nilai BOD yang tinggi mengindikasikan bahwa kondisi perairan telah mengalami pencemaran oleh bahan-bahan organik, dan sebaliknya perairan dengan nilai BOD yang rendah mengindikasikan bahwa kondisi perairan miskin akan bahan organik sehingga diindikasikan tidak tercemar oleh limbah-limbah organik.

Menurut Barus (2004) bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai BOD, yaitu jumlah senyawa organik yang diuraikan, tersedianya organisme aerob yang mampu menguraikan senayawa organik tersebut dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian tersebut.

2.6.2.2 Chemical Oxygen Demand (COD)

Dalam suatu perairan tidak semua senyawa organik dalama air dapat diuraikan secara biologi, sehingga untuk mengukur oksigen yang dibutuhkan dalam penguraian keseluruhan senyawa organik dalama air dilakukan dengan analisis COD dengan menggunakan oksidator kuat kalium dikromat dan asam sulfat. COD adalah gambaran dari jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk

(23)

mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik senyawa organik yang dapat di degradasi secara biologi maupun yang sukar atau tidak dapat didegradasi secara biologi (Effendi, 2003). Berdasarkan hal tersebut maka nilai COD dianggap paling baik digunakan untuk menggambarkan tingkat pencemaran keseluruhan bahan-bahan organik pada suatu perairan.

2.6.2.3 Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air yang berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air serta hasil difusi dari udara (APHA, 1989). Sebagian besar dari oksigen terlarut pada perairan danau dan waduk adalah merupakan hasil sampingan dari aktivitas fotosintesis. Proses difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, dimana proses ini hanya dapat terjadi secara langsung pada kondisi air yang diam (stagnant) atau terjadi karena pergolakan massa air (agitasi) yang diakibatkan adanya gelombang atau angin.

Jeffries dan Mills (1996) menyatakan bahwa kelarutan oksigen perairan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : suhu air, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Selanjutnya masih menurut Jeffries dan Mills (1996), bahwa kandungan oksigen terlarut dalam air akan berkurang seiiring dengan meningkatnya suhu air, ketinggian tempat, dan berkurangnya tekanan atmosfer. Penyebaran oksigen penting untuk kebutuhan langsung berbagai organisme, mempengaruhi kelarutan dan ketersediaan unsur hara, oleh karena itu akan mempengaruhi produktivitas ekosistem perairan (Lukman et al., 2010).

(24)

Keberadaan oksigen terlarut dalam air sangat penting bagi kehidupan semua organisme aerob perairan termasuk mikroorganisme dekomposer. Oksigen terlarut diperlukan untuk proses respirasi, dalam ahl ini pembakaran terhadap bahan organik untuk menghasilkan energi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka oksigen terlarut mempunyai peranan yang sangat penting dalam penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme aerobik (APHA, 1989), sehingga keberadaan oksigen terlarut sangat erat kaitannya dengan keberadaan senyawa organik dalam air dan dapat digunakan sebagai indikator adanya pencemaran limbah organik pada suatu perairan (Lee et al., 1978). Secara umum suatu badan air yang telah mengalami proses eutrofikasi dapat ditandai adanya

penurunan konsentrasi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion (Suryono et al., 2010).

2.6.2.4.Kandungan Nutrien (N dan P) 2.6.2.4.1 Nitrogen (N)

Nitrogen merupakan salah satu unsur yang esensial dalam tubuh semua makhluk hidup, yang berperan sebagai komponen dasar penyusun molekul asam amino dan protein. Selanjutnya, protein mempunyai bermacam-macam fungsi, yang antara lain adalah sebagai penyusun enzym dan hormon. Dalam air, amonia terjadi dalam dua bentuk, yang secara bersama-sama disebut Nitrogen Amoniak total. Secara kimiawi kedua bentuk ini direpresentasikan sebagai NH4+ dan NH3. NH4+ disebut Amonia terionisasi karena memiliki muatan listrik positif, dan NH3 disebut Amonia yang tidak gtetionisasi (Mason,1988).

Secara alami senyawa nitrogen di perairan berasal dari hasil metabolisme organisme air dan dari hasil proses dekomposisi bahan-bahan organik oleh

(25)

bakteri. Kandungan nitrogen yang tinggi di suatu perairan dapat disebabkan oleh adanya masukan limbah seperti limbah domestik, perikanan, pertanian, peternakan dan limbah industri ke perairan tersebut. Pada perairan, senyawa nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk gas nitrogen (N2), nitri (NO2), nitrat (NO3) dan amonia (NH3), dan amonium (NH4)+ serta beberapa senyawa nitrogen organik kompleks (Haryadi, 2003). Biasanya pada perairan yang alami, senyawa nitrit ditemukan dalam konsentrasi yang sangat rendah, di mana kadarnya lebih rendah dari pada senyawa nitrat. Hal ini disebabkan karena nitrit bersifat tidak stabil, sehingga jika terdapat oksigen yang cukup akan teroksidasi menjadi senyawa nitrat. Senyawa nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen (N2) yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003).

Proses nitrifikasi terjadi melalui dua tahap reaksi yaitu reaksi oksidasi amonia (NH3)menjadi nitrit dan selanjutnyareaksi oksidasinitrit menjadi nitrat. Reaksi tersebut melibatkan bakteri-bakteri aerobseperti Nitrosomonasdan Nitrobacter. Proses nitrifikasi dapat berlangsung optimal apabila berada pada lingkungan dengan pH = 8 dan akan berkurang secara nyata apabila pada pH < 7 dan juga terjadi pada suhu antara 250 – 250 C

Dari semua jenis parameter tentang kualitas air yang mempengaruhi kehidupan ikan, selain oksigen, amonia merupakan parameter yang juga paling penting. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam jumlah kecil, amonia menyebabkan stres dan kerusakan insang, dan untuk waktu yang lebih lama lebih rentan terhadap infeksi bakteri, memiliki pertumbuhan yang buruk. Amonia adalah pembunuh jika terdapat dalam konsentrasi yang lebih tinggi.

(26)

2.6.2.4.2 Fosfor (P)

Unsur Pospor merupakan salah satu bahan kimia yang keberadaannya sangat penting bagi semua makhluk hidup, terutama dalam pembentukan protein dan transfer energi di dalam sel seperti ATP dan ADP. Pada ekosistem perairan, fosfor terdapat dalam bentuk senyawa fosfor, yaitu : a) fosfor anorganik; b) fosfor organik dalam protoplasma tumbuhan dan hewan dan c) fosfor oragnik terlarut dalam air, yang terbentuk dari proses penguraian sisa-sisa organisme (Barus, 2004).

Secara alami, senyawa fosfat yang terdapat pada perairan bersumber dari hasil pelapukan batuan mineral seperti Fluoropatite (Ca5(PO4)3F), Hydroxylapatite (Ca5(PO4)3 OH) dan Whytlockite (Ca3(PO4)2) dan dari hasil dekomposisi sisa-sisa organisme di dalam air. Selain sumber alami, senyawa fosfat juga dapat bersumber dari faktor antropogenik yang antara lain berasal dari limbah rumah tangga seperti deterjen, limbah pertanian (pupuk), limbah perikanan dan limbah industri. Sawyer dan Mc.Carty (1978) menyatakan bahwa senyawa fosfor anorganik yang terdapat pada perairan berada dalam dua bentuk, yakni : a) dalam bentuk ortofosfat, yang terdiri dari trinatrium fosfat (Na3PO4), dinatrium fosfat (Na2HPO4), mononatrium fosfat (NaH2HPO4) dan diamonium fosfat (NH3)2HPO4): b) dalam bentuk polyfosfat, yang terdiri dari natrium hexametafosfat (Na3(PO3)6) dan natrium tripolifosfat (Na5P3O10).

Orthofosfat merupakan bentuk senyawa fosfat yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik secara langsung sebagai sumber fosfat, sedangkan poly fosfat merupakan senyawa yang tidak dapat dimanfaatkan tumbuhan secara

(27)

langsung, oleh sebab itu agar senyawa polyfosfat dapat dimanfaatkan tumbuhan akuatik sebagai sumber fosfat, maka senyawa polyfosfat harus terlebih dahulu mengalami hidrolisa menjadi senyawa ortofosfat.

Oleh karena senyawa orthofosfat merupakan senyawa yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman termasuk fitoplankton dan alga pada perairan, maka kesuburan suatu perairan dapat ditentukan berdasarkan kandungan orthofosfatnya. Vollenweider dalam Wetzel (1975) mengklasifikasikan tingkat kesuburan suatu perairan berdasarkan tinggi rendahnya kandungan orthofosfat pada perairan tersebut (Tabel 2.1)

Tabel 2.1 Klasifikasi Perairan Berdasarkan Konsentrasi PO4

No Klasifikasi Orthofosfat (PO4)

(mg/l)

1 Oligotrofik 0,003-0,01

2 Mesotrofik 0,011-0,03

3 Eutrofik 0,031-0,1

Sumber : Vollenweider dalam Wetzel (1975)

Kandungan ortofosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 0,27 – 5,51 mg/l, di mana apabila konsentrasinya kurang dari 0,02 mg/l, maka fosfat akan menjadi faktor pembatas. Perairan dengan konsentrasi fosfat yang rendah (0,00-0,02 mg/l) akan didominasi oleh fitoplankton dari kelas Chlorophyceae, pada konsentrasi fosfat yang sedang (0,02 – 0,05 mg/l) akan didominasi oleh kelas Bacillariophyceae (Diatoma), sedangkan pada konsentrasi fosfat yang tinggi (>0,10 mg/l) akan didominasi oleh kelas Cyanophyceae (ganggang biru-hijau). Secara umum suatu badan air yang telah mengalami proses

(28)

eutrofikasi dapat ditandai dengan adanya kenaikan konsentrasi nutrien N dan P (Suryono et al., 2010).

2.7 Budidaya Ikan Sistem Keramba Jaring Apung (KJA)

Budidaya ikan sistem KJA merupakan kegiatan budidaya ikan yang dapat dikembangkan secara intensif dengan kepadatan (densitas) ikan budidaya yang cukup tinggi, sehingga tidak dapat lagi hanya dengan mengandalkan sumber makanan dari yang tersedia secara alami di perairan, melainkan harus didatangkan dari luar sebagai pakan tambahan. Pada umumnya pakan tambahan yang diberikan adalah pakan buatan yang disebut pelet.

Secara ekonomi usaha budidaya ikan dengan sistem kerambah jaring apung mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: a) menambah efisiensi penggunaan sumberdaya, b) dapat meningkatkan produksi ikan, c) memberikan pendapatan yang lebih teratur dibandingkan dengan hanya bergantung pada usaha penangkapan. Namun demikian, bila pengelolaan budidaya ikan kerambang jaring apung (KJA) yang dilakukan dalam jumlah yang berlebihan dan teknologi yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan perairan akan dapat memberikan dampak yang serius terhadap lingkungan perairan tersebut, baik lingkungan biotik maupun lingkungan abiotiknya.

Menurut Beveridge (1984) kegiatan keramba jaring apung berdampak terhadap empat hal utama yaitu : a) membutuhkan banyak tempat (space) atau permukaan perairan danau, b) menghambat aliran air dan arus untuk transportasi oksigen, sedimen, plankton serta larva ikan, c) menurunkan kualitas estetika perairan danau dan d) menurunkan kualitas lingkungan hidup danau. Selanjutnya

(29)

kegiatan budidaya ikan KJA berpengaruh secara nyata terhadap lingkungan perairan, yaitu mulai dari adanya perubahan hara air, perubahan konsentrasi oksigen terlarut (DO), perubahan konsentrasi metabolik toksik serta berkembangnya organisme-organisme penyebab penyakit, sehingga perairan tersebut menjadi tidak layak lagi untuk dimanfaatkan sebagai sumber air minum, sarana rekreasi dan diperuntukan untuk perikanan itu sendiri.

2.8 Limbah Keramba Jaring Apung (KJA)

Secara umum limbah yang berasal dari kegiatan budidaya ikan KJA adalah limbah organik yang berasal dari sisa-sisa pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan budidaya dan buangan dari sisa metabolisme ikan berupa faeces dan urine. Banyaknya pakan yang tidak terkonsumsi dan faeces yang dihasilkan oleh ikan keramba jaring apung tergantung pada beberapa faktor, antara lain: a) jenis pakan, b) kepadatan ikan di setiap keramba, c) kesehatan ikan yang dipelihara, d) frekwensi pemberian pakan, dan e) metode pemberian pakan dan rasio konversi makanan. Mc Donald et al. (1996); Boyd (1999) menyatakan bahwa dari sejumlah pakan yang diberikan kepada ikan budidaya akan tertinggal sebagai sisa pakan yang tidak terkonsumsi lebih kurang 30%. Selanjutnya, dari sejumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan akan dieksresikan kembali ke badan air sebagai faeces sekitar 25-30%. Hal ini berarti bahwa limbah organik dari pakan ikan KJA yang terbuang ke badan air secara kontinu jumlahnya cukup besar.

Limbah organik dari kegiatan KJA yang masuk kedalam perairan dapat berbentuk padatan, koloid, tersuspensi atau terlarut. Pada umumnya, limbah organik dalam bentuk padatan akan mengendap ke dasar perairan, sedangkan

(30)

bentuk lainnya (koloid, tersuspensi) akan tetap berada di badan air. Affan (2012) mengatakan, kecepatan arus sangat berperan dalam sirkulasi air, selain pembawa bahan terlarut dan tersuspensi, arus juga mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air, dan dalam hubungannya dengan KJA, kekuatan arus dapat mengurangi organisme penempel (fouling). Jika laju pengendapan partikel limbah jauh lebih besar dari kecepatan arus air, maka partikel-partikel bahan organik akan mengendap ke dasar perairan di sekitar lokasi KJA tersebut berada (Barg, 1992). Philips et al. (1985) dalam Beveridge (1996) menyatakan bahwa limbah organik dalam bentuk padat akan jatuh ke dasar danau dan akhirnya membentuk sedimen. Mayunar et al. (1995) menyebutkan organisme penempel akan lebih banyak menempel pada jaring bila kecepatan arus dibawah 25 cm/dt sehingga akan mengurangi sirkulasi air dan oksigen. Selama proses sedimentasi, sebahagian limbah organik akan dikonsumsi oleh biota lain seperti ikan-ikan liar, dan sebahagian lagi akan pecah menjadi partikel-partikel yang lebih halus. Jika limbah organik tidak dimakan oleh fauna perairan lain, seperti ikan, kepiting, bentos dan lainnya, maka limbah organik akan mengalami dekomposisi oleh mikroba, baik mikroba aerobik (mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen), mikroba anaerobik (mikroba yang hidupnya tidak memerlukan oksigen) dan mikroba fakultatif (mikroba yang dapat hidup aerobik dan anaerobik) (Garno, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan gliserol akan mengurangi gaya antar molekul sepanjang rantai polisakarida sehingga struktur film yang dibentuk menjadi lebih halus dan fleksibel (Gontard

Pihak implementator meyakinkan bahwa bekerja menggunakan sistem ERP membuat pengguna bekerja lebih efisien, walaupun pekerjaan terlihat lebih banyak tapi penginputan

Sel-sel utama dalam nodulus adalah limfosit B, sedangkan limfosit T menempati daerah yang langsung mengitari arteria nodularis (Delmann 1989). Pada perrnukaan pulpa putih,

Peran Ibu Rumah Tangga dalam keluarga adalah mendidik, memelihara, mengasuh, mengayomi. Ibu bukan saja menjadi tempat bernaung yang harus dihormati dan menjadi

Penulisan skripsi ini penulis memilih judul: PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA MENURUT PASAL 340 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (STUDI KASUS

Kamu akan dididik menjadi sarjana Informatika yang berstandar tinggi, mengerti konsep-konsep teknologi informasi terbaru dan mampu melakukan implementasi pada

Dalam suatu proyek yang dirancanakan untuk selesai dalam jangka waktu yang sesuai dengan target , dapat dilakukan percepatan durasi kegiatan yang akan memberikan

SKENARIO PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KABUPATEN/ KOTA PENYUSUNAN SKENARIO PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KABUPATEN KOTA SURVAI KEBUTUHAN PRASARANA ANALISIS PERMASALAHAN DAN POTENSI