• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. maupun di Negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Persoalan dimana bagi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. maupun di Negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Persoalan dimana bagi"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalan perempuan dan politik telah menjadi isu global, baik di negara maju maupun di Negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Persoalan dimana bagi perempuan konsep “demokrasi” menjadi satu hal yang sangat diidam-idamkan namun sekaligus menjadi mimpi buruk. Demokrasi yang diwariskan oleh tradisi Yunani, jelas tidak mengikutkan perempuan dalam politik.1

Jika dicermati, keyakinan bahwa persoalan-persoalan akan terselesaikan manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politik yang

Persoalan ini disebabkan masyarakat yang telah dibentuk oleh budayanya masing-masing yang menekankan bahwa kedudukan perempuan berkisar dalam lingkungan domestik, sedangkan politik merupakan sesuatu yang berkenaan dengan kekuasaan dari sejak dahulu dalam bidang yang selalu dikaitkan dengan dunia laki-laki yang menimbulkan suatu persepsi atau anggapan bahwa dunia politik tidak mungkin tabu untuk dimasuki oleh perempuan.

Suatu kenyataan yang aneh bahwa, sekarang di dunia terdapat sesuatu keyakinan dalam sistem sosial yang menyebut dirinya “demokratis” dimana banyak Negara mengklaim bahwa basis dari pemerintahannya adalah demokrasi. G. Roskin menyatakan dalam bukunya Political Science: an introduction menyatakan defenisi demokrasi adalah menghargai kebebasan hak dan kewajiban warga negaranya, baik dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, tanpa membeda-bedakan agama, ras, suku dan jenis kelamin, tetapi dalam persoalan perempuan sebagai warga negara tidaklah sebebas laki-laki dalam segala bidang.

1

Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2004, hal.4

(2)

sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik. Sehingga mendominasi kultur masyarakat Indonesia dimana gerakan feminisme pada hakikatnya merupakan proses transformasi sosial yang identik dengan proses demokratisasi.2

Hingga saat ini belum ditemukan rumusan yang jelas mengenai apa yang sebenarnya menjadi inti dari persoalan dari perempuan. Kemiskinan, kekerasan (violence), ketidakadilan dan diskriminasi disebut sebagai persoalan krusial yang dialami oleh kaum perempuan dari masa ke masa hingga muncul semacam prejudice disebagian kalangan perempuan, bahwa perempuan pada zaman apapun memang tidak pernah diuntungkan.

Karena, yang menjadi tujuan gerakan feminisme adalah menciptakan hubungan antara sesama manusia secara fundamental baru yang lebih baik dan adil, hal tersebut hanya mungkin dapat dicapai melalui cara demokratisasi. Hal ini disebabkan bahwa demokrasilah yang memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui diskusi dan aksi bersama, dengan prinsip kesamaan dan keadilan. Sehingga dapat dipahami mengapa para “pejuang perempuan” senantiasa intens terlibat dalam barisan pejuang demokrasi. Bahkan para pejuang perempuan Indonesia memasukkan agenda demokratisasi sebagai salah satu agenda pejuang mereka.

3

2

Michael G. Roskin, Political Science : an introduction, A. Viacom Company: Prentice Hall Upper Saddle River New Jersey, 1997, hal. 82.

3

Najwa Sa’idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan, CV. Idea Pustaka Utama: Bogor, 2003, hal. 25.

Padahal dalam tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi laki-laki atas kaum perempuan sudah menjadi akar sejarah yang panjang, dalam tatanan itu perempuan ditempatkan sebagai the second human being (manusia kelas kedua) yang berada dibawah superioritas laki-laki yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial masyarakat. Perempuan selalu dianggap bukan dari dan

(3)

untuk kepentingan laki-laki. Akibatnya, perempuan hanya ditempatkan di ranah domestik saja, sedangkan laki-laki berada di ranah publik.4

Selama ini politik dan perilaku politik dipandang sebagai aktivitas maskulin (laki-laki). Dimana pada ranah ini diperlukan suatu keberanian, kemandirian, kebebasan berpendapat, dan tindakan agresif.

5

Budaya Patriarki yang mengakar dan sistem politik yang didominasi laki-laki berdampak negatif bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi politik terutama untuk memegang jabatan politik. Perempuan tidak didukung, bahkan dalam banyak hal malah dihambat untuk mengambil peran aktif di ruang publik.

Karakteristik ini dianggap tidak dimiliki oleh kaum perempuan karena adanya suatu anggapan bahwa perempuan dalam menghadapi suatu persoalan lebih mementingkan perasaan dari pada rasionalitasnya. Anggapan seperti ini terus berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga perempuan sulit sekali untuk terjun ke ranah publik terutama terjun ke arena politik dan sudah sejak lama perempuan dikucilkan dari arena politik. Praktek ini berkaitan dengan isu pemisahan peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga (sebagai istri dan ibu) dengan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah.

6

4

Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005, hal. 7.

5

Siti Musdah dn Anik Farida, op.cit., hal.1.

6

Budaya Patriarki adalah sebagai sebuah system otoritas yang berdasarkan kekuasaan laki-laki, sistem yang mengejewantah melalui institusi-istitusi sosial, politik, ekonomi, Patriarki

menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga dan berlanjut pada dominasi laki-laki dalam sebuah lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarki didefenisikan bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat,

pemerintahan, militer, pendidikan, industri, agama dan sebagainya. Budaya patriarki adalah tatanan nilai-nilai yang dianut dan dikukuhi suatu masyarakat yang timpang, yakni berdasarkan konsep superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa disbanding perempuan.

Sebaliknya, perempuan diharapkan untuk menggunakan kemampuannya di lingkungan rumah tangga (domestik) yang dianggap sebagai ruang privat. Bahkan pada masa sekarang, dikotomi konsep ruang publik privat masih mendominasi

(4)

masyarakat Indonesia yang mengakibatkan perempuan harus mengatasi praktek diskriminasi dan ”buta gender” (gender blind) dalam bidang apapun.7

”Negara-negara Peserta wajib melakukan langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan di negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak: (a) untuk memilih dan dipilih; (b) untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan disemua tingkat; (c) untuk berprestasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintahan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara”.

Tetapi pada saat ini, di mana zaman telah berubah hampir semua negara maju maupun berkembang di dunia telah mulai memberikan hak-hak politik pada warga negara perempuannya, meskipun proses pemberian hak tersebut tidak sama realisasinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa PBB juga telah berperan dalam proses perkembangan kedudukan perempuan yaitu dengan membentuk badan The United Nations Committee on the status of Women, di mana PBB menyarankan kepada anggotanya agar membentuk Undang-Undang yang menjamin persamaan hak perempuan dan laki-laki. Dan pada tanggal 18 Desember 1979, PBB mengeluarkan deklarasi yaitu ”Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan”. Dalam Pasal 7, menyatakan:

8

Besarnya polemik yang dihadapi oleh perempuan disegala aspek pengambilan keputusan dan produk kebijakan yang menyuarakan aspirasi perempuan. Karena permasalahan keterwakilan, kuota 30% diberlakukan. Sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu Pasal 65 ayat 1 menyebutkan: ”setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

7

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, penerbit buku Kompas: Jakarta, 2005, hal. 236.

8

Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan: Instrumen

(5)

Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan sekurang-kurangnya 30%.9

Besarnya masalah keterwakilan perempuan dalam politik menjadi hal yang sangat mendasar dan mendesak yang perlu mendapatkan penanganan yang serius dari pihak pemerintah, sama seperti masalah Penerapan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU APP) yang tidak kunjung usai permasalahannya, Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi sebelumnya saat masih berbentuk Rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, atau yang sering

Namun penjatahan yang diyakini membuka jalan bagi perempuan secara optimal di dunia politik tidaklah memberikan penyelesaian. Karena ketika daftar caleg disusun oleh peserta pemilu, banyak kalangan peserta Pemilu kurang serius meningkatkan keterwakilan perempuan. Caleg-caleg tidak ditempatkan di ”nomor jadi” sehingga kesempatan perempuan untuk dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan kaumnya terhambat adanya peraturan yang menetapkan kuota perempuan sebesar 30% dari caleg-caleg partai politik tidak menjamin bahwa akan ada 30% perempuan dalam parlemen, karena peraturan yang ada hanya mewajibkan partai politik untuk menyertakan perempuan sebagai caleg. Tetapi bila dilihat peraturan pemilu yang masih semi distrik yang artinya nomor urut caleg masih menjadi acuan, maka keikutsertaan perempuan hanya sekedar memenuhi ketentuan, para perempuan tersebut tidak menempati nomor urut jadi, dan disamping itu tidak ada hukuman apa pun bila partai politik tidak memenuhi kuota yang telah ditentukan. Walaupun pemerintah telah memberikan hak politik kepada perempuan yang diatur dalam Undang-Undang, namun pada dasarnya keterwakilan perempuan masih saja menjadi suatu persoalan besar.

9

Undang-Undang Politik 2003, UU No. 12 tentang Pemilu, Fokus Media: Bandung, 2003, hal. 62.

(6)

disingkat (RUU APP) adalah suatu Rancangan produk hukum yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 14 Februari 2006. Rancangan Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai upaya mencegah berbagai bentuk kejahatan itu dalam kerangka menciptakan kehidupan yang bermoral.

Pada rancangan kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus hingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Diantara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pasal mengenai sanksi pidana dan pembentukan anti pornografi dan pornoaksi. Pornogafi pada rancangan pertama didefenisikan sebagai ”substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan erotika” sementara pornoaksi adalah ”perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan dan erotika dimuka umum”. Karena defenisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan defenisi pornografi yang berasal dari bahasa yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) sehingga secara harfiah berarti tulisan atau gambar tentang pelacur”. Pornoaksi adalah ”upaya mengambil polemik mengenai Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang nyaris tidak produktif. Ruang dan energi berwacana yang diumbar masih fokus pada relativitas kebebasan berekspresi, etika dan moral. Wacana tersebut belum memasuki wilayah yang substansi perlindungan Pornografi pada anak dan perempuan. Lalu mengabaikan urgensi kriminalisasi perbuatan dalam pasal-pasal Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, Undang-Undang ini banyak mendapatkan masalah dari masyarakat.10

10

http://republika.co.id.

Karena Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi ini sangat berperan penting untuk masyarakat terutama kaum perempuan supaya tidak ada lagi kaum perempuan yang terdiskriminasi dan

(7)

menjadi korban pelecehan seksual oleh kaum laki-laki. Untuk memahami dan mengetahui masalah Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi ini, penulis ingin meneliti mengenai persoalan tersebut.

B. Perumusan Masalah

Setelah adanya Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang dibuat oleh Panitia Khusus (PANSUS) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diketuai oleh Balkan Kaplele dari Fraksi Demokrat. Undang-Undang Pornografi tersebut banyak mendapatkan masalah yang terjadi diberbagai daerah khususnya di Medan beberapa tahun belakangan ini. Seperti maraknya demonstrasi yang menolak dengan adanya Undang-Undang Pornografi dan ada sebagian masyarakat yang mendukung dengan adanya Undang-Undang Pornografi. Maka sebaiknya Undang-Undang ini benar-benar dilaksanakan karena untuk mencegah dan mengurangi korban pelecehan seksual. Kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Medan mengatakan dibuatnya Undang-Undang Pornografi ini untuk menyelamatkan rakyat dari praktek Pornografi dan Pornoaksi, Undang –Undang Pornoaksi ini juga untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, kemudian Undang-Undang tersebut dibentuk untuk mencegah kegiatan eksploitasi yang selama ini dilakukan terhadap kaum perempuan. Hal ini tidak bisa dibicarakan dan harus dicegah kalau tidak bangsa ini akan menjadi hancur dan tidak bermoral.

Namun berbeda dengan pihak Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara dan Forum Masyarakat Sipil Sumatera Utara, mereka menentang dengan adanya Undang-Undang Pornografi karena menurut mereka dengan adanya Undang-Undang Pornografi tersebut akan menganggu keharmonisan masyarakat di Medan. Mereka menganggap Undang-Undang Pornografi ini adalah produk yang bersifat multitafsir yang bisa memecah kesatuan dan persatuan bangsa.

(8)

Mereka keberatan dengan Undang-Undang Pornografi yang dianggap merendahkan kaum perempuan dan menjadikan perempuan sebagai objek seksual dimata Hukum. Sampai pihak Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara mengajak masyarakat supaya ikut dengan mereka dalam gabungan orang-orang yang melakukan penolakan dengan adanya Undang-Undang Pornografi tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Mengapa Majelis Ulama Indonesia di Sumatera Utara mendukung Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi?

2. Mengapa komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara mengajukan penolakan terhadap penetapan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui alasan Majelis Ulama Indonesia di Sumatera Utara dalam mendukung penetapan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi.

2. Untuk mengetahui alasan penolakan komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara terhadap penetapan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang undang-undang anti pornografi dan pornoaksi dan penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat menambah pendidikan politik bagi masyarakat terhadap isu politik yang beredar.

(9)

2. Secara praktis, berguna bagi masyarakat khususnya kaum perempuan sebagai bahan masukan dan informasi yang memberikan hal positif dalam menyuarakan aspirasi dan kepentingan perempuan di Indonesia terutama di Sumatera Utara.

E. Kerangka Teori

E.1. Analisis Gender dan Sex

Teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah teori gender sebagai alat analisis sosial konflik yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi di berbagai tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan beragama, serta kebijakan dan perencanaan pembangunan. Kata Gender sendiri berasal dari bahasa atau kata Inggris yang berarti suatu pemahaman sosial budaya tentang apa dan bagaimana lelaki dan perempuan seharusnya berprilaku.

Secara estimologis, gender berasal dari bahasa latin (Italy) yaitu Genus yang berarti tipe atau jenis. Perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan yang berproses pada budaya yang menciptakan perbedaan gender. Gender dapat diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan biologis tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas.11

Perbedaan krusial antara seks dan gender adalah kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya dan psikologis, maka seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi fisik dan anatomi biologis. Istilah seks (dalam kamus bahasa Indonesia berarti “Jenis Kelamin”) lebih

11

Leo Agistino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, hal. 229

(10)

banyak berkonsentrasi kepada aspek biologis seseorang, meliputi komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya.

Sebagai hasil konstruksi sosial budaya, gender menjadi konsep yang dinamis antara ruang dan waktu. Penelitian sejarah telah membuktikan bahwa konstruksi sosial gender sepanjang waktu berubah-ubah. Terkadang hampir tanpa terasa dinamikanya, namun di lain waktu menjadi isu yang sangat menarik untuk diperdebatkan. Gender juga dapat menjadi komoditas politik, pengalaman sejarah menunjukkan pemerintah kolonial, pengabar injil berkulit putih serta pengusaha telah membawa konsep gender dari struktur sosial mereka mencoba mengintroduksikannya pada masyarakat pribumi. Kegiatan ini menyebabkan dampak yang merusak bagi posisi dan kedudukan kaum perempuan pribumi yang berujung pada hilangnya hak, akses terhadap pekerjaan, kedudukan dan pengambilan keputusan dilingkungan Negara maupun keluarga. Terkadang penguasa kolonial juga menggunakan konsep gender untuk kepentingan ekonomi mereka, semisal untuk mempertahankan akses mereka terhadap tenaga kerja perempuan.

Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai konsekuensi wajar dari perbedaan biologis. Secara biologis, laki-laki dan perempuan memang berbeda. Untuk merubah prilaku sebagai akibat perbedaan biologis ini merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Perkembangan hasil-hasil penelitian ilmu sosial menunjukkan bahwa laki-laki dan prempuan berbeda tidak hanya sekedar akibat dari perbedaan biologis antara keduanya. Namun lebih dari itu, proses sosial dan budaya telah turut mempertajam perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

(11)

Pembahasan mengenai gender, melahirkan tiga teori yaitu: 1. Teori Nurture

Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial budaya selama ini menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kelas yang berbeda. Laki-laki-laki selalu lebih superior dibandingkan perempuan.

2. Teori Nature

Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat yang harus diterima. Perbedaan biologis memberikan dampak berupa perbedaan peran dan tugas diantara keduanya. Terdapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara kodrat alamiah.

3. Teori Keseimbangan

Selain dua teori yang bertolak belakang tersebut, terdapat teori yang berusaha memberikan kompromi yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan namun menuntut perlunya kerjasama yang harmonis antara keduanya.12

Dalam pengertian identitas gender adalah defenisi seseorang tentang dirinya, khususnya dirinya sebagai perempuan dan berbagai karakteristik perilakunya yang ia kembangkan sebagai hasil proses sosialisasi13

Sesuai dengan defenisi diatas, konsep gender tampak berlaku fleksibel, berbeda-beda dalam ruang dan waktu dan bisa diubah. Identitas gender diperoleh melalui proses belajar, proses sosialisasi dan melalui kebudayaan masyarakat yang

12

Saparinah, dan Soemarti P, Identitas Gender dan Peranan Gender, Dalam buku Kajian Wanita Dalam Pembangunan oleh T.O. Ihromi (Penyunting) hal. 70.

13

(12)

bersangkutan. Karena tidak heran apabila identitas gender telah memberi label tentang jenis pekerjaan yang boleh atau layak dan tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Sebagai contoh pembagian kerja seksual dirumah tangga yang berlaku umum paling tidak ditingkat ideology tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga dan tugas laki-laki adalah mencari nafkah.

Hilary M. Lips, mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya: Perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-iri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Hilary M. Lips dan S.A. Shield, membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan. Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagai pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki memegang peran publik. Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis kelamin (sex).

Hilary Lips, membedakan kata sex sebagai (ciri-ciri biologis, fisik tertentu, jenis kelamin biologis) Sex merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis (kodrat), individu dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau

(13)

seorang perempuan. Gender lebih mendekatkan arti jenis kelamin dari sudut pandang sosial. 14

Fredrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan ketimpangan gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis) akan tetapi merupakan divine creation. Engles memandang masyarakat primitif lebih bersikap egaliter karena ketika itu belum dikenal dengan adanya surplus penghasilan. mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal dengan adanya pemilikan secara pribadi.

The Oxford Encyclopedia Of The Modern World (Esposito, 1995) menyatakan, gender adalah pengelompokkan individu dalam tata bahasa yang digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya kepemilikan terhadap satu ciri jenis kelamin tertentu.

Illch (1998) menyatakan, gender merupakan salah satu diantara tiga jenis kata sandang dalam tata bahasa, yang kurang lebih berkaitan dengan pembedaan jenis kelamin, yang membeda-bedakan kata benda menurut sifat penyesuaian dan diperlukan ketika kata-kata benda itu dipakai dalam sebuah kalimat. Kata-kata benda dalam bahasa Inggris biasanya digolong-golongkan menurut gender maskulin, feminin, dan netral.

15

Oakley (1972) menyatakan dalam Sex, Gender and Society memberi makna gender sebagai perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis jenis kelamin (sex) merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen dan Universal berbeda. Sementara Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau

14

Op.Cit.,hal. 4.

15

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka pelajar: Yogyakarta, 2004, hal. 60.

(14)

bahkan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum lelaki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.

Caplan (1987) menyatakan dalam The Cultural Construction of Sexuality menegaskan bahwa perbedaan prilaku antara laki-laki dan perempuan selain secara biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural . Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah. Perbedaan gender (gender differences) yang selanjutnya melahirkan peran gender (gender role) sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah, atau tidak perlu digugat. Kalau secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bias hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidikan anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak perlu digugat. Persoalannya adalah ternyata peran gender tradisional perempuan dinilai lebih rendah dibanding peran gender laki-laki. Selain itu ternyata peran gender melahirkan masalah yang perlu digugat, yakni “ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender tersebut.

Manifestasi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi gender adalah sebagai berikut:

1. Terjadinya marginalisasi (kemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan yang disebabkan oleh ketidakadilan gender, yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Misalnya banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin, akibat dari program pertanian revolusi hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki.

(15)

2. Terjadinya subordinasi pada salah satu jenis sex yang umumnya pada kaum perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa “menganggap penting” kaum perempuan. Misalnya, anggapan “karena perempuan toh nantinya akan ke dapur, mengapa harus sekolah tinggi-tinggi”.

3. Pelabelan negative (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, terutama kaum perempuan dan akibat dari stereotype itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali stereotype yang dilabelkan pada kaum perempuan yang akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan.

4. Kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender. Kekerasan di sini mulai dari kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan (seksual harassment) dan penciptaan ketergantungan.

5. Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden). Dengan kata lain “peran gender” perempuan yang menjaga dan memelihara kerapian tersebut telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Sosialisasi peran gender tersebut menjadikan rasa bersalah bagi perempuan yang tidak melakukannya, sementara bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan dibanyak tradisi dilarang untuk berpartisipasi.

Kesemua manifestasi ketidakadilan gender tersebut di atas adalah saling berkaitan dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu

(16)

“tersosialisasi” baik kaum lelaki maupun perempuan secara mantap, yang lambat laun baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya percaya bahwa peran gender itu seolah-olah menjadi kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan sudah tidak lagi dapat dirasakan adanya sesuatu yang salah. Analisis gender di atas memberi perangkat teoritik untuk memahami sistem ketidakadilan gender. Kedua jenis kelamin baik pria maupun perempuan, bisa menjadi korban dari ketidakadilan gender tersebut.

Namun karena mayoritas yang menjadi korban ketidakadilan gender adalah kaum perempuan, seolah-olah analisis gender hanya menjadi alat perjuangan kaum perempuan. Analisis gender justru menjadi alat gerakan feminisme untuk menjelaskan sistem ketidakadilan.16

lebih lanjut, analisis gender ini memungkinkan gerakan feminisme memfokuskan pada relasi (struktur) gender serta keluar dari pemikiran yang memfokuskan pada ”perempuan”. dengan demikian, yang menjadi agenda utama setiap usaha perubahan sosial tidak sekedar menjawab kebutuhan praktis atau merubah kondisi kaum perempuan, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis kaum perempuan, yakni memperjuangkan posisi kaum perempuan, termasuk konter Tanpa analisis gender gerakan feminisme akan menjadi reduksionisme, yang lebih memusatkan perhatian perubahan sosial bagi kaum perempuan belaka. Analisis gender membantu memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender, sementara kaum laki-laki menjadi dehumanisasi karena melnggengkan penindasan gender.

16

Mansour Fakih, Sesat Pikir teori Pembangunan dan globalisasi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2001, hal. 171.

(17)

hegemoni dan konter discourse terhadap ideologi gender yang telah mengakar dalam keyakinan baik kaum perempuan maupun kaum laki-laki.17

Gerakan feminisme, kata feminisme dipelopori pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. kemudian pergerakan Center Eropa feminisme ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya publikasi dari John Stuart Mill, yaitu The Subjection of Woman (1869). Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pengekangan terhadap kebebasan kaum perempuan. Dimana feminisme merupakan suatu gerakan politik di beberapa negara barat yang memiliki perempuan sebagai fokus perhatiannya. Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu, harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut.

Dalam teori ini yang dianggap sesuai dengan teori gender adalah teori gerakan feminisme.

E.2. Gerakan Feminisme

18

Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan dirugikan dalam semua bidang dengan dinomorduakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam masyarakat yang sifatnya patriarki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah (domestik). Inti dari pandangan feminisme adalah:

17

Ibid.

18

(18)

bahwa setiap perempuan juga perlu mempunyai hak untuk dapat memilih apa yang menurutnya baik bukan yang ditentukan kaum laki-laki.19

Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cendrung melakukan operasi terhadap kaum perempuan. Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi Revolusi sosial

Sejarah lahirnya gerakan feminisme sebagai filsafat dan gerakan yang dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya. Dengan lahirnya era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley dan Marquis De Condorcep. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middlesburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad ke 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian, pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamenatalisme agama yang cenderung melakukan operasi terhadap kaum perempuan. Sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan kaum laki-laki atau yang lazim disebut dengan kesetaraan gender. Sebenarnya sebagian besar perempuan yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah “merdeka”. Biasanya mereka itu dari kalangan wanita karir yang sukses, punya prestasi, punya background dan pendidikan yang tinggi. Mereka tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih terpasung atau tidak memiliki hak setara dengan laki-laki atau perempuan yang tertindas. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di abad ke XVIII yang kemudian melanda Amerika Serikat dan keseluruhan dunia.

19

Saparinah Sadli, Pengantar tentang Kajian Wanita, dalam buku Kajian Dalam Wanita Dalam Pembangunan, oleh T. O. Ihromi (penyunting), hal. 15.

(19)

dan politik, perhatian terhadap kaum-kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Women yang isinya dapat meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: Gender Inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotype, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, di tandai dengan lahirnya Negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa, lahirnya Feminisme Gelombang kedua pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.

Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminisme Perancis seperti Helena Cixous dan Julia Kristeva bersama dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan White Anglo-Amerika-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.

Secara spesifik, banyak feminisme-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan objek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga.

(20)

Meliputi Afrika, Asia, da Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretense universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa penelitian feminisme barat yang menjebak perempuan sebagai objek.

Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks “All Women”. Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai subjek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih.

Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD-II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-Negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.

Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga menjadi objek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, dan relasi sosial. Dalam gerakan feminisme ini ada beberapa aliran feminisme yang berkaitan, yaitu aliran feminisme liberal dan aliran radikal.

(21)

E.2.1 Aliran Feminisme Liberal

Teori feminisme liberal pertama kali dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft (1759-1799) dalam tulisan “The Vindication of The Right of Woman” dan John Stuart Mill dalam tulisannya “The Subjection of Women”, kemudian Betty Frei dan dalam tulisannya “The Feminim Mystique” dan “The Second State”. Mereka menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum adat sehingga menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik.20

20

Siti Hidayati Amal, Beberapa Perspektif Feminisme Dalam Menganalisis Permasalahan

Perempuan, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 1995, hal. 86.

“Masyarakat beranggapan bahwa perempuan dipengaruhi oleh kondisi alamiah yang dimilikinya, karena kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik dibanding laki-laki. Oleh karena itu, perempuan dianggap tidak mampu menjalankan peran di lingkungan publik. Anggapan inilah yang disangkal oleh feminisme liberal. Menurut mereka, manusia, perempuan atau laki-laki diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama dan harus pula mempunyai kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Menurut perspektif ini, jika leluasa berperan diluar rumah, perempuan pun akan dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Jadi, bukan kondisi alamiah perempuan yang menyebabkan mereka kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik seperti laki-laki, melainkan persepsi masyarakatlah yang menentukan bagaimana seorang laki-laki dan perempuan berfikir, bertindak, dan berperasaan agar perempuan dapat berkembang seperti laki-laki. Perempuan harus berpendidikan sama seperti laki-laki. Dalam tradisi feminisme liberal, penindasan perempuan dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok. Cara pemecahan untuk merubahnya, yaitu menambah kesempatan bagi perempuan terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan partisipasi perempuan.

(22)

Perubahan-perubahan sosial tersebut menyediakan argumen-argumen politik maupun moral untuk gagasan-gagasan mengenai kemajuan, kontrak, sifat dasar dan alasan yang memutuskan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional. Akar teori feminisme liberal ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasional, oleh sebab itu asumsi dasar dari feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesetaraan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Perempuan adalah makhluk rasional kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki .

Pada intinya kaum feminisme liberal menganggap bahwa perempuan dan laki-laki memang diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan dirinya dalam berbagai hal oleh sebab itu aliran ini berupaya mempercepat tercapainya kesetaran dan keadilan dalam berbagai bidang. Melalui suatu perdebatan terbentuklah teorisasi feminisme secara jelas dan meyakinkan perdebatan ”persamaan dan perbedaan”. Persamaan dan perbedaan, keduanya adalah istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri. Orang-orang yang berkepentingan dalam menggambarkan posisi ideologi telah memetakan pencarian persamaan kedalam bentuk-bentuk feminisme liberal atau sosialis dan mencari perbedaan ke dalam bentuk feminisme radikal atau kultural.21

Salah satu tokoh feminisme liberal adalah Naomi Wolf, menurutnya feminisme liberal adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Menurut Wolf setiap manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional. Untuk itu, perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing

21

Terjemahan dari buku: Judith Squires, Gender in political Theory, Polity Press; USA, 1999, hal. 115.

(23)

didunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan laki-laki. Perempuanlah yang harus membekali diri dengan bekal pendidikan dan pendapatan (ekonomi). Setelah perempuan mempunyai kekuatan dari segi pendidikan, pendapatan, perempuan harus terus menuntut persamaan (equality) haknya serta saatnya perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki. Wolf memaparkan isu persamaan (equality) hak antara laki-laki dan perempuan serta perluasan hak-hak individu. keterlibatan perempuan dalam industrialisasi dan program pembangunan yang populer disebut women in development. Intinya ialah semua aksi pergerakan perempuan dilakukan sedikit demi sedikit tanpa mengganggu status quo kekuasaan. Pada akhirnya laki-laki harus dipaksa memberikan tempat pada perempuan dalam segala kehidupan. Dengan menekankan bahwa untuk mengatasi rintangan sosial yang dihadapi perempuan diperlukan campur tangan pemerintah. Karena aliran feminisme liberal memandang sampai sekarang campur tangan pemerintah masih kurang peduli dengan masalah perempuan tersebut. Selain aliran feminisme liberal, ada salah satu aliran yang harus diperhatikan dalam gerakan feminisme yaitu aliran feminisme radikal.

E.2.2 Aliran Feminisme Radikal

Feminisme radikal ini muncul pertama kali sejak pertengahan tahun 1970an dimana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan” pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, kegiatan utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Gerakan ini sesuai dengan namanya yang “radikal” aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan

(24)

merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempersalahkan antara lain tumbuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The Personal is Political” menjadi gagasan yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai pada ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditunjukkan kepada feminisme radikal. Pada hal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia memiliki UU RI No. 23 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT).22

Aliran ini menolak setiap jenis kerja sama dimana feminisme radikal ingin mengembangkan analisis feminis yang lebih nyata dan lebih merdeka. Dalam hal ini analisis sosialis Marx tersebut bermanfaat untuk melihat problem-problem Teori feminisme radikal ini menganut paham sosialis dan tokoh dari paham sosialis ini adalah Marxis, menurut Marx “tidak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan. Tidak ada pembebasan perempuan tanpa sosialisme”. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme radikal sosial menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh N. Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran perempuan. Agenda untuk meneranginya adalah menghapus kapitalisme dari sistem patriarki.

22

(25)

ketidakadilan, ketidaksetaraan dan penindasan yang menjadi beban kaum perempuan. Dalam membahas teori tentang kesetaraan (equality), banyak orang yang mempelajari teori gender dan politik dari persfektif kesetaraan (equality) sangat meyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan jika dilihat secara politik atau dengan kata lain tidak berhubungan satu sama lain. Pada kenyataannya bahwa pria dan wanita pada umumnya dipahami berbeda dalam lingkungan politik.23

Selain kesetaraan (equality), keadilan (justice) pada dasarnya juga menyangkut akan masalah gender dan kaum perempuan. Adapun literatur mengenai gender dalam teori politik biasanya disamakan dengan yang namanya etika keadilan. Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Apa yang telah muncul dalam teori feminis yang dilambangkan sebagai perspektif, etika keadilan adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral. Adapun ide dasar dari feminisme adalah kesetaraan (equality), kedudukan laki-laki dan perempuan yang dibangun atas dasar kesetaraan (equality) dan keadilan (justice) hak-hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.

24

Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau persamaan (equality) dan keadilan (justice) hak dengan pria. Jadi gerakan feminisme adalah sebuah gerakan pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam masyarakat. Adapun gerakan feminisme ini lebih memusatkan perhatian kepada ”masalah perempuan” yang mengasumsikan bahwa munculnya permasalahan ketidakmampuan kaum perempuan untuk bersaing dengan laki-laki tetapi pada dasarnya perempuan adalah makluk rasional yang memiliki kemampuan sama dengan

F. Defenisi Konsep

23

Terjemahan dari buku: Judith Squires, Op.Cit., hal.116.

24

(26)

laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Adapun konsep persamaan (equality) dan keadilan (justice) adalah:

1. Persamaan (Equality).

Persamaan adalah suatu konsep yang menunjukkan bahwa semua manusia ”sama” dimata hukum. Persamaan juga menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang ”sama” untuk mendapatkan perlakuan yang adil terutama persamaan hak bagi perempuan harus ditegakkan di dalam suatu negara. Persamaan dan perbedaan keduanya istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri, persamaan dan perbedaan telah menggambarkan perbedaan dan perspektif yang bersaing dalam teori feminis.

Jika seseorang memperluas kerangka analisa ideologi dan geografis dengan perspektif kronologis, maka seseorang dapat melukiskan jalur teori feminis sehubungan dengan persamaan dan perbedaan sebagaimana dimulai dengan persamaan (equality), peralihan pada perbedaan, kemudian pergerakan terhadap resolusi dikotomi. Beberapa komentator telah memilih melambangkan tahapan feminisme ini sebagai feminisme gelombang-gelombang.

1. Gelombang pertama, yang di tandai oleh komitmen terhadap persamaan (equality).

2. Gelombang kedua, oleh komitmen terhadap perbedaan. 3. Gelombang ketiga, komitmen terhadap keragaman.

Orang lain melihat pergerakan dari persamaan ke perbedaan sebagai internal terhadap feminisme gelombang kedua. Misalnya, Nancy Fraser menganggap bahwa perubahan terjadi dalam pergerakan wanita Amerika Serikat pada akhir era 1970an. Karena setiap cerita kronologis ini menggangap sesuatu dari perasaan dalam perdebatan feminis, maka masing-masing lebih skematis dan menanamkan dirinya

(27)

dalam kerangka normatif tertentu. Memungkinkan juga untuk mengkarakterisasikan sifat dinamis dari perdebatan persamaan dan perbedaan.25

25

Terjemahan dari buku: Judith Squires, Op.Cit., hal. 117.

Memetakan perdebatan persamaan dan perbedaan dari perspektif usaha-usaha saat ini untuk bergerak ”melebihi” persamaan dan perbedaan. Pelaksanaan yang berlebihan inilah yang secara lebih jelas mengkarakteristikan momen saat ini terhadap teorisasi gender. Status perspektif keragaman ketiga adalah kompleks tidak dimaksudkan untuk meliputi semua upaya yang dilakukan untuk mlebihi alat untuk mensistensikan perspektif persamaan dan perbedaan. Lebih dipahami sebagai negosiasi kompleks dari pola dasar yang ada dari pada artikulasi dari pola dasar yang baru.

Orang-orang yang mendekati teori gender dan politik dari perspektif persamaan sangat meyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan secara politik atau tidak berhubungan, kenyataan bahwa pria dan wanita pada umumnya berbeda. Alasan yang tidak cukup untuk memperlakukan mereka secara berbeda dalam lingkungan politik. Proyek pemerintahan apapun yang benar-benar melaksanakan prinsip-prinsip persamaan liberal harus melebihi anggapan sexist tentang perbedaan Gender yang telah meneliti perbedaan tehadap wanita, untuk memberikan kepada wanita hak-hak yang sama dengan pria dan untuk memungkinkan wanita berpartisipasi seperti halnya pria dalam lingkungan publik. Perbedaan gender dipasang sebagai sebuah manifestasi seksisme, sebagai penciptaan yang digunakan untuk menasionalisasikan persamaan antara pria dan wanita. Anggapan yang luas bahwa wanita tidak rasional sepenuhnya digunakan secara berulang kali sebagai ”justifikasi” untuk melanjutkan pengeluaran mereka dari kewarganegaraan penuh.

(28)

Gagasan bahwa wanita tidak dapat memiliki kemampuan rasional, abstrak, yang menguniversalisasikan bentuk pemikiran yang dibutuhkan untuk terlibat dalam arena penelitian dan politik publik perlu ditemui dengan penegasan kesamaan wanita dengan pria. Sebagaimana yang dijelaskan Fraser, dari perspektif persamaan, maka perbedaan gender terlihat tidak memungkinkan untuk lepas dari seksisme. Tugas-tugas politik selanjutnya akan lebih jelas, tujuan feminisme adalah untuk melepaskan belenggu ”perbedaan” dan membentuk persamaan yang membawa pria dan wanita dibawah sebuah ukuran umum. Dari perspektif persamaan tersebut.26

Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Dari perspektif pertama para ahli teori tidak mengecam etika keadilan itu sendiri. Mereka menganggap bahwa tingkatan aplikasinya harus diperluas hingga meliputi bentuk-bentuk hubungan sosial dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa ini adalah bentuk pemikiran moral dan bentuk yang khusus bagi pria. Ada bentuk lain yang diambil dari dalam pendekatan kedua adalah pemikiran moral yang disebut etika 2. Keadilan (Justice)

Mengenai keadilan (justice) dalam literatur gender, dalam teori politik disamakan dengan ”etika keadilan”. Pertama, etika keadilan adalah perspektif yang lebih tepat dan memungkinkan. Menurut pandangan tidak dari manapun dan oleh karena itu pada dasarnya netral sehubungan dengan masalah gender. Kedua, etika keadilan adalah sebuah produk dari jiwa pria dan secara intrinsik bergender. Ketiga, etika keadilan adalah sebuah bentuk pemikiran moral yang terbatas secara khusus dan spesifik secara historis yang memainkan peranan signifikan dalam proses pengenderaan identitas sosial.

26

(29)

kepedulian yang harus juga dikenal, Bahkan dikatakan bahwa wanita lebih memungkinkan mengadopsi etika kepedulian ini dibandingkan pria, bahwa hak istimewa yang diberikan pada etika keadilan adalah untuk suara moral yang berbeda dari para wanita. Dengan kata lain ini adalah strategi universal.27

27

Terjemahan dari buku: Judith Squires, Op.Cit., hal.141.

Berbeda dengan konsepsi yang dibedakan gender kedua tentang pemikiran moral, para ahli teori gender yang mendekati perdebatan ini dari perspektif ketiga adalah penting dari pergerakan ke bentuk-bentuk pemikiran moral yang terbagi dan untuk menyelenggarakan antitesisnya dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa etika keadilan adalah bukan salah satu dari dua bentuk pemikiran moral yang memungkinkan tentang bentuk universal tunggal dari pemikiran moral. Oleh karena itu, model keadilan dari pemikiran moral tidak hanya berbeda dengan model kepedulian ini. Dengan mengetahui bahwa model kepedulian hanya ada dalam hubungan sebagai pengingat model keadilan, maka adopsi setiap model bekerja untuk mengabadikan dualisme hirarki dari perdebatan moral yang dihasilkan oleh etika keadilan yang merupakan strategi pergantian.

Untuk memahami sepenuhnya isu-isu dalam politik secara khusus sebagai lawan dari perdebatan dan relevansinya dengan politik secara khusus sebagai lawan dari perdebatan moral, terlebih dahulu harus mempertimbangkan etika keadilan dan etika kepedulian. Selanjutnya kita akan merenungkan dua isu tambahan yang telah menjadi pusat pada perdebatan keadilan dan kepedulian sifat hubungan antara dua etika dan dua gender. Ini menyebabkan pertimbangan dari beberapa strategi yang berbeda yang diadopsi untuk melebihi dikotomi keadilan dan kepedulian. Apa yang telah muncul dalam teori feminis akan dilambangkan sebagai perspektif ”etika keadilan” adalah sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral.

(30)

Immanuel Kant, dengan jelas memperdebatkan kerangka historis, universal untuk mendasarkan klaim-klaim moral. Kant berusaha menjelaskan dan membentuk dasar objektif dari moralitas. Dia menolak semua usaha untuk mendasarkan moralitas pada pengalaman dan bekerja untuk membentuk eksistensi dari hukum moral dasar, universal, objektif untuk semua sifat rasional. Yang mengkarakteristikan imperialitas sebagai konsepsi pemikiran moral yang menganggap bahwa agar agen melepaskan egoisme, dan mencapai objektivisme, dia harus mengadopsi sudut pandang universal yang sama untuk semua agen rasional. Penekanan terhadap pelepasan dari konteks, sebagaimana dengan rasionalisme, dipandang sebagai alat yang mempertinggi kekhususan emosional yang menarik dan pencapaian sudut pandang universal.28

28

Judith Squires, Ibid, hal. 143. G. Metode Penelitian G.1.1. Jenis Penelitian

Penyusunan skripsi ini menggunakan jenis metode penelitian deskriptif yang merupakan metode penelitian yang memaparkan secara sistematis mengenai gerakan feminisme, dalam menghasilkan kebijakan, serta peran masyarakat dalam menanggapi permasalahan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Pada dasarnya metode ini menggambarkan fenomena dan bukan menguji teori. Dengan menggunakan metode deskriptif, penulis memusatkan perhatian pada masalah atau fenomena yang diteliti yaitu Penulis menafsirkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan secara sistematis sehingga diperoleh gambaran yang faktual dan akurat mengenai fenomena yang diselidiki untuk mencapai tujuan penelitian.

(31)

G.1.2. Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan informasi yang mencakup masalah maka penulis melakukan penelitian di Kantor Sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan yang berlokasi di Jalan. Nusantara Medan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara. yang berlokasi di Jalan.Benteng Raya Medan.

G.1.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:

1. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi melalui buku-buku, media massa dan sumber-sumber lainnya yang relevan dengan substansi masalah dalam penulisan skripsi.

2. Data Primer

Dalam hal ini untuk mendapatkan data harus melakukan penelitian lapangan yang didasarkan pada peninjauan langsung dengan objek yang akan diteliti. Untuk memperoleh data-data yang akurat dilakukan dengan teknik wawancara mendalam, yaitu dengan adanya proses tanya jawab secara langsung antara penulis yang ditujukan kepada para informan di lokasi penelitian, informan dalam penelitian ini yaitu Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Ketua yang menangani masalah perempuan untuk menanggapi masalah Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia di Sumatera Utara dan anggota Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara yang menangani bidang perempuan untuk

(32)

menananggapi masalah Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi tersebut, dengan menggunakan panduan dan pedoman wawancara yang baik.

G.1.4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini data dan informasi yang terkumpul kemudian disusun dan dijabarkan dengan cara menjelaskan fenomena yang akan ditentukan dalam proses pengumpulan data. Tujuannya adalah untuk membatasi penemuan hingga menjadi data yang teratur dan tersusun. Dari data yang telah teratur dan tersusun kemudian dianalisis secara sistematis. Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, jenis analisis ini banyak digunakan dalam jenis penelitian deskriptif, yaitu suatu metode yang lebih didasarkan pada pemberian gambaran yang terperinci yang mengutamakan penghayatan dan berusaha memahami suatu peristiwa dalam situasi tertentu menurut pandangan peneliti. Data yang diperoleh dari daftar pertanyaan yang dijabarkan kepada responden ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisis, setelah dianalisis maka dapat ditarik suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian yang telah dianalisis.

G.1.5. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan, maka penulisan skripsi ini akan dijabarkan dalam tiga bab penyajian data dan satu bab sebagai penutup, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

(33)

BAB II : PROSES PENETAPAN UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI SUMATERA UTARA

Bab ini akan menguraikan tentang proses pembuatan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi secara umum dan memberikan gambaran masalah yang terjadi setelah adanya Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi tersebut.

BAB III : TANGGAPAN KELOMPOK PENDUKUNG DAN PENEN

TANG UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI DAN PORNO AKSI.

Pada bab ini akan dijabarkan secara garis besar bagaimana tanggapan dari masyarakat secara umum. Kemudian tanggapan dan pandangan Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang kebebasan dan keadilan perempuan. Kemudian bagaimana pandangan mereka tentang peran negara dalam mengatasi permasalahan perempuan dalam Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta berisi saran-saran yang mungkin berguna bagi penulis secara khusus dan berguna bagi organisasi secara umum.

Referensi

Dokumen terkait

Tesis yang berjudul “Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Materi Gempa Bumi Untuk Meningkatkan Kesiapsiagaan Bencana Siswa Kelas V Sekolah Dasar (Studi Kasus

Abstrak - Instagram sebagai salah satu jenis media sosial yang dekat dengan kalangan muda zaman sekarang, maka dari itu instagram dapat digunakan untuk meningkatkan

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir dengan judul ANALISA KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BRIKET LIMBAH INDUSTRI KELAPA SAWIT DENGAN VARIASI PEREKAT

Hal ini disebabkan karena proton memiliki muatan sejenis dengan proton lain-katakanlah bermuatan listrik positip dan demikian juga interaksi antar elektron

Akibat keterbatasan jumlah petani padi anorganik di Desa tersebut maka pengambilan responden petani padi anorganik dilakukan pada Desa Cisalada, desa ini dipilih

Bahasa Inggris dasar memerlukan penerapan metode pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat menumbuhkan minat belajar siswa dan mempermudah dalam memahami materi

Dari beberapa pengertian tersebut, jelas bahwa orang yang disebut pustakawan adalah orang yang benar-benar mengerti ilmu perpustakaan, setidaknya pernah mendapat pelatihan tentang