• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN ELSAM TENTANG RENCANA PEMBENTUKAN HUKUM DISIPLIN MILITER DISAMPAIKAN KEPADA: KOMISI I DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (DPR RI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANDANGAN ELSAM TENTANG RENCANA PEMBENTUKAN HUKUM DISIPLIN MILITER DISAMPAIKAN KEPADA: KOMISI I DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (DPR RI)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN ELSAM

TENTANG RENCANA PEMBENTUKAN HUKUM DISIPLIN MILITER

DISAMPAIKAN KEPADA: KOMISI I

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA (DPR RI)

2 Oktober 2013

LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT (ELSAM) Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Jakarta, 12510, Indonesia,

Telp: (021) 7972662, 79192564, Fax : (021) 79192519 Email : office@elsam.or.id Website: www.elsam.or.id

Twitter : @elsamnews, @elsamlibrary

(2)

I. PENGANTAR

1. Pada tanggal 16 September 2013 dan Tanggal 26 September 2013, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mendapat undangan untuk menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dari Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), untuk memberikan masukan terhadap RUU Inisiatif Komisi I DPR RI tentang Hukum Disiplin Militer (HDM).

2. ELSAM mengucapkan terima kasih kepada Komisi I DPR RI atas undangan ini. RDPU merupakan wujud keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan.

3. Berdasarkan Undangan tersebut, ELSAM melakukan serangkaian diskusi internal untuk menyusun masukan terhadap rencana pembuatan RUU Inisiatif Komisi I DPR RI tentang Hukum Disiplin Militer. Berdasarkan kerangka acuan dalam Undangan tersebut, masukan ini dimaksudkan untuk mendukung upaya penyusunan Naskah Akademis dan RUU Hukum Disiplin Militer.

II. REFORMASI SEKTOR KEAMANAN: MENCERMATI AGENDA PEMBENTUKAN HUKUM DISIPLIN MILITER

4. Selama 14 Tahun setelah Reformasi pada tahun 1998, ELSAM mencermati telah banyak perkembangan terkait dengan reformasi sektor keamanan. Reformasi sektor keamanan merupakan pilar penting bagi sistem pemerintahan yang demokratis, selain reformasi ekonomi dan hukum.

5. Reformasi sektor keamanan menempatkan adanya supremasi sipil dan supremasi hukum dalam sistem ketatanegaran di Indonesia, dengan mendasarkan pada landasan penghormatan hak asasi manusia dan demokrasi. Supremasi sipil mensyaratkan adanya kontrol sipil atas berbagai kebijakan kenegaraan, termasuk terkait dengan militer. Sementara supremasi hukum menempatkan hukum sebagai pedoman tertinggi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.

6. Reformasi sektor keamanan juga bertujuan untuk menempatkan aktor-aktor keamanan sesuai dengan tugas dan kewenangannya berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, hukum dan hak asasi manusia. Dalam konteks Tentara Nasional Indonesia (TNI), reformasi terhadap institusi TNI bertujuan untuk memastikan TNI yang profesional dan mampu melakukan pertanggungjawaban (accountability) atas segala tindakan yang dilakukan secara institusional maupun individual (anggota TNI) 7. Profesionalitas TNI penting untuk memastikan pelaksanaan mandat, kewenangan

dan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara

(3)

aspek pertanggungjawaban penting untuk menghindari siklus impunitas, yakni adanya kejahatan tanpa penghukuman.

8. UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menandai kejelasan tentang jaminan normatif atas supremasi sipil dan supremasi hukum. Segala kebijakan yang terkait dengan kemiliteran tunduk pada otoritas sipil, dan tidak ada kekebalan hukum terhadap anggota TNI.

9. UU TNI memandatkan sejumlah reformasi regulasi maupun kelembagaan, diantaranya; i) perubahan regulasi terkait dengan Peradilan Militer, dan ii) perubahan Hukum Disiplin Prajurit TNI.

10.Namun demikian masih ada hambatan dalam reformasi sektor ini, yang menggagalkan berbagai agenda reformasi sektor keamanan yang sesuai dengan tujuan-tujuan reformasi. Diantaranya, kegagalan untuk menyelesaikan perubahan Hukum Pidana Militer dan UU Peradilan Militer (UU No. 31 Tahun 1997).

11.Fakta bahwa saat ini terjadi berbagai kasus-kasus kekerasan yang melibatkan oknum TNI terhadap oknum anggota Polri maupun masyarakat sipil, dianggap sebagai pelanggaran hukum disiplin militer yang telah menciderai institusi kemiliteran Indonesia. Berbagai tindakan indisipliner tersebut mendorong penataan dan membenahi disiplin anggota TNI dengan membuat payung hukum dalam bentuk UU untuk menertibkan kembali anggota TNI dalam pembinaan disiplin dari sistem kemiliteran di Indonesia. (Term of Reference Komisi I DPR RI)

12.RUU tentang Hukum Disiplin Militer (HDM) merupakan pembenahan dan penertiban secara internal terhadap tindak pelanggaran oknum anggota TNI dengan memperhatikan pidana militer dan pidana umum. (Term of Reference Komisi I DPR RI)

13.Landasan penyusunan dan agenda untuk membahas RUU HDM sebagaimana dinyatakan dalam angka 11 dan 12 diatas, menimbulkan sejumlah pertanyaan pokok:

i) Sebelumnya telah ada proses pembahasan RUU Peradilan Militer namun terhenti. Padahal reformasi UU Peradilan Militer merupakan salah satu bagian penting dari agenda reformasi sektor keamanan dan memastikan pertanggungjawaban anggota militer yang melakukan kejahatan. Dalam konteks saat ini, bagaimana kelanjutan reformasi Peradilan Militer?

ii) Upaya untuk membentuk HDM ini ‘terlihat’ diletakkan dalam konteks ‘kompromi’ ketika muncul ketidaksepakatan dalam pembahasan revisi UU Peradilan Militer. Motif apa yang sebetulnya mendasari upaya pembentukan

(4)

HDM tersebut, dan apakah permasalah maraknya kekerasan yang melibatkan oknum TNI semata-mata karena kelemahan regulasi?

iii) Jika pembentukan RUU HDM ini akan memperhatikan hukum pidana militer dan pidana umum, bagaimana keterkaitannya dengan proses perubahan hukum pidana militer dan hukum pidana umum, khususnya dalam memperjelas mana yang merupakan tindakan dalam kategori kejahatan dan kategori pelanggaran disiplin?

III.PANDANGAN ELSAM ATAS SEJUMLAH PERTANYAAN KOMISI I Pandangan umum

14.ELSAM menghormati upaya Komisi I DPR RI untuk menyusun Naskah Akademis dan RUU HDM untuk menyikapi berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI yang dianggap pelanggaran hukum disiplin militer yang telah mencederai instusi militer, sehingga memerlukan penataan dan pembenahan disiplin anggota TNI dengan membentuk UU HDM.

15.Fakta bahwa adanya berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI adalah kondisi yang tidak dapat dibantah. Namun, fakta bahwa ada oknum anggota TNI yang melakukan tindakan-tindakan lain, misalnya menjadi penjaga atau pihak keamanan suatu perusahaan tertentu diluar kedinasan dan tugas pokoknya yang dibiarkan oleh atasan, adalah fakta yang menunjukkan tindakan-tindakan yang dalam dikategorikan pelanggaran disiplin.

16.ELSAM memandang bahwa pembentukan HDM tidak dilepaskan dari kebutuhan untuk juga melakukan perubahan atas Peradilan Militer, Hukum Pidana Militer, Hukum Pidana Umum. Pembentukan HDM harus diletakkan dalam pengaturan yang lebih komprehensif untuk menghindari pengaturan yang bersifat ‘parsial’, tidak lengkap dan tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan.

17.HDM bukan merupakan subtitusi dari Peradilan Militer, namun HDM melengkapi dengan berbagai regulasinya lainnya yang terkait dengan perilaku dan tindakan (conduct) semua anggota militer. Dalam UU HDM harus juga mengatur tentang interelasi dengan regulasi lainnya. Oleh karenanya, HDM harus disusun dengan jelas untuk menghindari tumpang tindih (overlapping) dengan pengaturan dalam Hukum Pidana militer dan Pidana Umum.

18. UU DHM harus disusun dengan memasukkan kategori tindakan pelanggaran disiplin yang rinci dan jelas, untuk memastikan bahwa hukum ini bukan sebagai upaya untuk penghindaran atau sebagai tameng (shielding) atas tindakan kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer, serta penafsiran yang terlalu luas tentang

(5)

tindakan yang dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin. Selain itu untuk menghindari adanya tindakan ‘diskresi’ yang terlalu luas dari atasan/komandan atau atasan yang berhak menghukum (ANKUM).

19. Pembentukan UU HDM harus diletakkan dalam kerangka supremasi sipil dan supremasi hukum. Tujuan UU HDM adalah membangun profesionalitas anggota militer yang lebih baik dan akuntabilitasnya dalam tatanan masyarakat yang demokratis. Lebih khusus, UU HDM ini untuk mengontrol perilaku dan tindakan (conduct) dari anggota militer yang sesuai dengan tugas dan kewenangannya, dengan tujuan untuk melakukan pembinaan, pendidikan, dan pencegahan terjadinya tindakan yang melanggar disiplin.

20.Merujuk pada tujuan tersebut, meski obyek dari HDM hanya berlaku di Internal TNI, tetap memerlukan adanya pengawasan dalam pelaksanaannya untuk memastikan adanya akuntabilitas, transparansi, dan keadilan. Penyerahan tentang pelaksanaan HDM semata-mata berasal dari internal institusi militer, selain tidak transparan, akan berpotensi terjadinya proses penghukuman yang tidak adil dan diskriminatif.

21.Untuk mencapai berbagai tujuan tersebut, perumusan UU HDM harus mengacu pada nilai-nilai demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum internasional. Namun demikian, melihat karakterisktik institusi militer yang mempunyai standar tertentu untuk memastikan berjalannya pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimungkinkan adanya ruang untuk mengakomodasi ‘kepentingan militer’

Batasan pengertian mengenai hukum disiplin militer

22.Pertama-tama, yang paling penting adalah kejelasan tentang apa yang merupakan tindakan (conduct) pelanggaran disiplin militer, dan yang membedakan dengan tindak pidana militer dan tindak pidana umum. Merujuk pada pengaturan di sejumlah negara, pembedaan ini diatur dengan jelas.

23.Ruang lingkup HDM dapat mencakup; i) tidakan yang dikategorikan pelanggaran disiplin, ii) pihak yang terkena HDM, ii) mekanisme penegakannya, baik pihak yang melaksanakan proses penghukuman atau saksi, dan prosedur pemeriksaan, iii) jenis sanksi atau hukuman, iv) mekanisme keberatan, v) pengawasan internal dan eksternal, dan vi) mekanisme reparasi.

24.HDM dapat diatur dengan UU tersendiri atau diatur bersamaan dengan pengaturan tindakan yang merupakan tindak pidana, namun dengan kategorisasi yang jelas dan mekanisme/prosedur penegakan yang berbeda. Dalam hal diatur bersamaan maka aspek penting adalah; i) kategorisasi tindakan, ii) prosedur penegakannya, iiii) mekanisme pengawasannya.

(6)

25.Dalam hal diatur dalam UU tersendiri, HDM hanya mengatur tentang pelanggaran disiplin (dalam UU No. No. 26 tahun 1997 ditentukan sebagai disiplin murni). Hal ini untuk membedakan mana yang perbuatan pelanggaran disipil dan perbuatan mana yang merupakan tindak pidana (baik militer maupun umum). Bahwa apapun perbuatan yang termasuk dalam kategori tindak pidana, meski sangat ringan, merupakan yurisdiksi dari peradilan militer atau peradilan umum sehingga tidak bercampur dengan tindakan dalam kategori pelanggaran disiplin. (lihat juga arah RUU KUHP yang tidak mengatur lagi tentang pelanggaran, tetapi semua kejahatan, yang membedakan adalah mekanisme penegakan dan jenis hukuman).

26.Yang terpenting dalam pengaturan yang tersendiri adanya adanya interrelasi yang jelas antara HDM dengan berbagai regulasi lainnya. Adanya hubungan yang jelas dengan regulasi lainnya, termasuk terkait dengan hukum administrasi Militer (administrasi prajurit TNI).

Asas-asas dalam HDM

27.UU No. 26 Tahun 1997, tidak mengatur mengenai asas-asas dalam HDM. Hanya terlihat bahwa tujuan HDM berdasarkan UU tersebut adalah; i) profesionalisme tentara yang efisien, efektif, dan modern untuk mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagai dinamisator dan fasilitator pembangunan nasional (bagian menimbang huruf c), dan ii) sikap ketergantungan pada kuasa orang lain atau peraturan perundang-undangan (bagian penjelasan). 28.Bahwa UU No. 26 Tahun 1997 tersebut disusun pada masa Orde Baru dengan

tatanan politik yang belum demokratis dan masih menempatkan angkatan bersenjata dalam konsep “Dwifungsi ABRI”, sehingga pendekatan dalam pengaturannya lebih menekankan pada upaya untuk memperkuat angkatan bersenjata melalui pendisiplinan anggotanya.

29.Dalam iklim demokrasi saat ini yang menghormati hak asasi manusia dan keadilan, maka asas-asas yang perlu ditegakkan dalam HDM seharusnya merujuk pada nilai-nilai hak asasi manusia, demokrasi dan keadilan. HDM yang akan mengatur tentang disiplin militer, baik mengenai jenis tindakannya, penegakan, jenis hukuman atau sanksi, dan prosedur lainnya, memerlukan setidaknya asas; i) kepastian hukum, ii) keadilan (prinsip fair trial), dan iii) obyektivitas.

30.Tujuan dari HDM ini juga seharusnya memperjelas tentang asas-asas yang diperlukan lainnya. Tujuan HDM dalam konteks pendidikan dan pencegahan, untuk mencapai tujuannya tersebut selain diperlukannya asas keadilan juga memerlukan kecepatan dalam penerapannya. Maka asas yang menunjukkan bahwa proses penjatuhan sanksi disiplin secara cepat ini menjadi keharusan.

(7)

31.Namun, dalam konteks pengaturan HDM, dimana institusi militer mempunyai karakterisktik yang berbeda dengan institusi lain, memerlukan satu prinsip khusus, yaitu kepentingan militer. Dalam hal operasi perang misalnya, seorang komandan diharapkan pada situasi dimana harus memilih menjalankan kewajiban untuk memberikan hukuman disiplin atau menunda penjatuhan hukuman untuk memastikan berjalannya operasi militer.

Ombudsman

32.Ombudsman militer adalah suatu mekanisme independen dari struktur komando militer yang melaksanakan sektor pengawasan dan memastikan bahwa pengawasan prinsip-prinsip dan pelaksanaan dari pemerintahan yang baik. Ombudsman militer menguji pengaduan/komplain tentang tingkah laku yang tidak sepatutnya/layak dan pelanggaran di militer dan juga kekurangan-kekurangan dalam prosedur militer, serta memformulasikan rekomendasi untuk langkah-langkah koreksi.

33.Ombudsman militer tidak membuat kebijakan pertahanan atau keputusan berkaitan dengan masalah-masalah operasional. Tujuan khusus dari ombudsman militer adalah untuk memastikan tingkah laku yang layak dari dan dalam sektor pertahanan, dimana peranan yang lebih luas dari ombudsman adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitasnya dengan membuatnya akuntable dan responsif terhadap konstituennya.

34.Merujuk pengalaman berbagai Ombudsman Militer, lembaga ini mempunyai kewenangan yang cukup luas. Misalnya di Norwegia, salah satu tugasnya adalah sebagai forum untuk menyampaikan komplain atau keberatan anggota militer atas putusan atau perintah dari atasannya. Jika Ombudsman Militer, yang independen atau diluar struktur militer, hanya sebagai pengawas penjatuhan HDM maka sebetulnya lembaga ini tidak perlu.

Mekanisme penegakan

35.Aspek penting dari HDM sebagaimana tujuan pembentukannya adalah memberikan sanksi atas pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota militer. Sanksi disiplin ini mempunyai dua tujuan; i) pendidikan dan ii) pencegahan.

36.Dalam sisi pendidikan adalah mendorong anggota militer untuk melaksanakan tanggung jawabnya secara lebih baik dan menghormati aturan (rules) yang melekat sebagai anggota militer. Maka sanksi untuk ini harus dibatasi apa yang perlu untuk memastikan bahwa anggota militer memahami bahwa apa yang mereka lakukan salah dan mereka memperbaikinya.

(8)

37.Sanksi juga merupakan bentuk perintah untuk anggota militer, dimana meski hanya terkait pada anggota militer yang terkena sanksi, sanksi tersebut merupakan peringatan bagi semua anggota militer berdasarkan perintah dari atasan yang memberikan sanksi tersebut. Untuk mencapai ini, saksi hukuman harus adil, tetapi cukup keras. Prosedur disiplin tersebut juga harus dilaksanakan sesegera mungkin. 38.Sanksi disiplin militer dengan pendekatan pendidikan dan pencegahan, akan

mempunyai dampak yang besar, jika hak-hak anggota militer yang terkena hukuman dihormati ketika sanksi diberikan. Hal ini misalnya, anggota militer yang terkena hukuman mempunyai hak untuk mengakses data-datanya, mempunyai hak untuk memberikan penjelasan terkait dengan fakta-fakta yang menyebabkan adanya tuduhan kepadanya, sanksi dijatuhkan berdasarkan pada hukum dan kenyataan, dan jika orang yang terkena sanksi tersebut mempunyai hak untuk banding.

39.Dalam hal suatu perbuatan meragukan untuk diberikan hukuman pidana maka dapat diimbangi dengan sanksi disiplin yang efektif pada semua level rantai komando. Langkah-langkah administratif, sesungguhnya dibawah tanggung jawab atasan langsung, menujukkan dua keuntungan kunci; dapat diterapkan secara cepat dan terlihat secara jelas bagi rekan-rekan pelaku. Efek pencegahan ini secara langsung, akan mencegah tingkah laku yang tidak patut/layak ditoleransi atau diterima.

40.Seorang komandan harus melaksanakan kewenangan pendisiplinannya untuk menjaga kedisiplinan dan memastikan penuntutan pada kejahatan-kejahatan serius yang dilakukan, misalnya pada masa perang. Preseden dalam sejumlah peradilan internasional menyatakan bahwa seorang komandan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kewajibannya, jika tidak maka dia bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi.

41.Sanksi disiplin akan kehilangan dampak pada pendidikan dan pencegahan jika sanksi tersebut tidak dilakukan pada saat, atau segera setelah peristiwa terjadi. Sanksi disiplin ini penting untuk menjaga disiplin militer dan untuk menjaga otoritas seorang komandan/atasan. Saksi disiplin ini juga krusial untuk penuntutan dalam kejahatan-kejahatan serius selama perang, sebagaimana para hakim dalam peradilan internasional menyatakan bahwa sanksi disiplin mempunyai peranan penting dalam menjelaskan fakta bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi. 42.Sanksi disiplin adalah tahap yang menentukan dalam proses peradilan pidana, yang

berarti bahwa sanksi disiplin adalah kewajiban minimum dari atasan/komandan yang sifatnya segera ketika menghadapai terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya. Sebagai contoh, dalam Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (The International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR), hakim menyatakan bahwa ‘dalam kasus kegagalan untuk menghukum, tanggung jawab seorang komandan

(9)

dapat terjadi dalam hal kegagalannya untuk menciptakan atau mempertahankan situasi kedisiplinan dan penghormatan terhadap hukum atas anak buahnya yang berada dalam kendalinya (the persons under his or her control).

43.Pengalaman menunjukkan bahwa sanksi yang lebih jelas dan lebih bisa diprediksikan dalam penerapannya, akan semakin mempunyai dampak pencegahan. Hal itu akan memungkinkan hukuman yang efektif kepada anggota militer yang gagal dalam mematuhi hukum, dan mewujudkan suatu hierarki dari cara untuk melaksanakan perintah dan disiplin dan untuk menunjukkan bahwa rantai komando telah jelas dalam mempertahankan nilai-nilai yang fundamental.

44.Merujuk pada tujuan adanya HDM dan hukuman/sanksi atas perbuatan pelanggaran disiplin, maka mekanisme penegakan haruslah memenuhi prinsip-prinsip keadilan atau proses pemeriksaan yang adil (fair trial). Hal ini mencakup tentang prosedur pemeriksaan, pembuktian (termasuk alat-alat bukti), serta kejelasan hukuman yang bisa diprediksikan. Berdasarkan pada prinsip-prinsip pemeriksan yang adil, maka dalam hal adanya keberatan dari pihak yang dijatuhi hukuman, maka pelaksanaan putusan harus ditunda sampai dengan proses akhir atau tahap pemeriksaan yang tidak dimungkinkan lagi adanya keberatan.

45.Namun, catatan yang perlu dipertimbangkan, bahwa seringkali prosedur memenuhi prinsip-prinsip keadilan memakan waktu yang relatif lama, dan tidak memberikan dampak pencegahan atas berulangnya perbuatan pelanggaran disiplin. Dalam situasi tertentu, misalnya dalam kondisi perang, pemeriksaan atas pelanggaran disiplin sampai dengan penjatuhan hukuman memerlukan keputusan yang bersifat segera. Dalam situasi demikian, perlu ada mekanisme khusus dalam prosesnya, dengan adanya penyediaan mekanisme pemulihan (remedy) jika terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman tersebut.

46.Jenis sanksi atau hukuman dalam pelanggaran disiplin merujuk pada jenis tindakan yang diperbolehkan berdasarkan norma-norma hak asasi manusia, yakni tindakan sanksi yang tidak melukai integritas tubuh. Sanksi yang relevan adalah pencabutan kemerdekaan dan kebebasan tertentu, misalnya dengan pemenjaraan. Namun pencabutan kebebasan seseorang, hanya dapat dilakukan jika diputuskan oleh suatu institusi yang sah dan berwenang, misalnya pengadilan, maka proses penjatuhan hukuman ini harus dilakukan dengan prosedur yang sah dan oleh otoritas yang berwenang.

47.Dalam kancah internasional, salah satu kasus yang mengemuka baru-baru ini, terkait dengan hukum disiplin militer, adalah keluarnya putusan Pengadilan HAM Eropa pada tahun 2011, yang menghukum denda pemerintah Turki, sebesar 9.000 Euro untuk kerugian immateril, atas tindakan hukuman disiplin terhadap salah satu tentaranya. Dalam kasus tersebut, seorang personil militer Turki telah dijatuhi

(10)

hukuman penjara 7 hari oleh komandannya, karena meninggalkan barak tanpa ijin. Penjatuhan hukuman ini didasarkan kepada Pasal 171 KUHP Militer Turki, yang memberikan wewenang pada atasan—komandan untuk melakukan penangkapan dan penahanan sementara waktu atas dasar tindakan indisipliner. Tidak terima dengan tindakan itu, anggota militer bersangkutan telah mengajukan banding pada atasan komandannya, namun ditolak, sampai pada akhirnya dia mengajukan komplain kepada Pengadilan HAM Eropa. Selain menghukum pemerintah Turki, dalam putusannya Pengadilan HAM Eropa juga menegaskan bahwa tindakan penahanan terhadap kebebasan seseorang hanya boleh dilakukan oleh pengadilan, di luar itu harus pula disediakan prosedur banding yang jelas terhadap putusan tersebut. Pengadilan juga meminta kepada pemerintah Turki untuk memperkenalkan dan memastikan adanya sanksi disiplin, yang bukan dalam bentuk hukuman badan (perampasan kebebasan) sehingga tidak perlu melibatkan badan yudisial dalam penjatuhan sanksi tersebut.1

48.Putusan Pengadilan HAM Eropa ini bisa dimaknai sebagai penegasan tentang keharusan adanya pembedaan kategori dan unsur yang jelas antara hukum disiplin militer dengan tindak pidana militer, termasuk sanki yang dapat dijatuhkan. Mengapa demikian? Oleh karena sangat terkait erat dengan hukum acara—prosedur yang musti dijalani untuk masing-masing tindakan tersebut. Berbeda antara prosedur penghukuman disiplin dengan prosedur penghukuman pidana, yang memungkinkan adanya perampasan kebebasan seseorang melalui pengadilan.

49.Setiap negara memang memiliki corak yang beragam di dalam pengaturan mengenai hukum disiplin militer dan hukum pidana militer, tergantung sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara tersebut. Jerman misalnya, negara yang menjadi nenek moyang dari tradisi hukum sipil (civil law system), telah melakukan perombakan total terhadap hukum militernya. Di negara ini tidak dikenal lagi adanya Peradilan Pidana Militer, seluruh tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, baik sedang bertugas maupun tidak bertugas, akan dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan sipil dan akan diperikas di pengadilan umum (pengadilan sipil). Sementara terkait dengan hukum disiplin militer di dalam Kode (Kitab Undang-Undang Hukum) Disiplin Militer yang terakhir kali diamandemen pada 17 Desember 2008.

50.Kode Disiplin Militer Jerman ini dengan detail mengenai ruang lingkup hukum disiplin, termasuk siapa saja pihak yang tunduk pada hukum ini, kategori tindakan pelanggaran disiplin yang akan menentukan mekanisme penyelesaiannya, sebatas melalui penghukuman disiplin non-yudisial ataukah harus melalui penghukuman displin yudisial, yang tergantung dari tingkat keseriusan pelanggaran disiplin. Di

1 Lihat Pulatli v. Turkey, dapat diakses di

http://sim.law.uu.nl/sim/caselaw/Hof.nsf/e4ca7ef017f8c045c1256849004787f5/b2831143de0f5fb6c125787e0050d354?O penDocument.

10

(11)

dalamnya juga diatur mengenai prosedur investigasi dan persidangan untuk penghukuman disiplin, termasuk hak-hak yang dimiliki oleh pelanggar disiplin, juga komposisi hakim disiplin, yang melibatkan unsur sipil serta adanya juri. Diatur pula prosedur banding yang disediakan, termasuk banding ke Pengadilan Administrasi Federal.

51.Sementara Australia, yang hukumnya merujuk pada sistem hukum umum (common law system), mengatur hukum disiplin mereka di dalam Defence Force Discipline Act 1982 yang diamandemen terakhir pada tahun 2011. Undang-undang ini mengatur hukum disiplin militer dan pidana militer sekaligus, termasuk penegakkannya. Di dalamnya diatur dengan detail perihal pembedaan antara tindakan disiplin dan tindakan pidana, kategorisasi dan tindakan yang dapat dilakukan.

52.Sedangkan Afrika Selatan yang sistem hukumnya mencoba mengkombinasi antara unsur hukum umum dan hukum sipil, menghadirkan sistem yang agak unik dalam hukum militernya. Ketentuan hukum disiplin militer dan pidana militer diatur di dalam The Military Discipline Supplementary Measures Act yang disahkan tahun 1999. Seorang anggota militer dapat diadili di pengadilan umum/sipil untuk pelanggaran hukum umum maupun pelanggaran hukum militer. Akan tetapi dapat pula diadili di peradilan militer baik untuk pelanggaran hukum umum maupun hukum militer. Undang-undang hanya memastikan agar tidak terjadi doble jeopardy terhadap anggota militer bersangkutan. Dalam konteks penegakan hukum disiplin yang diutamakan adalah peran dari para komandan kesatuan. Sementara untuk tindakan pelanggaran hukum/melakukan tindakan kejahatan menjadi domain dari pengadilan, baik pengadilan sipil maupun militer.

Ne bis in idem

53.Prinsip Ne bis in idem tidak relevan jika pengaturan dan ranah yurisdiksinya jelas.

IV.PENUTUP

54.Pada bagian atas paparan ini telah disinggung mengenai keharusan pembahasan yang pararel antara RUU Hukum Disiplin Militer dan RUU Peradilan Militer. Hal itu penting dilakukan selain untuk menghindari overlapping antara keduanya, serta adanya kejelasan perbedaan antara tindakan mana yang masuk kategori pelanggaran disipilin dan kategori tindak kejahatan, juga memperlihatkan interdependensi antara dua peraturan perundang-undangan ini, guna menegakkan disiplin dan profesionalisme militer, serta memastikan ketaatan dan kepatuhan anggota militer pada hukum dan konstitusi.

Referensi

Dokumen terkait

RAWATAN KANSER PESAKIT LUAR TAHUNAN Jika Orang Yang Diinsuranskan didiagnosis menghidap kanser seperti yang tertakluk di dalam Definasi Penyakit Kritikal, Syarikat akan

Dengan menggunakan CVP analysis ini perusahaan dapat mengetahui bagaimana pengaruh pada perubahan biaya, harga jual, dan sales mix terhadap pencapaian target laba

Tampilan Form yang digunakan untuk mendefinisikan sistem yang dilakukan dalam akan melakukan olah data basis kasus yang ditunjukkan pada gambar IV.6:... Gambar IV.6 Tampilan

Hasil penerapan model pembelajaran Mastery Learning terhadap penguasaan kompetensi dasar mengaktualisasikan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan

Kasdan birkaç soru daha sordu, ama çocukça cevaplardan başka bir şey

Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama

Perubahan terminologi atau istilah anak berkebutuhan khusus dari istilah anak luar biasa tidak lepas dari dinamika perubahan kehidupan masyarakat yang berkembang saat ini,

Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan secara seimbang. Setiap orang tidak bisa menggunakan haknya secara semena-mena karena dibatasi oleh hak